repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51776...wasiat juga diatur...
TRANSCRIPT
iv
ABSTRAK
DEVY NURUL SEPTIANI NIM 11150440000081 PEMBATALAN
HIBAH DAN PEMBAGIAN HARTA WARIS PADA PUTUSAN NOMOR
2394/Pdt.G/2011/PA.JT dan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK. Program Studi
Hukum Keluarga (Akhwal Syaksiyyah), Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2019 M. 104 halaman + Lampiran
1 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui menjelaskan bagaimana pertimbangan
Majelis Hakim mengenai pembatalan hibah yang dilakukan ayah terhadap anaknya
pada putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JK dan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK
Perspektif Hukum Positif dan Perspektif Hukum Islam. serta bertujuan untuk
mengetahui pertimbangan Majelis Hakim pada pembagian harta waris kepada ahli
warisnya ditinjau dari Hukum Waris Islam terhadap putusan Nomor
394/Pdt.G/2011/PA.JK dan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan pendekatan yuridis
normatif. Sumber data primer dalam putusan ini adalah berkas putusan gugat waris
pada putusan Nomor 394/Pdt.G/2011/PA.JK dan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK.
Teknik penulisan dalam skripsi ini menggunakan buku pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seorang ayah membatalkan hibah
yang telah diberikan kepada anak-anaknya karena ayah merasa hibah tersebut ada
unsur penekanan sehingga ayah tersebut membatalkan kembali hibah yang telah
diberikan. Menurut pertimbangan Majelis Hakim hal ini telah sesuai dengan Pasal
212 Kompilasi Hukum Islam dan Hadits Nabi sehingga hakim menilai bahwa hibah
yang telah dibatalkan oleh ayah kepada anak-anaknya itu sah. Untuk pembagian
waris Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta dalam menetukan bagian-bagian ahli waris berpedoman pada Al-
Qur’an surat An-Nisa ayat 11 dan ayat 12, namun demikian ada sedikit kekeliruan
yakni pada tingkat pertama asal masalah antara ayah dan anak berbeda seharusnya
disamakan yaitu /28 dan pembagian untuk anak perempuan 1 sedangkan untuk anak
laki-laki 2 seharusnya jika dihitung sesuai dengan hukum waris Islam yaitu anak
perempuan mendapatkan 3 sedangkan untuk anak laki-laki 6. Untuk pembagian
waris pada Tingkat Banding juga ada sedikit kekeliruan yaitu bagian untuk anak
perempuan 4 sedangkan untuk anak laki-laki 8, seharusnya anak perempuan
mendapatkan 3 dan anak laki-laki mendapatkan 6. Dalam perkara waris ini
kedudukan anak-anaknya sebagai ‘asobah bil ghair oleh karena itu anak-anaknya
mendapatkan sisa harta.
Kata kuci : Pembatalan, Hibah, Waris, Putusan Pengadilan
Pembibing : Hj. Hotnidah Nasution. MA
Daftar Pustaka: Tahun 1992 sampai tahun 2018
v
KATA PENGANTAR
مممبسم الل من لر لر
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan kasih sayang, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
judul Pembatalan Hibah dan Pembagian Harta Waris Pada Putusan Nomor
2394/Pdt.G/2011/PA.JT dan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK. Shalawat serta salam
senantiasa tercurah limpahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW yang
telah membawa ummatnya ke jalan yang terang benderang seperti sekarang ini.
Dalam penyelesaian skripsi ini banyak hambatan dan rintangan yang muncul
silih berganti. Namun dengan bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak
maka penulis dapat melewati semua sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para wakil Dekan I, II, dan III
Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. Mesraini, M.Ag., dan Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Ketua Program
Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum, yang selalu memberikan semangat dan arahan
kepada penulis.
4. Hj. Hotnidah Nasution, M.A., selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran disaat membimbing dan memberikan
masukan-masukan dalam penyususn skripsi ini.
vi
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan yang
tidak bias penulis sebutkan semuanya tanpa mengurangi rasa hormat penulis.
6. Staf Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan fasilitas peminjaman buku kepada penulis guna menyelesaikan
skripsi ini.
7. Kedua orang tua, teruntuk ibuku tersayang Mikir Sariyati dan ayahku tercinta
Slamet Supriyadi yang tak pernah lelah untuk memberikan doa dan
motivasinya kepada penulis, sehingga menjadi motivasi tersendiri kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa kakakku Eko Budi
Santoso, Amd. Par., adikku tercinta Danish Hilman Eshan dan Ayu Dya
Windiniarti, yang selalu menghibur penulis dikala penulis sedang gelisah.
8. Teman-temanku alumni Al-Amanah Al-Gontory khususnya Abdul Mulki
Al-Ansory, Ade Tita, dan Laras Destila yang selalu memberikan masukan,
memberikan semangat, dan menemani penulis dari awal hingga selesainya
skripsi ini .
9. Sahabatku tersayang, Saadah, Hana, Dina, Novia, Dede, Imamah, Iis, Novi,
Lala, dan Desi mereka adalah sahabat seperjuangan, yang selalu
mendengarkan keluh kesah penulis, dan merekalah yang telah menemani
penulis dari awal perkuliahan hingga saat ini.
10. Seluruh teman-teman mahasiswa angkatan 2015 yang sudah menemani
penulis dalam menentut ilmu dan menempuh pendidikan di Program Studi
Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Kawan-kawan KKN Merpati 50 2018 yang juga telah memberikan motivasi
dan semangat penulis sehingga penulis sampai pada penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas semua kebaikan
mereka dengan balasan yang setimpal. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan
manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Untuk itu penulis
vii
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk memperbaiki skripsi
ini.
Jakarta, 25 November 2019
Devy Nurul Septiani
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
A. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak Dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
ix
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik diatas hadap ‘ ع
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
x
Apostrop ‘ ء
Y Ya ي
B. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
____ _ __ = a اى = a
_____ ______ = i يى = i
_____ ______ = u = u
C. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
al = (ال) ai = يأ
al-sh = (الش) aw = وأ
-wa al = (وال)
D. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-
syuf’ah
xi
E. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1)
atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
Kata Arab Alih Aksara
Syarî’ah شريعة
al-syarî’ah al-islâmiyyah الشريعةالإسلامية
Muqâranat al-madzâhib نةالمذاهبمقار
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkandalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miringatau cetak tebal. Berkaitan
dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara
sendiri, disarankan tidakdialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari
BahasaArab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman
kepadaKamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
xii
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur’an Alquran
2 Al-Hadist Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nash Nas
5 Tafsir Tafsir
6 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUN BIMBINGAN ........................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………… iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………………. viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii
BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 6
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ................................ 6
D. Tujuan Penelitian ............................................................................ 7
E. Manfaat Penelitian .......................................................................... 8
F. Studi Kajian Terdahulu ................................................................... 8
G. Metode Penelitian ........................................................................... 9
H. Sistematika Penulisan ..................................................................... 11
BAB II: KAJIAN TEORITIS HIBAH DAN KEWARISAN ISLAM ............. 13
A. Hibah Prespektif Hukum Islam ....................................................... 13
1. Pengertian Hibah Menurut Hukum Islam .................................. 13
2. Rukun, dan Syarat Hibah........................................................... 15
3. Dasar Hukum Hibah.................................................................. 16
4. Penarikan Hibah Menurut Hukum Islam ................................... 17
xiv
B. Hibah Prespektif Hukum Positif ...................................................... 19
1. Pengertian Hibah Menurut Hukum Positif ................................. 19
2. Penarikan Hibah Menurut Hukum Positif .................................. 22
C. KONSEP KEWARISAN ISLAM ................................................... 24
1. Pengertian Waris dalam Hukum Islam ..................................... 24
2. Rukun dan Syarat .................................................................... 27
3. Dasar Hukum Waris Islam ....................................................... 30
4. Sebab-sebab Mendapatkan Hak Waris ..................................... 33
5. Halangan-halangan Untuk Menerima Waris............................. 34
6. Ahli Waris dan Bagiannya ....................................................... 37
7. Metode Pembagian HartaWarisan dalam Islam ........................ 42
8. Tashih ..................................................................................... 45
BAB III: Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor
2394/Pdt.G/2011/PA.JT dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK .................................................... 46
A. PutusanNomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT .................................... 46
1. PosisiKasus ......................................................................... 46
2. Duduk Perkara .................................................................... 47
a. Alasan Gugatan ............................................................. 47
b. Petitum Penggugat ......................................................... 55
c. Proses Pemeriksaan ....................................................... 56
3. Amar Putusan ...................................................................... 68
B. Putusan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTAJK ................................... 69
1. Posisi Kasus ........................................................................ 69
2. Duduk Perkara .................................................................... 70
a. Alasan Pembanding ....................................................... 70
3. Amar Putusan ...................................................................... 71
xv
BAB IV: ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF PADA
PEMBATALAN HIBAH, DAN ANALISIS HUKUM ISLAM
PADA PEMBAGIAN HARTA WARIS ........................................ 74
1. Pertimbangan Hakim Mengenai Pembatalan Hibah Pada Putusan
Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA. JT ............................................... 74
2. Pertimbangan Majelis Hakim Mengenai Pembatalan Hibah Pada
Putusan Nomor145/Pdt.G/2012/PTA. JK .................................. 77
3. Pertimbangan Majelis Hakim Mengenai BagianWaris Pada
Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT .................................. 82
4. Pertimbangan Majelis Hakim Mengenai BagianWaris Pada
Putusan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA. JK ................................. 88
BAB V : PENUTUP ...................................................................................... 95
A. Kesimpulan ............................................................................... 95
B. Saran ...................................................................................... ..99
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 100
LAMPIRAN ....................................................................................................... 105
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Indonesia mempunyai beberapa aturan hukum, salah satunya
adalah Hukum Islam. Hukum Islam merupakan asas hukum berdasarkan
wahyu Allah SWT yang terdapat pada Al-Qur’an, dan Hadits.1 Salah satu
yang diatur oleh Hukum Islam yaitu tentang harta kekayaan. Harta yang
diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Seperti misalnya hukum
kewarisan, dalam hal ini hukum Islam mengatur secara detail tentang
pengalihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada orang yang
berhak atas harta tersebut. Tak hanya masalah kewarisan saja, hibah dan
wasiat juga diatur oleh hukum Islam.2 Dalam Undang-undang No 7 tahun
1989 Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1), dan (2) yang telah diubah dengan
Undang-undang No 6 tahun 2006 ketiga persoalan diatas merupakan
kewenangan Peradilan Agama. Pada Pasal 50 ayat (2) menerangkan bahwa
untuk orang yang beragama Islam perkara diatas haruslah diputus oleh
Pengadilan Agama3.
Allah SWT dan Rasulullah menganjurkan umatnya untuk saling tolong
menolong, memiliki rasa kepedulian sosial, dan memiliki rasa kepedulian
terhadap orang yang membutuhkan. Semua itu dapat diwujudkan dengan cara
melakukan hibah. Hal ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 177 yang
artinya:
“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
1 Barzah Latuponodkk, Buku Ajar Hukum Islam, (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2017), h. 2. 2 Akhmad Jenggis, 10 Isu Global di Dunia Islam, (Yogyakarta: NFP Publishing 2012), h. 198. 3 A Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 120-121.
2
orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) budak” (Q.S Al-
Baqarah(2):177).
Ayat diatas menganjurkan kita sebagai manusia untuk saling tolong
menolong. Oleh karena itu sangat baik untuk orang yang mempunyai
kelebihan harta berbagi atau berhibah kepada orang yang membutuhkan.4
Dengan melakukan hibah akan menimbulkan hubungan yang erat terhadap
sesama. Hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain, dan waktu
pemberian hibah tersebut disaat si pemberi hibah masih hidup. Hibah juga
merupakan suatu kegiatan untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa
mengaharapkan imbalan apapun.5 Siapapun berhak untuk menerima atau
memberi hibah seperti memberi hibah kepada teman, ayah kepada anaknya,
dan segala bentuk harta apapun milik si pemberi hibah dapat dihibahkan jika
harta tersebut adalah harta orang lain maka tidak diperbolehkan.6
Dalam KUH Perdata Pasal 1666 hibah yaitu suatu perjanjian dengan
mana si penghibah, pada waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan
tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan
dipenerima hibah yang menerima penyerahan itu. 7
Kasus pembatalan hibah bisa saja terjadi apabila orang yang
dihibahkan tidak memenuhi syarat tertentu pada pemberian hibah tersebut. Di
dalam Hukum Perdata BW Pasal 1666 tidak ada penarikan hibah yang telah
diberikan kepada orang lain kecuali ada persetujuan dari pihak yang
menerima hibah tersebut.8 Hukum Islam juga melarang penarikan atau
4 Harun, Fiqh Muamalah (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), h. 227. 5 Harun, Fiqh Muamalah, h. 225. 6 Faizah Bafadhal, “Analisis Tentang Hibah dan Korelasinya Dengan Kewarisan dan
Pembatalan Hibah Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, 4, 1
(Juli, 2011), h. 18. 7 Eman Suparman, Hukum Waris Indosesia, (Bandung: PT Refika Aditama 2005) h. 81-83. 8 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, h. 84.
3
pembatalan hibah, berdasarkan hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar dan Ibnu Abbas mengibaratkan orang yang menarik kembali hibahnya
seperti orang yang muntah, lalu memakan muntahnya kembali. Kecuali
penarikan hibah yang dilakukan ayah kepada anaknya. Karena ayah selaku
orang tua wajib menjaga kemslahatan anaknya.9
Berbicara mengenai hibah, hibah dari orang tua kepada anak dapat
diperhitungkan sebagai warisan, hal ini terdapat pada Inpres Pasal 211. Pada
dasarnya orang yang telah meninggal secara otomatis hartanya berpindah
kepada orang yang berhak atas harta tersebut. Pada Al-Qur’an surat An-Nissa
ayat 7,8,11,12,33, dan ayat 176 telah mengatur mengenai hukum waris serta
bagian masing-masing ahli waris dari harta peninggalan si pewaris.10
Ada
beberapa unsur dalam waris Islam yaitu: Pewaris, orang yang meninggal, ia
memiliki harta yang akan diwariskan. Harta Waris atau tirkah yang
ditinggalkan oleh si pewaris yang sudah dikurangi untuk membayar hutang,
dan harta tersebut menjadi objek waris yang akan diwariskan. Ahli waris,
orang yang mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan ia juga
akan menerima harta dari si pewaris setelah si pewaris itu meninggal dunia.11
Pembagian waris kepada masing-masing ahli waris harus sesuai
dengan ketentuan yang terdapat pada Al-Qur’an. Pada praktinya dalam
masyarakat masih banyak yang bingung mengenai masalah waris, dan
menimbulkan sengketa pada masalah kewarisan. Seperti kasus yang telah
diputus oleh Pengadilan Agama Jakarta pada perkara Nomor
2394/Pdt.G/2011/PAJT dalam perkara ini yang diajukan oleh Penggugat
kepada tergugat 1, tergugat 2, tergugat 3, tergugat 4, tergugat 5. Dalam
9 Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2014), h. 84. 10 Aulia Muthiah dan Novy Sri Pratiwi Hardani, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Medpres
Digital, 2015), h. 2. 11 Tinuk Dwi Cahyani, Hukum Waris Dalam Islam, (Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang, 2018), h. 3.
4
perkara ini yang ingin penulis angkat adalah mengenai pertimabngan Majelis
Hakim mengenai pembatalan hibah yang dilakukan ayah terhadap anaknya
dan bagian masing-masing ahli waris dari harta peninggalan si pewaris yang
pada awalnya ketika pewaris telah meninggal dunia, si pewaris meninggalkan
objek waris berupa sebidang tanah seluas kurang lebih 429 M2, dan bangunan
diatasnya 148 M2.
Harta tersebut sudah dihibahkan oleh penggugat kepada para Tergugat
dengan bukti tertulis dalam surat pernyataan Penggugat tertanggal 24 Februari
2009 Penggugat telah secara sukarela menyatakan beberapa hal yaitu:
menyatakan melepaskan hak kepemilikan atas rumah Keluarga Ramelan
Djojo Ardjo, dan (Alm) Siti Mulyani dan menyerahkan kepemilikan rumah
tersebut kepada kelima anaknya, dalam hal ini Para Tergugat. Bahwa akta
pernyataan Penggugat Nomor : 1 tertanggal 1 Maret 2009 yang dibuat
dihadapan Helmi, S.H., Notaris di Bekasi, Penggugat secara sukarela
membuat pernyataan : (1) Bahwa Penggugat dengan ini menyatakan dan
berani diangkat sumpah melepaskan Hak Waris, (2) Bahwa benar untuk
menghargai dan menjamin hak-hak dari 5 (lima) orang anak yang sampai saat
ini masih hidup yaitu Para Tergugat sebagai pemilik dan ha katas sebidang
tanah dan bangunan Harta Peninggalan, (3) Penggugat menjamin tidak akan
menjual, memindahkan dan menyerahkan ataupun dengan cara lain
melepaskan sebidang tanah dan Bangunan Harta Peninggalan tanpa
persetujuan tertulis Para Tergugat.
Penggugat tidak boleh tinggal dirumah terebut karena penggugat telah
menikah lagi dengan perempuan yang bernama Darwati Simatupang.
Meskipun penggugat telah menghibahkan rumah dan tanah kepada para
Tergugat, namun penggugat merasa hibah itu ada penekanan dari para
Tergugat sehingga pada tanggal 28 Juni 2010 penggugat telah membatalkan
5
hibah dan peralihan dalam bentuk apapun terhadap harta bersama kepada para
Tergugat.
Alasan Penggugat mengajukan gugatan waris ini ke Pengadilan
Agama karena Penggugat selaku suami berhak mendapatkan bagian waris
sebesar 1/4 bagian dan ditetapkan atau ditentukan siapa-siapa saja ahli
warisnya serta berapa besar bagiannya masing-masing. Mengenai pembagian
masing-masing ahli waris dalam Al-Qur’an ada enam yang ditetapkan yaitu:
1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Adapula yang berhak menerima 1/2 dari harta
warisan yaitu suami (jika seorang diri tidak mempunyai keturunan), cucu
perempuan keturunan laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara
perempuan seayah. Adapula yang mendapatkan 1/4 yaitu ayah (apabila
memiliki keturunan).12
Dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur ini
Majelis Hakim telah memutuskan perkara ini dengan mengabulkan
permohonan penggugat serta menetapkan bagian masing-masing ahli waris.
Akan tetapi ada sedikit kekeliruan dalam pembagian masing-masing dari ahli
waris, yaitu asal masalahnya untuk Penggugat dan para Tergugat berbeda, dan
bagian untuk para Tergugat masih belum sesuai dengan hukum Islam.
Para tergugat tidak puas dengan putusan tingkat pertama sehingga para
Tergugat mengajukan Banding. Pada putusan Tingkat Banding Majelis Hakim
memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur
dengan mengadili sendiri. Namun, pada putusan tingkat banding ini Majelis
Hakim masih ada sedikit kekeliruan mengenai penetapan masing-masing
bagian dari ahli waris, yang mana dalam pembagian itu hasilnya tidak sama
dengan asal masalahnya dan pembagian untuk para Pembanding masih belum
sesuai dengan hukum Islam.
12 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani,
1995), h. 46-59.
6
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Pembatalan Hibah dan Pembagian Harta Waris Pada Putusan
Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT Dan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan oleh
penulis, maka dapat mengidentifikasi pembahasan tema skripsi ini ke dalam
beberapa pertanyaam guna megidentifikasi permasalahn yang akan saya
bahas, diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan hibah menurut hukum Islam?
2. Apa yang dimaksud dengan hibah menurut hukum Positif?
3. Apa saja rukun dan syarat yang harus dilakukan untuk memberi hibah?
4. Apakah hibah yang telah diberikan kepada orang lain dapat ditarik
kembali?
5. Apa yang dimaksud dengan waris menurut hukum Islam?
6. Apa saja rukun dan syarat waris islam?
7. Apa dasar hukum waris islam?
8. Bagaimana ketentuan bagian harta waris untuk masing-masing ahli waris?
9. Apa pertimbangan Hakim membatalkan hibah yang dilakukan ayah
terhadap anaknya?
10. Bagaimana pertimbangan waris Islam terhadap pembagian harta waris
terhadap putusan Pengadilan Agama Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT. Dan
Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK?
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak menyimpang dan melebar
dari inti atau pokok masalah yang akan dikaji, maka penulis disini
membatasinya yakni persoalan yang berkaitan dengan hibah dan
kewarisan yang diatur dengan Hukum Islam, dan Hukum Positif. Dalam
hal ini penulis memfokuskan kepada putusan Pengadilan Agama Putusan
7
Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT dan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK
antara lain:
a. Dalam pembahasan hibah dibatasi dengan pengertian hibah menurut
hukum Islam dan hukum Positif, rukun dan syarat hibah, dan hukum
penarikan hibah menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Sehingga
para pembaca dapat memahami lebih dalam mengenai hibah.
b. Dalam pembahasan waris dibatasi dengan pengertian waris dalam
Hukum Islam, rukun dan syarat, ahli waris dan bagiannya.
c. Pertimbangan Majelis Hakim dibatasi pada pertimbangan hukumnya
sehingga pembaca dapat mengetahui bagaimana pertimbangannya.
d. Pertimbangan waris Islam terhadap pembagian harta waris pada
putusan Pengadilan Agama Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT. Dan
Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK
Dari hasil kajian skripsi ini diharapkan dapat menjelaskan
tentang penarikan hibah yang dilakukan orang tua terhadap anaknya,
serta pembagian harta waris kepada masing-masing ahli waris.
2. Rumusan Masalah
a. Apakah pertimbangan Majelis Hakim tentang pembatalan hibah yang
dilakukan ayah terhadap anaknya pada putusan Nomor
2394/Pdt.G/2011/PA.JT Dan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK telah
sesuai dengan Hukum Positif dan Hukum Islam ?
b. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim tentang bagian ahli waris
pada Putusan Pengadilan Agama Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT Dan
Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK ditinjau dari Hukum Waris Islam?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaiman pertimbangan
Majelis Hakim mengenai pembatalan hibah yang dilakukan ayah terhadap
anaknya pada putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT dan Nomor
8
145/Pdt.G/2012/PTA.JK perspektif Hukum Positif dan Perspektif Hukum
Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan Majelis Hakim pada
pembagian harta wariskepada ahli warisnya ditinjau dari Hukum Waris
Islam terhadap putusan Pengadilan Agama Nomor
2394/Pdt.G/2011/PA.JT. Dan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK?
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi kalangan akademisi atau masyarakat umum, penelitian ini
diharapkan dapat menambah wawasan mengenai pembatalan hibah yang
dilakukan ayah kepada anak, dan proses penyelesaian pembagian waris
kepada masing-masing ahli waris.
