01-pelangi diatas kurawan

91
T T T u u u t t t u u u r r r T T T i i i n n n u u u l l l a a a r r r 0 0 0 1 1 1 P P P e e e l l l a a a n n n g g g i i i D D D i i i a a a t t t a a a s s s K K K u u u r r r a a a w w w a a a n n n Karya : Muryono & S. Tijab Ebook pdf oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info

Upload: aprianarohman

Post on 07-Aug-2015

252 views

Category:

Documents


60 download

TRANSCRIPT

Page 1: 01-Pelangi Diatas Kurawan

TTTuuutttuuurrr TTTiiinnnuuulllaaarrr 000111

PPPeeelllaaannngggiii DDDiiiaaatttaaasss KKKuuurrraaawwwaaannnKarya : Muryono & S. Tijab

Ebook pdf oleh : Dewi KZTiraikasih Website

http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info

Page 2: 01-Pelangi Diatas Kurawan

TUTUR TINULAR 1

Pelangi di Atas Kurawan

Hak cipta © Buanergis Muryono & S.Tidjab

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia

oleh Penerbit Buku Kompas, Juni 2001

PT Kompas Media Nusantara

Jl. Palmerah Selatan 26-28

Jakarta 10270

e-mail: [email protected]

KMN. 2070201012 Desain sampul: Eko SoenardjadiIlustrasi sampul: Firman Gondez Penata teks: Tim PenerbitBuku Kompas

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Buanergis Muryono & S. Tidjab,

Tutur Tinular 1, cet 1

Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001

vi+ 112 hlm.; 11 x 17,5 cm

ISBN : 979-9251-67-2

Isi di luar tanggung jawab Percetakan SMK GrafikaMardi Yuana Bogor

Page 3: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Pelangi di Atas Kurawan

Pelangi muncul di atas Kurawan warnanya indah bukanbuatan seorang gadis ternganga keheranan rambutnya

tergerai jatuh ke pangkuan!

Pada tahun Caka 1206 (1284 Masehi) kekuasaan RajaKertanegara mencapai puncaknya di Singasari. Pulau Baliberhasil ditundukkannya. Demikian pula Kerajaan Gurun,Bakulapura, Pahang, Sunda, dan Madura. Demikianlah,Singasari semakin mengembangkan sayap kekuasaannya diluar Pulau Jawa.

Walaupun demikian Kertanegara belum merasa puas.Dia mulai melihat kemungkinan untuk menundukkanSwarnabhumi. Pada bulan Agustus 1286 pasukan Singasariberangkat ke negeri seberang mengadakan ekspansi keSwarnabhumi yang sekarang kita kenal bernama Sumatra.Raja Swarnabhumi yang bernama TribhuwanarajaMauliawarmadewa akhirnya dapat dikalahkannya

Gegap-gempita, sorak-sorai prajurit Singasarimembahana. Mereka mengacung-acungkan senjata yangmasih berlumuran darah. Lautan manusia memenuhi alun-alun tempat para ksatria menunjukkan olah keprajuritan.Mereka mengelu-elukan kebesaran Raja Kertanegara.

Kemenangan demi kemenangan diraihnya, bahkan enamtahun kemudian Kertanegara menaklukkan negeri Melayupada tanggal 17 April 1292. Dengan kemenangan itu karenasangat gembiranya Raja Kertanegara mengeluarkan prasastiCamunda sebagai tanda terima kasih atas kemenangan-kemenangan yang diperolehnya

Page 4: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Di pertemuan agung Raja Kertanegara mengenakanbusana kebesaran. Mahkota yang dikenakannyabertatahkan permata manik manikam tampak berkilau-kilaumenyilaukan mata. Bajunya bersulam emas

Raja Kertanegara duduk di atas singgasananya denganpenuh wibawa, bibirnya tersungging senyum. Kumisnyayang tebal tercukur rapi. Hidungnya mancung serasi denganalisnya yang tebal, melindungi manik mata beliau yangtajam menatap bagai mata elang. DaSanya mengembanghingga terlihat semakin gagah ketika menghela napasdalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan.Jakunnya bergerak-gerak tampak jelas di lehernya yangbersih berwarna sawo matang.

Raja Kertanegara bangkit dari singgasananya danmemberikan salam pada yang hadir dengan anggukankepala penuh kewibawaan. Segenap yang hadir serempakmenyambut salam sang Raja,

"Salam bahagia, ya Sang Prabu! Salam bahagia, wahaiSang Ciwa Rahaja!" Sambutan itu berakhir bagai dengungberjuta lebah yang terbang dari sarangnya. Para ksatria dantamtama serta segenap hadirin yang diundang di PendapaAgung itu menghaturkan sembah sampai ke tanah.

Raja Kertanegara tersenyum, bibirnya bergetar ketikabersabda, "Terima kasih. Salam kalian kuterima dengansenang hati. Mudah-mudahan berkenan pula bagi paradewa yang bersemayam di atas langit." Kembali RajaKertanegara menghela napas, tampak butir-butir keringatmengembun menghiasi dahi dan pelipisnya, juga ujunghidungnya yang bangir. Kemudian ia melanjutkansabdanya, "Kalian semua kuundang untuk berkumpul diPendapa Agung ini agar menjadi saksi hidup denganadanya prasasti yang baru saja diselesaikan olehSudharmopapatti."

Page 5: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Pandangan Raja Kertanegara menghunjam ke arahSudharmopapatti yang duduk bersila dan menghaturkansembah. Para hadirin pun memberikan penghormatandengan sinar mata iri bercampur haru atas penghormatanbaginda raja pada seorang yang berhasil merampungkanprasasti Camunda. Semua berbisik-bisik lalu kembali padaposisi seperti semula

"Kita semua mengerti, banyak yang bisa kita capaidengan gemilang tahun-tahun terakhir ini.

Singasari bukan lagi sebuah tempurung di Muara Sugaluyang mengapung-apung, melainkan telah berubah, telahberganti menjadi sebuah armada kapal perang yang ditakutinegeri-negeri lain yang jauh. Arca Amoghapasa yangkutanam di permukaan Swarnabhumi adalah bukti yang takbisa disangkal, sekalipun oleh orang yang kurang ber-pengetahuan."

Raja Kertanegara diam sejenak. Guratan-guratan usiayang menghiasi wajahnya tak mampu menyembunyikanketampanannya, bahkan menambah kewibawaan orangutama di Singasari itu. Matanya melirik pada Lembusorayang menggeser posisi duduknya. Lembusoramenghaturkan sembah Lelaki setengah tua yang perkasa itudengan tegas memotong menimpali sabda Raja, "Memangbenar, Gusti. Apa yang telah diraih Singasari merupakankebanggaan yang tak bisa dipungkiri." Lembusora kembalimenghaturkan sembah dan duduk seperti semula.

"Nah, itu semua berkat jerih payahmu juga, PamanLembusora. Juga jerih payah kalian, Ranggalawe, Nambi,Kebo Anabrang, menantuku Dyah Wijaya dan Ardaraja!"Semua yang disebut namanya menghaturkan sembahsambil menyunggingkan senyum penuh rasa bangga.

Page 6: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Kau pun ikut berjasa, Paman Banyak Kapuk, GajahPagon, dan kau, Ra Podang. Semua ini adalah pekerjaankita semua Bukankah demikian?"

"Benar, Sang Prabu!" sambut hadirin bergema memenuhiruangan Pendapa Agung.

Raja Kertanegara lalu duduk kembali di singgasananyaseraya mengelus janggutnya, tanpa melepaskan pandanganpada semua yang hadir. Seolah ia berpikir keras. Iamenghela nafas dalam-dalam setelah merasa enakdalamduduknya.

"Nah, sekarang dengar. Pekerjaan yang baik sudahsepantasnya mendapat hadiah atau penghargaan.Sebaliknya, pekerjaan yang buruk, yang sering dilakukanoleh para pemalas dan sok pintar, sudah seharusnya diberihukuman untuk peringatan bagi yang lain. Banyak Widecontohnya Dia kuturunkan kedudukannya dari RakyanDemung menjadi Adipati di Sumenep, karena menentangkebijaksanaanku. Juga Ramapati kupecat, sebab tidaksetuju ketika aku merencanakan menundukkanSwarnabhumi. Itulah hukuman yang setimpal bagi parapenentang, pembangkang, dan pengkhianat negeriSingasari."

Raja Kertanegara menegakkan posisi duduknya lalumemandang Dyah Wijaya. Merasa dirinya diperhatikanksatria muda itu segera menghaturkan sembah denganmenundukkan kepalanya penuh hormat.

"Menantuku Dyah Wijaya!"

"Daulat, Ayahanda Prabu."

"Dan kau juga, Ardaraja!"

"Daulat, Ayahanda Prabu!"

Page 7: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Dalam prasasti Camunda yang baru saja dirampungkan,tercantum keputusan Kertanegara sebagai raja yang sah diSingasari Pada lempengan batu ini aku mengucapkanterima kasih yang sebesar-besarnya atas jasa-jasa merekayang telah membantu seluruh usahaku.

Kepada mereka aku akan memberikan penghargaan yanglayak. Baik jasa yang besar maupun yang kecil, semua akanmendapat imbalan dari pemerintah Singasari. Dan kalianberdua, kutugas-kan untuk mengatur dan mengawasipelaksanaan pemberian ini. Ingat, jangan sampai ada yangtercecer. Semua yang telah berjasa harus menikmatihasilnya!"

"Daulat, Ayahanda Prabu. Ananda akan melaksanakanperintah sebaik-baiknya," sahut Dyah Wijayamenghaturkan sembah.

"Demikian pula Ananda akan menjunjung tinggiperintah Ayahanda Prabu," Ardaraja menimpali.

"Nah, kalau begitu pertemuan di Pendapa Agung ini akututup sampai di sini. Tak lupa kita panjatkan puji syukurpada para dewa, yang memberikan rahmat-Nya pada kitasemua."

"Salam bahagia, ya Sang Prabu! Salam bahagia, wahaiSang Rahaja!"

Selesai menerima hatur sembah dari para ksatria danorang-orang terdepan Singasari, Raja Kertanegarameninggalkan Pendapa Agung. Langkahnya yang gagahdiiringi para dayang yang cantik jelita dengan tak henti-henti mengayun-ayunkan kipas. Para hadirin pun undurdari pase-ban Pendapa Agung dengan hati berbunga-bungaatas anugerah dan penghargaan sang Raja. Lebihlebih namamereka dicantumkan pada lempengan batu prasastiCamunda.

Page 8: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Sementara itu, di barak prajurit sedang bercakap-cakapdua orang yang merasa bahagia atas kebesaran rajanya.

Yang satu Ganggadara, seorang prajurit muda. Otot-otottangannya menonjol karena terlatih dalam olahkeprajuritan. Kumisnya tebal dengan rambut disanggulmenambah kegagahannya. Sedangkan yang seorang lagibernama Jarawaha. Ia juga tak kalah gagah denganGanggadara.

"Kakang Jarawaha! Kupikir kita ini akan semakin mulia.Raja kita sekarang semakin hebat dan namanya terdengar dimana-mana," Ganggadara membuka percakapan

"Di mana letak kehebatannya menurut pendapatmu, AdiGanggadara?"

Dia tegas dan tergolong seorang raja yang berani.Bayangkan, Swarnabhumi yang megah dapat ditundukkantanpa kesukaran. Aku bangga bisa mengabdi pada rajaseperti Prabu Kertanegara. Ganggadara bicara denganlantang penuh rasa bangga atas junjungannya, hinggabibirnya ikut meliuk-liuk penuh irama seiring nadabicaranya.

"Ya, aku pun merasa bangga mempunyai raja sepertibeliau. Tapi aku mempunyai alasan yang berbeda. Dengandibuatnya prasasti Camunda, semakin tampak arif danbijaksanalah beliau. Seorang raja besar bersedia menekukleher menundukkan-wajah untuk mengucapkan rasa terimakasih pada rakyat dan bawahannya, itulah yang luar biasaKukira belum pernah terjadi sebelum Prabu Kertanegara."

"Benar, Kakang. Jasa orang, baik yang kecil maupunyang besar, baik dari kalangan bawah, menengah ataupungolongan atas, semua diperhatikan dan diberi penghargaan.Rasanya pekerjaan kita tidaklah sia-sia!" Selesai bicaradengan gagahnya Ganggadara mencabut pedang dari

Page 9: 01-Pelangi Diatas Kurawan

wrangka-nya, lalu menimangnya dan mengelus dengantelapak tangannya. Bibirnya menyunggingkan senyumanpenuh rasa bangga "Dua kali aku terlibat peperanganbersama pedang kebanggaanku ini. Pertama ketikamenyerang Pulau Bali, dan kedua ketika merebut ibukotaSwarnabhumi."

"Dan sekarang pangkatmu naik menjadi perwira muda!"tukas Jarawaha.

"Dan Kakang Jarawaha menjadi perwira tinggi!"

"Dan atasan kita, Tuan Pranaraja, naik pangkatmenjadi...."

Belum selesai melanjutkan kata-katanya terdengarlahsuara derap kaki kuda. Jarawaha setengah mengangamemperhatikan siapa yang datang. Ganggadaramembisikkan sesuatu pada telinga Jarawaha.

"Sssstth, Kakang Jarawaha, bukankah itu TuanPranaraja?"

"Hmh, ya. Pasti ada sesuatu yang penting. Tidakbiasanya sepagi ini Tuan Pranaraja datang ke barakprajurit."

Kuda semakin dekat dengan mereka lalu Pranarajamenghentikannya tak jauh dari mereka bercakap. Pranarajamelompat turun dari punggung kuda dan binatangkesayangan itu meringkik mengerti. Keduanya menyambutkehadiran atasannya penuh hormat.

"Selamat pagi, Tuan!" salam mereka berbarengan.

"Sarungkan pedangmu Ganggadara. Negara Singasariaman dan kita belum merencanakan perang lagi dengannegara lain!" tegur Pranaraja sambil memandang tajam kearah Ganggadara yang memegang pedang. Ganggadara

Page 10: 01-Pelangi Diatas Kurawan

merah padam wajahnya lalu tersenyum malu padaPranaraja dan tergesa-gesa menyarungkan pedangnya.

"Emh, ehh, maaf, Tuan!" ucapnya lirih dengan suaraagak parau menyadari keteledorannya.

"Aku ada perlu dengan kalian berdua. Mari kujelaskan didalam!" kata Pranaraja-penuh wibawa. Lelaki agak tua itumasih tampak gagah. Tubuhnya kekar. Otot-ototnyamenonjol dan tangannya amat kukuh. Telapak tangannyatebal agak kasar karena sering berolah kanuragan.Ketiganya pun berjalan menuju barak prajurit. Pranarajamemberi tahu bahwa ia mendapat tugas dari Sang Prabuuntuk menemui Mpu Hanggareksa di desa Kurawan. Letakdesa itu dekat dengan desa Jasun Wungkal. Dapatditempuh dengan berkuda menuju arah tenggara dariKotaraja Singasari.

Ketiga orang itu segera berkemas-kemas untukmengadakan perjalanan menuju desa Kurawan tempat MpuHanggareksa tinggal.

Matahari telah tinggi. Panasnya menyengat membuatmusim kemarau tampak gersang. Seluruh kota Singasaribermandikan keringat.

Mendadak debu-debu jalan beterbangan, bercampur baurdengan daun-daun kering yang gugur ke bumi ketika tigaekor kuda berlari bagaikan terbang. Tiga binatang perkasaitu terus berlari menuju perbatasan kota untuk kemudianmeninggalkan Singasari.

Tiada terasa seharian penuh mereka telah mengadakanperjalanan. Telah lama sinar matahari meredupbersembunyi di peraduannya. Keadaan semakin gelap-gulita. Ringkik kjida dan derapnya yang melemahmenunjukkan binatang-binatang itu telah lelah seperti parapenunggangnya. Mereka memasuki sebuah desa dan

Page 11: 01-Pelangi Diatas Kurawan

memperlambat lari kuda sambil mencari-cari rumahpenduduk untuk menginap semalam. Mereka menginap didesa Jasun Wungkal di sebuah penginapan yang tak begitubesar. Suasana desa di malam itu cukup tenteram Kerliplampu-lampu yang berasal dari pintu rumah penduduk yangmasih terbuka menunjukkan suasana desa itu cukup aman.

Ada seorang wanita berdiri di depan rumah, tersenyumramah memperhatikan tiga penumpang kuda yangmendekatinya. Melihat ketiga prajurit Singasari yang turundari kuda, maka wanita itu menghampiri. "Ehh, maaf,sepertinya Tuan bertiga ini datang dari jauh?

Apa yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu sopan.

Pranaraja setengah melotot memandang rendah padaorang yang menyapanya. "Hemh, apa kau sama sekali tidakmengenal lencana keprajuritan?"

"Kami adalah prajurit-prajurit Singasari. Yang sedangkauajak bicara ini adalah Panglima Muda TuankuPranaraja!" sangat tegas dan bernada tinggi Ganggadaramenjelaskan.

"Kami mengemban tugas dari Sang Prabu Kertanegara!"sambung Jarawaha, dalam dan wibawa. Mengetahui hal ituorang tersebut langsung memberikan sembah penuhhormat. Tubuhnya menggigil karena merasa bersalah.Dengan wajah menunduk ia merasa menyesal karenaberlaku lancang pada perwira Singasari. "Ohh, ampun,Gusti. Hamba benar-benar tidak tahu. Hamba memangorang bodoh dan pantas dihukum!"

"Sudahlah. Tak ada perlunya memberi hukuman. Kamihanya mau menginap di rumah ini barang semalam," jelasPranaraja. Perwira tinggi itu menginginkan penginapanyang layak, namun semua kamar sudah penuh h ngga

Page 12: 01-Pelangi Diatas Kurawan

wanita itu menawarkan kamar belakang. Jarawaha marahpada wanita itu dan terjadilah keributan kecil

Tampaknya Jaran Bangkai, pemuda yang berperangaiberangasan itu mendengar percakapan mereka hingga iabangkit dan menghampiri. "Hahahah! Selamat malam,tuan-tuan.

Agaknya Tuan-tuan membutuhkan ruangan yangnyaman untuk istirahat malam ini?"

"Ya! Agaknya Tuan-tuan baru saja berjalan jauh!" timpalJaran Lejong. Wajah kedua pemuda itu sangat mirip.Mereka memang kakak-beradik. Cara bicara dan tingkahlaku mereka cenderung liar dan berangasan.

Jaran Bangkai menghela napas lalu memandangJarawaha, Ganggadara, dan Pranaraja berganti-ganti.Kepalanya mengangguk-angguk dibuat-buat sambilmendenguskan napas

"Baiklah! Kami tahu bahwa tuan-tuan adalah prajuritSingasari yang sudah sepantasnya dihormati. Karena itukami akan mengalah saja. Ambillah ruang tidur kami yangdi depan itu untuk istirahat!"

"Terima kasih, Tuan Jaran Bangkai'" tukas Pranarajategas.

"Ayo, Adi Jaran Lejong! Kita pindahkan barang-barangkita ke ruangan belakang!" ajak Jaran Bangkaimembalikkan tubuh setelah mengangguk kepada Pranaraja,Ganggadara, dan Jarawaha yang menjawab dengananggukan kepala juga.

Pelayan itu membantu menambatkan kuda di „ bawahpohon sawo lalu memberi rumput pada binatang-binatangitu. Sementara ketiga tamu terhormatnya dibiarkanlangsung masuk ke ruang istirahat.

Page 13: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Tengah malam, ketika baru saja mereka akanmerebahkan diri di balai-balai, terdengar langkah seseorang.Mereka bersiaga. Ganggadara setengah berjingkatmendekati pintu utama dan mengintip ke luar. Setelah tahusiapa yang datang ia pun segera membuka pintu hinggaterdengar derit panjang. Pranaraja langsung mendekatipelayan yang serius membungkuk pada mereka. ”Ada apa,pelayan?”

