03 bab ii unsoed keperawatan
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Spiritualitas
a. Pengertian
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan
Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Sebagai contoh seseorang
yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha
Kuasa. Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan
keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk
menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi
stres emosional, penyakit fisik, atau kematian (Hamid, 2008).
Spiritualitas (spirituality) merupakan sesuatu yang dipercayai
oleh seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi
(Tuhan), yang menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap
adanya Tuhan, dan permohonan maaf atas segala kesalahan yang
pernah diperbuat (Asmadi, 2008). Stoll (1989; dalam Hamid, 2008)
menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi, yaitu
dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal adalah
hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun
kehidupan seseorang.
15
Dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri,
dengan orang lain, dan dengan lingkungan.
Spiritualitas mencakup esensi keberadaan individu dan
keyakinannya tentang makna hidup dan tujuan hidup. Spiritualitas
dapat mencakup keyakinan kepada Tuhan atau kekuatan yang lebih
tinggi, praktik keagamaan, keyakinan dan praktik budaya, dan
hubungan dengan lingkungan (Videback, 2008).
b. Konsep Spiritualitas
Konsep yang berhubungan dengan spiritualitas menurut Kozier
et al (2010) yaitu agama, keyakinan, harapan, transendensi,
pengampunan. Agama merupakan sistem keyakinan dan praktik yang
terorganisasi. Agama memberi suatu cara mengekspresikan spiritual
dan memberikan pedoman kepada yang mempercayainya dalam
berespon terhadap pertanyaan dan tantangan hidup. Perkembangan
keagamaan individu mengacu pada penerimaan keyakinan, nilai,
pedoman pelaksanaan, dan ritual tertentu.
Keyakinan adalah meyakini atau berkomitmen terhadap
sesuatu atau seseorang. Keyakinan memberi makna bagi kehidupan,
memberi kekuatan pada saat individu mengalami kesulitan dalam
kehidupannya. Keyakinan memberi kekuatan dan harapan (Kozier et
al, 2010).
16
Harapan merupakan konsep yang tergabung dengan
spiritualitas. Yaitu proses antisipasi yang melibatkan interaksi
berpikir, bertindak, merasakan, dan keterkaitan yang diarahkan ke
pemenuhan di masa yang akan datang yang bermakna secara personal.
Tanpa harapan, pasien menyerah, kehilangan semangat, dan penyakit
kemungkinan semakin cepat memburuk (Kozier et al, 2010).
Transendensi melibatkan kesadaran seseorang bahwa ada
sesuatu yang lain atau yang lebih hebat dari diri sendiri dan suatu
pencarian dan penilaian terhadap sesuatu yang lebih hebat tersebut,
baik itu adalah mahluk, kekuatan, atau nilai yang paling hebat (Kozier
et al, 2010).
Kebutuhan akan ampunan merupakan kebutuhan akan
ampunan dari Tuhan, diri sendiri, dan orang lain serta kebebasan
individu untuk mencintai Tuhan, diri sendiri, dan orang lain. Bagi
banyak pasien, penyakit atau kecacatan menimbulkan rasa malu atau
rasa bersalah. Masalah kesehatan diinterpretasi sebagai hukuman atau
dosa yang dilakukan di masa lalu. Perawat dapat berperan penting
dalam membantu pasien memahami proses pengampunan (Kozier et
al, 2010).
c. Komponen Spiritualitas
Elkins et al (1998) dalam Rahadian (2011) menyebutkan
komponen dari spiritualitas meliputi dimensi transenden, makna dan
17
tujuan hidup, misi hidup, kesakralan hidup, nilai-nilai material,
altruisme, idealisme, kesadaran akan peristiwa tragis, dan buah dari
spiritualitas.
1). Dimensi Transenden
Dimensi transenden merupakan kepercayaan terhadap Tuhan atau
apapun yang dipersepsikan sebagai sosok transenden. Kepercayaan
ini akan diiringi dengan rasa perlunya menyesuaikan diri dan
menjaga hubungan dengan realitas transenden tersebut.
2). Makna dan Tujuan Hidup
Individu mengembangkan pandangan bahwa hidup memiliki
makna dan bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masing-
masing.
3). Misi hidup
Individu merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa
tanggung jawab pada kehidupan secara umum. Individu memiliki
motivasi yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam
target-target konkrit dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut.
