- hama dan penyakit padi.pdf

17
HOT NEWS Beranda Profil Fasilitas Layanan Penelitian Varietas Berita Publikasi Kerjasama Gallery Download Hubungi K Aplikasi Member area Email Home | Data Base Hama dan Penyakit Padi Hama dan Penyakit Padi PENGENDALIAN PENYAKIT TUNGRO Padi merupakan tanaman pangan pokok bagi penduduk Indonesia. Tiap tahunnya produksi padi perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang terus bertambah. Sejarah pertanian nasional telah pernah mencatat terjadinya peningkatan produksi padi yang sangat tinggi hingga 276%, yaitu dari 13,6 juta ton pada 1966 menjadi 51,2 juta ton pada 1996 (Khush dan Virk, 2002). Tingginya produksi, yang diperoleh petani setelah mengadopsi teknologi revolusi hijau, ternyata bermata ganda. Pasokan beras yang memadai dan datang tepat pada waktunya merupakan salah satu sisi positifnya, karena banyak jiwa manusia telah terhindar dari bahaya kelaparan dan kematian. Di sisi yang lain ditemukan akibat yang merusak yang waktu itu (1970-an) belum sepenuhnya diperhitungkan. Pertanaman varietas-varietas padi unggul generasi pertama, seperti PB5, PB8 dan beberapa nomor sesudahnya pada hakekatnya telah mengubah ekosistem pertanian yang ada. Suatu hal yang pada periode sebelumnya jarang terjadi, karena varietas lokal yang banyak ditanam petani diyakini mampu menjaga keseimbangan genetik pada agroekosistem setempat. Bertahun-tahun pascaintroduksi varietas unggul dan penerapan yang intensif teknik bercocok-tanam modern menyebabkan terjadinya perubahan mendasar pada iklim mikro di bawah kanopi tanaman padi (Azzam dan Chancellor, 2000; Hibino, 1996). Perubahan itu terjadi di suatu hamparan yang sangat luas bagai ”petri dishraksasa yang memberikan sumber kehidupan yang berlimpah untuk berbagai jenis organisme dan mikroba; tak terkecuali serangga hama yang juga merupakan vektor penyakit virus padi, antara lain wereng hijau (Nephotettix virescens Distant) dan wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal). Sejak saat itu penyakit virus padi telah muncul, berkembang berlipat ganda dan datang silih berganti satu setelah yang lain. Tiga dari 15 jenis penyakit virus padi dunia (Hibino, 1996) dilaporkan menyerang tanaman dan merugikan hasil panen padi di berbagai daerah di Indonesia, yaitu penyakit tungro (Ou, 1965; Rivera et al., 1967), penyakit kerdil rumput (Tantera et al., 1973) dan penyakit kerdil hampa (Hibino et al ., 1977; Palmer et al ., 1978). Hibino (1996) juga melaporkan penyebaran dan epidemi tiga penyakit tersebut di negara-negara Asia lainnya, sehingga pada tahun 1970-an dan 1980-an boleh dikatakan telah terjadi pandemi. Selain virus-virus padi, wereng hijau diketahui dapat pula menularkan fitoplasma penyebab penyakit kerdil kuning (rice yellow dwarf disease) (Satomi et al., 1978) dan penyakit daun jingga (rice orange leaf disease) (Hibino et al., 1980). Akan tetapi sejak penerbitan buku padi 1990 belum ada tambahan informasi yang signifikan dan nilai ekonomisnya dapat diabaikan, maka bagi yang membutuhkan informasinya dapat merujuk pada terbitan itu. PENYAKIT TUNGRO Etiologi Tungro merupakan penyakit padi yang kompleks, disebabkan oleh dua jenis virus yang secara taksonomis berbeda satu dengan lainnya, yaitu virus batang tungro padi (rice tungro bacilliform virus, RTBV) dan virus bulat tungro padi (rice tungro spherical virus, RTSV) (Hibino et al ., 1991; Jones et al . 1991). Kedua virus ditularkan secara semi persisten oleh beberapa spesies wereng hijau dan wereng daun lainnya (Ling, 1969; Hibino et al., 1978). RTBV berbentuk batang dan berukuran (150-350) x 35 nanometer (nm) (Hibino et al., 1978; Hibino et al., 1991). Tiap partikel virus mempunyai asam deoksiribonukleat berutas ganda (double-stranded deoxyribonucleic acid, ds-DNA) yang melingkar dan dengan besaran genom kurang lebih 8,5 kpb (kilopasangbasa). Karena cara replikasinya dengan transkripsi terbalik, RTBV merupakan pararetrovirus. Pernah ditetapkan sebagai anggota dari genus badnavirus (Hull, 1996), tetapi RTBV kini digolongkan dalam kelompok sementara “RTBV-like group” di bawah famili Caulimoviridae (Mayo dan Pringle, 1998). Laporan hasil penelitian jaringan tanaman padi yang terinfeksi virus-virus tungro dengan menggunakan elektron mikroskop (Sta Cruz et al., 1993) menunjukkan bahwa partikel RTBV dapat ditemukan di dalam pembuluh tapis (floem) maupun dalam pembuluh kayu (silem). RTSV berbentuk bulat dengan garis tengah 30 nm (Hibino et al ., 1991; Jones et al ., 1991). Paket genetik virus Search... Hama dan Penyakit Padi Penyakit Padi karena Jamur Penyakit Padi karena Bakteri Penyakit Padi karena Virus Hama Padi Highlight Data Base Hama dan Penyakit Padi Cara Penggunaan Bagan Warna Daun Plasma Nutfah Online Perpustakaan Online U P B S Online Data Base Varietas Padi Pemupukan Hara Spesifikasi Lokasi Padi Sawah Kalender Tanam Terpadu 2012 Statistik Minggu ini 611 Bulan ini 16261 Pengunjung 939455 Online (20 menit terakhir) : 2 Waktu: 21-02-2013 09:11 Tingkatkan Hasil Riset Untuk Implementasi di Lapangan » MAKASAR – Kepala Badan Litbang Pertanian Dr Haryono mengatakan bahwa tahun - Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen... 1 of 17 21/02/2013 10:16

Upload: nanang-tri-haryadi

Post on 01-Jan-2016

325 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

HOT NEWS

Beranda Profil Fasilitas Layanan Penelitian Varietas Berita Publikasi Kerjasama Gallery Download Hubungi Kami

Aplikasi Member areaEmail

Home | Data Base Hama dan Penyakit Padi

Hama dan Penyakit Padi

PENGENDALIAN PENYAKIT TUNGRO

Padi merupakan tanaman pangan pokok bagi penduduk Indonesia. Tiap tahunnya produksi padi perlu

ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang terus bertambah. Sejarah pertanian nasional telah

pernah mencatat terjadinya peningkatan produksi padi yang sangat tinggi hingga 276%, yaitu dari 13,6 juta ton

pada 1966 menjadi 51,2 juta ton pada 1996 (Khush dan Virk, 2002). Tingginya produksi, yang diperoleh petani

setelah mengadopsi teknologi revolusi hijau, ternyata bermata ganda. Pasokan beras yang memadai dan

datang tepat pada waktunya merupakan salah satu sisi positifnya, karena banyak jiwa manusia telah terhindar

dari bahaya kelaparan dan kematian. Di sisi yang lain ditemukan akibat yang merusak yang waktu itu (1970-an)

belum sepenuhnya diperhitungkan. Pertanaman varietas-varietas padi unggul generasi pertama, seperti PB5,

PB8 dan beberapa nomor sesudahnya pada hakekatnya telah mengubah ekosistem pertanian yang ada. Suatu

hal yang pada periode sebelumnya jarang terjadi, karena varietas lokal yang banyak ditanam petani diyakini

mampu menjaga keseimbangan genetik pada agroekosistem setempat.

Bertahun-tahun pascaintroduksi varietas unggul dan penerapan yang intensif teknik bercocok-tanam modern

menyebabkan terjadinya perubahan mendasar pada iklim mikro di bawah kanopi tanaman padi (Azzam dan

Chancellor, 2000; Hibino, 1996). Perubahan itu terjadi di suatu hamparan yang sangat luas bagai ”petri dish”

raksasa yang memberikan sumber kehidupan yang berlimpah untuk berbagai jenis organisme dan mikroba; tak

terkecuali serangga hama yang juga merupakan vektor penyakit virus padi, antara lain wereng hijau

(Nephotettix virescens Distant) dan wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal).

Sejak saat itu penyakit virus padi telah muncul, berkembang berlipat ganda dan datang silih berganti satu

setelah yang lain. Tiga dari 15 jenis penyakit virus padi dunia (Hibino, 1996) dilaporkan menyerang tanaman

dan merugikan hasil panen padi di berbagai daerah di Indonesia, yaitu penyakit tungro (Ou, 1965; Rivera et al.,

1967), penyakit kerdil rumput (Tantera et al., 1973) dan penyakit kerdil hampa (Hibino et al., 1977; Palmer et

al., 1978). Hibino (1996) juga melaporkan penyebaran dan epidemi tiga penyakit tersebut di negara-negara

Asia lainnya, sehingga pada tahun 1970-an dan 1980-an boleh dikatakan telah terjadi pandemi. Selain

virus-virus padi, wereng hijau diketahui dapat pula menularkan fitoplasma penyebab penyakit kerdil kuning (rice

yellow dwarf disease) (Satomi et al., 1978) dan penyakit daun jingga (rice orange leaf disease) (Hibino et al.,

1980). Akan tetapi sejak penerbitan buku padi 1990 belum ada tambahan informasi yang signifikan dan nilai

ekonomisnya dapat diabaikan, maka bagi yang membutuhkan informasinya dapat merujuk pada terbitan itu.

PENYAKIT TUNGRO

Etiologi

Tungro merupakan penyakit padi yang kompleks, disebabkan oleh dua jenis virus yang secara taksonomis

berbeda satu dengan lainnya, yaitu virus batang tungro padi (rice tungro bacilliform virus, RTBV) dan virus bulat

tungro padi (rice tungro spherical virus, RTSV) (Hibino et al., 1991; Jones et al. 1991). Kedua virus ditularkan

secara semi persisten oleh beberapa spesies wereng hijau dan wereng daun lainnya (Ling, 1969; Hibino et al.,

1978).

RTBV berbentuk batang dan berukuran (150-350) x 35 nanometer (nm) (Hibino et al., 1978; Hibino et al.,

1991). Tiap partikel virus mempunyai asam deoksiribonukleat berutas ganda (double-stranded deoxyribonucleic

acid, ds-DNA) yang melingkar dan dengan besaran genom kurang lebih 8,5 kpb (kilopasangbasa). Karena cara

replikasinya dengan transkripsi terbalik, RTBV merupakan pararetrovirus. Pernah ditetapkan sebagai anggota

dari genus badnavirus (Hull, 1996), tetapi RTBV kini digolongkan dalam kelompok sementara “RTBV-like

group” di bawah famili Caulimoviridae (Mayo dan Pringle, 1998). Laporan hasil penelitian jaringan tanaman

padi yang terinfeksi virus-virus tungro dengan menggunakan elektron mikroskop (Sta Cruz et al., 1993)

menunjukkan bahwa partikel RTBV dapat ditemukan di dalam pembuluh tapis (floem) maupun dalam pembuluh

kayu (silem).

RTSV berbentuk bulat dengan garis tengah 30 nm (Hibino et al., 1991; Jones et al., 1991). Paket genetik virus

Search...

Hama dan Penyakit Padi

Penyakit Padi karena Jamur

Penyakit Padi karena Bakteri

Penyakit Padi karena Virus

Hama Padi

Highlight

Data Base Hama dan PenyakitPadi

Cara Penggunaan Bagan WarnaDaun

Plasma Nutfah Online

Perpustakaan Online

U P B S Online

Data Base Varietas Padi

Pemupukan Hara SpesifikasiLokasi Padi Sawah

Kalender Tanam Terpadu 2012

Statistik

Minggu ini 611

Bulan ini 16261

Pengunjung 939455

Online (20 menit terakhir) : 2

Waktu: 21-02-2013 09:11

Tingkatkan Hasil Riset Untuk Implementasi di Lapangan » MAKASAR – Kepala Badan Litbang Pertanian Dr Haryono mengatakan bahwa tahun

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

1 of 17 21/02/2013 10:16

Page 2: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

ini terdiri atas asam ribonukleat berutas tunggal (single-stranded ribonucleic acid, ss-RNA) yang mengandung

poly-A dan berukuran 12 kb (kilobasa). Menurut Mayo dan Pringle (1998), RTSV mempunyai genus Waikavirus

dan di bawah famili Sequiviridae; tatanamanya ialah rice tungro spherical waikavirus. Berdasarkan kesamaan

fiturnya dengan “animal picornavirus”, maka virus ini pun dikenal sebagai pikornavirus tanaman. Berbeda

dengan RTBV, partikel RTSV ditemukan terbatas di dalam pembuluh tapis (floem) saja (Sta Cruz et al., 1993).

RTBV dan RTSV tidak ditularkan melalui telur serangga vektornya, dan juga tidak dapat menular melalui biji,

tanah, air dan secara mekanis (misal pergesekan antara bagian tanaman yang sakit dengan yang sehat) (Ling,

1969). RTBV dan RTSV mempunyai beberapa vektor dari spesies wereng hijau Nephotettix cinticeps, N.

malayanus, N. nigropictus, N. virescens, dan N. parvus serta wereng loreng Recilia dorsalis; dibandingkan

dengan spesies lainnya N. virescens Distant merupakan vektor yang paling efisien (Ling, 1972). N. virescens

bertelur dalam kelompok hingga berjumlah 44 dan diletakkan di dalam jaringan pelepah daun tanaman padi

(Cheng dan Pathak, 1971). Daur hidup wereng hijau dari fase bertelur, menetas, menjadi nimfa (pradewasa)

dengan lima stadia, hingga dewasa membutuhkan waktu rata-rata 25 hari, sehingga mungkin ditemukan 11

generasi di daerah yang ditanami padi sepanjang tahun.

Nimfa N. virescens dilaporkan tidak menularkan virus-virus tungro setelah ganti kulit, tetapi kemampuannya itu

akan datang kembali setelah mencucuk dan mengisap cairan tanaman sakit (makan perolehan/akuisisi virus).

Waktu yang dibutuhkan serangga ini untuk menularkannya sangat singkat di mana waktu minimum untuk makan

akuisisi dan makan inokulasi (penularan virus pada tanaman sehat), masing-masing lima dan tujuh menit.

