03-nurani yg terkoyak

88
T T T u u u t t t u u u r r r T T T i i i n n n u u u l l l a a a r r r 0 0 0 3 3 3 N N N u u u r r r a a a n n n i i i Y Y Y a a a n n n g g g T T T e e e r r r k k k o o o y y y a a a k k k Karya : B.Muryono & S. Tijab Ebook pdf oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info

Upload: aprianarohman

Post on 07-Aug-2015

64 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: 03-Nurani Yg Terkoyak

TTTuuutttuuurrr TTTiiinnnuuulllaaarrr 000333

NNNuuurrraaannniii YYYaaannnggg TTTeeerrrkkkoooyyyaaakkkKarya : B.Muryono & S. Tijab

Ebook pdf oleh : Dewi KZTiraikasih Website

http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info

Page 2: 03-Nurani Yg Terkoyak

TUTUR TINULAR 3Nurani yang Tercabik

TUTUR TINULAR 3 Nurani yang Tercabik Hak cipta ©Buanergis Muryono & S.Tidjab

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesiaoleh Penerbit Buku Kompas, Juni 2001

PT Kompas Media NusantaraJl. Palmerah Selatan 26-28

Jakarta 10270e-mail: [email protected]

KMN. 2070201014 Desain sampul: Eko SoenardjadiIlustrasi sampul: Firman Gondez Penata teks: Tim Penerbit

Buku KompasHak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagianatau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Buanergis Muryono & S. Tidjab,Tutur Tinular 3, cet 1

Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001vi + 108 hlm.; 11 x 17,5 cm

ISBN : 979-9251-69-9Isi di luar tanggung jawab Percetakan SM K Grafika Mardi

Yuana BogorNurani yang Tercabik

Tembang yang merdu sekalipunakan membuat sakit telinga Bagi hati yang gundah gulana

Bagi jiwa yang lelah dan putus asa Bagi sukma yangterlukai

dw

Page 3: 03-Nurani Yg Terkoyak

Laki-laki tua itu semakin memelototkan matanya ketikaorang itu semakin dekat dengannya dengan napas terengah-engah karena berlari.

"Ada apa, Wirot?"

"Eh, anu, Guru...."

"Anu, anu, apa? Bicara yang baik. Aturlah napasmudulu."

Sejenak keduanya diam, hanya napas Wirot yang ngos-ngosan menghiasi hari lengang di rumah Mpu Ranubhaya.Angin pun seolah-olah tak mau hadir dalam kepengapanjiwa lelaki tua yang sangat sederhana itu.

Murid setianya itu pun akhirnya membuka mulutnya.

"Guru, benarkah Mpu Hanggareksa dari sini?"

"Ya. Ada apa dengan setan mata duitan itu?"

"Katanya..."

"Katanya apa?" Mpu Ranubhaya setengah membentakmurid setianya ketika bujangan tua itu tidak melanjutkankata-katanya.

"Saya disuruh memperingatkan Guru."

"Memperingatkan perutnya? Orang gila, orang sinting.Gila uang, gila pangkat dan kedudukan... Ohhh... jagadDewa Bathara, janganlah bibirku mudah menjadi semayamdosa dan karma. Dunia ini sudah terbalik dan kocar-kacir.Yang benar menjadi salah dan salah dibenarkan." MpuRanubhaya menghela napas dalam-dalam tanpamemandang muridnya. Dadanya terasa sesak sekali.

"Dengarkan, Wirot."

"Ya, Guru."

Page 4: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Setan alas itu kemari, mau menyuap aku, agar gurumuini mau menjadi gedibal pemerintah Singasari. Iamemberikan sekantong uang emas. Kau lihat itu, sisa-sisanya masih'tersebar di lantai gubuk kita. Ambillah danbuang ke pembakaran sampah, atau kauberikan kepadafakir miskin yang membutuhkan uang itu. Aku tidak butuhuang, aku tidak butuh perak dan emas, aku juga tidak butuhpangkat dan kedudukan. Hanggareksa benar-benar sudahbuta." Sekali lagi lelaki tua itu menghela napas dalam-dalam, pandang matanya kosong penuh dengan kepedihan.Seolah-olah nuraninya telah tercabik-cabik oleh sikap dansifat adik seperguruannya yang semakin mengkhianati nasi-hat gurunya.

"Apa yang dikatakan orang edan itu padamu, Wirot?"

"Emh, Mpu Hanggareksa bilang, agar Guru berhati-hati,sebab Guru telah menghina pemerintah Singasari. Gurutelah mengutuk Prabu Kertanegara."

"Hemh, tanpa aku mengutuknya, sebetulnya Kertanegaradan seluruh Singasari telah terkutuk, Wirot. Haaahh, benar-benar dunia ini telah kacau balau. Kau jangan ikut edan,Wirot. Sudah, sana. Kaukumpulkan uang di lantai itu.Jangan sampai mengotori rumahku hingga najis oleh uangKertanegara."

Wirot hanya mengangguk lalu segera memunguti uangemas yang masih tertinggal dan tercecer di lantai tanah.Sebaliknya, Mpu Ranubhaya segera melangkah ke luar.Terus melangkah meninggalkan gubuk bambunya menujuSanggar Pamujan di balik bukit.

Langkahnya seperti sangat lelah selelah hati danpikirannya.

Cahaya matahari semakin terik, udara pun amat gerah.Mpu Ranubhaya berjalan dibawah bayang-bayang pohon

Page 5: 03-Nurani Yg Terkoyak

rindang yang meneduhi jalan-jalan setapak yangdisusunnya. Ia tidak bisa melukiskan betapa perihnya hatidan sakitnya menghadapi suatu kesucian yang telahdinodai. Kemurnian hati yang dikhianati dan tujuan muliayang dicabikcabik. Pengabdian yang tidak murni lagi,diinjak-injaknya kebenaran di balik keangkaramurkaanmanusia.

Mungkin seperti saat itu di mana ia mencoba menginjakperdu putri malu. Tumbuhan itu serentak menguncupkandaun-daunnya ketika tersentuh. Begitukah hati manusia?Selalu mengabaikan pendirian hidup mula-mula ketikakemanisan dan kenikmatan menghampirinya.

"Tidak! Tidak! Aku tidak mau seperti putri malu, akutidak sudi menjilat seperti Hanggareksa."

Lelaki tua itu berseru-seru hingga suaranya menggaungdan menggema tatkala menyentuh dinding-dinding bukitbatu. Ia kemudian berdiam diri sejenak. Bersidekap danmenghirup udara sedalam-dalamnya. Ia rasakan pusarnyaterasa dingin sekali, kemudian rasa dingin itu menyebar keseluruh nadi darahnya. Ia pun merasakan tubuhnyasemakin ringan bagaikan tanpa berat. Itulah ajian SeipiAngin. Ajian untuk meringankan tubuh di samping untukmengatasi kegalauan hati. Lelaki tua yang berpakaiancompang-camping dan sangat kumal itu segera melompatdan melayang bagaikan terbang. Tubuhnya melesat danakhirnya lenyap di balik rerimbunan pohon-pohonan liar.

Pada hari itu juga ketika seorang pemuda tampan sedangmengendalikan kudanya menuju suatu tempat mendadak iamenghentikan kudanya karena seorang gadis cantikmenghadangnya di tengah jalan. Pemuda itu segera turunlalu menuntun kudanya menghampiri gadis cantik itu.Kuda perkasa itu meringkik seolah-olah ingin bertanya

Page 6: 03-Nurani Yg Terkoyak

kepada tuannya. Pemuda itu mengelus bulu suri kudanyakemudian menepuk-nepuk kepala binatang perkasa itu.

"Kaukah yang bernama Arya Kamandanu?"

"Ya. Ada apa?"

"Aku sahabat Nari Ratih. Namaku Palastri."

"Hmmm! Kalau kau mengajakku bicara tentang NariRatih, maaf. Aku tidak bersedia melayanimu."

"Jangan begitu. Nari Ratih merasa sangat berdosakepadamu. Beberapa hari ini dia kelihatan sangat murung.Tubuhnya kurus dan matanya cekung karena kurang tidur."

"Mestinya dia tidak perlu merasa berdosa padaku."

"Aku tahu apa yang dirasakannya karena aku sahabatnyayang paling dekat. Nari Ratih sebetulnya masihmencintaimu "

Mendengar penjelasan gadis cantik yang mengakubernama Palastri sahabat Nari Ratih itu membuat AryaKamandanu tertawa dan terdengar sangat getir, sumbangdan hambar. Pemuda tampan itu memandang dinginkepada Palastri. Memandangnya dari ujung rambut sampaike ujung kaki. Dipandang seperti itu Palastri merasa kurangsenang, namun ia berusaha memahami perasaan pemudatampan di hadapannya yang merasa kecewa atas perbuatansahabat karibnya.

"Heheheheheh, sudahlah! Sandiwara lelucon ini sudahtidak lucu lagi. Layar sudah diturunkan dan para penontonsudah bubar."

"Jadi, kau tidak sudi menolongnya, Kamandanu?"

"Aku tidak pantas menolong seorang gadis yangkecantikannya bagaikan bidadari."

Page 7: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Kalau begitu kau sebenarnya tidak mencintainya. Kalaukau mencintainya dan cintamu itu tulus dan suci, kau pastiakan menolongnya. Nari Ratih hanya membutuhkanpertemuan denganmu walaupun sekejap mata. Kukira halitu tidak sulit untuk kaupenuhi, Arya Kamandanu."

"Mengapa ia tidak minta tolong pada KakangDwipangga?"

"Ini persoalannya denganmu, bukan dengan saudaratuamu. Hanya kau yang bisa menolongnya untukmenyelesaikan masalah ini. Tapi kalau kau keberatan yasudahlah. Asal jangan sampai kau menyesal di kemudianhari. Kalau terjadi apa-apa pada sahabatku itu aku tidakmau tahu lagi!" Selesai mengucapkan kata itu gadis cantikitu pun segera membalikkan tubuh dan berlalu dari depanArya Kamandanu yang ditinggalkan dengan mata setengahmelotot. Nampak bingung dan terkejut, seolah-olah barusadar dari mimpi panjang.

"Tungguuu.., hee tunggu, Palastri!"

"Kamandanu, kalau kau akan menemuinya sekarang,pergilah ke tepi padang ilalang." Gadis itu bicara tanpamenghentikan langkahnya, hanya sedikit memalingkankepalanya kepada pemuda yang dianggapnya terlalu dingin.Gadis itu bahkan semakin mempercepat langkahnya.

Arya Kamandanu geleng-geleng kepala ketikamemperhatikan Palastri yang berkain ketat hingganampaklah lekuk-lekuk tubuhnya yang sintal dan padat.Kedua pantatnya bergoyang-goyang bagai dua bola beradu.Ia tersenyum nyinyir dan getir sekali. Ia hela napas dalam-dalam sambil menelan ludah pahit. Pemuda itu kemudianmerasa tidak enak, kesal dan gelisah. Ada keinginan untukbersikap masa bodoh dan tidak mau tahu. Tetapi ketika ia

Page 8: 03-Nurani Yg Terkoyak

melompat ke atas punggung kuda serta duduk padabinatang tunggangannya itu ia mulai berpikir.

"Nari Ratih! Gadis itu telah mengkhianati cintaku dansekarang ia ingin bertemu denganku. Apa maksudnya? Atauia ingin merobek-robek dan mencabik-cabik nuraniku? Atauaku ini pemuda yang tidak pantas untuk memilikikesenangan hati?" Arya Kamandanu berguman sendiri,kemudian perlahan menarik tali kekang kudanya. Binatangitu meringkik tertahan kemudian kaki-kakinya pun berderapberirama. Memecah keheningan dan meningkahi desauangin yang menggoyang-goyangkan dedaunan Bau harumkembang-kembang liar bercampur dengan bau serangga punmenghampiri penciuman pemuda yang dilanda kegelisahanitu Bau walang sangit yang menampar hidungnyamembuatnya terjaga dari lamunan. Bersamaan dengan ituia menyentakkan tali kekang kuda kuat-kuat hinggakudanya melompat bagaikan terbang dengan meninggalkansuara berderap semakin menjauh dan tinggal sayup-sayup.

Pemuda itu terguncang-guncang di atas kudanya yangberbulu cokelat mengkilat. Tegar dan perkasa. Anginkencang pun menampar wajahnya hingga kadangkala iaterpaksa memejamkan mata untuk mengurangi rasa perihbahkan air mata pun keluar karena terlalu kencangnya kudaitu berlari. Akhirnya kuda perkasa itu pun sampailah disuatu tempat. Tempat yang benar-benar menawan denganpanorama alam. Angkasa dan buana seolah-olah menyatu.Angkasa langit biru yang berhias awan-awan cirrus, awan-awan yang putih halus bagaikan kapas bertebaran.

Di kejauhan tampak gunung dan pegunungan yang birumengelabu seolah-olah ingin mencium bibir langit yangranum. Kemudian lembah dan ngarai yang menghijaubagaikan permadani menghampar begitu luas menyejukkanmata yang memandangnya. Sepoi angin dan desaunya

Page 9: 03-Nurani Yg Terkoyak

menggiring pada siapa saja untuk sejenak memejamkanmata. Agar suara gemerisik dedaunan semakin jelas, agarcericit dan kicau burung pun makin merdu seiring detak-detak jantung hati yang menggema mengucapkan segalapuji dan syukur ke hadirat Dewata Yang Agung atas segalakebesaran dan anugerah-Nya yang benar-benar ajaib.Sengatan sinar surya bukanlah suatu hal yang ganas, tetapicukup bersahabat sebab seringkah awan yang melintasdidera angin mengurangi teriknya.

Arya Kamandanu tersenyum seorang diri, ia pejamkanmatanya. Menghirup udara segar sepuas-puasnya yangmembawa aroma bunga-bunga hutan, bunga-bunga liar,bunga-bunga rumput dan ilalang.

Namun, ia tersentak tatkala kuda kesayangannyameringkik panjang.

Lagi-lagi ia tersenyum seorang diri sebab binatang itumungkin tahu bagaimana mengucapkan syukur kepadaYang Maha Agung atas kebahagiaan tersendiri yangmenyelinap di lubuk hati tuannya di tengah kepedihannyaselama ini.

Pemuda itu pun melompat dari punggung kuda.Memanjangkan tali kekang kuda itu serta menambatkannyapada sebuah batang pohon perdu. Buih dari mulut kudayang kelelahan itu menetes di rerumputan seiring dengusyang memburu. Pemuda itu kembali mengelus kepalakudanya. Mengusap bulu suri dan menepuk-nepuk leherkudanya dengan penuh kasih sayang. Kuda itu meringkikmanja dan mengangkat kepalanya tatkala tuannya perlahanmelangkah meninggalkannya. Tuannya berjalan di antararumpun-rumpun ilalang yang tumbuh sangat subur hampirsedada.

Page 10: 03-Nurani Yg Terkoyak

Pemuda itu kemudian mengangkat kepalanya, dahinyaberkerut-kerut. Jantungnya berdebar-debar ketika ia harusmenghentikan langkahnya di belakang seorang gadisberambut panjang, hitam dan bergelombang.

Rambut itu berhias seuntai kembang melati yangterangkai di tusuk konde dibiarkan berjuntai di telinganya.Tusuk konde berbingkai emas itu sengaja diselipkan dirambut di atas telinga kanannya, padahal biasanya rambutitu digelung dan dikunci dengan tusuk konde itu. Rambuthitam panjang bergelombang gadis itu sesekali berderaididera angin sepoi padang ilalang pinggir desa Kurawan.Gadis cantik itu belum menyadari akan kehadiran seorangpemuda gagah dan tampan yang sejak tadi menahan napasoleh kekaguman dan keagungan ciptaan Dewata yangnyaris sempurna.

