sarafambarawa.files.wordpress.com · web viewlembar pengesahan. laporan kasus. cedera kepala...
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
CEDERA KEPALA RINGAN
Disusun Oleh:
Haniyyah
1710221004
Pembimbing:
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN – UPN ”VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
PERIODE 15 OKTOBER - 17 NOVEMBER 2018
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUSCEDERA KEPALA RINGAN
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Departemen Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Disusun Oleh:
Haniyyah
1710221004
Telah Disetujui Dan Disahkan Oleh Pembimbing:
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc
Tanggal: November 2018
i
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. A
Umur : 17 Tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Klepon, Jambu, Kab. Semarang
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SMU
Status : Belum menikah
No.CM : 015xxx-2011
Tanggal masuk RS : Kamis, 25 Oktober 2018
B. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada hari Sabtu, 27 Oktober
2018 pukul 14.00 WIB di Bangsal Mawar.
a. Keluhan Utama
Nyeri kepala pasca trauma kecelakaan lalu lintas sejak 20 menit SMRS.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Menurut keterangan pasien dan keluarga pasien, 2 hari yang lalu
20 menit SMRS pasien mengalami kecelakaan sepeda motor dengan
pengendara motor lain. Saat kejadian pasien menggunakan pengaman
kepala (helm). Pasien naik motor berdua dengan seorang teman. Sesaat
setelah kejadian pasien tidak sadarkan diri. Kemudian oleh warga setempat
pasien dibawa ke RS Sari Medika. Menurut keterangan saksi, pasien sadar
kurang lebih 10 menit setelah kecelakaan. Saat ditanyakan mengenai
kejadian, pasien tidak mengingat proses kejadian. Pasien hanya mengingat
ia dan temannya sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah.
Dikarenakan RS Sari Medika tidak ada rontgen maka pasien
dibawa ke IGD RSUD Ambarawa. Pasien mengatakan merasakan nyeri
kepala, pusing, nyeri seperti ditekan, bila diberi skala nyeri pasien
memberikan skala nilai 6/10 dari nyeri yang dirasakannya, lokasi nyeri di
kepala sebelah kiri, nyeri menetap terus-menerus, pasien mengatakan saat
1
di IGD nyeri kepala disertai mual dan tidak muntah. Nyeri yang dirasakan
disertai rasa bengkak di wajah sebelah kiri dan kelopak mata sebelah kiri.
Pasien mengatakan tidak mengalami gangguan penglihatan,
gangguan pendengaran, gangguan saraf otak lainnya seperti sulit bicara
dan menelan, gangguan fungsi luhur seperti gangguan memori dan
membaca, gangguan motorik seperti kelemahan anggota tubuh, gangguan
sensibilitas seperti rasa baal ditubuh, dan gangguan otonom seperti
gangguan buang air kecil dan buang air besar. Pasien kemudian
melakukan foto rontgen kranium dan hasilnya tidak terdapat fraktur
dibagian kranium. Pasien dirawat di Bangsal Mawar RSUD Ambarawa
untuk mendapatkan penanganan lanjut oleh dokter spesialis saraf.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat cephalgia kronis : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat gangguan mata : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tidak merokok. Pasien juga tidak mengkonsumsi minuman keras
dan obat-obatan terlarang. Pasien merupakan seorang pelajar SMU.
f. Anamnesis Sistem
1. Sistem Serebrospinal : Nyeri kepala (+), pusing (+)
2. Sistem Kardiovaskuler : Tidak ada keluhan
3. Sistem Respirasi : Tidak ada keluhan
4. Sistem Gastrointestinal : Mual (+)
5. Sistem Muskuloskeletal : Tidak ada keluhan
6. Sistem Integumen : Memar pada wajah sebelah kanan dan
2
kelopak mata kanan
7. Sistem Urogenital : Tidak ada keluhan
C. RESUME ANAMNESIS
Seorang laki-laki berusia 17 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa
dengan cedera kepala setelah mengalami kecelakaan motor dengan motor 2
hari yang lalu. Pasien kehilangan kesadaran sekitar kurang lebih 10 menit.
Saat sadar, pasien tidak mengingat kronologi kecelakaan. Pasien hanya
mengingat ia dalam perjalanan pulang dari sekolah bersama temannya. Pasien
juga merasakan pusing, nyeri kepala, nyeri seperti ditekan, bila diberi skala
nyeri pasien memberikan skala nilai 6/10 dari nyeri yang dirasakannya, lokasi
nyeri di kepala bagian sebelah kiri, nyeri menetap terus-menerus, pasien
mengatakan saat di IGD merasa nyeri kepala, pusing disertai mual tanpa
muntah.
D. DIAGNOSIS SEMENTARA
a. Diagnosis Klinis
Sefalgia pasca trauma, amnesia
b. Diagnosis Topis
Intrakranial
Ekstrakranial
c. Diagnosis Etiologi
Suspek cedera kepala
E. DISKUSI I
Dari anamnesis didapatkan pasien sempat tidak sadarkan diri setelah
mengalami kecelekaan motor. Kemungkinan pasien mengalami cedera kepala
ringan karena pasien sempat tidak sadar selama kurang lebih 10 menit dan
tidak didapatkan kelainan neurologis. Pasien sempat tidak sadarkan diri
disebabkan karena batang otak mengalami akselerasi yaitu gerakan yang cepat
dan mendadak kemudian teregang dan terjadi blokade reversible pada lintasan
retikularis asendens difus. Akibat blokade tersebut, otak tidak mendapat input
3
aferen sehingga menyebabkan hilang kesadaran selama blokade reversible
berlangsung.