Walaupun dapat bertahan dalam tubuh vektor dua hingga enam hari (masa retensi), virus-virus tungro tidak

terbukti masuk dan mengikuti sirkulasi darah vektor; hubungan virus-vektor demikian disebut nonsirkulatif. Para

peneliti menganggap bahwa virus-virus yang tergolong nonpersisten atau semipersisten menghuni atau

menempel pada bagian alat mulut (cucuk) serangga vektor atau ”stylet-born” (Hibino, 1995). Hasil penelitian

terkini pada caulimovirus, anggota dari famili Caulimoviridae, menunjukkan bahwa antara protein virus P2 dan

reseptor dari sel vektor berinteraksi di bagian ujung dari cucuknya (Uzest et al., 2007). Lebih lanjut disebutkan

bahwa situs pengikatan protein itu sangat spesifik dan tidak ditemukan pada serangga nonvektor. Di masa

yang akan datang penelitian tentang hubungan virus-vektor ini diharapkan dapat membuka tabir ilmiah dan

memfasilitasi perakitan teknik pengendalian tungro yang lebih efektif.

Interaksi Virus-Vektor-Inang

Di dalam patosistem tungro, RTBV dan RTSV, N. virescens dan tanaman padi berinteraksi secara spesifik dan

unik (Hibino, 1995). Tanaman padi merupakan inang utama virus-virus tungro dan N. virescens. Varietas padi

yang rentan dapat terinfeksi ganda (RTBV + RTSV), tetapi pada varietas yang agak tahan ditemukan juga

tanaman yang terinfeksi tunggal, baik oleh RTBV ataupun RTSV. Hal ini menunjukkan bahwa replikasi kedua

virus tidak saling bergantung antara satu dengan lainnya. RTSV dapat ditularkan langsung oleh wereng hijau

dari tanaman yang terinfeksi tunggal (RTSV) atau dari yang terinfeksi ganda. Sedangkan penularan RTBV

dilaporkan mempunyai pola yang berbeda, karena ternyata RTBV tidak dapat langsung ditularkan oleh wereng

hijau dari tanaman yang terinfeksi RTBV saja. Setelah makan akuisisi pada tanaman terinfeksi RTSV atau pada

tanaman terinfeksi ganda, wereng hijau akan dapat menularkan RTBV. Dalam hal ini RTSV dianggap membantu

penularan oleh vektor untuk RTBV. Kekecualian dalam sistem penularan dapat dibaca di bawah subjudul teknik

agroinokulasi.

Di dalam tanaman yang terinfeksi tunggal (RTSV) maupun yang terinfeksi ganda telah diproduksi “helper

factor” atau “helper protein” yang mungkin disandi oleh suatu gen dalam genom RTSV, dan protein ini tidak

ditemukan pada tanaman yang terinfeksi RTBV saja (Hibino et al., 1978). Pengetahuan ini penting untuk

diketahui, karena dapat dijadikan sebagai dasar dalam merakit strategi pengendalian tungro, di antaranya

teknik eliminasi sumber inokulum RTSV. Pada prinsipnya RTSV membantu penyebaran tungro, sedangkan

RTBV berperan dalam menginduksi gejala tungro.

Teknik Agroinokulasi

Dasgupta et al. (1991) dan Sta. Cruz et al. (1999) melaporkan bahwa cara agroinokulasi dapat digunakan

dalam penularan RTBV secara independen. Caranya meliputi pengklonan genom RTBV, perekatan klon

tersebut ke dalam plasmid Ti yang diperoleh dari bakteri Agrobacterium tumifaciens strain C58 yang telah

dihapus fungsi onkogeniknya, pengintegrasian plasmid ke dalam genom A. tumifaciens dan perbanyakan

biakan bakteri murni yang mengandung genom RTBV yang dapat menular saja. Untuk melakukan agroinokulasi,

biakan infektif diperbanyak di dalam media cair (Luria Broth), setelah tumbuh sesuai yang dikehendaki biakan

diendapkan dan dilarutkan dalam air murni steril. Sediaan sudah siap disuntikkan (diinokulasikan) ke pangkal

batang tanaman padi muda. Tanaman uji akan menghasilkan gejala khas tungro dan dapat dideteksi dengan

cara serologi (ELISA) atau cara molekuler (PCR). Sebagai catatan penting, pascaproses agroinokulasi telah

terjadi suatu pembentukan partikel virus, dari bahan yang semula hanya nukleotida yang terintegrasi pada

plasmid. Secara teknis cara ini dapat digunakan untuk uji ketahanan varietas padi. Akan tetapi, selama ini

penularan dengan cara agroinokulasi pada beberapa varietas yang toleran belum menghasilkan varietas yang

terhindar dari infeksi RTBV atau semua varietas uji tergolong tidak tahan. Kontroversi ini mungkin perlu

dicermati, karena tujuan inokulasi ialah untuk memperoleh hasil infeksi RTBV yang setara dengan tingkat infeksi

alamiah. Selain itu cara agroinokulasi hanya dapat dilakukan dengan pengawasan ketat, yaitu dilakukan di

rumah kaca yang mempunyai fasilitas khusus (containment laboratory). Hal ini perlu ditekankan, karena bakteri

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

2 of 17 21/02/2013 10:16

Page 3: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

A. tumifaciens yang mengandung genom RTBV yang merupakan hasil rekayasa genetika dianggap sangat

berbahaya kalau sampai terlepas di alam bebas.

Gejala Penyakit Tungro

Tanaman padi yang terinfeksi virus-virus tungro umumnya tampak kerdil dan menunjukkan adanya diskolorasi

daun yang bergradasi dari kuning hingga jingga (Ou, 1972). Sebenarnya tingkat keparahan gejala penyakit ini

sangat bervariasi bergantung pada umur tanaman, varietas padi dan strain atau komposisi virus yang

menginfeksi. Makin rentan varietas padi dan makin muda umur tanaman terinfeksi, makin parah gejala yang

ditimbulkan, demikian pula sebaliknya. Interaksi kedua virus tungro dapat menyebabkan gejala penyakit yang

parah. Sebaliknya pada kasus infeksi tunggal gejala yang ditimbulkan sedang-sedang saja (oleh RTBV) atau

bahkan tidak jelas, karena tanaman tampak sehat, walaupun agak kerdil (oleh RTSV) (Hibino, 1983).

Lebih lanjut Rivera and Ou (1965) dan Ling (1969) menguraikan bahwa gejala penyakit tungro umumnya muncul

kurang lebih seminggu setelah inokulasi, dimulai dari adanya diskolorasi kekuningan pada ujung daun muda,

kemudian diikuti klorosis di antara vena daun. Tanaman yang sakit parah mempunyai anakan sedikit,

pertumbuhan akar terhambat, sangat kerdil, dan menghasilkan panikel yang kecil dengan bulir-bulir gabah

kosong. Gejala penyakit akan persisten pada varietas yang rentan, sedangkan pada varietas yang agak tahan

gejala tidak berkembang pada daun muda dan ada kecenderungan sehat kembali.

Serangan tungro di suatu hamparan sawah pada umumnya terlihat berkelompok, suatu indikasi bahwa waktu

infeksi berbeda-beda. Sebaran tanaman sakit yang mengelompok dapat menyebabkan hamparan tanaman

padi terlihat seperti bergelombang karena adanya perbedaan tinggi tanaman antara tanaman sehat dan sakit.

Pada varietas yang agak tahan, setelah petani memberikan tambahan pupuk nitrogen, pertanaman padi yang

semula sakit tampak seperti sembuh, menghijau kembali dan memberikan harapan untuk memperoleh hasil

panen, walaupun sebenarnya virus-virus tungro masih tetap ada dan berkembang di dalamnya. Yang sering

terjadi pada varietas yang rentan, pertanaman tampak merana sampai waktu panen atau sampai ada usaha

sanitasi untuk menghilangkan sumber penyakit. Pada kasus yang lain apabila pertanaman padi terhindar dari

infeksi sampai umur dua bulan, maka virus-virus tungro tidak akan mengakibatkan kerusakan tanaman dan

kehilangan hasil panen (Ling, 1972; Pathak, 1972).

Sejarah dan Penyebaran Penyakit

Penyakit mentek yang telah lama diketahui menyerang tanaman padi di Indonesia merupakan penyakit yang

sifat-sifatnya mendekati atau hampir sama dengan tungro (Ou, 1965). Outbreak yang terjadi pada tahun-tahun

1850-an dan beberapa kali kejadian serangan sebelum 1960-an (Van der Vecht, 1953) menunjukkan bahwa

penyakit ini telah lama berkoevolusi dengan tanaman inangnya. Hal ini didukung oleh data tentang virus tungro

dan tanaman inangnya. Virus-virus tungro memiliki banyak strain dan di Indonesia ditemukan lebih spesifik dan

jumlahnya agak lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat di negara-negara Asia Tenggara lainnya

(Azzam et al., 2000a dan 2000b). Di samping itu suatu laporan menyebutkan bahwa varietas-varietas padi

lokal tahan tungro berasal dari Indonesia, seperti Utri Merah, Utri Rajapan, dan Balimau Putih (Cabunagan and

Koganezawa, 1993). Daerah-daerah pusat kejadian penyakit dan pusat perkembangan spesies tanaman

biasanya merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya genetika (Leppik, 1970), misalnya sumber

ketahanan terhadap tungro. Selain itu, di Indonesia tungro dengan nama lain/daerah telah lebih dahulu populer

di daerah langganan (endemik) tungro, seperti penyakit habang (Kalimantan), cellapance (Sulawesi Selatan),

atau kebebeng (Bali). Penyebarannya mula-mula terbatas di daerah tertentu seperti di Sulawesi Selatan,

Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara. Pada tahun 1980, terjadi ledakan penyakit

tungro di Bali, selanjutnya meluas ke Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah.

Penyakit tungro juga terdapat di beberapa negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, Muangthai, dan Vietnam;

dan ditemukan juga di Cina, India, Bangladesh, Srilanka, dan Nepal. Sedangkan di Jepang terdapat penyakit

virus padi yang disebut penyakit "Waika" yang ditemukan tahun 1978 di daerah Kyushu, wilayah Jepang bagian

Selatan. Penyakit ini disebabkan oleh virus waika yang sekerabat dengan RTSV dan juga ditularkan oleh

wereng hijau (Saito, 1979).

Teknik Deteksi dan Diagnosis Penyakit

Di lapang/sawah, tanaman padi yang terinfeksi virus-virus tungro seringkali memperlihatkan gejala penyakit

tungro yang jelas. Berdasarkan pengetahuan ini, hasil pengamatan gejala penyakit dan juga ditambah dengan

data populasi vektor (wereng hijau) pada prinsipnya dapat digunakan untuk menetapkan (diagnosis) bahwa

suatu tanaman terserang virus-virus tungro. Mengingat unsur kemudahannya, metode ini banyak digunakan,

meskipun bersifat sementara. Untuk lebih menguatkan lagi dalam penetapan penyakit, biasanya dilakukan uji

penularan atau bioassay, baik dengan menggunakan wereng hijau yang diambil dari tempat kejadian serangan

maupun yang sengaja dipelihara untuk keperluan penularan. Beberapa kelemahan pada sistem ini, seperti jika

ditemukan adanya gejala penyakit yang tidak spesifik, karena ada penyebab lain (seperti penyakit kerdil

rumput strain 2 (Hibino, 1996) yang menghasilkan gejala seperti tungro, dan waktu (dua minggu) yang

dibutuhkan bioassay cukup lama.

Virus-virus tungro dapat juga dideteksi dengan teknik berbasis pada kelainan fisiologis penyakit tanaman

(yodium), serologi (lateks dan enzyme-linked immunosorbent assay, ELISA), molekuler (berbasis polymerase

chain reaction, PCR) dan mikroskop elektron (Bajet et al., 1985; Hibino, 1996; Muhsin, 1999a dan 1999b;

Takahashi et al., 1993). Deteksi dengan yodium adalah warna hitam untuk positif dan warna coklat muda untuk

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

3 of 17 21/02/2013 10:16

Page 4: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

negatif. Teknik ini termasuk sederhana dan kurang spesifik. Teknik serologi seperti uji lateks, parafilm mini

ELISA, RIPA, dan ELISA bekerja berdasarkan pada afinitas antibodi yang spesifik hanya mengikat virus-virus

tungro, sehingga hasil uji ini dapat membedakan tanaman yang terinfeksi RTSV dan RTBV. Teknik serologi

ELISA tergolong yang paling banyak digunakan untuk deteksi virus baik untuk skrining varietas, maupun untuk

studi epidemiologi, karena sensitif, relatif cepat (hitungan jam), mudah dilakukan, bahkan untuk contoh tanaman

dalam jumlah banyak. Tingkat sensitivitasnya cukup tinggi, yaitu dapat mendeteksi virus pada tingkat

pengenceran ekstrak daun sampai 1.000 kali. Selanjutnya tentang teknik PCR yang mempunyai cara kerja

mengamplifikasi beberapa saja potongan DNA/RNA target, kemudian mendeteksi produk PCR-nya dengan

mengelektroforesis pada gel agarose dan pengecatan etidium bromida. Dengan teknik ini konsentrasi virus

yang kecil sekalipun dapat dideteksi dan tingkat sensitivitasnya 1.000-10.000 kali lebih teliti dari hasil ELISA.

Mungkin PCR tergolong teknik yang peka dan mahal. Teknik lain yang sangat tergantung pada alat mikroskop

elektron, ialah metode “leaf dip” ataupun metode gabungan dengan serologi (ISEM) dapat memberikan

gambaran yang lebih jelas, karena kita dapat melihat langsung partikel virusnya.

Epidemiologi

Perkembangan penularan RTBV dan RTSV pada tanaman padi di lapang dilaporkan oleh Hasanuddin dkk.

(1999). Tanaman padi terinfeksi RTSV terdeteksi lebih awal dari RTBV. Tanaman sakit ini terdeteksi sejak

tanaman berumur dua minggu setelah tanam (MST). Tingkat infeksi pada saat awal hanya 10%, selanjutnya

meningkat terus sampai 80% saat tanaman umur 6 MST. Tanaman terinfeksi RTBV baru terdeteksi saat

tanaman umur 4 MST. Gejala visual infeksi tungro telah jelas terlihat pada saat kedua virus telah terdeteksi.

Perkembangan komposisi virus tersebut juga terjadi di Filipina seperti laporan Tiongco et al. (1988). Wereng

hijau yang dapat menularkan RTSV telah terdeteksi di pertanaman yang berumur 2 MST. Dengan demikian

diketahui sejak awal wereng hijau imigran yang membawa RTSV telah mampu membantu penyebaran RTBV.

Komposisi spesies wereng hijau di lapang dapat mempengaruhi intensitas serangan virus tungro. Pergeseran

dominasi spesies ke arah spesies yang efisien penularannya, wereng hijau N. virescens, maka potensi infeksi

tungro semakin tinggi (Hibino dan Cabunagan, 1986)

Virus tungro tidak memberikan pengaruh negatif kepada vektor. Apabila inokulum virus sudah ada di lapang,

keberadaan tungro dipengaruhi oleh fluktuasi vektor. Dengan demikian dinamika populasi vektor penting

dipahami untuk menyusun strategi pengendalian penyakit tungro.