2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan
sumbangan pemikiran mengenai hukum penarikan hibah yang dilakukan
ayah terhadap anaknya menurut hukum Islam dan hukum Positif serta
pembagian harta waris menurut hukum waris Islam.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan untuk bisa menjadi pembelajaran
bagi orang yang ingin menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain
atau kepada keluarga dekatnya sendiri. Dan dengan adanya penelitian ini
diharapkan agar masyarakat dapat mengetahui bagaimana cara pembagian
waris yang sesuai dengan hukum waris Islam, agar tidak banyak
menimbulkan sengketa waris di dalam masyarakat.
F. Studi Kajian Terdahulu
Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu yang hampir
sama dengan apa yang penulis teliti, jika diteliti lebih dalam adapun
perbedaan dari pembahasan. Pada skripsi ini terkait pada penelitian-penelitian
yang telah dilakukan oleh:
1. Ade Apriani Syarif, B11113095, Universitas Hasanudin Makassar
Fakultas Hukum,Jurusan Departemen Hukum Keperdataan, 2017, judul
9
Skripsi Tinjauan Terhadap Penarikan Hibah dari Orang Tua Terhadap
Anak. (Studi Putusan Pengadilan Agama Pinrang Nomor
432/Pdt.G/2012/PA.Prg). Dalam skripsi ini menjelaskan tentang
kedudukan hukum hibah dari orang tua terhadap anak menurut Hukum
Islam dan bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Nomor
432/Pdt.G/2012/PA.Prg. Perbedaan dengan penulisan ini yaitu pada
tempat objek penelitian, dalam hal ini penulis meneliti dari Pengadilan
Agama Jakarta Timur sampai Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.13
2. Mohammad Apip Firmansyah 107044102095, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan
Konsentrasi Peradilan Agama, 2014, judul Skripsi Hak Suami Sebagai
Ahli Waris Dalam Kompilasi Hukum Islam. (Analisis Putusan Perkara
Gugat Waris Pengadilan Agama Kota Cirebon Nomor
753/Pdt.G/2011/PA.Cn). Dalam skripsi ini menjelaskan tentang
bagaimana prosedur gugatan waris, deskripsi pada perkara gugatan waris
pada putusan nomor 753/Pdt.G/2011/PA.Cn, dan pertimbangan majelis
hakim dalam memutuskan perkara waris pada putusan Nomor
753/Pdt.G/2011/PA.Cn. Perbedaannya dengan penulisan skripsi yang
ditulis oleh penulis adalah penulis fokus pada pertimbangan waris Islam
terhadap pembagian harta waris terhadap putusan Pengadilan Agama
Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT. Dan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK14
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif yaitu penelitian yang difokuskan membahas penerapan kaidah
13 Ade Apriani Syarif, Tinjauan Terhadap Penarikan Hibah dari Orang Tua Terhadap Anak.
(Studi Putusan Pengadilan Agama Pinrang Nomor 432/Pdt.G/2012/PA.Prg) skripsi tahun 2017. 14 Mohammad Apip Firmansyah, Hak Suami Sebagai Ahli Waris Dalam Kompilasi Hukum
Islam. (Analisis Putusan Perkara Gugat Waris Pengadilan Agama Kota Cirebon Nomor
753/Pdt.G/2011/PA.Cn) skripsi tahun 2014.
10
atau hukum normatif.15
Melalui pendekatan ini penulis dapat menelaah
adanya persamaan atau perbedaan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
dengan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, dan Nomor
145/Pdt.G/2012/PTA.JK
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kualitatif yaitu
jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan konsep dan teori,
dan pustaka (Library Research) yaitu jenis penelitian yang berkaitan
dengan metode pengumpulan data kepustakaan dalam penelitian ini
penulis menelaah data tertulis yang berkaitan dengan topik
permasalahan yang akan dikaji meliputi buku, makalah, jurnal dan
lain-lain untuk menemukan kajian teoritis16
3. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian adalah sebagai berikut:
a. Data Primer adalalah data yang diperoleh langsung dari survey
dengan menggunakan metode pengumpulan data yang original.17
Data yang diperoleh penulis dari lapangan yaitu berupa berkas
putusan perkara Gugatan Waris. Berkas Putusan Pengadilan
Agama Jakarta Timur Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT dan berkas
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor
145/Pdt.G/2012/PTA.JK.
b. Data Sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain
dan dipiblikasikan kepada masyarakat.18
Penulis memperoleh data
dari Al-Qur’an, Kompilasi Hukum Islam, serta Undang-undang.
15 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2006), h. 295. 16 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h.
3. 17 Nur Achmad Budi Yulianto dkk, Metodologi Penelitian Bisnis, (Polinema Press, 2018), h.
37. 18 Nur Achmad Budi Yuliantodkk, Metodologi Penelitian Bisnis, h. 37.
11
4. Analisis Data
Bahan-bahan hukum yang sudah dikumpulkan tersebut
dianalisis dengan berpedoman pada metode kualitatif, yaitu suatu cara
penelitian yang menghasilkan informasi deskriptif analisis dan
terkumpul untuk mendapatkan kebenaran atau mengurai fakta dan
berakhir pada suatu kesimpulan serta saran.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Dokumentasi, yaitu sumber data yang digunakan untuk
melengkapi penelitian19
dengan cara mengambil dokumen-
dokumen dari kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur dan
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta yang mengenai persoalan yang
akan dibahas.
b. Kajian kepustakaan, untuk memahami teori-teori dan konsep yang
berkenan dengan metode ijtihad Hakim melalui beberapa buku dan
literatur yang pandang mewakili dan berkaitan dengan objek
penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam menganalisis materi pembahasan penulis
memberikan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang meliputi, Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Review Studi, Metodologi Penelitian, Sistematika Penulisan.
Bab kedua yaitu kajian teoritis hibah meliputi pengertian hibah
menurut hukum Islam dan Hukum Positif, rukun dan syarat hibah, dan hukum
penarikan hibah menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Dalam
19
Muh Fitra dan Luthfiyah, Metodologi Penelitian Penelitian Kualitatif, Tindakan
Kelas dan Studi Kasus, (Sukabumi: Jejak, 2017), h. 74.
12
pembahasan waris yaitu pengertian waris dalam Hukum Islam, rukun dan
syarat, dasar hukum waris, ahli waris dan bagiannya.
Bab ketiga penulis akan mendeskripsikan putusan pada perkara Nomor
2394/Pdt.G/2011/PA.JT dan Nomor 145/2012/Pdt.G/PTA.JK.
Bab keempat berisi analisis yang meliputi pertimbangan Hakim dalam
pembatalan hibah yang dilakukan ayah terhadap anaknya, dan bagaimana
pertimbangan waris Islam terhadap pembagian harta waris terhadap putusan
Pengadilan Agama Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT. Dan Nomor
145/Pdt.G/2012/PTA.JK.
Bab kelima yaitu Penutup meliputi, kesimpulan yang menggambarkan
secara umum tentang permasalahn yang dibahas, dalam bab ini juga
mencakup saran-saran dan peneliti atas permasalahan yang diteliti sehingga
upaya mencapai tujuan dari peneliti yang dilakukan dan diharapkan dapat
bermanfaat bagi kalangan akademis umunya dan penulis khusususnya.
13
BAB II
KAJIAN TEORITIS HIBAH DAN KEWARISAN ISLAM
A. Hibah Perspektif Hukum Islam
1. Pengertian Hibah Menurut Hukum Islam
Hibah merupakan pemberian harta dari seseorang kepada orang
lain secara sukarela dan tanpa megharapkan imbalan. Hibah tidak dapat
disamakan sebagai pemberian harta waris, karena pelaksanaan pemberian
hibah dilakukan ketika penghibah masih dalam keadaan hidup, dan pada
saat itu juga barang yang telah dihibahkan dapat dimiliki dan
dipergunakan kepada penerima hibah tersebut. Sedangkan pemberian
harta waris dilakukan ketika pewaris telah meninggal dunia.1
Hibah berasal dari bahasa Arab: هبة –وهبا –ي وهب –وهب yang
artinya memberikan. Secara makna lafadz hibah diambil dari lafadz:
مروره ان ها تر من يدالوهب الى يدالموهوب له.
Perlewatannya untuk melewatkan dari tangan wahib (pemberi
hibah) kepada tangan mauhub lah (penerima hibah) kepada yang lain.
Atau
الى اخرىمر ل رورهال من
Perlewatannya dari tangan ke tangan lainnya.2
Hibah menurut istilah adalah pemberian suatu barang kepada
orang lain melalui akad tanpa mengharapkan imbalan apapun dari si
1 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 138. 2 M. Sulaeman Jajuli, Fiqh Madhzhab ‘Ala Indonesia, (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2015),
Cet. 1, h. 111.
14
penerima hibah, dan pemberiannya sewaktu masih hidup.3 Atau bisa
dikatakan bahwa hibah yaitu suatu akad yang pokok perosoalannya
pemberian suatu harta milik seseorang yang diberikan kepada orang lain
ketika orang tersebut masih hidup, tanpa adanya imbalan. Hibah mutlak
tidak menghendaki imbalan, baik yang semisal, atau lebih rendah, atau
lebih tinggi darinya. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada
orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak
kepemilikan, maka hal itu disebut I’arah (pinjaman). Demikian pula
apabila seseorang memberikan apa yang bukan harta seperti misalnya
khamr dan bangkai, hal ini tidak layak untuk dijadikan hadiah.4
Menurut syariat hibah adalah sumbangan dengan cara memberikan
hak milik harta kepada orang lain dilakukan ketika masih hidup tanpa
mendapatkan balasan apapun. Kata “sumbangan” untuk membedakan
antara hibah dengan pemberian dengan balasan. Kalimat “memberikan
hak milik” untuk membedakan antara hibah dengan pinjaman, karena
pinjaman yang telah diberikan kepada orang lain hanya bisa dimanfaatkan
saja, tidak menjadi hak milik orang yang meminjam, kemudian harus
dikembalikan kepada pemiliknya. Kalimat “masih hidup” untuk
membedakan antara hibah dan wasiat, karena wasiat merupakan
sumbangan pemberian harta kepada orang lain setelah orang yang
berwasiat itu wafat.5
3 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 375. 4 M. Sulaeman Jajuli, Fiqh Madzhab ‘Ala Indonesia, h. 111-112. 5 Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Fiqhul Maratul Muslimatu. Penerjemah Faisal
Saleh, Yusuf Hamdani: Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jakarta: Akbarmedia,
2009, Cet.1, h. 470.
15
2. Rukun dan Syarat Hibah
a. Rukun Hibah
Menurut Ibnu Rusyd dalam Kitabnya Bidayatul Mujtahid
sebagaimana yang dikutib oleh Jaziri mengemukakan bahwa rukun
hibah ada tiga yaitu:
1) Orang yang menghibahkan atau al-wahib
2) Orang yang menerima hibah atau al-mauhublah
3) Pemberiannya atau perbuatan hibah atau disebut juga dengan al-
hibah
4) Harta atau barang yang dihibahkan.6
b. Syarat Hibah
Adapun syarat-syarat untuk melaksanakan sahnya hibah yaitu
sebagai berikut:
1) Orang yang menghibahkan harus memenuhi syarat sebagai orang
yang telah dewasa, orang yang cakap melakukan perbuatan
hukum, dan mempunyai harta yang akan dihibahkan.
2) Orang yang menerima hibah disyaratkan sebagai orang yang cakap
melakukan perbuatan hukum, apabila orang yang menerima hibah
masih dibawah umur, maka diwakili oleh walinya sampai si
penerima hibah cakap melakukan perbuatan hukum.7
3) Adapun syarat untuk Harta atau barang yang dihibahkan yaitu:
a) Barang harus jelas nilainya
b) Barangnya ada sewaktu hibah itu dilaksanakan
c) Barang dimilik si pemberi hibah
6 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), h. 133. 7 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 139.
16
d) Benda tersebut dapat diserahkan oleh penerima hibah8
Selain syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, para ulama
menyebutkan syarat utama yaitu penerimaan (al-qabdl). Adapun
ikhtilaf para ulama mengenai al-qabdl yaitu menurut as-Syafi’I dan
Abu Hanifah penerimaan merupakan syarat sahnya hibah. Oleh karena
itu pelaksanaan hibah bila tidak disertai persyaratan menerima, maka
hibah itu tidak sah. Menurut Ahmad Ibn Hambal dan Ali Dhahir
berpendapat bahwa sah hukumnya dengan akad dan penerimaan tidak
termasuk syarat.9
3. Dasar Hukum Hibah
Hibah merupakan salah satu bentuk saling tolong menolong yang
sangat dianjurkan oleh syariat Islam, adapun dasar hukum hibah yaitu:
a. Al-Qur’an surat An-Nisa: 4: ayat 4:
ا مري ه هني سا فكلو ه ن ف ء م ن شى عن ل كم فان طب لة ء صدقتهن ن آوا توا الن س ئا
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian engan penuh kerelaan. Kemudia jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai
makanan) yag sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa(4): 4)
b. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah
بيل بن وا لمسكي وا لي تمى وا القرب ذوى ب هح على ل الما تى وا الس
آ وا ب الر قا وف ئلي لس
8 Abdul Ghofur Anshory, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011), Cet. 1, h. 80. 9 Ahmad Rafiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Depok: Rajawali Press, 2017), h. 380.
17
Artinya: Memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan
(memerdekakan) hamba sahaya. (Q.S. Al-Baqarah(2): 177)
c. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah
و ا ق ف ن ين ي يل لذ ب م ف س ل وا م آ ا ن أ ون م ع ب ت و الل ث ل ي ق ف نا ن ا م
ا و م ل د رب ن م ع ره ج م أ ى ل ون ذ زن م ي م ول ه ه ي ل وف ع ول خ
Artinya: Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,
kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih.”
(Q.S.Al-Baqarah(2): 262)10
4. Penarikan Hibah Menurut Hukum Islam
Ada dua macam hibah yang dilakukan pada masa jahiliyah.
Pertama adalah hibah umra, apabila pemberian itu dengan syarat harus
dikembalikan lagi kepada penghibah, manakala penghibah lebih dahulu
meninggal dari yang diberi hibah. Kedua, hibah ruqba yaitu jika
pemberian itu hanya selama hidup pihak penghibah dan pihak menerima
hibah. Kemudian syariat datang menegaskan hibah, dan membatalkan
syarat tersebut sehingga hibah tidak bisa ditarik kembali.11
Dalam kitab as-Sunan disebutkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
.الالوالد فيما وهب لولده ل يل لوا هب ان ي رجع فيما وهب للحد
“Orang yang telah memberikan hibah tidak boleh meminta
kembali hibahnya, kecuali seorang bapak yang memberikan hibah kepada
10 Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), Cet. 9 h.
126-127. 11 Abdul Ghofur Anshory, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, h. 78-79.
18
anaknya.” Oleh sebab itu dikatakan bahwa pemberian yang telah
melaksanakan serah terima haram untuk di tarik kembali, seseorang yang
menarik kembali hibah tersebut diibaratkan seperti anjing yang muntah
lalu memakan muntahannya itu kembali. Kecuali satu orang, yaitu
penarikan hibah yang dilakuka ayah terhadap anaknya. Karena seorang
ayah berhak untuk memiliki harta anaknya, terlebih menarik kembali
pemberian yang telah diberikan seperti sabda Rasulullah SAW:
.انت ومالك لبيك
“Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu”12
Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Imam empat yang berbunyi:
عطية , ث ى بن عباس , ي رف عان الديث , قال : "ل يل للر جل ان ي عط وا ,بن عمر عن ا
ها إل ها , كمثل الكلب ى ولده, ومثل الذي ي عط ى لد فيما ي عط االو ي رجع في العطية ث ي رجعفي
ف ق يئه". ررواه الرممذي أكل حت اذا شبع قاء ث عا
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dari Nabi
SAW ia Bersabda: Tidak halal bagi seorang muslim memberi suatu
pemberian kemudian ia menarik kembali pemberiannya itu kecuali
seorang ayah yang meminta kembali pemeriannya yang diberikan
kepada anaknya. (H.R. Tarmidzi)13
Menurut sabda Rasulullah SAW yang telah disampaikan diatas,
sebagai umat muslim janganlah meniru perbuatan atau prilaku yang
buruk. Kalimat “Orang yang menarik kembali muntahannya seperti
seekor anjing yang muntah lalu memakan kembali muntahannya.”
12 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Fiqhul Maratul Muslimatu. Penerjemah
Faisal Saleh, Yusuf Hamdani: Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Cet. 1, h. 472. 13 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, h. 156
19
Merupakan perumpamaan yang dimaksudkan untuk melarang. Anjing
merupakan hewan yang paling kotor dan najis, apabila terkena najisnya
anjing harus kita bersihkan dengan tanah sebanyak tujuh kali. 14
B. Hibah Prespektif Hukum Positif
5. Pengertian Hibah Menurut Hukum Positif
a. Hibah Menurut Burgerlijk Wetboek (BW)
Hibah dalam KUHPerdata diatur di dalam Buku III tentang
perikatan, BAB X tentang Hibah, hibah yaitu pemberian (schenking).15
Menurut Pasal 1666 BW, hibah diartikan sebagai “Hibah adalah suatu
perjanjian dengan mana si penghibah pada waktu hidupnya, dengan
Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan
sesuatu benda guna keperluan di penerima hibah yang menerima
penyerahan itu”
Dari rumusan diatas, dapat diketahui unsur-unsur hibah sebagai
berikut:
1) Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan Cuma-
Cuma. Artinya, prestasi hanya pada satu pihak saja, sedangkan pihak
lain tidak perlu memberikan kontra prestasi sebagai imbalan.
2) Dalam hibah selalu disyaratkan bahwa penghibah mempunyai
maksud untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah.
3) Yang menjadi objek perjanjian hibah adalah segala macam harta
benda milik penghibah, baik berada berwujud maupun tidak
berwujud, benda tetap maupun benda bergerak, termasuk juga segala
macam benda piutang penghibah.
4) Hibah tidak dapat ditarik kembali.
14 Al-Utsaimin dan Syaikh Muhammad bin Shalih, Asy-Syarul Mumti Kitabul Waqf Wal
Hibah Wal Washiyyah. Penerjemah Abu Hudzaifah. Panduan Wakaf, Hibah dan Wasiat menurut al-
Qur’an dan as-Sunnah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008, h. 140. 15 Abdul Ghofur Ansory, Filsfat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2011), h. 67.
20
5) Penghibah harus dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.
6) Hibah harus dilakukan dengan akta notaris.16
Hibah telah diatur di dalam BW yakni sebagai berikut:
a) Hibah hanya dapat dilakukan apabila barang yang akan
dihibahkan ada saat hibah itu dilaksanakan. Apabila barang itu
tidak ada saat pemberian hibah berlangsung maka hibah tersebut
batal. Hal ini dijelaskan pada Pasal 1667 KUHPer “Penghibah
hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada
pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah tersebut
mencangkup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan
batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada”.17
b) Pasal 1668 KUHPer Penghibah tidak boleh memperjanjikan
bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan hibah
tersebut kepada orang lain.
c) Pasal 1669 KUHPer menjelaskan penghibah boleh
memperjanjikan bahwa pemberi hibah tetap bisa menikmati hasl
dari benda-benda yang sudah dihibahkan.
d) Pasal 1670 KUHPer menjelaskan hibah akan batal apabila
penerima hibah akan melunasi hutang-hutang lain, selain yang
telah dinyatakan dengan tegas di dalam akta hibah sendiri.
e) Pasal 1671 KUHPer menjelaskan bahwa penghibah boleh
memperjanjikan bahwa ia tetap boleh menggunakan uang dari
benda-benda yang telah dihibahkan. Apabila penghibah telah
meninggal dunia sedangkan uang tersebut belum digunakan oleh
16 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1992), h. 159. 17 Tim Redaksi BIP, Tiga Kitab Undang-Undang KUHPERdata, KUHP, KUHAP, Beserta
Penjelasannya, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2017), h. 464.
21
penghibah maka uang tersebut dan seluruh harta yang telah
dihibahkan tetap seluruhnya untuk penerima hibah.
f) Pasal 1672 KUHPer menjelaskan bahwa penghibah boleh
memperjanjikan bahwa penghibah boleh menarik kembali
pemberiannya apabila penerima hibah lebih dahulu meninggal
dari penghibah.
g) Pasal 1676 KUHPer juga menjelaskan mengenai kecakapan para
pihak dalam melaksanakan hibah yaitu setiap orang boleh
menerima atau memberi hibah, kecuali orang-orang yang
menurut Undang-Undang dinyatakan tidak cakap untuk itu.
h) Pasal 1679 KUHper penerima hibah harus ada saat hibah
dilaksanakan.18
b. Hibah Menurut Kompilasi Hukum Islam
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf g, hibah adalah
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang
akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.19
Dalam KHI hibah
diartikan sebagai pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari sesueorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki. Dengan demikian unsur yang ada dalam melaksanakan hibah
yaitu tidak adanya keterpaksaan dari pihak lain.20
Pada Pasal 211
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa hibah dari orang tua kepada
anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian “dapat” pada
pasal tersebut bukan berarti harus, tetapi merupakan salah satu jalan
alternative yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan.
Sepanjang ahli waris tidak ada yang mempersoalkan hibah yang sudah
18 H.R. Daeng Naja, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, (T.t:
Citra Adtya Bakti, 2006), Cet. 1, h. 43-45. 19 Pasal 171, Kompilasi Hukum Islam. 20 Abdul Ghofur Anshory, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia h. 92.
22
diterima oleh sebagian ahli waris maka harta warisan yang belum
dihibahkan dapat dibagikan kepada semua ahli waris sesuai dengan
porsinya masing-masing.21
6. Penarikan Hibah Menurut Hukum Positif
Pada pasal 212 Kompilasi Hukum Islam menerangkan bahwa
hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada
anaknya. Seperti sabda Rasulullah yang telah disinggung sebelumnya
kebolehan ayah menarik kembali pemberiannya karena ayah berhak
menjaga kemaslahatan anaknya dan berhak atas harta anaknya. Pasal
tersebut menjelaskan mengenai keharaman hibah yang telah diberikan
kepada orang lain lalu ditarik kembali, kebolehan menarik kembali hibah
yang telah diberikan hanya berlaku kepada hibah dari orang tua kepada
anaknya.22
Misalnya, apabila anak yang telah diberikan hibahnya tidak
memperdulikan orang tuanya yang mengalami kesmiskinan, sedangkan
anaknya berkecukupan untuk membantu kedua orang tuanya namun ia
tidak peduli. Atau penarikan hibah yang didasari dengan hibah berysarat
seperti ketika dalam melaksanakan hibah ada persyaratan bahwa ketika
anaknya telah menerima hibah tersebut ia akan mengurus dan
menanggung kehidupan orang tuanya selama orang tuanya masih hidup.