”Gusti. Harap Gusti berhati-hati. Dua orang itu agaknyapunya niat yang kurang baik!” bisik pelayan ke telingaPranaraja.

Pranaraja dan kedua bawahannya mengerutkan dahi.Bibir Pranaraja bergetar sebelum balik bertanya lirih padapelayan.

”Kau tahu banyak tentang mereka?”

”Mereka orang-orang jahat, Gusti. Mereka sukamerampok orang-orang yang kemalaman di jalan,” jelaspelayan. Pelayan itu juga memberi keterangan tentang jalanyang harus dilalui Pranaraja.

Setelah basa-basi pelayan itu segera mundur pergi karenamelihat para tamunya beberapa kali menguap di depannya.Pranaraja ngantuk sekali setelah melakukan perjalananyang sangat jauh. Ia tersenyum dan mengucapkan terimakasih pada pelayan itu.

dw

Matahari telah tinggi sepeng-galah. Sinarnya menerpabumi Singasari yang semakin agung dan anggun olehCitranya nan cemerlang Angin mendesau lembut menyapadedaunan hingga berayun-ayun seolah menyapa penuhkeramahan pada tiga prajurit Singasari yang melanjutkan

Page 14: 01-Pelangi Diatas Kurawan

perjalanan menuju desa Kurawan. Kuda-kuda yang merekatunggangi pun ikut meringkik, seakan-akan mengucapkansyukur pada Hyang Murbehing Dumadi, Sang Khalik yangsenantiasa memberikan rahmat-Nya pada segala yangdiciptakan-Nya. Tetapi kedamaian itu terusik ketika kudaPranaraja yang ada di depan tiba-tiba meringkik danmelonjakkan kedua kaki depannya.

"Sebentar. Jalan yang harus kita tempuh semakin sempitdan berbahaya. Kita harus berhati-hati, Ganggadara!" Barusaja ia mengatupkan bibirnya, mendadak ada pohon cukupbesar roboh sedemikian dahsyat. Suaranya gemeretakmemecah keheningan. Ketiga kuda tunggangan itumeringkik terkejut hingga oleng ke kanan dan ke kiri sepertiketakutan.

Ketiganya semakin waspada. Gemeretak dahan-dahanpohon yang patah nyaris mengenai tubuh Pranarajaseandainya Jarawaha tidak berteriak memperingatkantuannya. "Awas, Tuan!" Pohon yang lebih besar robohmenimbulkan suara berdebum. Belum hilang rasa herandan terkejut di depan mereka berlompatan dua pemudaberangasan yang tidak asing lagi buat mereka. Keduanyatertawa terbahak-bahak karena merasa berhasil membuatlelucon buat ksatria Singasari. Ganggadara menahan emosi.Giginya gemeretak dan rahangnya tampak menonjol.Matanya melotot menyala-nyala. Napasnya sedikit terengahdan dihempaskan kasar sekali.

"Hei! Bukankah kalian Jaran Bangkai dan Jaran Lejong?Apa maksud kalian merobohkan pohon ini di tengah jalan?"

"Hahahahah! Maksud kami adalah menghalang-halangiperjalanan kalian bertiga!" jawab Jaran Bangkaimeremehkan.

Page 15: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Kurang ajar!" geram sekali Ganggadara. Ia merasadiremehkan oleh pemuda liar.

Jika Pranaraja tidak segera mengisyaratkan agar tenang,tentu ia sudah membabat kedua pemuda itu

"Tenang, Ganggadara! Tenang saja. Aku tahu siapamereka."

Pranaraja melompat dari punggung kudanya diikutiGanggadara dan Jarawaha yang sudah memasang kuda-kuda. Jiwa keprajuritan telah mendarah daging dalamsetiap geraknya. Keduanya bersabar menanti perintahPranaraja, yang tenang tersenyum sinis pada kedua pemudaberangasan di depannya.

"Bukankah kalian bermaksud merampok kami?"tanyanya ringan.

"Hahahahha, tidak! Kami hanya ingin minta ganti rugi!"jawab Jaran Bangkai kasar. Suaranya parau.

"Ganti rugi apa? Kami tidak pernah merugikan kalian!"tukas Jarawaha. Jaran Bangkai maju selangkah denganmata semakin jalang memandang Jarawaha

"Semalam kalian tidur nyenyak di rumah penginapan itu,sedang kami hampir tak bisa tidur!"

"Ya! Kami tidur dikerubuti nyamuk dan kepinding.Apakah itu bukan kerugian namanya?" timpal Jaran Lejongsambil memelototkan matanya

"Baik! Sekarang apa yang ingin kalian lakukan?" tanyaPranaraja sedikit bersabar.

"Kalau kalian mau memberi kami lima puluh ringgit,maka kami akan membiarkan kalian melewati jalan ini!"jawab Jaran Bangkai.

Page 16: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Jaran Bangkai. Apakah kau tidak tahu sedang bicaradengan siapa? Kami adalah prajurit. Kami tidak akanmempan digertak seperti itu!" Pranaraja memandangmereka remeh.

"Heee! Begundal-begundal Kertanegara! Kami bukanhanya menggertak. Kalau kalian tidak bersedia memberikanapa yang kami minta, kalian akan menyesal!" ancam JaranLejong dengan bibir mencibir.

"Jarawaha dan Ganggadara! Aku muak melihat tampangmereka! Cepat bereskan!"

"Baik, Tuan!" jawab Ganggadara dan Jarawaha serentak.Keduanya melangkah zig-zag dengan kuda-kuda. Kakimereka seperti terpaku ke dalam tanah. Tangan-tanganyang berotot itu serempak meraba gagang pedang danmencabutnya penuh perasaan, seolah-olah pedang merekasenyawa menyatu. Pedang mereka tajam berkilat-kilattertimpa cahaya matahari, menyilaukan mata. Merekatersenyum dengan tatap mata galak bagai mata elang yangingin menyergap mangsanya.

"Ayo, Jaran Bangkai dan Jaran Lejong! Kalau kalianmenginginkan lima puluh ringgit, cabutlah pedang danhadapi Jarawaha dan Ganggadara!" tantang Jarawahatanpa bergeming sedikit pun dan tempatnya berpijak, hanyadadanya yang kelihatan turun-naik memusatkanpernapasan mengumpulkan kekuatan.

Terdengar suara berdecing pedang terhunus dariwrangka-nya ketika Jaran Bangkai dan Jaran Lejongmenyambut tantangan itu. Jaran Bangkai melangkah kesamping sambil menyeringai garang, "Ayo, Adi JaranLejong! Kita tak perlu takut pada tikus-tikus piaraanKertanegara!" Mendengar ejekan Jaran Bangkai, keduaksatria Singasari tak mampu menahan emosi lagi. Wajah

Page 17: 01-Pelangi Diatas Kurawan

mereka merah padam. Disertai teriakan kemarahan merekamenerjang dan menggebrak musuh. Jaran Bangkai danadiknya berlompatan mundur, menghindari gempurandahsyat dari lawan yang ternyata memiliki ketangguhan.Jaran Lejong menyamping ketika tangan kakaknyamemberi isyarat.

"Bagus. Agaknya kali ini kita mendapat lawan yangsepadan, Adi Jaran Lejong!"

"Cepat bereskan mereka, Jarawaha! Apa yang kaliantunggu?" perintah Pranaraja memberikan semangat darikejauhan ketika kedua bawahannya tak melanjutkangebrakan.

Teriakan Pranaraja membakar darah muda mereka.Keduanya kembali melompat dan menerjang musuh.Pedang mereka rrtenyambar dan beradu. Mata JaranBangkai dan Jaran Lejong mendelik. Mereka terkejutkarena senjata andalan mereka patah. Keduanya menjadiragu-ragu antara menyerah atau melanjutkan duel. Keragu-raguan membuat berandalan itu gemetaran dan kurangpercaya diri. Sedianya hendak melompat menerjang tetapiyang dilakukan justru menekuk lutut dan bersujudmenyembah sampai ke tanah.

Keringat bercucuran membasahi tubuh keduanya. Napasmereka terengah-engah. Wajah mereka pucat pasi takberani memandang tatapan Ganggadara dan Jarawaha yangmasih menggenggam pedang. Jarawaha mengatur napassambil memandang enteng musuhnya.

"Bagaimana, Jaran Bangkai dan Jaran Lejong? Kalianmasih menginginkan lima puluh ringgit?"

"Oh, tidak. Kami menyerah. Silakan tuan-tuan lewatjalan ini."

Page 18: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Ya, kami tidak akan menganggu lagi!" tukas JaranLejong menimpali kakaknya.

Keduanya menggigil ketakutan ketika Pranarajamelangkah mendekati mereka dan membentak, "Tidaksemudah itu! Kalian berani melawan prajurit Singasari,bahkan menghina Prabu Kertanegara! Untuk itu kalianharus dihukum!"

Mendengar ucapan Pranaraja yang tegas, Jaran Bangkaidan Jaran Lejong menubruk kaki Pranaraja, meratap danmenangis. Tubuh mereka berguncang-guncang hebat penuhkecemasan sebab mereka mendengar Pranaraja mencabutpedang dari sarungnya. Pedang pusaka Pranaraja lebih tipisdibandingkan milik Jarawaha dan Ganggadara. Jalur-jalurrajah dan pamor tampak jelas pada sisi-sisi senjata itu.Melihat pantulan sinarnya saja sudah kelihatan bahwapedang itu bukan senjata sembarangan. Dengung suaranyaketika dicabut dari wrangka seperti memekakkan telingakedua perampok yang kini tak berdaya di kaki Pranaraja.

"Oh, ampun, Tuan. Kami mengaku bersalah!" ratapJaran Bangkai. Air matanya mulai meleleh di pipinya.Kedua tangannya semakin erat memegang pangkal kakiPranaraja. Demikian halnya dengan Jaran Lejong,ratapannya terdengar pilu bagai babi hutan terperangkapjebakan.

"Ya Tuan, kami menyesal sekali. Kami sungguh-sungguhmenyesal telah berani mengganggu tuan-tuan!"

"Tidak mudah mengampuni kesalahan seperti itu. Manatangan kalian? Ulurkan ke depan. Aku akanmemotongnya!" Pranaraja mengempaskan mereka darikakinya. Mereka merintih sambil membentur-benturkankepala di tanah tanda menyesal, tapi Pranaraja tidakmenyarungkan kembali pedangnya. Bahkan dengan garang

Page 19: 01-Pelangi Diatas Kurawan

mendekati kedua perampok itu. Pranaraja mengusapkanmata pedang itu pada telapak tangannya. Setiap gerakantangannya membuat sisi mata pedang berkilat-kilatmenyilaukan. Ratapan kedua perampok itu semakinmemilukan, namun Pranaraja tak ambil peduli.

"Ampun, Tuan. Hamba mengaku salah!" lolong JaranBangkai.

"Hamba tak akan berbuat seperti ini lagi, Tuan. Hambabersumpah," ratap Jaran Lejong tak kalah menyayat hati.

"Kalau perampok seperti kalian ini dibiarkan, yangmendapat kerugian besar adalah pemerintah Singasari!"ucap Pranaraja dalam dan bergetar.

"Hamba sudah kapok, Tuan. Hamba berjanji akanmenjadi orang baik-baik," suara Jaran Bangkai parau, takjelas lagi di sela isak dan engahan napas.

"Hamba tidak berani merampok lagi. Sekarang kamisadar bahwa merampok adalah perbuatan yang tercela,"timpal adiknya.

"Mengapa tercela?" bentak Pranaraja membuat keduanyaterkejut dan gelagapan

"Sebab, sebab... ehh... maksud hamba..."

"Sudahlah, Jaran Lejong! Orang seperti kalian tidak akanbisa berubah lagi. Ayo! Mana tangan kalian! Cepatulurkan!" bentak Pranaraja parau dan penuh murka. Pedangdiangkat ke udara hingga terdengar suara mendengung

Kedua penjahat itu tersungkur mencium tanah.

"Ohh, ampun, Gusti. Tangan hamba jangan dipotong.Kalau tangan kami dipotong dengan apa kami bekerja?"ratap mereka semakin tumpang tindih.

Page 20: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Dengan pedangvmasih terhunus, Ganggadara mendekatimereka dan membentak, "Cepat ulurkan tanganmu!"

"Jangan sampai Tuan Pranaraja marah sehingga leherkalian yang harus ditebas!" timpal Jarawaha karenakeduanya menekuk tangan ke perut mereka sambilmencium tanah.

Dengan tatapan mata bagaikan seekor rajawali,Pranaraja melangkah ke depan. Sementara Jaran Bangkaidan Jaran Lejong dengan muka pucat dan gemetar terpaksamengulurkan kedua tangannya.

Pandangan mereka mengabur tak berani menatapPranaraja. Keringat mereka bercucuran, napas terengah,dan gemuruh jantung membuncah-buncah menahankengerian, menanti petaka yang sebentar lagi mampirdalam hidup mereka. Mereka akan hidup cacat seumurhidup.

Namun pada saat yang kritis itu muncul dua sosok tubuhmenguak pohon-pohon hutan yang meranggas tak berdaun.Laki-laki dan perempuan. Mereka langsung melompat daripunggung kuda masing-masing tak jauh dari Jaran Lejongyang merintih minta ampun.

"Tunggu! Apa yang terjadi?" tanya lelaki cebol berkepalabotak mendekati mereka. Pranaraja menahan pedangnya diudara.

"Aku akan memotong tangan kedua perampok ini!"jawabnya tegas.

"Tenanglah. Jangan terburu nafsu," lanjut lelaki cebolbermata tajam memandang Pranaraja, Ganggadara, danJarawaha berganti-ganti.

Page 21: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Melihat gelagat lelaki cebol itu Ganggadara membukamulutnya dan tak sabar menukas, "Ini bukan urusanmu.Kalian siapa? Apa tujuan kalian datang ke tempat ini?"

"Apakah kami salah karena telah melewati jalan ini?Harap Tuan bisa menahan diri sedikit!" jawab yangperempuan. Ia berumur sekitar tiga puluhan tahun.Wajahnya cantik, tetapi tatap matanya seram dan sadis.Suaranya memiliki tekanan khusus. Ia memandang entengpada Pranaraja.

Pranaraja tanpa bergem ng membalas pandanganperempuan itu

"Baik. Kalian boleh lewat. Silakan!" ucapnya •sedikitrendah tanpa tujuan mengalah.

Perempuan itu mencibir, demikian juga si lelaki cebolikut-ikutan tersenyum sinis dan tertawa pendek, suaranyaseperti kambing terjerat lehernya.

"Semula kami memang hanya ingin melewati jalan ini.Tapi karena di sini telah terjadi sesuatu, maka tak adasalahnya kami ingin tahu. Bukan mau turut campur Hanyaingin tahu saja!"

"Hee, orang cebol! Kau jangan membuat perkara barudengan kami. Lewatlah kalau memang mau lewat. Janganbanyak cingcong," gertak Ganggadara mengeretakkangiginya.

"Hemm! Jangan kaukira aku tidak mengenal kalian!Rupanya prajurit-prajurit Singasari sudah mabukkemenangan, hingga bicara seenak perutnya sendiri," tukaslelaki cebol sinis.

"Tutup mulutmu!" gertak Ganggadara kurang sabar.

Page 22: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Cukup, Ganggadara!" sela Pranaraja menengahi lalumemandang galak pada lelaki cebol dan perempuan itu."Sebenarnya kalian mau apa?"

"Kami tidak suka mel hat perbuatan sewenang-wenang!"jawab si cebol lantang.

"Mereka perampok. Mereka orang-orang jahat.Barangkali mereka sudah membunuh puluhan manusia.Bukankah sudah sepantasnya dihukum?" jelas Pranarajategas.

"Janganlah Tuan menghukum tanpa bukti." Lelaki cebolitu mengangguk-angguk dan menghela napas sebelummelanjutkan ucapannya.

"Mari kita lihat apakah dua orang ini telah melakukankesalahan atau tidak." Si cebol mendekati Jaran Bangkaidengan jumawa dan sok luhur.

'Siapa namamu?" tanyanya parau "Ekh, nama saya JaranBangkai, Tuan!" jawab Jaran Bangkai tanpa beranimengangkat wajah, namun sudah sedikit berkurang rasatakutnya karena merasa ada dewa penyelamat di dekatnya"Dan kau?"

"Saya Jaran Lejong, Tuan!" hampir tak terdengar Lejongmenjawab

"Coba jawab, apakah kalian telah merampok harta tuan-tuan ini? Berapa kampil emas yang telah ka lan ambil darimereka? Berapa ringgit yang telah kalian rebut?" '

"Ekh, kami... kami belum mengambil apa-apa, Tuan!"jawab Jaran Bangkai sedikit mengangkat wajah melirikdengan ekor matanya ke arah Pranaraja yang ternyatamasih memegang pedang telanjang berkilat menakutkanhatinya

Page 23: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Nah, bagaimana, Tuan? Bukankah tuduhan-tuduhantuan-tuan kurang bukti?" tanya lelaki cebol itu penuhkemenangan.

"Mereka memang belum sampai mengambil apa-apa,tapi mereka bermaksud merampok kami. Itu yang penting,"Jarawaha menjawab tak sabar.

"Kalau begitu tuan-tuan tidak berhak menghukummereka, apalagi memotong tangan mereka," lanjut si cebol.Kedua perampok itu saling melirik seolah-olah mendapatangin segar yang memberikan kipasan harapan untuk bebasdari tajamnya pedang Pranaraja. Namun, mendengarucapan si cebol, Ganggadara naik pitam lalu membentaksangat kasar pada lelaki berwajah buruk itu.

"Hee, orang cebol! Kau mau pergi atau tidak?"

"Huuh. Kau tidak berhak mengusir kami sekalipun kauprajurit Singasari. Kami bebas. Kami bisa pergi ke manakami suka. Kalian tidak usah ikut campur," tukas siperempuan sambil mencibir ke arah Ganggadara yangdadanya turun-naik menahan emosi.

"Jadi, kalian tidak mau pergi?" semakin kerasGanggadara membentak mereka. Namun, si cebolmencerca Ganggadara dengan pandang remeh yangdilihatnya terlalu mentah baginya.

"Jangan gusar. Kami akan segera pergi, tapi bersamamereka."

Tangan si cebol menepuk pundak kedua perampok yangmasih tersungkur di depan Pranaraja.

"Ayo, Jaran Bangkai dan Jaran Lejong! Naiklah ke ataskuda, kita tinggalkan tempat ini!"

Page 24: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Kurang ajar. Kau berani meremehkan kami!" bentakGanggadara.

Dengan kedipan matanya ia memberikan isyarat padaJarawaha sehingga dalam waktu singkat

Jarawaha menggebrak hebat ke arah si cebol. Namun,ketiga prajurit Singasari itu sempat kagum melihat si cebolberkelit dengan lincah dan sangat menarik menghindariserangan mendadak Jarawaha. Mata Ganggadara melotot!

"Hei, kalian punya kebisaan juga rupanya?" Ganggadaraberkomentar sinis dan mencibir Matanya awasmemperhatikan lawan tanding yang tak boleh diremehkan.

"Dia ingin memamerkan kemampuan ilmunya, AdiGanggadara."

"Kita ringkus saja sekalian. Siapa tahu mereka adalahkomplotan perampok juga!" Tanpa banyak komentar lagi,kakak-beradik itu merangsek maju dan menyabetkanpedang tajam menyapu si cebol tepat di lehernya, namun sicebol sudah mencelat dan melompat di tempat lain sambiltertawa terkekeh meremehkan serangan yang sangatmentah itu.

"Hentikan!" seru Pranaraja melihat gelagat tak baik."Cukup, Jarawaha, Ganggadara!" Serempak keduanyamenghentikan serangan dengan kaki tetap dalam posisikuda-kuda dan penuh siaga. Jarawaha menoleh ke arahatasannya penuh rasa ingin tahu,

"Ada apa, Tuan?" tanyanya tolol.

"Tak ada manfaatnya berurusan dengan mereka!" jawabPranaraja tanpa memandang ke arah si cebol, si perempuandan kedua perampok.