Pemuda itu perlahan sekali melangkahkan kakikanannya dan kembali berhenti. Bibirnya bergetar danmeliuk-liuk tatkala dari sana meluncur suara sangat lirih,"Ratih!" suara yang sangat lirih itu seolah-olah tercekat ditenggorokan pemuda itu.

Gadis yang dipanggil namanya setengah terkejutberpaling pada seseorang yang memanggilnya. Suara yangtidak asing lagi di telinganya. Ia tersenyum simpul. Bibirmerah jambu itu bergetar dan meliuk-liuk. Matanya yangbulat besar dan indah tampak sayu, agak cekung. Padasekitar matanya, pelupuknya tergambar garis-gariskecokelatan. Hidungnya yang bangir tampak mencuatmelengkapi keindahan bibirnya yang mungil. Ia tetapmenyunggingkan senyuman yang paling indah sekalipundari sinar wajah itu menunjukkan luka dan duka panjang.Luka dan duka akan sebuah hati, sebuah nurani yangtercabik. Lalu gadis itu berkata lirih pada seseorang yangselama ini sangat dekat di hatinya.

Page 11: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Akhirnya kau datang juga, Kakang Kamandanu."

"Kau masih membutuhkan kehadiranku di tempat ini?"

"Jangan begitu, Kakang. Kita pernah menjadi milik tepipadang ilalang ini. Kita pernah menjalin hubungan yangakrab dan manis di tempat ini."

"Semua itu sudah berlalu, Ratih." Perih kata-kata itumeluncur dari bibir pemuda itu. Gadis itu kemudianbangkit perlahan sekali dari duduknya. Batu hitam tempatduduknya itu masih kelihatan kelimis dan licin pertandabetapa seringnya batu hitam itu menjadi tempat yangistimewa bagi mereka. Gadis itu berdiri tepat di sisi pemudayang sangat dicintainya. Kemudian ia pun mendesah sangatlirih.

"Yaah... agaknya begitu, Kakang. Semuanya sudahharus berlalu."

"Sebenarnya aku tak ingin pertemuan semacam ini lagi.Aku sudah menguburkan semuanya. Tak ada yang perludiingat ataupun dikenang."

"Aku yang menginginkan pertemuan ini, Kakang. Bukankau."

"Untuk apa?"

"Untuk melihat pelangi itu yang terakhir kalinyabersamamu. Pelangi yang penuh warna-warni, indahsekali."

"Tidak. Pelangi itu bagiku tidak indah lagi. Matakujustru menjadi sakit setiap kali memandangnya."

"Yah, semua ini memang salahku, Kakang. Aku wanitayang berdosa Aku tidak pantas lagi memandang pelangi ditepi padang ilalang ini. Aku mestinya sudah dicampakkan

Page 12: 03-Nurani Yg Terkoyak

ke dalam lumpur neraka. Aku menyesal, Kakang. Akumenyesal sekali telah mengkhianati cintamu."

Desah suara gadis itu kian lelah, bahkan teramat berat,hingga tanpa disadarinya meluncurlah butir-butir bening airmatanya di pipinya yang halus dan lembut. Hidungnyakembang kempis memerah mengeluarkan ingus. Gadis ituseolah-olah meratap, namun tidak ada yang mengulurkantangan buat membelai dan mengasihinya. Hati nuraninyabenar-benar tercabik.

Arya Kamandanu pun tidak kuasa untuk memandanglebih lama pada gadis yang saat ini masih melekat dihatinya. Rasa kesal, benci, marah sekaligus kasih cintamasih membalut seluruh hatinya.

Ia mengeraskan rahangnya hingga tampak menonjol. Iahela napas dalam-dalam untuk menguatkan hatinya. Iaberusaha bersikap lembut pada gadis di depannya. Gadisyang sangat dicintainya sekaligus gadis yang dibencinyakarena telah mencabik-cabik cintanya.

"Sudahlah, Ratih. Keringkan air matamu Kasihan bumitempatmu berpijak kalau harus menjadi sasaran deras airmatamu. Bumi itu suci, tidak berdosa."

"Memang akulah yang berdosa. Biarlah kusandangbeban dosa ini seumur hidupku, Kakang."

"Kau dusta. Bukankah kau sudah mendapatkankebahagiaan yang kau idam-idamkan selama ini? Kausudah merebut hati Kakang Dwipangga dan sebentar lagikau akan kenyang mendengar syair-syairnya tentang cinta."

"Kakang Kamandanu. Ini bukan persoalan KakangDwipangga, ini adalah persoalan kita berdua."

"Kita tidak mempunyai persoalan lagi."

Page 13: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Aku ingin minta maaf padamu, Kakang. Aku telahmenyakiti hatimu. Bukalah sedikit pintu hatimu untukmenuangkan maafmu."

"Baik. Baik. Akan kubuka pintu hatiku selebar-lebarnyaagar kau bisa puas memperoleh apa yang kauinginkan."

"Kakang, aku ingin ketulusan hatimu."

"Jangan bicara soal ketulusan hati. Jangan bicara lagisoal kesetiaan, soal kebajikan, karena semua sudah terbukti.Kau sudah mengkhianati cintaku!"

"Jadi, Kakang tidak sudi memaafkan aku?"

"Mengapa kau tidak berkaca, Ratih? Apa karena merasadirimu paling cantik lalu kau tidak membutuhkan lagisebuah cermin?"

"Kata-katamu terlalu menyakitkan, Kakang!"

"Perbuatanmu bahkan lebih menyakitkan. Perempuanlacur. Wanita murahan!"

"Oh, Kakang. Kakang Kamandanu. Kukira kau seoranglaki-laki yang bijaksana. Mengapa kau mengeluarkanucapan-ucapan sekeji itu? Kau menganggapku berdosakarena telah mengkhianati cintamu. Baik, kuterima dengantabah tuduhanmu itu. Tapi apakah selama ini kau pernahmengutarakan rasa cintamu padaku?"

Arya Kamandanu terkesima, ia mengerutkan dahinyamemandang pada gadis jelita yang kini bersimbah air mata.Terisak-isak dan tersedu-sedu. Gadis cantik itu sibukmenghapus air matanya dan menunduk. Sejenak merekasaling diam. Diam membisu seribu bahasa.

Hanya suara isak dan sedu sedan tangis terdengar pilumeningkahi desau angin yang membuat gemerisik rantingdan dedaunan. Masih dalam isak dan tangis, Nari Ratih

Page 14: 03-Nurani Yg Terkoyak

kembali menyuarakan isi batinnya dengan suara tersendatdan parau.

"Selama ini aku hanya menunggu dan menunggu.Padang ilalang ini sebagai saksinya bahwa aku selalumenunggu pernyataan cintamu. Tapi sekian lamamenunggu, sekian lama pula hatiku kecewa. Kau tetap sajamenyembunyikan perasaanmu. Kau tinggi hati. Kauangkuh sekali dan akulah yang menjadi korban cintakusendiri. Apakah itu adil?"

Arya Kamandanu hanya diam membisu ketika NariRatih merutuknya Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanyakarena harus menyeka air mata dan menenangkan hatinyasendiri, lalu ia pun kembali bicara.

"Baiklah. Kalau memang kau tidak bersedia memaafkanNari Ratih, biarlah aku hidup sampai di sini saja." Secepatkilat gadis Manguntur yang sudah dirundung putus asa itumencabut sebilah pisau yang tajam berkilat-kilat. Lalu iamengangkat pisau itu dan hendak menghunjamkan ke uluhatinya. Namun, Arya Kamandanu segera melompat danmenahan pergelangan tangan gadis itu. Ia gugup dan sangatterkejut.

"Ratiihhh..., jangan! Tahan Ratih!"

"Oh, lepaskan tanganku, Kakang! Lepaskan!" Gadis itumeronta-ronta dan berusaha keras menghunjamkan pisauyang sudah digenggamnya erat-erat. Namun, cengkeramantangan Arya Kamandanu yang sangat kukuh tidak mampumelepaskannya. Ia pun terus meronta sambil menjerittertahan.

"Lepaskan, oohhh, lepaskan! Biar aku mati saja, Kakang!Biar aku mati saja."

Page 15: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Ratih, jangan begitu! Tidak baik membunuh dirisendiri."

"Tak ada gunanya lagi aku hidup. Aku wanita yangpenuh lumpur dosa. Aku wanita yang paling hina. Lebihbaik aku lenyap dari muka bumi ini. Lepaskan aku,Kakang! Oh, lepaaaaaskan!" Nari Ratih makin hebatmeronta dan berusaha melawan tenaga Arya Kamandanuyang makin erat memegang pergelangan tangan sertamemeluknya.

"Rattiih! Kau kira dengan bunuh diri urusanmu akanselesai? Kau akan mati penasaran dan kau akanmeninggalkan racun yang akan membuat kami semuamenderita."

Nari Ratih masih memberontak, namun badannyamelemas. Pelukan Arya Kamandanu membuatnya sedikitterbuka, dan ia tergetar, sadar dari kenekatannya, "Oh....Kakang Kamandanu, mengapa pikiranku menjadi gelapsekali? Mengapa?" suara itu seperti menjerit dan merintih.Tertahan bagaikan tanpa daya.

Tubuh gadis itu melemah dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Arya Kamandanu untuk merampas pisau tajamdari tangan Nari Ratih.

"Ratih! Dalam keadaan seperti ini, kita harus tetap tegardan tabah. Jangan menuruti luapan perasaan yang akhirnyabisa mencelakakan diri kita sendiri. Nah, pisau ini harusdibuang jauh-jauh."

Lalu Arya Kamandanu pun melemparkan pisau tajamitu jauh sekali. Hingga pisau itu melayang dan terhempas didasar jurang lembah Kurawan. Lekat-lekat ia memandangiNari Ratih. Wajah ayu itu seperti diliputi kabut, sendu danmengiba tetapi menyimpan suatu kekerasan hati untukmembuang segala kegundahannya. Ia tidak mampu

Page 16: 03-Nurani Yg Terkoyak

menghadang dan membalas tatapan mata pemuda tampandi hadapannya. Pemuda itu pun menyimpan luka karenatikaman asmaranya.

Ia tidak tahu, mengapa Arya Kamandanumemandanginya seperti itu. Ia hanya berani mencuripandang dengan ekor matanya saat pemuda itu berkata,"Pisau itu sudah kubuang jauh-jauh ke dasar jurang. Diatidak akan bisa membujukmu lagi melakukan perbuatanyang amat nista. Sekarang marilah kita duduk, Ratih. Akuakan bicara denganmu."

Lalu Arya Kamandanu membimbing gadis cantik ituagar duduk di atas batu hitam. Kemudian dia sendirimengambil tempat di sisi Nari Ratih yang masih menahanisak tangisnya. Mereka berusaha menenangkan hati dalamdiam sambil menghirup udara segar yang dibawa anginsepoi hari itu.

"Ratih. Sebenarnya kau tidak perlu minta maaf padaku,karena tanpa kau minta pun aku telah memaafkannya.Karena aku mencintaimu, Ratih "

"Mengapa akhirnya kita menjadi begini, Kakang?"

"Yah, karena memang beginilah yang harus kita alami.Kita bertemu di tepi padang ilalang ini. Kita bercanda dibawah sinar pelangi, dan kita rupanya harus berpisah ditempat yang sama."

"Kalau kupikir-pikir, kisah cinta kita ini lucu sekali ya,Kakang? Lucu tetapi tak seorang pun akan tertawa bila ikutmendengarnya. Karena di balik kelucuan itu sebenarnyatersimpan kepahitan."

"Yah, setidak-tidaknya kita masih bisa tertawa untuk dirikita sendiri."

"Kakang..."

Page 17: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Apa, Ratih?"

"Kalau dulu kau mau berterus-terang, kita tentu tak akanmengalami seperti ini."

"Percayalah, bahwa semua ini bukan kehendak kita,Ratih."

"Yah, apa yang sudah terlepas dari tangan tak mungkindipungut lagi karena sudah terjatuh ke bagian kehidupanyang lain. Semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadibubur."

"Apa maksudmu, Ratih?"

"Aku bukan Ratih yang dulu lagi. Aku bukan Nari Ratihkembang desa Manguntur yang masih polos dan suci."

"Ratih. Bagiku kau tetap Nari Ratih yang dulu. Samasekali kau tidak berubah, sekalipun sekarang sudah menjadimilik Kakang Dwipangg..."

Tangan Nari Ratih dengan gesit mendekap mulut AryaKamandanu hingga tidak menyelesaikan nama itu. NariRatih matanya membulat sambil mendengus, lalu memintadengan harap.

"Jangan sebut nama itu, Kakang. Kalau kudengar namaitu, hatiku menjadi resah. Pandanganku berkunang-kunangdan bumi rasanya berguncang."

"Bukankah kau mencintainya?"

"Entahlah, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu,Kakang. Kakang Dwipangga hadir seperti teka-tekikehidupan yang sulit diterka maksudnya. Ah, kalau sajawaktu ini bisa dimundurkan kembali."

"Itu bertentangan dengan kehendak Hyang Widhi, Ratih.Jangan menginginkan sesuatu di luar jangkauan manusia.Sudahlah, mari kita akhiri pertemuan ini. Kita saling

Page 18: 03-Nurani Yg Terkoyak

memuji saja, agar Dewata memberkati perjalanan hidupkita masing-masing."

"Ohh, Kakang Kamandanu..."

"Tepi padang ilalang ini dan sinar pelangi diatas sanaakan menjadi saksi bahwa kita pernah dipertemukan.Mereka pun akan menjadi saksi bahwa kita akhirnya harusdipisahkan."

"Oh, Kakang Kamandanu. Namamu akan kukenangsepanjang hayatku."

"Aku pun tak bisa melupakanmu, Nari Ratih. Tapi adasatu hal yang membuatku merasa lega. Aku rela. Aku ikhlaskarena saudara tuaku sendiri yang akhirnya menjadipemuda pilihan hatimu Aku yakin Kakang Dwipangga bisamembuatmu bahagia. Kalian akan hidup rukun sampaikakek nenek, banyak rezeki dan banyak anak."

"Oh, Kakang Kamandanu. Begitu mulianya hatimu."

"Kau pun wanita yang paling manis yang pernahkukenal, Ratih. Hanya karena sesuatu yang tak akan pernahkumengerti kalau aku melepaskanmu. Mudah-mudahansikapku ini membuahkan sesuatu yang baik."

"Kakang,... sebelum pergi, aku akan memberikan tandamata untukmu. Terimalah batu nirmala ini. Batu inipemberian ibuku sebelum menghembuskan napasnya yangterakhir. Terimalah, Kakang. Hanya benda ini yang bisakuberikan padamu sebagai kenang-kenangan."

Arya Kamandanu menerima batu nirmala itu dari tanganNari Ratih yang terulur untuknya. Kedua tangan itubersentuhan kemudian saling terjalin lama sekali. Merekasaling meremas dan menggenggam dengan jantung yangsemakin cepat berdetak dan menggemuruh.

Page 19: 03-Nurani Yg Terkoyak

Bibir Arya Kamandanu bergetar seiring kata-kata yangkeluar dari sana.

"Oh, terima kasih, Ratih. Batu nirmala ini indah sekali.Akan kusimpan batu ini sebagai tanda mata darimusepanjang hidupku. Akan kupertahankan batu nirmala inidengan mempertaruhkan nyawaku."

"Nah, Kakang. Aku harus pergi."

"Pergilah, Ratih! Ringankan langkahmu. Pergilah danjangan menengok-nengok ke belakang lagi."

"Selamat tinggal, Kakang..."

"Selamat berpisah, Ratih..."

Sejenak keduanya saling memandang, tanpa kata-kata.Lalu keduanya menundukkan kepala dengan desah napasyang tertahan. Hanya alam yang mampu mengartikannya.Jalinan tangan mereka perlahan berurai, kemudian merekasaling memandang lagi.