Namun pada kenyataannya semua itu tidak ia laksanakan.23
Pada Perma Nomor 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah menyebutkan kaidah hukum hibah, salah satunya ialah
mengenai penarikan kembali hibah yang telah diberikan. Adapun hal-hal
sebagai berikut:
21 Destri budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di
Indonesia,(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), Cet. 1, h. 84. 22 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 383. 23 Abdul Ghofur Ansory, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, h. 95.
23
a. Penerima hibah bisa menjadi pemilik harta yang telah dihibahkan
kepadanya setelah pelaksanaan hibah telah dilakukan.
b. Penghibah dapat menarik hibahnya kembali atas kemauannya sendiri
sebelum harta tersebut dihibahkan.
c. Jika penghibah melarang si penerima hibah untuk mengambil harta
hibah setelah terjadinya transaksi berarti si pemberi hibah menarik
kembali hibah tersebut.
d. Penerima hibah dapat menarik kembali hibahnya dengan persetujuan
si penerima hibah.
e. Apabila penghibah menarik kembali hibahnya tanpa ada persetujuan
dari penerima hibah atau tanpa adanya keputusan dari Pengadilan
maka penghibah merupakan seseorang yang telah merampas hak
orang lain, apabila barang tersebut rusak atau hilang ditangan
penghibah maka penghibah harus mengganti kerugian tersebut.
f. Jika seseorang memberikan hibah kepada orang tuanya atau anak-
anaknya, atau kepada saudara perempuannya, atau saudara laki-
lakinya, atau kepada paman dan bibinya, maka pemberi hibah tidak
boleh menarik kembali hibah yang telah diberikan setelah transaksi
berlangsung.
g. Jika suami atau istri masih dalam ikatan perkawinan mereka saling
memberi hibah kepada orang lain, mereka tidak berhak menarik
kembali hibahnya masing-masing setelah adanya penyerahan harta.
h. Jika sesuatu yang diberikan sebagai pengganti harta hibah maka
penghibah tidak boleh menarik kembali hibahnya.
i. Jika penambahan suatu harta atau barang yang ditambahkan
berhubungan dengan hibah maka penghibah tidak boleh menariknya
24
kembali akan tetapi tambahan suatu harta atau benda yang tidak
berhubungan dengan hibah dapat ditarik kembali.24
Menurut Hukum Perdata BW pada Pasal 1666 hibah tidak bisa
ditarik kembali kecuali dengan kesepakatan para pihak. Pada Pasal 1688
BW hibah dapat ditarik kembali dalam hal-hal berikut:
a. Jika orang yang telah diberikan hibahnya tidak dapat menjalankan
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh penghibah.
b. Jika orang yang telah diberi hibah bersalah dengan melakukan atau
ikut serta dalam melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu
kejahatan atas diri penghibah.
c. Jika penerima hibah menolak untuk menafkahi penghibah setelah
penghibah jatuh miskin.25
C. Pengertian Waris Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Waris
Ilmu mawaris atau “al-mawaariist” adalah ilmu yang رثاالمو
mempelajari tentang penentuan harta peninggalan seseorang yang telah
meninggal kepada ahli warisnya.26
Kata “Al-Miiraats” راث dalam المي
bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari kata: Waratsa,- Yaritsu-
Irtsan- Wamiiraatsan. Pengertian Miraats menurut bahasa adalah
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu
24 Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, h. 86-87. 25 Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2007,
Cet Pertama) h. 434. 26 Zurinal Z dan Aminudiin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 290.
25
kaum kepada kaum lain.27
Adapun dalam istilahnya, waris ialah
berpindahnya kepemilikan harta benda dan hak milik yang ditinggalkan
mayit kepada ahli warisnya yang berhak.28
Waris menurut hukum Islam adalah proses pemindahan harta
peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa harta
benda berwujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada
keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum.29
Dijelaskan Amir
Syarifuddin mengenai pengertian hukum waris Islam ialah seperangkat
ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang
meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-
ketentuan tersebut berdasarkan wahyu Allah yang terdapat dalam Al-
Qur’an dan penjelasannya diberikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Prof. T.M. Hasby As-Shiddiqi dalam bukunya Fiqhul Mawaris
telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris (fiqh
mawaris). Fiqh mawaris ialah
ي عرف به من يرث و من ل يرث و مقدار كل وارث وكيفية الت وزيج علم
“Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang
mewarisi, orang yang tidak dapat mewarisi, kadar yang diterima oleh
masing-masing ahli waris serta cara pengambilannya.”
Fiqh mawaris juga disebut ilmu faraidh, al-faraidh bentuk jamak
dari kata fardh, artinya keajiban dan atau bagian tertentu. Apabila
digabungkan dengan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah.
27 Muhammad Ali Ashabuniy, Al-Mawarits Fisy-Syar’iyatil Islamiyah ‘Ala Dhauil Kitab Was
Sunnah. Penerjemah Sarmin Syukur: Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), Cet.1, h. 56. 28 Saifuddin Masykuri, Ilmu faraidl Pembagian Harta Warisan, (Kediri: Santri Salaf Press,
2016), Cet.1, h. 8. 29 Tinuk Dwi Cahyani, Hukum Waris Dalam Islam, (Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang, 2018), h. 12-13.
26
.علم ي عرف به كيفية قسمة الرم كة على مستحق ها
“Ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan
seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak
menerimanya.”30
Sementara itu kata faraidh لفرائض ا diambil dari lafazh faridhah
,yang oleh ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah الفريضة
yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Jadi disebut dengan ilmu
faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah ditentukan siapa-
siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan
jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris yang telah
ditentukan.31
Ilmu faraidh dikhususkan untuk bagian ahli waris yang telah
ditentukan besar kecilnya oleh syara’. Ilmu faraidh oleh sebagian
faradhiyun (ahli faraidh) di definisikan dengan
لق بلإرث و معرفة الساب الموصل إلى معرفة ذلك و معرفة قدر الوا حب الفقه المت
من الرم كة لكل ذى حق
“Ilmu yang berpautan dengan pembagian harta pusaka,
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan
kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-
bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak
pusaka”
30 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 7. 31 Agus Roswandi, Al-Islam III Buku Daras Mata Kuliah Pengembanga Kepribadian, h. 28.
27
Di dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat pada al-
Qur’an lebih banyak ditentukan dibanding yang tidak ditentukan
bagiannya. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan
faraidh.adapula penggunaan untuk kata mawarits lebih kepada yang
menjadi objek dari hukum ini, yaitu mengenai harta yang beralih
kepada orang yang masih hidup. 32
Ilmu Faraidh ini merupakan disiplin ilmu yang mulia, karena
menyatukan antara logika akal, dan nash untuk dapat menyampaikan
harta warisan kepada mereka yang berhak menerimanya dengan cara
yang tepat dan meyakinkan, ketika terjadi ketidak tahuan dalam
pembagian dan mereka yang mengalami kesulitan dalam memabagi
warisan. Para pakar ilmu faraidh pada masa sekarang menyatakan
keutamaan ilmu ini berdasarkan hadits yang dikutip dari Abu Hurairah
yang menyebutkan “Bahwa faraidh merupakan sepertiga ilmu
pengetahuan dan ia merupakan ilmu pengetahuan yang akan
dilupakan.”33
2. Rukun dan Syarat Waris:
a. Rukun waris ada tiga macam yaitu:
1) Al- Muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia atau, baik mati
hakiki maupun mati hukmiy, suatu kematian yang dinyatakan oleh
keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia
belum mati, yang meninggalkan harta atau hak.34
32 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, h. 7-8. 33 Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukkadimah Ibnu Khaldun.
Penerjemah Masturi Irham, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011, Cet.1, h. 834. 34 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Ahkamul-Mawarits Fil-Fiqhil-Islami,
Penerjemah Addys Aldisar, dan Fathurrahman: Hukum Waris, Jakarta: Senayan Abadi Publshing,
2004, Cet. 1, h. 27.
28
2) Al-Warits, (mereka yang berhak menerima harta warisan dari
orang yang telah meninggal dunia) yaitu orang yang memiliki
hubungan pertalian darah atau kekerabatan, hubungan pernikahan,
hubungan prwalian, dan persamaan agama.
3) Al-Mauruts, (sesuatu yang diwariskan), yaitu harta peninggalan
setelah dikurangi biaya perawatan (apabila sakit atau mati), utang,
zakat harta, dan hibah atau wasiat (tidak melebihi sepertiga
hartanya).35
Diatas merupakan tiga rukun waris. Jika salah satu dari
rukun tersebut tidak ada, waris-mewarisi pun tidak bisa dilakukan.
b. Syarat-syarat Waris
Lafal syuruth ‘syarat-syarat’ adalah bentuk jamak dari syarth
‘syarat’. Menurut bahasa syarat berarti tanda. Sedangkan syarat
menurut istilah adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidakakan
ada hukum. Adapun persoalan warisan memerlukan syarat-syarat
sebagai berikut:
1) Matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang
mewariskan, menurut ulama dibedakan menjadi tiga:
a) Mati hakiki, yaitu hilangnya nyawa seseorang (yang semula
nyawa itu berwujud padanya), baik kematian itu disaksikan
dengan pengujian, seperti tatkala seseorang disaksikan
meninggal, atau dengan pendeteksian dan pembuktian, yakni
kesaksian dua orang yang adil atas kematian seseorang.
b) Mati hukmiy, yaitu suatu kematian yang disebabkan oleh
keputusan hakim, seperti bila seseorang hakim memvonis
kematian si mafqud (orang yang tidak diketahui kabar
beritanya, tidak dikenal domisilinya, dan tidak pula diketahui
35 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh, (Jakarta: Amzah, 2016), Cet. 1, h. 11.
29
hidup atau matinya). Status orang ini jika telah melewati batas
waktu yang ditentukan untuk pencariannya, si mafqud, karena
didasarkan atas sangkaan yang kuat, bisa dikategorikan sebagai
orang yang telah mati.
c) Mati taqdiry, yaitu suatu kematian yang semata-mata
berdasarkan dugaan yang sangat kuat.36
2) Kejelasan bahwa al-waarits masih hidup setelah kematian al-
mauwarits. Atau disamakan hukumnya dengan orang yang hidup,
seperti bayi yang lahir dalam keadaan hidup beberapa waktu
setelah kematian al-muwarits, kemudian bayi itu meninggal.
3) Kejelasan tentang alasan menerima warisan, baik karena
pernikahan, kekerabatan, atau memerdekakan hamba. Kekerabatan
ini meliputi anak, bapak, ibu saudara, atau saudara ayah. 37
Untuk
ahli waris karena hubungan wala’ (karena pembebasan budak)
yaitu seseorang yang telah membebaskan budak berhak terhadap
peninggalan budak itu.38
36 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Ahkamul-Mawarits Fil-Fiqhil-Islami,
Penerjemah Addys Aldisar, dan Fathurrahman: Hukum Waris, h. 29-30. 37 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahihu Fiqhisunnati Waadilatuhu wa Taudhiuhu
Madzaahibil Aimati. Penerjemah Ade Ichwan Ali. Tuntunan Praktis Hukum Waris Islam Jakarta:
Pustaka Ibnu Umar, 2010, Cet. 1, h. 11. 38 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, (Tt: tp.,1984), Cet. 1, h. 40.
30
3. Dasar Hukum Waris Islam
Sebagaimana sumber-sumber hukum Islam pada umumnya,
Hukum Waris Islam bersumber pada al-Qur’an, dan Sunnah Rasul.39
a. Ayat-ayat kewarisan dan hal-hal yang diatur di dalamnya.
1) Al-Qur’an Surat An-Nisa
رب ون وللن سآء نصيب م للر جال نصيب م ا ت را الولدان ا ت را الولدان والق
رب ون م با مفروضا ا قل منه او والق كث ر نصي
Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi
perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan. (Q.S.(An-Nisa (4): 7)
2) Al-Qur’an surat An-Nisa
كم ف الل يوصيكم ف وق نساء كن فإن الن ث ي ي حظ مثل للذكر أول
لكل ولب ويه الن صف ف لها واحدة كانت وإن ت را ما ث لثا ف لهن اث ن ت ي
هما واحد فإن ولد له كان إن ت را ما السدس من أب واه وورثه ولد له يكن ل
با يوصي وصية ب عد من السدس فلم ه إخوة له كان فإن الث لث فلم ه
الل من فريضة ن فعا لكم أق رب أي هم تدرون ل وأب ناؤكم آبؤكم ين أو
.حكيما عليما كان الل إن
Artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu
tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu)
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
39 Suryati, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: ANDI, 2017), h. 11.
31
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu
seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang
meninggal) mempunyai anak.jika dia (yang meninggal) tidak
mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang
meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapatkan seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
diatas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan
setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang
lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maka Bijaksana. (Q.S. An-
Nisa(4):11)40
3) Al-Qur’an surat An-Nisa
ولد لن كان فإن ولد لن يكن ل إن أزواجكم ت را ما نصف ولكم ما الربع ولن ين أو با يوصي وصية ب عد من ت ركن ما الربع ف لكم ت ركتم ما الثمن ف لهن ولد لكم كان فإن ولد لكم يكن ل إن ت ركتم امرأة أو كللة يورث رجل كان وإن ين أو با توصون وصية ب عد من هما واحد فلكل أخت أو أخ وله لك من أكث ر كانوا فإن السدس من ذر ين أو با يوصى وصية ب عد من الث لث ف شركاء ف هم مضار غي حليم عليم والل الل من وصية
Artinya: Dan bagimuanmu (suami-suami) adalah
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu
mempunyai anak, maka kamu mendapatkan seperempat dari
harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang
mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak.Jika kamu mempunyai
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan
40 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. 1, h.7-8.
32
dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat
yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-
utangmu.Jika seseorang meninggal, baik laki-laki (seibu) atau
seseorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu,
setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah
dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli
waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui,
Maha Penyantun. (Q.S.An-Nisa(4):12)
1) Al-Qur’an surat An-Nisa
يست فت ونك قل الل ي فتيكم ف الكللة ان امرؤ هلك ليس له ولد وله اخت
وهو يرث هآ ان ل يكن لا ولد فان كان تا الث ن ي ف لهما ف لها نصف مات را
الثلثن ما ت را وان كان وا اخوة ر جال ونسآء فللذ كرمثل حظ الن ث ي ي
لكم ان تضلوا الل بكل ش ي ب ي .يءعليم والل
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang
kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah, (yaitu) jika seseorang mati dan dia tidak
mempunyai anak tetapi mempunyai mempunyai saudara
perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu)
seperdua harta dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara
perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka ahli
(ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama
dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerengkan
(hukum ini) kepadamu agar kamu tidak sesat. Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An-Nisa(4):176)41
b. Sunnah Rasul:
41 Muhammad Amin Summa, Keadilan Hukum Waris Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2013),
Cet. 1, h. 24-28.
33
1) Hadits riwayat Bukhari dan Muslim:
ررواه بخري و مسلم ألقوا الفرائض بهلها فما بقي ف هو لولى رجل ذكر
Artinya: Berikan warisan kepada yang berhak, jika masi tersisa
maka harta itu untuk keluarga laki-laki terdekat. (H.R Bukhari
dan Muslim)
c. Ijtihad
Yaitu pemikiran seseorang ulama dalam menyelesaikan
pembagian kewarisan yang belum atau tidak disepakati. Meskipun
hukum kewarisan yang biasa disebut dengan (faraidl) ketentuan,
adalah ketentuan yang dibakukan bagiannya, dalam hal ini sering
terjadi kasus yang menyimpang atau tidak sesuai dengan yang
ditetapkan pada Al-Qur’an. Penyelesaian pembagian warisan dengan
cara ijtihad tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadis.42
4. Sebab-sebab Mendapatkan Hak Waris
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan seorang untuk
menjadi ahli waris dan mendapatkan warisan diantaranya:
a. Pertalian darah atau kekerabatan (nasab)
Seseorang bisa menjadi ahli waris serta mendapatkan warisan karena
adanya hubungan darah atau kekerabatan dengan pewaris. Misalnya,
hubungan dengan kedua orang tua, anak keturunan, dan saudara.43
b. Ikatan Perkawinan
Seseorang juga bisa menerima hak waris karena adanya akad nikah
yang sah dengan pewaris (suami atau Istri yang meninggal). Baik
42
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 19. 43 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh Tanya Jawab Hukum Waris Islam, h. 12.
34
suami telah menggauli istrinya setelah melakukan akad nikah, atau
suami atau istri mati sebelum dia menggauli istrinya. 44
c. Hubungan pemerdeka hamba, yaitu hubungan dengan seseorang
hamba sahaya yang telah dimerdekakannya. Dengan demkian ia
berhak mewarisi, karena ia telah memberikan kesenangan kepada
budak. Hubungan disini hanyalah hubungan sepihak yang berarti
orang yang telah memerdekakan hamba sahaya berhak menjadi ahli
waris bagi hamba sahaya yang telah dimerdekakannya. Tetapi hamba
sahaya tidak berhak mewarisi orang yang telah memerdekakannya.45
5. Halangan-halangan Untuk Menerima Waris
Halangan-halangan untuk mewarisi merupakan gugurnya hak ahli
waris dalam bagiannya dari harta peninggalan muwarris. Berikut
merupakan hal-hal yang dapat menghalangi dalam mewarisi:
a. Pembunuhan, semua para ulama sepakat bahwa pembunuhan
merupakan salah satu gugurnya hak untuk mendapatkan harta
waris. Karena tujuan pembenuhan tersebut ialah agar ia segera
memiliki harta muwwaris. Rasulullah bersabda dalam hal ini:
“Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi”(H.R.
Al-Nasai).46
b. Perbedaan agama antar pewaris dengan ahli waris. Alasan
penghalang ini adalah hadits Nabi yang mengajarkan bahwa orang
muslim tidak berhak mewarisi harta orang kafir, begitu pula
sebaliknya bahwa orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang
muslim.47
44 Muhammad Muhyidin dan Abdul Hamid, Panduan Waris Empat Mazhab, (Jakarta: Al-
Kautsar, 2009), h. 14. 45 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. 1, h. 150. 46 Hasbiyallah, Fikih, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008), Cet. 1, h. 85. 47 Suryati, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Andi, T.t), h. 62.
35
c. Perbudakan, kehadiran Islam sejak semula menghendaki adanya
penghapusan perbudakan, namun pada kenyataannya perbudakan
sudah merata dan sangat sulit untuk dihapuskan. Seorang budak
menjadi penghalang mewarisi, karena status seorang budak dinilai
tidak cakap hukum. Begitu juga dengan kesepakatan mayoritas
ulama sesuai dengan Firman Allah SWT dalam surat An-Nahl: 75:
“Allah membuat perumpamaan dengan sorang hamba
sahaya yang dimilki yang tidak dapat bertindak terhadap
sesuatupun dan seorang yang kami beri rezeki itu secara sembunyi
dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji
hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui”.48
Adapun perbedaan para ulama mengenai halangan-halangan untuk
mewarisi:
a. Menurut Imam Hanafi menyebutkan empat penghalang dalam
mewarisi, yaitu budak, membunuh, perbedaan agama, dan
perbedaan negara.
b. Menurut Imam Malik ada sepuluh penghalang dalam mewarisi,
yaitu:
1) Perbedaan agama, berdasarkan ijma’ ualam orang kafir tidak
dapat mewarisi harta orang muslim, begitu pula sebaliknya.
Hal ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah, dan Imam
Syafi’I. Jika orang kafir masuk Islam setelah kematian orang
yang mewariskan yaitu seorang muslim maka dia tidak bisa
mewarisi.
2) Budak, segala macam budak seperti budak mukatab, budak
mudabbar, ummul walad, budak sebagian, budak yang
merdeka untuk tempo tertentu tidak mewarisi dan tidak
48 Tinuk Dwi Cahyani, Hukum Waris Dalam Islam, (Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang, 2018), Cet. 1, h. 52.
36
diwarisi. Pewarisannya adalah orang yang memelihara budak
tersebut(tuannya).
3) Pembunuhan sengaja, seseorang yang telah membunuh dengan
sengaja muwarrisnya, maka ia tidak bisa mewarisi harta
ataupun diyatnya. Dia juga tidak bisa menghalangi pewaris
lain, jika ia membunuh muwarrisnya dengan tidak sengaja
maka ia bisa mewarisi hartanya bukan di-yatnya, dan ia bisa
menghalangi pewaris yang lain.
4) Al-Li’an, orang yang di-li’an tidak bisa mewarisi harta orang
yang me-li’an, begitu pula sebaliknya orang yang meli’an tidak
bisa mewarisi orang yang di-li’an.
5) Zina, anak yang terlahir disebabkan zina tidak bisa mewarisi
harta orang tuanya, sebab ia tidak dalam nasabnya.
6) Ragu-ragu mengenai kematian muwarris, seperti orang yang
ditahan dan orang yang hilang.
7) Janin di dalam kandungan, harta yang ia dapatkan ditahan
sampai si janin tersebut dilahirkan.
8) Ragu-ragu mengenai hidupnya anak yang baru lahir. Jika si
anak menangis atau menjerit maka dia mewarisi dan diwarisi,
jika tidak maka tidak dapat mewarisi dan diwarisi. Jeritan tidak
bisa digantikan dengan gerakan.
9) Ragu-ragu mengenai matinya muwarris atau ahli waris.
10) Ragu-ragu mengnai kelakian atau kewanitaan atau banci. Dia
diuji dengan jenggot, kencing, dan haid. Apabila dia sama
dengan laki-laki maka dia mewarisi warisan laki-laki. Apabila
dia sama dengan perempuan maka dia mewarisi warisan
perempuan. Apabila dia musykil, maka dia diberi setengah
perempuan dan setengah laki-laki.
37
c. Sedangkan menurut Imam Hambali dan Imam Syafi’I
menyebutkan tiga penghalang dalam mewarisi, yaitu budak,
pembunuhan, dan perbedaan agama.49
6. Ahli Waris Dan Bagiannya
Bagian warisan terbagi menjadi dua, ada yang berupa bagian pasti
(fadlu), ada yang berupa sisa (‘ashabah). Maksud dari bagian pasti ialah
bagian yang pasti didapatkan sesuai presentasenya, seperti 1/2 , 1/4, 1/8,
2/3, 1/3 atau 1/6 dari harta warisan. Adapun bagian ‘ashabah ialah tidak
pasti, terkadangan sedikit, sesuai berapa banyak sisa harta warisan setelah
dibagikan pada para ahli waris yang mendapat bagian pasti. Bahkan
terkadang ahli waris ‘ashabah tidak mendapatkan warisan jika ternyata
harta warisan telah habis dibagikan pada ahli waris yang mendapatkan
bagian pasti.