Page 25: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Tapi mulut si cebol dan perempuan itu sudahketerlaluan, Tuan," tukas Ganggadara dengan terengah.

Pranaraja melotot pada Ganggadara, "Cukup kataku!Biarkan mereka pergi." Pranaraja mengangkat tangannyasampai di bawah bahu dan memberikan isyarat agarkomplotan si cebol itu pergi saja.

Si cebol tertawa terkekeh, "Heheheheheheh! RupanyaTuan yang ini mempunyai penglihatan lebih jeli. Nah,maafkan kami Bukan maksud kami ingin membuat gara-gara. Tapi kami tidak rela melihat prajurit-prajurit Singasarimenjadi rusak Citranya." Si cebol melompat ke punggungkudanya, dan kembali berseru, "Supaya tuan-tuan tidakpenasaran, ada baiknya kami memperkenalkan diri. Namasaya Mpu Tong BajiL Orang sering menyebut saya si ceboldari lereng Tengger."

"Dan saya Dewi Sambi! Saya dibesarkan dan ditempaoleh angin pegunungan Lembah Kawi." Mpu Tong Bajil sicebol terkekeh seraya merapatkan kudanya di sisi kudaDewi Sambi dan terkekeh panjang seraya mengangkattongkatnya. "Selamat jalan Tuan-tuan. Mudah-mudahankita akan bertemu lagi di lain kesempatan." Dia lalumemandang Jaran Bangkai dan Jaran Lejong, "Ayo JaranBangkai, Jaran Lejong! Heya-heya heyaaaaa!"

Si cebol diikuti Dewi Sambi dan kedua perampok itumenghela kuda. Sepakan kaki kuda meninggalkan kepulandebu-debu sampai akhirnya mereka lenyap di balik tikunganyang penuh semak belukar.

Pranaraja menghela napas panjang memperhatikan arahlenyapnya empat kawanan orang aneh itu. Ganggadaramenghampirinya.

"Tuan, mengapa Tuan membiarkan mereka pergi?"

Page 26: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Jelas mereka orang-orang jahat, Tuan. Mereka pastiakan mengacau di tempat lain," tukas Jarawaha.

Pranaraja memandang anak buahnya satu persatudengan tenang, "Kita sedang mengemban tugas penting,karena itu kita jangan membuat masalah dengan orang-orang seperti mereka."

"Tapi orang-orang itu sudah berani menghina kita!"Jarawaha menahan rasa kesal hingga suaranya sedikittercekat di tenggorokan.

"Ya, Tuan. Sudah seharusnya mereka dihukumcambuk!" timpal Ganggadara tidak kalah sengit.

"Ganggadara! Mereka tidak dapat kausamakan denganJaran Bangkai dan Jaran Lejong. Ilmu kanuragan dua orangitu cukup tinggi."

Jarawaha melangkah lebih rapat ke Pranaraja,"Bagaimana Tuan bisa mengukurnya?"

"Dari sikapnya, dari pandangan matanya, juga darikecepatan geraknya. Aku yakin, kalau sampai kita terlibatperkelahian dengan mereka, kita akan mendapat kesulitanbesar." Pranaraja menghela napas dalam-dalam danmenghembuskannya agak kasar.

"Sudahlah! Mari kita lanjutkan perjalanan!" Pranarajamelompat ke punggung kuda diikuti

Jarawaha dan Ganggadara. Tampak Pranaraja berpikirkeras dan di bilik hatinya menyimpan rasa cemas.

Mereka menghela kuda masing-masing dan ketigabinatang perkasa itu pun mulai menapak jalan setapak.Mula-mula perlahan tapi lambat laun kian cepat seiringsentakan dan hela para penunggangnya. Tampak ketigaprajurit Singasari itu beriring menuju desa Kurawan.

Page 27: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Sementara itu perjalanan si cebol, Dewi Sambi dan duapemuda yang baru mereka kenal tampak menghentikankuda mereka dan keempatnya berteduh di bawahkerindangan pohon beringin. Jaran Bangkai dan JaranLejong begitu hormat pada dua pendekar yang telahmenyelamatkan nyawanya.

"Untung Tuan menolong kami, kalau tidak kami akanmenjadi orang tak berguna lagi."

"Ya, karena kami akan kehilangan tangan kami," tukasJaran Lejong menimpali Jaran Bangkai.

Mpu Tong Bajil tersenyum dingin, "Prajurit-prajuritSingasari itu tidak akan berani melakukannya di depanku."

"Ya. Benar, Tuan. Agaknya mereka gentar menghadapiTuan berdua," puji Jaran Bangkai.

Dewi Sambi memperhatikan keduanya denganmenyipitkan mata. Ia melihat dua pemuda itu, berotot danberingas, "Apa benar kalian bermaksud merampokmereka?"

Jaran Bangkai melirik Jaran Lejong, mengangguk danmenjawab dengan gemetar, "Eh, be... benar, Tuanku."

Lalu Jaran Lejong menjelaskan dengan perlahan, bahwamereka memang perampok. Mereka selama ini hidup darimerampok harta benda orang. Hampir sepuluh tahunmereka melakukan hal itu.

Mpu Tong Bajil makin tersenyum lebar, matanyamengerdip pada Dewi Sambi yang duduk merapat disebelah kanannya.

"Jawab saja dengan jujur. Kau senang pekerjaan itu?"

Setelah menoleh kepada Jaran Bangkai, Jaran Lejongagak ragu menjawab pertanyaan Mpu Tong Bajil, "Eh, ya.

Page 28: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Terus-terang sebenarnya kami menyukai pekerjaan itu,tapi..."

"Cukup!" potong Mpu Tong Bajil. Dengan tajam iaperhatikan dua pemuda berotot itu matanya pun menyipit,melirik Dewi Sambi penuh arti, "Kalau kau senangpekerjaan itu, kau boleh ikut kami."

Jaran Bangkai belum paham sepenuhnya apa yangdimaksudkan si cebol, namun si cebol segera menangkaprasa penasaran kedua pemuda itu.

"Maksudku, marilah kita merampok bersama-sama.Marilah kita menjadi perampok yang lebih mapan."

Jaran Bangkai menyodok bahu Jaran Lejong dantersenyum lebar, "Oh, kami mau, Tuan. Kami senang sekalibergabung dengan Tuan "

Mpu Tong Bajil manggut-manggut, demikian halnyadengan Dewi Sambi. Mereka tampaknya bersukacita bisamendapatkan dua anak buah baru. Mpu Tong Bajil kembaliserius memperhatikan Jaran Bangkai dan Jaran Lejong,"nanti akan kita bicarakan lagi soal ini. Sekarang mari kitapergi. Aku harus mengunjungi seorang kawan lama diJasun Wungkal." Si cebol bangkit meraih lengan DewiSambi, melangkah menuju kuda masing-masing danmeninggalkan tempat sepi itu.

Sementara itu perjalanan Pranaraja dan dua prajuritbawahannya sudah sampai di wilayah Kurawan. Merekatelah melewati tugu pembatas desa. Mereka melihat seoranglelaki tua sedang membetulkan saluran air di sawahnya.Jarawaha mengarahkan kudanya ke dekat lelaki tua ituyang sibuk membenahi pematang saluran air.

Page 29: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Hei, Pak Tua! Kau tahu di mana rumah MpuHanggareksa?" seru Jarawaha tanpa turun dari punggungkudanya

Lelaki tua itu tidak menjawab, sebaliknya ia mengomelkarena saluran air yang menuju sawahnya telah jebol."Huuuh! Siapa yang memotong saluran airku ini? Dasarmaling!"

"Pak Tuaaaa! Di mana rumah Mpu Hanggareksa? Kautahu tidak?" seru Ganggadara dari punggung kuda.

Tapi lelaki tua itu sedikit pun tidak memberikantanggapan. Bahkan makin asyik membetulkan pematangyang bobol dan terus ngomel sendiri.

Ganggadara tampak kesal dan tidak sabar, "Kurang ajar!Kau jangan mempermainkan aku, Pak Tua!"

"Mungkin dia tuli, Adi Ganggadara," tukas Jarawaha.

Pak Tua itu benar-benar tidak menyahut, bahkan saatGanggadara menegurnya makin keras, tetap saja lelaki tuaitu macul dan menghempaskan cangkulnya kuat-kuatseraya ngomel. Ia kesal pada orang yang merusak tanggulsaluran air.

Jarawaha dan Ganggadara merasa dipermainkan lelakitua itu, apalagi kehadiran mereka tampak tidak dihiraukan.Merasa diremehkan kedua prajurit Singasari itu naik pitam.Ganggadara melompat dari punggung kuda dan langsungmenyerang lelaki tua.

Lelaki tua menggunakan cangkul untuk menangkistendangan Ganggadara, dan ia mundur. Ia cipratkanlumpur ke Ganggadara hingga prajurit Singasari itumenghentikan serangannya.

"E, e, e, e ada apa ini? Kok marah-marah?"

Page 30: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Pak Tua, kau jangan main-main!" ancam Ganggadara.

"Enak saja! Siapa yang main-main? Aku kan sedangmacul saluran air ini, karena airnya mampet makakupacul."

Jarawaha melangkah lebih dekat, "Pak Tua! Apa kautidak dapat melihat? Apa kau tidak tahu bahwa kami adalahprajurit-prajurit Singasari?"

"Oh, hoho... jadi kalian bertiga ini prajurit Singasari, ya?"

"Ya. Karena itu kau harus minta maaf pada kami!"Jarawaha sedikit membentak dan menggertak.

Lelaki tua itu tersenyum dingin, disambung dengantawanya yang aneh dan tertahan "Minta maaf? Mengapa?"

"Karena kau sudah berbuat salah!" suara Jarawahameninggi.

Lelaki tua itu makin bingung tidak tahu apa salahnya. Iaterus tersenyum dingin dan mengelus-elus joran cangkul."Apa salahku?" gumamnya lirih.

"Dengar! Kau telah berani berlaku tidak sopan padakami!" bentak Jarawaha

Lelaki tua berpakaian compang-camping, kumal dantampak belepotan lumpur itu makin terkekeh. Ia merasalucu, "Dagelan! Heheheheh.... Kok bisa gitu, ya? Yangberlaku tidak sopan itu siapa? Aku atau kalian? Enak saja.Sudah, sudah! Pergi sana! Aku mau kerja." Lelaki itukembali asyik mencangkul tidak menghiraukan ketigaprajurit Singasari yang memperhatikannya.

Jarawaha dan Ganggadara melotot dan bertolakpinggang.

Ganggadara naik pitam, ia anggap lelaki tua itu sudahgila dan tidak tahu aturan. Dadanya terbakar dan

Page 31: 01-Pelangi Diatas Kurawan

amarahnya memuncak. Ia langsung mencabut pedang danberusaha menyabetkan kearah orang yang meremehkannya.Namun, dugaannya meleset. Joran cangkul di tangan lelakitua itu menari dan berputar dengan indah menangkisseluruh serangannya. Ganggadara tidak mungkinmenyerang lebih lanjut dengan posisi yang sulit. Ia jugatidak mau belepotan lumpur. Ia ingin sekalimenenggelamkan lelaki tua itu ke dalam lumpur agardimakan cacing. Ia makin gencar menyerang

Melihat keadaan yang tidak baik seperti itu Pranarajamelompat dari punggung kuda, "Tunggu! Hentikanbanyolan murah ini!" Pranaraja melompat ke pematang danmenghampiri lelaki tua. "Pak Tua, kami datang ke desaKurawan ini mengemban titah Sang Prabu Kertanegara."

"Hm, ya, ya. Lalu?..."

"Kami sudah lelah karena perjalanan yang cukup jauh.Karena itu berlakulah sedikit sopan, supaya tidak terjadihal-hal yang tidak diinginkan."

Lelaki tua mencibir dan geleng-geleng kepala "Yangberlaku tidak sopan itu bukankah kalian sendiri? Coba, apapantas bertanya pada orang tua dari atas punggung kudabegitu? Apa mentang-mentang kalian prajurit, lalu bolehberbuat seenak jidatmu?"

Pranaraja merah padam. Dia baru sadar jika selama inidia sendiri dan kedua anak buahnya itu sering tidak sopanMaka ia melepaskan kacak pinggangnya. Sedikit menghelanapas dan mendengus. Ia lalu bertanya di mana letakrumah Mpu

Hanggareksa. Masih dengan suara yang kasar, "Di manarumah Mpu Hanggareksa?"

Page 32: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Lelaki tua itu makin keki dan menyipitkan matanya."Bukan begitu cara bertanya yang baik. Aku tidak akanmenjawabnya."

Pranaraja turut naik pitam. Ia terpaksa ambil tindakantegas, memaksa lelaki tua agar mengikuti kehendaknya.Kedua tangannya mengisyaratkan agar anak buahnyamenangkap lelaki tua itu.

Jarawaha menarik pedang, dan Ganggadara sudah siapmenyerang.

Lelaki tua mengangkat tangan, "Baiklah! Sekarang beginisaja. Karena kalian sudah mencabut pedang, tentu tidakenak kalau harus disarungkan kembali. Nah, biar akumengalah. Aku akan menunjukkan rumah orang yangkalian cari, tapi dengan syarat."

"Apa syaratnya?" bentak Jarawaha.

"Kalian tentu bangga sekali dengan pedang milik kalianitu."

"Ya. Sudah pasti!" tukas Ganggadara. "Kalau kau masihrewel juga, maka sebentar lagi lumpur sawah ini akanmenjadi saksi kematianmu, Pak Tua!"

"Hiii, mengerikan sekali. Tapi sebaiknya jangan sampaibegitu. Kalau kalian memiliki pedang, nah... aku memilikicangkul. Lihatlah!" lelaki tua mengetuk-ngetukkan ujungtelunjuknya pada langgam punggung mata cangkulnya."Kalau kalian bangga dengan pedang itu, maka aku punbangga dengan cangkulku ini. Sekarang kita adu saja. Manayang lebih ampuh, cangkulku ini atau pedang kalian itu?"

"Kau jangan main-main, Pak Tua!" ancam Jarawaha.

"Siapa yang main-main, anak muda? Coba saja buktikan!Kalau pedang kalian bisa melukai cangkulku, apalagi

Page 33: 01-Pelangi Diatas Kurawan

sampai membelah cangkulku ini, nah... itu tandanya akukalah. Kalian berhak mengetahui rumah orang yang kaliancari." "Bagaimana, Adi Ganggadara?" Ganggadara jadibingung, ia kembali melemparkan pertanyaan kakaknyapada Pranaraja yang sejak tadi sudah kesal.

"Mengapa kalian jadi bodoh? Tebas saja cangkul itumenjadi dua. Bukankah pedang kalian sudahberpengalaman dalam perang?" bentak Pranaraja pada duaanak buahnya dengan mata melotot dan berkilat-kilat.

Ganggadara menoleh ke Pak Tua dan tersenyum sinis,"Baik, Pak Tua! Letakkan cangkulmu itu, biarkuhancurkan!"

"Hehe, tidak usah! Biar kupegang saja. Ayo, tunjukkankeampuhan pedangmu!" Pak Tua terus terkekeh danmemegang joran cangkulnya dengan tenang, tangannyayang sudah tua berhias kerutan dan kotor oleh lumpurkering tampak mencengkeram kuat bagaikan cakar rajawalimencengkeram mangsanya. Dengan tersenyum danmengusap langgam punggung mata cangkul dengan tangankirinya, ia meludahi punggung mata cangkulnya yangmasih basah dan kotor oleh lumpur.

Ganggadara tidak sabar lagi, ia ancang-ancang danlangsung menebas cangkul. Tebasan pedangnya yang sangatkeras menimbulkan benturan kuat dan tampaklah percikanapi dari empasan dua benda keras itu

Cangkul masih utuh di tangan lelaki tua yang terkekehdan meminta agar Ganggadara lebih keras menghempaskanpedangnya.

Lelaki tua makin terkekeh ketika usaha Ganggadara sia-sia belaka. "Mana? Aku ingin melihat senjata kebanggaanprajurit-prajurit Singasari." Tawa lelaki tua makin terkekehmenyakitkan telinga ketiga prajurit Singasari.

Page 34: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Jarawaha meminta Ganggadara minggir dan iamenebaskan pedangnya dengan dahsyat. Percikan apimemancar dari benturan pedang dan cangkul lelaki tua

"Kurang ajar! Tangkap lelaki tua itu, Jarawaha! Diasengaja menghina kita. Ringkus tua barigka itu!" geramPranaraja memerintahkan anak buahnya. Ia berkacakpinggang dan meraba gagang pedangnya.

Lelaki tua itu kaget karena kedua prajurit Singasarimenyerang dengan gebrakan panjang tanpa peringatansebelumnya. Namun ia sigap menanggapi. Ia mundurbeberapa tindak di pematang sambil memainkan cangkulyang ia kibaskan ke sana-ke mari. Gerakannya gesit danlincah. Seolah cangkul di tangannya bagaikan mainan,bagai kitiran yang terus menangkis serangan Jarawaha danGanggadara.

Percikan-percikan api terus memancar setiap kali terjadibenturan pedang dan cangkul. Anehnya, dua prajuritSingasari itu sedikit pun tidak mampu maju dan menyentuhlelaki tua, sedangkan lelaki tua tetap bertahan di tempatnyadi atas pematang sempit. Ganggadara dan Jarawaha sudahbelepotan lumpur.

Melihat gelagat yang tidak sedap seperti itu Pranarajaberteriak lantang, "Mundur Jarawaha! MenepilahGanggadara!"

Jarawaha dan Ganggadara menghentikan serangan danmerunduk hormat pada Pranaraja yang tetap memandangtajam, galak dan marah pada lelaki tua. Mereka mundurdan berdiri di kanan kiri Pranaraja dengan sekali lompatan.

Pranaraja makin melotot memandang lelaki tuaberpakaian compang-camping yang berdiri lima tombak didepannya. Ia makin muak ketika lelaki tua menyibakkan

Page 35: 01-Pelangi Diatas Kurawan

rambut kelabunya seraya membetulkan letak capingkropaknya.

"Pak Tua! Kau mau pamer kepandaian di depan kami?"bentak Pranaraja.

"Huh. Apa? Aku pamer kepandaian? Teman-temanmuitulah yang sok jago. Mentang-mentang prajurit Singasarilalu main tendang, main pukul, main keroyok. Tentu sa]aaku tidak mau diperlakukan seperti itu."

"Kalau kau masih berkeras tidak mau melayani kamidengan baik, aku yang akan turun tangan."

"Nah, sekarang ternyata kau yang ingin pamerkepandaianmu di depanku."

Pranaraja meraih sesuatu dari balik timangnya,

"Pak Tua! Lihat, aku membawa tanda pengenal dariistana. Kau tahu artinya?"

"Tidak." Lelaki tua itu jujur dan polos. Ia benar-benartidak tahu apa yang dimaksudkan dengan benda emasberbentuk bintang di tangan Pranaraja

Pranaraja makin geram, ia menganggap lelaki tua itutidak tahu diri, kurang ajar, dan telinganya serasa gatal."Jawabanmu semakin memerahkan telinga!" serta mertaPranaraja memasukkan lencana dan segera mencabutpedang seraya melangkah beberapa tindak dan berteriak,"Aku sendiri yang akan menghajarmu, Pak Tuaaaaa!"Pranaraja melompat dan menyambarkan pedangnya kearah kepala lelaki tua. Tapi sekali lagi ia terhenyak, lelakitua itu mampu menepiskan serangannya. Cangkul lelaki tuamenangkis sambaran pedangnya hingga tampaklahpancaran percikan api. Beberapa sabetan terus menghajarcangkul yang digunakan dengan baik sebagai perisai.

Page 36: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Bahkan putaran perisai itu tidak mampu dilihat dengan baikoleh mata telanjang Pranaraja

Pranaraja akhirnya melompat mundur dan berdiri diantara Jarawaha dan Ganggadara.