Akhirnya, Nari Ratih dengan berat melangkah pergi.Arya Kamandanu terus menatap gadis Manguntur itusampai lenyap di balik rimbunnya daun-daun pepohonan.Mendadak hatinya merasa kosong. Matanya berkaca-kaca.Dia memang ikhlas tetapi hatinya sakit sekali. Terasasebagian dari dirinya ikut terbawa oleh kepergian NariRatih.

Pemuda itu mengeraskan rahangnya yang kukuh. Keduatangannya meremas batu nirmala kemudian ia merundukdan menciumi batu itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalaseolah-olah baru saja sadar dari mimpi panjang.

Arya Kamandanu baru saja akan melompat ke ataspunggung kudanya ketika dari jauh tampak seorangpenunggang kuda menghampirinya. Derap kuda semakin

Page 20: 03-Nurani Yg Terkoyak

mendekat dan akhirnya berhenti beberapa depa disampingnya. Binatang perkasa itu meringkik panjangsetelah penunggangnya melompat turun dari punggungnya.

"Oh, Kakang Dwipangga."

"Adi Kamandanu, Ayah mencarimu. Beliau memanggilkita berdua. Sepertinya ada sesuatu yang penting yang hen-dak beliau sampaikan pada kita."

"Kakang tahu aku ada di sini?"

"Kalau tidak ada di mana-mana, kau biasanya dudukmerenung di tepi padang ilalang ini."

"Baru saja aku menyelesaikan persoalanku dengan NariRatih."

"Nari Ratih?"

"Ya, Kakang. Sekarang tidak ada lagi yang menjadiganjalan di hati kami. Sekarang aku ingin menyelesaikanpersoalan denganmu."

"Persoalan apa lagi?"

"Nari Ratih mencintaimu. Kuharap kau tidak menyia-nyiakan cintanya."

"Adi Kamandanu. Terus terang aku pun mencintainya.Bagaimana aku menyia-nyiakannya?"

"Dia akan menjadi isteri yang baik dan aku percaya kaupun akan menjadi suami yang baik."

"Adi Kamandanu, kau memaafkan kami berdua?"

"Ya. Kupikir tak ada yang bisa dipersalahkan Semuasudah menjadi kehendak Hyang Widhi. Aku relakan NariRatih jatuh ke tanganmu, jatuh dalam pangkuanmu karenaaku yakin kau bisa membahagiakan hidupnya."

Page 21: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Oh, Adi Kamandanu, terima kasih atas pengertianmuyang sangat besar ini. Aku berjanji akan mencintai NariRatih sampai akhir hayatku."

"Aku bahagia sekali mendengar janjimu itu, Kakang.Sekarang baru aku merasakan ketenangan."

Dua bersaudara itu kemudian berpelukan erat sekali.Rasa haru menghiasi hari mereka yang sudah salingmemberikan pengertian.

Di langit sebelah barat lengkungan sinar pelangi belumlagi lenyap. Warna merah kekuning-kuningan menyebar diseluruh permukaan padang ilalang.

Senja pun mulai turun pada saat Arya Kamandanu danArya Dwipangga naik ke atas punggung kuda masing-masing. Sebentar kemudian kuda mereka sudah berkejar-kejaran di bawah sinar lembayung senja yang indah.Binatang-binatang perkasa yang keduanya berbulu cokelatmengkilap itu seolah-olah turut bergirang mengikutisuasana hati tuan-tuannya. Mereka yang selama ini salingbermusuhan dan berselisih paham.

Derapnya kian menjauh meninggalkan kepulan debu-debu yang terhempas oleh hentakan kaki-kaki kuda itu.Angin senja semakin kencang hingga pohon-pohon puntampak condong mengikuti arah hembusannya. Desau dandera cemara semakin mengguruh bagaikanmenyenandungkan sorak-sorai gempita alam yangbersukacita.

Dw

Ketika malam telah tiba kedua pemuda itu mengikutilangkah-langkah ayahnya yang memeriksa benda-bendapusakanya. Orang tua itu membetulkan letak benda-benda

Page 22: 03-Nurani Yg Terkoyak

pusaka itu. Kadangkala menimangnya dan mengelusnyapenuh perasaan. Tempat pusaka itu sebetulnya tidak begituluas, namun penuh dengan sekat-sekat yang terbuat daripapan kayu jati yang sudah dihaluskan. Benda-bendapusaka itu tertata rapi, berderet sesuai dengan jenis danbesar kecilnya ukuran serta pamornya.

Laki-laki tua itu berhenti dan memandang kepada keduaputranya lalu beralih pada senjata-senjatanya.

"Lihat anak-anakku. Senjata-senjata pusaka buatanayahmu mempunyai mutu yang tak diragukan lagi.Pemerintah Singasari sudah mengakui secara resmi.Senjata-senjata buatan Hanggareksa sudah diujikemampuannya dalam berbagai peperangan. Para perwirapasukan merasa bangga bila di pinggangnya terselip senjatabuatan ayahmu. Pamornya akan naik dan keberaniannyamenjadi berlipat ganda. Hemhh..., lihat!"

Laki-laki tua itu memegang sebilah keris, menimangnyalalu mencabut gagangnya dengan senyum kebanggaan.Terdengar suara berdencing ketika benda pusaka itudicabut.

"Keris Naga Tapa. Keris semacam ini banyak disukaipara senopati agung yang diturunkan ke gelanggangpertempuran." Kedua putranya hanya mengangguk-anggukketika ayahnya kembali menyarungkan keris Naga Tapalalu menempatkan kembali pada sekat paling pinggir.

Kembali laki-laki tua itu meraih pusaka yang lain.Menimangnya dan segera meraba gagangnya dengantangan gemetar. Terdengar suara berdencing tatkala iamencabut pusaka itu. Kedua putranya mengerutkandahinya sambil menghela napas dalam-dalam.

"Keris Naga Polah. Polah artinya bergerak. Makabentuknya berlekuk-lekuk seperti seekor naga yang sedang

Page 23: 03-Nurani Yg Terkoyak

bergerak-gerak. Tuanku Lembu Sora dan Banyak Kapukmenyukai keris semacam ini. Di samping bentuknya indah,keris ini juga ampuh." Laki-laki tua itu menunjukkanbeberapa saat pamor keris itu sebelum kembalimenyarungkannya pada wrangkanya lalu menaruh bendapusaka itu ke tempatnya semula. Tangannya terulur padasebuah benda pusaka yang lebih besar. Tangan kirinyamencengkeram benda itu kuat-kuat lalu tangan kanannyameraba gagangnya. Laki-laki tua itu menahan napas saatmemegang benda pusaka yang cukup besar itu.

Wrangkanya terbuat dari kulit kerbau yang cukup umur,tampak bersih mengkilap karena cukup terawat denganbaik. Sambil mencabut benda pusaka itu laki-laki tua itumenjelaskan pada putranya, "Pedang atau klewang.Perhatikan jenis logamnya. Tidak begitu berat, tapikerasnya melebihi batu-batuan dari langit."

Laki-laki tua itu mengangkat tinggi-tinggi pedang itu.Sisi-sisi mata pedang itu tampak bersinar dan berkilat-kilatketika tertimpa cahaya pelita yang menerangi ruanganpenyimpan benda pusaka itu. Laki-laki tua itu menghelanapas dalam-dalam dan menyimpannya dalam perutkemudian dengan sekuat tenaga mengayunkan pedang itupada sebuah balok kayu.

"Hiaaaaahhhh!" terdengarlah suara berderak-derak balokkayu yang terbelah sempurna. Dengan bangga sekali laki-laki tua itu memandang pusaka buatannya dan melirik padakedua putranya yang mengerutkan dahi dan mengangguk-angguk melihat kehebatan senjata buatan ayahnya.

"Berapa ribu kepala terputus dari tubuhnya dengansenjata semacam ini ketika terjadi perang besar antarapasukan Kediri melawan pasukan Tumapel. Desa Gantermenjadi saksi pembunuhan besar-besaran itu." Laki-laki tua

Page 24: 03-Nurani Yg Terkoyak

itu segera menyarungkan pedang ke dalam wrangkanya danmenaruhnya kembali pada tempat semula.

Setelah beberapa saat lamanya mereka bertigamembenahi letak senjata-senjata pusaka, ketiganya dudukpada bangku panjang dalam ruangan itu. Cahaya pelitaminyak tampak berkedip-kedip tertiup angin yangmenembus dinding papan. Bau apek dan kurang sedapwarangan pusaka memenuhi ruangan itu, namun merekasudah tampak biasa dengan bau-bauan seperti itu. Laki-lakitua itu menyapu keringat dengan tangannya, mengaturnapas dan memandang kedua putranya.

"Nah, anak-anakku. Kalian berdua harus mewarisikeahlian ayahmu dalam hal pembuatan senjata pusaka ini.Kalian harus mampu mencipta keris Naga Tapa yangampuh seperti yang dimiliki Gusti Ranggalawe yangbernama Megalamat. Kalian juga harus mampumenciptakan keris Naga Polah, juga harus bisa membuatpedang-pedang yang tajamnya melebihi pisau pencukur.Kalian juga harus mampu menciptakan tombak-tombakyang nantinya diperhitungkan pihak musuh. Kalian harusterus belajar dan menggali pengetahuan tentang senjatapusaka sebagai tanda bakti pada orang tua. Dwipangga dankau Kamandanu."

"Ya, Ayah," jawab keduanya berbareng.

"Ketahuilah. Ada satu hal yang menjadi ganjalan di hatiayahmu dalam hal memelihara dan mengembangkan usahapembuatan senjata pusaka ini."

"Apakah itu, Ayah?" tanya Arya Dwipangga.

"Ada seseorang yang kemungkinan bisa menjegal usahakita ini."

"Siapa, Ayah?" tanya Arya Kamandanu

Page 25: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Kalian tentu kenal dengan baik. Dia sahabat ayahmusendiri."

"Barangkali yang Ayah maksudkan Paman Ranubhaya?"Arya Kamandanu menangkap arah pembicaraan ayahnya.Laki-laki tua itu memandang putra bungsunya kemudianberalih pada putra sulungnya.

Ia mengangguk-angguk sambil tersenyum getir

"Ya. Kakang Ranubhaya-lah orangnya."

"Bukankah Paman Ranubhaya selama ini membantuayah membuat senjata pusaka? Sudah berapa puluh senjatapusaka pernah dikirim kemari melalui Wirot, muridnyayang setia," sela Arya Kamandanu.

"Itu dulu, Kamandanu. Sekarang dia tidak mau bekerjasama lagi dengan ayahmu. Mungkin dia mempunyaimaksud-maksud tertentu."

"Mungkin Paman Ranubhaya sudah merasa tua danmerasa tidak sempurna lagi dalam bekerja menciptakansenjata pusaka," kata Arya Kamandanu berusaha membelaMpu Ranubhaya

"Kalian tidak perlu ikut campur urusan ini. KalauRanubhaya tidak mau bekerja membantuku dan itu karenamaksud-maksud yang kurang baik, Hanggareksa yang akanturun menghadapinya. Kamandanu!"

"Ya, Ayah."

"Kau masih sering datang ke rumahnya?"

"Eh, ya... sekali waktu, Ayah. Soalnya PamanRanubhaya sangat baik pada saya," jawab pemuda itu agakgugup.

"Mulai sekarang kau tidak kuizinkan menginjak halamanrumahnya lagi. Dulu dia memang kakak seperguruanku.

Page 26: 03-Nurani Yg Terkoyak

Karena itu kalian sudah sepantasnya memanggilnya paman.Tapi dia sekarang sudah menjadi orang lain. Bahkan orangyang kuanggap bisa membahayakan usaha-usaha kita."

Arya Kamandanu dan Arya Dwipangga berpandanganmendengar kata-kata terakhir ayahnya. Mereka tidakmengerti apa-apa, tetapi mereka menangkap sesuatu yangtidak sehat lahir dari hati ayahnya. Tampak sakit dan getirsekali ucapan itu terlontar dari bibir ayahnya yang hitamdan mulai mengisut. Akhirnya, mereka segera keluar dariruangan penyimpanan senjata. Kembali ke kamar masing-masing dengan membawa hati dan pikirannya sendiri-sendiri.

Mereka berpikir yang jauh lebih menyimpang dari apayang dikehendaki orang tuanya.

odwo

Malam kian merayap dan embun bercampur kabut mulaimeniti waktu. Di tempat lain, di sebuah rumah papancukup besar dengan pekarangan yang sangat luas. Di dalamsalah satu kamar rumah itu duduklah seorang gadis denganrambut awut-awutan. Wajahnya kusut dan keduatangannya mendekap perutnya yang melilit-lilit. Daribibirnya selalu mendesiskan suara yang kurang jelas.Tampak seperti rintihan dan lolongan panjang. Seoranglaki-laki agak tua berdiri di depannya dengan dahiberanyam kerutan. Laki-laki itu menghela napas kemudianmemperhatikan putrinya yang terisak-isak.

"Ratih! Kalau kau terus menangis begitu, aku tidak bisaberbuat apa-apa. Aku tidak bisa menolongmu. Kau harusbicara terang-terangan pada ayahmu, Nari Ratih."

"Saya tidak' apa-apa, Ayah. Saya tidak sakit."

Page 27: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Kau seharian tidur di atas pembaringan dan mengeluhkepalamu pusing. Kau juga tidak mau makan dan tadiPalastri memberi tahu padaku, bahwa kau muntah-muntahdi sungai ketika sedang mencuci pakaian. Apakah itu bukanpenyakit?" laki-laki itu kembali cemas dan setengahmendelik curiga saat putrinya mendekap perutnya semakinerat. Merunduk dan merintih. Bibirnya tampak menebalkarena selalu terbuka. Hidungnya merah kembang kempisseiring air mata yang terus mengalir membasahi pipinya.

"Ada apa dengan perutmu, Ratih?"

"Ehh, tidak...apa-apa, Ayah..."

"Kok diremas-remas begitu?"

"Sssssshhh, agak mules, Ayah. Biar sajalah."

"Kok biar sajalah bagaimana kau ini?"

"Sudah biasa, nanti juga sembuh sendiri."

"Bagaimanapun yang namanya penyakit harus diobati."

"Saya sudah minum ramuan daun-daunan, Ayah. Nantijuga sembuh."

"Hmmh, kau di rumah. Aku akan keluar sebentar."

"Ke mana, Ayah? Ini sudah malam."

"Jangan banyak bertanya, aku akan memanggil NyiWarih!"

"Oh, jangan, Ayah. Tidak usah, nanti juga sembuhsendiri!"

Laki-laki itu tidak mempedulikan panggilan putrinyalagi. Ia segera membalikkan tubuh dan keluar dari kamarputrinya serta menutup daun pintu kamar sedikit kasar.Nari Ratih merunduk dan wajahnya memucat karena sakitdan cemas. Jantungnya menggemuruh berdetak semakin

Page 28: 03-Nurani Yg Terkoyak

cepat. Napasnya terengah-engah karena ketakutan mulaimerayap dan menjalari seluruh perasaannya.

"Ohh, bagaimana ini? Bagaimana kalau Ayah sampaitahu? Oh..."

Gadis itu tidak bisa berbuat lain kecuali pasrah padakeadaan. Perlahan kembali ia berbaring dengan mendekapperutnya yang semakin mual dan melilit-lilit.

Bagaimanapun juga hati Nari Ratih tidak tenteram.Lebih-Lebih malam itu di dalam kamarnya telah hadirseorang perempuan tua yang memeriksa perutnya denganmengurut, meraba dan meniup-niupnya sambil komat-kamit menggumam membacakan mantera dari bibirkeriputnya. Tangan perempuan tua itu dirasakan sangatlembut mengusap perut Nari Ratih. Gadis itu setengahmerintih sambil memejamkan matanya. Tubuhnyamenggelinjang, kedua kakinya ditekuk dan diselonjorkanlagi. Dari bibirnya selalu mendesah dan mendesis.