Karena bagian warisan ada dua, yakni bagian fardlu dan
‘ashabah maka ahli waris pun dibagi dua, ada ahli waris yang mendapat
bagian pasti (shahibu fardlin), ada yang mendapat sisa (‘ashabah).50
a. Ahli waris yang mendapatkan bagian pasti
1) Yang berhak mendapatkan 1/2 harta yaitu:
a) Anak perempuan, jika ia seorang diri dan tidak bersama-
sama saudaranya.
b) Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), jika
tidak ada anak perempuan.
c) Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja,
jika saudara perempuan seibu sebapak tidak ada, dan ia
hanya sendirian.
49 Tim El-Madani, Tata Cara Pembagian dan Pengaturan Wakaf, (Yogyakarta: Medpress
Digital, 2014), Cet. 1, h. 14-16. 50 Saifuddin Masykuri, Ilmu Faraidh Pembagian Harta Warisan Perbandingan Empat
Mazhab, h. 25-41.
38
d) Suami, jika istrinya yang meninggal dunia itu tidak
meninggalkan anak dan tidak pula meninggalkan cucu
(baik laki-laki maupun perempuan) dari anak laki-laki.
2) Yang berhak mendapatkan 1/4 harta warisan yaitu:
a) Suami, jika istri meninggal itu mempunyai anak, baik laki-
laki atau perempuan, atau mempunyai cucu dari anak laki-
laki (baik cucu laki-laki atau perempuan).
b) Istri, baik istri itu seorang atau lebih mendapat 1/4 dari
harta peninggalan suami, jika suami tidak meninggalkan
anak (laki-laki atau perempuan). Maka sekiranya istri itu
lebih dari satu, bagian 1/4 itu dibagi rata diantara mereka.
3) Yang mendapat 1/8 harta warisan, yaitu:
a) Istri, baik seorang atau lebih, mendapat harta warisan dari
suaminya sebanyak 1/8 bagian, kalau suaminya yang
meninggal itu meninggalkan anak (laki-laki atau
perempuan), atau cucu dari anak laki-laki (laki-laki atau
perempuan).
4) Yang mendapat 2/3 harta warisan yaitu:
a) Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat
jika tidak ada anak laki-laki, maka mereka mendapat
2/3 dari harta warisan yang ditinggalkan oleh bapak
mereka.
b) Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki,
jika anak perempuan tidak ada, mereka mendapat harta
warisan dari kakek mereka sebanyak 2/3 dari harta
warisan.
c) Saudara perempuan yang seibu sebapak, jika
berjumlah lebih dari seorang.
39
d) Saudara perempuan yang sebapak, dua orang atau
lebih.
5) Yang mendapatkan 1/3 harta warisan, yaitu:
a) Ibu, jika yang meninggal dunia tidak mempunyai anak
atau cucu, dan tidak pula mempunyai dua orang
saudara (laki-laki atau perempuan), baik yang seibu
sebapak atau sebapak saja atau seibu saja.
b) Dua orang saudara ataulebih dari saudara yang seibu,
baik laki-laki maupun perempuan.
6) Yang mendapat 1/6 harta warisan, yaitu:
a) Bapak mendapatkan bagian 1/6 dari harta yang
ditinggalkan anaknya, jika ia bersama-sama dengan
anak atau cucunya dari anak laki-laki, atau beserta
dengan saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan)
yang seibu sebapak, atau sebapak atau seibu saja.
b) Ibu, juga mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan.
c) Nenek, mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan, jika
ibu tidak ada.
d) Cucu perempuan dari anak laki-laki, baik seorang atau
lebih, jika bersamanya hanya seorang anak perempuan.
Tetapi jika anak perempuan itu lebih dari satu orang,
maka cucu tadi tidak mendapatkan harta warisan.
e) Kakek, jika berserta dengan anak atau cucu dari anak
laki-laki, sedang bapak tidak ada. Ketetapan ini
berdasarkan ijma’ ulama.
f) Seorang saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan.
g) Saudara perempuan yang sebapak saja (seorang atau
lebih) jika bersamanya ada seorang saudara wanita
seibu sebapak. Tetapi jika saudara seibu sebapak lebih
40
dari seorang, maka saudara sebapak tidak mendapat
bagian dari harta warisan.51
b. Ahli waris yang mendapatkan ‘ashabah
Ahli waris ‘ashabah adalah ahli waris yang tidak
mendapatkan bagian tertentu. Ia mendapatkan harta peninggalan
setelah harta tersebut di bagikan kepada ashabul furudh. Apabila
tidak ada ashabul furudh seorangpun, maka ahli waris ‘ashabah
mendapatkan seluruh harta warisan.52
Ada dua macam ‘ashabah yaitu ‘asabah nasabiyyah, dan
‘asabah sababiyyah.
1) ‘Ashabah nasabiyyah (karena ada pertalian keturunan) terdiri
dari tiga macam:
a) ‘Ashabah Binafsihi
Yaitu setiap laki-laki yang silsilah keturunannya
dengan mayit tidak diselipi perempuan. Jika diselipi
perempuan, maka ia tidak menjadi ‘ashabah, seperti
halnya anak laki-laki dari ibu (dengan kata lain yaitu
saudara laki-laki si mayit yang seibu dengannya).
Jalur-jalur ‘ashabah binafsihi:
Berdasarkan kaidah diatas maka terdapat empat
jalur ‘ashabah binafsihi, yaitu:
(1) Jalur anak laki-laki: yakni anak-anak laki-laki mayit,
kemudian anak-anak laki-laki mereka, dan seterusnya
kebawah.
51 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 295-301. 52 Zurinal Z dan Aminuddin, Fiqh Ibadah h. 308.
41
(2) Jalur bapak: yakni bapak si mayit dan bapak dari
bapak si mayit, dan seterusnya keatas.
(3) Jalur saudara laki-laki: yakni saudara-saudara laki-
laki si mayit yang sekandung, kemudian yang
sebapak kemudian anak-anak mereka yang
sekandung, kemudian anak-anak mereka yang
sebapak, dan seterusnya kebawah.
(4) Jalur saudara laki-laki bapak: yakni saudara laki-laki
sekandung dari bapak si mayit, kemudian saudara
laki-laki yang sebapak dari bapak si mayit, kemudian
anak-anak laki-laki mereka yang sekandung,
kemudian anak-anak laki-laki mereka yang sebapak.53
b) ‘Ashabah bil ghair
‘Ashabah bil ghair adalah setiap wanita yang bagian
warisannya setengah atau dua pertiga jika ada anak laki-laki
yang memilik derajat dan kekuatan kekerabatan yang sama.
‘Ashabah bil ghair memiliki dua sisi, yaitu:
(1) ‘Ashabah, yaitu wanita yang memiliki hak waris setengah
dari harta warisan jika ia sendiri atau dua pertiga jika ia
berdua atau lebih.
(2) Ghair, yaitu laki-laki yang bergabung bersama wanita
karena berada pada derajat yang sama dan memiliki
hubungan kekerabatan yang sama kuat.
Empat wanita yang menjadi ‘ashabah yaitu anak
kandung perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki,
saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah.
Tidak ada yang mewarisi dengan cara ‘ashabah bilghair,
53 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Tuntunan Praktis Hukum Waris, h. 24-25.
42
kecuali tiap-tiap perempuan yang bagian warisnya setengah
jika ia sendiri atau dua pertiga jika mereka berdua atau lebih.
Ghair (ahli waris lain) yang membuat wanita menjadi
‘ashabah adalah:
(1) Seorang anak kandung laki-laki atau lebih bersama anak
kandung perempuan.
(2) Seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki atau lebih
bersama cucu perempuan.
(3) Seorang saudara kandung laki-laki atau lebih bersama
saudara kandung perempuan.
(4) Seorang saudara laki-laki seayah atau lebih bersama
saudara kandung perempuan seayah.54
c) ‘Ashabah Ma’al Ghair
‘Ashabah ma’al ghair adalah saudara perempuan yang
mewarisi bersama keturunan perempuan dari pewaris. Dalam
hal ini maka keturunan perempuan tadi mendapatkan bagian
tertentu sesuai dengan kedudukannya sebagai dzul fara’idh
dan sisanya diberikan kepada saudara perempuan. Saudara
perempuan pewaris ini disebut ‘ashabah ma’al gahir atau
menjadi ‘ashabah karena mewarisi bersama orang lain.55
7. Metode Pembagian Harta Warisan dalam Islam
Apabila kita akan membagikan harta warisan dari seseorang yang
telah meninggal, dan agar pembagian harta itu sesuai dan terarah haruslah
mengikuti cara-cara sebagai berikut:
54 Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum WarisPembagian Warisan Berdasarkan
Syariat Islam, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), Cet. 1, h. 412. 55 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), Cet. 9,
h. 106
43
a. Langkah pertama sebelum menetapkan usul al-masail atau dalam
bentuk tunggal, dan lebih mudah. Asal masalah adalah menentukan:
1) Siapa ahli waris yang termasuk zawi al-arham (orang yang
memiliki hubungan keluarga)
2) Siapa ahli waris ashab al-furud
3) Siapa ahli waris penerima ‘ashabah
4) Siapa ahli waris yang mahjub
5) Menetapkan bagian-bagian tertentu yang diterima oleh masing-
masing ashab al-furud
Untuk kepentingan tersebut, seseorang perlu mengetahui
secara persis dan menyeluruh, ahli waris, ashab al-furud, bagian
‘ashabah, hajib-mahjub dan syarat seseorang dapat menerima
bagian.56
Setelah mengetahui bagian masing-masing untuk ahli waris
selanjutnya menentukan asal masalahnya. Bagian-bagian para ahli
waris yang telah ditentukan adalah berupa bilangan-bilangan pecahan,
yaitu 2/3 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, dan 1/8. Apabila sejumlah ahli waris
berkumpul, maka akan terdapat sejumlah bilangan pecahan. Asal
masalah merupakan suatu cara untuk menemukan porsi bagian
masing-masing ahli waris dengan cara menyamakan nilai “penyebut”
dan semua bagian para ahli waris.57
Untuk menentukan angka asal masalah dalam suatu kasus
pembagian warisan perlu diperhatikan terlebih dahulu angka-angka
penyebut masing-masing bagian ahli waris. Yang dimaksud asal
masalah disini yaitu Kelipatan Persekutuan terkecil dari “penyebut”.
Adapun asal masalah yang disepakati yaitu, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 2458
56 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris (Jakarta: PT. Raja Grafido, 1995) h. 75 57 Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2002),
h. 68. 58 Abu Malik Kamal, Tuntutan Praktis Hukum Waris, h. 67.
44
Apabila angka-agka penyebut bagian para ahli waris sama besarnya,
dinamakan tamatsul. Seperti misalnya bagian ahli waris 1/3 dengan
2/3 disini angka penyebutnya sama yaitu 3 (tiga), asal masalahnya
harus ditetapkann sesuai dengan angka penyebutnya yaitu 3 (tiga).59
Mudakhalah adalah bilangan penyebut yang besar dapat dibagi
oleh bilangan penyebut yang kecil. Jika demikian, maka bilangan asal
masalah diambil dari bilangan penyebut terbesar.60
Mubayyanah yaitu
apabila bilangan penyebut pada bagian warisan dalam suatu kasus
tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. Misalnya antara
angka penyebut 3 dan 2 satu sama lain tidak dapat dibagi, untuk
menentukan asal masalah dalam hal mubayyanah yaitu dengan cara
mengalikan penyebut yang satu dengan angka penyebut yang lain.
Muwafaqah yaitu apabila bilangan penyebut pada bagian warisan
dalam suatu kasus tidak sama antara yang satu dengan yang lain, tetapi
angka tersebut mempunyai persekutuan, misalnya angka 8 dan 6 kedua
angka ini mempunyai persekutuan yaitu angka 2. Baik angka 6 dan
angka 8 kedua ngka ini sama-sama dapat dibagi 2. Untuk mencari asal
masalah KPK dari angka 6 dan 8 yaitu 2461
.
b. Langkah kedua menjelaskan asal masalah seperti yang telah dijelaskan
diatas.
c. Apabila kita telah mengetahui bagian untuk setiap ahli waris dan kadar
satu bagian dari harta haris tinggal kita kalikan kadar bagian itu
dengan jumlah bagian ahli waris dan hasilnya menjadi bagian untuk
setiap ahli waris.
59 Moh. Muhibbin, dan H. Abdul Wahid, Hukum Kewarisan IslamSebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, h. 119. 60 Saifuddin Masykuri, Ilmu Faraidl Pembagian Harta Warisan, h. 93. 61 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 96-98.
45
d. Untuk mengetahui bagian setiap ahli waris yang menjadi ‘ashabah,
kita harus membagi warisan itu berdasarkan asal masalah. Dari hasil
pembagian itu, laki-laki mendapatkan bagian sebesar dua kali bagian
perempuan.62
8. Tashih
Dalam membagikan harta warisan menggunakan cara yang telah
dipaparkan diatas masih saja ada yang menerima bagian yang belum
genap atau masih bilangan pecahan. Selain sistem asal masalah sebagai
cara untuk penyelesaian, ada pula yang dikenal dengan Tashihul
Masalah. Tashihul Masalah ini diadakan setelah melalui asal masalah.
Tashih menurut bahasa izalatu as suqmi berarti hilangnya rasa sakit.
Menurut istilah adalah mendapatkan bilangan terkecil yang keluar dari
bilangan masing-masing ahli waris karena adanya bilangan pecahan.
Atau adanya angka asal masalah yang terkecil yang dapat menghasilkan
bagian-bagian para ahli waris tanpa bilangan pecahan. 63
Adapun cara mentashih masalah yaitu dengan memperhatikan
semua saham ahli waris dan jumlah semua ahli warisnya, apabila
keduanya ada persesuaian maka ambilah yang sesuai dengan jumlah ahli
warisnya, lalu dikalikan dengan asal masalahnya. Bagian yang dikalikan
dengan asal masalah merupakan bagian saham. Setelah diadakan
perhitungan dengan cara tashihul masalah, maka tidak ada lagi bilangan
pecahan dan masing-masing kepala mendapatkan bagian yang utuh.64
62 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Ahkamul-Mawarits Fil-Fiqhil-Islami,
Penerjemah Addys Aldisar, dan Fathurrahman: Hukum Waris, h. 299-300 63 Asyari Abta, Djuanidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, (Surabaya, Pustaka
HikmahPerdana, 2005), h.182. 64 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh Tanya Jawab Hukum Waris Islam, h. 72.
46
BAB III
DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR NOMOR
2394/Pdt.G/2011/PA. JT dan PENGADILAN TINGGI AGAMA JAKARTA
NOMOR 145/Pdt.G/PTA. JK.
A. Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT
1. Posisi Kasus
Pengadilan Agama Jakarta Timur pada hari Rabu tanggal 16 Mei
2012 Masehi telah menerima gugatan dalam perkara gugat waris yang
diajukan oleh Penggugat yang identitasnya sebagai berikut:
a. Penggugat, umur 67 tahun, beragama Islam, pekerjaan Pensiunan
PNS, bertempat tinggal di daerah Jakarta Timur. Dalam hal ini
diwakili oleh kuasa hukumnya Amat Basiyo, SH, Tabrani Kemal SH.,
MH dan Tasman Gulton, SH., AAA-IK, para advokat pada kantor
Lembaga Konsultasi dan Lembaga Bantuan Huku Altri Penganyoman,
alamat di kampus Altri Pengayoman jalan Percetakan Negara VII/27
Rawasari, Jakarta Pusat, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 3
Nopember 2011, selanjuynya disebut sebagai Penggugat.1
Melawan tergugat yang identitasnya sebagai berikut:
b. Tergugat 1, umur 42 tahun, beragama Islam, pekerjaan Karyawati
bertempat tinggal di daerah Jakarta Timur.
c. Tergugat 2, umur 41, beragama Islam, beragama Islam, pekerjaan
Karyawan, bertempat tinggal di daerah Jakarta Tmur.
d. Tergugat 3, umur 40 tahun, beragama Islam, pekerjaan Karyawan,
bertempat tinggal di daerah Jakarta Timur.
e. Tergugat 4, umur 39 tahun, beragama Islam, pekerjaan Karyawati,
bertempat tingal di daerah Jakarta Timur.
1 Salinan Putusan Nomor 2493/Pdt.G/2011/PA.JT, h. 1.
47
f. Tergugat 5, umur 36 tahun, beragama Islam, pekerjaan Karyawati,
bertempat tinggal di daerah Jakarta Timur.
Dalam perkara ini diwakili kuasa Hukumnya Egia Bastanta
Tarigan, SH, Ridwan Aritomo, SH, Fitra Mochammad Adi Permana, SH,
para Advokat dari Kantor Hukum Egia, Aritomo, dan Ady Permana,
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 18 Desember 2011.
Penulis sengaja menyamarkan nama Penggugat dan nama-nama
para Tergugat untuk menjaga nama baik agar menghindari hal-hal yang
dapat merugikan kedua belah pihak dikemudian hari.2
2. Duduk Perkara
Penggugat melalui kuasa hukumnya telah mengajukan
permohonan gugat waris pada tanggal 7 November 2011 dibawah Nomor
2394/Pdt.G/2011/PA.JT Penggugat mengajukan alasan-alasan sebagai
berikut:
a. Alasan-alasan Gugatan
1) Tentang Kewenangan Mengadili
a) Bahwa gugatan ini yaitu sudah tepat dan benar diajukan ke
Pengadilan Agama karena gugatan ini merupakan perkara
perdata agama dalam ruang lingkup hukum waris Islam, antara
Penggugat dengan para Tergugat mengenai Syirkah dan
Pewaris.
b) Pewaris, Penggugat, dan para Tergugat adalah penganut
Agama Islam, maka gugatan a quo harus diajukan ke
Pengadilan Agama Jakarta Timur, karena Syirkah yang
2 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT h.2.
48
disengketakan berada dalam daerah hukumnya yaitu terletak di
Jakarta Timur.
c) Hal tersebut diatas sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, untuk menentukan Pengadilan mana yang berwenang
untuk memeriksa, mengadili dan memutus. Pasal (1) HIR telah
menentukan sebagai berikut:
“Gugatan-gugatan perdata yang pada tingkat pertama termasuk
kewenangan Pengadilan Negeri, diajuka dengan surat
permohonan yang ditanda tangani oleh Penggugat atau oleh
kuasanya sesuai ketentuan pasal 123 kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang mempunyai wilayah hukum di mana Tergugat
bertempat tinggal atau jika tidak mempunyai tempat tinggal
yang diketahui tempat kediamannya sebenarnya”.
d) Dengan demikian dilihat secara absolut dan relatif Pengadilan
Agama Jakarta Timur berwenang untuk memeriksa, mengadili,
memutus da menyelesaikan perkara tersebut.
2) Tentang Pewaris
Pada tanggal 22 November 2008 pukul 07:20 WIB telah
berpulang ke rahmatullah seorang wanita bernama RA. Siti
Moelyani beragama Islam, demikian sudah patut dan sah disebut
sebagai Pewaris.3
3) Tentang Hubungan Hukum Pewaris dengan Penggugat dan
Para Tergugat
Bahwa Penggugat merupakan suami sah dari Pewaris. Dari
perkawinan antara Penggugat dengan Pewaris mereka dikaruniai
lima orang putra-putri yaitu sebagai berikut:
3 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 5-6.
49
a) Rani Amanu Ramayanti binti Ramelan DA, yang dalam
perkara a quo merupakan Tergugat 1.
b) Imam Sujudi bin Ramelan DA, yang dalam perkara a quo
merupakan Tergugat 2.
c) Mulandaru Rachma bin Ramelan DA, yang dalam perkara a
quo merupakan Tergugat 3.
d) Ratih Puspa Dewi binti Ramelan DA, yang dalam perkara a
quo merupakan Tergugat 4.
e) Marini Kusuma Ningsih binti DA, yang dalam perkara a quo
merupakan Tergugat 5.4
4) Tentang Ahli Waris
Ahli waris yang sah dan patut menurut hukum untuk
ditetapkan oleh Majelis Hakim yaitu:
(1) Ramelan bin Ambiah Djojo Ardjo suami dari Pewaris, yaitu
Penggugat.
(2) Imam Sudjudi bin Ramelan DA, anak laki-laki dari Penggugat
dan Pewaris, Tergugat 2.
(3) Mulandaru Rachim bin Ramelan Da, anak kali-laki dari
Penggugat dan Pewaris, Tergugat 3.
(4) Rani Amanu Ramayanti bini Ramelan DA, anak perempuan
dari Penggugat dan Pewaris, Tergugat 1.
(5) Ratih Puspa Dewi binti Ramelan DA, anak perempuan dari
Pengguguat dan Pewaris, Tergugat 4.
(6) Marini Kusuma Nigsih binti Ramelan DA, anak perempuan
dari Penggugat dan Pewaris, Tergugat 5.
4 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 6.
50
Ahli waris dari Pewaris yang dimaksud diatas belum
pernah ditetapkan atau ditentukan siapa saja ahli warisnya, dan
bagiannya masing-masing untuk ahli waris.5
5) Tentang Syirkah Atau Harta Peninggalan Dari Pewaris
Setelah Pewaris meninggal dunia, Pewaris meninggalkan
harta antara lain berupa sebidang tanah Hak Milik BTP Nomor:
2062 seluas kurang lebih 429 M2
dan sebuah banguna diatasnya
seluas 200 M2 yang terletak di Jalan N-1 No. 27 RT. 017/ RW.
03, Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Kotamdya
Jakarta Timur. Dengan demikian harta tersebut merupakan harta
peninggalan dari Pewaris, dan telah sesuai dengan pasal 171
Huruf (d) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi sebagai berikut:
“Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh Pewaris
baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun
hak-haknya. Berdasarkan pada UU No. 1 Tahun 1974 pada Bab
Harta Benda dalam perkawinan pasal 35 berbunyi: “(1) Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain. Telah disebutkan secara jelas
dalam pasal 1 huruf (f) KHI “Harta kekayaan dalam perkawinan
atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
5 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 6-7.
51
selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar
atas nama siapapun”.6
a) Pembagian harta bersama dan harta warisan akan dirincikan sebagai
berikut:
ن ث ي ي فا ن كنه ف اولادكم للذهكر مثل حظ الأ نساء ف وق اث ن ت ي ي وصيكم الله
هما ف لهنه ث لث مات رك وإنكانت واحدة ف لها الن سف. ولأب ويه لكل وا حد من
لث. فإن السدس مها ت رك انكان له ولد. فإن ل يكن له و لد وورثه اب واه فأم ه الث
كان له إخوة فلم ه السدس من ب عد وصيهة ي و صى با اودين. ابؤكم و اب نآ ؤكم
لا تدروان اي هم اق رب لكم ن فعا. فريضة من الله انه الله كان علما حكيما.
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang
anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari
dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka
dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk
kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak.jika
dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh
kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika
dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapatkan seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut diatas)
setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah
dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak
manfaatnya bagimu.Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (Q.S Al-Baqarah(2):11)
6 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 7.