"Hati-hati, Tuan. Orang tua itu cukup lincah dan gesit."Jarawaha berbisik

"Diam kau Jarawaha!" bentak Pranaraja denganmendengus. Makin erat ia mencengkeram gagang pedang,"Pak Tua! Kau telah melawan kami! Itu berarti kaumelawan pemerintah Singasari!"

"Terserah. Aku tidak merasa berbuat yang merugikankalian. Aku bekerja di sawahku sendiri, kalian yang datangmengganggu aku dan mengajakku ribut-ribut."

Pranaraja melangkah beberapa tindak ke depan dan inginmerampungkan lelaki tua agar berkubang lumpur, namunterdengar derap kuda yang berlari mendekat.

Tampak pemuda gagah dan tampan melompat daripunggung kuda, lalu melompat ke pematang dan berdiri disisi lelaki tua. "Ada apa, Paman?"

"Heh, bertanyalah pada mereka!" jawab lelaki tua serayakembali mencangkul dan tidak mempedulikan para prajuritSingasari yang dihampiri pemuda tampan dan gagah itu.

"Nama saya Arya Kamandanu, ada perlu apa Tuankemari?"

Pranaraja menyarungkan pedang, demikian juga denganGanggadara dan Jarawaha, tidak enak hati melihat tatapancuriga pemuda di depannya. Pranaraja pun menjelaskanduduk perkaranya, mengapa mereka ada di situ sampaiakhirnya salah paham dengan lelaki tua, "Kami ingindatang ke rumah Mpu Hanggareksa."

Page 37: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Arya Kamandanu tersenyum dan mengangkat wajah,"Ah, beliau adalah ayah saya. Mari ikut saya!"

Pranaraja memandang ke arah lelaki tua yang sudahsibuk mencangkul seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Ganggadara dan Jarawaha bertanya dengan tatapanmata, namun Pranaraja meminta agar tidak perlu berurusanlagi dengan lelaki tua. Apalagi Arya Kamandanu sudahmelompat ke punggung kuda dan mengajak mereka segeramengikutinya.

Setelah ketiga prajurit Singasari itu berlalu mengikutijejak Arya Kamandanu, lelaki tua berhenti mencangkul danmengangkat wajah memandang mereka, "Singasari... kautelah bermandikan darah.... Hyang Widhi tidak akanmerelakan tingkah polah orang-orang yang ada di rahimmu,orang-orang yang angkuh dan sombong! Sesungguhnyaengkau terkutuk, engkau akan rata dengan tanah karenadarah yang tertumpah!"

Singasari bermandikan kutukan! Di rahimnya berjubelanpara pengkhianat dan penjilat. Hikmat orang miskin disia-siakan orang! Lelaki tua kembali mencangkul, air matanyamenetes, jatuh di lumpur, di pangkuan Ibu Pertiwi yangterus menangis, karena kesuciannya ternodai. Tanah yangtercangkul memuncratkan air dan lumpur ke wajah lelakitua, tapi ia membiarkan lumpur itu mengotori wajah,bahkan seluruh tubuhnya. Ia rasakan lumpur yangmenempel di tubuh dan wajahnya adalah belaian lembutIbu Pertiwi, bagai sentuhan ibunya ketika ia masih kecil danmengharapkan belaiannya.

dw

Page 38: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Arya Kamandanu membawa para tamu ayahnya, danmengantarkan mereka sampai di pendapa depan.

Mpu Hanggareksa sangat kaget dengan kehadiran paraprajurit Singasari. Ia menyambutnya dengan ramah-tamah.Namun ia terkejut ketika menyaksikan pakaian paratamunya belepotan lumpur. Ia mempersilahkan paratamunya membersihkan diri di pancuran padasan dangentong air yang tersedia di depan rumahnya. Iamenyangka bahwa mereka melewati jalan yang salahhingga harus melalui sawah-sawah. Ia juga menyuruh AryaKamandanu dan Arya Dwipangga mengambilkan airsecukupnya agar para tamunya bisa membersihkan pakaiandan tubuh mereka dari lumpur.

"Inilah desa Kurawan, tuan-tuan. Masih penuh lumpurdan kotoran." Selorohnya. Lelaki tua itu kemudianmembantu menambatkan kuda para tamunya di bawahpohon sawo depan rumahnya.

Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, merekadijamu dengan hangat oleh Mpu Hanggareksa. BibiRongkot telah menanak nasi dan memasakkan gulai ayambuat mereka. Juga ada wedang jahe gula merah yangtercium sedap dan harum aromanya.

Jarawaha dan Ganggadara menyantap seluruh hidanganyang ada di depannya, karena benar-benar lapar dan lelah.

Sambil menikmati jamuan, Pranaraja menyampaikanmaksud kedatangannya di Kurawan, yaitu menyampaikanundangan Prabu Kertanegara, agar Mpu Hanggareksa bisahadir di Istana Singasari untuk menerima penghargaan danhadiah atas jasanya membuat senjata bagi pemerintahSingasari.

Page 39: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Mpu Hanggareksa berdebar-debar mendengar berita baikitu, "Kami ikut merasa gembira dan bangga mendengarkebijaksanaan Sang Prabu Kertanegara."

Pranaraja tersenyum lebar dan mengangguk "Wah,beliau itu Raja yang arif, adil dan bijak. Beliau tidak pernahmelupakan budi baik seseorang, sekalipun orang itu berasaldari kalangan bawah."

"Kita semua ikut menikmati hasil yang telah dicapaiPemerintah Singasari," timpal Jarawaha

"Benar, Tuan." Ganggadara menyahut setelah menelansisa makanan di mulutnya. "Dengan diresmikannya prasastiCamunda, maka siapa saja yang dianggap berjasamembantu Singasari melebarkan sayapnya, akan mendapathadiah."

Pranaraja mengangguk mengiyakan, "Dan dalam hal initak terkecuali Tuan Hanggareksa. Sebagai seorang ahlimembuat senjata, tentulah jasa Tuan tidak dapat dianggapkecil. Bukan begitu, Jarawaha?"

"Betul, Tuan. Betul sekali."

Ganggadara tersenyum dan memandang lekat MpuHanggareksa, "Bagaimana seorang prajurit bisa berbuatbanyak di medan peperangan kalau tidak dibekali senjatayang ampuh?"

Jarawaha mengangkat jempol seraya tersenyum lebar,"Dan senjata buatan Tuan Hanggareksa sudah terkenalampuh. Prajurit Madura, Bali, dan terakhir pasukanSwarnabhumi sudah membukti- . kan sendiri keampuhansenjata ciptaan Tuan."

Mpu Hanggareksa tampak tidak enak menerima pujianberlebihan dari para tamunya, "Ah, tuan-tuan terlalumemuji saya. Saya sudah merasa senang dan bangga kalau

Page 40: 01-Pelangi Diatas Kurawan

bisa bekerja dan mengabdi pada pemerintah Singasari.Sungguh, Tuan. Dalam hal ini saya bekerja tanpa pamrihapa-apa."

Pranaraja mengangguk-angguk lembut, "Kami percaya,Tuan. Dan Prabu Kertanegara sendiri juga sepenuhnyapercaya pada kemurnian pengabdian Tuan Hanggareksa.Itulah sebabnya Tuan diharapkan hadir dalam pertemuan dibulan Badrapada nanti. Sang Prabu ingin bertatap mukadan bicara langsung dengan orang-orang yang telahmembantu beliau."

Mpu Hanggareksa mengangkat wajah danmemperhatikan Pranaraja dan kedua anak buahnya. "Ah,saya orang desa. Orang kecil yang tak punya arti apa-apa.Karena itu saya sangat terharu mendengar sikap Sang Prabuyang begitu mulia."

Tiba-tiba Pranaraja mengerutkan dahi dan memandangMpu Hanggareksa dengan menyipitkan mata, dahinyaberkerut dan mengangguk-angguk "Oh, ya. Kami inginmenanyakan sesuatu pada Tuan."

"Soal apa, Tuan Pranaraja?"

"Sebelum kami bertemu dengan Arya Kamandanu, putraTuan, kami sempat bertengkar dengan seorang petani tuayang sedang mencangkul saluran air di sawahnya."

Ganggadara langsung berbinar dan matanya terbeliak,"Wah, orang tua itu benar-benar kurang ajar, Tuan. Diasama sekali tidak takut pada kami, walaupun tahu bahwakami membawa amanat seorang Raja."

Jarawaha mengepalkan dua tangannya di depan dada,"di samping kurang ajar dia juga telah berani menghinapemerintah Singasari. Ini yang saya kira tidak bisadiampuni."

Page 41: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Ganggadara memiringkan kepala, mencibirkan bibirnyadan mengerjap-ngerjapkan matanya, "saya pikir otaknyatidak genap lagi. Apa benar begitu, Tuan?"

Mpu Hanggareksa mengembuskan napas berat, "Janganhiraukan dia, tuan-tuan. Jangan dimasukkan ke hati."

Pranaraja mengangguk-angguk sampai bahunya*berayun, "Putra Tuan memanggilnya dengan sebutanpaman, apakah Tuan masih tersangkut hubungan kerabatdengan orang itu?"

"Tidak, Tuan. Dia bukan keluarga saya," tukas MpuHanggareksa cepat. Ia hela napas dan seperti mengingatsesuatu, "Kami dulu memang pernah bersahabat, tapisekarang kami tak pernah bertemu lagi walaupun masihsatu desa."

Pranaraja mengangguk-angguk dan memonyongkanbibirnya, "Mungkin benar seperti yang dikatakanGanggadara. Dia agaknya kurang beres otaknya."

"Yah, mungkin saja, Tuan. Soalnya saya sudah lamasekali tidak bertemu dengannya." Mpu Hanggareksamenghapus keringat dingin di kening, pelipis dantengkuknya yang bergidik. Ada kecemasan merayapihatinya.

Pranaraja makin lekat memperhatikan MpuHanggareksa, "Siapa nama orang itu, Tuan?"

Mpu Hanggareksa tidak segera menjawab, inginmengingat sesuatu, "namanya Ranubhaya." MpuHanggareksa tersenyum pada tamunya, "Sudahlah, Tuan!Lupakan saja. Dia barangkali tidak bermaksud sungguh-sungguh. Saya jamin dia tak akan berani mengganggu tuan-tuan lagi."

Page 42: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Baiklah. Hm." Pranaraja bangkit, "maaf, TuanHanggareksa, kami ingin istirahat."

"Ah, silahkan tuan-tuan. Ruangan sudah disediakanuntuk sekadar merebahkan badan "

Mpu Hanggareksa buru-buru bangkit dan inginmengantarkan para tamunya ke tempat istirahat yang telahdisiapkan Bibi Rongkot.

"Maaf, beginilah keadaan rumah kami. Serba sederhana.Maklum rumah desa."

"Ini sudah lebih dari nyaman, Tuan " PandanganPranaraja menyapu seluruh kisi-kisi ruangan kamar yangsemuanya terbuat dari kayu jati. Semua masih utuh dantanpa sentuhan terpentin damar. Tampak indah di bawahbayang temaram lampu minyak jarak yang diletakkan tepatdi atas meja tengah kamar

Pranaraja duduk di atas dipan yang beralaskan kasur darikapuk pilihan, sedangkan Ganggadara dan Jarawahalangsung merebahkan diri di dipan masing-masing.Pranaraja mengerutkan dahi, menghela napas dalam-dalammencium aroma kamar yang berbau kembang dankemenyan kutukan.

Kamar itu cukup luas, dan pada dinding-dindingnyaterdapat beberapa koleksi senjata ciptaan Mpu Hanggareksayang sengaja digantung, tapi terbungkus rapi dengan kainputih. Di sudut ruarlgan terdapat belanga yang di dalamnyaterdapat air dan bunga-bunga. Di dekat belanga itu terdapatpadupan tempat menyalakan kemenyan. Menurutkepercayaan Mpu Hanggareksa, bahwa air bunga dan dupakemenyan adalah untuk keperluan menjaga danmemelihara kelestarian pusaka-pusaka ampuh yangdiciptakannya, juga pusaka-pusaka lainnya yang iadapatkan dari berbagai tempat wingit.

Page 43: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Setelah mengantarkan para tamunya Mpu Hanggareksamenuju bilik Bibi Rongkot, beliau berpesan agar selalu siapmembantu jika para tamunya memerlukan sesuatu. Setelahitu, lelaki tengah baya itu menuju tempatnya bekerja.

Malam merayap dengan selimut pekatnya.

Suara serangga melengkapi keheningan yang menyayat.Belalang engket makin keras memamerkan suaranyaditingkah bunyi jengkerik dan burung hantu yang sesekalimenjerit di kejauhan. Kelelawar-kelelawar pun tampaksaling menyahut dengan jeritan mereka setiap kali bertemukawanannya

Di tengah malam ketika para tamunya sudah istirahat,Mpu Hanggareksa kembali menemui Bibi Rongkot dibiliknya, menanyakan keadaan para tamu, kedua putranyadan lain-lainnya.

Bibi Rongkot dengan bersahaja menjelaskan bahwa AryaKamandanu sedang membersihkan keris di ruang pusaka,sedangkan Arya Dwipangga sedang menulis syair-syair diatas daun tal.

Mpu Hanggareksa kemudian pamit pada perempuan itu,"aku mau pergi sebentar, Bi. Kaututup saja pintunya!"

"Ya, Gusti." Perempuan itu membungkuk hormat,memperhatikan tuannya membalikkan badan dan segerapergi.

Mpu Hanggareksa melangkah ke samping rumah,bayangannya lenyap ditelan kegelapan. Ia berhenti dibawah pohon sawo, bersidekap, menghela napas sangatdalam. Ia rasakan pusaran mengendap di perutnya, dinginmeliputi seluruh tubuhnya, dan ia. pun segeramenghentakkan kakinya. Itulah aji Seipi Angin. Setelah

Page 44: 01-Pelangi Diatas Kurawan

melambari dengan aji Seipi Angin barulah ia menujukandang kuda.

Dengan kudanya ia meninggalkan rumah, belum iatunggangi, tapi ia tuntun sampai di luar pekarangan.Binatang perkasa yang ia tuntun dengan tangan kirinya itupun seperti mengerti, sedikit pun tidak mengeluarkan suara.Ketika tali kendalinya ditarik perlahan, binatang itu setiasekali mengikuti perintah tuannya. Melangkah danmenapak sangat hati-hati, makin menjauh dari tempattinggal tuannya.

dw

Di sudut desa Kurawan, di kaki bukit, tampaklah gubukkecil yang semuanya terbuat dari bambu beratap alang-alang. Tampak di depan bangunan itu duduk seorang pe-muda, tubuhnya agak gemuk, wajahnya sedikit kelihatanbodoh. Sejak tadi ia menguap lebar menahan kantuk yangmendera, sedangkan gurunya melarangnya tidur sore-sore.

Ia ingin berbaring, tapi teringat pesan gurunya, ia terjagakembali dan duduk dengan baik sambil menyaksikan bin-tang-bintang yang berkedip di langit. Ia nikmati suaraserangga yang timpal menimpali. Ada sesuatu yang ganjildan aneh jika berada di tengah malam sendirian. Kadangrasa takut menghimpit. Bahkan ketika ia melihat daunpisang kering menggantung ia pun merinding. Iamelihatnya seperti hantu pocong.

Kembali pemuda itu menguap lebar, "Guruku memangorang aneh. Susah ditebak. Sukar diketahui apakemauannya. Tapi beliau memang guru yang hebat. Dalamhal pembuatan senjata pusaka, di seluruh negeri Singasariini, bahkan mungkin di negeri-negeri lain, kukira belum adayang mampu menandinginya." Ia tersenyum dan

Page 45: 01-Pelangi Diatas Kurawan

kebanggaan terpancar di wajahnya. Kembali ia semangatnglakoni.

Pemuda itu tiba-tiba bangkit dan mengerutkan dahinya.Dia pandang ke arah datangnya suara derap kaki kuda."Hmh, siapa malam-malamdatang kemari. Huh, pasti orangyang ingin memesan senjata pusaka. Huuh, dia pastikecewa, sebab Guru sudah tidak melayani pesanan senjatapusaka lagi," pemuda itu terus menggerutu.

Derap kuda pun berhenti, penunggangnya melompat,lalu mengikat kudanya di batang pohon jarak. Setelah itu,berjalan menghampiri pemuda itu, "Apakah aku bisabertemu dengan Mpu Ranubhaya?"

"Eh. bukankah Tuan... Tuan...."

"Ya. Aku Hanggareksa, sahabatnya." Potong MpuHanggareksa ketika pemuda itu lupa namanya Apalagimemperhatikan dalam kegelapan malam.

"Apakah kau Wirot?"

"Eeh, iya, Tuan, saya Wirot."

"Mana Kakang Ranubhaya? Apakah aku bisamenemuinya?"

"Apakah harus sekarang, Tuan?"

"Aku besok pagi harus sudah berangkat ke kotaSingasari."

"Kalau begitu mari ikut saya, Tuan," Wirot segeramelangkah dan Mpu Hanggareksa mengikutinya daribelakang. Wirot mengajak tamu gurunya menyusuri sungaikecil. Kaki pemuda itu seolah punya mata sehingga mampumelewati tempat-tempat sulit. Apalagi dalam keadaan gelapgulita seperti malam itu. Hanya sinar bintang yangmenerangi mereka Sesampai di batu ceper dia tidak

Page 46: 01-Pelangi Diatas Kurawan

menemukan gurunya di sana. "Wah, tidak ada Tuan.Biasanya guru ada di sini."

"Apa yang dilakukannya malam-malam begini di sini?"

"Guru memang sering berlaku aneh. Beliau punyakegemaran yang tidak jamak dimiliki orang lain. Biasanyadia duduk di sini, di atas akar pohon ini sambil memandangbulan yang berkaca di permukaan air sungai itu. Beliaukadangkala betah duduk di sini sampai menjelang pagi,Tuan."

"Ah, mengapa begitu? Mestinya gurumu lebih mapankarena sekarang usianya sudah agak lanjut."

"Saya hanya seorang murid, Tuan. Pengetahuan seorangmurid terbatas. Paling banter sebatas pinggang gurunya."

Mpu Hanggareksa memeriksa sekeliling batu ceper,tempat gelap dan remang. Bayang-bayang malam seakanmengintai setiap gerakannya. Dia jadi gamang, "Wah,kalau begitu di mana dia sekarang, Wirot? Apakah tidakada tempat lain, yang biasa dikunjungi KakangRanubhaya?"

Wirot tidak segera menjawab, ia lirik lelaki disebelahnya, lalu tersenyum, "Ada, Tuan. Ada. Tapi sudahhampir satu bulan ini beliau tidak mengunjungi tempat itu."

"Siapa tahu dia ada di sana?"

"Baiklah, mari ikut saya, Tuan. Mudah-mudahan sajaguru ada di sana."

Beberapa saat lamanya mereka berjalan. Tanpa suara.Hanya daun-daun kering dan semak yang terinjak terdengarnyaring di malam pekat itu. Sampailah mereka di sebuahpekarangan tidak terlalu luas. Tampak sebuah gubukmungil yang tertutup. Atapnya terbuat dari alang-alang.

Page 47: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Ada obor minyak jarak yang menyala di sisi kiri gubukdiletakkan di sebuah tiang bambu setinggi manusia. Obordari batang buluh bambu bersumbu kain tua. Nyala apinyamerah Jingga tak mampu menyibak kepekatan malam.

Wirot berhenti ketika melihat pintu gubuk tertutup rapat,"Sepertinya juga tidak ada, Tuan. Pintu gubuk sudahtertutup rapat."

"Gubuk jerami ini milik siapa, Wirot?"

"Milik beliau juga, Tuan. Saya yang membuat. Tempatini biasa dipergunakan Guru untuk menikmati mangkoktuaknya."

"Oh, begitu? Rupanya Kakang Ranubhaya sudah bergauldengan api dalam cawan itu."

"Kadangkala beliau mabok dan tertidur di atas tumpukansabut kelapa."