4). Kesakralan hidup
Individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk melihat
kesakralan dalam semua hal dalam hidup. Percaya bahwa semua
kehidupan suci sifatnya dan bahwa yang sakral dapat juga ditemui
dalam hal-hal keduniaan.
18
5). Nilai-nilai material
Individu yang spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau
uang namun individu menyadari bahwa kepuasan dalam hidup
semestinya datang bukan dari seberapa banyak kekayaan atau
kebendaan yang dimiliki.
6). Altruisme
Individu yang spiritual menyadari akan adanya tanggung jawab
bersama dari masing-masing orang untuk saling menjaga
sesamanya. Mereka meyakini bahwa tidak ada manusia yang dapat
berdiri sendiri, bahwa umat manusia terikat satu sama lain sehingga
bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini dipengaruhi oleh
sensitivitas mereka akan penderitaan orang lain.
7). Idealisme
Idealisme merupakan kepercayaan yang kuat pada potensi baik
manusia yang diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan.
8). Kesadaran akan peristiwa tragis
Kesadaran akan peristiwa tragis dalam hidup seperti rasa sakit,
penderitaan, atau kematian diyakini sebagai alat yang akan
membuat mereka semakin memiliki kesadaran akan eksistensinya
dalam hidup.
19
9). Buah dari spiritualitas
Komponen terakhir merupakan refleksi atas kedelapan komponen
sebelumnya dimana individu mengolah komponen-komponen dari
pandangan, kepercayaan, dan nilai-nilai yang dianutnya dalam
komponen efek dari spiritualitasnya, dan biasanya dikaitkan dengan
hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan.
Spiritualitas mencakup hubungan seorang individu dengan
daya yang melebihi dan juga dengan orang-orang disekitarnya.
Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki
komponen-komponen tersebut.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang
adalah tahap perkembangan, keluarga, latar belakang etnik dan
budaya, pengalaman hidup sebelumnya, krisis dan perubahan, terpisah
dari ikatan spiritual, isu moral terkait dengan terapi, dan asuhan
keperawatan yang kurang sesuai (Hamid, 2008).
1). Tahap Perkembangan
Tahap perkembangan spiritual manusia dapat dilihat dari tahap
perkembangan mulai dari bayi, anak-anak, pra sekolah, usia
sekolah, remaja, dewasa awal, dewasa pertengahan, dewasa akhir,
dan lanjut usia. Asmadi (2008) menyatakan, usia perkembangan
dapat menentukan proses pemenuhan kebutuhan spiritual, karena
20
setiap tahap perkembangan memiliki cara meyakini kepercayaan
terhadap Tuhan.
2). Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan perkembangan spiritualitas
anak, yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua kepada
anaknya tentang Tuhan, tetapi apa yang anak pelajari mengenai
Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri dari perilaku orang tua mereka.
Oleh karena itu keluarga merupakan lingkungan terdekat dan
pengalaman pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan di
dunia, pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman
mereka dalam berhubungan dengan orang tua dan saudaranya.
3). Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik
dan sosial budaya. Pada umumnya, seseorang akan mengikuti
tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya
menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan
keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan
keagamaan.
4). Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup, baik yang positif maupun pengalaman negatif
dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya, juga
dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual
kejadian atau pengalaman tersebut. Pengalaman hidup yang
21
menyenangkan sekalipun dapat menimbulkan perasaan bersyukur
kepada Tuhan, tetapi ada juga yang merasa tidak perlu
mensyukurinya. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap
sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk
menguji kekuatan imannya.
5). Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan spiritual seseorang. Krisis
sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan,
proses penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian. Perubahan
dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan
pengalaman spiritual selain juga pengalaman yang bersifat fisik
dan emosional. Krisis dapat berhubungan dengan perubahan
patofisiologi, terapi/pengobatan yang diperlukan, atau situasi yang
mempengaruhi seseorang.
6). Terpisah dari ikatan spiritual
Penyakit akut sering kali membuat individu merasa terisolasi dan
kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial.
7). Isu moral terkait dengan terapi
Konflik antara jenis terapi denngan keyakinan agama sering
dialami oleh pasien dan tenaga kesehatan.
8). Asuhan keperawatan yang kurang sesuai
Berbagai alasan ada kemungkinan perawat justru menghindar
untuk memberi asuhan spiritual.