"Oh..., Nyai Warih... sakit, Nyai."

"Hemhh, tidak apa-apa kok."

Perempuan tua itu kemudian bangkit setelahmenyelesaikan tugasnya. Nari Ratih diselimuti selembarkain. Gadis itu mencuri pandang kepada perempuan tuayang dipanggilnya Nyai Warih yang berdiri di sampingnyakemudian beranjak meninggalkannya sambil berkata,'"Istirahatlah, Nduk. Hati-hati."

"Iya, Nyai Warih," jawab gadis itu sambil menghelanapas dalam-dalam. Hatinya semakin berdebar-debar danperasaannya tak menentu.

Terdengar derit pintu dibuka dan ditutup dengan halusoleh perempuan tua itu, suaranya berderit menyayatkeheningan malam.

Page 29: 03-Nurani Yg Terkoyak

Malam kian merayap, di luar terdengar lolong anjing liaryang kelaparan. Rekyan Wuru, orang tua Nari Ratih dudukdi ruang tengah dengan sangat cemas. Ketika tahu NyaiWarih datang menghampirinya, ia pun segera bangkitdengan dahi beranyam kerutan.

"Bagaimana, Nyai?" tanyanya penasaran dan sangatlirih.

"Hehhh. Bagaimana bisa terjadi begini, Rekyan Wuru?"

"Berat sakitnya, Nyai?"

"Sakit anakmu ini bisa dikatakan berat, tapi bisa puladikatakan tidak berat. Tapi, bagaimana aku harusmengatakannya padamu, Wuru?"

"Katakan saja, Nyai. Aku sanggup membayarpengobatannya. Dia anakku satu-satunya. Aku relaberkorban apa saja demi keselamatannya."

"Hmmm. Sepanjang penglihatanku, anakmu itu jarangpergi ke luar rumah."

"Memang, Nyai. Dia anak yang baik. Paling-paling diapergi ke luar hanya untuk mencuci pakaian di sungai.Memang sekali waktu dia minta izin ke rumah temannya.Tapi itu jarang terjadi. Ada apa, Nyai?" Rekyan Wurusemakin cemas dan mendekatkan bibirnya ke telingaperempuan tua itu.

Nyai Warih kemudian melangkah dua tindak dan dudukdi kursi yang terbuat dari kayu jati tua. Kursi itu tampakmengkilap sebab sering diduduki.

Kelihatan ringan sekali perempuan itu meletakkanpantatnya. Kedua tangannya bertumpu pada pangkuannya.Menghela napas kemudian memandang ke arah Rekyan

Page 30: 03-Nurani Yg Terkoyak

Wuru sangat tajam. "Kalau saja anakmu sudah bersuami,hal ini justru merupakan berita yang menggembirakan."

"Nyai Warih, apa maksudmu, Nyai?" Rekyan Wurumatanya melotot dan menubruk lutut perempuan tua itusambil menggoyang-goyangkannya. Lelaki tua itu benar-benar penasaran.

Perempuan tua itu memegang tangan Rekyan Wurukemudian membimbingnya agar lebih tenang duduk dikursi di sampingnya.

"Wuru, kau jangan terkejut. Aku terpaksa mengatakanapa adanya. Anakmu, Nari Ratih sekarang ini sudah siapmemberimu seorang cucu "

Seketika Rekyan Wuru duduk melemas. Jantungnyaserasa mau lepas. Otot-otot tubuhnya seperti dilolosi.Matanya berkaca-kaca.

Jawaban Nyai Warih yang terus terang bagaikansambaran petir di telinganya. Tapi dengan tiba-tiba juga iakemudian bangkit. Kedua tangannya mengepal. Terdengargiginya gemeretak menahan geram.

"Cucu? Aku akan mempunyai cucu?" ucapnya sepertitidak percaya.

"Ya. Anakmu sedang mengandung tiga bulan lamanya."

"Mengandung? Bagaimana Nari Ratih bisamengandung? Dia belum bersuami, Nyai. Ratiiiih! Kemarikau anak setaaann. Kubunuh kau!" lelaki itu berteriak bagaikesurupan setan. Wajah Rekyan Wuru menjadi merahpadam. Giginya semakin gemeretak. Kedua tangannyamengepal, napasnya memburu dan lelaki tua itu hendakmelangkahkan kakinya menuju kamar putrinya. Bekasperwira pasukan Singasari pada zaman pemerintahan Prabu

Page 31: 03-Nurani Yg Terkoyak

Ranggawuni itu benar-benar tidak mampu menahanemosinya, "Ratih.... Keluar kau!"

"Sudahlah, Wuru, jangan diapa-apakan anakmu itu.Kasihan. Dia juga sudah menderita karenanya," cegahperempuan tua itu sambil memegangi pergelangan tanganlelaki tua itu dengan kedua tangannya.

Napas Rekyan Wuru terengah-engah. Ia benar-benarmarah dan menahan kegeraman. "Dia sudah beranimelempari mukaku dengan kotorannya! Anak setan. Ratih!Apa telingamu sudah budeg? Ayoh, sini kau! Sini! Ayahmumau melihat mukamu yang cantik tapi belepotan comberanituu! Ratiihh... sini!"

Mendengar panggilan ayahnya yang berkali-kali dansangat keras itu, Nari Ratih menggigil sendirian dikamarnya. Ia mendekap perutnya makin erat Perlahan iabangkit dan membuka pintu kamarnya. Ketika melangkahkeluar kamarnya, ia tidak berani mengangkat wajahnya.Lebih-lebih ketika ia tahu mata ayahnya melotot merahpadam dan sangat berapi-api menahan amarah.

"Kemari kau anak setan!"

"Oh, maafkan saya, Ayah!" suara itu nyaris takkedengaran keluar dari bibir mungil Nari Ratih yangberjalan merunduk sambil mendekap perutnya.

Rekyan Wuru mengibaskan pegangan Nyai Warih yangsangat erat hingga perempuan itu hampir terpelanting jikatidak memegang sandaran kursi. Laki-laki tua itumelangkah cepat menghampiri putrinya. Tangan kananlaki-laki tua itu terangkat dan melayang di udara, "ini maafuntukmu, Ratih!"

Bersamaan dengan suara tamparan yang sangat keras ituNari Ratih memekik dan menjerit disusul dengan isak

Page 32: 03-Nurani Yg Terkoyak

tangis pilu. Gadis itu pun berlutut di kaki ayahnya dengansedu-sedan mohon dikasihani dan diampuni.

Rekyan Wuru napasnya terengah-engah. Dadanya terasasesak sekali Nyai Warih pun menggigil sambil berusahamencegah supaya gadis itu jangan disakiti lagi. Perempuantua itu kembali memegangi tangan kiri Rekyan Wuru yanghampir kalap. "Wuru, sudahlah! Ini sudah malam. Nantipara tetangga datang kemari."

"Aku mau lihat apa ada yang berani datang kerumahku!" Mata lelaki itu kian liar dan merah membara,melotot pada putrinya yang terisak dan merunduk dikakinya. "Ratih! Dari kecil kau kugendong-gendong,kubopong-bopong. Kalau rewel kau kunyanyikan tembangyang merdu. Kau kupelihara dengan baik. Kau kusayangisepenuh hatiku dan sekarang seperti ini balasanmu kepadaorangtua. Hiiiihh! Hiih, hihhhh!" Kembali tangan kananlelaki' tua itu melayang dan mendarat di pipi kanan dan pipikiri putrinya.

Nari Ratih menjerit pilu. Jika Nyai Warih tidak segeramenubruk dan merangkulnya pasti ayahnya sudahmenghajarnya hingga babak belur.

Tubuh perempuan tua itu kini menjadi perisai, menjadipelindung gadis yang tidak berdaya itu.

Dalam keciutan dan kecemasan hatinya kini ia bagaiseekor anak ayam di bawah sayap induknya. Gadis itusemakin pilu menangis tersedu-sedu.

"Wuru, jangan kau apa-apakan anakmu. Kasihan, iacukup berat menanggung beban."

"Ratih! Katakan! Siapa laki-laki itu? Siapa namanya dandi mana rumahnya! Katakan, siapa bedebah itu! Hooooh,apa dia belum tahu Rekyan Wuru? Apa laki-laki itu sudah

Page 33: 03-Nurani Yg Terkoyak

bosan hidup? Ratih, apa kau sengaja membuatku naikdarah, haaah?"

"Sudahlah, Wuru, sudahlah! Bagaimanapun juga diaanakmu sendiri. Darah dagingmu sendiri. Kaupukul sampaimati pun kalau belum terbuka hatinya, dia tak akan maubicara."

"Kalau begitu biar kubunuh saja anak setan ini!" kembaliRekyan Wuru hendak menendang dan memukul putrinya,namun perempuan tua yang terkenal sebagai seorang dukunbayi itu semakin erat memeluk gadis itu. Bagaimanapunjuga ia sebagai wanita yang masih bisa merasakan masalahseperti itu. Ia adalah ayam betina, ayam induk yang harusmampu melindungi anak-anaknya dari serangan elang buas.Perempuan tua itu melirik Rekyan Wuru yang masihmelotot.

Mata Rekyan Wuru merah karena benar-benar sangatmarah dan tidak sabar lagi menerima kenyataan yangdialami anak gadisnya.

"Jangan, Wuru! Jangan begitu! Kalau dia mati, siapayang kehilangan?" cegah Nyai Warih saat laki-laki tua ituhendak menjambak rambut Nari Ratih.

"Kalau dia tak mau buka mulut, bagaimana persoalan inibisa selesai, Nyai!"

"Masih bisa dicari cara yang lain, Wuru. Janganmenuruti panasnya hati. Salah-salah anak sendiri menjadikorban." Nyai Warih semakin erat memeluk Nari Ratih.

Rekyan Wuru membalikkan badannya sambilmemelintir kumisnya. Mengelus janggutnya dan melenguhpanjang seperti sapi jantan lepas dari talinya.

"Nduk, Ratih! Sudahlah. Lebih baik kau masuk kedalam. Kau tampak lelah sekali, lebih baik kau tidur saja.

Page 34: 03-Nurani Yg Terkoyak

Tidurlah, Nduk. Urusan ini biar ayahmu yangmenyelesaikan."

Sementara waktu mereka saling diam. Hanya isak pilugadis itu terdengar mengiba. Rekyan Wuru berusahamengendalikan dirinya. Namun masih juga jengkel melihatputrinya yang tidak mau menjawab semua pertanyaannya.Ia melangkah beberapa tindak sambil memandang putrinya.Kali ini pandangannya agak meredup.

"Kalau kau tetap membisu seperti itu, masalahmu tidakakan selesai!" kesal dan perih sekali suara lelaki tua itu.

Nyai Warih bangkit seraya memapah Nari Ratih dandiajaknya ke dalam kamar. Dibiarkannya gadis itu duduk disisi pembaringan sambil mengeringkan air matanya.Perempuan tua itu membelai rambut gadis itu kemudianmerunduk dan mencium pipi kanan Nari Ratih penuh kasihsayang. "Tidurlah, Nduk! Kau harus banyak istirahat,"bisiknya lirih. Nari Ratih hanya mengangguk kemudianmenghela napas penuh penyesalan dengan apa yangdilakukannya.

Perempuan tua itu kembali ke ruang tengah di manaRekyan Wuru duduk gelisah. Kali ini mata perempuan tuaitu menjadi terbelalak dan melotot besar. Jantungnyaberdetak lebih cepat ketika melihat di pangkuan lelaki tuaitu terdapat sebilah pedang.

Melihat gelagat yang kurang baik itu ia tidak beraniberkata apa-apa saat lelaki tua itu menoleh kepadanyasambil bangkit dan menimang-nimang benda tajam itu.

"Kalau dia tidak mau mengaku siapa laki-laki yang telahmencemarkan kesuciannya itu. Kukira tidak ada jalankeluar, Nyai."

Page 35: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Coba sekarang kauingat-ingat lagi. Siapa kira-kirapemuda desa ini yang pernah akrab dengan anakmu."

"Ratih itu masih perawan kencur, Nyai. Belumpengalaman. Pengetahuannya tidak lebih luas daripekarangan rumahnya sendiri. Dia keluar rumah hanyakalau mencuci pakaian di sungai. Itu pun tidak lama danpasti ada kawannya gadis yang lain "

"Kalau begitu kau kurang awas, Wuru. Aku saja yangbukan tetangga dekatmu pernah mencium berita darimereka, orang-orang desa. Bahkan aku pernah melihatpemuda itu menghampiri anakmu, lalu mereka bercakap-cakap sampai lama."

"Siapa pemuda itu, Nyai? Mengapa orang-orang tidakada yang memberi tahu padaku?"

"Barangkali mereka sudah tahu watakmu dan merasasungkan untuk menyampaikannya padamu, Wuru."

"Siapa orang itu, Nyai? Apakah warga desa Mangunturatau pemuda dari desa lain?"

"Anak Manguntur juga."

"Siapa namanya?"

"Dangdi."

Mendengar jawaban Nyai Warih seketika Rekyan Wuruseperti sadar dari lamunan panjang. Kepalanya ditarik kebelakang dengan mata melotot. Dihempaskannya napasnyakuat-kuat hingga terdengar kasar sekali dengusnya. Gagangpedang dirabanya perlahan sambil tetap melotot meman-dang ke arah perempuan tua di depannya. Kemudianberpaling lagi memandang ke ujung malam melalui pinturumahnya yang tidak ditutup Laki-laki tua itu melangkah

Page 36: 03-Nurani Yg Terkoyak

beberapa tindak dengan dada mengguruh. "Dangdi?Maksudmu...?"

"Ya, Dangdi anak Suraprabawa, Kepala DesaManguntur," jawab Nyai Warih yang membuat darahRekyan Wuru kembali menggelegak.

Kemarahan Rekyan Wuru sudah memuncak sampai keubun-ubun kepalanya. Dicabutnya pedang itu hinggaterdengar bunyi berdencing. Sambil tersenyum menyeringaigeram lelaki tua itu menimang-nimang senjata tajam yangberkilat-kilat tertimpa cahaya pelita.

Nyai Warih sampai bergidik melihatnya. "Wuru, akupulang dulu," pamitnya sambil melangkah pergi tanpamenghiraukan lelaki yang sudah terlalu lama menungguberlalunya malam.

Lelaki itu sedikit gugup lalu ia pun segera mengantarkanperempuan tua itu pulang.

dw

Pagi-pagi buta tampak seorang lelaki tua berjalansetengah berlari. Pada pinggangnya terselip sebilah pedang.Napasnya terengah-engah. Wajahnya tampak sangattegang. Kakinya yang telanjang menggugurkan embun-embun pagi di pucuk-pucuk rumput. Lumpur tanah merahpun banyak yang melekat di sela-sela jari kaki dan tumitnyayang kasar. Sinar matahari masih malu-malu di ufuk timur,hanya semburat cahayanya meraba punggung bumi yangmasih berhias selimut kabut. Laki-laki tua itu menuju suatutempat.

Langkahnya yang tegar itu akhirnya berhenti di balikpagar beluntas yang mengelilingi pendapa.

Page 37: 03-Nurani Yg Terkoyak

Bangunan itu terdiri dari tiga bangunan utama yangsemuanya berbentuk joglo dan beratap sirap. Lantainyaterbuat dari papan-papan kayu jati yang sudah dihaluskan.

Laki-laki tua itu matanya berkilat-kilat dan berwarnamerah karena amarah dan kurang tidur semalam. Padasudut kedua matanya tampak belobok, tahi mata yang tidaksempat dibersihkan Napasnya semakin memburu danterdengar dengus kasar sekali. Kedua tangannya berkacakpinggang dan kedua kakinya memasang kuda-kuda.