52
Suami berhak atas harta dari peninggalan istrinya, landasan ini
terdapat pada Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 12:
نه ولد فانكان لنه ولد ف لكم الربع مها ولكم نصف مات رك ازواجكم ان ل يكن له
ن فا ت ركن من ب عد وصيهة يصي با اودين ولنه الربع مها ت ركتم ان ل يكن لهكم ولد
كان لكم ولد ف لهنه الثمن مها ت ركتم من ب عد و صي ة ت وصوا ن با اوديي وان كان
هما السدس فان كان وآ رجل ي ورث كللة اوامراة وهله اخ او اخت فلكل واحد م ن
ر مضآر اكث ر من ذلك ف هم شركا ء ف الث لث من ب عد وصيهة ي وصى با اودين غي
عليم حليم. وصيهة من الله والله
“Dan kalian (suami) berhak mendapatkan setengah dari
kekayaan istrimu jika tidak memiliki anak, namun jika memiliki
anak maka kalian hanya mendapatkan seperempat dari harta
kekayaan istrimu.” (Q.S Al-Baqarah(2):12)7
Pasal 97 KHI: “Janda atau duda cerai masing-masing
berhak seperdua harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan”. Pasal 174 ayat (2) KHI: Apabila
semua ahli waris ada maka yang berhak mendapatkan warisan
hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda”. Pasal 175 ayat (1) KHI:
“(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah: d. “Membagi
harta warisan diantara ahli waris yang berhak”. Pasal 179 KHI:
“Duda mendapatkan separoh bagian, bila pewaris tidak
meninggalkan keturunan. Apabila meninggalkan keturunan maka
duda mendapatkan seperempat bagian”.8
7 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 8-9.
8 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 9.
53
6) Objek Hisabul Fardh
Setelah wafatnya Pewaris, Pewaris meninggalkan harta
berupa sebidang tanah Hak Milik BTP Nomor: 2062 seluas kurang
lebih 429 M2
dan sebuah bangunan diatasnya seluas 200 M2 yang
terletak di Jalan N-1 No. 27 RT. 017/ RW. 03, Kelurahan Cipinang
Muara, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur.9
7) Tashilul Fard (hasil hitungan faraidh)
Mengenai pembagian harta waris menurut hukum Islam
harta peninggalan dibagi dua, karena harta tersebut merupkan harta
bersama antara Pewaris dengan Penggugat. Separoh harta untuk
suami kemudian separohnya lagi untuk dibagi secara faraidh.
Ahli waris menjadi ‘ashobah yaitu secara bersama-sama
menghabisi semua harta berbagi 2:1 seperti dimaksud Q.S An-Nisa
ayat 11-12 dan pasal 35 UU No.1 tahun 1974, pasal 1 huruf f KHI,
dan pasal 97, pasal 174, pasal 175, pasal 179 KHI adalah sebagai
berikut:
a) Ramelan DA bin Ambiah Djojo Ardjo (suami) = 1/4 = 7/28 x
V-I HB = 7/56 + 28/56 (HB) = 35/56 (62,5 %).
b) Imam Sudjudi bin Ramelan = 2/7 = 6/28 x 1/2 HB = 6/56 (10.
741%)
c) Mulandaru Rachim bin Ramelan = 2/7 = 6/28 x 1/2 HB = 6/56
(10. 741%)
d) Rani Amanu Ramayanti binti Ramelan = 1/7 = 3/28 x 1/2 HB
= 3/56 (5, 357%).
e) Ratih Puspa Dewi binti Ramelan = 1/7 = 3/28 x 1/2 HB = 3/56
(5, 357%).
9 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 10.
54
f) Marini Kusuma Ningsih binti Ramelan = = 1/7 = 3/28 x 1/2
HB = 3/56 (5, 357%).10
8) Penggugat Mengajukan Permohonan Sita Jaminan.
Dalam hal ini, Penggugat juga mengajukan permohonan
sita jaminan kepada Majelis Hakim agar meletakkan sita jaminan
terhadap harta peninggalan Pewaris berupa:
Sebidang tanah Hak Milik BTP Nomor: 2062 seluas kurang
lebih 429 M2
dan sebuah banguna diatasnya seluas 200 M2 yang
terletak di Jalan N-1 No. 27 RT. 017/ RW. 03, Kelurahan Cipinang
Muara, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur.
9) Penggugat Mengajukan Permohonan Tentang Putusan Sela
Selanjutnya, Penggugat juga mengajukan permohonan
putusan sela kepada Majelis Hakim supaya Tergugat 2, 3, dan 5
dihukum dan atau diperintahkan supaya meninggalkan dan
mengosongkan harta peningalan Pewaris tersebut diatas sebelum
putusan pokok perkara dijatuhkan.
10) Tentang Putusan Serta Merta
Oleh karena gugat waris ini diajukan berdasarkan bukti-
bukti otentik dan tidak terbantah kebenarannya, maka secara
hukum berdasarkan Pasal 180 HIR juncto Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 3 tahun 2000, Penggugat memohon kepada Ketua
Pengadilan Agama Jakarta Timur agar menjatuhkan putusan serta
merta dalam perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu, meskipun
ada upaya hukum verzet, banding, maupun kasasi dan peninjauan
kembali. Penggugat menyampaikan surat kepada Majelis Hakim
bahwa Penggugat sekarang ini dalam keadaan miskin dan tidak
mampu, tinggal disebuah kontrakan berukuran 3x3 M2 dimana
10 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 10.
55
dapur, kamar mandi, dan tempat tidur menyatu. Uang pensiun
sebesar Rp. 1.100.000 perbulan habis dipotong hutang BTPN
sebesar Rp 1.008.000 selama lima tahun dari 2009 sampai 2014.
Biaya hidup sehari-hari di dapat dari menjual barang-barang bekas
dipinggir jalan. Oleh karena itu Penggugat memohon kepada
Majelis Hakim dalam mengajukan perkara ini tanpa biaya
(prodeo).11
b. Petitum Gugatan Penggugat
Pada petitum Penggugat, Penggugat memohon kepada Majelis
Hakim untuk menetapkan:
1) Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2) Menyatakan Almarhumah yang meninggal dunia pada tanggal 22
November 2008 adalah sebagai Pewaris.
3) Sebidang tanah hak milik BTP Nomor: 2062 seluas kurang lebih
429 M2 dan sebuah bangunan rumah diatasnya sekuas 200 M
2
yang terletak di Kotamdya Jakarta Timur sebagai harta
peninggalan/Syirkah dari Pewaris.
4) Menetapkan ahli waris dari pewaris yaitu Penggugat dan para
Tergugat.
5) Menetapkan bagian masing-masing untuk ahli waris sebagai
berikut:
a) Penggugat 1/4 = 7/28 x 1/2 HB = 7/56 + 28/56 (HB) = 35/56
(62,5%).
b) Tergugat I 2/7 = 6/28 x 1/2 HB = 6/56 (10,741%)
c) Tergugat II 2/7 = 6/28 x 1/2 HB = 6/56 (10,741%)
d) Tergugat III 1/7 = 3/28 x 1/2 HB = 3/56 (5,357%)
e) Tergugat IV 1/7 = 3/28 x 1/2 HB = 3/56 (5,357%)
11 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 11-12.
56
f) Tergugat V 1/7 = 3/28 x 1/2 HB = 3/56 (5,357%)
6) Menghukum beban biaya perkara menurut hukum.12
c. Proses Pemeriksaan
Pada hari persidangan yang telah ditetapkan Penggugat hadir
bersama kuasa hukumnya, begitupula para Tergugat juga hadir
bersama dengan kuasa hukumnya di persidangan. Majelis Hakim telah
berusaha mendamaikan kedua belah pihak baik melalui mediator
maupun selama persidangan, namun tidak berhasil karena Penggugat
tetap dengan pendiriannya agar warisan dibagi secara hukum Islam.
Selanjutnya pemeriksaan dilanjutkan dengan membacakan
surat gugatan dari Penggugat yang isinya tetap dipertahankan oleh
Penggugat. Dengan demikian Para Tergugat melalui kuasa hukumnya
telah memberi jawaban sebagai berikut:
a) Dalam Eksepsi
(1) Bahwa yang disampaikan oleh Penggugat di dalam gugatannya
terutama pada pokok gugatan yaitu perhitungan waris terhadap
harta peninggalan Almarhumah RA. Siti Moelyani (Pewaris),
yang merupakan istri dari Penggugat dan ibu kandung dari para
Tergugat, telah disampaikan secara tidak teliti dan tidak sesuai
dengan fakta yang ada.
(2) Bahwa benar Pewaris meninggal pada 22 November 2008,
Penggugat dan para Tergugat merupakan ahli waris yang sah
dari Pewaris sebagaimana berdasarkan Surat Keterangan Waris
yang dicatat dalam buku register Kecamatan Jatinegara No.
086/1.711.03 tanggal 12 Maret 2009.
(3) Bahwa benar Pewaris meninggalkan harta peninggalan berupa
sebidang tanah Hak Milik BTP Nomor: 2062 seluas kurang
12 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 12-13.
57
lebih 429 M2
dan sebuah bangunan di atasnya seluas 200 M2
yang terletak diJalan N-1 No. 27 RT. 017/ RW. 03, Kelurahan
Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Kotamdya Jakarta
Timur.
(4) Sehubungan dengan hal yang dimaksud maka para Tergugat
menyampaikan Eksepsi terhadap gugatan yang disampaikan
oleh Penggugat yaitu sebagai berikut:
(a) Setelah meninggalnya Pewaris, Penggugat dan para
Tergugat belum pernah membicarakan mengenai
pemisahan harta bersama antara Penggugat dengan Pewaris
maupun pembagian harta kepada masing-masing ahli
waris.
(b) Gugatan yang disampaikan oleh Penggugat tidak
memenuhi syarat pasal 188 KHI agar pembagian warisan
ditentukan oleh Pengadilan Agama, karena belum pernah
ada suatu permintaan dari salah satu ahli waris yang yang
satu kepada para ahli waris yang lainnya untuk melakukan
pembagian warisan sehingga tidak pernah ada suatu
penolakan dari para Tergugat terhadap pembagian harta
warisan dari Penggugat karena memang tidak pernah ada
permintaan.
Pasal 188 KHI: “Para ahli waris baik secara bersama-sama
atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada
ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta
warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui
permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan
pembagian warisan”. Dari uraian diatas sudah seharusnya
gugata yang disampaikan oleh Penguggat ditolak oleh
58
Majelis Hakim yang memeriksan perkara a quo mengingat
bahwa gugatan tersebut prematur.13
b) Gugatan Penggugat Tidak Cermat Dalam Menunjuk Objek
Sengekta Waris.
Dalam gugatannya, Penggugat menyebutkan harta
peninggalan Pewaris yaitu sebidang tanah Hak Milik BTP Nomor:
2062 seluas kurang lebih 429 M2
dan sebuah bangunan diatasnya
seluas 200 M2 yang terletak di Jalan N-1 No. 27 RT. 017/ RW. 03,
Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Kotamdya
Jakarta Timur. Mengenai luas tanah yang disengketakan,
Penggugat tidak cermat dalam menyebutkan luas spesifik atas
harta peninggalan, terutama pada luas bangunan dimana dalam
gugatannya, Penggugat menyebutkan luas bangunan yaitu kurang
lebih 200 M2 sedangkan fakta yang sebenarnya yaitu bangunannya
seluas kurang lebih 148 M2.
Berdasarkan Yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 81 K/Sip/1971 tanggal
9 Juli 1973, dalam perkara antara Tanao alias Duanna Nuadin
melawan Mustafa, Mahkamah Agung RI memutuskan berdasarkan
pertimbangan dan prisnip hukum bahwa karena tanah yang
dikuasai oleh Tergugat tidak sama batas dan luasnya dengan
tercantum dalam gugatan, maka gugatan harus dinyatakan tidak
dapat diterima. Dapat diketahui bahwa gugatan dari pihak
Penggugat telah tidak cermat dalam menyebutkan secara spesifik
luas dan batasannya harta peninggalan sehingga menyebabkan
gugatan menjadi tidak jelas atau Obscur Libel, maka sudah
13 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 15-16.
59
seharusnya Majelis Hakim memutuskan agar gugatan dari
Penggugat tidak dapat diterima.14
c) Penggugat Tidak Memiliki Kapasitas Untuk mengajukan
Gugatan Waris
Selanjutnya terhadap harta peninggalan dari Pewaris, pihak
Penggugat secara suka rela telah melepaskan haknya baik atas
harta bersama juga terhadap harta waris dan diserahkan kepada
seluruh anak-anaknya yaitu para Tergugat berdasarkan dua bukti
tertulis antara lain: Surat pernyataan Penggugat tanggal 24
Februari 2009 dan Akta pernyataan Penggugat Nomor: 1 tanggal 1
Maret 2009 yang dibuat dihadapan Helmi S.H., Notaris di Bekasi.
Dan surat pernyataan Penggugat tanggal 24 Februari 2009
Penggugat telah secara sukarela menyatakan beberapa hal yaitu:
menyatakan melepaskan hak kepemilikan atas rumah Keluarga
Ramelan Djojo Ardjo, dan (Alm) Siti Mulyani dan menyerahkan
kepemilikan rumah tersebut kepada kelima anaknya. Akta
pernyataan Penggugat Nomor : 1 tertanggal 1 Maret 2009 yang
dibuat dihadapan Helmi, S.H., Notaris di Bekasi, Penggugat secara
sukarela membuat pernyataan : (1) Bahwa Penggugat dengan ini
menyatakan dan berani diangkat sumpah melepaskan Hak Waris,
(2) Bahwa benar untuk menghargai dan menjamin hak-hak dari 5
(lima) orang anak yang sampai saat ini masih hidup yaitu Para
Tergugat sebagai pemilik dan ha katas sebidang tanah dan
bangunan Harta Peninggalan, (3) Penggugat menjamin tidak akan
menjual, memindahkan dan menyerahkan ataupun dengan cara lain
melepaskan sebidang tanah dan Bangunan Harta Peninggala tanpa
persetujuan tertulis Para Tergugat.
14 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 17.
60
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Penggugat
telah kehilangan hak atas harta peninggalan, baik hak atas harta
bersama dan harta waris, akibat pernyataan hibah yang telah
Penggugat berikan secara sukarela kepada para Tergugat dengan
dua bukti tertulis antara lain: Surat Pernyataan Penggugat
tertanggal 24 Februari 2009 dan Akta pernyataan Penggugat
Nomor: 1 tanggal 1 Maret 2009.Maka Penggugat secara hukum
tidak memiliki kapasitas untuk mengajukan gugatan waris
terhadap para Tegugat, sehingga demi keadilan maka gugatan dari
Penggugat sudah seharusnya ditolak oleh Majelis Hakim.15
Selanjutnya para Tergugat juga ingin menyampaikan
Eksepsinya terhadap permohonan putusan sela yang diajukan oleh
Penggugat, dan memohon kepada Majelis Hakim untuk menolak
permohonan putusan sela dengan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Penggugat tidak mempunyai dalil untuk mendasari
permohonan sela yang memerintahkan Tergugat 2, Tergugat 3,
dan Tergugat 5, untuk meninggalkan dan mengosongkan harta
peninggalan Pewaris sebelum putusan pokok perkara tersebut
dijatuhkan.
(2) Dalam pemeriksaan perkara a quo oleh Majelis Hakim
mengenai perkara sengketa pembagian harta waris, bukan
perkara penentuan hak kepemilikan, sehingga Pengadilan
Agama Jakarta Timur tidak berwenang untuk menerima dan
memutus permohonan putusan sela Penggugat.
(3) Bahwa keberadaan para Tergugat terhadap harta peninggalan
adalah sebagai ahli waris yang sah dari Pewaris berdasarkan
hak waris bukan tanpa hak, sehingga tidak ada alasan apapun
15 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 18.
61
yang gunakan oleh Penggugat untuk memohon putusan sela ke
pada Maejlis Hakim yang memeriksa perkara a quo untuk
menghukum Tergugat 3, Tergugat 4, dan Tergugat 5 agar
mengosongkan harta peninggalan Pewaris.16
d) Dalam Konpensi
Tentang Pewaris, maka para Tergugat menyatakan benar
Pewaris adalah seorang wanita yang bernama R.A. Siti Mulyani
binti R.M Soemulyo yang lahir di Bandung pada 22 Juli 1942,
beragama Islam, meninggal pada tanggal 22 Nopember 2008
sekitar jam 07.20 WIB. Pewaris selama perkawinannya dengan
Penggugat telah dikaruniai lima orang anak kandung yaitu dua
anak laki-laki, dan tiga anak perempuan, semuanya merupakan
para Tergugat pada perkara a quo, yaitu sebagai berikut:
(a) Rani Amanu Ramayanti, Perempuan, lahir di Jakarta tanggal
19 Maret 1969.
(b) Imam Sujudi, laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 8 Mei 1970.
(c) Mulandaru Rachim, laki-laki, lahir di Jakarta 22 Agustus 1971.
(d) Ratih Puspa Dewi, perempuan, lahir di Jakarta tanggal 24
September 1972.
(e) Marini Kusuma Ningsih, perempuan, lahir di Jakarta tanggal
14 Maret 1975.
Para Tergugat merupakan anak kandung dari Pewaris
sehingga mempunyai hubungan darah yang langsung, kesemuanya
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum, maka para
Tergugat secara hukum patut disebut sebagai ahli waris
berdasarkan pasal 171 huruf (c) KHI. Berdasarkan pasal 171 huruf
16 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 20.
62
(c) KHI maka Penggugat seharusnya juga disebut sebagai ahli
waris bersama dengan para tergugat, namun Penggugat telah
menyatakan secara sukarela untuk melepaskan hak waris dan juga
hak atas harta bersama berdasarkan dua bukti tertulis antara lain
yaitu: Surat pernyataan Penggugat tanggal 24 Februari 2009 dan
Akta Pernyataan Penggugat tanggal 1 Maret 2009.
Surat pernyataan Penggugat tanggal 24 Februari 2009
Penggugat telah secara sukarela menyatakan beberapa hal yaitu:
menyatakan melepaskan hak kepemilikan atas rumah Keluarga
Ramelan Djojo Ardjo, dan (Alm) Siti Mulyani dan menyerahkan
kepemilikan rumah tersebut kepada kelima anaknya. Pada akta
pernyataan Penggugat Nomor : 1 tertanggal 1 Maret 2009 yang
dibuat dihadapan Helmi, S.H., Notaris di Bekasi, Penggugat secara
sukarela membuat pernyataan : (1) Bahwa Penggugat dengan ini
menyatakan dan berani diangkat sumpah melepaskan Hak Waris,
(2) Bahwa benar untuk menghargai dan menjamin hak-hak dari 5
(lima) orang anak yang sampai saat ini masih hidup yaitu Para
Tergugat sebagai pemilik dan hak atas sebidang tanah dan
bangunan Harta Peninggalan, (3) Penggugat menjamin tidak akan
menjual, memindahkan dan menyerahkan ataupun dengan cara lain
melepaskan sebidang tanah dan Bangunan Harta Peninggala tanpa
persetujuan tertulis Para Tergugat.
Dapat disimpulkan bahwa Penggugat telah kehilangan hak
atas harta peninggalan, baik hak atas harta bersama dan juga harta
waris, akibat pernyataan hibah yang telah diberikan Penggugat
secara sukarela kepada para Tergugat berdasarkan dua bukti
Tertulis yaitu surat Pernyataan tanggal 24 Februari 2009, dan Akta
Pernyataan Nomor: 1 tanggal 1 Maret 2009
63
Pewaris meninggalkan harta peninggalan yang pada
awalnya merupakan sebidang tanah Hak Milik BTP Nomor 2062
seluas kurang lebih 429 M2 yang terletak di di Jalan N-1 No. 27
RT. 017/ RW. 03, Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan
Jatinegara, Kotamdya Jakarta Timur. Kemudian diatas tanah
peninggalan tersebut dibangunan rumah dnegan luas kurang lebih
148 M2.
Mengenai bagian untuk ahli waris yang patut dan sah
sebagai ahli waris dari Pewaris yaitu hanya para Tergugat dan
tidak diperhitungkan untuk Penggugat. Maka perhitungan
pembagian harta peninggalan sudah seharusnya hanya
mempertimbangkan para Tergugat sebagai ahli waris yang sah,
dimana perhitungan yang kami mohonkan agar di tetap diputuskan
oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo sebagai
berikut:
- Imam Sujudi bin Ramelan DA sebesar 28, 57%.
- Mulandari Rachim bin Ramelan DA sebesar 28, 57%.
- Rani Amanu Ramayanti binti Ramelan DA sebesar 14, 29 %.
- Ratih Puspa Dewi binti Ramelan DA sebesar 14, 29 %
- Marini Kusuma Ningsih binti Ramelan DA sebesar 14, 29%.
Para Tergugat keberatan atas sita jaminan yang diajukan
oleh Penggugat karena pemeriksaan perkara terkait dengan
sengketa pembagian waris dan bukan terkait tentang sengketa
penentuan hak kepemilikan serta keberadaan para Tergugat di
harta peninggalan adalah sebagai ahli waris yang sah dari
Pewaris berdasarkan hak waris dan bukannya tanpa hak sehingga
seharusnya ditolak.
64
Fakta yang sebenarnya terjadi sehubungan pernyataan
Penggugat pada surat gugatan yaitu akan para Tergugat
sampaikan sebagai berikut:
- Para Tergugat dengan ini menyatakan dengan sebenar-
benarnya bahwa keberadaan Penggugat saat ini yang
tinggal dirumah kontrakan merupakan atas kemauannya
sendiri dan tanpa paksaan dari para Tergugat.
- Para Tergugat hingga saat ini masih memperhatikan nasib
dan kehidupan Penggugat sebagai bapak dan orang tua
kandung serta tidak pernah menelantarkan Penggugat. Dan
para Tergugat juga memberikan uang sebesar Rp.
8.000.000.00,- untuk membayar biaya kontrakan pertahun.
- Bahwa terhadap permohonan putusan serta merta para
Tergugat menyatakan keberatannya dan memohon agar
Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo menolak
permohonan dimaksud untuk melindungi kepentingan dan
hak hukum para Tergugat untuk menempuh upaya hukum
lebih lanjut. 17
Maka dengan jawaban-jawaban yang telah dituangkan oleh
para Tergugat, para Tergugat Konvensi mengajukan permohonan
kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini agar berkenan
untuk memutuskan sebagai berikut:
17 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 21-27.
65
Dalam Eksepsi
1. Menerima dan mengabulkan Eksepsi para Tergugat secara
keseluruhan.
2. Menolak dan atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat
diterimanya gugatan Penggugat secara keseluruhan.
Dalam Konvensi
1. Menerima dan mengabulkan jawaban para Tergugat secara
keseluruhan.