Mpu Hanggareksa memeriksa dan memperhatikantempat sederhana dan mengenaskan itu, "Kasihan KakangRanubhaya. Mungkin akhir-akhir ini dia banyak mendapatkesulitan dalam hidup."

"Hoh, rasanya tidak, Tuan." Wirot dengan cepatmenukas. "Beliau biasa-biasa saja. Hidupnya sangatsederhana. Yang jelas beliau tidak pernah memusingkanpersoalan-persoalan duniawi."

"Kalau tidak mengapa dia minum tuak?"

"Soal itu beliau pernah berkata pada saya, Tuan." Wirotlalu menghela napas dan menekuk batang lehernya,merunduk dan melirik Mpu Hanggareksa menirukanucapan gurunya, "Wirot. Aku tahu api ini panas. Bisamembakar hangus tubuhku, juga jiwaku. Tapi aku tidaktakut terbakar. Bukan karena aku putus asa. Di dalam

Page 48: 01-Pelangi Diatas Kurawan

cairan ini aku bisa menemukan Ranubhaya yangsesungguhnya. Bukankah seluruh isi dunia ini mabok? Danbukankah mabok itu ada banyak ragamnya? Mabokkekuasaan, mabok pangkat dan harta, mabok wanita,mabok gebyar dan gemerlapnya ketenaran! Nah! Akusengaja memilih mabok tuak saja, karena tidak berbahaya.Paling-paling aku sendiri yang akan mengalami bencana,dan bukan orang lain. Lagipula mabok tuak murahharganya. Hanya sepuluh beribil sudah bisa sampai ketujuan." Wirot pun tertawa panjang.

Mpu Hanggareksa manggut-manggut memperhatikanWirot, "Kakang Ranubhaya berkata begitu?"

"Betul, Tuan!" bahkan Wirot mengatakan jika hal sepertiitu sudah disampaikan gurunya lebih dari sepuluh kali.Setiap menikmati tuak, kata-kata itu selalu meluncur daribibirnya yang hitam mengeriput.

Mpu Hanggareksa menghela napas dalam-dalam,"pendapat seperti itu tidak benar. Aku tidak setuju. Tapi iniadalah hak setiap orang." Kembali Mpu Hanggareksamenghela napas dalam-dalam.

"Baiklah, sekarang ke mana lagi kita harus mencarinya,Wirot?"

Wirot berpikir keras, ke mana seharusnya mencarigurunya agar bisa ditemukan. Ia lalu menunjukkan tempatangker kepada Mpu Hanggareksa. Tapi ia tidak beranimengantarkan Mpu Hanggareksa sampai ke tempat yangdimaksud. Menurutnya tempat itu penuh hantu dan terletakdi belakang bukit Kurawan. Apalagi malam-malam gelap,jalanan tidak tampak dan semuanya mengerikan.

Mpu Hanggareksa tidak ciut hati. Ia harus bertemu MpuRanubhaya malam itu juga sehingga memaksa Wirot agar

Page 49: 01-Pelangi Diatas Kurawan

menunjukkan tempat rahasia di.balik bukit Kurawan itupadanya.

"Tuan terus saja menyusuri pematang sawah ini. Sampaidi sebuah pohon besar dan rindang, Tuan belok ke arahselatan. Selanjutnya Tuan bisa mengikuti jalan setapak diseputar pinggang bukit."

"Lalu di mana letaknya tempat yang biasa dikunjungiKakang Ranubhaya?"

"Tuan akan menemukan sebongkah batu yang sangatbesar yang bentuknya menyerupai payung raksasa. Nah, dibelakang sebongkah batu itulah biasanya guru saya berada.Tapi... harap Tuan berhati-hati. Saya khawatir hantubertopeng itu akan muncul malam ini."

Mpu Hanggareksa mendelik, dan mengerutkan dahimemperhatikan Wirot dengan saksama. "Hm... jadi kautakut hantu bertopeng, maka tidak mau mengantarkanaku?"

"Benar, Tuan. Hantu itu, menurut cerita guru saya,sangat kejam. Apalagi bagi orang yang belum dikenalnyadan baru pertama kali melewati daerahnya."

Mpu Hanggareksa tersenyum dan mengangguk-angguklembut, "Sudahlah. Kau boleh kembali, Wirot! Biar akutemui sendiri gurumu. Sekalian aku ingin berkenalandengan hantu yang kaukatakan itu." Mpu Hanggareksa lalumeraih obor di sudut rumah jerami. Ia bawa dan minta izinWirot dengan mengangkat obor di tangannya itu. "Obor inikubawa, Wirot!"

Wirot menjawab dengan anggukan. Dia berdiri kakumelihat Mpu Hanggareksa membalikkan badan tanpamenghiraukannya lagi Lelaki tua itu melangkah dengantenang dalam kegelapan di bawah cakrawala malam.

Page 50: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Apa yang dikatakan Wirot benar adanya. Tempat yangditunjukkan sungguh gelap sekali. Ia angkat tinggi-tinggiobor di tangan kanannya dan mencari jalan yang amanuntuk melangkahkan kakinya.

Tempat yang menyeramkan Gelap sekali, sekalipunmembawa obor, nyala terangnya tidak cukup untukmengalahkan kegelapan ujung malam yang benar-benarpekat di bawah kerimbunan pohon dan belukar.

"Untuk apa Kakang Ranubhaya pergi ke tempat sepertiini malam-malam begini?" Ia perhatikan sekeliling tempatitu. Benar-benar gelap. Lalu ia melangkah menuju pohonbesar di pinggang bukit Kurawan. Suasana makin gelap.Sesekali binatang-binatang kecil menyambar matanyahingga membuatnya makin rabun.

Melampaui pohon rindang, Mpu Hanggareksamemperhatikan sebongkah batu besar menyerupai payungraksasa. Ia terpaku, obor ia angkat tinggi-tinggi. Tak adagunanya, lalu ia matikan saja obor itu. Ia bersidekap,memanfaatkan aji Seipi Angin yang telah melambaritubuhnya. Kembali ia melangkah dan sesekali berhenti.

Ia membalikkan badan dan pohon raksasa itu membuatbulu kuduknya berdiri. Ia hela napas dalam-dalam; iamelangkah lagi sampai di depan batu payung. Ia pejamkanmata dan kembali membuka mata lebar-lebar. Sungguh iaterpana, kagum menyaksikan suasana malam ganjil.Matanya seperti terbuka terang, seperti tersihir saat sejenakmenyaksikan pemandangan malam di bawah dan sekelilingtempat itu. Sudut Kurawan di malam hari. Ada sesuatuberbalut misteri. Bukit Kurawan seperti gajah berbaring,diam dan bisu. Relung-relung lembah tampak sebagaicekungan-cekungan gelap dan hitam seperti sarang jin setanprayangan Tumbuh-tumbuhan besar kecil bagaikan

Page 51: 01-Pelangi Diatas Kurawan

makhluk-makhluk aneh yang diam bagai arca. Mengerikandan menyeramkan.

Akar gantung pohon besar itu menjulur di sana-siniseperti makhluk berbelalai. Kepak kelelewar dan decitburung hantu sesekali memecah kesunyian. Seranggamalam juga semakin banyak menerjang wajahnya hinggaberkali-kali terpaksa Mpu Hanggareksa mengusapwajahnya.

Mpu Hanggareksa melangkah. Namun, kaki kanannyamenggantung di udara ketika tiba-tiba ia mendengarkerosak suara ganjil. Mpu Hanggareksa memperhatikan kedalam gelap. Ia menajamkan pandangannya dan dilihatnyakelebat bayangan hitam menyelinap ke dalam semak takjauh dari tempatnya berdiri. Ia semakin waspada,jantungnya sedikit berdebar sebab ucapan Wirot untukkesekian kalinya harus dibenarkan bahwa daerah sekitar ituangker dan mengerikan. Namun, dengan indera yang telahterlatih, akhirnya ia menggeram menahan marah. "Kurangajar. Siapa kau!"

Hening, sepi, senyap sekali. Bayangan hitam itu tidakmenjawab pertanyaan Mpu Hanggareksa, bahkan sempatmengejutkannya dengan lompatan menerjang danmenyerangnya. Dengan bekal olah kanuragannya MpuHanggareksa terpaksa menggebrak dan merenggutbayangan hitam itu. Hanya dengan dua gebrakan ia berhasilmengunci penyerangnya, namun begitu gesit bayanganhitam itu mampu melepaskan diri dari renggutannya.

"Jawab pertanyaanku. Kaukah hantu yang menunggutempat ini, heh? Jawab!"

Tak ada jawaban, bahkan bayangan hitam itu melesatdan menyerangnya lagi. Dengan sikutan ringan, bayanganhitam itu jatuh ke tanah. Mpu Hanggareksa tak membuang-

Page 52: 01-Pelangi Diatas Kurawan

buang waktu lagi. Ia menyergap hantu gadungan tersebut.Dijepitnya orang itu dengan tangan kirinya hinggaterengah-engah menahan sakit. Diseretnya hantu gadunganbertopeng kulit kambing putih itu menuju tempat yang agakterang, lalu ia sibakkan topengnya.

"Kurang ajar!" Mpu Hanggareksa terengah menahanamarah. Diempaskan hantu gadungan itu.

"Bukankah kau Wirot?"

dw

Wirot tersungkur dan bersimpuh di hadapan MpuHanggareksa. Napasnya terengah dan terdengar rintihannyamenahan sakit. Ia tak berani memandang tatapan mataMpu Hanggareksa sekalipun dalam gelap dan hanyaditerangi gemintang

"Untung aku tidak bertindak terlalu keras padamu,Wirot! Apa maksudmu bermain hantu-hantuan begini?"Mpu Hanggareksa geram menahan amarah.

Wirot gemetaran, bibirnya meliuk-liuk sebelum akhirnyamenjawab, "Eh, maaf, Tuan, saya ditugaskan oleh Guruuntuk menjaga tempat ini selama Guru berada di dalamsanggar pamujan," jawab Wirot dengan nada cemasketakutan.

"Ooo, begitu. Jadi, Kakang Ranubhaya sekarang sedangsemadi? Nah, biarkan aku menemuinya!" kata MpuHanggareksa menurunkan nada bicaranya. Bagaimanapunjuga ia memahami tingkah Wirot karena menanggungbeban berat dari gurunya. Menjaga agar orang lain tidakmengganggu semadinya di sanggar pamujan.

Page 53: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Sekalipun begitu Wirot masih gemetar danmenghaturkan sembah sambil memohon, "oh, jangan,Tuan. Beliau tidak bersedia menerima siapa pun kalausedang semadi."

"Aku ini sahabatnya. Masa dia menolak kehadiranku?"

"Sungguh, Tuan. Guru berpesan agar tidak diganggu.Saya pun tidak berani memasuki sanggar kalau beliausedang duduk bersila. Guru bisa marah sekali!" tukas Wirotdengan nada memohon.

"Masa dia akan marah juga padaku, Wirot? Kami sudahlama tidak berjumpa. Kukira dia akan mau menerimakehadiranku. Sudahlah, kau pulang saja. Aku akanmenemui Kakang Ranubhaya sekarang!"

"Jangan, Tuan, jangan! Nanti saya yang kena marahGuru. Tunggu, Tuan. Tuan jangan pergi ke sana!" cegahWirot ketika Mpu Hanggareksa memaksa malangkahmenuju tempat pemujaan. Namun, kata-kata Wirotdianggap angin lalu saja, bahkan Wirot tak berdaya apa-apaketika tubuh Mpu Hanggareksa lenyap begitu saja daripandang matanya. Melesat, lenyap ditelan kegelapanmalam.

Burung malam sesekali menyenandungkan suaranyamemecah keheningan Mpu Hanggareksa telah sampai didekat sebuah batu payung. Berdiri termangu, mengangguk-angguk sambil menghela napas dalam-dalam sebelumakhirnya bicara seorang diri,

"Hmm...rupanya inilah batu besar yang menyerupaipayung raksasa, seperti yang dikatakan Wirot. Lalu di manaletak sanggar pamujan itu? Ahh, barangkali di balik batuini." Mpu Hanggareksa lalu melangkah perlahan-lahan hati-hati sekali memasuki bawah batu payung yang berupa gua

Page 54: 01-Pelangi Diatas Kurawan

batu. Terdengar tetes-tetes air yang jatuh dari stalagmitlangit-langit gua.

"Ahh, tempat ini sungguh menyeramkan, tapi sangatcocok untuk berlatih memusatkan pikiran. Nah, itu rupanyaKakang Ranubhaya. Khidmat sekali duduknya. Baiklah.Aku akan membangunkannya dari semadinya."

Mpu Hanggareksa melangkah mendekati MpuRanubhaya yang duduk tak jauh di depannya di lantai gua.

"Kakang! Kakang Ranubhaya! Kakang! Ini aku yangdatang. Hanggareksa, adik seperguruanmu."

Namun, tanpa diduga sebelumnya tiba-tiba MpuRanubhaya melesat, melayang bagaikan terbang menerjangke arah Mpu Hanggareksa hingga terjadilah benturan yangcukup dahsyat.

"Kakang! Sabar. Ini Hanggareksa yang datang. Oh,Kakang Ranubhaya, tunggu!"

Mpu Hanggareksa memohon agar Mpu Ranubhayamenghentikan serangannya. Mata Mpu Ranubhaya berapi-api. Ia menahan amarah karena semadinya terganggu olehtamu yang tak diundangnya.

"Apa kau manusia atau setan gentayangan yang sukamengganggu dan menggoda orang yang duduk bersila?"bentak Mpu Ranubhaya penuh amarah.

"Aku Hanggareksa, Kakang!"

"Bukan nama yang kutanyakan. Tapi sikapmu yang tidakberadab itulah yang kusesalkan!" Mpu Ranubhayamenggertakkan gigi.

"Ehh, maafkan aku, Kakang Ranubahaya. Aku adakeperluan yang sangat penting denganmu."

"Keperluan apa?" suara Ranubhaya agak menurun.

Page 55: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Nanti akan kujelaskan sebaik-baiknya," jawab MpuHanggareksa bersabar.

"Kau telah mengganggu aku, seperti setan gentayangansaja." Mpu Ranubhaya menghela napas dan menelankekesalannya pada adik seperguruannya. Hatinya tergetarjuga ketika melihat tatap mata sendu Hanggareksa di dalamgelap. Lalu ia undur beberapa langkah serayamempersilakannya duduk.

"Duduklah!"

"Terima kasih, Kakang!" Hanggareksa pun duduk bersiladi depan Mpu Ranubhaya yang juga bersila Tubuh merekaagak condong ke depan sambil menekan perasaan masing-masing. Suasana gelap gulita, sesekali cericit kelelawar dankepak sayapnya memecah kesunyian di dalam gua tersebut.

"Menurut pendapatku, ini kesempatan yang sangatberharga. Untukku dan juga untuk Kakang Ranubhaya.Prasasti Camunda adalah cerminan kebijaksanaan raja kitasekarang ini." Mpu Hanggareksa memulai percakapannyadengan sesekali tubuhnya dicondongkan ke depan ke arahMpu Ranubhaya.

"Maksudmu, aku kausuruh mengabdi padaKertanegara?" tanya Mpu Ranubhaya keras hati.

"Kita bekerja sama untuk membangun negeri ini,Kakang."

"Tidak! Aku tidak akan berkhianat pada bisikan hatinuraniku," ucap Mpu Ranubhaya masih dengan kekerasanhati.

"Pendirianmu itu tidak mempunyai dasar berpijak yangjelas, Kakang!" tukas Mpu Hanggareksa.

Page 56: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Hanggareksa! Kalau selama ini aku mau bekerja samamembantumu menciptakan senjata pusaka, sama sekali itubukan karena Kertanegara. Itu kulakukan hanyalah demipersaudaraan kita Kau adik seperguruanku. Dan aku ingatkata-kata Guru sebelum wafat, bahwa kita hendaknyabekerja bahu-membahu."

"Amanat Guru memang patut kita pelihara danlaksanakan dalam kehidupan kita. Lalu mengapa KakangRanubhaya sekarang berubah?"

"Karena kau pun kulihat semakin hari semakin berubah!"tukas Mpu Ranubhaya sengit dan tak mau kalah.

"Ahh, tidak. Aku masih Hanggareksa yang dulu."

"Wujud lahirmu memang tidak berubah. Tapi kehidupanbatinmu yang mulai menyimpang, Hanggareksa. Kau mulaigila kehormatan, gila kedudukan dan harta. Kau mabukkehidupan mewah dan serba gemerlap. Itulah sebabnya kaukelihatan gembira dan bangga mendapat undangan resmidari Kertanegara," Mpu Ranubhaya mendengus.

"Kukira kita pantas merasa bangga, jika mendapatperhatian secara khusus dari Raja," kata Mpu Hanggareksa.

"Tidak semua orang!" Keras dan menyakitkan telingaucapan Mpu Ranubhaya.

Mpu Hanggareksa masih bersabar, katanya, "Ya.Barangkali mereka yang tinggi hati, tidak!"

"Hanggareksa. Ada dua hal penting yang membuat akutak mau membuat senjata pusaka untuk Kertanegara.Pertama, karena Kertanegara adalah keturunan Ken Arok.Kedua, karena aku tak ingin lagi melihat karyaku dilumuridarah ribuan manusia tak berdosa. Ingat itu baik-baik,Hanggareksa!"

Page 57: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Perasaanmu terlalu halus, Kakang Ranubhaya Kaupandai dan berbakat sekali menciptakan senjata pusaka Kauadalah murid paling berbakat di antara kami, tiga serangkaisaudara seperguruan. Tapi sayang sekali watakmu terlalukeras dan mudah patah."

"Aku tak mau dipaksa melakukan sesuatu yang takkuinginkan," tukas Mpu Ranubhaya tinggi dan keras hati.

"Sekalipun itu untuk keberhasilan, untuk mengabdi padanegara dan orang banyak?"

"Hanggareksa! Ukuran keberhasilan bagi orang yang satudan yang lain tidak sama. Demikian pula cara mengabdipada negara dan masyarakat, masing-masing orang punyagayanya sendiri."

Hening. Bisu. Keduanya terdiam. Hanya tetes-tetes airdari langit-langit gua yang menilai, berbicara danberkhotbah pada keduanya, bahwa sunyi dan sepilah yangmampu menenggelamkan gelora hati dan jiwa manusiaagar manusia lebih menguasai diri untuk mendapatkan be-ningnya perasaan. Pemahaman bahwa masing-masingmemiliki kelebihan dan kekurangan yang tak mungkindipungkiri.

"Hmmm! Jadi, aku telah gagal datang kemari!" gumamHanggareksa terimpit nada sesal yang tak tulus.

"Kau telah gagal sebelum keluar dari pintu rumahmu,Hanggareksa!" Mpu Ranubhaya menukas.

"Baiklah. Aku akan datang sendiri ke istana untukmemenuhi undangan Sang Prabu Tapi kalau misalnyaKakang Ranubhaya berubah pikiran, datanglah besok kerumahku Kita berangkat bersama-sama ke Singasari untukmemperoleh penghargaan dari istana."

Page 58: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Berangkatlah sendiri saja, Hanggareksa. Janganmemikirkan diriku. Kita berbeda jalan." Mpu Ranubhayabersiteguh dengan pendirian yang kokoh bagai batu karang.Ia tak mungkin mengkhianati hati nurani yang hakiki, takakan mengabdi ke Singasari.

Malam itu juga Mpu Hanggareksa kembali dengan hatikecewa bercampur rasa kebencian terhadap kakakseperguruannya. Mpu Hanggareksa merasa benar danberkali-kali dalam hatinya menyalahkan Mpu Ranubhayayang dianggapnya menyia-nyiakan kesempatan emas.

Pagi hari ketika matahari belum begitu tinggi, MpuHanggareksa memanggil kedua putranya agar menghadap.Kedua putranya yang tampan dan gagah itu sangatdikasihinya.

"Ayah memanggil kami berdua?" tanya Arya Dwipanggaketika sudah berdiri bersama Arya Kamandanu di depanayahnya.