Infeksi tungro dapat terjadi mulai di persemaian. Pada stadium ini tanaman sangat sensitif terhadap infeksi

virus. Apabila infeksi terjadi pada stadia awal pertumbuhan maka gejala tungro akan tampak pada tanaman

umur 2–3 MST. Tanaman muda yang terinfeksi merupakan sumber inokulum utama setelah padi ditanam di

lapang.

Selama satu periode pertumbuhan tanaman padi terjadi dua puncak tambah tanaman terinfeksi yaitu pada saat

4 dan 8 MST (Suzuki et al., 1992). Puncak infeksi pertama disebabkan oleh serangga imigran pada 2 MST,

sedangkan puncak infeksi kedua disebabkan infeksi yang terjadi saat 6 MST oleh keturunan serangga imigran.

Sumber inokulum penyakit tungro terdapat pada bibit dari ceceran gabah terinfeksi (voluntir), tanaman, ratun

serta mungkin rumput inang yang sakit. Tanaman inang tungro selain padi, yang sudah diketahui adalah: rumput

belulang (Eleusine indica), rumput bebek atau tuton (Echinochloa colonum), jajagoan (Echinochloa crusgali),

juhun randan (Ischaemum rugosum), tapak jalak atau rumput katelan (Dactyloctenium aegyptium), rumput

asinan (Paspalum distichum) dan padi liar. N. virescens hanya dapat berkembang dengan baik dan menjadi

penular yang efisien pada padi. N. nigropictus dapat berkembang pada padi maupun rerumputan, meskipun

berkembang dengan lebih baik pada rerumputan. N. nigropictus dapat menularkan virus dari rerumputan ke

tanaman padi.

Dinamika Populasi Vektor

Saat ini N. virescens mendominasi komposisi spesies wereng hijau di Pulau Jawa dan Bali. N. nigropictus

terutama pada musim hujan kadang-kadang mendominasi komposisi spesies wereng hijau di Kalimantan

Selatan. Di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan ada kecenderungan pergeseran dominasi N. virescens ke

N. nigropictus. Dalam satu musim tanam, N. virescens umumnya melewati tiga generasi.

Pada pola I peningkatan kepadatan populasi terjadi terus menerus dari G0 sampai G2, pola II dicirikan oleh

peningkatan kepadatan populasi hanya sekali dari G0 ke G1, sedangkan pada pola III dari sejak G0

kepadatan populasi tidak meningkat sama sekali. Pada pola tanam padi-padi-padi pertumbuhan kepadatan

populasi sebagian besar (45%) mengikuti pola II, sedangkan pada pola tanam padi-bera-padi/padi-

palawija-padi sebagian besar (54,4%) mengikuti pola III. Dengan demikian pada pola padi-padi-padi pada

sebagian besar kasus populasi wereng hijau dapat berkembang sampai pertengahan pertumbuhan tanaman,

sedangkan pada pola tanam padi-bera-padi/padi-palawija-padi dari sebagian besar kasus populasi wereng

hijau tidak berkembang sama sekali.

Hasil analisis Widiarta dkk. (1999a) dengan menggunakan analisis faktor kunci (key-factor analysis) (Podoler

and Rogers, 1975) diketahui bahwa kematian pada periode nimfa termasuk pemencaran imago menjadi faktor

kematian kunci untuk populasi wereng hijau pada pola padi-padi-padi maupun padi-padi-bera/palawija. Analisis

menggunakan analisis tanggap bilangan (numerical respond analysis) diketahui, pada pola tanam

padi-padi-padi tidak ditemukan adanya tanggap bilangan antara kematian nimfa dengan kepadatan populasi

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

4 of 17 21/02/2013 10:16

Page 5: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

pemangsa, tetapi tanggap bilangan ditemukan pada pola tanam padi-padi-bera/palawija. Hal tersebut

menunjukkan adanya perbedaan faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi wereng hijau antara kedua

pola tanam tersebut. Pemencaran imago (dispersal) berperan pada pola padi-padi-padi terutama yang tidak

serempak tanam, sedangkan pada pola padi-padi-bera/palawija faktor penyebab kematian (mortality)

berperan penting.

Implikasi dari pemahaman tersebut terhadap strategi pengendalian tungro adalah pada daerah pola tanam

padi-padi-padi, dapat dilakukan dengan mengurangi kemampuan pemerolehan dan penularan virus oleh wereng

hijau sebagai komponen utama pengendalian. Sedangkan pola tanam padi-padi-palawija/bera peran faktor

penyebab kematian wereng hijau seperti predator, parasit serta patogen khususnya jenis jamur (jamur

entomopatogen) penting dan perlu ditingkatkan perannya guna menekan kepadatan populasi wereng hijau

sebagai penyebar penyakit tungro.

Pengembangan Komponen Pengendalian

Pengendalian penyakit tungro dilakukan dengan mengintegrasikan komponen-komponen pengendalian dalam

satu sistem yang dikenal dengan konsep pengendalian penyakit secara terpadu. Usaha tersebut meliputi cara

bercocok tanam, penanaman varietas tahan, menghilangkan atau mengurangi sumber virus (eradikasi), dan

penggunaan pestisida (Pathak, 1972; Sama et al., 1982; Singh, 1969; Shukla dan Anjaneyulu, 1981). Di

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, usaha pengendalian penyakit virus tungro dilakukan dengan mengatur

waktu tanam yang tepat untuk penanaman musim hujan dan musim kering, mengadakan pergiliran varietas

yang memiliki gen tahan wereng dan menggunakan insektisida (Mochida et al., 1975).

a. Tanam Serempak

Tanam serempak dapat memperpendek waktu keberadaan sumber inokulum atau waktu perkembangbiakan.

Tanam serempak mengurangi sumber tanaman sakit dan membatasi waktu berkembang biak vektor penular

patogen. Untuk mengurangi serangan penyakit tungro, tanaman serempak dianjurkan minimal luasan 20 ha

berdasarkan gradasi penyebaran penyakit (disease gradient) dari satu sumber inokulum (Widiarta dkk.,

1997).

b. Waktu Tanam Tepat

Tanam pada saat yang tepat dimaksudkan untuk membuat tanaman terhindar dari serangan pada saat

tanaman peka. Waktu tanam tepat digunakan untuk mengendalikan penyakit tungro (Sama et al., 1982 dan

1991). Tanaman padi diketahui peka terhadap infeksi virus tungro saat tanaman berumur kurang dari satu bulan

setelah tanam. Dengan mengamati pola fluktuasi populasi wereng hijau dan intensitas serangan tungro

sepanjang tahun, akan diketahui saat-saat ancaman paling serius oleh penyakit tungro. Waktu tanam diatur

sehingga pada saat ancaman tungro serius, tanaman sudah berumur lebih dari 1 bulan setelah tanam. Waktu

tanam tepat hanya efektif mengendalikan penyakit tungro di daerah dengan pola tanam serempak. Waktu

tanam serempak berhasil mengendalikan luas serangan tungro di Sulawesi Selatan, namun sulit untuk

diterapkan pada daerah yang tanam padinya tidak serempak seperti di Bali. Waktu tanam yang tepat dapat

menghindarkan tanaman dari serangan wereng maupun infeksi virus tungro (Sama et al., 1982; Yulianto dan

Hasanuddin, 1997). Di Maros, penanaman padi pada awal musim hujan (Desember–Januari) atau musim

kemarau (Juni–Juli) dapat terhindar dari serangan wereng dan tungro yang serius (Sama et al., 1982).

c. Varietas Tahan

Secara garis besar ketahanan terhadap tungro dapat diklasifikasikan sebagai varietas tahan terhadap vektor,

tahan terhadap RTSV dan RTBV (Imbe, 1991; Tabel 1). Varietas tahan tungro dapat dirakit secara

konvensional, konvensional plus marka molekuler, dan teknologi transgenik. Hasil perbaikan varietas tahan

tungro pada awalnya diketahui hanya tahan terhadap vektornya, tetapi setelah metode ELISA diterapkan, yaitu

suatu teknik yang dapat membedakan tanaman terinfeksi RTSV dan RTBV, perakitan varietas ini dapat lebih

mudah dilakukan. Varietas tahan tungro yang sampai saat ini dilepas ke petani merupakan hasil pemuliaan

dengan teknologi tersebut. Dengan majunya bidang biologi molekuler, maka penetapan ketahanan terhadap

RTSV yang selama ini menggunakan metode inokulasi, dapat dilakukan dengan menggunakan marka

molekuler. Beberapa marka mikrosatelit, seperti RM 10, RM 70, RM 170, RM 190, RM 336, merupakan

kandidat marka yang dapat digunakan untuk pemuliaan berbantuan marka.

Teknologi transgenik, yaitu dengan mengintroduksi gen asing ke dalam tanaman padi. Di laboratorium Dr. R.

Beachy (Amerika Serikat) gen asing seperti yang menyandi selubung protein dan yang menyandi replikase dari

RTSV telah digunakan untuk merakit galur-galur padi tahan RTSV. Dalam uji ketahanan di laboratorium,

galur-galur tersebut dilaporkan tahan terhadap RTSV (Huet et al., 1999; Sivamani et al., 1999). Sedangkan

galur padi transgenik yang dirakit dengan tujuan tahan RTBV, ternyata pada uji penularan belum menunjukkan

ketahanan yang diinginkan (Azzam et al., 1999). Hal ini berkaitan dengan adanya kendala yang belum

sepenuhnya dapat dijelaskan. Dengan teknologi transgenik pula para peneliti di India telah memanfaatkan gen

yang menyandi zat toksik terhadap serangga hemiptera, yaitu lektin sebagai transgen untuk memperoleh

tanaman padi tahan tungro (Saha et al., 2006). Penelitian ini menghasilkan galur padi transgenik tidak saja

tahan vektor tungro, juga mempunyai sifat yang dapat mereduksi titer virus RTBV dan RTSV; akan tetapi belum

ada laporan yang mengonfirmasi lebih lanjut tentang keberhasilan penanaman varietas padi dari jenis ini.

Varietas padi yang tahan wereng hijau dikelompokkan berdasarkan sumber gen-tetua tahannya menjadi T1,

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

5 of 17 21/02/2013 10:16

Page 6: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

T2, T3, dan T4 (Sama et al., 1982 dan 1991) (Tabel 2). Anjuran penggunaan varietas tahan wereng hijau

sebagai berikut: di Jawa Barat dapat ditanam varietas tahan golongan T1, T2, dan T4; di Jawa Tengah semua

golongan varietas tahan; di Yogyakarta varietas tahan dari golongan T2 dan T4; di Jawa Timur dan Bali hanya

dianjurkan varietas tahan golongan T4; dan di NTB dianjurkan untuk menanam varietas tahan virus.

Sumber Ketahanan Terhadap Virus-virus Tungro.

Sumber KetahananReaksi Terhadap Gen Tahan

RTSV pada NILRTSV RTBV N. virescens

ARC 115554 R T R 1 dominan

Balimau Putih S T S

Utri Merah (16680) R T S 1 resesif

Utri Merah (16682) R T S 1 resesif

Habiganj DW8 R T S 1 resesif

Utri Rajapan R T S 1 resesif

Oryza rufipogon R T R 1 resesif

O. longistaminata R T R 1 resesif

O. officinalis ? T R 1 resesif

R = tahan; S = rentan; T = toleran.

Sumber: Choi, 2004

Varietas Tahan Wereng Hijau untuk Mengendalikan Penyakit Tungro

Golongan Varietas Gen tahan

T0 IR5, Pelita, Atomita, Cisadane, Cikapundung, Lusi -

T1 IR20, IR30, IR26, IR46, Citarum, Serayu Glh1

T2 IR32, IR38, IR36, IR47, Semeru, Asahan, Ciliwung, Krueng

Aceh, Bengawan Solo

Glh 6

T3 IR50, IR48, IR54, IR52, IR64 Glh 5

T4 IR66, IR70, IR72, IR68, Barumun, Klara. Glh 4

Lima varietas padi tahan tungro yang telah dilepas: Tukad Petanu, Tukad Unda, Tukad Balian, Kalimas, dan

Bondoyudo (Widiarta dan Daradjat, 2000) dengan kesesuaian seperti pada Tabel 3. Tukad Petanu dapat

dianjurkan untuk seluruh daerah endemis, sedangkan varietas Tukad Unda dianjurkan untuk ditanam di NTB dan

di Sulawesi Selatan. Varietas Tukad Balian, dianjurkan untuk ditanam di Bali dan di Sulawesi Selatan. Kalimas

dan Bondoyudo diketahui tahan di Jawa Timur. Selain di Jawa Timur Bondoyudo dapat ditanam di Bali dan

Sulawesi Selatan.

Pewilayahan Kesesuaian Varietas Tahan Virus Tungro

VarietasKesesuaian di

Jabar Jateng Jatim Bali NTB Sulsel

Tukad Petanu + + + + + +

Tukad Unda - - - - + +

Tukad Balian - - + + - +

Bondoyudo - - + + - +

Kalimas - - + - - -

+ = sesuai (tungro < 50%) ; - = tidak (tungro > 50%)

Sanitasi, gulma, ratun, dan ceceran gabah saat panen yang tumbuh (voluntir) dapat menjadi inang serangga

maupun patogen pada saat tanaman padi tidak ada di pertanaman. Wereng coklat hanya dapat berkembang

dengan baik pada tanaman padi, ratun dan voluntir. Wereng hijau spesies N. virescens yang paling efisien

sebagai vektor tungro juga hanya dapat melengkapi daur hidupnya dengan baik pada tanaman padi.

Sedangkan wereng hijau spesies lainnya seperti N. nigropictus dan N. malayanus berkembang baik pada

gulma. Virus tungro di samping dapat menginfeksi padi, juga bisa ditularkan oleh wereng hijau kepada gulma

(Yulianto dan Hasanuddin, 1997). Keberadaan gulma dan ketiga spesies wereng hijau tersebut menyebabkan

penyakit tungro endemis di lokasi tersebut. Pada saat tidak ada tanaman padi, ratun atau voluntir, virus tungro

bertahan pada gulma. Wereng N. nigropictus dan N. malayanus menularkan virus pada gulma dan pada saat

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

6 of 17 21/02/2013 10:16

Page 7: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

mulai ada tanaman padi menularkannya ke tanaman padi. Virus pada tanaman padi disebarkan kembali oleh N.

virescens sehingga penyakit tungro dapat bertahan terus. Menghilangkan gulma, ratun dan voluntir akan

mengurangi sumber inokulum pada awal pertumbuhan tanaman. Disarankan petani membuat persemaian

setelah lahan dibersihkan atau tanam padi dengan cara tabur benih langsung (tabela). Pada cara tanam padi

dengan tabela, lahan dibersihkan dan diratakan terlebih dahulu sebelum benih ditabur. Dengan demikan

inokulum tungro khususnya telah berkurang pada awal pertumbuhan tanaman. Tabela akan lebih efektif

mengurangi serangan tungro bila dilakukan serempak minimal 20 ha. Tabela yang dilakukan tidak serentak

sehamparan akan menjadikan tanaman padi yang ditanam paling lambat mendapat akumulasi vektor maupun

inokulum tungro. Di beberapa daerah di Sulawesi Selatan telah mempraktekkan tabela, namun karena waktu

tabur yang tidak bersamaan, serangan tungro tetap meluas.

d. Tanam Jajar Legowo

Tanam jajar legowo menyebabkan kondisi iklim mikro di bawah kanopi tanaman kurang mendukung

perkembangan patogen. Pada tanaman padi dengan sebaran ruang legowo, wereng hijau kurang aktif

berpindah antar rumpun, sehingga penyebaran tungro terbatas (Widiarta dkk., 2003). Tikus lebih senang

memakan tanaman yang berada di tengah petakan. Pada padi yang ditanam jajar legowo, tikus kurang betah

untuk memakan tanaman. Begitu juga serangan penyakit hawar daun bakteri berkurang.