Pasien juga mengeluhkan pusing, nyeri kepala, mual, serta tidak
mengingat kejadian. Beberapa kumpulan gejala yang dialami pasien merupakan
suatu sindrom pasca trauma yang terjadi akibat trauma kepala. Nyeri kepala
dapat timbul karena perangsangan terhadap struktur yang peka didaerah kepala
dan leher yang peka terhadap rasa nyeri. Bangunan-bangunan peka nyeri pada
kepala dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bangunan intrakranial meliputi
sinus venosus, arteri-arteri basalis, durameter, nervus V, IX, X, dan bangunan
ekstrakranial meliputi pembuluh darah dan otot kulit kepala, orbita, membrane
mukosa sinus nasalis dan paranasalis, telinga luar dan tengah, gigi dan gusi,
nervus cervical II dan III. Perangsangan bangunan-bangunan ekstrakranial
akan dirasakan pada umumnya sebagai nyeri pada daerah terangsang.
Sedangkan nyeri kepala sebagai akibat perangsangan bangunan intracranial
akan diproyeksikan ke permukaan dan dirasakan di daerah distribusi saraf yang
bersangkutan.
Keluhan pusing dan nyeri kepala pada pasien dapat disebabkan
mekanisme terjadinya penekanan pada otak. Ketidakmampuan untuk
mengingat kejadian atau amnesia dapat disebabkan oleh gangguan organik di
otak, misalnya pada kontusio serebri. Post traumatic amnesia dapat dibagi
dalam 2 tipe. Tipe yang pertama adalah retrograde, yang didefinisikan oleh
Cartlidge dan Shaw, sebagai hilangnya kemampuan secara total atau parsial
untuk mengingat kejadian yang telah terjadi dalam jangka waktu sesaat
sebelum cedera kepala. Tipe yang kedua adalah amnesia anterograde, suatu
defisit dalam membentuk memori baru setelah kecelakaan, yang menyebabkan
penurunan atensi dan persepsi yang tidak akurat. Pada kasus ini, terdapat
amnesia retrograde, yang tidak dapat mengingat kejadian sebelum terjadinya
kecelakaan.
Pada pasien ini diambil diagnosis sementara berupa cedera kepala
ringan, di karenakan oleh, pada pasien tersebut, penilaian GCS benilai 13-15,
terdapat hilang kesadaran sekitar 10 menit dan terdapat amnesia post trauma <
4
1 jam. Untuk penentuan diagnosis secara pasti, dapat dilihat dari hasil
pemeriksaan ct scan.
CEDERA KEPALA
Definisi
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik1,2.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai dirumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10%
sisanya adalah cedera kepala berat (CKB)4.
Insidens cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif
antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 49-53% dari
insiden cedera kepala, 20-28% lainnya karena jatuh dan 3-9% lainnya
disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga, dan rekreasi. Data
epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkuaumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60-
70% dengan CKR, 15-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka
kematian tertinggi sekitar 35-50% akibat CKB, 5-10% CKS, sedangkan CKR
tidak ada yang meninggal4.
Klasifikasi
1. Mekanisme Cedera
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil
motor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan
5
oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput duramater menentukan
apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul2.
2. Beratnya Cedera
Glascow Coma Scale (CGS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala2. Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap
kepala secara langsung2.
a. Cedera Kepala Ringan (GCS 14-15)
b. Cedera Kepala Sedang (GCS 9-13)
c. Cedera Kepala Berat (GCS≤8), (Greenberg, 2001)
Catatan:
Pada pasien cedera kranioserebral dengan GCS 13-15, pingsan >10 menit,
tanpa defisit neurologik, tetapi pada hasil screening otaknya terlihat
perdarahan, diagnosisnya bukan cedera kranioserebral ringan
(CKR)/komosio, tetapi menjadi cedera kranioserebral berat (CKB).
Menurut Perdossi (2006), cedera kepala diklasifikasikan menjadi:
a. Minimal (Simple head injury)
1) Tidak ada penurunan kesadaran
2) Tidak ada amnesia post trauma
3) Tidak ada defisit neurologi
4) GCS = 15
b. Ringan (Mild head injury)
1) Kehilangan kesadaran <10 menit
2) Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematom
3) Amnesia post trauma <1 jam
4) GCS = 13-15
c. Sedang (Moderate head injury)
1) Kehilangan kesadaran antara >10 menit sampai 6 jam
2) Terdapat lesi operatif intrakranial atau abnormal pada CT Scan
3) Dapat disertai fraktur tengkorak
4) Amnesia post trauma 1-24 jam
5) GCS = 9-12
6
d. Berat (Severe head injury)
1) Kehilangan kesadaran lebih dari 6 jam
2) Terdapat kontusio, laserasi, hematom, edema serebral abnormal
pada CT Scan
3) Amnesia post trauma >7 hari
4) GCS = 3-8
3. Morfologi Cedera
Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi2.
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci2. Tanda-tanda tersebut antara lain:
1) Ekimosis periorbital (Raccon eye sign)
2) Ekimosis retro aurikuler (Battle sign)
3) Kebocoran CSS (Rhinorrea, Ottorhea)
4) Parese nervus facialis (N VII)
b. Lesi Intrakranial
c. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya
terjadi pada regio temporal atau temporoparietal akibat pecahnya arteri
meningea media. Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran
sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam.
Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai
kelainan neurologis berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema
dan gejala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural di fossa posterior
dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi di oksiput akan
menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia
serebral dan paresis nervus kranialis. Ciri perdarahan epidural
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung2.
7
d. Perdarahan subdural
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan sinus venosus duramater
atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak diantara duramater dan
araknoidea. SDH ada yang akut dan kronik. Gejala klinis berupa nyeri
kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar,
bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan
kesadaran. Gambaran CT Scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk
bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma)
subdural3. Perdarahan subdural terbagi atas 3 bagian, yaitu2.
1) Perdarahan subdural akut
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan
kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis
terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak
besar dan cedera batang orak. Perdarahan subdural akut memberi
gejala dalam 24 jam.
2) Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 25-65 jam setelah
cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran.
3) Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki
ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar
membran vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas. Gejala
mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan
motorik.
e. Perdarahan subarachnoid
Terjadi pada ruang sub arachnoid (piamater dan arachnoid). Biasanya
kondisi ini disebabkan oleh trauma yang merusak pembuluh darah.
Perdarahan subarachnoid juga sering terjadi pada kondisi nontrauma
8
seperti aneurisma dan malformasi arteri-vena. Gejala yang ditimbulkan
antara lain nyeri kepala didaerah suboksipital secara tiba-tiba, pusing,
mual, muntah, demam, reflek patologi (+), gangguan kesadaran dan
kaku kuduk. Pemeriksaan CT Scan untuk kondisi ini memiliki
spesifitas yang rendah. Oleh karena itu seringkali dilakukan CT
Angiografi untuk mengecek perdarahan subarachnoid2.
f. Perdarahan intraserebral dan kontusio
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh jejas terhadap arteri atau vena
yang ada di bagian parenkim otak. Region frontal dan temporal
merupakan daerah yang paling sering terkena, namun selain itu dapat
pula terjadi di lobus parietalis maupun pada serebelum. Kontusio
intraserebral yang dapat terjadi karena trauma melalui jejas coup atau
countercoup. Jika kepala bergerak saat terjadi jejas, kemungkinan
kontusio terjadi disisi yang jauh dari tempat terjadinya jejas
(countercoup). Apabila dua pertiga lesi adalah darah, jejas tersebut
disebut perdarahan. Gejala klinis pada perdarahan intraserebral yaitu:
adanya penurunan kesadaran, defisit neurologis, tanda-tanda
peningkatan TIK, hemiplegi (gangguan fungsi motoric/sensorik pada
satu sisi tubuh), papilledema (pembengkakan mata). Pada hasil CT
Scan didapatkan hasil CT Scan yang abnormal dan pada pemeriksaan
cairan serebrospinal didapatkan cairan yang berdarah. Tata laksana
sedikit kompleks karena mempertimbangkan region serta luas dari
perdarahan yang sering terjadi2.
1) Perdarahan <25 cm ditatalaksana secara konservatif bila tidak ada
herniasi
2) Perdarahan >15 cm pada region frontal posterior/inferior dan
temporal memerlukan pembedahan
3) Perdarahan pada batang otak, ganglia basal atau thalamus
ditatalaksana secara konservatif.
Patofisiologi
9
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi deselerasi gerakan kepala3,4.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup)3,4.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi3,4.
Penatalaksanaan
1. Pasien dalam Keadaan Sadar (GCS=15)
a. Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama
sekali dan tidak ada defisit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan
hanya perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi.
Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan keluarga
diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun
saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit
dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit.
10
b. Pasien mengalami penurunan kesadaran setelah trauma kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan
mengalami Cedera Kranioserebral Ringan (CKR).
2. Pasien dengan Kesadaran Menurun
a. Cedera Kranioserebral Ringan (GCS=13-15)
Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan
perintah, tanpa disertai defisit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan
fisik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi
bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis.
Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan
hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala,
muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi
(pupil anisokor, refleks patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma,
dilakukan CT Scan. Pasien Cedera Kranioserebral Ringan (CKR) tidak
perlu dirawat jika:
1) Orientasi (waktu dan tempat) baik
2) Tidak ada gejala fokal neurologik
3) Tidak ada muntah atau sakit kepala
4) Tidak ada fraktur tulang kepala
5) Tempat tinggal dalam kota
6) Ada yang bisa mengawasi dengan baik dirumah, dan bila dicurigai
ada perubahan kesadaran, segera dibawa kembali ke RS.
b. Cedera Kranioserebral Sedang (GCS=9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan
kardiopulmoner. Urutan tindakan:
1) Periksa dan atasi gangguan jalan nafas (Airway), pernafasan
(Breathing), dan sirkulasi (Circulation)
2) Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan
cedera organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau
tulang ekstremitas, lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kearah
leher atau fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan
3) Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
11
4) Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral
lainnya.
c. Cedera Kranioserebral Berat (GCS=3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila
didapatkan fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada
luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk
pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral
sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU. Disamping
kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik. Pasien cedera
kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi, hipotensi,
dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.
3. Tindakan di Unit Gawat Darurat dan Ruang Rawat
a. Resusitasi dengan tindakan Airway, Breathing, dan Circulation (ABC)
1) Jalan nafas (Airway)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring
atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir, atau
gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung
dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
muntahan.
2) Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral
atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernafasan
yang ditandai dengan pola pernafasan Cheyne Stokes, hiperventilasi
neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh
aspirasi, trauma dada, edema paru, atau infeksi. Tatalaksana:
a) Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menig, intermitten
b) Cari dan atasi faktor penyebab
c) Kalau perlu pakai ventilasi
3) Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan
tekanan darah sistolik <90 mmHg yang hanya saktu kali saja sudah
12
dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi
kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik. Tatalaksananya
dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan
cairan isotonik NaCl 0,9%.
b. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi
kesadaran, tensi, nadi, pola, dan frekuensi respirasi, pupil (besar,
bentuk, dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera
ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan
ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan salah satu
komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servical, Collar
yang telah terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan
abdomen dilakukan atas indikasi. CT Scan otak dikerjakan bila
indikasi:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan
berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau
herniasi jaringan otak.
7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
d. Pemeriksaan laboratorium
1) Hb, leukosit, diferensiasi sel
13
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat
dipakai sebagai salah satu indikator pembeda antara kontusio (CKS)
dan komosio (CKR). Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak
abnormal, sedangkan angka leukositosis >14.000 menunjukkan
kontusio meskipun secara klinis lama penurunan kesadaran <10
menit dan nilai SKG 13-15 adalah acuan klinis yang mendukung ke
arah komosio. Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di
daerah tanpa fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu
acuan prediktor yang sederhana.
2) Gula darah sewaktu (GDS)
Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna
untuk kematian dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/dL dan
OR 39,82 untuk GDS >220 mg/dL.
3) Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat
hyperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal.
Pada fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak boleh diberikan.
4) Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran
menurun. pCO2 tinggi dan pO2 rendah akan memberikan luaran
yang kurang baik. pO2 dijaga tetap >90mm Hg, SaO2 > 95%, dan
pCO2 30-35 mmHg.
5) Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
6) Albumin serum (hari 1)
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah
(2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko kematian 4,9 kali lebih besar
dibandingkan dengan kadar albumin normal.
7) Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis.
Risiko late hematoma perlu diantisipai. Diagnosis kelainan
14
hematologis ditegakkan bila trombosit <40.000/mm, kadar
fibrinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan aPTT >50 detik.
e. Manajemen tekanan intracranial (TIK) meninggi
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri
dan/atau hematoma intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang
monitor TIK. TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mmHg sudah
harus diturunkan dengan cara:
1) Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala
dan dada pada satu bidang.
2) Terapi diuretik:
a) Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB,
diberikan dalam 30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian
diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30
menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
b) Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek
sinergis dan memperpanjangefek osmotik serum manitol.
Dosis: 40 mg/hari IV.
f. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar
2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Pada
pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang setelah
terdengar bising usus.Mula-mula isi perut dihisap keluar untuk
mencegah regurgitasi sekaligus untukmelihat apakah ada perdarahan
lambung. Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dan cukup, infus
dapat dilepas untuk mengurangi risiko flebitis.
g. Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan
ekstremitas digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia
ortostatik.Kondisi kognitif dan fungsi kortikal luhur lainperlu diperiksa.
Saat Skala Koma Glasgow sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi
amnesia Galveston (GOAT ). Bila GOAT sudah mencapai nilai 75,
15
dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai kognitif dan domain
fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination (MMSE);
akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan
konsultasi ke klinik memori bagian neurologi.
Prognosis
Setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada
pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai
prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85%
atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau
lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5–10%. Sindrom
pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan,
pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan
kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala.
Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala antara lain: cedera otak
sekunder akibat hipoksia dan hipotensi, edema serebral, peningkatan tekanan
intra kranial, herniasi jaringan otak, infeksi, hidrosefalus.
F. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Sabtu, 27 Oktober 2018, pukul 14.00
WIB di bangsal Mawar.