"Haiiiii, Suraprabawa! Keluar dari rumahmu!Suraprabawa, jangan merasa dirimu menjadi Kepala DesaManguntur lalu kau mau berbuat semena-mena terhadapkeluargaku! Hayo, keluar kau Suraprabawa! Iniiii akuRekyan Wuru mau bicara denganmu!"

Mendengar suara berteriak dari halaman rumahnyamaka orang yang dipanggil namanya itu melongokkankepala dari balik pintu dengan langkah tergopoh-gopoh.Wajahnya tampak kuyu, matanya masih enggan terbukakarena masih terdapat sisa-sisa ngantuk, "Siapa itu yangberteriak-teriak di pagi buta begini?"

"Aku! Bukalah matamu lebar-lebar, Suraprabawa danlihat siapa yang berteriak-teriak di halaman rumahmu."Rekyan Wuru semakin memelototkan matanya. Melangkahbeberapa tindak ketika melihat Ki Suraprabawa melangkahke halaman dengan mengerutkan dahinya karena tidakmengerti apa yang dikehendaki tamunya.

"Ohh, kiranya Rekyan Wuru yang datang," sapanya lirihdan terus mendekati tamunya.

"Yah, aku mau bicara denganmu, Suraprabawa. Akumau bicara sebagaimana seorang laki-laki berbicara."

"Ada persoalan apa, Rekyan Wuru?"

Page 38: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Suraprabawa! Kalau kau tidak mampu menghajaranakmu yang berandalan itu, serahkanlah padaku! Biarkubuat dia mengerti bertingkah laku yang baik."

"Ada apa dengan anakku?"

"Dangdi, anak laki-lakimu itu, sudah berani menepakmukaku. Anakmu sudah berani mencoreng wajahku."

"Tenanglah, Rekyan Wuru! Mari kita bicarakan secarabaik. Mari, masuklah ke dalam!" ajak Ki Suraprabawabersabar, namun Rekyan Wuru justru tampak semakingusar dan mendenguskan napas seperti banteng terluka.

"Tidak! Kita rampungkan di sini saja."

"Seorang tamu yang baik tentu akan mau dipersilakanmasuk ke dalam rumah."

"Aku bukan bertamu."

"Lalu apa keperluanmu?"

"Aku mau menuntut hakku! Aku mau membuatperhitungan denganmu."

Rekyan Wuru menggeram dan mendelik. Tangankanannya tidak sabar ketika mencabut pedang. Suaraberdencing saat benda tajam itu keluar dari wrangkanya.Mata pedang itu berkilat-kilat.

Melihat gelagat yang kurang baik itu Ki Suraprabawamundur dua tindak karena terkejut.

"Rekyan Wuru! Mengapa kau mencabut pedangmu?"

"Anakmu sudah menghina keluargaku dan itu berartikau menghina aku. Kalau aku mencabut pedang, itupertanda bahwa harga diriku tidak terima."

"Huuu, kalau kau bisa sesumbar dengan pedangmu itu,aku pun bisa melakukan hal yang sama!" jawab Ki

Page 39: 03-Nurani Yg Terkoyak

Suraprabawa sedikit meninggi sambil perlahan tangankanannya meraba gagang pedang yang terselip dipinggangnya. Perlahan sekali pedang itu dicabut dariwrangkanya.

Benda tajam itu terhunus nyaris tanpa mengeluarkansuara. Ki Suraprabawa tersenyum dingin, disambut dengantawa bernada olokan Rekyan Wuru yang semakinmemperkukuh kuda-kudanya Ki Suraprabawa punmelakukan hal yang sama.

"Selama menjadi Kepala Desa Manguntur, baru kali iniaku menyambut tamuku dengan cara yang sangat tidakramah. Tapi semua itu karena kau memaksa aku, RekyanWuru. Nah, apa maumu sekarang?"

"Bagus! Rupanya kau orang tua yang punya tanggungjawab juga. Nah, sekarang kita selesaikan perkara ini secarajantan."

"Aku belum tahu perkara apa yang kaumaksudkan,Rekyan Wuru. Tapi kalau kau menggunakan pedangmu ituuntuk menyerangku, maka dengan terpaksa akumempertahankan diri."

Kedua lelaki tua itu semakin erat memegang pedangmasing-masing. Kaki kanan Rekyan Wuru maju selangkah.Napasnya mendengus

Tangan kanannya tampak gemetar mencengkeramgagang pedang. Sebaliknya, Ki Suraprabawa berusahatenang sambil berjaga-jaga penuh. Perlahan menghirupudara pagi dan menyimpan di perut seiring memantapkanposisi kuda-kudanya. Pada saat itulah Rekyan Wuru tiba-tiba menyerang, melompat dan menebaskan pedangnya kekanan dan ke kiri. Menghunjam, menusuk dan mencecar kearah Kepala Desa Manguntur.

Page 40: 03-Nurani Yg Terkoyak

Ki Suraprabawa berusaha menangkis dengan pedangnya,maka terjadilah perkelahian sengit di pagi buta itu.

Denting pedang dan suara ribut-ribut itu mengundangperhatian penduduk di sekitar tempat itu. Mereka berusahamenghentikan keributan itu. Dua laki-laki tinggi besarmenubruk dan mendekap Rekyan Wuru agar tidakmenyerang Ki Suraprabawa. Laki-laki tua itu tak berkutikdalam dekapan dua orang tinggi besar yang berusahamenyabarkannya.

Rekyan Wuru meronta dan berusaha melepaskan diri.Napasnya terengah-engah memburu. Butir-butir keringattelah membasahi dahi, hidung dan seluruh tubuhnya.Matanya mendelik dan merah. Akhirnya, ia pasrah padapara tetua yang melerainya.

Ki Suraprabawa mengusap lengannya yang tergores olehpedang Rekyan Wuru. Ia berusaha tenang dan bersabar.Berkali-kali ia menggeleng-gelengkan kepala setelahmenyarungkan kembali pedangnya. Ia mengelus kumis danjanggutnya sambil menghela napas, kemudian mengurutdadanya yang masih tampak tersisa bekas-bekas seorangyang memiliki ilmu bela diri. Gempal dan padat di balikkulitnya yang mulai mengendur.

"Ayo Suraprabawa, suruh pergi orang-orangmu ini! Kitalanjutkan pertarungan ini sampai salah seorang di antarakita menjadi bangkai!" tantang Rekyan Wuru sekalipun iadipegangi beberapa orang.

Pada saat itulah tampak seorang pemuda lari tergopoh-gopoh mendekati tempat keributan. Pemuda itu masih kuyudan matanya merah oleh sisa-sisa kantuknya. Berkali-kali iamenggosok-gosokkan punggung tangannya ke pelupukmatanya yang terasa gatal dan tebal. Sisa-sisa tahi matatampak mengering di sudut-sudut matanya. Pemuda itu

Page 41: 03-Nurani Yg Terkoyak

semakin mendekat dan ia terkejut sekali menyaksikan apayang ada di depan matanya. Pemuda itu memperhatikanayahnya dari ujung kaki sampai ke ujung rambut.

Tampak darah segar menghiasi lengan kiri ayahnya.

"Ayah, ada apa? Mengapa berkelahi dengan PamanWuru?"

"Heh, kaukah yang bernama Dangdi?" seru RekyanWuru beringas dan berusaha melepaskan diri, namunusahanya sia-sia.

Dangdi tidak berani mendekat. Matanya seperti kanak-kanak karena cemas mendengar seruan lelaki tua itu

"Eh, ya. Benar, Paman. Saya Dangdi."

"Kau harus kubuat babak belur, anak setan!"

"Eh, tunggu! Tunggu!" Dangdi tampak gugup. Ayahnyamendera dengan tangan kanan hingga pemuda itu berada dibelakangnya.

Ki Suraprabawa menatap tajam ke arah Rekyan Wuruyang berusaha melepaskan diri dari orang-orang yangmemeganginya.

"Rekyan Wuru! Kalau kau sentuh anakku sebelumpersoalannya kaujelaskan, urusan ini akan menjadi panjang!Aku Kepala Desa! Aku bisa menuduhmu mengacau DesaManguntur dan melaporkannya pada PemerintahSingasari."

"Sebenarnya ada persoalan apa, Ayah?"

"Dia menuduhmu telah mencoreng mukanya. Entah apamaksudnya, aku tidak tahu."

Page 42: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Dangdi! Terus terang saja, supaya perkara ini tidakberlarut-larut. Apa yang telah kaulakukan pada anakku,Nari Ratih?"

Pemuda itu mengerutkan dahi, memandang ayahnyakemudian beralih pada Rekyan Wuru. Menggigit bibirnyasendiri sambil berusaha keras meraba-raba apa sebetulnyayang dikehendaki orang tua Nari Ratih.

"Apa yang telah saya lakukan? Rasanya saya tidakpernah melakukan..."

"Kau telah merusak kesuciannya! Kau telah menodaianakku!"

"Oh, tidak! Saya tidak pernah melakukannya!"

"Banyak orang melihat kau berusaha mendekati anakku.Jangan mangkir kau, Dangdi."

"Benar. Saya memang berusaha mendekati Nari Ratih,tapi putri Paman wuru tidak pernah menanggapinya.Setelah itu saya pun tidak mau mendekatinya lagi."

"Dusta!"

"Tidak. Saya tidak berdusta. Banyak saksinya bahwasaya tidak pernah lagi menggoda Nari Ratih."

"Dangdi! Berilah kesaksian yang benar! Akuilah kalaumemang itu perbuatanmu!" sela Ki Suraprabawa dalam danbijaksana.

"Sungguh, Ayah. Saya tidak melakukannya."

"Kalau kau berani berdusta, kupotong lidahmu. Akutidak peduli walau kau anakku sendiri."

"Saya tidak melakukannya, Ayah. Tapi rasanya sayatahu siapa pemuda yang tidak sopan itu. Pemuda yangberbuat tidak senonoh pada Nari Ratih."

Page 43: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Siapa, katakan cepat!" bentak Rekyan Wuru tak sabarsambil meronta ingin melepaskan diri tetapi kedua pangkallengannya tetap dipegangi orang-orang di kanan kirinya.

"Dia bukan anak desa Manguntur."

"Iya, siapa namanya dan di mana dia tinggal?" bentakRekyan Wuru.

"Dia anak desa Kurawan. Namanya Arya Kamandanu."

dw

Serentak orang-orang yang mendengarkan peristiwa itubergumam dan manggut-manggut. Perlahan-lahan kedualelaki tinggi besar yang memegangi Rekyan Wurumerenggangkan pegangannya kemudian melepaskan lelakitua itu.

Rekyan Wuru menghela napas dan dengan cepatmenyarungkan pedangnya. Mukanya merah padammenahan marah. Ia menatap tajam pada Dangdi yangberdiri di samping ayahnya.

Ki Suraprabawa memelototi putranya dengan rasa kesal,"Maksudmu anak Mpu Hanggareksa?"

"Ya, Ayah. Pasti dialah orangnya."

"Nah, bagaimana, Rekyan Wuru?" tanya KiSuraprabawa dengan nada dingin sekali. Rekyan Wurumendengus dan melangkah beberapa tindak sambilmenatap tajam ke arah Dangdi.

"Dangdi! Awas kalau kau berkata tidak benar! Aku akankembali lagi ke sini!"

Page 44: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Kalau Dangdi berani berdusta, aku sendiri yang akanmembereskannya," tukas Ki Suraprabawa tegas sambilmenatap putranya.

"Baiklah, aku minta maaf, Suraprabawa. Aku telahmembuat keributan di pagi buta ini," Lirih kata itu terucapdari bibir Rekyan Wuru yang bergetar.

"Tidak apa, Rekyan Wuru. Ini hanya kesalahpahamanbiasa. Aku bisa memaklumi perasaanmu. Kalau kaumembutuhkan sesuatu yang menyangkut diri putrimu,katakanlah. Aku sebagai Kepala Desa Manguntur akanmembantumu."

"Terima kasih. Nah, aku pergi dulu."

Lelaki tua itu dengan perasaan malu karena telahbertindak gegabah segera bergegas meninggalkan desaManguntur. Hatinya terasa panas, mukanya merah padamkarena semua orang memandanginya dengan pandangandingin dan mencemooh. Ia berlalu tanpa menoleh kebelakang. Dengan napas terengah-engah akibat usia tuanya,Rekyan Wuru terus melangkah setengah berlari menujudesa Kurawan.

Burung-burung kutilang yang sedang berkicau di dahanpohon bengkereh terkejut ketika lelaki tua itu melintas dekatsemak-semak. Unggas-unggas liar itu beterbangan dengancericit panjang.

Embun-embun pagi masih melumuri rerumputan danpucuk-pucuk daun. Matahari semakin merayapmenyingkirkan kabut-kabut pagi yang menghalangipandangan di cakrawala.

Lelaki tua itu menghentikan langkahnya saat mendengarderap kaki kuda mendekat. Ia melihat seorang pemudatampan menunggang kuda perlahan menuju arahnya.

Page 45: 03-Nurani Yg Terkoyak

Segera ia memasang kuda-kuda sambil bertolak pinggang.Tangan kanannya meraba gagang pedang. Ia menggeramdan mendengus panjang ketika penunggang kuda itumenghentikan kudanya tepat di depannya karena iahadang.

Binatang tunggangan itu meringkik saat tuannyamelompat dari punggungnya.

"Ada apa, Paman? Mengapa Paman menghadang saya?"

"Anak muda. Apakah daerah ini sudah masuk desaKurawan?"

"Ooo, Paman mau ke Kurawan? Sembilan pai jauhnyadari sini Paman akan menemukan tugu batas desa itu.Paman jalan saja terus ke arah selatan."

"Kau anak desa Kurawan?"

"Ya, Paman. Saya lahir dan dibesarkan di Kurawan."

"Kau tahu di mana rumah Mpu Hanggareksa?"

"Oh, Paman mau menemui ayah saya?"

Lelaki tua itu melotot, darahnya tersirap dan sepertimendidih. Seolah-olah ia ingin menelan pemuda didepannya itu mentah-mentah.

Pemuda itu semakin tidak mengerti melihat gelagatsemakin tidak ramah dari lelaki tua yang menghadangnya.

Lelaki tua itu melangkah dua tindak mendekatinya.

"Anak muda! Jadi, kau anak Hanggareksa?"

"Benar, Paman. Saya anaknya. Nama saya AryaKamandanu."

Page 46: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Bagus! Kebetulan sekali. Aku tidak perlu berjalan jauhlagi. Aku bisa merampungkan urusanku di tempat ini.Kamandanu!"

"Ya, Paman."

"Kau jangan coba-coba memungkiri perbuatanmu yangtidak senonoh!"

"Eh, apa maksud Paman? Saya, saya..."

"Jangan berlagak bodoh. Kau tahu, dengan siapa kausedang berhadapan sekarang ini? Akulah Rekyan Wuru."

"Oh, Paman Wuru dari Manguntur. Bukankah Pamanadalah ayah Nari Ratih?"

"Ya. Aku ayah Nari Ratih. Aku ayah gadis yangsekarang ini sedang menderita akibat perbuatanmu.Hiaaaahh, mampus kau Kamandanu!"

"Oh, tunggu, tunggu.... Tungguuu..., Paman! Tunggu..."

Lelaki tua itu sudah tidak mau mendengarkan lagi. Iamenyerang, menerjang dan menjotos Arya Kamandanu.

Pemuda itu melompat ke sana kemari menghindariserangan lelaki tua itu. Ia benar-benar tidak mengerti apasebetulnya yang telah terjadi. Arya Kamandanu berusahatidak menyerang. Ia melompat mundur dan inginmendapatkan penjelasan orang tua itu.