Pengairan

Pengeringan sawah dapat meningkatkan kematian nimfa wereng coklat. Akan tetapi bila tanaman padi

terserang penyakit tungro, pengeringan sawah akan mendorong wereng hijau untuk berpindah tempat.

Pengeringan sawah yang terkena tungro akan mempercepat penyebaran penyakit.

Patogen

Patogen menginfeksi serangga (entomopathogent) sehingga menyebabkan kematian pada serangga. Patogen

serangga ada tiga jenis yaitu jamur, bakteri dan virus. Patogen dari jenis jamur yang telah dikembangkan untuk

mengendalikan wereng coklat, wereng hijau serta lembing batu adalah Metarhizium dan Bauveria. Jamur

entomopatogen menekan penyakit tungro dengan triple actions melalui menekan kemampuan pemencaran

wereng, secara langsung dapat mematikan, dan secara tidak langsung dengan pengurangan keperidian

betina.

e. Pestisida

Penyemprotan pestisida dapat menekan populasi wereng hijau yang berarti akan mengurangi kecepatan

penyebaran virus. Pestisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan wereng hijau ada yang dari jenis

nabati dan anorganik. Bahan kimia yang dapat membunuh serangga yang diperoleh dari ekstrak tanaman

seperti tembakau, akar tuba merupakan bahan yang sudah dikenal sejak lama sebagai pembunuh serangga.

Tanaman yang digunakan untuk mengendalikan wereng hijau (insektisida nabati) misalnya nimba, sambilata

(Mariappan dan Saxena, 1983; Widiarta dkk., 1997).

Penggunaan insektisida anorganik sebaiknya berdasarkan pengamatan. Deteksi ancaman penyakit tungro

dapat dilakukan pada waktu persemaian dan saat tanaman berumur tiga minggu setelah tanam. Pemantauan

wereng hijau di persemaian dilakukan dengan jaring serangga sebanyak 10 ayunan untuk mengevaluasi

kerapatan populasi wereng hijau. Di samping itu juga perlu dilakukan uji yodium untuk mengetahui intensitas

tungro pada 20 daun padi 15 hari setelah sebar. Jika hasil perkalian antara jumlah wereng hijau dan persentase

daun terinfeksi sama atau lebih dari 75, maka pertanaman terancam tungro. Di pertanaman aplikasi insektisida

dilakukan apabila terdapat lima gejala penularan tungro dari 10.000 rumpun tanaman saat berumur 2 MST atau

satu gejala tungro dari 1.000 rumpun tanaman saat berumur 3 MST. Insektitida yang dapat digunakan antara

lain adalah imidacloprid, tiametoksan etofenproks, dan karbofuran.

EKOLOGI TIKUS SAWAH DAN TEKNOLOGI PENGENDALIANNYATikus sawah (Rattus argentiventer Rob dan Kloss) merupakan hama utama tanaman padi dari golongan mamalia (binatang menyusui), yang

mempunyai sifat-sifat yang sangat berbeda dibandingkan jenis hama utama padi lainnya. Oleh karena itu dalam pengendalian hama tikus ini,

diperlukan pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan cara penanganan hama padi dari kelompok serangga.

Tikus sawah dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman padi mulai dari saat pesemaian padi hingga padi siap dipanen, dan bahkan menyerang

padi di dalam gudang penyimpanan. Kerusakan akibat tikus sawah di negara-negara Asia mencapai 10–15% setiap tahun (Singleton, 2003), dan di

Indonesia luas serangan tikus sawah setiap tahun rata-rata mencapai lebih dari 100.000 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2003).

Kerugian akibat hama tikus dapat jauh lebih tinggi lagi karena kerusakan pada periode pesemaian dan stadium padi vegetatif tidak termasuk kerugian

yang dilaporkan.

Distribusi keberadaan tikus sawah sangat luas, karena dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai agroekosistem, baik lahan sawah irigasi, lahan

sawah tadah hujan/lahan kering, maupun lahan sawah rawa pasang surut. Namun demikian keberadaan tikus sawah lebih dominan sebagai hama

utama padi di lahan sawah irigasi. Tikus sawah tergolong binatang pemakan dari berbagai jenis tumbuhan dan hewan (omnivora), sehingga juga

berperan sebagai hama pada tanaman hortikultura, perkebunan dan hama gudang. Tikus sawah juga diketahui sebagai vektor penyebab penyakit

berbahaya pada manusia dan binatang ternak (Begon, 2003).

Pengendalian hama tikus pada tanaman padi sampai saat ini keberhasilannya masih belum konsisten, dan belum semua petani di berbagai propinsi di

Indonesia memahami cara pengendalian tikus yang benar. Beberapa faktor penyebab kurang berhasilnya pengendalian tikus oleh petani antara lain: (1)

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

7 of 17 21/02/2013 10:16

Page 8: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

monitoring terhadap keberadaan hama tikus oleh petani masih kurang, sehingga sering terjadi keterlambatan dalam mengantisipasi pengendalian, (2).

pemahaman petani terhadap berbagai aspek sifat-sifat biologis hama tikus dan teknologi pengendaliannya masih lemah, (3) kegiatan pengendalian

belum terorganisir dengan baik (masih sendiri-sendiri), dan tidak berkelanjutan, (4) ketersediaan sarana pengendalian masih terbatas dan (5) masih

banyak petani yang mempunyai persepsi “mistis” terhadap tikus yang dapat menghambat pelaksanaan pengendalian.

Berdasarkan hasil penelitian yang komprehensif oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, telah direkomendasikan alternatif-alternatif

pendekatan pengendalian tikus sawah yang telah terbukti efektif yaitu pengendalian hama tikus terpadu (PHTT) (Sudarmaji, 2006).

Pengendalian Hama Tikus Terpadu (PHTT) adalah pengendalian tikus yang didasarkan pada pemahaman ekologi tikus, dilakukan secara

dini, intensif dan berkelanjutan dengan memanfaatkan teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan pengendalian

dilakukan oleh petani secara bersama-sama (berkelompok) dan terkoordinasi dengan cakupan sasaran pengendalian berskala luas

(hamparan atau desa).

Pengendalian tikus pada dasarnya adalah upaya menekan tingkat populasi tikus menjadi serendah mungkin melalui berbagai metode dan teknologi

pengendalian, sehingga secara ekonomi keberadaan tikus di lahan pertanian tidak merugikan secara nyata. Menjaga populasi tikus sawah agar selalu

berada pada tingkat populasi yang rendah adalah penting. Oleh karena itu, perlu diupayakan langkah-langkah dan strategi pengendalian tikus sawah

dengan pendekatan PHTT. Berbagai komponen teknologi untuk pengendalian tikus sawah yang telah ada sampai saat ini sebenarnya cukup efektif

apabila penerapannya telah sesuai dengan rekomendasinya. Ketepatan waktu pelaksanaan pengendalian, habitat sasaran pengendalian, dan

pemilihan jenis teknologi yang dipakai, akan menentukan keberhasilan usaha pengendalian tikus sawah.

1. . Kerusakan oleh Tikus Sawah pada Tanaman Padi

Tikus sawah merupakan hama padi yang menimbulkan kerusakan dan kerugian besar pada tanaman padi di negara-negara Asia pada umumnya,

termasuk Indonesia. Berdasarkan laporan Singleton (2003), kehilangan hasil padi akibat tikus sawah di 11 negara Asia (Banglades, Kamboja, Cina,

India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Philippina, Thailand dan Vietnam) diperkirakan mencapai 5–10%. Apabila dihitung kerugian sebesar 5%

saja, nilainya setara dengan 30 juta ton beras dan cukup untuk memberi makan 180 juta orang selama 12 bulan.

Tingkat kerusakan oleh tikus sawah pada tanaman padi di Indonesia, bervariasi dari kerusakan ringan sampai terjadi puso atau gagal panen. Rata-rata

intensitas serangan tikus setiap tahun pada tanaman padi di Indonesia selama sepuluh tahun (1989–1998) mencapai 19,3%, dengan luas serangan

90.837 ha. Sedangkan pada kurun waktu tahun 1998–2002 tercatat luas serangan mencapai 165.381 ha dan 7.699 ha diantaranya puso (Direktorat

Perlindungan Tanaman Pangan, 2003). Kerusakan akibat hama tikus pada tanaman padi tersebut, selalu merupakan kerusakan terbesar dibanding

dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh hama utama padi lain, seperti wereng cokelat dan penggerek batang padi. Rata rata tingkat kerusakan oleh

tikus sawah pada tanaman padi selama kurun waktu 1977–2005 diseluruh Indonesia disajikan pada Gambar 1.

Distribusi kerusakan oleh tikus sawah pada tanaman padi, terjadi di seluruh propinsi di Indonesia, dengan intensitas dan luas serangan bervariasi.

Sebagai contoh pada tahun 2002 serangan tikus paling berat terjadi di Jawa Barat yaitu lebih dari 20.000 ha, disusul Jawa Tengah dan Sulawesi

Selatan masing-masing antara 10.000–20.000 ha, Jawa Timur, Lampung dan Sulawesi Tenggara masing-masing antara 5.000–10.000 ha, serta

propinsi lainnya masing-masing kurang dari 5.000 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2003).

Tikus sawah juga menyebabkan kerusakan pada berbagai komoditas pertanian lain baik pada tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman

perkebunan, serta, tidak hanya di lahan sawah irigasi, tetapi juga di daerah lahan kering dan lahan rawa pasang surut. Oleh sebab itu, jenis tikus

sawah ini dikenal sebagai hama lintas agroekosistem dan komoditas pertanian.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah pada tanaman padi terjadi mulai dari pesemaian hingga padi menjelang panen. Rochman (1992),

mencatat pada pesemaian padi berumur dua hari, satu ekor tikus mampu merusak rata-rata 283 bibit padi dalam satu malam. Pada stadium padi

anakan (vegetatif) merusak anakan padi rata-rata 79 batang, dan pada stadium padi bunting 103 batang, serta pada stadium padi bermalai 12 batang

per malam. Tikus sawah diketahui lebih suka menyerang tanaman padi yang sedang bunting, sehingga pada umumnya padi stadium bunting

akan mengalami kerusakan yang paling tinggi. Berdasarkan pengamatan dari malai padi yang dipotong, ternyata hanya beberapa malai saja yang

dimakan (Rochman dan Toto, 1976). Kebutuhan pakan tikus setiap hari hanya seberat kurang lebih 10% dari bobot tubuhnya, sedangkan daya

rusaknya terhadap malai padi lima kali lebih besar dari bobot malai padi yang dikonsumsi.

Hasil penelitian Sudarmaji (2004), menunjukkan bahwa intensitas kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah di lapangan terbuka dan di

dalam sawah berpagar (enclosure), menunjukkan intensitas kerusakan yang berbeda diantara stadium padi. Intensitas kerusakan tertinggi terjadi pada

stadium padi bunting, baik di lapangan terbuka maupun di dalam sawah berpagar (Tabel 1).

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

8 of 17 21/02/2013 10:16

Page 9: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

Tingginya kerusakan yang terjadi pada stadium padi bunting, berkaitan erat dengan adanya preferensi tikus terhadap pakan padi bunting. Telah

dibuktikan bahwa tanaman padi stadium bunting merupakan pakan yang paling disukai tikus sawah dibandingkan dengan jenis pakan yang ada di

habitat hidupnya yaitu di ekosistem sawah irigasi (Tristiani et al., 1992; Rahmini dan Sudarmaji, 1997). Ketertarikan tikus sawah terhadap padi

bunting, telah digunakan sebagai dasar pengendalian tikus dengan konsep Trap Barrier System (TBS) sebagai tanaman perangkap di ekosistem

sawah irigasi (Singleton et al., 1997; Sudarmaji dan Anggara, 2006; Sudarmaji et al., 2007). Dilaporkan juga oleh Sudarmaji (2004), bahwa kerusakan

yang disebabkan oleh enam pasang ekor tikus dan keturunannya selama satu musim tanam padi mencapai 37,02%, yang nilainya setara dengan

kehilangan gabah tiga ton atau 4,5 juta rupiah dalam satu ha sawah. Perhitungan tersebut dengan asumsi bahwa hasil panen mencapai 8 ton/ha

gabah kering panen dengan harga jual Rp1.500,- /kg.

Tabel 1. Intensitas kerusakan tanaman padi oleh tikus sawah di lapangan terbuka dan di dalam sawah berpagar (enclosure)

Stadium padiRata-rata intensitas kerusakan tanaman padi (%)

di sawah berpagar

(1 musim tanam)

di sawah terbuka

(7 musim tanam)

Bertunas maksimum 6,60±0,68 a 2,18±0,39 a

Bunting 20,85±2,12 b 5,33±1,14 b

Matang panen 9,57±2,11 a 1,12±0,17 a

Kumulatif 37,02±4,91 8,63±1,70

2. Ekologi Tikus Sawah

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi

Tikus termasuk golongan binatang mengerat atau Rodensia yang merupakan kelompok terbesar dari kelas binatang Mamalia, karena memiliki jumlah

spesies terbesar (2.000 spesies) atau 40% dari 5.000 spesies binatang yang termasuk kelas Mamalia (Aplin et al., 2003). Di Indonesia kurang lebih

terdapat 164 spesies tikus dan lebih dari 25 spesies tikus diantaranya menyebabkan kerusakan pada berbagai jenis tanaman, dan hanya 13 spesies

tikus yang merupakan hama di daerah pertanian. (Aplin et al., 2003). Menurut Sudarmaji et al. (2005), spesies tikus yang termasuk jenis hama di

daerah pertanian di Indonesia berasal dari Genus Bandicota, Rattus dan Mus. Diantara spesies tikus yang termasuk hama, tikus sawah (Rattus

argentiventer, Rob and Kloss) merupakan hama utama padi dan juga berperan sebagai vektor penyebab penyakit pada manusia dan hewan ternak. Di

daerah ekosistem sawah irigasi di Karawang Jawa Barat, Sudarmaji et al,. (2005) mendapatkan tiga spesies tikus yaitu tikus sawah (Rattus

argentiventer), tikus rumah (Rattus rattus diardii) dan tikus wirok (Bandicota indica). Pada daerah tersebut spesies tikus sawah lebih dominan

dibanding spesies lainnya yang mencapai 98,6%.