2. Menolak gugatan Penggugat secara menyeluruh.
3. Memutuskan dan menyatakan bahwa (Almh) R.A. Siti
Mulyani yang meninggal secara Islam di Jakarta pada tanggal
22 Nopember 2008 sebagai pewaris yang sah menurut hukum.
4. Memutuskan dan menetapkan sebidang tanah dengan luas
kurang lebih 429M2 dan bangunan rumah diatasnya 148 M
2
yang terletak di Kotamadya Jakarta Timur.
5. Memutuskan yang disebut sebagai ahli waris dari Pewaris yaitu
para Tergugat.
6. Memutuskan dan menetapkan pembagian atas harta
peninggalan yang menjadi hak masing-masing ahli waris yang
sah dari Pewaris dengan perhitungan sebagai berikut:
- Imam Sujudi bin Ramelan DA sebesar 28, 57%.
- Mulandari Rachim bin Ramelan DA sebesar 28, 57%.
- Rani Amanu Ramayanti binti Ramelan DA sebesar
14,29%.
- Ratih Puspa Dewi binti Ramelan DA sebesar 14, 29 %
- Marini Kusuma Ningsih binti Ramelan DA sebesar 14,
29%.
66
7. Menolak permohonan Penggugat untuk menyatakan sah dan
berharganya sita jaminan atas harta peninggalan.
8. Menolak permohonan Penggugat agar putusan perkara ini
dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum
verzet, banding, maupun kasasi dan peninjauan kembali.
Dalam Eksepsi dan Konvensi
Menghukum pihak Penggugat untuk menanggung seluruh
biaya perkara yang timbul dari pemeriksaan perkara ini sesuai
hukum dan peraturan yang berlaku. Apabila Majelis Hakim
Pengadian Agama Jakarta Timur yang memeriksa perkara a quo
memiliki pendapat yang lain, maka mohon agar dapat memberikan
putusan yang seadil-adilnya.18
Dalam perkara ini Penggugat tidak mengajukan replik dan
para Tergugat juga tidak mengajukan duplik.
e) Pembuktian
Setelah proses pemeriksaan diatas telah usai, selanjutnya
yaitu tahap pembuktian. Tahap ini berupaya untuk menguatkan
dalil-dalil gugatannya, Penggugat mengajukan dua alat bukti yaitu:
(1) Bukti surat
(a) Foto kopi kutipan Akta Nikah dari KUA Kecamatan
Gambir, Jakarta Pusat.
(b) Foto kopi keterangan waris Kecamatan Jatinegara Nomor:
086/1.7.11.03, tanggal 12 Maret 2009.
(c) Foto kopi surat pernyataan pemabatalan hibah tanggal 28
Juni 2010.
(d) Foto kopi KTP bernama Drs. Ramelan.
18 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 28.
67
(2) Bukti saksi
(a) Mustra Sarbini, ia adalah sahabat Penggugat dan Pewaris
oleh karena itu ia mengenal para pihak yang berpekara.
Penggugat dan Pewaris adalah suami istri yang sah, dan
mereka telah dikaruniai lima orang anak yaitu para
Tergugat. Sekarang Penggugat tinggal dikontrakan di jl.
Cipinang Muara Jatinegara Jakarta Timur. Rumah yang
disengketakan merupakan harta bersama antara Penggugat
dengan Pewaris yang sekarang telah dikuasai oleh para
Tergugat. Sedangkan Penggugat tidak tinggal dirumah
tersebut, karena telah diusir dengan para Tergugat.
(b) H. Waslan Sandjaya bin Mangun Sandjaya, ia adalah
sahabat Penggugat dan Pewaris oleh karena itu ia mengenal
para pihak yang berpekara. Penggugat dan Pewaris adalah
suami istri yang sah, dan mereka telah dikaruniai lima
orang anak yaitu para Tergugat. Sekarang Penggugat
tinggal dikontrakan di jl. Cipinang Muara Jatinegara
Jakarta Timur. Rumah yang disengketakan merupakan
harta bersama antara Penggugat dengan Pewaris yang
sekarang telah dikuasai oleh para Tergugat. Sedangkan
Penggugat tidak tinggal dirumah tersebut, karena telah
diusir dengan para Tergugat.19
g) Kesimpulan
Dengan ini Penggugat dan para Tergugat tetap pada
permohonannya dan jawabannya.
19 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT, h. 29-30.
68
3. Amar Putusan
MENGADILI
a. Mengabulkan gugatan Penggugat
b. Menyatakan Ny. RA Siti Mulyani binti RM Soemulyo yang
meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 22 November 2008
adalah pewaris.
c. Menetapkan harta sebidang tanah milik BTP Nomor 2062 seluas
kurang lebih 429 M2 dan sebuah bangunan diatasnya seluas 200
M2 yang terletak di Jalan N-1 No. 27 RT. 017/ RW. 03, Kelurahan
Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Kotamdya Jakarta Timur
merupakan harta bersama Penggugat dan almarhumah.
d. Menetapkan bagian Penggugat dari harta bersama tersebut
setengah bagian dan setengah bagian adalah milik almarhumah
yang merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli
waris diantaranya:
1) Penggugat, Ramelan DA bin Ambiyah Djojo Ardjo (suami
Almarhumah).
2) Tergugat 1, Rani Amanu Damayanti binti Ramelan DA (anak
perempuan almarhumah).
3) Tergugat 2, (Imam Sudjudi bin Ramelan DA (anak laki-laki
almarhumah).
4) Tergugat 3, (Mulandaru Rachim bin Ramelan DA (anak laki-
laki almarhumah).
5) Tergugat 4, Ratih Puspa Dewi binti Ramelan DA (anak
perempuan almarhumah).
6) Tergugat 5, Marini Kusuma Ningsih binti Ramelan DA (anak
perempuan almarhumah).
e. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris tersebut sebagai
berikut:
69
1) Penggugat 1/4 bagian yaitu 7/28 bagian (62,5%)
2) Tergugat 1 yaitu 1/7 bagian (5,357%)
3) Tergugat 2 yaitu 2/7 bagian (10,741%)
4) Tergugat 3 yaitu 2/7 bagian (10,741%)
5) Tergugat 4 yaitu 1/7 bagian (5,357%)
6) Tergugat 5 yaitu 1/7 bagian (5,357%)
Jadi bagian anak pewaris = 3/4 bagian dari Harta Bersama
Penggugat dan Pewaris
f. Menghukum para tergugat untuk mentaati serta melaksanakan
pembagian tersebut
g. Membebankan Penggugat untuk membayar biaya perkara ini
sebesar 766.000,- (tujuh ratus enam puluh ribu rupiah).20
B. Pengadilan Tinggi Agama Jakarta 145/Pdt.G/2012/PTA.JK
1. Posisi Kasus
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta pada tanggal 30 Mei 2012 telah
menerima permohonan banding atas Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Timur Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT dan mendapatkan nomor Pekrara
145/Pdt.G/2012/PTA.JK dari para Pembanding yang identitasnya sebagai
berikut:
a. Pembanding 1, umur 42 tahun, beragama Islam, pekerjaan Karyawati
bertempat tinggal di daerah Jakarta Timur. Dahulu sebagai Tergugat 1
sekarang sebagai Pembanding 1.
b. Pembanding 2, umur 41, beragama Islam, beragama Islam, pekerjaan
Karyawan, bertempat tinggal di daerah Jakarta Tmur. Dahulu sebagai
Tergugat 2 sekarang sebagai Pembanding 2.
20 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT, h. 40-42.
70
c. Pembanding 3, umur 40 tahun, beragama Islam, pekerjaan Karyawan,
bertempat tinggal di daerah Jakarta Timur. Dahulu sebagai Tergugat 3
sekarang sebagai Pembanding 3.
d. Pembanding 4, umur 39 tahun, beragama Islam, pekerjaan Karyawati,
bertempat tingal di daerah Jakarta Timur. Dahulu sebagai Tergugat 4
sekarang sebagai Pembanding 4
e. Pembanding 5, umur 36 tahun, beragama Islam, pekerjaan Karyawati,
bertempat tinggal di daerah Jakarta Timur. Dahulu sebagai Tergugat 5
sekarang sebagai Pembanding 5.
Dalam hal ini bersama-sama telah memberikan kuasa kepada: Egia
Bastanta, S.H., Ridwan Aritomo, S.H., Fitra Mochamad Ady Permana,
S.H.,
Melawan Terbanding yang identitasnya sebagai berikut:
f. Terbanding, umur 67 tahun, beragama Islam, pekerjaan Pensiunan
PNS, bertempat tinggal di Jakarta Timur. Dahulu sebagai Penggugat
sekarang sebagai Terbanding. Dalam hal ini telah memberikan kuasa
kepada: Amat Basiyo, S.H., Tabrani Kemal, S.H., M.H., dan Tasman
Gultom, S.H., AAA-IK.21
2. Duduk Perkara
a. Alasan Pembanding
Para Tergugat/ Pembanding keberatan terhadap Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Timur, sehingga para pihak mengajukan
upaya Hukum Banding yang diajukan oleh para Tergugat atau para
Pembanding pada tanggal 30 Mei tahun 2012 yang diwakili oleh
kuasa hukumnya.
Upaya Hukum Banding, Banding merupakan salah satu upaya
hukum biasa yang dapat diajukan oleh salah satu pihak atau kedua
21 Salinan Putusan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK, h. 1-2.
71
belah pihak yang berpekara terhadap suatu putusan Pengadilan
tingkat pertama. Para pihak dapat mengajukan banding apabila ia
tidak puas dengan putusan Pengadilan tingkat pertama dan dapat
mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan
tingkat pertama dimana putusan itu dijatuhkan.22
Pihak yang keberatan atas putusan Pengadilan tingkat pertama
yaitu para Tergugat sehingga para Tergugat mengajukan memori
banding. Penggugat yang semula sebagai Penggugat sekarang sebagai
Terbanding, sedangkan para Tergugat yang semula menjadi para
Tergugat sekarang menjadi para Pembanding.
Bahwa para Pembanding keberatan terhadap putusan
Pengadilan Agama Jakarta Timur yang mengandung kesalahan dalam
pertimbangannya dan ketidak adilannya dalam pelaksanaan hukum
acara pemeriksaannya. 23
3. Amar Putusan
MENGADILI
a. Menyatakan bahwa permohonan banding yang diajukan para
Pembanding dapat diterima
b. Membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor
2394/Pdt.G/2011/PA.JT pada hari Rabu tanggal 16 Mei 2012 Masehi,
bertepatan pada tanggal 24 Jumadil Akhir 1433 Hijriyah, dengan
mengadili sendiri.
Dalam Eksepsi
1) Menyatakan eksepsi para Tergugat/para Pembanding tidak dapat
diterima
22 RPH Whimbo Pitoyo, Strategi Jitu menangani Perkara Perdata dalam Praktik Peradilan,
(Jakarta: Visimedia, 2012), Cet. 1, h. 135. 23 Salinan Putusan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA. JK, h. 6.
72
Dalam Pokok Perkara
a) Mengabulkan gugatan Penggugat/Terbanding sebagian
b) Menyatakan Almarhumah telah meninggal dunia di Jakarta pada
tanggal 22 November 2008 adalah sebagai pewaris
c) Menetapkan harta berupa sebidang tanah hak milik BTP Nomor
2062 seluas kurang lebih 429 M2 yang terletak di Jalan N-1 No. 27
RT. 017/ RW. 03, Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan
Jatinegara, Kotamdya Jakarta Timurmerupakan harta bersama
antara Penggugat/Terbanding dengan almarhumah RA Siti
Mulyani binti RM Soemulyo.
d) Menetapkan bagian Penggugat/Terbanding dari harta bersama
tersebut setengah bagian dan setengah bagian adalah bagian
almarhumah yang merupakan harta warisan yang harus dibagikan
kepada ahli waris.
Menetapkan ahli waris almarhumah yaitu:
Penggugat (suami almarhumah)
Tergugat 1 (anak laki-laki almarhumah)
Tergugat2 (anak perempuan almarhumah)
Tergugat 3 (anak laki-laki almarhumah)
Tergugat 4 (anak perempuan almarhumah)
Tergugat 5 (anak perempuan almarhumah)
e) Menetapkan bagian masing-masing ahli waris tersebut sebagai
berikut:
Penggugat ¼ bagian yaitu 7/28 x 1/2 harta bersama
Tergugat 1 4/28 x 1/2 harta bersama
Tergugat 2 8/28 x 1/2 harta bersama
Tergugat 3 8/28 x 1/2 harta bersama
Tergugat 4 4/28 x 1/2 harta bersama
73
Tergugat 5 4/28 x 1/2 harta bersama
Jadi bagian anak-anak pewaris= 3/4 = 21/28 bagian dari bagian
bersama almarhumah.
f) Menghukum para Tergugat/para Pembanding untuk mentaati serta
melaksanakan pembagian tersebut diatas.
g) Menolak gugatan dan tidak menerima gugatan
Penggugat/Terbanding selain dan selebihnya.
h) Memberikan kepada para Tergugat/ para Pembanding untuk
membayar biaya perkara pada tingkat pertama sejumlah Rp.
766.000,- (tujuh ratus enam puluh enam ribu rupiah).
i) Membebankan para Tergugat/para Pembanding untuk membayar
biaya perkara pada tingkat banding yang hingga kini dihitung
sejumlah Rp. 150.000.- (seratus lima puluh ribu rupiah).24
24 Salinan Putusan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA. JK h. 14-17.
74
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF PADA PEMBATALAN
HIBAH, DAN ANALISIS HUKUM ISLAM PADA PEMBAGIAN HARTA
WARIS
A. Analisis Pertimbangan Hakim Mengenai Pembatalan Hibah Pada Putusan
Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT
Pada putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT bahwa yang mengajukan
gugatan yaitu Penggugat umur 67 tahun, Penggugat menikah dengan Pewaris pada
tanggal 1 Januari 1968 di Kecamatan Gambir Jakarta Pusat. Dari perkawinan tersebut
mereka dikaruniai lima orang anak yaitu para Tergugat. Dalam pernikahannya
Penggugat dan Pewaris memperoleh harta bersama yaitu berupa sebidang tanah milik
BTP Nomor: 2062 seluas kurang lebih 429 M 2
yang terletak di Kotamadya Jakarta
Timur. Semenjak Pewaris meninggal dunia Penggugat dan anaknya atau para
Tergugat belum pernah membicarakan mengenai pembagaian warisan dan pemisahan
harta bersama yang ia peroleh selama perkawinan dengan Pewaris. Pada surat
pernyataan Penggugat tertanggal 24 Februari 2009 Penggugat telah secara sukarela
menyerahkan kepemilikan rumah tersebut pada kelima anaknya dalam hal ini ialah
para Tergugat, surat ini telah ditandatangani oleh Penggugat dihadapan para saksi
yaitu Bapak Karyanto selaku Sekretaris RT, Bapak Waslan selaku Tokoh
Masyarakat, dan Bapak Dani selaku tetangga Penggugat. Adapun Akta pernyataan
Penggugat Nomor: 1 tanggal 1 Maret 2009, yang dibuat dihadapan Helmi S.H.,
Notaris di Bekasi Penggugat secara sukarela membuat pernyataan diantaranya
sebagai berikut: (1) bahwa Penggugat menyatakan dan berani diangkat sumpah
melepaskan Hak Waris (2) Bahwa benar meghargai hak-hak dari lima orang anaknya
yakni para Tergugat yang sampai saat ini , masih hidup sebagai pemilik dan
pemegang hak atas harta peninggalan Pewaris (3) Penggugat menjamin tidak akan
menjual, memindahkan dan menyerahkan ataupun dengan cara lain melepaskan harta
75
peninggal Pewaris tanpa persetujuan Para Tergugat.1 Disini penulis telah membaca
berkas putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT yang meliputi penjelasan para
Penggugat dan para Tergugat, saksi-saksi dan pertimbangan Hakim. Dapat
disimpulkan bahwa Penggugat telah menikah lagi dengan seorang wanita lain yang
mengakibatkan Penggugat bersama istri barunya tidak boleh tinggal dirumah, dimana
rumah tersebut merupakan harta peninggalan Pewaris yang telah dihibahkan oleh
Penggugat kepada para Tergugat.
Bahwasannya para Tergugat sekarang menguasai tanah dan rumah tersebut.
Para Tergugat dan seorang karyawan Notaris memaksa Penggugat untuk keluar dari
rumah tersebut sehingga Penggugat sekarang harus mengontrak di daerah Jakarta
Timur atas biaya dari para Tergugat. Hal ini juga diperkuat dengan bukti para saksi
yang menyatakan bahwa Penggugat memang benar tidak tinggal dirumah tersebut
lagi karena penggugat menikah lagi dengan wanita lain yang mengakibatkan
Penggugat diusir oleh para Tergugat dan seorang karyawan Notaris. Dan pada tanggal
28 Juni tahun 2010 Penggugat telah membatalkan hibah kepada para Tergugat
karena Penggugat merasa kecewa atas tindakan para Tergugat kepada Penggugat dan
disini Penggugat merasa hibah yang telah diberikan tersebut ada penekanan. Pada
akhirnya tanggal 7 November 2011 penggugat mengajukan gugatan waris ke
Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk meminta kepada Majelis Hakim agar harta
tersebut yang telah dihibahkan dibagikan kepada ahli waris sesuai dengan bagiannya
masing-masing.2
Meskipun Penggugat pernah menghibahkan seluruh harta peninggalan
Pewaris, namun Penggugat merasa hibah tersebut ada unsur penekanan dari para
Tergugat sehingga Penggugat membatalkan hibahnya.
Perihal pembatalan hibah tidak tercantum pada amar putusan, namun telah
disinggung pada posita Penggugat, petitum Penggugat, dan pertimbangan Majelis
Hakim. Pada pertimbangannya, Majelis Hakim menganggap bahwa pemberian hibah
1 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JK, h. 1-18 2 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PTA.JK, h. 34.
76
yang dilakukan ayah kepada anaknya dinyatakan tidak ada dan harta tersebut harus
dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan Faraidh. Mengenai hal ini adapula
landasan atau dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim. Dasar hukum
Majelis Hakim merujuk pada Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi
“Hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang tua terhadap anaknya”. Pasal
yang telah dijelaskan diatas dapat dipahami bahwa hibah tidak boleh ditarik kembali
jika hibah tersebut telah diberikan kepada orang lain, kecuali jika hibah tersebut
antara orang tua dan anak boleh ditarik kembali atau dibatalkan. Pasal 212 Kompilasi
Hukum Islam sejalan dengan kitab as-Sunan yang di dalamnya disebutkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
.للحد الاالوالد فيما وهب لولده لا يل لوا هب ان ي رجع فيما وهب
“Orang yang telah memberikan hibah tidak boleh meminta kembali
hibahnya, kecuali seorang bapak yang memberikan hibah kepada anaknya.”
Oleh sebab itu dapat katakan bahwa apabila penyerahan hibah sudah
terlaksana maka haram untuk ditarik kembali. Seseorang yang menarik kembali
pemberiannya diibaratkan seperti anjing yang muntah lalu memakan muntahnya
kembali, kecuali orang tua yang menarik kembali pemberiannya kepada anaknya.3
Dalam hal ini Majelis Hakim juga melihat pada dalil Fiqhiyah dalam Kitab
Subulus Salam III dijelaskan yaitu:4
عليه و سلم بي صل عن الن , بن عباس وا ,بن عمرعن ا , ث عطية ال ى ان ي عط جل لر قال : "لا يل الل
ها إ ي رجع صححه التر مذي وابن حبيان والحاكم()روه احمد والأربعة ,و "ولده ىلد فيما ي عط االو لا في
Artinya: Tidak boleh bagi seorang laki-laki menarik kembali sesuatu
pemberian kepada siapapun kecuali orang tua yang menarik kembali pemberiannya
3 Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Fiqhul Maratul Muslimatu. Penerjemah Faisal
Saleh, Yusuf Hamdani: Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Cet. 1, h. 472. 4 Muhammad bin Ismail Amir, Subulussalam, (Kairo: Dar Al-Hadits, 1186 H), Juz 3, h. 939.
77
kepada anaknya. (Subulus Salam III H.R. Ahmad dan disahkan Hadits itu oleh
Tarmizi)5
B. Analisis Pertimbangan Hakim Mengenai Pembatalan Hibah Pada Putusan
Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK
Putusan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA. JK perihal pembatalan hibah dalam hal
ini yang mengajukan upaya hukum banding yaitu para Tergugat/ para Pembanding
karena merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur. Majelis
Hakim Tingkat Banding mempertimbangkan bahwa Terbanding mendalilkan bahwa
Terbanding telah mencabut kembali harta yang telah diberikan kepada para
Pembanding dan Terbanding meminta agar harta bersama Terbanding dengan
Pewaris ditetapkan 1/2 bagian untuk Terbanding dan 1/2 bagian merupakan harta
bagian Pewaris sebagai harta warisan. Namun para Pembanding keberatan karena
Terbanding telah memberikan harta tersebut secara sukarela kepada para Pembanding
sehingga Terbanding tidak mempunyai kapasitas untuk mengajukan gugatan waris.
Bahwa para Pembanding untuk membuktikan bantahannya telah mengajukan
bukti tertulis yang berupa surat pernyataan Terbanding tanggal 24 Februari 2009 yang
isinya Terbanding telah menyerahkan dan melepaskan hak kepemilikan atas rumah
Terbanding dengan Pewaris kepada para Pembanding. Dan bukti berupa Akte Notaris
tanggal 01 Maret 2009 yang isinya penyerahan hak kepemilikan Terbanding kepada
para Pembanding. Sedangkan Terbanding juga telah membuktikan dalilnya bahwa
Terbanding telah membatalkan hibahnya dengan bukti surat tentang pernyataan
pembatalan hibah oleh Terbanding kepada para Pembanding yang dibuta pada
tanggal 28 Juni tahun 2010 yang isinya mencabut semua hibah yang dilakukan
Terbanding pada bulan Februari 2009 kepada para Pembanding. Bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut diatas maka telah terbukti bahwa Terbanding telah
menghibahkan harta kepemilikan dan rumah serta warisan dari almarhumah RA Siti
Mulyani tanggal 24 Februari 2009 dan dilanjutkan dengan Akta Notaris tanggal 1
5 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT, h. 37.
78
Maret 2009 dan Terbanding pada tanngal 28 Juni 2010 mencabut kembali hibah
tersebut. Maka pencabutan hibah orang tua kepada anaknya telah sesuai dengan
Hadits dan Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam tersebut diatas adalah sah menurut
Hukum Islam dan Terbanding telah terbukti sebagai suami yang sah dari Pewaris dan
mempunyai hak untuk mengajukan gugatan. Oleh karena itu harta tersebut dapat
ditetapkan 1/2 bagian untuk Terbanding dan 1/2 bagian merupakan harta Pewaris
sebagai harta waris.