Status Generalisata
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis / GCS = E4M6V5
c. Vital Sign
TD : 120/70 mmHg
16
Nadi : 70 x/menit, irama regular, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,2 0C
SpO2 : 99%
Status Internus
a. Kepala : Mesocephal, nyeri kepala sebelah kiri + skala 3/10,
hematoma
b. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor
3mm/3mm, reflek pupil direk +/+, reflek pupil indirek +/+,
reflek kornea +/+, perdarahan subkonjungtiva -/+
c. Telinga : Sekret -/-, nyeri mastoid -/-, otorrhea -/-, battle sign -/-
d. Hidung : Nafas cuping hidung -/-, epistaksis-/-, septum deviasi +/-
e. Mulut : Bibir sianosis (-), karies dentis (-)
f. Leher : Simetris, pembesaran KGB (-), tiroid (normal)
g. Thorax
Pulmo
Dextra Sinistra
Depan
Inspeksi
Bentuk dada
Retraksi ICS
Hemithorak
Palpasi
Nyeri tekan
Ekspansi dada
Taktil fremitus
Perkusi
Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi
AP < L
(-)
Simetris
(-)
Tidak ada yang
tertinggal
Dextra = sinistra
+
AP < L
(-)
Simetris
(-)
Tidak ada yang
tertinggal
Dextra = sinistra
+
17
Suara dasar
Suara tambahan
Vesikuler
-
Vesikuler
-
Belakang
Inspeksi
Bentuk dada
Retraksi ICS
Hemithorak
Palpasi
Nyeri tekan
Ekspansi dada
Taktil fremitus
Perkusi
Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi
Suara dasar
Suara tambahan
AP < L
(-)
Simetris
(-)
Tidak ada yang
tertinggal
Dextra = sinistra
+
Vesikuler
-
AP < L
(-)
Simetris
(-)
Tidak ada yang
tertinggal
Dextra = sinistra
+
Vesikuler
-
Cor
Inspeksi : ictus cordis tak tampak, ICS normal
Palpasi : ictus cordis tak teraba
Perkusi
Kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra
Kiri bawah : ICS V 1-2 medial midclavicularis sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
h. Ekstremitas
Atas : Oedem -/-, CRT <2 detik, akral dingin -/-
Bawah : Oedem -/-, CRT <2 detik, akral dingin -/-
Status Neurologis
18
a. Sikap tubuh : Simetris
b. Gerakan abnormal : Tidak ada
c. Cara berjalan : Normal
d. Pemeriksaan Nervus Cranialis
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N. I Olfaktorius Daya penghidu Normal Normal
N. II Optikus Daya penglihatan Baik Baik
Pengenalan warna Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal
N. III Okulomotor Ptosis – –
Gerakan mata ke medial Baik Baik
Gerakan mata ke atas Baik Baik
Gerakan mata ke bawah Baik Baik
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Ref. cahaya langsung + +
Ref. cahaya konsensual + +
N. IV Troklearis Strabismus divergen – –
Gerakan mata ke lateral
bawah
Baik Baik
Strabismus konvergen – –
N. V Trigeminus Menggigit + +
Membuka mulut + +
Sensibilitas muka + +
Refleks kornea + +
Trismus – –
N. VI Abdusen Gerakan mata ke lateral + +
Strabismus konvergen – -
N. VII Fasialis Kedipan mata Baik Baik
Lipatan nasolabial Simetris Simetris
19
Sudut mulut Simetris Simetris
Mengerutkan dahi + +
Menutup mata + +
Meringis + +
Menggembungkan pipi + +
Daya kecap lidah 2/3
anterior
Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
N. VIII
Vestibulokoklearis
Mendengar suara bisik + +
Mendengar bunyi arloji + +
Tes Rinne Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
Tes Schwabach Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
Tes Weber Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
N. IX Glosofaringeus Arkus faring Simetris
Daya kecap lidah 1/3
posterior
Tidak dilakukan
Refleks muntah Tidak dilakukan
Sengau –
Tersedak –
N. X Vagus Denyut nadi 70 x/menit
Arkus faring Simetris
Bersuara Normal
Menelan Normal
N. XI Aksesorius Memalingkan kepala + +
Sikap bahu Normal Normal
Mengangkat bahu + +
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N. XII Hipoglossus Sikap lidah Normal
Artikulasi Baik
Tremor lidah +
Menjulurkan lidah Normal
Trofi otot lidah Eutrofi
20
Fasikulasi lidah –
e. Fungsi Motorik
Superior Inferior
Gerakan Bebas / Bebas Bebas / Bebas
Kekuatan 555/555 555/555
Tonus +/+ +/+
f. Refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Refleks Biceps Normal Normal
Refleks Triceps Normal Normal
Refleks Ulna dan Radialis Normal Normal
Refleks Patella Normal Normal
Refleks Achilles Normal Normal
g. Refleks Patologis
Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Mendel Bachterew - -
Rosollimo - -
Gonda - -
Hofman Trommer - -
h. Fungsi Sensorik
Kanan Kiri
Eksteroseptif Terasa Terasa
Rasa nyeri Terasa Terasa
Rasa raba Terasa Terasa
Rasa suhu Terasa Terasa
21
Propioseptif Terasa Terasa
Rasa gerak dan sikap Terasa Terasa
Rasa getar Terasa Terasa
Diskriminatif Terasa Terasa
Rasa gramestesia Terasa Terasa
Rasa barognosia Terasa Terasa
Rasa topognosisa Terasa Terasa
i. Pemeriksaan Rangsang Meningeal
Kaku kuduk -
Kernig sign -
Brudzinski I -
Brudzinski II -
Brudzinski III -
Brudzinski IV -
j. Pemeriksaan Fungsi Luhur dan Vegetatif
Fungsi luhur : Baik
Fungsi vegetatif : BAK dan BAB normal