22
2. Kompetensi Asuhan Spiritual Pasien
Rass (2008) mendefinisikan kompetensi sebagai komponen yang
mengandung ketrampilan, pengetahuan, dan sikap yang diperlukan untuk
mendorong kesuksesan dalam suatu pekerjaan atau profesi.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi seseorang
menurut Zwell (2008; dalam Darwinanti, 2010) :
a. Keyakinan dan nilai-nilai
Keyakinan orang tentang dirinya maupun terhadap orang lain akan
sangat mempengaruhi perilaku. Apabila orang percaya bahwa mereka
tidak kreatif dan inovatif, mereka tidak akan berusaha berpikir tentang
cara baru atau berbeda dalam melakukan sesuatu.
b. Ketrampilan
Ketrampilan yaitu kemampuan seseorang untuk melakukan suatu
aktivitas atau pekerjaan. Pengembangan ketrampilan secara spesifik
berkaitan dengan kompetensi dapat berdampak baik pada budaya
organisasi dan kompetensi individual.
c. Pengalaman
Keahlian dari banyak kompetensi memerlukan pengalaman
mengorganisasikan orang, komunikasi di hadapan kelompok,
menyelesaikan masalah, dan sebagainya. Faktor pengalaman dapat
meningkatkan kecakapan dalam kompetensi.
23
d. Karakteristik kepribadian
Orang merspon dan berinteraksi dengan kekuatan dan lingkungan
sekitarnya. Kepribadian dapat mempengaruhi sejumlah kompetensi
termasuk dalam penyelesaian konflik, menunjukkan kepedulian
interpersonal, kemampuan bekerja dalam tim, memberikan pengaruh
dan dapat membangun hubungan yang baik.
e. Motivasi
Motivasi merupakan faktor dalam kompetensi yang dapat berubah.
Dengan memberikan dorongan, apresiasi terhadap suatu pekerjaan,
dengan memberikan pengakuan dan perhatian individual dapat memberi
pengaruh positif terhadap motivasi.
f. Isu emosional
Hambatan emosional dapat membatasi penguasaan kompetensi. Adanya
rasa takut membuat kesalahan, rasa malu, merasa tidak disukai atau
tidak menjadi bagian, semuanya cenderung membatasi motivasi dan
inisiatif.
g. Kemampuan intelektual
Kompetensi bergantung pada pemikiran kognitif seperti pemikiran
konseptual dan pemikiran analitis.
h. Budaya organisasi
Budaya organisasi mempengaruhi kompetensi sumberdaya manusia
dalam kegiatan sebagai berikut, proses rekruitmen dan seleksi
karyawan, sistem penghargaan, praktik pengambilan keputusan, filosofi
24
organisasi-misi, visi dan nilai-nilai berhubungan dengan kompetensi,
kebiasaan dan prosedur memberi informasi kepada pekerja mengenai
kompetensi yang diharapkan, dan komitmen pada pelatihan dan
pengembangan.
Muchson (2012) menyatakan bahwa kompetensi seorang perawat
adalah sesuatu yang ditampilkan secara menyeluruh oleh seorang perawat
dalam memberikan pelayanan profesional kepada pasien, mencakup
pengetahuan, ketrampilan dan pertimbangan yang dipersyaratkan dalam
situasi praktek. Campinha-Bacote (1995; dalam Singh, 2007)
mendeskripsikan kompetensi spiritual terdiri dari tiga komponen yaitu
spiritual awareness, spiritual knowledge, spiritual skill. Graham (2008)
menyatakan kompetensi spiritual adalah dasar untuk mengembangkan
harapan, tujuan, dan makna hidup.
Rohman (2009) menyatakan bahwa asuhan spiritual adalah asuhan
yang dilakukan oleh perawat untuk memenuhi kebutuhan spiritual untuk
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pasien dengan membantu
pasien untuk memahami lebih baik makna/arti dan tujuan hidup,
memberikan keyakinannya pada Tuhan, meningkatkan kemampuan pasien
untuk mencintai, dan memberikan dukungan terhadap nilai-nilai spiritual.