Mengenai pembatalan hibah pada Tingkat Banding juga tidak tercantum pada
amar putusan. Namun telah disinggung pada pertimbangan Majelis Hakim Tingkat
Banding. Pada pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Banding
sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama karena hibah yang
telah diberikan orang tua kepada anaknya lalu dibatalkan adalah sah menurut hukum
Islam karena telah sesuai dengan Hadits dan Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam yang
menjelaskan bahwa “Hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang tua
terhadap anaknya”. Bahwa dalam Hadits yang diriwayatkan oleh ibnu umar dan ibnu
abbas “Tidak boleh bagi seorang laki-laki menarik kembali sesuatu yang telah
diberikan kepada siapapun kecuali orang tua kepada anaknya orang yang melakukan
perbuatan demikian diibaratkan seperti anjing yang muntang lalu memakan
muntahannya kembali”. Pasal 97 KHI: “Janda atau duda cerai masing-masing berhak
mendapatkan seperdua dari harti bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan”. Dalam hal ini Penggugat atau Terbanding telah dinyatakan
sebagai suami yang sah dari Pewaris.
Setelah mengetahui jalan perkara kasus ini dapat dipahami bahwa masalah
yang disengketakan antara Penggugat/ Terbanding dengan Tergugat/ Pembanding
ialah mengenai masalah gugat waris, yang pada awalnya setelah Pewaris meninggal
dunia harta peninggalan dari Pewaris telah Penggugat/ Terbanding hibahkan
seluruhnya kepada para Tergugat/ Pembanding. Namun karena Penggugat/ Terbanding
merasa hibah tersebut ada penekanan maka Penggugat/ Terbanding mencabut kembali
79
atau membantalkan hibah tersebut kepada pata Tergugat/ Pembanding. Penulis
sependapat dengan pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim pada Tingkat Pertama
dan Tingkat Banding, pembatalan kembali hibah yang telah diberikan merupakan
perbuatan yang diharamkan walaupun hibah tersebut terjadi antara orang lain maupun
saudara. Adapun hibah yang dapat ditarik kembali yaitu hibah orang tua yang telah
diberikan kepada anaknya diperbolehkan untuk dibatalkan karena seorang ayah berhak
atas harta anaknya6 seperti Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dibawah ini:
ا , وان اب يريد ان يتاح مال وعن جابر ان رجلا قال ان ل مالاا وولدا لأبي ومال ال : ا , ف
)رواه ابن ما جه(
Artinya: Dan Jabir, bahwa seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah,
sesungguhnya aku mempunyai (sejumlah) harta dan seorang anak, sedang ayahku
hendak merampas habis hartaku. Lalu Nabi SAW. bersabda, “Engkau dan hartamu
adalah milik bapakmu”7 (H.R Ibnu Majah)
Karena harta anak itu sendiri juga diperoleh dari ayahnya. Seorang bapak
dibolehkan mencabut kembali pemberian kepada anaknya, karena ia berhak menjaga
kemaslahatan anaknya dan juga cukup menaruh kasih sayang kepada anaknya.
Apabila bapak ingin mencabut kembali hibah kepada anaknya harus dengan syarat
yaitu barang yang diberikan itu masih dalam kekuasaan anaknya, berarti masih tetap
kepunyaan anaknya. Maka apabila milik anaknya itu telah hilang bapak tidak boleh
mencabut pemberiannya, walaupun harta anak itu akan kembali dengan jalan lain.8
Dalam KUHPerdata pasal 1688 huruf c juga menyatakan bahwa hibah dapat ditarik
kembali apabila si penerima hibah tidak menafkahi penghibah ketika penghibah telah
6 Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Fiqhul Maratul Muslimatu. Penerjemah Faisal
Saleh, Yusuf Hamdani: Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Cet. 1, h. 472. 7 Mu’mmal Hamidy, dkk, Nailul Authar Himpunan Hadits-Hadits Hukum, (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 2001), h. 1982. 8 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), Cet. 1, h. 140.
80
jatuh miskin.9 Dalam hal ini para para Tergugat/ para Pembanding telah mengusir
Penggugat/Terbanding dari rumah yang telah dihibahkan kepada dari Penggugat/
Terbanding kepada para Terbanding/para Pembanding. Dan Penggugat sekarang
harus tinggal di sebuah kontrakan di daerah Jakarta Timur.
Ibn Umar dan Ibnu Abbas mengemukakan bahwa Rasulullah SAW pernah
berkata bahwa
عطيةا , ث ى يل للريجل ان ي عط بن عباس , ي رف عان الحديث , قال : "لا وا , بن عمرا عن
ها إلا ها , كمثل الكلب ى ولده, ومثل الذي ي عط ى لد فيما ي عط االو ي رجع في العطية ث ي رجعفي
ق يه". )رواه الترمذي(أكل حت ث عا بع قا ا ا
Artinya: Tidak halal bagi seorang Muslim yang memberikan suatu barang
kepada orang lain lalu dibatalkan atau ditarik kembali, kecuali membatalkan hibah
yang dilakukan oang tua kepada anaknya. (H.R Tarmizi)10
Menurut Imam Malik dan jumhur Ulama Madinah berpendapat bahwa ayah
boleh menarik kembali apa yang telah dihibahkan kepada anaknya selama anak itu
belum kawin atau belum terkait hak orang lain. Sementara itu menurut Imam Ahmad
dan fuqaha Zahiri berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali apa
yang telah dihibahkannya. Menurut Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang
boleh saja mencabut kembali hibahnya kepada seseorang kecuali apa yang telah
dihibahkannya kepada perempuan yang mahram.11
PadaPasal 212 Kompilasi Hukum
Islam juga telah menjelaskan kebolehan orang tua mencabut atau membatalkan
kembali hibahnya. Penggugat/ Terbanding juga berhak untuk mendapatkan bagian
hartanya, karena sudah jelas bahwa Penggugat/ Terbanding adalah suami sah dari
9 Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2007,
Cet. 1), h.343. 10 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1992), h. 156. 11 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet.
1, h. 139-140.
81
Pewaris dan kedudukan Penggugat/ Terbanding yaitu sebagai duda yang ditinggal
mati oleh Pewaris. Dan harta yang ditinggalkan oleh Pewaris juga merupakan harta
Bersama antara Pewaris dengan Penggugat/ Terbanding, oleh karena itu Penggugat/
Terbanding berhak memperoleh 1/2 dari harta Bersama. Seperti yang telah dijelaskan
pada Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam “Janda atau duda cerai masing-masing berhak
mendapatkan seperdua dari harti bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan”.
Dapat disimpulkan bahwa apabila anak telah dihibahkan harta oleh orang tua
hendaklah berprilaku sopan dan memperhatikan keadaan orang tua yang telah jatuh
miskin. Dan untuk seseorang yang ingin menghibahkan hartanya alangkah baiknya
pemberian itu tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta warisan, hal ini telah
dijelaskan pada pasal 210 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “Dapat
menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari total harta bendanya kepada
orang lain atau lembaga”. Menurut Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentaklik
mazhab Hanafi menyatakan bahwa tidak sah menghibahkan seluruh hartanya
walaupun itu untuk kebaikan. Ia menganggap bahwa orang yang berbuat demikian
diibaratkan orang yang dungu yang wajib dibatasi perbuatannya. Landasan yang
dianut oleh hukum Islam adalah sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
Muhammad Ibnul Hasan bahwa seseorang yang menghilangkan semua hartanya itu
adalah orang yang dungu dan tidak layak bertindak hukum. Menurut Zainuddin Ali
bahwa hibah tidak ada kaitannya dengan waris kecuali apabila hibah tersebut
mempengaruhi kepentingan ahli waris. Dengan demikian pada pemberian hibah harus
ada batas maksimal yaitu tidak melebihi 1/3 dari harta waris. Sama seperti pemberian
wasiat yang tidak boleh melebih 1/3 dari harta.12
Oleh karena itu seseorang yang
menghibahkan semua hartanya dianggap tidak cakap bertindak hukum, maka hibah
yang ia laksanakan dipandang batal, karena ia tidak memenuhi syarat untuk
12 Destri budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di
Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), Cet. 1, h.
82
melaksanakan hibah.13
Karena sudah jelas pada Pasal 210 KHI disebutkan bahwa
dapat menghibahkan sekurang-kurangnya 1/3. Pada Ketentuan-ketentuan ini
bertujuan untuk menjaga kemaslahatan serta keharmonisan antar keluarga, dan
mempererat hubungan antara anak dengan orang tua.
C. Analisis Pertimbangan Majelis Hakim Mengenai Bagian Waris Pada Putusan
Nomor 2394/Pdt.G/2011/PAJT
Dalam pertimbangan Majelis Hakim pada putusan Nomor
2394/Pdt.G/2011/PA.JT mengenai pembagian waris Majelis Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Timur mempertimbangkan bahwa Penggugat telah menikah dengan
Pewaris pada tanggal 1 Januari 1968 di Kecamatan Gambir Jakarta Pusat. Selama
perkawinan Penggugat dengan Pewaris mereka dikarunia lima orang anak, dua anak
laki-laki dan tiga anak perempuan dalam perkara ini disebut para Tergugat. Selama
pekawinan Penggugat dengan Pewaris memperoleh harta bersama yaitu sebidang
tanah milih BTP Nomor 2062 seluas kurang lebih 429 M2 berikut bangunan diatasnya
seluas kurang lebih 148 M2 yang terletak di Jalan N-1 No. 27 RT. 017/ RW. 03,
Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur. Dan
saat ini rumah tersebut masih dikuasai oleh para Tergugat. Mengenai pembagian
waris tersebut harus sesuai dengan Q.S An-Nisa ayat 11, Q.S An-Nisa ayat 12, Pasal
97 KHI “Janda atau duda cerai masing-masing berhak memperoleh 1/2 dari harta
bersam sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”, Pasal 174 ayat
(2) KHI “Apabila semua ahli waris ada maka yang berhak mendapat warisan hanya:
anak, ayah, ibu, janda, atau duda”, Pasal 175 ayat (1) huruf d KHI (1) Kewajiban ahli
waris terhadap pewaris ialah: d. “membagi harta warisan diantara ahli waris yang
berhak” dan Pasal 179 KHI “Duda mendapatkan separoh bagian apabila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila meninggalkan anak maka duda mendapatkan
seperempat dari harta waris”. Pada pasal 96 KHI dan pasal 37 UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan dikemukakan bahwa harta bersama suami istri jika terjadi
13 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, Cet. 1, h. 137-138.
83
putusnya perkawinan baik karena kematian atau perceraian maka kepada suami istri
tersebut memperoleh setengah bagian dari harta yang mereka peroleh selama
perkawinan. Ketentuan ini juga sejalan dengan peraturan Mahkamah Agung RI
tanggal 9 Desember 1959 No. 424 K/SIP/1959, dimana dalam putusan tersebut
dinyatakan bahwa harta bersama suami istri apabila terjadi perceraian maka masing-
masing berhak mendapatkan setengah bagian. Untuk pembagian harta peninggalan
istri atau pewaris yaitu setengah bagian (50%) milik Penggugat dan (50%) milik
pewaris yang merupakan harta peninggalan untuk para ahli waris. Bahwa yang
menjadi ahli waris yaitu Penggugat (suami almarhumah) dan para Tergugat (anak-
anak almarhumah). Untuk permohonan sita pada petitum point 6 tidak dapat
dipertimbangkan karena Penggugat tidak pernah aktif dalam mengurus
permohonannya sehingga permohonannya tersebut dikesampingkan.
Mengenai pembagian waris pada amar putusan Majelis Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Timur Menetapkan bagian masing-masing ahli waris tersebut sebagai
berikut:
1. Penggugat 1/4 bagian yaitu 7/28 bagian (62,5%)
2. Tergugat 1, 1/7 bagian (5,357%)
3. Tergugat 2, 2/7 bagian (10,741%)
4. Tergugat 3, 2/7 bagian (10,741%)
5. Tergugat 4, 1/7 bagian (5,357%)
6. Tergugat 5, 2/7 bagian (10,741%)14
Jadi bagian anak-anak pewaris yaitu 3/4 bagian dari harta bersama Penggugat
dan Pewaris.
Pada putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT dalam menentukan siapa saja
yang berhak menjadi ahli waris yang sah dari Pewaris pada amar yang telah
dicantumkan oleh Majelis Hakim yaitu Penggugat dan para Tergugat. Pada amar
14 Salinan Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PTA.JK, h. 41.
84
yang telah disebutkan diatas sudah tepat dan benar karena berkaitan dengan Al-
Qur’an surat an-Nisa ayat 12 yang berbunyi:
ب عد من ت ركن ما الربع ف لكم ولد لن كان فإن ولد لن يكن ل إن أزواجكم ت رك ما صف ولكم الثمن ف لهن ولد لكم كان فإن ولد لكم يكن ل إن ت ركتم ما الربع ولن ين أو با يوصي وصية
أو أخ وله امرأة أو كللةا يورث رجل كان وإن ين أو با توصون وصية ب عد من ت ركتم ما أخهما واحد فلكلي من أكث ر كاوا فإن السدس من ل يوصى وصية ب عد من الث لث ركا ف هم ر ين أو با حليم عليم والل الل من وصيةا مضاري غي
Artinya: Dan bagimuanmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-
istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapatkan seperempat dari harta yang
ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah
dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah
dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika
seseorang meninggal, baik laki-laki (seibu) atau seseorang saudara perempuan
(seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-
sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau
(dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris).
Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun. (Q.S. An-
Nisa(4):12)
Penggugat berhak mendapatkan 1/4 harta dari harta peninggalan Pewaris,
karena Pewaris meninggalkan lima orang anak. Dan sudah jelas kedudukan
Penggugat yaitu merupakan suami sah dari Pewaris dan berhak mendapatkan 1/2
harta dari harta bersama antara Penggugat dengan Pewaris, sementara kedudukan
para Tergugat adalah sebagai anak kandung dari hasil perkawinan antara Penggugat
dengan Pewaris maka para Tergugat berhak atas harta peninggalan Pewaris. Dalam
hal ini juga berkaitan dengan Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 11 yang berbunyi:
85
كم الل يوصيكم ا كن فإن الأ ث ي ي حظي مثل للذكر أولا ما ث لثا ف لهن اث ن ت ي ف وق سا
وإن ت رك هما واحد لكلي ولأب ويه النيصف ف لها واحدةا كا له كان إن ت رك ما السدس من
فإن ولد ب عد من السدس فلميه إخوة له كان فإن الث لث فلميه أب واه وورثه ولد له يكن ل
إن الل من فريضةا فعاا لكم أق رب أي هم تدرون لا وأب ناؤكم آبؤكم ين أو با يوصي وصية
ا عليماا كان الل . حكيما
Artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian
warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak.jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi
oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang
meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapatkan seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut diatas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya
atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maka
Bijaksana. (Q.S. An-Nisa(4):11)
Mengenai pembagian harta untuk masing-masing ahli waris dasar hukum
yang dipakai oleh Majelis Hakim pada pertimbangannya yaitu berpedoman pada Al-
Qur’an surat An-Nisa ayat 11, dan ayat 12. Menurut penulis dasar hukum yang
digunakan Majelis Hakim sudah sesuai dan sudah tepat. Pada amar putusan, Majelis
Hakim menetapkan bagian Penggugat yaitu 7/28 sedangkan untuk Tergugat 1, 1/7
bagian (5,357%), Tergugat 2, 2/7 bagian (10,741%), Tergugat 3, 2/7 bagian
(10,741%), Tergugat 4, 1/7 bagian (5,357%), dan Tergugat 5, 1/7 bagian (5,357%),
namun apabila kita lihat dari perhitungan tersebut diatas ada sedikit kekeliruan yaitu
asal masalah antara ayah dengan asal masalah anak-anaknya berbeda sehingga jika
86
penulis hitung hasilnya tidak sesuai dengan asal masalahnya, asal masalah merupakan
suatu cara untuk menemukan porsi bagian masing-masing ahli waris dengan cara
menyamakan nilai “penyebut” dan semua bagian para ahli waris.15
Berikut akan penulis uraikan perhitungan dari Majelis Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Timur:
Ahli Waris Fardh Asal
Masalah
Suami 1/4 4 7/28
Anak Pr. (1) 3/4 1/7
Anak Lk. (2) (‘Ashobah) 2/7
Anak Lk. (2) 2/7
Anak Pr. (1) 1/7
Anak. Pr. (1)+ 1/7+
= 7 Kepala 15/28
Dan berikut menurut penulis perhitungan dengan cara mentashih:
Ahli Waris Fardh Asal
Masalah
Awal
Asal Masalah
Tashih
Suami 1/4 4 4 (AM) x 7
(Kepala) = 28
28: 4 = 7 = 7/28
Anak Pr. (1) 3/4 28 21: 7 = 3 = 3/28
Anak Lk. (2) (‘Ashobah) 3 x 2 = 6 = 6/28
Anak Lk. (2) 3 x 2 = 6 = 6/28
15 Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2002),
h. 68.
87
Anak Pr. (1) 3 = 3/28
Anak. Pr. (1)+ 3 = 3/28+
= 7 Kepala = 28/28
Untuk perhitungan dari Majelis Hakim ketika dijumlah bagian ahli waris
seluruhnya maka hasilnya yaitu 15/28, jadi menurut penulis mengenai perhitungan
untuk bagian ahli waris kurang tepat. Karena seharusnya hasil penjumlahan dari
seluruh bagian ahli waris setara dengan angka asal masalah yaitu 28.
Dan seharusnya untuk asal masalah anak-anaknya disamakan dengan asal
masalah Penggugat/ suami Pewaris yaitu /28. Begitupula juga untuk masing-masing
bagian anak perempuan yaitu 3/28, sedangkan untuk masing-masing bagian anak
laki-laki yaitu dikalikan 2 = 6, sehingga jika dijumlah 7+ 3+ 6+ 6+ 3+ 3= hasilnya
menjadi 28/28 karena disini anak menjadi ‘ashabah bil ghoir. ‘Ashabah yaitu ahli
waris apabila bersama ahli waris yang mendapatkan bagian fardh maka mereka
mendapatkan sisa harta dari ahli waris yang mendapat bagian fardh, apabila hanya
mereka tidak ada ahli waris yang mendapatkan bagian fardh, maka semua harta
diberikan seluruhnya kepada mereka.16
Ghair yaitu anak laki-laki yang bergabung
bersama anak perempuan yang memliki derajat yang sama dan memiliki hubungan
kekerabatan yang kuat.17
Jadi ‘Ashabah bil ghair yaitu setiap wanita yang bagian
warisannya setengah atau dua pertiga, dan menjadi ‘Ashobah bil Ghair jika ada anak
laki-laki yang memilik derajat dan kekuatan kekerabatan yang sama.18
Untuk bagian para Tergugat mendapatkan sisa dari Penggugat yaitu 21, lihat
pada bagian Penggugat yang memperoleh 7/28 yaitu perhitungan dari 28 : 4 karena
16 Muhammad bin Shalih al-Utsamain, Tas-hiilul Faraa-idh: Panduan Praktis Hukum Waris
Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2015), Cet- 7, h. 96. 17 Achmad Kuzari, Sistem ‘Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) Cet. 1, h. 92. 18 Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum WarisPembagian Warisan Berdasarkan
Syariat Islam, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), Cet. 1, h. 412.
88
Penggugat selaku suami mendapatan 1/4 bagian dari harta, oleh karena itu harus
dibagi 4 yaitu 28 : 4 = 7 dan sisanya ialah 21. Setelah itu sisa 21 tadi harus dibagikan
kepada para Tergugat sesuai dengan jumlah kepala. Dalam perkara gugat waris ini
kepala dari para Tergugat yaitu 7 karena terdapat 3 anak perempuan dan 2 anak laki-
laki. Cara yang digunakan agar masing-masing pihak tidak mendapatkan bagian
pecahan yaitu dengan cara mentashih. Tashih ialah perhitungan yang sudah
dibulatkan untuk dibagikan kepada ahli warisnya sehingga ahli waris tidak
mendapatkan bagian yang bilangannya masih berbentuk pecahan.19
Jadi perhitungan
untuk masing-masing anak perempuan yaitu 21: 7 = 3. Sedangkan untuk bagian
masing-masing anak laki-laki tinggal dikalikan 2 karena pada hakikatnya satu bagian
untuk anak laki-laki setara dengan bagian 2 anak perempuan seperti yang telah
dijelaskan pada Firman Allah SWT Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 11.20
Jadi hasil
untuk anak laki-laki yaitu 2 x 3 = 6.
D. Analisis Pertimbangan Majelis Hakim Mengenai Bagian Waris Pada Putusan
Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK
Putusan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK perihal pembagian waris dalam hal
ini yang mengajukan upaya hukum banding yaitu para Tergugat/ para Pembanding
karena merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur. Majelis
Hakim Tingkat Banding mempertimbangkan bahwa Terbanding meminta agar
sebidang tanah hak milik BTP Nomor 2062 seluas kurang lebih 429 M2 dan
bangunan diatasnya seluas 200 M2 yang terletak di Jalan N-1 No. 27 RT. 017/ RW.
03, Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur
merupakan harta bersama antara Terbanding dengan Pewaris. Hal tersebut juga telah
diakui oleh para Pembanding akan tetapi luas bagunan hanya 148 M2 bukan 200 M
2.
Terbanding telah menghibahkan kepada para Pembanding dan adanya tanah tersebut
dikuatkan dengan bukti T.6 akte Jual beli tanah tahun 1980 antara Terbanding dengan
19 Hasan, Al-Fara’id, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1992), Cet. 13, h. 93. 20Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana, 2004) Cet. 1, h. 8.
89
H. Hasan bin Artijan atas tanah hak milik BTP No. 2062 seluas 429M2
persil 193
blok D.1, Desa Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara dan bukti T.12, berupa SPT
bulan Maret 2011 dan bukti T. 17 berupa SPT bulan Maret 2012 kedua alat bukti
tersebut tertera luas bangunan 148 M2. Bahwa dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama, dalam pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan harta kekayaan atau syirkah yang diperoleh baik diri sendiri atau
bersama-sama suami dan istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung yaitu
disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Gugatan dari Terbanding sebagaimana tersebut diatas juga diakui oleh para
Pembanding bahwa tanah tersebut dibeli semasa perkawinan antara Terbanding
dengan Pewaris dan hal ini sehubungan dengan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam maka harus
dinyatakan bahwa sebidang tanah hak milik BTP Nomor 2062 seluas kurang lebih
429 M2 dan bangunan diatasnya seluas 148 M
2 yang terletak di Kotamadya Jakarta
Timur Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara jalan N-1 No. 27 RT. 017
RW. 03 merupakan harta bersama antara Terbanding dengan Pewaris.21
Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam janda atau duda cerai masing-masing
berhak seperdua harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. Terbanding meminta agar Terbanding dan para Pembanding ditetapkan
sebagai ahli waris dari Pewaris dan meminta agar ditetapkan bagian masing-masing
ahli waris sesuai dengan hukum Islam.Bahwa pembagian waris ini sesuai dengan Q.S
An-Nisa ayat 11, dan 12 dan Pasal 174 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, Pasal 179
Kompilasi Hukum Islam.22
21 Salinan Putusan Nomor 145/Pdt.G/PTA.JK, h. 8-9. 22 Salinan Putusan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK, h. 12.