"Paman! Apa salah saya? Mengapa tiba-tiba Pamanmenyerang saya?" tanya Arya Kamandanu denganterengah-engah. Lelaki tua di hadapannya pun napasnyatersengal-sengal dan melangkah beberapa tindakmendekatinya sambil meludah dan membuang muka.

"Kau sudah menodai kesucian anakku! Sekarang kauakan menerima balasan dari ayahnya! Hiaaaa,hiaaaaatthh...!"

Page 47: 03-Nurani Yg Terkoyak

Kembali lelaki tua itu mencecarnya dengan pukulan-pukulan dahsyat. Arya Kamandanu menangkis danmelompat menghindar bagaikan seekor burung Srikatanmengejar capung. Karena beberapa jurus pukulan lelaki tuaitu tak ada yang bersarang padanya maka orang tua itumenghentikan serangannya. Berdiri memasang kuda-kudasambil tersenyum menyeringai memendam amarah yangtelah memuncak.

"Bagus! Kau cukup tangkas juga! Tapi jangan sebutRekyan Wuru kalau aku tak mampu membuatmu menciumtanah dalam dua gebrakan ini!" selesai berkata RekyanWuru menarik kaki kirinya selangkah.

Tangannya membuka dan menutup di depan dada untukmembuka jurus serangannya. Gerakan-gerakan zig-zag itutampak kokoh bagaikan banteng yang hendak menyeruduk.Kemudian lelaki tua itu benar benar menggebrak AryaKamandanu dengan dua gebrakan panjang.

Tangan kanannya yang mengepal keras bersarang padadada dan perut pemuda itu.

Pemuda itu mundur terhuyung sambil mendekapperutnya yang mulas, mual seperti mau muntah. Sakit danseperti diuntir-untir. Ia mendelik roboh di tanah. Terdudukdengan napas terengah-engah. Ia berusaha memandanglelaki tua yang kini menjambak rambutnya hinggamemaksanya menengadah dengan mulut setengah terbuka

Lelaki tua itu pun terengah-engah. Tubuhnya basah,dahinya berkilat-kilat oleh keringat yang membanjir.

"Ayo, Kamandanu! Apa katamu sekarang?"

"Saya... saya tidak akan berkata apa-apa. TerserahPaman Rekyan Wuru!" jawab pemuda itu terbata karenamenahan rasa sakit yang kian melilit.

Page 48: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Jadi, kau sudah mengakui kesalahanmu?"

"Kesalahan mana yang Paman maksudkan?"

"Bedebah! Kau tikus busuk, masih juga mengaku tidakbersalah!"

"Saya benar-benar merasa tidak bersalah "

"Kau sudah menodai anakku. Kau rusak kehor-matannya! Kau mau mengakui atau tidak?"

"Tidak."

"Kurang ajar! Hiiiiihh!" Lelaki tua itu menghempaskanArya kamandanu hingga pemuda itu menggelosor di tanah.Belum puas dengan satu hempasan kembali tangannyamenampar, kakinya menendang tubuh Arya Kamandanuyang tidak memberikan perlawanan.

Pemuda itu mengaduh kesakitan.

Laki-laki tua itu membiarkan Arya Kamandanumenggelosor di depannya. Bahkan kaki kanannya kinimenginjak punggung pemuda itu.

"Dengar! Walaupun sudah tua, sudah beruban seluruhrambutku, tapi untuk membuatmu mampus aku masihsanggup."

"Apa sebenarnya yang Paman kehendaki dari saya?"

"Pengakuanmu! Kalau kau mau mengakui kesalahanmu,maka urusannya tidak akan terlalu panjang. Tapi kalau kaumasih bertahan, mau memungkiri perbuatanmu, nah! Akutidak segan-segan membuatmu cacat seumur hidup,Kamandanu!"

"Paman Wuru, saya tidak akan mengakui perbuatanyang tidak pernah saya lakukan."

"Apa? Coba kau ulangi sekali lagi!"

Page 49: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Saya tidak akan mengakui perbuatan yang tidak pernahsaya lakukan!"

"Kamandanu!" kaki kanan lelaki tua yang bertengger dipunggung Kamandanu menjejak hingga pemuda itukembali tersungkur mencium tanah. Lelaki tua itu merabagagang pedangnya dan menghunus senjata tajam yangmenggantung di pinggangnya penuh amarah. Diangkatnyapedang itu tinggi-tinggi hingga mata senjata itu berkilat-kilattertimpa cahaya matahari yang semakin merayap naik.Laki-laki tua itu menggeram bagaikan harimau hendakmenerkam mangsanya.

"Kau jangan membuatku semakin naik darah. Walaupunorang tua, tapi aku bukanlah tergolong orang penyabar.Kalau kau masih berusaha mungkir, aku akanmembunuhmu di tempat ini juga."

"Paman Wuru! Saya berani karena saya merasa benar.Kalau saya merasa benar dan tidak berani menghadapikeadaan, maka namanya saya pengecut," nada ucapanpemuda itu mantap dan berani. . Hal itu membuat lelaki tuaitu semakin geregetan dan kesal.

"Kurang ajar! Jadi, kau menantangku?"

"Paman Wuru tidak usah ragu-ragu! Saya tidak akanmelawan. Saya tahu Paman Wuru sebenarnya orang yangbaik. Saya justru kasihan sekali, mengapa Paman Wuruharus mengalami seperti ini. Saya kenal Nari Ratih. Sayapernah bersahabat dengannya."

"Sudah! Sudah! Jangan ngoceh ngalor-ngidul! Aku tidakbutuh mendengar nasihatmu!"

"Jadi bagaimana? Kalau Paman menganggap sayabersalah dan mau membunuh saya, lakukanlah! Saya tidak

Page 50: 03-Nurani Yg Terkoyak

akan melawan sedikitpun. Saya akan menyerahkan lehersaya agar Paman Wuru merasa puas."

Rekyan Wuru tertegun mendengar kata-kata AryaKamandanu. Suaranya terdengar jujur dan penuhkeberanian. Tapi karena hatinya masih panas maka orangtua itu buru-buru mencampakkan pengaruh tersebut.Digenggamnya gagang pedang semakin erat. Tangannyagemetar menahan luapan amarah di dadanya.

"Kamandanu! Akuilah bahwa kau yang menodaianakku. Dengan begitu, persoalan ini bisa segera dibereskanBarangkali kalau nasibmu mujur aku akanmengawinkanmu dengan anakku. Tapi kalau tidak, akuakan menyerahkanmu kepada Kepala Desa Mangunturagar perbuatanmu ditangani yang berwajib."

"Sudah saya katakan, bahwa saya tidak mungkinmengakui apa yang tidak saya perbuat."

"Bedebah! Kubunuh kau sekarang juga!Hiyaaaaaaaahhhhh!"

Pedang Rekyan Wuru yang sudah tergenggam ditangannya dan menggantung di udara kini diangkat tinggi-tinggi. Berkelebat berkilat-kilat dengan deras meluncur kearah leher pemuda itu.

Pemuda itu tidak mengelak, ia sudah pasrah padanasibnya. Dalam hatinya ia hanya bisa memohon keadilanpada Hyang Widhi. Jantungnya menggemuruh menanti apayang telah menimpanya.

Teriakan dan pekikan suara Rekyan Wuru membuatbulu kuduknya merinding. Lelaki tua itu matanyamendelik, seluruh tubuhnya gemetar hebat.

Berbarengan dengan senjata tajamnya yang nyarismenyentuh kulit leher pemuda itu, namun bersamaan

Page 51: 03-Nurani Yg Terkoyak

dengan itu berkelebatlah sesosok bayangan yang menangkishunjaman senjata tajam itu. Terdengar dentingan keras.Dua senjata tajam beradu. Sekarang muncul di hadapannyaseorang lelaki yang lebih tua darinya mencecarnya dengansebilah pedang. Rekyan Wuru terkejut dan mundurbeberapa tindak.

"Kunyuk jelek! Siapa kau berani turut campururusanku?"

"Hehehehe, aku memang seperti kunyuk jelek Tapi kaupun tidak lebih tampan dari seekor kambing budukHeheheheh!"

"Kau jangan membuka perkara denganku! Apa kau tidakkenal siapa diriku? Rekyan Wuru, bekas prajurit SingasariPernah menjabat sebagai perwira yang membawahi duaratus orang."

"Hebat! Hebat yah? Tapi apa gunanya kau katakan halitu padaku?"

"Supaya kau segera enyah dari sini."

"Hehehehe, jangan begitu. Menakut-nakuti orang dengancara seperti itu tidak baik. Mengapa tidak kaukatakan sajasiapa dirimu yang sebenarnya?"

"Apa maksudmu?"

"Kau adalah Rekyan Wuru, warga desa Manguntur yangsudah peyot. Mungkin dulu waktu masih muda kau pernahjaya. Tapi sekarang ini kau tidak lebih dari orangtua yangkurang bijaksana."

"Kurang ajar! Kau menghina aku! Hiaaattthhh!" RekyanWuru menerjang dan menggebrak lelaki tua denganpakaian compang camping dan kumal itu. Namun, lelakijelek di hadapannya itu begitu trengginas, gesit melompat

Page 52: 03-Nurani Yg Terkoyak

menjauhinya setelah menangkis sabetan pedangnya RekyanWuru menghentikan serangannya dengan napas terengah.Ia perhatikan betul-betul lelaki tua di hadapannya denganmata melotot....Napasnya terengah-engah. Di bibirnyamencibir sebuah senyuman getir. Ia melangkah beberapatindak dengan langkah kuda-kuda.

"Kau... kau punya kebisaan juga rupanya? Siapanamamu?"

"Nah, nah, Rekyan Wuru! Napasmu sudah kembangkempis seperti seekor ikan mujair kekeringan. Bagaimanakau masih berani menyombongkan diri?"

"Kalau kau masih belum pergi dari tempat ini, jangansalahkan aku kalau pedang ini akhirnya ikut bicara!"

Lelaki tua berpakaian kumal dan compang-camping itutidak menghiraukan ancaman Rekyan Wuru, sebaliknya iaberpaling pada pemuda yang masih menggelesot di rumput.Serta merta pemuda itu bangkit dan mendekati lelaki tuayang memanggilnya dengan lambaian tangan.

"Kamandanu!"

"Eh, ya, Paman Ranubhaya."

"Menyingkirlah kau, berdiri agak jauh! Kambing peyotini agaknya perlu diajar makan rumput yang benar."

"Baik, Paman," pemuda itu kemudian mundur beberapalangkah menjauh dari arena pertarungan.

Lelaki tua berpakaian compang-camping itu mengelusgagang pedangnya lalu bertolak pinggang dengan senyumsinis pada Rekyan Wuru yang dibuatnya penasaran.

Dalam benak Rekyan Wuru terselip sekilas ingatansebuah nama lelaki tua yang bertolak pinggang di

Page 53: 03-Nurani Yg Terkoyak

depannya. Tetapi ia tidak mau ambil pusing, kepalangtanggung untuk mengurungkan niatnya.

"Hemh, jadi kau yang bernama Ranubhaya?"

"Nah, apa maumu sekarang, Rekyan Wuru? Janganbocah kencur yang kaujadikan sasaran kesombonganmu,tapi marilah yang tua-tua ini mawas diri sedikit."

"Persetan dengan omonganmu! Hiaaaaatt....Hiaattthhh...!"

Dua gebrakan dilancarkan cukup gencar ke arah lelakitua berpakaian compang-camping itu, namun apa yangdiduga Rekyan Wuru sungguh meleset. Dua tebasanpedangnya hanya menebas udara hingga tubuhnyaterpelanting. Tenaganya seperti terbetot hingga napasnyasemakin terengah-engah. Kesal dan penasaran sekaliRekyan Wuru dibuatnya. Ia berdiri gamang, antaramenyerang atau menghentikan percekcokan itu. Ia berdirisambil menatap tajam Mpu Ranubhaya yang tersenyumdingin sambil menghela napas. Lucu sekali sinar wajahlelaki tua itu.

"Bagaimana, Rekyan Wuru?"

"Tunggu, kau menggunakan jurus Naga Puspa."

"Ayo, kerahkanlah seluruh tenagamu! Keluarkanlahseluruh sisa-sisa kepandaianmu."

"Dari mana kau peroleh jurus Naga Puspa, Ranubhaya?"

"Apa perlunya kau tahu asal-usul jurus kepunyaan oranglain? Kalau kau merasa gentar letakkanlah pedangmu, dansegera minta maaf pada anak muda itu."

"Setan belang! Jangan kaukira dapat menundukkan akusegampang itu! Hiaaaahhhh..., hiaaaahhh...!"

Page 54: 03-Nurani Yg Terkoyak

Denting-denting pedang terus berlangsung setiap tebasankedua lelaki tua itu berbenturan di udara. Keduanya sama-sama gesit dan lincah. Mula-mula Rekyan Wurumenyerang sangat gencar pada Mpu Ranubhaya, namunkemudian keadaan menjadi berbalik. Ia kerepotan melayaniserangan-serangan menggigit lelaki tua renta itu. Ia terusmundur dan mencari tempat yang lebih longgar.

Melompat dan menangkis sambil beberapa kalimenyabetkan pedangnya

Dengan dahsyat, namun hanya udara yang disabetnya.Sebaliknya, gerakan lincah Mpu Ranubhaya kian mantap.Seperti burung sriti menukik-nukik di udara mengejarnyamuk. Cepat dan gencar. Maka pada kesempatanberikutnya, Rekyan Wuru tak dapat menduga apa yangterjadi. Suara pedang berbenturan cukup keras. Tangankanannya merasa seperti kesemutan dan sekali lagi tebasanpedang lawan mampu melepaskan genggamannya. Ia terbe-lalak dengan mulut setengah menganga. Pedangnya jatuhtertancap di tanah lalu lelaki tua berpakaian compang-camping itu mengangkanginya dengan tawa terkekeh-kekeh.

"Sudahlah, Rekyan Wuru! Apa perlunya kau marah-marah di sepanjang jalan? Menyombongkan sisa-sisakepandaianmu di masa lalu? Rekyan Wuru yang sekarangbukanlah Rekyan Wuru tiga windu lalu."

Mendengar kata-kata Mpu Ranubhaya, Rekyan Wurutercabik sudut kesadarannya. Ia berdiri seperti bocah yangsedang belajar berjalan. Tatap matanya berubah menjadimemelas dan mengiba

Tubuhnya yang bersimbah keringat bergetaran.

Bibirnya meliuk-liuk, pandang matanya memudar,pelupuk matanya terasa hangat penuh dengan air mata. Ia

Page 55: 03-Nurani Yg Terkoyak

mencuri pandang pada Mpu Ranubhaya yangmembiarkannya berpikir.

"Yah... yaah... Rekyan Wuru yang sekarang adalahRekyan Wuru yang sudah jompo. Rekyan Wuru yangsudah pikun," suara itu terdengar gemetar dan melemah.Serak dan tercekat di tenggorokan.

"Rekyan Wuru! Jadilah orang tua yang baik, yang bijak.Semakin tua seseorang harus semakin bijaksana, karenamakin banyak yang dilihat. Kalau kau memiliki persoalandengan anak muda itu, selesaikanlah dengan cara-cara yangseharusnya dipakai manusia. Kalau kau selalumenggunakan kekerasan, menggunakan pedangmu untukmenyelesaikan setiap persoalan, kau sama halnya denganserigala yang bangga pada ketajaman taringnya. Tapi apaartinya seratus ekor serigala jika harus melawan manusiayang mempunyai akal budi, pikiran dan siasat?" MpuRanubhaya kemudian berpaling kepada Arya Kamandanuyang masih berdiri agak jauh dari mereka.

"Kamandanu!"

"Ya, Paman."

"Antarkan dia menemui ayahmu."