Kompetensi dalam asuhan spiritual mengacu pada satu set
kompleks ketrampilan bekerja dalam konteks profesional, yaitu proses
keperawatan klinis. Kompetensi merupakan langkah awal penting dalam
mengembangkan pemenuhan dalam asuhan spiritual. Govier (2000)
25
menyatakan pendekatan yang sistematis dalam asuhan spiritual dengan
menggunakan proses keperawatan meliputi pengkajian, perencanaan,
intervensi dan evaluasi.
a. Pengkajian
Keadaan di lingkungan klinik sekarang ini merupakan
tantangan bagi perawat, dengan jumlah pasien yang banyak dan waktu
yang sedikit untuk mampu mengidentifikasi kebutuhan spiritual
pasien. Oleh karena itu, perawat memerlukan kemampuan untuk
melakukan pengkajian spiritual secara singkat dengan menanyakan
beberapa pertanyaan. Pasien memerlukan kesediaan perawat untuk
hadir secara fisik dan psikis dan berespon terhadap kebutuhan spiritual
pasien, baik yang dinyatakan secara verbal maupun nonverbal (Rieg,
2006).
Perawat tidak hanya harus memiliki apresiasi mengenai
pentingnya kebutuhan spiritual pasien tetapi juga komponen
pengkajian untuk mengidentifikasi masalah spiritual. Beberapa alasan
keengganan dalam mengkaji kebutuhan spiritual pasien mungkin
dikarenakan perawat sendiri memiliki pandangan yang sempit
terhadap spiritualitas mereka sendiri (Govier, 2000).
26
Pengkajian aspek spiritual memerlukan hubungan
interpersonal yang baik dengan pasien.
1). Pengkajian data subjektif.
Meliputi konsep Tuhan atau Ketuhanan, sumber harapan dan
kekuatan, praktik agama dan ritual, hubungan antara keyakinan
spiritual dan kondisi kesehatan.
2). Pengkajian data objektif.
Pengkajian data objektif dilakukan melalui pengkajian klinis yang
meliputi pengkajian afek dan sikap, perilaku, verbalisasi, hubungan
interpersonal, dan lingkungan. Pengkajian data objektif terutama
dilakukan melalui observasi (Hamid, 2008).
b. Diagnosa
Ketika meninjau pengkajian spiritual dan mengintegrasikan
informasi tersebut ke dalam diagnosa keperawatan yang sesuai,
perawat mempertimbangkan status kesehatan pasien terakhir dari
perspektif holistik. Hampir semua diagnosa keperawatan mempunyai
implikasi terhadap spiritualitas pasien. Nyeri, ansietas, ketakutan,
hambatan mobilitas, dan kurang perawatan diri adalah contoh
diagnosa keperawatan yang cukup umum yang akan mengharuskan
perawat untuk memadukan prinsip perawatan spiritual (Potter&Perry,
2005).
27
Dalam North America Nursing Diagnosis Association
(NANDA) (2009), diagnosis keperawatan yang berhubungan dengan
spiritual, antara lain distres spiritual, resiko distres spiritual. Distres
spiritual yaitu gangguan kemampuan untuk mengalami dan
mengintegrasikan makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan
diri sendiri, orang lain, seni, musik, literatur, alam, dan atau kekuatan
yang lebih besar daripada diri sendiri. Sedangkan resiko distres
spiritual yaitu resiko mengalami gangguan/hambatan kemampuan
untuk mengalami dan mengintegrasikan makna dan tujuan hidup.
Dalam North America Nursing Diagnosis Association
(NANDA) (2009), disebutkan bahwa karakteristik pasien yang
mengalami distres spiritual antara lain pasien yang mengungkapkan
kurang dapat menerima (kurang pasrah), mengungkapkan kurangnya
motivasi, pasien yang marah, mengungkapkan kurangnya ketenangan,
merasa bersalah, koping yang buruk, mengungkapkan rasa terasing,
menolak interaksi, mengungkapkan telah diabaikan, mengungkapkan
marah kepada Tuhan, mengungkapkan ketidakberdayaan,
mengungkapkan penderitaan.
c. Intervensi
Setelah diagnosis keperawatan dan faktor yang berhubungan
teridentifikasi, selanjutnya perawat dan pasien menyusun kriteria hasil
dan rencana intervensi. Tujuan asuhan keperawatan pada pasien yang
28
mengalami distres spiritual difokuskan dengan menciptakan
lingkungan yang mendukung praktik keagamaan dan keyakinan yang
biasanya dilakukan (Hamid, 2008).