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (25 Oktober 2018)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 13.6 13.2 – 17.3 g/dl
Leukosit
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit %
Monosit %
15.3 (H)
1.27
0.82
0.02 (L)
0.05
13.10 (H)
8.3 (L)
5.4
3.800 – 10.600
1.0 – 4.5 x 103/mikro
0.2 – 1.0 x 103/mikro
0.04 – 0.8 x 103/mikro
0 – 0.2 x 103/mikro
1.8 – 7.5 x 103/mikro
25 – 40%
2 – 8%
22
Eosinofil %
Basofil %
Neutrofil %
0.1 (L)
0.3
85.9 (H)
2 – 4%
0 – 1%
50 – 70%
Eritrosit 5.44 4.4 – 5.9 juta
Hematokrit 43.8 40 – 2 %
Trombosit 348 150 – 400 ribu
MCV 80.5 (L) 82 – 98 fL
MCH 25.0 (L) 27 – 32 pg
MCHC 31.0 (L) 32 – 37 g/dl
KIMIA KLINIK
SGOT 62 (H) 0 – 50 U/L
SGPT 49 0 – 50 U/L
Ureum 35.6 10 – 50 mg/dl
Kreatinin 0.74 0.62 – 1.1 mg/dl
HDL
HDL Direct
LDL Cholesterol
50
50.2
30 - 63 mg/dl
< 150 mg/dl
Asam urat 4.71 < 6.1 mg/dl
Cholesterol 109 (H) <200 mg/dl
Trigliserida 44 (L) 70 – 140 mg/dl
2. Foto Rontgen Cranium (25 Oktober 2018)
23
Gambar 1. Foto Rontgen Cranium
3. CT Scan Kepala Tanpa Kontras (26 Oktober 2018)
Gambar 2. CT Scan Kepala Tanpa Kontras
24
Kesan:
Contusio cerebri lobus occipitalis dextra
Hematosinus maxillaris dextra et sinistra serta sinus ethmoidalis sinistra
Fraktur os maxillaris dextra et sinistra, dan fraktur diastasis sutura
frontozygomatic sinistra
Extracranial hematoma regio frontotemporalis sinistra, dan infra orbita
sinistra
Deviasi septum nasi ke dextra
4. Konsultasi Spesialis Bedah (26/10/18)
Jawaban konsultasi:
Inj. Bioxon 2x1 gram
Saran konsul spesialis mata
5. Konsultasi Spesialis Mata (27/10/18)
Jawaban konsultasi:
OD : visus 5/60
OS : visus 5/60, subconjungtiva bleeding
Terapi: tobroson 4 gtt 1 OS
6. Konsultasi Spesialis THT
Jawaban konsultasi:
Diagnosa:
Fraktur os maxilla sinistra
Saran konsul spesialis bedah mulut
Kontrol ke Poli THT
H. DISKUSI II
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran pasien E4M6V5 yang
menunjukkan bahwa pasien compos mentis. Tekanan darah pasien 120/70
mmHg, nadi 70x/menit, irama regular, isi dan tegangan cukup, laju napas 20
x/menit, suhu 36,20C secara aksiler. Tidak didapatkan demam yang merupakan
tanda adanya infeksi.
25
Pada pemeriksaan fisik didapatkan ditemukan hematoma periorbital
sinistra, perdarahan subkonjungtiva sinistra, dan nyeri kepala sebelah kiri
dengan skala 3/10 menandakan nyeri kepala pasien sudah membaik.
Pada pemeriksaan penunjang CT Scan kepala tanpa kontras ditemukan
gambaran hematoma extracranial di regio frontotemporalis sinistra dan
infraoribita sinistra, serta terdapat fraktur pada os maxillaris sinistra. Pada
pemeriksaan penunjang foto rontgen cranium di IGD tidak ditemukan adanya
fraktur atau cedera kepala lainnya.
Berdasarkan pemeriksaan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
pasien mengalami cedera kepala ringan karena tidak ditemukannya lesi operatif
intrakranial pada hasil CT scan.
I. DIAGNOSIS AKHIR
a. Diagnosis Klinis
Sefalgia pasca trauma, amnesia
b. Diagnosis Klinis Tambahan
Trauma maxillofasialis
c. Diagnosis Topis
Intrakranial
d. Diagnosis Etiologi
Cedera Kepala Ringan
J. PENATALAKSANAAN
Pada pasien diberikan terapi:
Inf. Asering 20 tpm
Inj. Teranol 2x30 mg
Inj. Brainact 2x500 mg
Inj. Kalmeco 1x1
Inj. Lameson 2x125 mg
Inj. Kalnex 3x1 amp
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Inj. Ondansentron 3x1 amp
26
PO Unalium 2x5 mg
K. DISKUSI III
1. Infus asering 20 tpm
Infus asering diindikasikan untuk perawatan darah dan kehilangan
cairan, hipokalsemia, kekurangan kalium, ketidakseimbangan elektrolit,
inkonsistensi pH, natrium yang rendah dalam darah dan kondisi lainnya5.
2. Ketorolac
Ketorolac adalah salah satu jenis obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAIDs) yang biasanya dipakai untuk meredakan peradangan dan rasa
nyeri setelah operasi mata. Selain itu, obat ini juga dapat digunakan untuk
mengatasi gatal-gatal pada mata akibat konjungtivitis alergi5.
3. Citicolin
Citicolin golongan nootropik dan neurotonik/ neurotropik,
vasodilator perifer & aktivator serebral. Obat resep ini berfungsi mencegah
degenerasi saraf dan melindungi kerusakan mata akibat degenerasi saraf
optik, meningkatkan phosphatidylcholine, meningkatkan metabolisme
glukosa di otak, dan meningkatkan aliran darah dan oksigen otak5.
4. Methycobalamin
Methycobalamin atau mecobalamin adalah salah satu bentuk kimia
dari vitamin B12 (cobalamin), yaitu vitamin larut air yang memegang
peranan penting dalam pembentukan darah serta menjaga fungsi sistem
saraf dan otak.
5. Metilprednisolon
Methylprednisolone adalah salah satu jenis obat kortikosteroid yang
dapat menekan sistem kekebalan tubuh dan mengurangi reaksi peradangan
serta gejalanya, seperti pembengkakan, nyeri, atau ruam. Obat ini biasanya
digunakan untuk mengatasi peradangan (inflamasi) dalam berbagai
27
penyakit, misalnya penyakit Crohn, kolitis ulseratif, alergi, arthritis
rheumatoid, asma, multiple sclerosis, serta jenis-jenis kanker tertentu5.