Pada tahun 1916, Robinson dan Kloss memberi nama pertama kali Taxon argentiventer berdasarkan seekor tikus dewasa yang ditemukan di Pasir

Ganting daerah pantai Sumatra Barat. Selama kurun waktu 1916–1945, telah tujuh nama diajukan dalam literatur mammalogi untuk spesies yang

sekarang dikenal sebagai Rattus argentiventer, yaitu: argentiventer untuk tikus yang berasal dari Sumatra; brevicaudatus yang berasal dari Jawa; bali

yang berasal dari pulau Bali; pesticulus untuk tikus yang berasal dari Sulawesi; saturnus untuk yang berasal dari Sumba; chaseni yang berasal dari

Malaya; dan umbriventer yang berasal dari Mindoro Philippina (Musser, 1973).

Kedudukan tikus sawah dalam klasifikasi binatang menurut Murakami et al. (1992) adalah sebagai berikut :

Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Rodentia

Famili

: Muridae

Genus

: Rattus

Spesies

: Rattus argentiventer (Rob & Kloss) atau tikus sawah.

2.2 Perkembangbiakan

Perkembangbiakan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan laju peningkatan populasi tikus sawah. Perkembangbiakan tikus erat

kaitannya dengan kualitas dan kuantitas pakan yang tersedia. Tikus bersifat omnivora, meskipun demikian tanaman padi merupakan sumber utama

pakan tikus yang paling disukainya (Rahmini dan Sudarmaji, 1997). Hasil penelitian Rochman dan Sudarmaji (1997), menunjukkan bahwa tanaman

padi bunting apabila dikonsumsi oleh tikus sawah, akan berpengaruh positif terhadap perkembangbiakannya. Pada periode tersebut terjadi awal

proses reproduksi tikus. Generasi yang dihasilkan pada waktu padi stadium bunting merupakan pemicu dari penggandaan populasi dan berlanjut

hingga padi bermalai dan masa panen. Rochman dkk. (1982), memaparkan bahwa di daerah dengan pola tanam padi 2 kali dalam 1 tahun akan

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

9 of 17 21/02/2013 10:16

Page 10: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

terdapat 2 kali periode perkembang-biakan tikus sawah. Di daerah dengan pola tanam padi tidak serempak memperlihatkan pola perkembangbiakan

tikus yang tidak teratur. Tikus sawah akan berkembangbiak aktif sepanjang tahun apabila selalu tersedia tanaman padi yang sedang menguning atau

pada stadium generatif padi.

Pada umumnya jenis binatang pengerat dan seperti halnya tikus sawah, mempunyai potensi perkembangbiakan cepat sehingga populasinya akan

berkembang dengan cepat pula. Tikus betina bunting selama 21 hari dan menyusui anaknya selama 21 hari. Tikus mampu bunting dan menyusui

dalam waktu bersamaan dan tikus tersebut kawin lagi dalam waktu 48 jam setelah melahirkan (Meehan, 1984). Pada kondisi lingkungan yang baik, di

dalam satu sarang dapat dihuni induk betina yang sedang bunting bersama dua generasi anak-anaknya (Sudarmaji dkk., 2007). Tikus sawah dapat

berkembangbiak apabila telah mencapai kematangan seksual. Kematangan seksual tikus betina relatif lebih cepat yaitu pada umur 28 hari, yang

ditandai dengan membukanya vagina (estrus) dan kebuntingan dapat terjadi pada umur 40 hari. Kematangan seksual tikus jantan lebih lambat yaitu

setelah berumur 60 hari. Sudarmaji dan Rahmini (1997), mendapatkan tikus betina bunting berumur 45 hari dan tidak mendapatkan tikus betina

bunting dari sampel tikus yang diambil dari lapangan yang berumur lebih dari 12 bulan.

Jumlah embrio yang dihasilkan oleh induk tikus betina bervariasi pada setiap periode kebuntingan. Terdapat kecenderungan menurunnya jumlah

embrio setelah periode kebuntingan pertama. Jumlah embrio tertinggi dihasilkan oleh induk betina yang bunting pada periode stadium awal padi

bunting sampai pengisian malai (bunting pertama) dengan rata-rata jumlah embrio 12,83±0,8 embrio, pada kebuntingan kedua (padi matang)

11,49±1,1 embrio, dan pada kebuntingan ketiga (panen/bera awal) 7,80±1,0 embrio (Sudarmaji dkk., 2007).

Tersedianya pakan padi yang cukup dengan kualitas baik, pada saat padi bunting dan awal pengisian malai, merupakan faktor yang diduga kuat

berpengaruh terhadap jumlah embrio yang dihasilkan oleh induk betina. Selain itu, diketahui bahwa tikus-tikus muda yang melahirkan pertama kali akan

menghasilkan embrio lebih banyak dibandingkan tikus betina yang berumur lebih tua (Sudarmaji, 2004). Penurunan jumlah embrio juga disebabkan

oleh terbatasnya pakan yang berkualitas khususnya pada periode bera, dan tikus betina cenderung merespon dengan mengurangi jumlah anaknya

menjadi lebih sedikit agar dapat bertahan hidup setelah dilahirkan. Tikus betina bunting dapat mengabsorbsi sebagian embrio yang dikandungnya

apabila kondisi lingkungan kurang menguntungkan. Berdasarkan hasil penelitian dengan pengambilan sampel penggalian sarang tikus, diketahui

bahwa dari total 77 ekor induk betina yang melahirkan anak, didapatkan anak-anak tikus sebanyak 785 ekor. Jumlah anak yang dilahirkan bervariasi

dari 4 ekor sampai 16 ekor per induk betina, dengan rata-rata 10,14± 4,5 ekor anak setiap melahirkan (Sudarmaji dkk., 2007).

Frekuensi tikus betina dalam melahirkan anak, dapat diidentifikasi berdasarkan jumlah set plasenta scars. Plasenta scars merupakan bekas luka

tempat menempelnya embrio pada uterus tikus betina yang tampak berupa bintik merah, hitam sampai kecokelatan. Berdasarkan hasil otopsi

terhadap 164 ekor tikus betina dewasa yang pernah melahirkan diketahui bahwa proporsi populasi tikus betina di lapangan dengan satu set plasenta

scar atau melahirkan satu kali mencapai 54,27%, dua kali melahirkan 34,76%, tiga kali melahirkan 10,36% dan empat kali melahirkan 0,60%

(Sudarmaji dkk., 2007). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa tikus sawah selama hidupnya mempunyai potensi melahirkan anak sampai

empat kali, namun demikian kelahiran anak dari tikus-tikus yang berumur tua (lebih dari satu tahun) sangat jarang terjadi.

Sudarmaji (2004) melaporkan, bahwa pada varietas padi unggul baru dengan rata-rata umur padi mencapai 120 hari, perkawinan tikus diperkirakan

dimulai sejak padi stadium bertunas maksimum (maximum tillering). Tikus sawah bunting selama 21 hari dan dapat kawin lagi 48 jam setelah

melahirkan (post-partum oestrous), sehingga selama satu musim tanaman padi dapat terjadi tiga kali kelahiran. Berdasarkan kelahiran yang terjadi

pada satu musim tanam dan banyaknya anak yang dilahirkan, dapat dihitung jumlah individu yang dihasilkan oleh satu ekor tikus betina. Tikus sawah

menghasilkan anak rata-rata 10 ekor dalam satu kali kelahiran dengan nisbah kelamin sama. Dalam satu musim tanam padi dapat terjadi tiga kali

kelahiran dan dihasilkan 30 ekor tikus muda. Apabila terjadi tanam padi tidak serempak sehingga terjadi keterlambatan panen lebih dari dua minggu,

atau terdapat ratun padi yang bermalai pada periode sawah bera, maka tikus betina muda yang dilahirkan pertama kali oleh induknya telah dapat

melahirkan anak. Lima ekor tikus betina muda dari kelahiran pertama tersebut akan melahirkan anak sebanyak 50 ekor, sehingga total jumlah anak

yang dapat dihasilkan dari satu ekor induk betina dalam satu musim tanam padi diperkirakan mencapai 80 ekor (Gambar 2).

Peneliti lain melaporkan bahwa dari satu ekor induk tikus mampu menghasilkan keturunan 510 ekor selama 10 bulan dan akan menjadi 2.046 ekor

dalam 13 bulan (Sama dan Rochman, 1988). Murakami et al., (1992), mendapatkan sekurang-kurangnya jumlah anak tikus dari satu induk betina

dalam satu musim tanam mencapai 100 ekor dari dua sampai tiga kali kelahiran.

Habitat merupakan salah satu faktor lingkungan yang menjadi daya dukung perkembangan populasi tikus sawah. Tersedianya habitat yang memadai

akan menguntungkan tikus untuk mendapatkan tempat hidup dan tempat berkembangbiak dengan baik. Oleh karena itu, pemahaman habitat tikus

sangat diperlukan dalam upaya pengelolaan populasi tikus, khususnya pada lahan sawah dengan pertanaman padi.

Tikus sawah termasuk binatang yang aktif pada malam hari (nokturnal). Pada siang hari tikus berlindung di dalam sarang dengan membuat liang di

dalam tanah atau di semak-semak. Penelitian dengan menggunakan pelacak gelombang radio (radio tracking) menunjukkan bahwa pada malam hari

tikus lebih banyak mengunjungi daerah pertanaman padi (60%) dibandingkan berbagai jenis habitat lain yang ada disekitarnya. Pada siang hari tikus

lebih banyak berada di luar daerah pertanaman padi yaitu di tanggul irigasi dan daerah-daerah dekat perkampungan (Sudarmaji dan Rahmini, 2002).

Hadi dkk. (2006) melaporkan, tikus sawah pada siang hari 82% tinggal di daerah pematang dan sebaliknya pada malam hari 95% aktif di tengah

pertanaman tengah padi. Brown et al. (2001), juga melaporkan tidak terdapat perbedaan nyata daya jelajah tikus sawah di habitatnya antara tikus

jantan dan betina. Rata-rata daya jelajah tikus jantan adalah 3,01 ha dan tikus betina 1,97 ha, sedangkan Tristiani et al. (2003) juga mendapatkan daya

jelajah tikus jantan lebih besar dari tikus betina dengan pergerakan tikus 63% berada di daerah pertanaman padi selama musim tanam padi.

Tikus memilih sarang terutama pada habitat yang memberikan perlindungan dan aman dari gangguan predator serta dekat dengan sumber pakan dan

air. Sarang tikus berfungsi sebagai tempat berlindung, memelihara anak dan untuk menimbun pakan. Sejalan dengan bertambahnya anggota

kelompok tikus di dalam sarang, maka jaringan sarang akan semakin luas. Murakami et al. (1992), melaporkan bahwa pada stadium padi vegetatif,

konstruksi sarang masih dangkal, pendek dan belum banyak cabang. Setelah pertumbuhan tanaman padi mencapai stadium generatif, konstruksi

sarang tikus menjadi lebih dalam, panjang dan bercabang-cabang serta mempunyai pintu keluar lebih dari satu pintu. Pada kondisi tersebut tikus

mempersiapkan diri untuk melahirkan anak-anaknya. Dilaporkan juga oleh Sudarmaji (1990), bahwa panjang dan volume sarang tikus pada stadium

padi generatif dua kali lebih panjang dan lebih besar dibanding pada stadium padi vegetatif. Panjang sarang rata-rata empat meter dan volumenya

mencapai 10,3 liter. Hal tersebut karena tikus memerlukan sarang yang lebih longgar dan nyaman untuk membesarkan anak-anaknya.

Tingkat hunian sarang tikus bervariasi tergantung kondisi lingkungan dan tidak semua sarang dihuni oleh tikus (aktif). Pada periode kekurangan pakan

atau banjir sarang tikus akan ditinggalkan. Hal tersebut terjadi pada saat sawah periode bera, periode pengolahan tanah dan periode tanam. Pada

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

10 of 17 21/02/2013 10:16

Page 11: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

periode tersebut tikus bermigrasi dan akan kembali setelah pertanaman padi berumur dua bulan atau menjelang stadium padi generatif (Sudarmaji dan

Herawati, 2001). Rochman (1982), melaporkan bahwa pada pertanaman padi berumur satu bulan, hanya 25% sarang yang dihuni.

Pada ekosistem padi sawah, berdasarkan laporan Sudarmaji dan Rochman (1997), diperkirakan terdapat preferensi habitat spesifik tikus sawah. Lam

(1983), menemukan bahwa 97% tikus sawah khususnya dari jenis R. argentiventer, membangun sarangnya pada pematang dengan ketinggian 15 cm

dan lebar 30 cm atau lebih. Sudarmaji dkk. (2007), mengidentifikasi 5 jenis habitat tikus sawah di ekosistem sawah irigasi dan didapatkan habitat tepi

kampung dan tanggul irigasi merupakan habitat yang paling banyak dihuni tikus sawah. Tangkapan tikus sawah paling tinggi berasal dari habitat

kampung (35,1%), tanggul irigasi (29,8%), jalan sawah (16,5%), dan tangkapan tikus terendah berasal dari habitat parit sawah dan tengah sawah

masing masing-masing 9,6% dan 9,0% (Gambar 3).

Habitat kampung merupakan habitat yang menjadi tujuan tikus sawah migrasi pada periode bera, untuk mendapatkan pakan alternatif dan tempat

berlindung sementara. Oleh karena itu, tangkapan tikus pada habitat kampung selama periode bera selalu paling tinggi dibandingkan tangkapan pada

habitat lain. Tikus sawah di habitat kampung pada umumnya tidak membuat sarang, tetapi berlindung dalam tumpukan jerami atau kayu, kandang

ternak dan bahkan rumah penduduk. Sudarmaji dan Herawati (2001), mendapatkan tangkapan tikus yang tinggi pada habitat kampung, tetapi tidak

menemukan sarang aktif tikus di habitat tersebut. Keberadaan tikus sawah di habitat kampung pada periode bera, diperkirakan akan mendapat

ancaman cukup besar dari pemangsa jenis kucing dan predator lain. Populasi tikus yang dapat bertahan hidup dan kembali ke daerah persawahan lagi

diperkirakan jumlahnya akan berkurang.

Tanggul irigasi di ekosistem sawah irigasi merupakan habitat penting tikus sawah dan merupakan habitat utama untuk berkembangbiak (Sudarmaji

dkk., 2007). Habitat tanggul irigasi dipilih tikus sawah karena apabila terjadi banjir, sarang pada tanggul tersebut tidak terendam air. Pada umumnya

tanggul irigasi dibangun dari tanah berukuran lebar 1–2 meter dengan tinggi lebih dari satu meter. Di daerah habitat tanggul irigasi maupun kampung

pada umumnya masih tersedia sumber air dan pakan tikus alternatif ketika sawah dalam keadaan bera, sehingga habitat tersebut disebut sebagai

habitat perlindungan tikus.