Rencana perawatan harus mencerminkan kebutuhan yang
teridentifikasi dan termasuk dukungan, mendengarkan aktif dan tidak
menghakimi, memberikan kenyamanan, bersikap empati. Pemenuhan
kebutuhan spiritual pasien merupakan tantangan untuk perawat untuk
menyediakan waktunya dari kesibukan rutin memberikan pelayanan
kepada pasien yang ada di rumah sakit (Govier, 2000).
Perencanaan pada pasien dengan distres spiritual dibuat untuk
memenuhi kebutuhan spiritual pasien dengan membantu pasien
memenuhi kewajiban agamanya, membantu pasien menggunakan
sumber dari dalam dirinya dengan cara lebih efektif untuk mengatasi
situasi yang sedang dialaminya, membantu pasien mempertahankan
atau membina hubungan personal yang dinamik dengan Maha
Pencipta ketika sedang menghadapi peristiwa yang kurang
menyenangkan, membantu pasien mencari arti keberadaannya dan
situasi yang sedang dihadapinya, meningkatkan perasaan penuh
harapan (Hamid, 2008).
Salah satu intervensi keperawatan dari diagnosa distres
spiritual adalah support spiritual. Definisi support spiritual yaitu
membantu pasien untuk merasa seimbang dan berhubungan dengan
kekuatan yang lebih besar. Aktivitas support spiritual antara lain,
29
bersikap terbuka denngan ekspresi pasien yang merasa sendiri dan
lemah, mendukung pasien untuk menggunakan sumber-sumber
spiritual, merujuk pada pembimbing rohani, mampu untuk mendengar
perasaan pasien, berekspresi empati dengan perasaan pasien,
memfasilitasi pasien dalam beribadah dan berdoa, mendengarkan
baik-baik komunikasi pasien, meyakinkan kepada pasien bahwa
perawat dapat memberikan support kepada pasien, membantu pasien
untuk berekspresi yang sesuai dan mengungkapkan rasa marah dengan
cara yang tepat (McCloskey & Bulechek, 2006).
d. Implementasi
Bagi perawat yang berpendapat bahwa mereka tidak
mempunyai peran dalam memberikan asuhan spiritual dan
menganggap sudah ada pemuka agama yang ada di rumah sakit,
mereka dapat diingatkan bahwa jika pelayanan keperawatan menjadi
benar-benar pelayanan yang holistik, perawat seharusnya dapat
memberikan pemenuhan kebutuhan spiritual pasien melalui asuhan
spiritual yang diberikan. Namun, perawat juga harus mengenali
keterbatasan pada diri sendiri dan harus bekerja sama dengan disiplin
ilmu lain seperti pembimbing rohani yang ada di rumah sakit,
sehingga dapat berperan penting dalam memberikan dukungan
terhadap kebutuhan spiritual pasien (Govier, 2000).
30
Pada tahap implementasi, perawat menerapkan rencana
intervensi dengan melakukan prinsip-prinsip kegiatan asuhan
keperawatan diantaranya, tidak mengasumsi pasien tidak mempunyai
kebutuhan spiritual, mendengarkan secara aktif, menerapkan teknik
komunikasi terapeutik, menggali perasaan dan kekuatan yang dimiliki
pasien, meningkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau
pesan verbal pasien, bersikap empati yang berarti memahami perasaan
pasien, memahami masalah pasien, menentukan bagaimana pasien
berespon terhadap penyakit, apakah pasien menganggap penyakit
yang dideritanya merupakan hukuman, cobaan, atau anugerah dari
Tuhan, membantu memfasilitasi pasien agar dapat memenuhi
kewajiban agama, menginformasikan pelayanan spiritual yang
tersedia di rumah sakit (Hamid, 2008).
e. Evaluasi
Seperti halnya aspek lain dalam keperawatan, asuhan spiritual
juga difokuskan untuk memperoleh tujuan yang diharapkan. Perawat
perlu mengumpulkan data terkait dengan pencapaian tujuan asuhan
keperawatan untuk mengevaluasi apakah pasien telah mencapai
kriteria hasil yang ditetapkan pada fase perencanaan. Tujuan asuhan
keperawatan tercapai apabila secara umum pasien mampu beristirahat
dengan tenang, menunjukkan rasa damai berhubungan dengan Tuhan,
menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka
31
agama, menunjukkan afek positif, tanpa perasaan marah, rasa
bersalah, dan ansietas, menunjukkan perilaku lebih positif,
mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya
(Hamid, 2008).