"Dwipangga dan kau, Kamandanu, aku akan pergi keSingasari bersama tuan-tuan ini Selama aku pergi kalianharus menjaga rumah Tak boleh ke mana-mana!"

"Baik, Ayah!" jawab mereka.

"Sebelum aku kembali kalian jangan pergi jauh-jauh "

"Baik, Ayah,"jawab keduanya sambil saling melirik.

Mpu Hanggareksa memandang ketiga utusan dari istanaseraya berkata, "Bagaimana, Tuan Pranaraja ? Kitaberangkat sekarang?"

"Begitu lebih baik, Tuan Hanggareksa. Kita bisa segeratiba di Singasari," jawab Pranaraja.

Mereka segera berkemas-kemas menyiapkan semuaperbekalan yang diperlukan dalam perjalanan. Setelah

Page 59: 01-Pelangi Diatas Kurawan

menaikkan perbekalan ke atas punggung kuda, mereka punsegera naik ke atas kuda, meninggalkan desa Kurawanmengikuti jalan yang kemarin. Pranaraja yangmengendalikan kuda paling depan mengurangi kecepatankudanya dengan menekankan kedua lututnya pada tubuhkuda serta menarik kekangnya ketika sampai di tempatmereka dihadang oleh perampok. Kudanya meringkiknyaring. Angin mendesau hingga gemerisik dedaunanterdengar riuh berderai

"Nah, di sinilah kami dicegat dua perampok itu, Tuan!Lihat saja, pohon itu masih melintang di tengah jalan," kataPranaraja. Sambil menunjuk pada dua pohon yangmelintang di jalan. Kuda-kuda mereka berjalan beriringan.Pranaraja kemudian menceritakan para perampok itudengan panjang lebar, ditimpali Jarawaha dan Ganggadara.

Sepanjang perjalanan ia juga bercerita tentang usahapemberontakan para pembesar Singasari yang dipecat darikedudukannya, Raja Gelang-Gelang yang dicurigaiLembusora mendalangi kerusuhan, serta berbagaipermasalahan negara yang bisa diatasi pemerintah Singasaridengan baik.

"Kita tidak usah khawatir karena pemerintah Singasariselalu waspada," kata Pranaraja memandang MpuHanggareksa sambil tersenyum bangga

Mpu Hanggareksa membalas dengan mengangguk-anggukkan kepala.

Pranaraja masih tersenyum, lalu berkata, "Baiklah. Marikita teruskan perjalanan, Tuan. Saya kira kita tak perlumenginap di Jasun Wungkal. Kita bisa terus berkudasampai Rabut Carat dan menginap di sana."

Pranaraja menyentakkan kendali kudanya hingga kudaitu pun menegakkan kepalanya lalu meringkik dan

Page 60: 01-Pelangi Diatas Kurawan

menghentakkan kakinya mendahului yang lain. Keempatekor kuda itu berlari dahulu-mendahului. Semakin jauh dansemakin lenyap dari pandangan mata meninggalkankepulan debu-debu beterbangan.

dw

Di tempat tinggal Mpu Hanggareksa, kedua putranyasedang duduk di barak-barak. Tampak Arya Dwipanggatersenyum-senyum sambil menyimak goresan-goresansyairnya yang tertera di rontal. Arya Kamandanu sedikitpun tak memperhatikan keasyikan kakaknya. Baru setelahDwipangga merasa puas dengan apa yang diamatinya, iamencolek lengan Kamandanu, "Tolong kausimak dandengarkan syairku ini, Adi Kamandanu. Aku inginmembacanya."

Kamandanu menoleh sebentar, memperhatikan AryaDwipangga yang menghela napas dalam-dalam. Wajahnyakelihatan semakin serius.

Bibir Dwipangga meliuk-liuk dan bergetar halus saatmemulai membaca:

Pelangi muncul di atas Kurawan Warnanya indah bukanbuatan Seorang gadis ternganga keheranan Rambutnyatergerai jatuh ke pangkuan'

Arya Dwipangga menghempaskan napas sambiltersenyum dan tetap memperhatikan bait-bait syairnya yangtelah dibaca. Kemudian ia memandang adiknya serayaberkata lirih, "Unik. Kudapatkan suatu falsafah cinta didalamnya. Bagaimana pendapatmu tentang syairku ini, AdiKamandanu? Bagus tidak?"

"Aku tidak tahu syair," jawab Kamandanu datar.

Page 61: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Kau bisa menilai kata-katanya."

"Kalau tidak salah, syairmu tadi bicara tentang seorangwanita," ucap Kamandanu setelah menghela napas danberpikir sejenak sambil mengingat-ingat syair Dwipangga

Arya Dwipangga tersenyum seraya berkata, "Ya.Wanita. Wanita bagiku adalah sumber ilham untuk berbuatsesuatu. Tanpa wanita dunia ini akan terasa sepertisamudera tanpa gelombang. Nah, aku mempunyai satu baitlagi Coba dengarkan

Bulan tersembul di sela-sela rumput Terdengar rengekbocah minta susu Angin membelai daun-daunan Danmalam terasa semakin sunyi!

"Syairmu yang ini agak lain, Kakang. Rintihan panjangsekali, hemmh, rintihan panjang!" komentar Kamandanucepat ketika Arya Dwipangga membaca syair itu penuhperasaan dan dengan tekanan-tekanan kata menggetarkanjiwa.

"Ya. Dan rintihan itu akan semakin panjang bila kitaditinggal pergi lama oleh kekasih yang kita cintai."Dwipangga diam sejenak, memandang Kamandanu lekat-lekat seolah menyelidik.

"Kau sudah pernah jatuh cinta, Adi Kamandanu?"tanyanya lirih.

"Ehh, hmm... belum!" jawab Kamandanu gugup danwajahnya kelihatan memerah.

Dwipangga membuang muka, memandang cakrawalasambil menyunggingkan senyum penuh arti serayabergumam nyaris tak terdengar oleh telinga adiknya,"Aneh!" Lalu kembali ia memandang adiknya dan berkata,"Tapi kuperhatikan sekarang kau berubah? Tidak seperti

Page 62: 01-Pelangi Diatas Kurawan

dulu. Kau banyak menyendiri dan kurang menyukaikeramaian."

"Ahh, itu sudah menjadi sifatku. Kakang Dwipanggasaja kurang jeli, hingga baru melihat sekarang," tukasKamandanu.

"Jangan begitu. Kau takut aku merebut gadismu?"

"Aku tidak punya gadis," jawab Kamandanu agak ragu-ragu.

"Kau ini aneh, Kamandanu. Sepertinya kau tidakmempunyai kegairahan apa-apa." Dwipangga melihatroman muka adiknya berubah, seolah-olah tidak sukadiajak bicara mengenai seorang gadis. Ia mengalihkanpembicaraannya.

"Kau punya cita-cita dalam hidup ini?"

"Entahlah!" jawab Kamandanu masih datar Tak sedapdidengar Dwipangga. Dwipangga mengerutkan dahinyalalu berusaha sedikit bijaksana. Ia mengangguk-anggukbersabar.

"Kau harus banyak membaca buku ilmu pengetahuan.Belajarlah menekuni sastra, pasti suatu saat kau akanbangkit dan merasa alangkah indahnya hidup ini."

"Aku merasa tidak punya bakat di bidang seni sastra,"jawab Arya Kamandanu masih acuh tak acuh.

"Almarhum Ibu adalah penulis sastra yang diakui olehpemerintah Singasari di zaman Prabu Ranggawuni. Banyaktulisan beliau dipuji oleh kalangan istana. Bahkan Ibupernah mendapat tanda penghargaan."

Tiba-tiba Arya Kamandanu mencabut pedang yangtergantung di dinding kamar kakaknya. Menimangnyasambil memandanginya penuh cinta. Ia tersenyum seraya

Page 63: 01-Pelangi Diatas Kurawan

berkata, "Bukankah pedang ini pemberian Ayah dulu,Kakang?"

"Ya. Pedang hadiah Ayah pada saat ulang tahunku yangkedelapan belas dulu "

"Sepertinya kau tidak pernah menyentuh pedang ini!"

"Aku tidak membutuhkan benda itu, Kamandanu. Makakubiarkan saja tergantung di sini."

"Kau tidak tertarik sama sekali pada benda pusaka?"tanya Kamandanu. Kakaknya tersenyum, bahkan menahantawa hingga kedua pundaknya bergerak-gerak.

"Benda pusaka tidak bisa menaklukkan hati seorangwanita. Dengan pedang di tanganmu seperti itu, kau sepertiseorang pendekar pilih tanding, Kamandanu!" kata AryaDwipangga, sungguh-sungguh memperhatikan AryaKamandanu yang memegang gagang pedang dengancengkeraman yang sangat kukuh. Rahangnya menonjolpenuh otot. Otot lengannya juga sangat kuat. AryaKamandanu menghela napas, dadanya mengembangdengan indah. Lalu katanya, "Aku pun tidak tertarik padabenda semacam ini."

"Kata Ayah, kau mempunyai bakat seorang pendekar."

"Ayah hanya ingin membesarkan hatiku, Kakang!"jawab Kamandanu seraya menyarungkan pedang danmengembalikan pada tempatnya semula. "Aku merasabelum menemukan apa yang kucari," sambungnya lirih.

"Kamandanu, Bibi Rongkot tadi mencarimu. Sepertinyaada yang hendak dikatakannya padamu," Arya Dwipanggamengalihkan pembicaraan setelah ingat pesan Bibi Rongkotyang tadi mencari adiknya. Tetapi Kamandanu hanya ter-senyum. Hambar sekali, bahkan sangat dingin tatapanpemuda itu. Tampaknya sangat resah dan penuh beban.

Page 64: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Ada yang dipikirkannya, tetapi ia tidak terus terang. Ia takmau persoalan pribadinya diketahui orang lain, sekalipunitu Ayah atau Dwipangga kakaknya.

"Kau harus menemui Bibi Rongkot, Adi Kamandanu,"Dwipangga kembali mengingatkan adiknya yang linglung didepannya.

"Ya, nanti aku akan menemuinya!" jawabnya enteng.

"Aku tahu, apa yang sedang kaupikirkan, AdiKamandanu!" pancing Dwipangga, ingin sekali agarKamandanu mau berbagi rasa dengannya.

"Oh, ya?"

"Kau sedang jatuh cinta!"

"Hemh, heheheheh. Kakang senang bergurau. Untuk apamemikirkan masalah itu. Apakah tak ada yang dipikirkan.Lagi pula aku belum memikirkan masalah yang kurangmenarik," jawabnya sekenanya dan terdengar dimantap-mantapkan.

"Kakakmu, waktu jatuh cinta pertama kali, juga sepertikau saat ini. Suka menyepi, menyendiri, dan cengar-cengirsendiri.

Tidak memperhatikan orang yang mengajaknya bicara.Bahkan bicara pun tak terkontrol. Berbuat ini salah, berbuatitu salah, dan memang serba salah. Pura-pura meyakinkanorang lain dengan membohongi hati dan diri sendiri."

"Kakang saja beranggapan begitu. Apakah Kakang tidakpernah memperhatikan diriku sebelum ini? Heh, lucu! Sejakkecil memang aku pendiam. Lebih-lebih setelah Ibu tiada."

"Bukan, bukan itu... masalahnya lain, Adi Kamandanu.Pendiam karena sifatmu, dibandingkan dengan diam,

Page 65: 01-Pelangi Diatas Kurawan

berdiam diri oleh sesuatu hal jelas bedanya. Dan kau tentuperlu ingat, bahwa aku telah mengalaminya lebih dulu!"

"Kakang Dwipangga tak usah menebak-nebak. Kalaubetul sih tak masalah, kalau kurang tepat?" tangkisKamandanu.

"Seorang pecinta kata-kata akan lebih jeli pandanganserta perasaannya. Ia dikaruniai Hyang Widhi kepekaanyang luar biasa. Darah dan bakat Ibu amat kuat merasukdalam hidupku, Adi Kamandanu. Boleh kau menutup diripadaku, tetapi ada sebuah sajak yang pernah kubaca danaku tak melupakannya. Begini syair itu,

Jika kau jatuh cinta, ikutilah ke mana hatimu pergi, agarcintamu mengalir bagaikan air kali.

Arya Kamandanu acuh tak acuh lalu meninggalkankakaknya yang terkekeh sendiri karena menganggap ulahadiknya kekanak-kanakan.

dw

Arya Kamandanu segera menemui Bibi Rongkot,perempuan tua yang mengasuhnya sejak kecil. BibiRongkot menyampaikan salam dari seorang gadis desaManguntur. Ia harus menemui gadis itu di suatu tempat.

Dengan acuh tak acuh Kamandanu menerima salam itu,lalu ia pergi tanpa pamit pada Bibi Rongkot yang meng-geleng-gelengkan kepala, menatap keper-giannya.

"Huuh, anak muda di mana-mana sama. Kalau sedangjatuh cinta menjadi kalang kabut dan lupa segalanya,"gerutunya sambil mengurut dada.

Arya Kamandanu terus melangkah menyusuri tepiandesa Kurawan, melintasi semak-semak belukar, lalu

Page 66: 01-Pelangi Diatas Kurawan

melangkah di jalan setapak yang biasa dilaluinya jika inginbertemu dengan pujaan hatinya.

Angin mendesau menerpa wajahnya. Ia berdiri tegaksambil melayangkan pandang ke segala penjuru. Lalumelangkah lagi sampai akhirnya tiba di padang ilalang yangputih lembut tampak indah berkilau-kilau ditimpa cahayamatahari senja. Bergerak-gerak, menari-nari seiring iramahembusan angin. Tebaran bau harum menyapa penciumanArya Kamandanu yang linglung seorang diri karena takmendapatkan pujaan hatinya di tempat itu.

"Ohh, Bibi telah menipu aku." Arya Kamandanumenghela napas. Tatap matanya tajam menyapupermukaan padang ilalang.

Di kejauhan tampak Candi Walandit berdiri denganmegahnya bermahkotakan matahari senja yang kuningkeemasan di langit perak tembaga. Awan-awanbergelombang tampak warna-warni. Berkali-kali AryaKamandanu menghela napas. Resah dan gelisah. Iatersenyum sendiri, kemudian melangkah lagi sambilmenggeleng-gelengkan kepala seraya bergumam, "NariRatih. Putri Rekyan Wuru itu memang cantik sekali. Sudahtiga purnama lamanya kami bergaul dan bertemu di tepipadang ilalang ini. Tapi, entahlah, mungkinkah diamencintaiku?" Arya Kamandanu menghempaskannapasnya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.Tersenyum sendiri.

Di cakrawala langit, di pucuk bunga ilalang, di bingkaimatahari, seiring desau angin senja, semuanya seolah-olahmenyenandungkan nama indah itu, menyapa dan berbisikdi telinga sanubarinya. Ia selalu membayangkan gadis itu."Ahh, masa Bibi Rongkot berdusta. Dia tidak pernahmendustaiku "

Page 67: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Arya Kamandanu terkejut ketika melihat sesuatu bendadi dekat kakinya.

"Hei? Apa ini?" pekiknya seiring jantung yangmembuncah dalam rongga dadanya. Ia membungkukmemungut sesuatu. Diamatinya benda itu dengan dahiberanyam kerutan. Diciumnya benda itu. Harum. Bauminyak gaharu.

"Sepertinya aku kenal benda ini. Tusuk konde yang biasadikenakan Nari Ratih, untuk mengancing konde rambutnyayang hitam dan panjang. Tapi mengapa tusuk konde initergeletak di sela-sela rumpun ilalang? Ahh, jangan-jangantelah terjadi sesuatu atas diri gadis itu!" Arya Kamandanubertanya-tanya dalam hatinya. Jantungnya semakinberdebar-debar tak karuan Rasa cemas, khawatir, risaumenyelimuti ujung-ujung sarafnya. Dadanya turun-naik.Napasnya kian memburu. Ia pun menajamkan pancainderanya. Kemudian menimang-nimang tusuk konde itu.

"Hemhh, aku harus mencarinya!" gumannya serayamelangkah mengikuti belukar ilalang rebah.

"Semak belukar ini kusut, seperti bekas dilewati orangdengan semena-mena. Ohh, ada seuntai kembang melatiberserakan di sini. Nari Ratih juga sering mengenakankembang melati untuk menghias rambutnya."

Arya Kamandanu tak henti berpikir. Pandangannyaterangkat dengan dengusan napas seolah sesak dan amatberat. Kemudian ia layangkan pandangan matanya jauh kedepan.

"Hemhh? Kalau tidak salah, di depan itu ada bangunankuno, Candi Walandit. Jangan-jangan Nari Ratih ada disana!" gumamnya tanpa melepaskan pandangannya keCandi Walandit yang telah disapa temaram senja. AryaKamandanu segera melangkah menuju bangunan kuno itu.

Page 68: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Senja itu, suasana sangat sunyi di sekitar CandiWalandit.Belum lagi Kamandanu menginjakkan kakinya dihalaman Candi Walandit, sayup-sayup sampai terdengarisak tangis seorang perempuan Ia pun berjingkat, hati-hatimendekati halaman candi.

Sementara itu di dalam candi, seorang gadis cantikterduduk dengan bersimbah air mata. Kain gadis itu sedikittersingkap hingga tampak betisnya yang kuning langsat. Didepannya berdiri seorang pemuda gagah yang hanyakelihatan punggungnya, sedang memegang pergelangantangan kiri gadis itu.

"Aku ingin membahagiakanmu, Ratih," kata pemuda itugemetar menahan emosi. Ditatapnya gadis itu lekat-lekatseolah ingin menerkamnya.

Di sela isak tangisnya, gadis itu berusaha menyadarkan sipemuda. "Bagaimana kau bisa membahagiakan aku?"

"Aku, Dangdi, anak Kepala Desa Manguntur. Akupunya harapan hidup serba kecukupan, karena orang tuakucukup kaya. Kalau kau mau menjadi istriku, kau akansenang dan bahagia."

"Tidak, aku tidak mau."

"Ratih. Banyak gadis lain yang mendambakan menjadiistriku. Mereka juga cantik dan bahkan ada yang anakorang terpandang. Akil bisa memilih salah satu di antaramereka "

"Kalau begitu pilih saja. Apa susahnya? Mengapa kaumasih mengganggu aku?"

"Yah, itulah. Walaupun gadis-gadis itu cantik, tapi NariRatih, anak Rekyan Wuru, jauh lebih cantik. Karena ituaku memilih kau, Ratih. Aku berjanji akan menjadi seorangsuami yang baik, kau tidak akan menyesal. Percayalah."

Page 69: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Dangdi, kau tidak perlu berjanji apa-apa, karena akutidak bersedia menjadi istrimu."

"Ratih! Kau jangan membuat hatiku panas."

"Tentu saja hatimu panas, karena kau menginginkanyang tidak-tidak."

"Ratih, aku sudah lama sekali mengenalmu. Sejak kaumasih kecil sampai sekarang menjadi kembang desaManguntur. Apa kau tidak pernah merasakan getaranperasaanku, Ratih?" nada suara Dangdi menurun danmencoba bersabar.

"Dangdi. Sejak dulu kita bersahabat Dan sampaisekarang pun masih tetap bersahabat. Jangan kaukotoripersahabatan kita dengan perbuatanmu seperti ini!"

"Aku ingin hubungan kita lebih dari sekadarpersahabatan."

"Tidak bisa. Aku tidak bisa meluluskan permintaanmuitu, Dangdi. Lebih baik kau segera berpaling pada gadislain," kukuh dan ketus sekali gadis itu menjawab desakanpemuda yang semakin tak sabar itu.