2.3 Habitat

Tikus sawah dapat dikenali dengan ciri-ciri morfologinya, yaitu berat badan tikus dewasa antara 100–230 g, panjang kepala-badan antara 70–208 mm,

panjang tungkai belakang 32–39 mm dan panjang telinga 20–22 mm. Ekor biasanya lebih pendek dari panjang kepala-badan. Tubuh bagian dorsal

berwarna cokelat dengan bercak hitam pada rambut-rambutnya, sehingga memberi kesan seperti berwarna abu-abu. Daerah tenggorokan, abdominal

dan inguinal berwarna putih, dan sisa bagian bawah lainnya putih keperakan atau putih keabu-abuan. Warna permukaan atas kaki sama dengan warna

badan dan banyak yang berwarna cokelat gelap pada bagian karpal dan tarsal. Ekor berwarna gelap pada bagian atas dan bawah (Murakami et al.,

1992 ; Aplin et al., 2003).

Tikus betina mempunyai puting susu berjumlah duabelas buah. Ukuran dan berat badan tikus jantan dan betina tidak terdapat perbedaan yang

mencolok. Tikus jantan dewasa lebih mudah dikenali dengan melihat perkembangan testisnya. Anak tikus yang baru dilahirkan berwarna merah, tidak

berambut dan belum dapat melihat (Meehan, 1984). Anak tikus yang berumur 7–10 hari, rambut akan tumbuh lengkap dan matanya mulai terbuka

sehingga dapat melihat. Pada umur tersebut anak tikus masih disusui oleh induknya di dalam sarang yang berada di dalam tanah. Anak tikus setelah

berumur 20 hari, akan disapih oleh induknya untuk hidup mandiri. Apabila kondisi lingkungan cukup baik seperti pakan yang berlimpah, maka anak tikus

akan tinggal di dalam sarang bersama induknya lebih lama. Tikus dapat menjadi dewasa dan siap kawin setelah mencapai umur 5–9 minggu.

2.4 Dinamika Populasi

Mempelajari dinamika populasi terutama bertujuan mempelajari perubahan ukuran kerapatan populasi pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta

menjelaskan mekanisme yang mendasari perubahan tersebut (Richards, 1982). Di dalam populasi juga terdapat faktor-faktor yang saling

mempengaruhi baik faktor internal maupun eksternal, yang berpengaruh terhadap tingkat kerapatan populasi dari waktu ke waktu. Faktor-faktor yang

mempengaruhi perubahan kerapatan populasi di alam antara lain peningkatan karena adanya kelahiran (natalitas), peningkatan karena masuknya

beberapa individu sejenis dari populasi lain (imigrasi), penurunan karena kematian (natalitas), dan penurunan karena keluarnya beberapa individu dari

populasi ke populasi lain (emigrasi) (Krebs, 1995). Faktor pakan, tempat berlindung, musuh alami dan kompetisi berpengaruh terhadap ke empat

faktor utama penyebab perubahan populasi tersebut.

Tikus sawah, seperti binatang hama pada umumnya memiliki tipe strategi r (r-strategist), yaitu mereka dapat berkembangbiak dalam waktu singkat

sehingga akan terjadi peningkatan populasi yang sangat pesat atau sering disebut dengan ledakan populasi. Hal tersebut dapat terjadi apabila kondisi

lingkungan yang memungkinkan seperti tersedianya pakan yang melimpah, terdapat tempat berlindung dan bersarang yang memadai (Macdonald and

Fenn, 1994). Setelah terbentuk populasi dengan tingkat kerapatan yang tinggi, selanjutnya terjadi berkurangnya persediaan pakan, tempat

perlindungan, dan kompetisi, sehingga populasi tikus akan turun kembali secara alamiah.

Pada daerah agroekosistem sawah irigasi terdapat kecenderungan bahwa populasi tikus dan tingkat kerusakan tanaman padi di Indonesia pada

musim kemarau (MK) lebih tinggi dibanding pada musim hujan (MH). Periode bera MH yang pendek yaitu kurang dari dua bulan, memberi peluang

masih cukup tersedianya pakan alternatif di lapangan, dan berpengaruh positif terhadap tingkat hidup tikus sawah. Tikus yang dapat bertahan hidup

akan dapat berkembangbiak pada musim tanam MK berikutnya (Sudarmaji dan Baehaki, 1994). Namun demikian di beberapa daerah, lama periode

bera MH dan MK hampir sama karena terkait dengan golongan pengairan sehingga populasi tikus pada MK dan MH relatif tidak berbeda.

Berdasarkan pemantauan pada lahan sawah seluas 2 ha diketahui bahwa pada saat kerapatan populasi rendah jumlah tikus hanya mencapai 5 ekor

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

11 of 17 21/02/2013 10:16

Page 12: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

sampai 25 ekor/ha dan pada puncak kerapatan populasi dapat mencapai 250–900 ekor/ha. Peningkatan populasi tersebut terjadi sangat cepat dan

untuk mencapai puncak kerapatan populasi, hanya dibutuhkan waktu 1,5 hingga 2 bulan (Tristiani dkk., 1992). Wood (1994) melaporkan bahwa, pada

tanaman padi di Indonesia puncak populasi tikus sawah terjadi pada satu sampai dua bulan setelah panen dengan populasi lima ekor sampai 25

ekor/ha pada awal tanam, meningkat menjadi lebih dari 700 ekor/ha pada saat panen.

Berdasarkan hasil penelitian selama empat tahun di ekosistem sawah irigasi di Karawang, Jawa Barat (Sudarmaji dkk., 2005), diketahui tingkat

kerapatan populasi tikus sawah berfluktuasi sangat tajam selama periode musim tanam padi dan bera. Perubahan kepadatan populasi tersebut

polanya selalu berulang (repeated pattern) dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun (Gambar 4). Terdapat 1 kali puncak populasi dalam 1 kali

musim tanam padi, sehingga pada pola tanam padi-padi-bera dalam 1 tahun terdapat 2 kali puncak populasi tikus sawah. Puncak populasi tikus

sawah tertinggi terjadi pada periode bera yang merupakan hasil kelahiran tikus pada periode stadium generatif padi.

Faktor utama penyebab peningkatan populasi tikus sawah adalah tersedianya pakan padi, sehingga terjadi kelahiran tikus yang cepat (tiga kali

kelahiran) pada stadium padi generatif dan menyebabkan peningkatan kerapatan populasi yang tinggi pada periode bera. Pakan padi stadium generatif

merupakan pakan tikus yang berkualitas tinggi dan berpengaruh nyata terhadap peningkatan berat badan tikus. Tanpa adanya tanaman padi tikus

sawah tidak berkembangbiak dan terjadi kematian (Sudarmaji, 2004). Malai ratun padi merupakan pakan alternatif penting bagi tikus sawah pada

periode bera dan memperpanjang periode perkembangbiakan.

Penurunan populasi tikus terjadi setelah periode bera bulan kedua, karena migrasi tikus akibat hilangnya pakan padi (panen), terjadinya gangguan

habitat tikus karena proses budidaya padi, dan aktivitas pengendalian tikus oleh petani. Curah hujan tidak menyebabkan turunnya populasi tikus sawah.

Peran pemangsa tikus relatif kecil dalam regulasi populasi tikus sawah di ekosistem sawah irigasi, karena keberadaan jenis pemangsa tikus sangat

jarang ditemukan. Prevalensi infeksi cacing hati pada tikus sawah tinggi, tetapi tidak menyebabkan kematian tikus sawah secara langsung (Sudarmaji,

2004).

3. Komponen Teknologi Pengendalian

Pengendalian tikus pada dasarnya adalah upaya menekan tingkat populasi tikus pada tingkat serendah mungkin melalui berbagai cara dan teknologi

pengendalian. Teknologi pengendalian yang tersedia sampai saat ini berasal dari hasil penelitian para pakar di bidang hama tikus, dan dari kearifan

lokal petani yang telah lama digunakan secara turun temurun. Teknologi yang telah tersedia sampai saat ini sebenarnya telah dapat diandalkan dan

efektif untuk pengendalian tikus apabila diterapkan sesuai rekomendasi dengan pelaksanaan secara benar.

Efektifitas hasil pengendalian tikus selain ditentukan oleh pemilihan teknologi yang tepat, juga ditentukan oleh ketepatan dalam pemilihan waktu

pengendalian, sasaran habitat yang dikendalikan dan kekompakan petani untuk melaksanakan pengendalian tikus secara bersama-sama. Beberapa

komponen teknologi pengendalian dan metoda pengendalian yang tersedia sampai saat ini disajikan dalam tulisan ini.

3.1 Sanitasi Lingkungan dan Manipulasi Habitat

Sanitasi dan manipulasi habitat bertujuan untuk menjadikan lingkungan sawah menjadi tidak menguntungkan bagi kehidupan dan perkembangbiakan

tikus. Kegiatan sanitasi antara lain melakukan pembersihan tanaman perdu atau gulma yang berada di areal pertanaman padi dan sekitarnya, seperti

di daerah pematang sawah, tanggul saluran irigasi dan jalan sawah, dengan tujuan agar tikus tidak bersarang di habitat tersebut. Tikus akan tidak

nyaman dan takut menghuni daerah yang bersih, terang dan terbuka karena akan mudah dimangsa predator.

Tikus sawah pada umumnya menyukai habitat pematang sawah atau tanggul irigasi yang tinggi dan lebar. Pematang sawah dianjurkan dibuat rendah

kira-kira tinggi kurang dari 30 cm, agar pematang tersebut tidak digunakan tikus bersarang dan berkembangbiak (Lam, 1993). Sanitasi dan manipulasi

habitat akan menyebabkan tikus kehilangan tempat persembunyian dan sumber pakan alternatif terutama pada periode bera, sehingga secara tidak

langsung dapat menurunkan populasi tikus di daerah tersebut (Sudarmaji, 2004).

3.2 Kultur Teknis

Pengelolaan budi daya tanaman padi dapat menunjang pengendalian tikus apabila dilakukan usaha bersama diantara petani atau kelompok tani dalam

suatu hamparan luas atau sekurang-kurangnya tingkat desa. Pengaturan pola tanam bertujuan untuk membatasi ketersedian pakan tikus yaitu padi,

guna membatasi perkembangbiakan tikus sawah di lapangan. Tikus sawah hanya akan berkembangbiak pada saat terdapat stadium padi generatif.

Pola tanam padi-palawija atau bera setelah menanam padi akan dapat membatasi bahkan menghentikan aktifitas reproduksi tikus sawah. Nutrisi dari

tanaman palawija diperkirakan kurang cocok bagi metabolisme tikus sawah untuk perkembangbiakannya dibandingkan dengan nutrisi yang tersedia

pada padi. Pada pola tanam padi dua kali setahun diikuti masa bera panjang musim kemarau (padi-padi-bera) akan menyebabkan tikus kehilangan

sumber pakan pada periode bera dan akan terjadi perpindahan tikus atau migrasi ke tempat lain atau mati karena kekurangan pakan.

Pengaturan waktu tanam dilakukan dengan mengatur waktu tanam dan varietas yang sama pada areal yang luas atau hamparan padi. Apabila

terpaksa varietas yang digunakan dalam satu hamparan tersebut berbeda, diusahakan agar waktu stadium generatif padi dapat serempak, atau tidak

lebih dari dua minggu. Tujuan pengaturan waktu tanam adalah agar periode generatif padi bersamaan waktunya. Apabila periode padi generatif

berbeda waktunya, maka tanaman padi yang bunting lebih awal akan mendapat serangan tikus paling berat dan kemungkinan dapat terjadi puso (gagal

panen). Pertanaman padi yang tidak serempak akan menghasilkan periode padi generatif yang lebih panjang pada wilayah tersebut, sehingga periode

perkembangbiakan tikus sawah juga menjadi lebih panjang. Hal tersebut dapat meningkatkan populasi tikus secara cepat. Oleh karena itu penanaman

padi secara serempak pada skala luas dapat membatasi perkembangbiakan tikus dan mencegah konsentrasi serangan tikus pada tanaman padi yang

bunting lebih awal.

Penanaman padi dengan jarak tanam lebih longgar dari biasanya bertujuan untuk membuat lingkungan yang lebih terbuka sehingga kurang disukai

tikus, seperti halnya cara tanam ‘legowo’. Tikus kurang menyukai tempat yang bersih atau terang karena akan merasa terancam oleh musuh alaminya

terutama predator. Tipe serangan tikus yang selalu dimulai dari tengah petak sawah dan menyisakan pada daerah dekat pematang adalah ciri khas

perilaku tikus yang tidak menyukai kondisi terang.

3.3 Pengendalian Secara Fisik

Pengendalian secara fisik yaitu mengubah lingkungan fisik agar menyebabkan kematian tikus. Tikus mempunyai batas toleransi terhadap beberapa

faktor fisik seperti suhu, cahaya, air, dan suara. Tujuan pengendalian dengan cara ini adalah mengubah faktor lingkungan fisik menjadi tidak sesuai

untuk kehidupan tikus sawah. Sedangkan pengendalian mekanis merupakan usaha untuk membunuh tikus secara langsung oleh manusia. Cara

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

12 of 17 21/02/2013 10:16

Page 13: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

pengendalian ini cukup murah, mudah dan sederhana tetapi biasanya membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Beberapa contoh kegiatan

pengendalian secara fisik dengan menggunakan berbagai peralatan adalah sebagai berikut:

3.3.1 Alat penyembur api (brender)

Alat tersebut bila digunakan dapat menyemburkan api dan udara panas ke dalam sarang tikus. Suhu di dalam sarang tikus akan meningkat sehingga

dapat mengusir tikus dari dalam sarang atau bahkan membunuhnya. Alat ini juga dapat dipakai untuk membakar belerang di mulut lubang sarang

tikus, sehingga hembusan asap belerang akan meracuni tikus dan menyebabkan tikus mati di dalam sarang.

3.3.2 Penggunaan sinar lampu

Sinar lampu dapat digunakan sebagai alat untuk membantu dalam kegiatan menangkap tikus pada malam hari. Sinar lampu dengan intensitas tinggi

yang mengenai mata tikus dapat menyebabkan tikus menjadi silau dan berhenti beraktifitas sejenak. Pada kondisi tersebut, tikus dapat dengan mudah

untuk dipukul atau dibunuh. Petani biasanya menggunakan sinar lampu ini dari obor minyak tanah, lampu petromak atau lampu senter untuk memburu

tikus sawah pada malam hari. Kegiatan ini dapat dilakukan karena tikus sawah termasuk binatang yang aktif pada malam hari atau nokturnal.