Asuhan spiritual merupakan komponen penting dalam praktek
keperawatan dan sering berhubungan dengan bagaimana respon seseorang
terhadap penyakitnya dan terkait dengan pengalaman hidup. Jika obat
membantu pemulihan tubuh/fisik, asuhan spiritual membantu pemulihan
pribadi/psikis pasien. Dimana tujuannya adalah untuk saling melengkapi
dan mengingatkan bahwa “tidak ada keuntungan yang diperoleh ketika
menyembuhkan secara fisik apabila dalam proses pada diri sendiri
terganggu psikisnya” (Govier, 2000).
3. Hubungan Spiritualitas dengan Kompetensi dalam Asuhan Spiritual
Pasien
a. Kebutuhan Spiritual
Hamid (2008) menyatakan bahwa kebutuhan spiritual
merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan
untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan, dan kebutuhan
untuk memberikan dan mendapatkan maaf. Sumiati, et al (2007)
menyatakan, kebutuhan spiritual sebagai bagian dari kebutuhan
manusia secara utuh hanya dapat dipenuhi apabila perawat dibekali
32
dengan kemampuan memberikan asuhan keperawatan dengan
memperhatikan aspek spiritual pasien sebagai bagian dari kebutuhan
holistik pasien sebagai mahluk yang utuh dan unik.
Dalam pelayanan kesehatan, perawat sebagai petugas kesehatan
memiliki peran utama dalam memenuhi kebutuhan spiritual. Perawat
dituntut mampu memberikan pemenuhan yang lebih pada saat pasien
akan dioperasi, pasien kritis atau menjelang ajal. Dengan demikian,
terdapat keterkaitan antara keyakinan dengan pelayanan kesehatan
dimana kebutuhan dasar manusia yang diberikan melalui pelayanan
kesehatan tidak hanya berupa aspek biologis, tetapi juga aspek spiritual.
Aspek spiritual dapat membantu membangkitkan semangat pasien
dalam proses penyembuhan (Asmadi, 2008).
Hasil penelitian Nabolsi & Carson (2011) menyatakan bahwa
keimanan membantu memfasilitasi penerimaan individu terhadap
penyakit mereka dan mendorong dalam meningkatkan strategi koping.
Spiritualitas meningkatkan kekuatan, harapan, dan penerimaan diri dan
membantu mereka untuk menemukan makna dan tujuan dalam hidup.
Ketika penyakit, kehilangan atau nyeri menyerang seseorang,
kekuatan spiritual dapat membantu seseorang ke arah penyembuhan
atau pada perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritual. Selama
penyakit atau kehilangan, misalnya saja, individu sering menjadi
kurang mampu untuk merawat diri mereka dan lebih bergantung pada
orang lain untuk perawatan dan dukungan. Distres spiritual dapat
33
berkembang sejalan dengan seseorang mencari makna tentang apa yang
sedang terjadi, yang mungkin dapat mengakibatkan seseorang merasa
sendiri dan terisolasi dari orang lain. Bukan jenis dukungan spiritual
apa yang dapat diberikan tetapi secara sadar perawat mengintegrasikan
perawatan spiritual kedalam proses keperawatan. Perawat tidak perlu
menggunakan alasan “tidak cukup waktu” untuk menghindari
pengenalan nilai spiritualitas yang dianut untuk kesehatan kilen (Potter
& Perry, 2005).
Asuhan keperawatan holistik mengintegrasikan intervensi yang
mendukung spiritualitas pasien. Untuk memberikan perawatan spiritual,
perawat harus memahami dimensi kesehatan spiritual dan mampu
mengenali kebutuhan spiritual seseorang (Potter & Perry, 2005).
b. Kompetensi dari spiritualitas yang berkembang
Tischler (2002; dalam Desiana, 2008) mengemukakan terdapat
empat kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang,
yaitu kesdadaran pribadi (personal awareness), ketrampilan pribadi
(personal skills), kesadaran sosial (social awareness),dan ketrampilan
sosial (social skills).