6. Kalnex
Kalnex termasuk golongan obat tranexamic acid. Tranexamic acid
digunakan untuk membantu menghentikan kondisi perdarahan. Tranexamic
acid merupakan agen antifibrinolytic. Golongan obat ini bekerja dengan
menghalangi pemecahan bekuan darah, sehingga mencegah pendarahan5.
7. Ranitidin
Ranitidin adalah obat golongan antasida yang berfungsi
menurunkan sekresi asam lambung berlebih5.
8. Ondancentron
Terjadinya mual dan muntah disebabkan oleh senyawa alami tubuh
yang bernama serotonin. Jumlah serotonin dalam tubuh akan meningkat
ketika kita menjalani kemoterapi, radioterapi, dan operasi. Seretonin akan
bereaksi terhadap reseptor 5HT3 yang berada di usus kecil dan otak, dan
membuat kita merasa mual. Ondansetron akan menghambat serotonin
bereaksi pada reseptor 5HT3 sehingga membuat kita tidak mual dan
berhenti muntah.
9. Unalium
Unalium adalah obat yang biasa digunakan untuk mencegah
serangan migren, gangguan organ keseimbangan di telinga, dan gangguan
pembuluh darah di seluruh tubuh yang bisa menyebabkan munculnya
gejala seperti pusing, tinitus, dan vertigo5.
L. PROGNOSIS
Death : dubia ad bonam
Disease : dubia ad bonam
Disability : dubia ad bonam
Discomfort : dubia ad bonam
Dissatisfaction : dubia ad bonam
Destitution : dubia ad bonam
28
M. FOLLOW UP
Tanggal S O A PJum’at
26/10/18
Cedera kepala post
trauma kecelakaan lalu
lintas Kamis (25/10/18).
Pusing (+), Nyeri kepala
(+), Mual (+), Muntah (-)
Ku: Lemah
Kesadaran: CM
TD: 110/60
N: 80, RR: 20
S: 36,5
Hematoma
periorbital sinistra,
perdarahan
subkonjungtiva
sinistra
Saraf:
CKR (H+I)
Saraf:
Inf. Asering 20 tpm
Inj. Brainact 2x500mg
Inj. Ranitidin 2x1amp
Inj. Kalmeco 1x1 amp
Inj. Kalnex 3x1 amp
Inj. Teranol 2x30mg
Inj. Lameson 2x125mg
PO Unalium 2x5g
Program:
CT Scan Kepala
Konsul bedah
Konsul mata
Sabtu
27/10/18
Pusing berkurang, nyeri
kepala (+), Mual (-),
Muntah (-)
Ku: Lemah
Kesadaran: CM
TD: 120/70
N: 70, RR: 20
S: 36,2
CT Scan kepala (+)
hasil: hematoma
infraorbita sinistra
dan regio
frontotemporal
sinistra, fraktur os
maxillaris sinistra
Saraf:
CKR
(H+II)
Saraf:
Inf. Asering 20 tpm
Inj. Brainact 2x500mg
Inj. Ranitidin 2x1amp
Inj. Kalmeco 1x1 amp
Inj. Kalnex 3x1 amp
Inj. Teranol 2x30mg
Inj. Lameson 2x125mg
PO Unalium 2x5g
Bedah:
Inj. Bioxon 2x1 gr
Mata:
Troboson 4 gtt I OS
Program:
Konsul THT
Minggu
28/10/18
Pusing berkurang, nyeri
kepala berkurang, Mual
Ku: Baik
Kesadaran: CM
Saraf:
CKR
Saraf:
Inf. Asering 20 tpm
29
(-), Muntah (-) TD: 110/70
N: 82, RR: 20
S: 36,4
Hematoma
periorbital sinistra,
perdarahan
subkonjungtiva
sinistra
(H+III) Inj. Brainact 2x500mg
Inj. Ranitidin 2x1amp
Inj. Kalmeco 1x1 amp
Inj. Kalnex 3x1 amp
Inj. Teranol 2x30mg
Inj. Lameson 2x125mg
PO Unalium 2x5g
THT:
Konsul bedah mulut
Kontrol Poli THT
Senin
29/10/18
Pusing berkurang, nyeri
kepala berkurang, Mual
(-), Muntah (-)
Ku: Baik
Kesadaran: CM
TD: 100/70
N: 85, RR: 20
S: 36,3
Hematoma
periorbital sinistra,
perdarahan
subkonjungtiva
sinistra
Saraf:
CKR
(H+IV)
Saraf:
Boleh Pulang
Obat pulang:
Brainact 2x500 mg
Unalium 2x5 mg
Ranitidin 2x1 tab
Atrocox 1x15 mg
30
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam:
Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
Komisitrauma IKABI, 2004.
2. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta
Kedokteran edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000.
3. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press,
Yogyakarta, 2005.
4. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta,
2004.
5. Adam, R.D, Victor, M. 2005. Principles of Neurology. 7th ed. Mc Graw Hill
Inc. Singapore.
6. Aminoff M.J, Greenberg D.A, Simon R.P., 2005, Clinical Neurology, 6th Ed,
McGraw Hill, United State of America.
7. Mardjono, M., Sidharta, P., 2000, Neurologi Klinis Dasar, Cetakan kedelapan,
PT. Dian Rakyat, Jakarta.