"Baik, Paman," pemuda itu melangkah mendekatiRekyan Wuru yang membisu seribu bahasa. Tidak maumemandang pemuda yang melangkah dua depa di sisinya.

"Mari, Paman Wuru! Saya antarkan Paman Wurumenemui ayah saya. Paman bisa membicarakan persoalanNari Ratih dengan Ayah."

Arya Kamandanu kemudian mendahului Rekyan Wuru.Pemuda itu menuntun kudanya sambil sesekali menoleh kebelakang di mana lelaki tua itu terus melangkahmengikutinya dengan wajah asam.

Page 56: 03-Nurani Yg Terkoyak

Mereka menempuh perjalanan sepanjang delapan paiuntuk mencapai rumah Mpu Hanggareksa ayah AryaKamandanu.

Mpu Ranubhaya memandang kepergian mereka dengangeleng-geleng kepala, mencabut pedang Rekyan Wuru danmembuangnya jauh ke belukar. Lalu ia pun melompat,lenyap di antara semak belukar.

Sesampai di rumah Mpu Hanggareksa, Rekyan Wurusegera menyampaikan maksud kedatangannya. RekyanWuru menuturkan dengan runtut semua peristiwa yangtelah dialaminya dengan nada datar dan kurang bersahabat.Wajahnya merah padam, matanya sesekali melirik takramah pada Arya Kamandanu yang duduk menunduk disamping ayahnya.

"Demikianlah maksud kedatanganku ini. Hanggareksa.Ialah untuk menuntut pertanggungjawaban atas perbuatanyang telah dilakukan anakmu."

"Baiklah, Rekyan Wuru. Tapi aku belum bisa menerimatuduhanmu jika tidak ada bukti yang kuat. Kau juga harusingat, bahwa tuduhan tanpa bukti bisa digolongkan fitnah."

"Tentu saja ada buktinya, Hanggareksa. Sekarang inianakku jelas mengandung tiga bulan lamanya."

"Tapi laki-laki bukan hanya anakku, Rekyan Wuru. Bisasaja anak desa Manguntur sendiri yang berbuat tidaksenonoh itu."

"Tidak, Hanggareksa. Ada keterangan seorang anakmuda yang bisa kujadikan pegangan. Dangdi, anak KepalaDesa Manguntur mengatakan, bahwa Arya Kamandanu-lahpelakunya. Sering kali dia melihat anakmu bercanda di tepipadang ilalang bukit Kurawan bersama anakku."

Page 57: 03-Nurani Yg Terkoyak

Serta merta Mpu Hanggareksa melotot dan menataptajam ke arah Arya Kamandanu yang masih dudukmenunduk. Napas lelaki tua itu mendengus keras, bibirnyabergetar, "Apa benar begitu, Kamandanu?" tajam sekalipertanyaan itu Bahkan suaranya amat dalam danmenggetarkan.

"Eh, benar, Ayah," jawab Kamandanu jujur dan lugu.

"Benar? Jadi, kau yang telah menodai anak gadis RekyanWuru?" bentak Mpu Hanggareksa dengan mata semakinmelotot. Bahkan laki-laki tua itu kini bangkit berdiri tepat didepan pemuda itu.

"Kau yang berbuat tak senonoh itu, Kamandanu?"

"Tidak, Ayah. Tidak."

"Kamandanu, kau jangan main-main! Kau sedang bicaradengan ayahmu. Apa benar kau telah melakukan perbuatantidak senonoh itu?"

"Tidak, Ayah, saya tidak melakukannya."

"Awas! Kalau kau berani berdusta di depan ayahmu.Lebih baik kau jujur, mengaku apa adanya, janganberbolak-balik seperti kelakuan orang tidak waras."

"Tapi saya benar-benar tidak melakukannya, Ayah."

"Kurang ajar! Anak sial!" bersama hentakan kaki, tanganlelaki tua itu melayang dan mendarat pada pipi putranya.

Pemuda itu mengaduh dan hampir terpelanting darikursi. Ia pasrah pada apa yang akan dilakukan ayahnyapadanya, namun laki-laki tua itu tidak jadi menampar untukyang kedua kalinya. Tangannya menggantung di udara.Hanya suaranya yang menggeram bagaikan seekor singayang ingin menerkam mangsanya.

Page 58: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Kamandanu! Lebih baik aku tidak mempunyai anakseperti kamu."

Bersamaan dengan itu, tangan kanan lelaki itu merabagagang pedang yang terselip di pinggangnya, suaranyaberdencing hingga Arya Kamandanu bergidikmendengarnya. Sebentar lagi ia akan menyusul ibunya.Pikirnya dalam hati ia benar-benar pasrah saat pedang ditangan ayahnya telah diangkat tinggi-tinggi dan akanmenebas lehernya. Bersamaan dengan itu ada seseorangyang berlari ke tengah-tengah mereka.

"Jangan, Ayah! Jangan!"

"Dwipangga, apa maksudmu?"

"Bukan Adi Kamandanu yang melakukannya. Oh,maafkan saya, Ayah, maafkan saya."

"Apa maksudmu, Dwipangga?"

"Sayalah yang melakukannya. Sayalah yang berbuattidak senonoh. Kalau Ayah mau memukul pukullah saya.Kalau ayah mau membunuh, bunuhlah saya." AryaDwipangga berlutut di depan ayahnya. Ia menyembahayahnya dan memeluk kaki Mpu Hanggareksa yang masihmenggenggam pedang terhunus.

"Arya Dwipangga, jadi rupanya kau biang keladikekacauan ini. Kau yang membuat onar di desa Mangunturlalu kau bawa ke rumah ini! Kurang ajar! Hiih, hihh,hiihhh!" tiga kali tamparan sangat keras mendarat padawajah pemuda itu. Bibirnya retak hingga mengeluarkandarah. Darah itu dibiarkan mengalir seiring air mata yangmenetes di pipinya karena merasa sesal.

Rekyan Wuru yang sejak tadi hanya diam menyaksikanlakon di depannya kini ia bangkit dengan rahang mengerasdan terdengar giginya menggeretak. Ia benar-benar tidak

Page 59: 03-Nurani Yg Terkoyak

suka melihat Arya Dwipangga. Matanya merah danmelotot galak. "Apa benar kau yang menodai kesuciananakku?"

"Benar, Paman Wuru. Saya minta maaf atas kesalahansaya. Saya mencintai Nari Ratih, Paman."

"Cinta! Cinta! Itu bukan alasan untuk berbuat tidakpantas!" potong Mpu Hanggareksa keras dan marah padaputranya. Kaki kanan ayahnya dihempaskan danmenendang perutnya hingga Arya Dwipangga hampirterjengkang jika tidak bertumpu pada dua tangannya.

"Saya mengaku salah, Ayah. Saya benar-benarmenyesal."

"Menyesal, apa gunanya? Luka sudah meninggalkanbekas. Bagaimana kulit bisa mulus lagi? Aku yang malu,Dwipangga. Malu sekali. Mukaku kusembunyikan di mana,ha! Hoooh, kali ini perbuatanmu sungguh-sungguhketerlaluan."

"Baiklah, Hanggareksa. Semuanya sudah jelas.Selanjutnya tinggal bagaimana kita berdua sebagai orangtuanya."

"Aku mengerti, Rekyan Wuru. Memang anakku yangberbuat, maka aku sebagai orang tuanya harus ikutbertanggung jawab."

"Kalau begitu aku permisi dulu. Kita cari waktu yangbaik untuk membicarakan masalah ini sebagaimanamestinya."

"Ya, ya. Silahkan, Rekyan Wuru."

Mpu Hanggareksa mengantarkan tamunya sampai diluar pekarangan rumahnya Lelaki tua itu kembali denganwajah resah.

Page 60: 03-Nurani Yg Terkoyak

Kusut sekali. Melangkah pun seperti tanpa otot.Beberapa kali ia terpaksa menghentikan langkahnya sambilmemegang dahinya.

Menggeleng-gelengkan kepala lalu mengurut dada sambilmenghela napas yang dirasakan teramat berat dan sesaksekali. Matanya berkaca-kaca dan pandangannyaberkunang-kunang.

Siang hari itu ia seperti orang bisu tuli. Tidak maudiganggu oleh siapa pun. Lelaki tua itu mengurung diri didalam kamar sambil bersimpuh memohon ampun danpetunjuk pada Dewata Yang Maha Agung. MpuHanggareksa sampai mengeluarkan peluh dan air mata.Keringatnya yang jatuh dari kening bagaikan tetes-tetesdarah seiring asap dupa yang mengepul memenuhiruangan.

dw

Malam hari kian merayap perlahan, suasana yang tintrimbagaikan mati. Di rumah Mpu Hanggareksa, yang biasanyaterdengar denting-denting kesibukan merawat dan membuatsenjata, kini tampak bertabur kelengangan. Suara jengkerikdan belalang malam di luar pun tingkah meningkahimelengkapi kesunyian itu. Sekali-kali ada jeritan kelelawarjantan di kejauhan. Lolongan dan gonggongan anjing liarberebutan mangsa kadang meningkahi kesunyian malamitu.

Mpu Hanggareksa, lelaki tua yang rambutnya telahdihiasi uban itu kini duduk merenung bersandar pada kursidi ruang tengah.

Dalam sekali ia mengisap cerutu hingga asapnya punperlahan-lahan sekali keluar dari bibirnya yang hitam.

Page 61: 03-Nurani Yg Terkoyak

Kadang-kadang lelaki tua yang tampak lelah itu terbatuk-batuk. Kemudian dari ruangan dalam muncullah seorangpemuda tampan dengan wajah kuyu. Sinar matanyatampak meredup dan memandang lelaki tua di hadapannyadengan hormat dan ada perasaan takut. Kedua tangannyaterjalin sambil memain-mainkan jemarinya untukmenghilangkan rasa segan. Beberapa saat ia kelihatan ragu-ragu sekali ingin membuka bibirnya yang sudah meliuk-liuk. Pada saat lelaki tua itu tiba-tiba berpaling kepadanyaburu-buru ia merunduk dan mengerjap-ngerjapkan matanyatidak berani membalas tatapan tajam mata ayahnya.

"Ayah memanggil saya?"

"Duduklah, Dwipangga!" Lelaki tua itu menghela napasdalam-dalam. Diperhatikannya putranya dari ujung rambutsampai ujung kaki. Lelaki itu tersenyum dingin lalumengangguk-angguk.

"Dwipangga."

"Ya, Ayah."

"Apa benar kau mencintai gadis itu?"

"Saya mencintainya, Ayah."

"Sungguh?"

"Sungguh, Ayah."

"Aku belum begitu yakin. Soalnya kau seringkalimembuat onar karena perkara perempuan. Aku khawatirkali ini pun kau tidak bersungguh-sungguh."

"Kali ini saya bersungguh-sungguh, Ayah."

"Apa kau sudah mempersiapkan diri?"

"Saya sudah siap menikahi putri Rekyan Wuru. Sayaberjanji akan menjadi suami yang baik"

Page 62: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Kau tahu artinya menikahi seseorang? Artinya kauharus sadar, bahwa mulai saat itu kau sudah tidak bebaslagi. Kau mempunyai tanggung jawab yang lebih besar.Kau akan memasuki tahap kehidupan yang lebih rumit.Kau tidak bisa berbuat semaumu lagi. Kau harus bekerjauntuk memberi makan keluargamu. Kau harus bisamembahagiakan anak isterimu. Kau harus bisa mendidikanak-anakmu agar nanti mereka mampu untuk hidupmandiri."

"Saya akan menuruti segala nasihat Ayah."

"Semua kebiasaanmu yang buruk kaucam-pakkan. Haruskauganti dengan yang baik. Yang berguna untukmembangun keluarga. Nah, Dwipangga, kalau kau sudahpaham dan sudah mempersiapkan itu semua, Ayahmerestui pernikahanmu."

"Ohh, terima kasih, Ayah. Semua nasihat Ayah akansaya junjung tinggi "

Wajah Arya Dwipangga tampak berseri-seri. Iamengangguk hormat dan bersimpuh di kaki ayahnya sambilmenciuminya penuh perasaan haru.

Lelaki tua itu mengulurkan tangan kirinya, mengusapdan membelai rambut putranya. Lalu meremasnya penuhkasih sayang. Anak dan ayah itu seolah-olah terlepas daribeban berat yang menindih selama ini. Wajah merekaberseri-seri ditimpa cahaya pelita yang remang-remang diruangan itu.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Rekyan Wuru denganditemani Kepala Desa Manguntur datang ke Kurawan.Mpu Hanggareksa menerima tamunya dengan ramah.Mereka pun membicarakan masalah Arya Dwipangga danNari Ratih. Tercapailah kata sepakat untuk menikahkanNari Ratih dan Arya Dwipangga.

Page 63: 03-Nurani Yg Terkoyak

Pada saat hari yang telah ditentukan kedua keluarga itumempersiapkan segala sesuatu untuk melangsungkanupacara pernikahan. Pesta pernikahan antara AryaDwipangga dan Nari Ratih cukup meriah. Pestadiselenggarakan di rumah Mpu Hanggareksa.

Tampak pengantin pria duduk bersanding denganpengantin wanita di pelaminan. Keduanya kelihatanbahagia. Para tamu ikut bersukacita atas berlangsungnyapernikahan mereka. Baik yang datang dari Mangunturmaupun dari desa lainnya. Mereka sibuk berbincang-bincang dengan teman duduknya sambil menikmatihidangan yang disediakan.

Terdengar alunan gamelan yang ditabuh para niyagayang menyemarakkan pesta pernikahan itu. Namun, ditengan keramaian itu tampak seorang lelaki mengerutkandahinya saat seorang perempuan tua datang kepadanya.Dengan berbisik lelaki itu mendekatkan bibirnya padatelinga perempuan tua itu.

"Bi Rongkot."

"Ya, Gusti."

"Kau tidak melihat Kamandanu?"

"Tidak, Gusti. Tadi sore Angger Kamandanu hambalihat membantu memasang janur dan hiasan kursipengantin. Tapi setelah itu hamba tidak melihatnya lagi."

"'Ohhhh, anak itu apa maunya? Banyak tamu-tamukenalanku menanyakannya, Bi. Dulu mereka mengenalnyawaktu masih kecil, sekarang mereka ingin tahu sudahberapa besarnya. Huuh, di rumah banyak orang sibuk kokmalah tidak ada. Nanti kalau kau melihatnya lagi suruh diamenemuiku, Bi."

"Ya, Gusti."

Page 64: 03-Nurani Yg Terkoyak

Lalu lelaki itu membalikkan tubuh dan kembali melayanipara tamu yang semakin banyak hadir di rumahnya. Setiapsaat dia mengulurkan tangannya menyambut ucapanselamat mereka. Tampak butir-butir keringat mengembunmenghiasi dahi lelaki tua itu.

Senyuman bahagia senantiasa tersungging di bibirnya.Pesta kawin masih terus berlangsung sampai jauh malam.

Sebagian tamu banyak yang turun ke gelanggang, untukmenemani para pesinden menari. Di balik suasana gembiraitu tampak seorang pemuda berjalan dengan gontai.Wajahnya kuyu, sesekali mendesah dan menghempaskannapasnya. Tampak kesal sekali. Kedua tangannyamengepal, sekali-kali memukul udara. Dia pandang langityang bertaburan bintang. Bintang-bintang itu berkedip-kedipseolah-olah mengejeknya. Segumpal awan kelabu melintasseiring embusan angin. Bayang-bayang wajah seorang gadiscantik melintas di sana tersenyum menggodanya.

"Nari Ratih, akhirnya kau menjadi milik KakangDwipangga. Bagaimana dengan Arya Kamandanu ini?"bisiknya perlahan sambil tetap memandang ke arah awankelabu yang melayang itu. Melayang terbang entah ke manaangin membawanya. Seperti cintanya yang melayangdirenggut saudara tuanya.