Dalam hatinya Dangdi semakin menggelegak perasaankesal dan cemburu. Giginya gemeretak. Rahangnya tampakmenonjol kukuh. Tatap matanya getir dan bola matanyaberkaca-kaca, membuat pandangannya sedikit berkunang-kunang. Wajah cantik yang memberengut di depannyasemakin memudar, pegangan tangannya semakinmengendur hingga kesempatan bagus itu tak disia-siakanoleh gadis itu. Ia tepiskan tangan pemuda itu, bangkit danberusaha melepaskan diri dari kurungan tangan pemuda itudengan dinding candi. Namun, tindakannya itu membuatpemuda itu bertambah nekat. Direngkuhnya tubuh gadisitu. Pinggangnya dikunci dengan kedua tangannya Tatapan

Page 70: 01-Pelangi Diatas Kurawan

mata pemuda itu berapi-api, detak jantungnyamenggemuruh antara marah, cinta, benci, sayang, danmenggelegaknya hawa nafsu. Gadis itu meronta danberusaha keras melepaskan diri sambil memukul-mukulperut dan dada pemuda itu. Namun, pemuda itu tetapberdiri kukuh. Tersenyum penuh kemenangan sambilmemperkuat jalinan jemari kedua tangannya yangmengunci dan memeluk pinggang ramping gadis itu.Semakin gencar gadis itu memukuli dada pemuda itudengan kedua tangannya. Tetapi ia tak mungkin dilepaskanoleh pemuda tampan yang merasa kecewa sebab ditolakcintanya. Pemuda gagah berotot itu mencibir dantersenyum sinis pada gadis di depannya. Gadis itumelengos.

"Bwaahh! Semua menjadi rusak gara-gara anak tukangmembuat senjata itu. Sejak kehadiran Kamandanu sikapmupadaku berubah," rutuknya setelah gadis jelita dalamdekapannya kehabisan tenaga memukulinya.

"Arya Kamandanu seorang pemuda yang baik. Aku akanmenerima dan bersahabat dengan siapa saja yang hatinyamulia," tukas gadis itu tanpa memandang wajah pemudayang berwatak kasar itu

Pemuda itu bisa merasakan hangat dengus dan desahnapas gadis di depannya. Perasaannya sudah tak karuan.

"Jadi, kau mencintainya, Ratih?"

"Itu rahasia pribadiku Kau tidak berhak mengetahuinya.Kau tak perlu ikut campur "

"Huuh. Apa kelebihan Kamandanu? Aku yakin, kautidak akan bahagia hidup bersamanya. Kamandanu hanyaanak seorang tukang besi."

Page 71: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Dangdi, mengapa kau ikut campur urusan kebahagiaanseseorang? Harta benda, pangkat, dan kedudukan seseorangtidak menjamin kebahagiaan."

"Rupanya kau sudah termakan rayuan pemuda Kurawanitu, ya?"

"Itu pun bukan urusanmu!" tukas gadis itu cepat. Iaberusaha melepaskan diri dengan mencakar lengan pemudayang merengkuhnya Namun hal itu tak membuat jerapemuda nekat yang sudah tergila-gila itu.

"Jadi, kau tetap menolak cintaku, Ratih?"

"Dengan cara halus pun kau tak bisa menarik hatiku,apalagi dengan cara kasar"

Dangdi semakin geram, nyaris lenyap kesadarannyahingga suaranya terdengar parau. Matanya membara,penuh ancaman pada gadis jelita yang makin tak berkutikdalam rengkuhan-nya.

"Dengar, Nari Ratih. Tak ada seorang pun di bangunantua ini kecuali kita berdua. Kalau sampai aku berbuat kasarpadamu, tak akan ada yang tahu."

"Dangdi, tak kuduga anak seorang kepala desa sekotoritu perangainya. Ingat, kau harus membawa nama baikorang tuamu."

Ada nada ketakutan tercekat di tenggorokan gadis itu.

"Persetan! Kau jangan menasihati aku. Lebih baik kaumenerima ajakanku ini dengan sukarela. Sebab kalautidak...!" Pemuda itu tak melanjutkan kata-katanya. Tatapmatanya kotor pada gadis cantik yang tak berkutik bagaikelinci dalam cengkeraman serigala.

Gadis itu bertambah ketakutan. Sesekali ia mencuripandang kemudian melengos kembali karena pemuda itu

Page 72: 01-Pelangi Diatas Kurawan

terus menatapnya dengan menjijikkan. Bahkanrengkuhannya semakin ketat. Gadis itu gemetaran. Jemarikedua tangan pemuda itu mulai berbicara. Merayap danmengelus bagian belakang pinggangnya. Terusmengusapnya sekalipun ia meronta dan berusahamelepaskan diri.

Gadis itu semakin cemas. Suaranya tertahan ketikahendak menjerit, "Dangdi... lepaskan... kau hina... kaukotor... kau tak pantas jadi anak kepala desa!" gadis itumerasa sudah berteriak lantang, namun kenyataannya suaraitu tersekat di tenggorokannya.

Pemuda tinggi besar itu tersenyum nakal. Diam membisuseribu bahasa. Hanya jemarinya yang bicara semakingencar, terus menyerang gadis dalam rengkuhannya denganmengusap, membelai, meraba, meremas, merayap bagaicicak.

"Lepaskan!" pekik gadis yang semakin terperangkapdalam dekapan anak kepala desa Manguntur itu. Napaspemuda yang mendekapnya pun semakin memburu.

Kedua wajah insan beda jenis kelamin itu nyarisbersentuhan, hanya napas sebagai pembatasnya Pemudayang dimabuk cinta itu semakin kerasukan setan. Tak sabartangan kirinya meremas ujung kain yang dikenakankembang desa itu. Ditarik dan dihempaskannya kuat-kuat.Terdengarlah kain robek seiring jeritan gadis itu.

"Biadab, binatang!" pekik gadis itu sambil terus meronta-ronta mengerahkan seluruh sisa tenaganya. Ia sangat lemas,tak mampu berbuat apa-apa dalam rengkuhan pemudaberingas yang benar-benar ingin memaksanya.

"Ayoh, suruh datang Kamandanu ke tempat ini.Panggillah dia. Biar melihat gadisnya kubikin malu."

Page 73: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Bunuhlah aku, Dangdi. Ohhh... tolong... ehh... tolong!"jerit gadis itu ketika pemuda Manguntur itu semakin buasbagai binatang.

Plak! Sekali tamparan mendarat di pipi gadis jelita itu.Pada saat itulah ia sadar dan merapatkan bibirnya ke lenganpemuda yang merengkuhnya. Ia gigit sekuat-kuatnyahingga pemuda itu terkejut

"Aduuh... adduuhh... kurang ajar! Setan betina.Kubunuh kau!" Pemuda itu tidak jadi memukul, tetapisemakin erat memeluk, lalu merapatkan tubuhnya,merunduk, bibirnya menjelajahi leher jenjang kuninglangsat gadis itu. Tangannya semakin nakal. Ia tak pedulidengan amukan gadis dalam rengkuhannya yang makinmelemah. Napasnya memburu birahi. Tubuh gadis itumakin menggigil, wajahnya memucat seperti langit senjayang ditinggalkan matahari.

Di bangunan kuno, pada sudut Candi Walandit, gadis itubenar-benar di ambang kritis, tak mampu memberikanperlawanan berarti. Gadis itu memejamkan matanya,napasnya terengah-engah. Ia melawan dengan sisa-sisatenaganya. Terasa asin dan amis tatkala kulit lenganpemuda itu mengelupas akibat gigitannya.

Pada saat itulah berkelebat sebuah bayangan tanpadisadari oleh pemuda beringas itu. Bayangan itu langsungmencecarnya dengan gebrakan dahsyat hinggarengkuhannya terlepas. Mata pemuda itu jelalatan Merahkarena marah sebab tak mampu merenggut gadis yangsudah luluh dalam pelukannya. Sekali tendang lawan yangtak diundang itu membuatnya terpelanting dan membenturdinding Candi Walandit. Pelipisnya terasa perih, berdarah.Kemudian ia mundur beberapa langkah sambil memasangkuda-kuda. Mencoba menenangkan hati dan pikiran serta

Page 74: 01-Pelangi Diatas Kurawan

berkonsentrasi penuh. Duel seru kedua pemuda itu tak bisadihindari lagi. Mereka saling mendelikkan matanya.

"Oh, Kakang. Untung kau segera datang!" bisik gadis itumencari perlindungan di balik punggung pahlawannya.

"Kau tidak apa-apa, Ratih?"

"Dia... bermaksud tidak senonoh padaku, Kakang."Gadis itu berlindung dan memegang lengan kekasihhatinya. Dangdi semakin beringas. Bibirnya mencibirmelangkah mendekati pelindung gadis yang sangatdiinginkannya itu.

"Kebetulan sekali kau datang, Kamandanu. Mari kitaselesaikan persoalan ini secara jantan," tantang Dangdidengan gigi gemeretuk. Kedua tangannya mengepalmenahan amarah yang memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Dengus napasnya seperti babi hutan terluka. AryaKamandanu tersenyum dan mencoba bersabar

"Tidak perlu," jawabnya lirih. "Mengapa, kau takut?"bentak Dangdi kasar dan parau.

"Kalau takut aku tidak datang ke tempat ini, Dangdi."

"Nah, kalau begitu mari kita bertempur untukmemperebutkan gadis itu. Kita sama-sama lelaki. Kitaselesaikan secara ksatria."

"Bagaimana kau bisa bersikap ksatria kalau kaumembawa lari seorang gadis, dan bermaksud tidak senonohdi tempat sepi begini?" jawab Arya Kamandanu sambilmemegang jemari Nari Ratih yang masih menggigilgemetaran.

"Cukup. Tutup sajalah mulutmu. Kalau kau takutmelawan Dangdi, pulanglah. Dan biarkan Nari Ratih

Page 75: 01-Pelangi Diatas Kurawan

bersamaku di sini," penuh ejekan Dangdi menghardik AryaKamandanu.

"Dan membiarkan kau merusak kehormatannya,menodai kesuciannya?"

"Jangan merasa dirimu paling bersih, Kamandanu!"

"Setidak-tidaknya aku tifiak sekotor Dangdi, anak kepaladesa Manguntur," ucap Arya Kamandanu tenang, tetapisangat pedas di telinga Dangdi.

Serta merta pemuda itu habis kesabarannya. Iamelompat dan menerjang Arya Kamandanu. AryaKamandanu berkelit menghindar hingga kakinyamembentur dinding candi. Nari Ratih menepi denganwajah pucat pasi. Dangdi semakin tak sabar. Emosinyamemuncak karena serangannya meleset. Arya Kamandanutersenyum, tetapi waspada menjaga segala kemungkinan.Mereka saling pandang. Saling menghardik. Keduanyamemasang kuda-kuda. Sama-sama menunggu. Dangdiragu-ragu melihat Arya Kamandanu tampak lebih mantap.

"Kamandanu! Mari kita mencari tempat yang lapanguntuk berlaga," tantang Dangdi untuk menyembunyikankeragu-raguannya. Ia menarik kaki kanannya. Berdiri tegakdengan tatap mata bengis, marah dan berpijar.

"Aku lebih senang menyelesaikan persoalan ini secarabaik, bukan dengan kekerasan. Kau anak kepala desa.Tentunya kau lebih memahami tata krama yang berlakudalam masyarakat. Jangan berbuat liar seperti kambinghutan," ledek Arya Kamandanu.

Diejek seperti itu Dangdi mendengus kasar. Majuselangkah dengan kedua tangannya yang berotot itumengepal keras. Bibirnya bergetar hebat meredam marah.

Page 76: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Tidak ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan iniselain berkelahi. Nah, aku menantangmu, Kamandanu.Ayo, keluar, di halaman candi ini lebih leluasa untuk salingmenghantam," tantang Dangdi dengan wajah semakinbengis.

"Kalau itu kemauanmu, akan kulayani tentanganmu,Dangdi!"

Kedua pemuda itu akhirnya melangkah menuju halamanCandi Walandit yang cukup luas. Keduanya salingmeremehkan dan saling meredam darah muda.

Nari Ratih gemetaran lalu berlari kecil menghampiriArya Kamandanu. Ia berbisik pada kekasihnya, "Ohh, hati-hati, Kakang. Dia licik. Curang!"

"Kau melihat dari kejauhan saja, Ratih. Janganmendekat!" pinta Arya Kamandanu lembut dan menepukpundak gadis itu.

Gadis itu mengangguk. Lalu ia menyingkir, berdiri didekat dinding candi dengan hati berdebar-debar melihatwajah Dangdi berapi-api, yang terlihat semakin galakditimpa matahari senja yang merah darah.

Matahari di ufuk barat pun seolah-olah tak beranimelihat mereka. Ia bersembunyi di antara gumpalan awanyang lamban sekali didera angin. Cuaca di cakrawala langittampak semakin muram.

Arya Kamandanu maupun Dangdi sudah siap untukberlaga. Mereka siap bertarung.

"Nah, Kamandanu. Bersiaplah. Kau akan segeramerasakan kepalan tanganku ini. Hiiiiiaaaaa....!" .Dangdimenggebrak dengan sekali serangan. Tangannya mengepaldan dijotoskan kuat-kuat ke dagu Arya Kamandanu.Kakinya menyepak perut Tetapi begitu lincah Arya

Page 77: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Kamandanu menghindar dan berkelit. Hanya denganmencondongkan tubuhnya ke samping kiri ia bisa terhindardari gebrakan sambal Dangdi yang kurang perhitungan.

Dangdi meringis dan semakin penasaran. Membabi butaia menyerang Arya Kamandanu. Pukulan yang semrawut,asal tendang, asal tonjok, tak pernah mengenai lawannya.Sementara Arya Kamandanu berusaha melayani denganbaik sambil sesekali memberikan serangan balasan.

Halaman Candi Walandit, yang kanan kirinya banyakditumbuhi tanaman liar itu menjadi arena pertarungan duaanak muda. Sementara di undak-undakan, di tangga CandiWalandit, seorang gadis melihat jalannya pertarungansambil sekali waktu menggigit bibirnya yang merah jambu.Mulutnya ternganga ketika melihat Dangdi melompatmundur dengan berkacak pinggang sementara napasnyangos-ngosan. Jengkel sekali melihat Arya Kamandanu yangbelum sungguh-sungguh menghadapinya.

"Ayo, Kamandanu. Kau ganti menyerang! Jangan hanyabermain loncat-loncatan seperti bajing kurang makan!"

"Baiklah. Akan kuturuti permintaanmu, Dangdi."

Arya Kamandanu, sekalipun tidak bisa dikatakanpendekar, tapi paling sedikit pernah belajar ilmu kanuragandari Mpu Hanggareksa. Ia benar-benar menyerang dengangebrakan yang tidak diduga oleh Dangdi. Serangan-serangan berbahaya harus dihadapi Dangdi. Hantamankeras dari tangan mengepal kembali merobek pelipisnyahingga darah segar mengalir deras di wajah Dangdi. Dangdimelompat mundur beberapa tindak, sedangkan AryaKamandanu hanya tersenyum tidak meneruskangempurannya. Tangan kanan Dangdi meraba pipi danpelipisnya lalu dipandanginya telapak tangannya penuhdarah.

Page 78: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Ehhh, kau telah memukul pelipisku, Kamandanu.Ehh...." Napasnya memburu, pandangan matanya makinliar dan geram.

"Sudahlah, Dangdi. Kita akhiri saja percekcokan kitahingga di sini," rendah hati Arya Kamandanu memberisaran pada lawannya yang tak menyadari kelemahannya.Tetapi Dangdi tak mau menyerah begitu saja. Ia tak maudibuat malu di depan mata Nari Ratih yang tetap mengikutijalannya pertarungan dari tangga candi.

"Tidak. Kau sudah melukai aku, Kamandanu. Aku harusmengadakan pembalasan!" Sebelum mengakhiri ucapannya,tangan kanan Dangdi meraba gagang pedang yang terselipdi pinggang. Dengan kasar ia cabut pedang dari sarungnyahingga menimbulkan suara berdencing. Ia tersenyummenyeringai pada Arya Kamandanu yang mundur beberapatindak.

"Sarungkan kembali pedangmu. Mengapa kau sampaimenghunus senjata tajam? Ingat. Senjata tajam bisamenumpahkan darah," Arya Kamandanu masihmemberikan peringatan pada Dangdi yang tampak semakinkalap dan tak bisa mengendalikan diri lagi.

"Aku tidak peduli. Darahku atau darahmu akan segeratumpah untuk menjadi saksi peristiwa ini "

"Dangdi Jangan memaksaku bertindak terlalu jauh."

"Kau pengecut. Penakut! Hiaaaaaa... hiaaa....!" Dangditak sabar, menerjang sambil menebaskan pedangnya yangsangat tajam berkilat-kilat. Ia ingin merobek-robek AryaKamandanu yang lincah berkelit, melompat danmenangkis. Nyaris ujung pedang menyabet leherKamandanu jika pemuda itu tidak menarik sedikit kebelakang. Satu tendangan bersarang pada tubuhKamandanu Bahkan sabetan pedang Dangdi yang amat

Page 79: 01-Pelangi Diatas Kurawan

kuat dan tak terarah, sempat membuat pakaian AryaKamandanu koyak.

Sambil melompat menghindar Arya Kamandanumembentak, "Dangdi! Kalau kau masih nekat menyerang,jangan salahkan aku bila kau cedera!"

"Hentikan! Mengapa kalian mau saling membunuhbegini?" keluh Nari Ratih setengah merintih dan menjerit."Apakah kalian tidak malu pada orang-orang? Dangdi,apakah kau tidak kasihan melihat orang tuamu? Diaseorang kepala desa yang dihormati. Dia tentu akanterpukul sekali kalau sampai anaknya berbuat onar!" NariRatih tidak bisa tinggal diam. Ia semakin benci melihattampang Dangdi yang tak tahu aturan.

Dengan kesal Dangdi menyarungkan pedangnyakembali, memandang Nari Ratih tajam sekali, lalu beralihpada Arya Kamandanu. Sebal sekali ia pada AryaKamandanu yang merampas pujaan hatinya. Lebih-lebihNari Ratih tampak sangat mencintai Arya KamandanuGadis itu berpegangan pada lengan Arya Kamandanubegitu mesranya sambil memandangnya lalu melengossebal. Dangdi geram. Gerahamnya mengeras dan terdengargiginya gemeretuk memendam amarah yang kianmemuncak. Benih dendam menjalar dalam lubuk hatinya,penuh amarah dan kebencian ia menghardik AryaKamandanu.

"Huuuhh. Aku tidak akan melupakannya, Kamandanu.Luka di pelipisku ini harus kaubayar kembali. Haruskaubayar lebih mahal." Dangdi segera membalikkan tubuhdan melangkah pergi berlalu dari hadapan AryaKamandanu dan Nari Ratih.

Kedua muda-mudi itu sejenak saling pandang. Lalukembali mengawasi Dangdi yang telah lenyap di semak-

Page 80: 01-Pelangi Diatas Kurawan

semak dan rerungkutan Jantung mereka semakin berdetakmemburu, cemas dan khawatir menyusup di hati danpikiran mereka.

Nari Ratih kembali mengamati Arya Kamandanu dariujung kaki sampai ujung rambut. Ada luka memar, adabekas sabetan pada kain yang koyak. Keringat AryaKamandanu berleleran membasahi seluruh tubuhnya.

"Kau tak apa-apa, Kakang?" ada nada cemas meluncurdari bibir mungil itu, ada rasa kasih, ada rasa cinta yangmenggeletar hebat

Arya Kamandanu tersenyum lembut, membalas tatapankekasih hatinya.

"Tidak, Ratih. Aku tidak apa-apa," jawabnya lirih.Bangga.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kakang. 96

Kalau Kakang tidak segera datang, entahlah apa yangakan terjadi atas diriku ini Dangdi mengerikan sekali."

"Sudahlah. Lupakan saja. Dangdi sudah pergi dan takakan mengganggumu lagi," hibur Kamandanu. Tetaptersenyum dan tatap matanya menyembunyikan pijarasmara yang membara di dada.

Nari Ratih menghindari tatapan itu dengan senyumanmalu-malu. Pipinya memerah dan ada sungging senyum dibibirnya. Ia memandang cakrawala langit yang kianmeredup, lalu berusaha mengalihkan perhatian kekasihhatinya.