8. Markam, S., Atmadja, D.S., Budijanto, A., 1999, Cedera Tertutup Kepala,
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
9. Perdossi, 2006, Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan
Trauma Spinal, PT Prikarsa Utama, Jakarta.
31
PR Laporan KasusHaniyyah
17 10221 004
1. Inventory followup Tes Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG)
Tes orientasi dan Amnesia Gavelston adalah instrumen yang asli dibuat
oleh Levin,O’Donnel dan Grossmman dan pertama kali dipublikasikn pada
1979. Yang dilahirkan dari kebudayaan Amerika,dan diadaptasi dan di validasi
pada lingkungan budaya kita pada tahun 2002. Terdiri dari 10 pertanyaan untuk
menentukan amnesia paska trauma pada pasien dengan trauma kepala tertutup.
Diantara beberapa penilaian PTA yang tersedia sekarang, Tes orientasi
dan amnesia galvestone (TOAG) adalah yang paling banyak digunakan.
Penilainan ini pendek dan mudah di gunakan. Penilaiannya terdiri dari
sejumlah poin yang di tambahkan ketika menjawab dengan benar atau jumlah
kesalahan. Sepuluh pertanyaan dari tes GOAT secara oral di tanyakan pada
pasien, dan setiap pertanyaan telah ditetapkan jumlah skor dari skor kesalahan
dan harus ditandai ketika terdapat respon yang salah dari yang benar, skor ini
ditampilkan dalam kurung setelah setiap pertanyaan dijawab dalam lembar
instrumen. Koreksi dari tanggapan yang salah yang diberitahukan oleh pasien
merupakan prosedur yang relevan, ia juga harus diberitahu bahwa tes akan
diterapkan kembali pada hari berikutnya untuk menilai kapasitas memorinya.
Skor total GOAT harus tercapai dengan mengurangkan dari 100, total
jumlah angka error (total score=100-total jumlah skor error). Skor lebih rendah
dari angka 75 menunjukkan fakta bahwa pasien masih mengalami amnesia.
Ketika pasien mencapai skor dibawah dari atau sama dengan 75 pada dua hari
berturut-turut artinya bahwa PTA telah sembuh. Oleh karena itu, tes GOAT
harus diterapkan ketika pasien telah mampu kooperatif, dan seharusnya tes
tersebut diulang setiap hari, sampai skor 75 konsisten tercapai, yaitu sampai
nilai tetap sama dengan atau lebih tinggi dari 75 untuk minimal dua hari
berturut-turut.
32
33
2. Perbedaan komosio dan kontusio serebri
a. Commutio cerebri (gegar otak)
Gangguan fungsi otak traumatik yang mendadak, bersifat sementara tanpa
kelainan patologis yang nyata pada jaringan otak
b. Contusio cerebri (memar otak)
Gangguan fungsi otak traumatik yang disertai kelainan patologis yang nyata
pada jaringan otak
3. Jelaskan fraktur basis kranii pars anterior, media, dan posterior
a. Pars Anterior
Fossa cranii anterior melindungi lobus frontal cerebri, dibatasi di
anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor
ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di
lateral dan oleh lamina cribiformis osetmoidalis di media. Permukaan atas
lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubang-lubang halus
pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.
Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat
cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi
mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore
atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang
mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva
(raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda
klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior.
b. Pars Media
Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh
corpus os sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan
kanan dan kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior
dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang
dilalui oleh n. opticus dan a. oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi
oeh batas atas pars petrosa os temporal. Di lateral terdapat pars squamous
34
pars os temporal. Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala
mayor dan minor os sphenoidalis dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontale,
n.trochlearis, n.occulomotorius dan n.abducens.
Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini
merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi
kelemahan ini disebabkan banyaknya foramen dan canalis di daerah ini.
Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering
terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus
externus sering terjadi (otorrhea). N. Cranialis III. IV, dan VI dapat cedera
bila dinding lateral sinus cavernosus robek.
c. Pars Posterior
Fossa cranii posterior melindungi otak belakang, yaitu cerebellum,
pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa dibatasi oleh pinggir superior
pars petrosa os temporan dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam
pars squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars
basilaris, condylaris, dan aquaosa os occipital dan pars mastoideus os
temporal.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan
dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars
spinalis assendens n.accessories dan kedua a.vertebralis.
Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk
di bawah otot-otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah
ditemukan dan muncul di otot-otot trigonu posterior, dekat prosesus
mastoideus.membran mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah
mengalir keluar.
4. Jelaskan jaringan peka nyeri intrakranial dan ekstrakranial
Bangunan-bangunan peka nyeri pada kepala dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu bangunan intrakranial meliputi sinus venosus, arteri-arteri basalis,
durameter, nervus V, IX, X, dan bangunan ekstrakranial meliputi pembuluh
darah dan otot kulit kepala, orbita, membrane mukosa sinus nasalis dan
paranasalis, telinga luar dan tengah, gigi dan gusi, nervus cervical II dan III.
35
Perangsangan bangunan-bangunan ekstrakranial akan dirasakan pada umumnya
sebagai nyeri pada daerah terangsang. Sedangkan nyeri kepala sebagai akibat
perangsangan bangunan intracranial akan diproyeksikan ke permukaan dan
dirasakan di daerah distribusi saraf yang bersangkutan.
36