3.3.3 Memompa air atau lumpur ke dalam sarang tikus

Cara tersebut dapat dilakukan untuk mengusir tikus keluar dari sarang sehingga mudah untuk dibunuh atau tikus dapat mati di dalam sarang karena

terjebak lumpur. Cara tersebut dapat dilakukan pada habitat-habitat utama tikus seperti tanggul irigasi, jalan sawah dan habitat lainnya. Waktu yang

paling tepat untuk pelaksanaan metode ini adalah pada periode bera dan pengolahan tanah bersamaan dengan kegiatan gropyokan massal. Selain itu

juga tepat dilakukan pada saat periode padi generatif ketika tikus sawah sedang beranak di dalam sarangnya.

3.3.4 Mengusir tikus dengan suara ultrasonik

Penggunaan suara ultrasonik pada frekuensi tertentu dapat memekakkan telinga tikus, sehingga tikus menghindar ke tempat lain yang lebih aman.

Oleh karena itu fungsi penggunaan alat ini hanya untuk mengusir tikus saja. Namun demikian alat yang ada (telah dikomersialkan) sampai saat ini

masih sangat terbatas jangkauan frekuensinya dan baru dapat digunakan di dalam ruangan dengan ukuran tertentu. Untuk penggunaan di lapangan

terbuka masih belum tersedia peralatannya. Penggunaan alat tersebut pada umumnya dilakukan di dalam gudang penyimpanan bahan pangan untuk

mengusir hama tikus. Mengusir tikus dengan bunyi-bunyian juga dapat dilakukan, tetapi jika suara itu telah menjadi suara yang rutin, maka tikus sudah

tidak merasa terganggu lagi.

3.3.5 Gropyokan massal (community actions)

Metode gropyokan massal merupakan salah satu cara pengendalian tikus yang murah dan efektif yang biasa dilakukan oleh petani di berbagai daerah

di Indonesia. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan secara bersama-sama dengan cara membongkar sarang tikus pada habitat utama, memburu, dan

membunuh tikus yang ada. Di beberapa daerah hasil gropyokan tikus ini setiap ekor ditukar dengan uang oleh pemerintah daerah, yang besarnya

bervariasi antara 500 rupiah hingga 2.500 rupiah per ekor, dan cara ini disebut “bounty system” (Sudarmaji, 2004). Waktu kegiatan gropyokan massal

yang tepat adalah menjelang tanam (pengolahan tanah). Pada periode tersebut untuk memburu tikus relatif lebih mudah karena tidak ada pertanaman

padi yang dapat digunakan tikus untuk bersembunyi. Penggalian sarang tikus menyebabkan tikus keluar dari sarang sehingga dapat mudah ditangkap.

Di beberapa daerah untuk menangkap tikus dari hasil penggalian ini digunakan bantuan anjing pemburu yang telah terlatih.

Kegiatan gropyokan massal ini telah terbukti dapat menurunkan populasi tikus secara nyata dengan banyaknya tangkapan yang diperoleh dalam suatu

kegiatan gropyokan massal. Sebagai contoh kegiatan gropyokan missal yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Tirtamulya, Karawang, Jawa Barat

pada musim tanam padi 2008 diperoleh total tangkapan 20.710 ekor tikus (Tabel 2).

Kegiatan gropyokan ini apabila dilakukan secara massal, luas dan berkelanjutan akan merupakan kunci utama untuk menurunkan populasi tikus

secara dini pada awal tanam, dan menentukan keberhasilan pengendalian tikus dalam satu musim tanam padi dari serangan hama tikus sawah.

Tabel 2. Hasil tangkapan tikus kegiatan gropyokan massal di Kecamatan Tirtamulya Karawang, Jawa Barat pada kegiatan MT-I 2008

3.3.6 Pemerangkapan (trapping)

Beberapa jenis perangkap dapat digunakan untuk menangkap tikus dalam keadaan hidup dan mati. Jenis perangkap dapat berupa multiple live capture

trap atau singgle trap dengan umpan pakan tikus di dalamnya. Umpan dapat digunakan dari jenis biji-bijian dengan pemerangkapan dilakukan pada

periode bera dan stadium awal padi vegetatif. Sedangkan pemerangkapan pada periode padi generatif, umpan yang digunakan dari bahan yang

mengandung protein tinggi seperti yuyu bakar atau jenis ikan kering lainnya. Pemerangkapan ini biasanya hanya efektif apabila dilakukan pada kondisi

lahan sawah tidak banyak tersedia pakan tikus alternatif. Jenis perangkap tikus lainnya adalah snap trap yaitu perangkap yang apabila mengenai

sasaran tikus, maka tikus akan terjepit dan mati ditempat. Perangkap model ini banyak digunakan di lokasi perumahan untuk menangkap jenis tikus

rumah.

3.3.7 Sistem bubu perangkap linier (linier trap barrier system atau LTBS)

Alat ini pertama kali di gunakan pada tahun 1995 di Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Pada awalnya LTBS digunakan untuk menangkap tikus

sawah (trapping) untuk sampel tikus hidup guna keperluan penelitian (Leung dan Sudarmaji, 1999), dan pada waktu itu tidak ada metode lain yang

efektif untuk menangkap tikus dalam keadaan hidup pada semua stadium padi. Berdasarkan hasil pengujian, LTBS terbukti efektif dan mudah

digunakan untuk menangkap tikus sawah. Oleh karena itu, selanjutnya LTBS direkomendasikan sebagai komponen teknologi utama untuk

pengendalian tikus sawah.

Linier trap barrier system (LTBS) dirancang untuk menangkap tikus di daerah sarang/habitat tikus, ketika melakukan pergerakan keluar sarang untuk

beraktifitas pada malam hari. Linier trap barrier system (LTBS) juga cocok untuk menangkap tikus yang sedang migrasi (melakukan perpindahan

secara massal). Alat ini dirancang mudah dipasang dan dibongkar untuk dapat dipindah-pindahkan ke tempat lain yang diperlukan LTBS; terdiri dari

pagar plastik, bubu perangkap, penyangga ajir bambu dan tanpa menggunakan tanaman perangkap atau umpan (Gambar 5) (Sudarmaji dan Anggara,

2006).

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

13 of 17 21/02/2013 10:16

Page 14: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

Penggunaan LTBS untuk pengendalian tikus pada daerah dekat habitat sebaiknya dipasang diantara pertanaman padi dan habitat, dimana tikus akan

menuju ke arah tanaman padi pada malam hari. Corong masuk bubu perangkap sebaiknya diarahkan ke habitat atau sesuai arah datangnya tikus.

Corong bubu juga dapat diarahkan berseling apabila menginginkan tangkapan tikus dari kedua arah. Pemasangan dapat dilakukan selama satu

minggu atau sampai tidak ada tangkapan tikus lagi, kemudian dibongkar dan dapat dipindahkan ketempat lain. Pengambilan tangkapan tikus dilakukan

setiap pagi hari. Alat ini juga dapat dipasang untuk mengatasi migrasi tikus terutama pada daerah atau blok yang mempunyai perbedaan waktu tanam

atau panen dengan blok lainnya.

3.3.8 Sistem bubu perangkap (trap barrier system atau TBS)

Sistem bubu perangkap (TBS) merupakan unit alat untuk menangkap tikus, terdiri dari tiga komponen utama yaitu bubu perangkap tikus yang berfungsi

sebagai jebakan dan pengumpul tikus, pagar plastik berfungsi mengarahkan tikus masuk ke dalam bubu perangkap, dan tanaman perangkap berfungsi

sebagai penarik (attractant) agar tikus bergerak ke lahan penangkapan TBS (Sudarmaji dkk., 2007).

Berdasarkan hasil penelitian, ukuran petak tanaman perangkap sangat menentukan tingkat wilayah tikus tertangkap (halo effect) terhadap pertanaman

disekitarnya. Makin besar ukuran petak tanaman perangkap makin besar jumlah tangkapan tikus dan luas halo effect yang ditimbulkannya tetapi juga

memerlukan biaya lebih banyak (Singleton et al., 2003). Halo effect adalah luasan pertanaman bebas tikus sebagai pengaruh TBS terhadap

perlindungan serangan tikus di sekelilingnya. Hal tersebut dapat terjadi karena tikus disekitar TBS tertarik menuju tanaman perangkap dan

terperangkap oleh bubu perangkap. Akibatnya populasi tikus disekitar TBS rendah. Hasil penelitian membuktikan bahwa unit TBS berukuran 50mx50m

dapat melindungi tanaman padi disekitarnya seluas 10–15 ha (Singleton et al., 2003). Hasil tersebut juga diperkuat melalui hasil penelitian daya jelajah

tikus yang dipantau dengan “radio tracking” untuk melihat pergerakan tikus menuju tanaman perangkap (Brown et al., 2001). Skema TBS disajikan

dalam Gambar 6 sebagai berikut.

Keunggulan teknologi TBS adalah efektif menangkap tikus dalam jumlah besar dan terus-meneus di daerah endemis tikus serta dapat digunakan

sebagai indikator adanya migrasi tikus sawah. TBS dapat menghemat tenaga karena hanya sekali memasang untuk sepanjang musim tanam dan

ramah lingkungan karena tanpa menggunakan umpan rodentisida. Singleton et al. (2005), telah membuktikan keuntungan penggunaan TBS untuk

pengendalian tikus di Karawang, Jawa Barat dengan benefit-cost ratio 25:1. Teknologi TBS merupakan teknologi sederhana yang mudah dipahami dan

dapat dipraktekkan oleh petani. Hasil penelitian Sudarmaji dan Anggara (2006), menunjukkan bahwa total tangkapan tikus sawah pada 16 TBS yang

dipasang selama 4 musim tanam padi mencapai 15.991 ekor. Tangkapan tersebut terdiri dari 7.765 ekor dari hasil tangkapan pada periode MH dan

8.226 ekor dari periode MK (Gambar 7).

Tikus yang tertangkap masih dalam keadaan hidup sehingga dapat juga dimanfaatkan untuk keperluan lain, misalnya pakan ikan, itik dan lainnya.

Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan pemantauan rutin untuk pengambilan tangkapan tikus setiap hari, dan harus tetap mempertahankan

kualitas TBS (pagar plastik tidak berlubang). Penempatan tanaman perangkap yang ditanam 21 hari lebih awal dari umur padi disekitarnya dapat

menyulitkan petani, serta memerlukan modal awal pembuatan TBS. Konsep penggunaan TBS agar efisien, pengelolaannya harus dilakukan pada

skala kelompok tani. Jenis TBS dengan tanaman perangkap yaitu TBS dengan tanam perangkap tanam awal, tanam akhir, dan pesemaian.

Rekomendasi penggunaan TBS dengan tanaman perangkap diprioritaskan untuk diterapkan pada daerah endemik tikus dengan populasi tinggi

terutama pada musim kemarau. Pengelolaan TBS sebaiknya dilakukan secara kelompok pada suatu hamparan, baik pemeliharaan maupun

pembiayaannya. Teknologi TBS merupakan salah satu komponen teknologi pengendalian tikus yang pelaksanaannya harus dikombinasikan dengan

teknologi pengendalian lain.

3.4 Pemanfaatan Musuh Alami

Pada ekosistem sawah irigasi, musuh alami tikus sawah jarang ditemukan, sehingga diperkirakan peran musuh alami dalam regulasi populasi tikus

sawah pada ekosistem sawah irigasi relatif kecil. Musuh alami tikus diperkirakan banyak terdapat di daerah-daerah sawah yang berbatasan dengan

hutan atau di daerah dengan ekosistem yang tidak terganggu oleh manusia.

Musuh alami jenis pemangsa tikus sawah pada umumnya berasal dari kelompok burung, mamalia dan reptilia. Pemangsa dari kelompok burung

antara lain Tito alba javanica (burung hantu putih), Bubo ketupu (burung hantu cokelat) dan Nyctitorac nyctitorac (burung kowak maling). Pemangsa

dari kelompok mamalia yaitu Verricula malaccensis (musang bulan atau rase), Herpestes javanicus (garangan), Felis catus (kucing) dan Canis

familiaris (anjing). Diantara jenis dari kelompok reptilia adalah Ptyas koros (ular tikus), Naja naja (ular kobra), Trimeresurus hagleri (ular hijau), dan

Phyton reticulatus (ular sanca) (Priyambodo, 1995).

Pemangsa terbaik tikus sawah adalah burung hantu. Hal tersebut disebabkan karena burung hantu mempunyai laju fisiologis yang besar sehingga

mampu mengkonsumsi tikus dalam jumlah banyak. Pemangsa jenis burung juga mempunyai kemampuan mencari mangsanya lebih baik

dibandingkan jenis pemangsa lain. Walaupun demikian, burung hantu memerlukan habitat yang sesuai seperti daerah perkebunan, pegunungan atau

perkampungan. Sedangkan pada daerah sawah irigasi yang luas dan terbuka, burung hantu kurang cocok berdomisili di daerah tersebut. Cara yang

paling mudah untuk mengoptimalkan peran predator tikus adalah dengan memberikan lingkungan yang cocok dan melindungi predator tikus tersebut.

Endoparasit tikus sawah telah diteliti dan ternyata tikus sawah terinfeksi berbagai jenis cacing di dalam organ dalamnya, tetapi tidak dapat

menimbulkan kematian secara langsung (Herawati dan Sudarmaji, 2003). Penggunaan patogen antara lain bakteri salmonella telah dikembangkan

sebagai bentuk umpan tikus di beberapa negara. Di Vietnam digunakan jenis rodentisida dengan bahan aktif bakteri salmonella dengan nama BIORAT,

tetapi umpan rodentisida tersebut juga membahayakan kesehatan manusia. Di Australia telah dikembangkan metode pemandulan (imunocontracepsi)

pada kelinci dan mencit dengan suatu jenis virus spesifik. Penelitian serupa untuk pengendalian tikus di Indonesia masih dalam tahap identifikasi jenis

virus spesifik sebagai agen pemandul pada tikus sawah.

3.5 Pengendalian Kimiawi

Pengendalian kimiawi merupakan pengendalian dengan penggunaan bahan-bahan kimia yang dapat membunuh tikus atau dapat menganggu aktivitas

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

14 of 17 21/02/2013 10:16

Page 15: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

tikus, baik aktivitas untuk makan, minum, mencari pasangan maupun reproduksi. Secara umum pengendalian dengan cara kimiawi dibedakan menjadi

empat jenis yaitu umpan beracun, bahan fumigasi, bahan kimia repellent dan bahan kimia antifertilitas.

3.5.1 Rodentisida

Rodentisida atau umpan racun merupakan teknologi pengendalian yang paling banyak dikenal dan digunakan oleh petani untuk

membunuh tikus sawah. Rodentisida yang dipasarkan pada umumnya dalam bentuk siap pakai, atau mencampur sendiri dengan bahan

umpan. Rodentisida digolongkan menjadi racun akut dan antikoagulan. Racun akut dapat membunuh tikus langsung ditempat setelah

makan umpan, sehingga dapat menyebabkan tikus jera. Sedangkan rodentisida antikoagulan akan menyebabkan tikus mati setelah lima

hari memakan umpan dengan dosis yang cukup sehingga tidak menyebabkan jera umpan. Namun demikian jenis rodentisida anticoaglan

mempunyai efek sekunder negatif terhadap predator tikus.