"Dari mana Kakang tahu aku ada di Candi Walanditini?" tanyanya lirih sambil terus memandangi langit senjatemaram.

Page 81: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Kau mengirim pesan melalui Bibi Rongkot?" tanya AryaKamandanu sambil melangkah mendekati Ratih yangmembelakanginya.

"Oh, ya, aku menitipkan salam pada pembantumu itu.Aku menunggu di tepi padang ilalang. Baru saja duduk,tiba-tiba Dangdi datang menggodaku, lalu memaksakupergi ke tempat ini," tutur Nari Ratih dengan sedih.Matanya berkaca-kaca karena takut Arya Kamandanu tidakpercaya dengan penuturan dan ceritanya.

Arya Kamandanu tersenyum. Berusaha bijaksanamenghadapi orang yang menjadi tambatan hatinya selamaini.

"Aku juga datang ke tepi padang ilalang.

Mendadak aku menemukan tusuk konde ini." AryaKamandanu mencabut tusuk konde itu dari timangnya, danmenyerahkan pada Nari Ratih yang menyambutnya dengantangan gemetaran.

"Ahh, ini tusuk kondeku, Kakang. Mungkin terjatuhwaktu Dangdi mengejar aku."

Langit kian redup dibalut senja. Tirai gerimis meluncurdari langit, titik-titik airnya menerpa kulit kedua muda-mudi itu. Mereka serentak memandang langit.

"Ohh, celaka. Rupanya gerimis sudah turun, Ratih!"

"Ya, Kakang. Mendung tebal sekali di angkasa " "Mari,kita masuk ke ruangan candi. Gerimis makin deras danangin bertiup kencang." Arya Kamandanu minta agar NariRatih berjalan agak cepat. Mereka menuju dalam bangunancandi dan berteduh di sana dari guyuran air hujan yangsemakin deras.

Page 82: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Kilat berkali-kali menjilat langit. Lidah-lidahnya terjulurdari langit barat sampai langit timur diiringi pekikan petirmenggelegar dan sambar menyambar. Nari Ratih menggigilkedinginan lalu ia melirik ke arah Arya Kamandanu yangmasih ragu-ragu meraihnya. Mereka hanya sedikitmenggeser posisi berdiri hingga agak merapat. Dengandemikian, mereka bisa sedikit mendapatkan kehangatan.Arya Kamandanu sebetulnya memperhatikan Nari Ratihdari ujung kaki sampai ke ujung rambut sekalipun tidakterang-terangan.

Matanya sedikit terbeliak ketika melihat sesuatu yangtidak beres pada Nari Ratih, lalu ia mendekatkan bibirnyake telinga gadis itu.

"Pakaianmu terkoyak, Ratih?"

Nari Ratih tersentak dan wajahnya merona merahkarena malu

"Ehh, iya, Kakang. Dangdi... Dangdi sungguh kurangajar. Dia mau membuatku malu," jawabnya terbata danmerasa tak enak hati. Ia berusaha membetulkan kainnyayang terkoyak dan sedikit tersingkap, menutupinya dengantelapak tangan kirinya lalu mencuri-curi pandang pada AryaKamandanu yang enggan melihatnya.

"Kelihatannya dia tergila-gila padamu. Dan karena kautidak menanggapinya, dia nekat," tutur Kamandanu tanpamemandang Nari Ratih sekalipun ia sangat perhatian padagadis yang selama ini menghiasi hari-hari dalam hidupnya.Dipandangnya derai air hujan yang bening mengucur dariwajah langit yang masih dihiasi oleh awan-awan kelabu.

"Aku benci melihat laki-laki seperti Dangdi. Dia sokkaya dan sok berani. Buktinya dia tidak mampumenandingi Kakang Kamandanu!"

Page 83: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Entah mengapa Nari Ratih tak melanjutkan bicaranya.Sebaliknya ia mengerutkan dahi. Memandang ke cakrawalalangit. Lama sekali. Ia hela napas dalam-dalam, lalubibirnya mendesahkan suatu makna kekaguman dari kisi-kisi hati seorang dara yang sedang mekar.

"Ohh... Kakang Kamandanu Lihatlah di sana,Kakang...."

"Hemhh!" Arya Kamandanu tersenyum dan melirik NariRatih yang menepuk lengannya.

"Ada pelangi di sebelah sana!"

"Aku sudah melihatnya sejak tadi, Ratih."

"Mengapa Kakang diam saja? Mengapa tidak memberitahu aku? Ahh, aku tahu. Kakang Kamandanu sudah bosanmelihat pelangi bukan?"

Nari Ratih memandang Arya Kamandanu, lalu beralihpada cakrawala langit yang berhiaskan dewangga busurSang Pencipta. Warna-warni hiasan langit. Warna pelangiyang menyentuh hati setiap insan yang melihatnya. Untukkemudian mengucapkan puji syukur ke hadirat Sang MahaEsa. Mereka diam. Hening. Hanya rinai gerimis yangterdengar bagai alunan kidung buana raya. Merdu,menjentik-jentik telinga, menyentil-nyentil sanubari, lalumenyusup ke sukma kedua muda-mudi itu. TanganKamandanu terulur, tanpa memandang Nari Ratih, iaremas dengan lembut jemari gadis itu, lalu ia berbisikseperti pada dirinya sendiri, "Pelangi itu indah sekali, Ratih.Tapi...,"

"Tapi apa, Kakang?" tukas Nari Ratih ingin segera tahuapa yang ingin dikatakan Kamandanu Arya Kamandanumengetahui keresahan gadisnya, mungkin seresah hatinya.

Page 84: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Ia hela napas sedalam-dalamnya lalu memandang matasayu dara di sisinya.

"Pelangi itu indah sekali, tapi aku dibuatnya kesal Akubenci," rutuk Kamandanu sangat dalam.

"Mengapa?"

"Karena aku tak mungkin menggenggamnya. Aku hanyabisa menikmatinya dari kejauhan saja," jelas Kamandanulirih seraya mempererat jalinan jemarinya pada jemari NariRatih yang dirasakannya sangat lembut dan halus. Mer«£ -tarkan hati nuraninya yang makin terkulai dalam dekapandewa asmara.

"Kalau Kakang ingin menggenggam pelangi, Kakangharus dapat menjerat leher burung garuda. Nah, Kakanglalu naik di punggung burung raksasa itu, terbang keangkasa!"

"Itu mustahil."

"Bisa saja. Kakang jangan putus asa," tukas Nari Ratihmeyakinkan Arya Kamandanu yang makin terperosok padalubang-lubang cinta yang tak dimengertinya. SementaraNari Ratih pun masih meraba-raba sejauh mana pemudagagah dan tampan di dekatnya itu mengetahui perasaannya.Arya Kamandanu menghela napas, lalu melangkahsetindak, berpaling pada Nari Ratih dan kembalimemandang pelangi di batas cakrawala.

"Tidak, Ratih. Pelangi itu terlampau jauh Terlampauindah tapi mustahil kumiliki untuk selamanya. Kau tidakpercaya? Sebentar lagi dia lenyap. Akan lenyap begitu saja."

"Kakang cepat berputus asa. Kasihan nasib pelangi itukalau sampai harus lenyap begitu saja. Seharusnya Kakangberusaha untuk menggenggamnya dalam tanganmu yangperkasa itu," cepat dan lugas Nari Ratih menukas dengan

Page 85: 01-Pelangi Diatas Kurawan

kalimat panjang Jemari mereka berurai. Jatuhmenggelantung di udara. Sekalipun permukaan kulitkeduanya sangat dingin, namun sebenarnya di dalamnyamenggelegak bagai kawah Candradimuka yang panas ber-gejolak oleh amukan bara cinta.

Sejenak mereka diam. Arya Kamandanu mendenguskannapasnya dan sejenak melirik Nari Ratih yang berharap-harap cemas tentang apa yang hendak dikatakan pemuda didekatnya.

"Sudahlah, mengapa bicara kita jadi ngelantur ke sanakemari?" Arya Kamandanu mengalihkan perhatiannya.

Angin berdesir, menyapa kulit, mencubit tulang danmenjilat sungsum. Nari Ratih bersidekap karena merindingoleh udara senja yang makin dingin, sementara di langitbias pelangi pelan-pelan memudar dan menipis. Gigi gadisitu gemeretuk lalu bibirnya gemetar mendesis-desismenahan dingin.

"Kakang, aku kedinginan sekali," bisiknya mesra keluardari bibir mungil yang kini tampak pucat dan mengusutoleh dinginnya udara.

"Di sini banyak angin. Yuk, pindah ke sebelah sana,merapat ke dinding batu," jawab Arya Kamandanu sambilmenggiring Nari Ratih. Tetapi gadis itu tak bergeming.Sebaliknya, hendak duduk di dekat Kamandanu.

"Ahh, aku mau duduk di sini saja. Dekat denganmusupaya hangat. Kau juga dingin, Kakang?"

"Aku sudah terbiasa melawan udara dingin, Ratih,"dingin sekali jawaban itu. Sedingin udara senja itu.

Nari Ratih tersentak dan di dadanya menggeletarperasaan cemas, takut jika pemuda di dekatnya takmenaruh hati padanya. Tidak sungguh-sungguh

Page 86: 01-Pelangi Diatas Kurawan

memperhatikannya, sekalipun mereka selalu mengadakanpertemuan di padang ilalang untuk menikmati indahnyapanorama alam di Kurawan. Mereka selalu bersama,namun tak pernah menyinggung masalah yang amat manistapi rumit. "Kakang Kamandanu, apakah kau tidak tahubahwa aku mencintaimu? Mengapa kau tidak bisamembaca isi hatiku?" bisik Nari Ratih.

"Nari Ratih. Aku mencintaimu. Tapi aku ragu-ragu. Akubimbang. Jangan-jangan aku bertepuk sebelah tangan?"bisik hati Arya Kamandanu. Mereka sama-sama diam,hanya bahasa hati yang berkata-kata tentang suatu rasa,rasa yang menyusup dalam hati nurani paling dalam bagiinsan yang telah tertusuk duri-duri cinta.

Mereka duduk mendekap lutut masing-masing sibukdengan ucapan khayal dengan memandangi pelangi yanghampir memudar di cakrawala Lama mereka salingmenunggu.

"Bagaimana perasaanmu, Kakang?" pancing Nari Ratih.Arya Kamandanu terkejut dan tidak siap mendengarpertanyaan gadis di dekatnya.

"Hemh, apa maksudmu, Ratih?" gagap dan gugup.Pernyataan bodoh itu terlontar begitu saja darikerongkongannya Arya Kamandanu menghela napas danmemandang Nari Ratih lalu membuang muka, takutperasaannya diketahui gadis itu.

"Kau senang kita berada di tempat seperti ini?"

"Hemh... yaa! Tapi kita tidak boleh terlalu lama beradadi sini. Nanti kau ditunggu-tunggu orang tuamu."Mendengar jawaban pemuda tampan di sampingnya, NariRatih terhenyak, nyaris tak percaya dengan apa yangdikatakan Arya Kamandanu

Page 87: 01-Pelangi Diatas Kurawan

"Kakang Kamandanu, mengapa kau tidak mau berterusterang padaku? Katakanlah bahwa kau mencintai NariRatih, dan diriku ini akan menjadi milikmu selamanya,"bisik hati gadis itu.

"Ratih. Aku memang pengecut. Entahlah mengapa akupengecut seperti ini. Apakah aku terlalu tinggi hati?" bisikhati Kamandanu.

Kembali keduanya menyelusup dalam jurang-jurangdiam. Membisu beberapa saat lamanya. Hening. Hanyadesau angin senja. Hanya sisa-sisa gerimis yang merinai.Seiring dengan hening dan sunyinya suasana di dalamCandi Walandit tersebut, tangan Nari Ratih merayapperlahan. Lembut bagai air yang merembes pada dindingkapur. Ingin sekali kembali berjalinan tangan denganpemuda yang sangat dikasihinya.

Ia melirik kemudian menatap malu-malu kucing dan lirihsekali berbisik, "Coba genggamlah tanganku ini, Kakang.Bukankah dingin sekali seperti air telaga di puncak gunung?Ayo Kakang, genggamlah tanganku. Apakah bibirkumembiru karena dingin? Katakanlah, Kakang."

Arya Kamandanu berdebar-debar, jantungnya sepertimau lepas. Perasaannya sungguh tak menentu sebab padasuasana seperti itu bukannya keyakinan, tetapi keraguanlebih kuat meng- , hempaskan keinginan hatinya padasudut-sudut gelap rindunya.

"Ohh, aku gemetar. Aku menggigil bukan karena udaradingin. Tangan Nari Ratih sangat halus. Seperti tanganDewi Supraba dari kayangan. Dan pandangan matanyasangat lembut," bisik hati Arya Kamandanu.

"Kakang, mengapa kau tidak mau duduk merapatpadaku?" Terlalu lemah bisikan Nari Ratih sehingga Arya

Page 88: 01-Pelangi Diatas Kurawan

Kamandanu kurang memperhatikannya. Bahkan iasemakin merenggangkan duduknya.

"Nari Ratih, kau pasti hanya akan mempermainkan aku.Kau cantik. Banyak pemuda yang mengincarmu untukdijadikan istri," bisik hati keraguan pemuda itu makin kuathingga ia tenggelam dalam lamunan panjang. Semakin takmempeduli-kan gadis cantik jelita yang meremas jemarinya.

"Mengapa kau malah menggeser, Kakang? Kau tidaksenang duduk bersamaku?" tanya Nari Ratih penasaran.Tetapi yang ditanya tetap memandang ke cakrawala langityang berhias pelangi pudar.

"Kau seperti pelangi itu, Ratih. Indah dan rupawan. Tapibagiku hanya bisa dinikmati dari kejauhan," bisik hati AryaKamandanu.

Nari Ratih menjadi kesal hatinya. Dahinya berkerut danmemandang sekilas pemuda di sisinya yang tak pernahmenjawab pertanyaan-pertanyaan-nya. Dengan risau hati,menahan malu, ia buru-buru bangkit tanpa maumemandang Arya Kamandanu yang tersentak darilamunannya

"Baiklah. Mungkin kau tidak senang padaku. Ataubahkan kau membenci aku. Kalau begitu aku pergi saja,"katanya menahan isak dan melangkah pergi.

"Ratih!"

"Aku mau pulang."

Arya Kamandanu terkejut begitu Nari Ratihmengibaskan tangannya. Dan dia lebih terkejut lagi ketikamelihat gadis itu melompat ke dalam rinai hujan.

Sebentar kemudian mereka berdua sudah kejar-kejarandalam cucuran air hujan. Nari Ratih tidak mempedulikan

Page 89: 01-Pelangi Diatas Kurawan

panggilan Arya Kamandanu yang terus mengejar danketinggalan jauh di belakang. Nari Ratih menerjang danmenghempas padang ilalang. Sesekali timbul dan tenggelamlagi di tengah semak.

Arya Kamandanu cemas sekali. Ia terus mengejarnyasambil sesekali mendongakkan kepalanya agar bisamengetahui lewat mana Nari Ratih menembus padangilalang dan rinai hujan.

Napas Nari Ratih sudah terengah-engah. Hatinya hancurberkeping-keping karena merasa diremehkan oleh pemudayang selama ini dimimpikannya. Dingin dan menyebalkan.Arya Kamandanu menganggap dirinya murahan.

Tak lebih dari Dangdi. Ia berlari, terus berlari tanpa maumenoleh ke belakang.

Di kejauhan Arya Kamandanu semakin memperkencanglarinya agar bisa menyusulnya. Hatinya berdebar-debar.Ketakutan, cemas, terhina, atau entah perasaan apalagiberbaur menjadi satu dalam hatinya.

dw

Bersambung.... Tutur Tinular 2

BIODATA PENULIS

Buanergis Muryono

Buanergis Muryono (Mas Yono), lahir di Jepara 11Oktober 1966. Lulus dari Fakultas Sastra Jurusan Sejarahdisiplin Ilmu Sastra dan Filsafat di Universitas SebelasMaret Surakarta tahun 1991. Ia sangat aktif berteater darikecil sampai sekarang. Kariernya dimulai sebagai penulis

Page 90: 01-Pelangi Diatas Kurawan

cerita Sanggar Shakunta a Surakarta (1989-1992), SanggarCerita Prathivi Grup, Jakarta (1992-1998), Studio Icons,Bandung (1996-1999). Saat ini ia bekerja sebagai penuliscerita lepas antara lain di Studio Red Rocket, Bandung(1999-sekarang), Studio Duta Animasi Nusantara, Jakarta(1999-sekarang), Studio Wissta Animation & Emperor P.T.UCP, Jakarta (2000-sekarang), dan mengasuh SanggarAkting Mariska, Jakarta

Karya-karya sandiwara radionya antara lain Misteri VillaBaiduri, Ketiban Pulung (bahasa Jawa), Refangga, DasaRatna, Wahyu Astabrata, Kembar Mayang, KembangWiswayana, Sauh Kala Bendu, dan masih banyak lagi.

Ia juga banyak terlibat dalam penulisan karya animasidan serial TV, antara lain Timun Mas, Joko Tingkir, 13Real World Story Dongeng untuk Aku dan Kau,Petualangan Kyko, Ande-Ande Lumut, Nyai Lara Kidul,Lima Pohon Sorga, Ajisaka, Kodok Ngorek, dan Puteridalam Lukisan. Aktif menulis buku-buku panduan yangtelah diterbitkan di beberapa penerbit antara lain: Teateruntuk Anak (1997), Menjadi Artis Dubber Professional(1997), Menjadi Artis Ngetop (2000), Menjadi Artis Model,(2000) dan Seni Produksi Animasi (2000).

Cerita, Screenplay, dan design produksi animasi MasYono dalam Dewi Mayangsari produksi Emperor HomeVideo, WISSTA FILM, dan DOT menjadi PemenangFestival Film Animasi 2001 kategori VCD. Dua karyanyamenjadi Nominator Festival Film Animasi 2001 kategoriTV seri, yaitu Klilip dan Putri Bulan (script) produksi RedRocket Animation dan Son of Earth (cerita dan screenplay).

Bersama penyair Cyber, ia berantologi dalam GraffitiGratitute, 2001, menerbitkan dua album Puisi Nurani yangTercerabut dan Suara Sahabatku (1997). Cerita Film danVideo Si Pahit Lidah (1999) dan Surat dari Ibunda (1996)

Page 91: 01-Pelangi Diatas Kurawan

mendapat penghargaan dari Deppen RI. Di samping itu, iajuga sangat aktif membuat lakon/cerita panggung.

S. Tidjab

S. Tidjab lahir di Solo, ia telah aktif bergumul di duniakesenian sejak remaja. Salah satu pendiri Teater Kecil inimemiliki pengalaman yang cukup matang sebagai penulis.Karya tulisannya untuk sinetron TVRI antara lain: PasienTerakhir, Sang Guru, Sopir Opelet, Pohon Anggur.

Menjadi Karyawan Sanggar Prathivi tahun 1983-1990,sebagai penulis dan sutradara, ia mengasuh program ABC

Drama, Kesejahteraan Tani dan Desa versi Jawa danIndonesia Menulis dan menyutradarai video dokumenterPenyu Laut dalam Bahaya, dan Becak untuk SanggarPrathivi Selain itu ia juga mengolah naskah serial sandiwararadio dari novel Nagasasra Sabuk Inten, Pelangi di LangitSingasari, Sepasang Ular Naga di Satu Sarang (SHMintardja); dan Pangeran Jaya Kusuma (HermanPraktikto).

Karya tulisannya dalam sandiwara radio adalah serialTutur Tinular (720 seri), Mahkota Mayangkara (720 seri),Kaca Benggala (720 seri), Kidung Keramat (720 seri)

Menulis skenario Film Tutur Tinular I, MahkotaMayangkara 52 episode untuk TPI, Mahkota Majapahit, 26episode untuk RCTI.