Kesadaran pribadi (personal awareness), yaitu bagaimana
seseorang mengatur dirinya sendiri, self awareness, emotional self-
awareness, penilaian diri yang positif, harga diri, mandiri, dukungan
diri, kompetensi waktu, aktualisasi diri. Ketrampilan pribadi (personal
34
skills), yaitu mampu bersikap mandiri, fleksibel, mudah beradaptasi,
menunjukkan performa kerja yang baik. Kesadaran sosial (social
awareness), yaitu menunjukkan sikap sosial yang positif, empati,
altruisme. Ketrampilan sosial (social skills), yaitu memiliki hubungan
yang baik dengan teman kerja dan atasan, menunjukkan sikap terbuka
terhadap orang lain (menerima orang baru), mampu bekerja sama,
pengenalan yang baik terhadap nilai positif, bersikap baik dalam
menanggapi kritikan.
Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki
komponen-komponen di atas. Sebagai contoh, pada sisi kesadaran
sosial, orang-orang yang spiritualnya baik memperlihatkan sikap sosial
yang lebih positif, lebih empati, dan menunjukkan altruisme yang besar.
Mereka juga cenderung untuk merasa lebih puas dengan pekerjaannya
(Desiana, 2008).
c. Spiritualitas, Kesehatan, dan Sakit
Menurut Hamid (2008), beberapa pengaruh dari keyakinan
diantaranya adalah sebagai berikut :
1). Menuntun kebiasaan hidup sehari-hari
Praktik tertentu pada umumnya yang berhubungan dengan
pelayanan kesehatan mungkin mempunyai makna keagamaan bagi
pasien.
35
2). Sumber dukungan
Pada saat mengalami stres, individu akan mencari dukungan dari
keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat
menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit
tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dengan hasil
yang belum pasti. Sembahyang atau berdoa, membaca kitab suci,
dan praktik keagamaan lainnya membantu memenuhi kebutuhan
spiritual.
3). Sumber kekuatan dan penyembuhan
Pengaruh keyakinan dapat diamati oleh tenaga kesehatan dengan
mengetahui bahwa individu cenderung dapat menahan distres fisik
yang luar biasa karena mempunyai keyakinan yang kuat.
4). Sumber Konflik
Pada situasi tertentu dapat terjadi konflik antara keyakinan agama
dengan praktik kesehatan. Misalnya, ada orang yang memandang
penyakit sebagai suatu bentuk hukuman karena pernah berdosa.
Ada agama tertentu yang menganggap manusia sebagai mahluk
yang tidak berdaya dalam mengendalikan lingkungannya sehingga
penyakit diterima sebagai takdir, bukan sebagai sesuatu yang harus
disembuhkan.
36
d. Peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual
Peran perawat dalam konteks asuhan spiritual adalah paralel
dengan proses keperawatan, yaitu melakukan pengkajian,
merumuskan diagnosa keperawatan, menyusun perencanaan dan
intervensi keperawatan serta mengevaluasi kebutuhan spiritual pasien
(Rohman, 2009).
37
B. Kerangka Teori
Berdasarkan landasan teori menurut Hamid (2008), Zwell (2008;
dalam Darwinanti, 2010), Elkins et al (1998; dalam Rahadian, 2011), Kozier
et al (2010), maka dapat dibentuk kerangka teori sebagai berikut :
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Konsep spiritualitas :
1. Agama
2. Keyakinan
3. Harapan
4. Transendensi diri
5. Pengampunan
Peran perawat dalam asuhan keperawatan
Asuhan Spiritual
Pasien :
1. Pengkajian
2. Diagnosa
3. Intervensi
4. Implementas
5. Evaluasi
Pasien dipandang sebagai mahluk
biopsikososio dan spiritual
Kompetensi
Perawat
Pengalaman
Motivasi
Karakteristik
pribadi
Isu emosional
Komponen spiritualitas :
1. Dimensi transendensi diri
2. Makna dan tujuan hidup
3. Misi hidup
4. Kesakralan hidup
5. Nilai-nilai material
6. Altruisme
7. Idealisme
8. Kesadaran akan peristiwa
tragis
9. Buah spiritualitas
Spiritualitas
Budaya
organisasi
Kemampuan
intelektual
Keyakinan dan
nilai-nilai
Ketrampilan
38
C. Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
= variabel yang diteliti
= variabel yang tidak diteliti
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Spiritualitas
Kompetensi perawat
dalam asuhan spiritual
pasien
Faktor pengganggu :
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Tingkat Pendidikan
4. Masa Kerja
5. Ketrampilan
6. Pengalaman
7. Karakteristik pribadi
8. Motivasi
9. Isu emosional
10. Kemampuan intelektual
11. Budaya organisasi