Keberhasilan pengumpanan rodentisida sangat dipengaruhi oleh waktu pengumpanan, jenis umpan dan penempatannya. Waktu yang tepat

untuk pengumpanan adalah ketika dilapangan sudah tidak ada lagi pakan padi (bera) sampai padi vegetatif. Pada periode padi generatif

tikus sawah lebih sulit diumpan dengan rodentisida, karena lebih tertarik dengan tanaman padi yang ada. Penggunaan rodentisida untuk

pengendalian tikus sebaiknya merupakan alternatif terakhir, karena sifatnya yang dapat mencemari lingkungan. Teknik aplikasinya harus

tepat dan sesuai dosis anjuran agar mendapatkan hasil yang maksimal.

3.5.2 Fumigasi

Bahan fumigan yang sering digunakan oleh petani sampai saat ini adalah asap belerang dan karbit. Penggunaan emposan asap belerang merupakan

cara pengendalian tikus yang efektif, mudah diaplikasikan dengan biaya murah. Teknik tersebut merupakan teknik untuk membunuh tikus sawah di

dalam sarang dan dapat dilakukan kapan saja atau pada periode bera dan saat pertanaman padi. Namun demikian fumigasi dengan cara

pengemposan yang paling efektif adalah dilakukan pada saat padi generatif, yaitu ketika tikus sawah sedang beranak di dalam sarang. Teknik tersebut

dapat membunuh anak tikus bersama induknya di dalam sarang (Sudarmaji, 2004).

Cara fumigasi yang tepat adalah memasukkan cukup asap belerang kedalam lubang sarang tikus, kemudian semua lubang keluar yang ada ditutup

dan tidak perlu dilakukan penggalian. Penggalian sarang setelah fumigasi merupakan kegiatan yang tidak efisien karena memerlukan banyak waktu

dan tenaga hanya untuk membuktikan bahwa tikus yang difumigasi benar-benar mati. Jenis fumigasi lainnya yang dapat dipakai adalah “tiram”, suatu

cara fumigasi menggunakan teknik asap kembang api dengan bahan aktif belerang. Tiram dimasukkan ke dalam sarang tikus dan dinyalakan

sumbunya, maka asap belerang akan keluar dan dapat membunuh tikus. Selain itu juga dapat digunakan fumigan untuk hama gudang seperti

Phostoxin, Detia dan lainnya.

3.5.3 Repellant

Repellent adalah bahan untuk menolak atau membuat tikus tidak nyaman berada di daerah yang dikendalikan. Penggunaan repellent di lapangan untuk

mencegah/mengusir tikus sawah masih jarang digunakan, karena hanya bersifat mengusir dan tidak membunuh tikus. Beberapa bahan alami nabati

seperti akar wangi diduga mempunyai efek repellent terhadap tikus, namun masih diperlukan penelitian yang lebih intensif.

3.5.4 Antifertilitas

Cara pemandulan tikus baik untuk tikus jantan maupun tikus betina dapat digunakan untuk pengendalian tikus. Cara tersebut mempunyai prospek baik

karena tikus sawah mempunyai perkembangbiakan yang cepat dan jumlah anak yang banyak dalam setiap kelahiran. Beberapa jenis bahan kimia

yang digunakan untuk pemandulan manusia juga dapat digunakan untuk memandulkan tikus sawah.

Kesulitan dalam penggunaan bahan antifertilitas dilapangan pada umumnya menyangkut dosis umpan yang dikonsumsi tikus sawah kurang cukup

(subdosis) sehingga tikus yang mengkonsumsi bahan antifertilitas tersebut tidak efektif menjadi mandul. Ekstrak minyak biji jarak (Richinus

communis) telah diteliti juga dapat digunakan sebagai rodentisida dan antifertilitas nabati pada dosis sublethal. Perlakuan dosis sublethal secara oral

dapat menurunkan produksi sperma tikus jantan hingga 90% dan kemandulan pada tikus betina.

4. Strategi Pengendalian

Pengendalian tikus sawah dilakukan dengan pendekatan yang sangat berbeda dengan pengendalian untuk hama padi lainnya. Pengendalian hama

tikus dilakukan dengan pendekatan pengendalian hama tikus terpadu (PHTT) yaitu pengendalian tikus yang di dasarkan pada pemahaman ekologi

tikus, dilakukan secara dini, intensif dan berkelanjutan dengan memanfaatkan teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan

pengendalian dilakukan oleh petani secara bersama-sama (berkelompok) dan terkoordinir dengan cakupan sasaran pengendalian dalam skala luas.

Strategi pengendalian tikus sawah terutama harus dilakukan pada saat populasi tikus masih rendah dan mudah pelaksanaannya yaitu pada periode

awal tanam, dengan sasaran menurunkan populasi tikus betina dewasa sebelum terjadi perkembangbiakan. Membunuh satu ekor tikus betina dewasa

pada awal tanam, setara dengan membunuh 80 ekor tikus setelah terjadi perkembangbiakan pada saat setelah panen (Sudarmaji dkk., 2005).

Penurunan tingkat populasi pada awal tanam (dini) adalah sangat penting karena menentukan keberhasilan pengendalian tikus sepanjang musim

tanam. Disamping itu pengendalian tikus yang dilakukan ketika tanaman padi telah tinggi (canopinya telah menutup) akan lebih sulit, karena sebagian

tikus sudah berada di tengah pertanaman padi. Pada periode bera, tikus berada pada berbagai habitat disekitar persawahan seperti tanggul irigasi,

pematang besar, jalan sawah, anak sungai, pinggiran desa dan lain-lain. Oleh karena itu, tindakan pengendalian dini ditujukan pada habitat-habitat tikus

tersebut.

Pengendalian pada saat bera dan persiapan pengolahan tanah, dapat dilakukan dengan cara gropyokan dan tindakan sanitasi habitat tikus yaitu di tepi

kampung, tanggul-tanggul irigasi, pematang besar, jalan sawah, pinggiran anak sungai dan lainnya. Sebaiknya dilakukan usaha mengubah habitat tikus

yang ada di lingkungan persawahan menjadi habitat yang tidak disukai tikus sebagai tempat berlindung dan bersarang. Usaha tersebut merupakan

salah satu cara pengendalian tikus yang efektif untuk jangka panjang. Gropyokan dapat dilakukan dengan cara empos-gali, memompa air ke dalam

sarang tikus, dan cara-cara lain. Pengumpanan rodentisida hanya direkomendasikan apabila populasi tikus sangat tinggi untuk menurunkan tingkat

populasi segera pada periode sebelum tanam.

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

15 of 17 21/02/2013 10:16

Page 16: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

Pada periode pesemaian, gropyokan massal (berburu tikus) masih harus terus dilakukan. Pemagaran persemaian dengan plastik dan pemasangan

bubu perangkap perlu dilakukan. Hal tersebut selain dapat mengamankan pesemaian juga dapat menurunkan populasi tikus di daerah tersebut.

Pesemaian sebaiknya dibuat sebagai pesemaian kelompok sehingga akan lebih memudahkan pengelolaan.

Menyiapkan dan memasang TBS dengan tanaman perangkap harus sudah direncanakan dan dipersiapkan sejak awal, khususnya penanaman

tanaman perangkap. Ketika petani pada hamparan tersebut menyemai padi, tanaman perangkap harus sudah ditanam dan sekaligus memasang

pagar plastik serta perangkap bubunya. Persemaian untuk tanaman perangkap harus dipersiapkan lebih awal yaitu tiga minggu dari waktu semai

petani di hamparan tersebut. Sistem perangkap bubu tersebut akan efektif menarik dan memerangkap tikus dari periode pengolahan tanah hingga

panen. Tangkapan tikus pada perangkap bubu akan tinggi pada waktu TBS mulai dipasang dan di sekitarnya masih bera/pengolahan tanah serta pada

saat tanaman perangkap telah bunting/malai dimana tanaman sekitarnya masih stadium vegetatif.

Pengendalian tikus harus mencakup target areal yang luas dengan memperhatikan habitat perlindungan tikus (refuge habitats) pada saat bera di luar

daerah persawahan. Habitat tersebut merupakan sumber infestasi tikus sawah pada saat ada pertanaman padi. Sebaiknya dilakukan pemasangan

LTBS di daerah tepi kampung untuk menangkap tikus yang akan kembali ke sawah. Mengatur waktu tanam dan panen serempak, mempertahankan

adanya periode bera, sanitasi ratun padi dan gulma, merupakan usaha yang perlu dilakukan oleh petani untuk menghambat laju populasi tikus sawah.

Pengendalian tikus pada stadium padi generatif sebaiknya ditujukan pada habitat tanggul irigasi yang merupakan habitat utama tempat tikus

berkembangbiak. Cara fumigasi merupakan metode pengendalian yang efektif pada periode perkembangbiakan tikus karena dapat membunuh induk

dan anak-anaknya di dalam sarang.

Kunci sukses pengendalian hama tikus terpadu adalah adanya partisipasi semua petani dan dilakukan secara berkelanjutan serta terkoordinir dengan

baik. Pengendalian tikus yang dilaksanakan secara sendiri-sendiri tidak akan mendapatkan hasil yang efektif. Hal tersebut disebabkan oleh mobilitas

tikus sawah yang tinggi, sehingga daerah yang telah dikendalikan akan segera terisi oleh tikus yang berasal dari daerah sekitarnya (ekologi

kompensasi).

Organisasi pengendalian hama tikus sawah di tingkat desa sebaiknya beranggotakan seluruh petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani

dalam suatu hamparan atau tingkat desa. Pelaksanaan pengendalian oleh kelompok tani tersebut dikoordinir oleh aparat desa setempat (kepala desa)

dan digerakkan oleh PPL setempat. Pada tingkat yang lebih tinggi peran camat, bupati atau gubernur sebagai pemegang komando gerakan

pengendalian tikus sangat penting dan menentukan.

Sumber oleh :

Sudarmaji dan N.A. Herawati

Lampu Perangkap ( Light Trap ): Monitoring Sekaligus Sebagai PengendaliSerangga

Lampu Perangkap ( Light Trap ):

Monitoring Sekaligus Sebagai Pengendali Serangga

Lampu perangkap merupakan suatu unit alat untuk menangkap atau menarik serangga. Berfungsi untuk mengetahui

keberadaan atau jumlah populasi serangga di lahan pertanian. Serangga yang tertangkap adalah serangga-serangga

yang tertarik cahaya pada waktu malam hari. Beberapa jenis Perangkap untuk serangga adalah lampu perangkap ( light

trap ), yellowpan trap, airnet trap, dan pitfall. Pemilihan jenis perangkap yang akan digunakan tergantung dari kondisi dan

tujuan yang ingin diketahui.

Light trap rancangan Baehaki (2010) seperti pada gambar 1. Kompenen - komponen utama yaitu lampu, corong dan

kantong plastik serta rangka beratap. Lampu (minimal 100watt) berfungsi untuk menarik serangga-serangga pada waktu

malam hari, corong merupakan tempat masuknya serangga, kantong plastik berfungsi untuk menampung serangga-

serangga yang tertangkap/terperangkap, sedangkan rangka beratap fungsinya untuk melindungi lampu dan hasil

tangkapan terutama dari hujan. Lampu perangkap diletakkan di dalam lahan sawah (lahan pertanian) di pinggir

pematang. Letak bisa disesuaikan dengan kondisi tempat, karena alat ini menggunakan lampu sehingga memerlukan

sumber aliran listrik. Satu unit lampu perangkap sebagai monitoring dapat digunakan untuk luasan 300-500 ha,

sedangkan untuk pengendalian seluas 50 ha. Lampu dinyalakan setiap hari mulai dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi, hasil

tangkapan diambil setiap pagi kemudian diamati jenis dan jumlah serangga yang tertangkap.

Lampu perangkap ini berfungsi untuk monitoring sekaligus juga pengendalian. Sebagai deteksi dini wereng coklat imigran

dan Ngengat penggerek batang padi sehingga dapat mengetahui datangnya hama imigran dan puncak tangkapan

populasi suatu hama. Rekomendasi waktu semai atau tanam adalah 15 hari setelah puncak hasil tangkapan. Untuk

pengendalian penggerek batang padi, 4 hari setelah adanya penerbangan (hasil tangkapan) dilakukan penyemprotan

insektisida. Pada saat kondisi lahan sedang bera atau pengolahan tanah, lampu perangkap digunakan terus untuk

memantau perkembangan populasi serangga hama terutama wereng coklat dan penggerek batang. Serangga-serangga

yang dapat tertangkap antara lain wereng coklat (dewasa makroptera), Ngengat penggerek batang padi, orong-orong

(anjing tanah), kepinding tanah (Scotinophara coarctata ), Coccinella Sp, Paederus Sp, Ophionea Sp dll. Pada saat

populasi tinggi, lampu perangkap di BB Padi Sukamandi dapat menangkap wereng coklat 376 ribu ekor /malam/unit,

Ngengat penggerek batang padi kuning 12 ribu ekor/malam/unit dan kepinding tanah 146 ribu ekor/malam/unit. Serangga-

serangga hama yang terperangkap setelah diamati kemudian dimusnahkan sedangkan serangga-serangga musuh alami

seperti kumbang Coccinella, Paederus Sp, Ophionea SP dll dapat dilepaskan kembali ke lahan. (Eko, BB Padi).

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

16 of 17 21/02/2013 10:16

Page 17: - Hama dan Penyakit Padi.pdf

Bagi yang membutuhkan lampu perangkap tersebut, dapat segera menghubungi BB Padi.

Gambar 1. Light Trap Rancangan Baehaki (2010)

WERENG COKLATStatus

Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) merupakan hama dari golongan insekta yang

sangat merugikan perpadian di Indonesia. Hama wereng coklat pada dasawarsa

1961-1970 telah merusak tanaman padi seluas 52.000 ha. Pada periode tersebut

serangan terjadi pada musim hujan 1968-1969 di daerah Jawa Tengah (Brebes, Tegal,

Klaten) seluas 2.000 ha dan di Jawa Barat (Subang dan Indramayu) sekitar 50.000 ha.

Pada dasawarsa tahun 1971-1980 mencapai 2.500.000 ha.

Selanjutnya...

« Mulai Sebelumnya 1 2 3 4 Berikutnya Akhir »

Sertifikasi

Hak Cipta 2009 | Balai Besar Penelitian Tanaman PadiJl. Raya 9, Sukamandi, Subang 41256, Jawa BaratTelp (0260) 520157, Fax. (0260) 520158email : [email protected]

- Hama dan Penyakit Padi http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/data-base-hama-dan-pen...

17 of 17 21/02/2013 10:16