90
Mengenai pembagian waris pada amar putusan Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta dalam hal menetapkan bagian masing-masing ahli waris
tersebut sebagai berikut:
Menetapkan bagian Penggugat/ Terbanding dari harta bersama tersebut
setengah bagian dan setengah bagian merupakan harta warisan yang harus dibagikan
kepada ahli waris. Menetapkan ahli waris almarhumah RA Siti Mulyani binti RM
Soemulyo adalah:
1. Ramelan DA bin Ambiah Djojo Ardjo (suami almarhumah).
2. Rani Amanu Damayanti binti Ramelan DA (anak perempuan pewaris).
3. Imam Sujudi bin Ramelan DA (anak laki-laki pewaris).
4. Mulandaru Rachim bin Ramelan DA (anak laki-laki pewaris).
5. Ratih Puspa Dewi binti Ramelan DA (anak perempuan pewaris).
6. Marini Kusuma Ningsih binti Ramelan DA (anak perempuan pewaris).
7. Terbanding 1/4 bagian yaitu 7/28 x 1/2 harta bersama
8. Pembanding 1 yaitu 4/28 x 1/2 harta bersama
9. Pembanding 2 yaitu 8/28 x 1/2 harta bersama
10. Pembanding 3 yaitu 8/28 x 1/2 harta bersama
11. Pembanding 4 yaitu 4/28 x 1/2 harta bersama
12. Pembanding 5 yaitu 4/28 x 1/2 harta bersama23
Jadi bagian anak-anak pewaris = 34 = 21/28 bagian dari 1/2 harta bersama
yang merupakan bagian almarhumah Pewaris.
Pada amar putusan yang telah dicantumkan oleh Majelis Hakim diatas
mengenai pembagian waris kepada masing-masing ahli waris menurut analisis
penulis telah sesuai dengan syariat Islam yaitu berpedoman pada Al-Qur’an Surat An-
Nisa ayat 11 dan ayat 12. Dalam perkara ini untuk bagian anak-anak penulis sepakat
dengan Majelis Hakim yaitu bagian untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian
23 Salinan Putusan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK, h. 10-13.
91
dua anak perempuan. Penulis juga menggunakan dasar hukum yang merujuk pada Al-
Qur’an surat An-Nisa ayat 11 yang berbunyi:
كم الل يوصيكم ا كن فإن الأ ث ي ي حظي مثل للذكر أولا ما ث لثا ف لهن اث ن ت ي ف وق سا
وإن ت رك هما واحد لكلي ولأب ويه النيصف ف لها واحدةا كا له كان إن ت رك ما السدس من
فإن ولد ب عد من السدس فلميه إخوة له كان فإن الث لث فلميه أب واه وورثه ولد له يكن ل
إن الل من فريضةا فعاا لكم أق رب أي هم تدرون لا وأب ناؤكم آبؤكم ين أو با يوصي وصية
ا عليماا كان الل .حكيما
Artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian
warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak.jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi
oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang
meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapatkan seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut diatas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya
atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maka
Bijaksana. (Q.S.An-Nisa(4):11)24
Ayat diatas juga menjelaskan bagian untuk anak laki-laki dan bagian untuk
anak perempuan. Begitu pula pada bagian suami penulispun juga sepakat dengan
amar putusan Majelis Hakim yaitu mendapatkan 1/4 bagian karena disini Pewaris
telah meninggalkan lima orang anak, maka suami berhak mendapatkan 1/4 bagian,
hal ini pun sejalan dengan Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat: 12 yang berbunyi:
24 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. 1, h.7-8.
92
ب عد من ت ركن ما الربع ف لكم ولد لن كان فإن ولد لن يكن ل إن أزواجكم ت رك ما صف ولكم الثمن ف لهن ولد لكم كان فإن ولد لكم يكن ل إن ت ركتم ما الربع ولن ين أو با يوصي وصية
أو أخ وله امرأة أو كللةا يورث رجل كان وإن ين أو با توصون وصية ب عد من ت ركتم ما أخهما واحد فلكلي من أكث ر كاوا فإن السدس من ل يوصى وصية ب عد من الث لث ركا ف هم ر ين أو با حليم عليم والل الل من وصيةا مضاري غي
Artinya: Dan bagimuanmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-
istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapatkan seperempat dari harta yang
ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah
dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah
dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika
seseorang meninggal, baik laki-laki (seibu) atau seseorang saudara perempuan
(seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-
sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau
(dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris).
Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun. (Q.S.An-
Nisa(4):12)25
Dan untuk bagian para Pembanding disini ada sedikit kekeliruan yaitu pada
amar putusan yang dinyatakan oleh Majelis Hakim pada bagian para Pembanding,
apabila kita jumlah hasil bagian dari para pembanding dan Terbanding maka hasil
penjumlahan tersebut lebih besar dari asal masalah, berikut perhitungan menurut
Majelis Hakim Pegadilan Tinggi Agama Jakarta:
25 Syaifuddin Masykuri, Ilmu Faraidl Pembagian Harta Warisan Perbandingan Empat
Mazhab, (Lirboyo: Santri Salaf Press, 2016), Cet. 1, h. 20.
93
Ahli Waris Fardh Asal
Masalah
Awal
Asal Masalah
Tashih
Suami 1/4 4 4 (AM) x 7
(Kepala) = 28
28: 4 = 7 = 7/28
Anak Pr. (1) 3/4 28 21: 7 = 4/28
Anak Lk. (2) (‘Ashobah) 4 x 2 = 8/28
Anak Lk. (2) 4 x 2 = 8/28
Anak Pr. (1) 4 = 4/28
Anak. Pr. (1)+ 4 = 4/28+
= 7 Kepala = 35/28
Berikut perhitungan penulis yang sesuai dengan Faraidh:
Ahli Waris Fardh Asal
Masalah
Awal
Asal Masalah
Tashih
Suami 1/4 4 4 (AM) x 7
(Kepala) = 28
28: 4 = 7 = 7/28
Anak Pr. (1) 3/4 28 21: 7 = 3 = 3/28
Anak Lk. (2) (‘Ashobah) 3 x 2 = 6 = 6/28
Anak Lk. (2) 3 x 2 = 6 = 6/28
Anak Pr. (1) 3 = 3/28
Anak. Pr. (1)+ 3 = 3/28+
= 7 Kepala = 28/28
Untuk asal masalah Terbanding (suami) dengan para Pembanding (anak-anak)
pada Tingkat Banding sudah tepat yaitu /28. Namun pada perhitungan yang
94
seharusnya yaitu harta warisan apabila harus dibagikan kepada ahli warisnya harus
pas dan tidak boleh tersisa. Dan dalam hal ini posisi anak-anak atau para Pembanding
yaitu sebagai ‘ashobah bil ghair karena pada kasus ini terdapat dua anak perempuan
yang seharusnya mndapatkan 2/3 bagian dan yang membuat anak perempuan ini
menjadi ‘ashabah ialah ketika anak laki-laki sekandung seorang atau lebih bersama
dengan anak perempuan sekandung seorang atau lebih.26
Perhitungan menurut hukum waris Islam untuk masing-masing anak
perempuan yaitu mendapatkan 3 bukan 4, karena jika dihitung dari sisa harta yang
telah dibagikan kepada Terbanding/ suami yaitu 21 (sisa harta) : 7 (tujuh kepala) = 3,
sedangkan untuk anak laki-laki hasil pembagian tadi dikalikan 2 yakni 6 bukan 8,
oleh karena itu untuk satu anak laki-laki mendapatkan 6 bagian. Seperti yang telah
penulis singgung sebelumnya bahwa poisi anak-anak dalam perkara gugat waris yaitu
sebagai ‘Ashobah bil Ghair. Cara perhitungan diatas sama seperti cara yang telah
penulis sampaikan sebelumnya pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur
Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT. Agar masing-masing ahli waris tidak mendapatkan
bagian pecahan atau bilangan pecahan, maka kita bisa menggunakan dengan cara
mengalikan asal masalah awal dengan jumlah kepala atau mentashih sehingga
masing-masing pihak mendapatkan bagian bilangan yang bulat.
26Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsmaini, Tas-hil Al-Faraidh, Penerjemah Abu
Najiyah Muhaimin: Ilmu Waris, (Tegal: Ash-Shaf Media, 2007), Cet. 1, h. 77
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas yang dilakukan
secara rinci, maka penulis dapat menyimpulkan dalam uraian sebagai berikut:
1. Bahwa berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan
Agama dalam putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT dan
pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
pada putusan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK pada perkara hibah
keduanya sependapat bahwa hibah yang telah diberikan orang tua
kepada anaknya lalu ditarik/dibatalkan kembali diperbolehkan dan
dianggap hibah itu tidak pernah ada, dalam hal ini Majelis Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta keduanya berlandasan pada Pasal 212
Kompilasi Hukum Islam, dimana pasal tersebut dapat dipahami
bahwa hibah yang telah diberikan kepada orang lain tidak dapat
ditarik kembali kecuali penarikan hibah orang tua kepada anaknya,
dan merujuk pada Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan
Ibnu ‘Abbas:
لديث , قال : "لا يل للر جل ان ي عطي عطية , ث عن ابن عمر وابن عباس , ي رف عان ا
ها , كم ها إلا الولد فيما ي عطي ولده, ومثل الذي ي عطي العطية ث ي رجعفي ثل ي رجع في
اد ف ق يئه". )رواه الترمذي(الكلب أكل حت اذا شبع قاء ث ع
Dan padadalil Fiqhiyah dalam Kitab Subulus Salam III, dijelaskan
96
ن عباس , ي رف عان الديث , قال : "لا يل للر جل ان ي عطي عطية , ث بوا عن ابن عمر
ها إلا ها , كمثل جع ي ر الولد فيما ي عطي ولده, ومثل الذي ي عطي العطية ث ي رجع في في
. رواه الترمذي"الكلب أكل حت اذا شبع قاء ث عاد ف ق يئه
Artinya: “Tidak boleh bagi seorang laki-laki menarik kembali
sesuatu pemberian kepada siapapun kecuali orang tua yang menarik
kembali pemberiannya kepada anaknya”. (Subulus Salam III HR.
Ahmad dan disahkan Hadits itu oleh Tarmizi).
Perbedaan mendasar mengenai hibah yaitu apabila hibah yang
dilakukan antara orang tua dan anaknya diperbolehkan untuk dibatalkan
kembali karena hal ini sesuai dengan Pasal 212 KHI dan Hadits. Apabila
hibah yang dilakukan antara orang lain secara tegas telah dijelaskan
bahwa haram untuk ditarik kembali.
2. Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta dalam menetukan bagian ahli waris berlandasan pada Al-
Qur’an surat An-Nisa ayat 11 dan ayat 12. Dalam hal ini keduanya sudah
tepat dalam menetukan bagian untuk ayah, anak laki-laki dan anak
perempuan. Namun demikian ada sedikit kekeliruan yaitu asal masalah
antara ayah/Penggugat dan anak-anaknya/ para Tergugat berbeda.
Seharusnya asal masalah Penggugat dan para Tergugat disamakan yaitu
/28. Dan mengenai pembagian ahli waris untuk para Tergugat dari
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur masih kurang tepat
yaitu:
Ahli Waris Fardh Asal Masalah
Suami 1/4 4 7/ 28
Anak Pr (1) 3/4 1/7
Anak Lk (2) (‘Ashabah) 2/7
97
Anak Lk (2) 2/7
Anak Pr (1) 1/7
Anak Pr (1)+ 1/7+
= 7 Kepala = 15/28
Seharusnya bagian untuk anak perempuan yaitu 3/28 karena
kedudukan para Tergugat disin menjadi ‘ashobah bil ghair oleh karena
itu para Tergugat mendapatkan sisa harta yaitu 21, dan sisa harta tersebut
dibagikan untuk 7 kepala, 21 (sisa harta) : 7 (tujuh kepala) = 3.
Sedangkan untuk anak laki-laki hasil yang telah disebutkan tadi dikalikan
2, karena bagian satu orang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak
perempuan. Seperti yang penulis uraikan berikut ini:
Ahli Waris Fardh Asal
Masalah
Awal
Asal
Masalah
Tashih
Ayah 1/4 4 4 (AM) x 7
(Kepala) =
28
28: 4 = 7 = 7/28
Ank Pr. (1) 3/4 28 21: 7 = 3 = 3/28
Ank Lk (2) (‘Ash
obah)
3 x 2 = 6 = 6/28
Ank Lk. (2) 3 x 2 = 6 = 6/28
Ank Pr. (1) 3 = 3/28
AnkPr. (1)+ 3 = 3/28+
= 7 Kepala = 28/28
98
Pada putusan Tingkat Banding, Majelis Hakim dalam
menentukan bagian ahli waris yaitu:
Ahli Waris Fardh Asal
Masalah
Awal
Asal Masalah
Tashih
Ayah 1/4 4 4 (AM) x 7
(Kepala) = 28
28: 4 = 7 = 7/28
Ank Pr. (1) 3/4 28 21: 7 = 4/28
Ank Lk. (2) (‘Ash
obah)
4 x 2 = 8/28
Ank Lk. (2) 4 x 2 = 8/28
Ank Pr. (1) 4 = 4/28
Ank. Pr. (1)+ 4 = 4/28+
= 7 Kepala = 35/28
Dalam menentukan bagian untuk ahli waris, Majelis Hakim
Tingkat Banding ada sedikit kekeliruan yaitu bagian untuk anak-
anak/para Pembanding. Pada bagian untuk anak perempuan yaitu
mendapatkan 4 bagian sedangkan untuk anak laki-laki mendapatkan 8
bagian, seharusnya jika dihitung sesuai dengan hukum waris Islam anak
perempuan mendapatkan 3 bagian karena para Pembanding
mendapatkan sisa harta yaitu 21, dan sisa harta tersebut dibagikan untuk
7 kepala apabila dihitung 21 (sisa harta) : 7 (tujuh kepala) = 3.
Sedangkan untuk anak laki-laki hasil yang telah disebutkan tadi
dikalikan 2 = 6. Jadi bagian masing-masing anak perempuan
mendapatkan 3 bagian, sedangkan bagian masing-masing anak laki-laki
mendapatkan 6 bagian. Dengan demikian jika kita jumlah hasilnya akan
sesuai dengan angka asal masalah yaitu sebagai berikut:
99
Ahli Waris Fardh Asal
Masalah
Awal
Asal
Masalah
Tashih
Ayah 1/4 4 4 (AM) x 7
(Kepala) =
28
28: 4 = 7 = 7/28
Ank Pr. (1) 3/4 28 21: 7 = 3 = 3/28
Ank Lk (2) (‘Ash
obah)
3 x 2 = 6 = 6/28
Ank Lk. (2) 3 x 2 = 6 = 6/28
Ank Pr. (1) 3 = 3/28
AnkPr. (1)+ 3 = 3/28+
= 7 Kepala = 28/28
B. Saran-saran
1. Untuk panitera, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti diharapkan
untuk lebih teliti lagi dalam memeriksa berkas yang masuk, dan berkas yang
akan dilaporkan. Sehingga tidak ada kekeliruan dalam menulis suatu perkara.
2. Untuk Majelis Hakim yang terhomat hendaklah lebih teliti dan
memperhatikan pengaturan tentang kewarisan dalam hukum Islam sehingga
tidak ada lagi kekeliruan atau sedikit kesalahan dan dapat menjadi panutan
bagi semua orang.
100
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Al-Allamah bin Muhammad bin Khaldun, Mukkadimah Ibnu Khaldun.
Penerjemah Masturi Irham, Cet.1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011.
Abta, Asyari, Djuanidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, Surabaya, Pustaka
Hikmah Perdana, 2005.
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahihu Fiqhisunnati Waadilatuhuwa
Taudhiuhu Madzaahibil Aimati. Penerjemah Ade Ichwan Ali. Tuntunan
Praktis Hukum Waris Islam, Jakarta: Cet. 1, Pustaka Ibnu Umar, 2010.
Al-‘Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Fiqhul Maratul Muslimatu.
Penerjemah Faisal Saleh, Yusuf Hamdani: Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Cet.1, Jakarta: Akbarmedia, 2009.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Al-Utsaimin, dan Syaikh Muhammad bin Shalih, Asy-Syarul Mumti Kitabul Waqf
Wal Hibah Wal Washiyyah. Penerjemah Abu Hudzaifah. Panduan Wakaf,
Hibah dan Wasiat Menurut al- Qur’an dan as-Sunnah. Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’I, 2008.
Al-Utsamain, Muhammad bin Shalih, Tas-hiilul Faraa-idh: Panduan Praktis Hukum
Waris Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih, Cet. 7, Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir, 2015.
Amir, Muhammad bin Ismail, Subulussalam, Juz 3, Kairo: Dar Al-Hadits, 1186 H.
Anshory, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.
Ashabuniy, Muhammad Ali, Al-Mawarits Fisy-Syar’iyatil Islamiyah ‘Ala Dhauil
Kitab Was Sunnah. Penerjemah Sarmin Syukur: Hukum Waris Islam, Cet.1,
Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
Ash-Shabuniy, Muhammad Ali, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema
Insani, 1995.
Bafadhal, Faizah “Jurnal Ilmu Hukum Analisis Tentang Hibah dan Korelasinya
Dengan Kewarisan dan Pembatalan Hibah Menurut Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia, 2011, h. 18. Artikel diakses pada tanggal 15 Juli2019
101
dari https://media.neliti.com/media/publications/43291-ID-analisis-tentang-
hibah-dan-korelasinya-dengan-kewarisan-dan-pembatalan-hibah-men.pdf.
Cahyani, Tinuk Dwi, Hukum Waris Dalam Islam Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 2018.
Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995.
Djalil, A Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Firmansyah, Mohammad Apip. “Hak Suami Sebagai Ahli Waris Dalam Kompilasi
Hukum Islam. (Analisis Putusan Perkara Gugat Waris Pengadilan Agama
Kota Cirebon Nomor 753/Pdt.G/2011/PA.Cn”Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Fitra, Muh dan Luthfiyah, Metodologi Penelitian Penelitian Kualitatif, Tindakan
Kelas dan Studi Kasus, Sukabumi: Jejak, 2017.
Harun, Fiqh Muamalah Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017.
Hasan, Al-Fara’id, Cet. 13, Surabaya: Pustaka Progressif, 1992.
Hasbiyallah, Fikih, Cet. 1, Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2006.
Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Jajuli, M. Sulaeman, Fiqh Madhzhab ‘Ala Indonesia, Cet. 1, Yogyakarta: CV Budi
Utama, 2015.
Jenggis, Akhmad, 10 Isu Global di Dunia Islam, Yogyakarta: NFP Publishing 2012.
Kadir, A, Memahami Ilmu Faraidh, Jakarta: Amzah, 2016.
Khalifah, Muhammad Thaha Abul Ela, Hukum Waris Pembagian Warisan
Berdasarkan Syariat Islam, Cet. 1, Solo: Tiga Serangkai, 2007.
KomiteFakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Ahkamul-Mawarits Fil-Fiqhil-
Islami, Penerjemah Addys Aldisar, dan Fathurrahman: Hukum Waris, Cet. 1,
Jakarta Senayan Abadi Publshing, 2004.
102
Kuzari, Achmad, Sistem ‘Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta
Tinggalan, Cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Latupono, Barzah, dkk, Buku Ajar Hukum Islam, Yogyakarta: CV Budi Utama, 2017.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2006.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2008.
Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Cet. 9, Jakarta: Rajawali Press,
2015.
Masykuri, Saifuddin, Ilmu Faraidl Pembagian Harta Warisan, Cet.1, Kediri: Santri
Salaf Press, 2016.
Muhammad, Asy-Syaikh bin Shaleh Al-Utsmaini, Tas-hil Al-Faraidh, Penerjemah
Abu Najiyah Muhaimin: IlmuWaris, Cet. 1, Tegal: Ash-Shaf Media, 2007.
Muhibbin, Moh. dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Muhyidin, Muhammad dan Abdul Hamid, Panduan Waris Empat Mazhab, Jakarta:
Al-Kautsar, 2009.
Mu’mmal Hamidy, dkk, Nailul Authar Himpunan Hadits-Hadits Hukum, Surabaya: PT Bina
Ilmu, 2001.
Muthiah, Aulia, dan Novy Sri Pratiwi Hardani, Hukum Waris Islam, Yogyakarta:
Medpres Digital, 2015.
Naja, H.R. Daeng, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis,
Cet. 1, T.t: Citra Adtya Bakti, 2006.
Nasution, Amin Husein, Hukum Kewarisan, Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Nugraheni, Destri Budi dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2014.
Putusan Nomor 2394/Pdt.G/2011/PA.JT.
Putusan Nomor 145/Pdt.G/2012/PTA.JK.
103
Rafiq Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Depok: Rajawali Press, 2017.
Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1992.
Rofiq, Ahmad, Fiqih Mawaris Jakarta: PT Raja Grafido, 1995.
RPH Whimbo Pitoyo, Strategi Jitu menangani Perkara Perdata dalam Praktik
Peradilan, Cet. 1, Jakarta: Visimedia, 2012.
Salman, Otje dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, Bandung: Refika Aditama,
2002.
Satori, Djaman dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:
Alfabeta, 2013.
Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. 1, Jakarta: Transmedia
Pustaka, 2007.
Summa, Muhammad Amin, Keadilan Hukum Waris Islam, (Jakarta: Rajawali Press,
2013), Cet. 1, h. 24-28.
Suparman, Eman, Hukum Waris Indosesia (Bandung: PT Refika Aditama 2005.
Suryati, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: ANDI, 2017.
Syarif, Ade Apriani, Tinjauan Terhadap Penarikan Hibah dari Orang Tua Terhadap
Anak. (Studi Putusan Pengadilan Agama Pinrang Nomor
432/Pdt.G/2012/PA.Prg) Skripsi S1, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar. 2017.
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Kencana, 2004.
Syarifuddin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003.
.
Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Cet. 9, Jakarta: Sinar Grafika,
2016.
Tim El-Madani, Tata Cara Pembagian dan Pengaturan Wakaf, Cet. 1, Yogyakarta:
Medpress Digital, 2014.
104
Tim Redaksi BIP, Tiga Kitab Undang-Undang KUHPERdata, KUHP, KUHAP,
Beserta Penjelasannya, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2017.
Yulianto, Nur Achmad Budi dkk, Metodologi Penelitian Bisnis, T.t, Polinema Press,
2018.
Z, Zurinal dan Aminudiin, Fiqh Ibadah, Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Zed, Mestika Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008.