Dengan perasaan tidak menentu pemuda itu terusberjalan semakin menjauhi rumahnya. Dia tidak tahu mauapa dan mau ke mana? Dia hanya ingin membuang jauhrasa pedih yang menggores hatinya. Ia ingin pergi sepertiawan kelabu di langit malam yang terus berlalu, jauh danakhirnya lenyap didera angin. Belum puas dengan apa yangdilakukannya, pemuda itu kemudian melompat dan berlarisekencang-kencangnya. Tidak peduli semak belukar, tidakpeduli duri rumput putri malu yang menggores danmencabik kulitnya. Napasnya terengah-engah memburu.

Page 65: 03-Nurani Yg Terkoyak

Pada saat di hadapannya terdapat sebuah pohon besar sertamerta ia mengepalkan tangan, menubruk dan meninjupohon tak berdosa itu bertubi-tubi sambil berteriak,mendengus dan melolong panjang.

Batang pohon besar itu bukannya menangis dan merontakarena memang itu tak mungkin, akan tetapi yang semakinterasa perih justru kedua tangannya yang kini robek, terlukadan berlumuran darah. Pemuda itu meraung dan menangister-guguk. Dari sela-sela jemarinya muncrat darah segaryang terus membasahi pergelangan tangan dan telapaktangannya. Ia tidak menghentikan tindakan bodohnya. Iaterus memukul dan meninju pohon itu. Sampai pada suatusaat berkelebatlah sesosok bayangan hitam di tengahkepekatan malam. Bayangan itu tampak ringan sekaliberkelebat menghampirinya dan segera merenggut keduatangan pemuda itu yang sudah bermandikan darah segar.Pemuda itu kelelahan sekali dan kesakitan. Mata pemudaitu mendelik sekalipun pandangannya nanar oleh air matayang terus mengalir deras.

"Oh, kau... kau datang lagi. Kau manusia bercadar hitamyang pernah kujumpai dulu."

"Jangan menyakiti diri sendiri!" kata orang bercadarhitam itu yang kini menghempaskan kedua tangan pemudaitu setelah ditarik ke semak-semak.

"Siapa kau orang bercadar hitam?"

Orang bercadar hitam itu tidak menjawab pertanyaanpemuda yang sedang gundah itu, sebaliknya menasihatinya,"Kasihan pohon itu. Dia tak punya salah apa-apa tapi harusmerasakan pukulan bertubi-tubi. Tapi sebenarnya lebihkasihan buku-buku jari tanganmu itu, anak muda."

"Biar saja tanganku remuk, tetapi hatiku puas," jawabnyakesal dan seperti melenguh bagaikan lembu."

Page 66: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Oh, jadi kau ingin mencari kepuasan? Nah, marikutunjukkan dan kubantu! Daripada memukul pohon yangkeras sekali, lebih baik pukullah aku!" tantang orangbercadar hitam itu sambil melompat beberapa tindak sepertitanpa beban.

"Baik! Aku akan memukulmu! Hiaaaaahh! Hiaaaaaahh!"pemuda itu langsung menerjang, dan kedua tangannyamembabi buta ingin memukul orang bercadar hitam. Keduatangannya membentur kedua tangan orang itu. Sungguhmati ia terkejut. Ia mundur beberapa langkah danmengerutkan dahi sambil memelototkan matanya. Iasungguh tak menduga dengan apa yang telah terjadi. "Oh,tanganmu lebih keras dari pohon itu!" katanya sambilmendekap tangannya yang terasa perih dan sakit sekali.

"Tidak! Bukan tanganku yang keras melainkantanganmu yang terlalu lembek. Lagipula sadarkah kau,bahwa kedua tanganmu terluka parah? Hehehehe, maucoba lagi?" ejek orang bercadar itu kemudian melompat danberkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.

Pemuda itu bengong dan kembali mencoba mengingat-ingat peristiwa beberapa saat lamanya ketika ia pernahbertemu dengan orang itu.

Ia memandang ke arah lenyapnya orang itu sambilbergumam, "Siapa manusia bercadar hitam itu? Dulu iadatang saat pikiranku sedang kalut setelah peristiwa CandiWalandit. Sekarang dia datang lagi juga pada saat pikirankusedang kacau.

Siapa dia sebenarnya dan apa maksudnya?" pemuda itumeraba kantong kulitnya. Mendesah kesal karena terkejut,"Oh, batu nirmalaku? Dia mencurinya, kurang ajar!"

"Pencuri busuk!" hardiknya sembari melompat danmenembus kegelapan malam menuju arah lenyapnya

Page 67: 03-Nurani Yg Terkoyak

makhluk bercadar hitam yang telah mencuri batu nirmalakenang-kenangan dari kekasih hatinya.

Napasnya terengah-engah ketika pemuda itumenghentikan pengejarannya sebab ia tidak perlu susah-susah mencari orang bercadar hitam itu. Orang aneh itutidak lari jauh, tetapi enak-enak duduk di atas sebongkahbatu ketika mengetahui pengejarnya semakin dekatmenghampirinya dengan napas semakin memburu. Bunyikerosak mencekam sekali ketika pemuda itu menyeruakkansemak belukar dan bertolak pinggang menghardik oranganeh itu.

"Pencuri busuk! Kembalikan batu nirmalaku!"

"Mengapa kau marah-marah, anak muda?" jawabnyaenteng dan sinis sekali.

"Kau telah mencuri batu nirmalaku."

"Oooo, benda ini yang kau maksudkan?" tanyanya lagisambil menimang-nimang dan melempar-lem-parkan batunirmala itu ke udara dan menangkapnya lagi. Tawanyasangat menyakitkan pendengaran pemuda itu.

"Kembalikan batu nirmala itu. Cepat kembalikan!"

"Heheheheh... tidak semudah itu kau akan bisa memilikibenda ini, anak muda. Kecuali kau sanggup merebutnyadari tanganku. Hehhehehe!" Manusia bercadar hitam danbertingkah laku aneh itu sangat menjengkelkan hati pemudaitu.

Pemuda itu sangat kesal dibuatnya tetapi tidak ada caralain kecuali harus merebut benda itu dengan kekerasan."Hee, orang bercadar! Kau jangan mempermainkan aku!Kembalikan batu nirmala itu!"

Page 68: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Hehehe, anak muda! Kalau kau menginginkan bendaini, kau harus mau berkeringat lebih dulu. Tak ada hasilyang bisa diperoleh tanpa cucuran keringat."

"Apakah mencuri milik orang lain juga bisa diartikancucuran keringat?"

"Heheheheh! Kau cukup cerdas, anak muda Tapi bukankecerdasan yang ingin kuketahui darimu, melainkankeberanian, ketekatan hati dan semangatmu."

"Untuk apa kau ingin tahu diriku?"

"Tentu saja untuk tetap memiliki batu nirmala yangindah ini. Hehehehe!" orang bercadar hitam itu langsungmelesat, lenyap dalam kegelapan.

"Heeh, tunggu! Jangan lari kau! Sampai ke ujung duniapun tak akan kubiarkan kau membawa batu nirmala itu!"

Pemuda itu langsung melompat mengikuti arah orangbercadar hitam yang kini menghilang lagi ditelan kegelapan.Orang bercadar hitam itu melesat bagaikan seekor tupaiyang melompat dari atas batu ke tengah semak.

Beberapa saat lamanya pemuda yang mengejarnyamenjadi linglung. Menoleh ke sana kemari mencari arahkaburnya orang aneh itu. Napasnya terengah-engah,sesekali ia mengusap keringat yang bercucuran di dahi danpelipisnya. Ia tidak peduli lagi luka pada buku-buku keduatangannya yang kini darahnya sudah mulai mengering.

Malam terus surut dengan memamerkan kabut-kabutnya.Lolong anjing liar di kejauhan terdengar melengking danmenggaung ditingkahi suara burung hantu dan binatang-binatang liar lainnya.

Hal itu membuat bulu roma pemuda itu bergidik.Pemuda itu terus melangkah menyusuri semak belukar

Page 69: 03-Nurani Yg Terkoyak

tanpa mempedulikan duri-duri yang sering kali menggoresdan mengoyak kulitnya.

"Oh, ke mana larinya orang itu tadi? Aku belum pernahmenginjak tempat ini. Ini sudah terletak di bagian timurbukit Kurawan. Tempat ini menyeramkan sekali. Apakahmanusia bercadar itu sengaja memancingku pergi kemariuntuk kemudian membunuhku? Ah, persetan dengan orangitu. Siapa pun dia, betapa pun saktinya, aku harus merebutbatu nirmala itu dari tangannya."

Pemuda itu kemudian mencoba melangkah lagi,melompat dan berlari terus menyusuri pinggang bukitKurawan yang banyak ditumbuhi pohon-pohon perdu. Diatak peduli gelapnya malam yang hampir membutakanmatanya. Kemudian ia sampai pada sebuah tempat yangbenar-benar sangat menyeramkan. Tempat itu gelap gulita.

Semua yang ada bagaikan hantu-hantu yang inginmenerkamnya. Ia mengerutkan dahinya dan menghentikanlangkah sambil memperhatikan sebuah batu besar yangmenyerupai payung raksasa. Pemuda itu merunduk sambilberusaha menajamkan penglihatannya ke balik batu payungyang menyerupai gua dengan batu-batu runcing menjulurdan bergelantungan di langit-langit gua atau pun hampir disetiap lorong tempat itu. Baru saja ia akan beranjak ketikamendadak muncul sebuah bayangan dari balik daun-daunpepohonan yang rimbun.

Bayangan itu langsung menyerangnya. "Hiaaaahh,hiaaahhhh!"

"Ohh, heiitt... kurang ajar!" pemuda itu terkejut danbergerak secara reflek. Melompat dan melenting bagaikanburung srikatan untuk menghindari serangan lawannya. Iaberusaha mundur dan berlindung di balik semak belukaruntuk mempersulit gerakan lawannya. "Hei, siapa kau?

Page 70: 03-Nurani Yg Terkoyak

Mengapa menyerangku?" penyerang gelap itu takmempedulikan pertanyaan pemuda itu.

Orang itu terus menyerang dan berusahamengalahkannya. Penyerang gelap itu bertopeng, tubuhnyalebih kekar daripada orang aneh bercadar hitam yang kinilenyap entah ke mana. Karena diserang bertubi-tubiakhirnya pemuda itu memberikan perlawanan cukupimbang.

Terjadilah duel seru di antara keduanya. Mereka salingmenjotos, menendang dan berusaha mendaratkan pukulan-pukulannya. Tetapi ketika dua kali pukulan pemuda itumendarat pada perut orang bertopeng, orang itu mundurbeberapa tindak dan menghentikan serangannya.

Pemuda itu tetap bersiaga penuh, tetap memasang kuda-kuda. Kedua tangannya mengepal keras dan napasnyaterengah-engah saat melangkah beberapa tindak mendekatiorang bertopeng di depannya.

"Kau siapa dan mengapa menyerangku? Kau pasti anakbuah orang bercadar hitam itu."

"Hehehehe, tentu saja Angger Kamandanu tidakmengenaliku lagi. Hehehhehe!" Mendengar namanyadisebut, pemuda itu mengerutkan dahi dan berusahamengingat-ingat nada suara orang itu. Ia berusaha kerasmengingat-ingat, siapa sebetulnya orang itu.

"Oh, suaramu..., suaramu sepertinya kukenal denganbaik."

"Hehehehe, mari, Angger! Guru sudah menunggu didalam."

Pemuda itu, yang tak lain adalah Arya Kamandanusemakin penasaran pada orang-orang aneh yangdijumpainya. Lebih-lebih pada orang bertopeng di dekatnya

Page 71: 03-Nurani Yg Terkoyak

yang kini menepuk-nepuk pundaknya sangat akrab danmengajaknya melangkah bersama. Orang itu segeramembuka topeng kulitnya dan tertawa berkepanjangan.

"Ohh, Paman Wirot!" ucapnya lirih setelah tahu siapamakhluk aneh yang kini mendahului melangkah masuk kedalam goa di balik batu payung raksasa itu.

Arya Kamandanu diajak menyusuri lorong-lorong didalam goa. Tempat itu benar-benar menyeramkan. Tanpacahaya sedikit pun. Hanya suara tetes-tetes air dari langit-langit gua terdengar menggema. Sesekali jeritan kelelawaryang bertemu kawanannya, mencericit riuh karena terkejut.

Paman Wirot yang sudah hapal benar dengan lekuk likutempat itu bisa berjalan agak cepat sekalipun ia tampak hati-hati sekali jika tidak ingin terperosok pada lantai gua yanglicin atau tak terantuk pada stalagtit dan stalagmit gua yangterdapat hampir di setiap sudut dan lorong gua itu.

Hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah tempat dimana kelihatan sangat nyaman. Ada sebuah batu pipihcukup lebar di ruangan itu. Sebuah obor minyak jaraktergantung di sisi gua. Menyala kuning kemerahan denganasap hitam membekas pada dinding gua sekitarnya. Di atasbatu pipih itulah tampak seorang lelaki tua berpakaiansangat sederhana duduk bersila tanpa memperhatikankehadiran dua orang di depannya. Orang tua itu masihmemejamkan mata. Pada saat ia mengetahui bahwa Wirotdan Arya Kamandanu sudah duduk di hadapannya denganbersila, perlahan-lahan pelupuk mata yang sudahmengeriput itu pun terbuka.

Bibirnya mengulum senyuman sangat ramah. Mata itusekalipun tersembunyi di balik pelupuk mata yangmengeriput dan cekung, namyn sinar matanya jernih, tajambersinar memantulkan cahaya obor jarak. Pantulan cahaya

Page 72: 03-Nurani Yg Terkoyak

obor itu bergerak-gerak setiap kali mata lelaki tua itumenger-jap-ngerjap. Siapa pun yang melihat orang tua itu,pasti semua mengakui keagungan dan kebesaran jiwanyayang bening bagaikan permukaan telaga memantulkancahaya rembulan di malam purnama.

Arya Kamandanu menghela napas ketika lelaki tua itusudah dikenalinya dengan baik. Ia ikut tersenyum di balikkegetiran dan kepahitan hidupnya.

"Oh, jadi orang bercadar hitam itu adalah PamanRanubhaya?"

"Heheheh, kaukira siapa?" jawab lelaki itu dengan suaraserak namun lebih jelas dibandingkan dengan suara orangbercadar hitam sebab lelaki tua itu sengaja melakukannya.

"Jadi, Paman juga yang dulu pernah menasihati sayawaktu baru saja mengalami peristiwa di Candi Walandit?"

"Hehehheh, sudahlah, Kamandanu. Aku tidakbermaksud apa-apa. Aku hanya ingin supaya kau tidaktercekam oleh peristiwa yang menyakitkan, lalu akhirnyakau menyia-nyiakan hidupmu sendiri."

Lelaki tua itu menghela napas, menelan ludah danmengusap wajahnya dengan kedua tangannya sebelumakhirnya kembali memandang pemuda tampan di depannyayang kini berwajah sangat kusut.

"Kamandanu."

"Ya, Paman."

"Apa kau tertarik pada olah kanuragan?"

"Eh, saya... saya tidak tahu apakah saya berbakat atautidak untuk belajar ilmu kanuragan, Paman."

"Kau pernah belajar dari ayahmu?"

Page 73: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Tidak banyak, Paman. Ayah hanya mengajari beberapajenis pukulan. Kata Ayah, saya tidak perlu menjadi seorangjago berkelahi. Ayah lebih suka jika saya mewarisikeahliannya membuat senjata pusaka."

"Kau sendiri bagaimana?"

"Saya pribadi lebih tertarik mempelajari ilmu olahkanuragan, Paman. Tapi saya harus belajar pada siapa?"

"Bagaimana kalau kau belajar padaku?"

"Paman bersungguh-sungguh?"

"Kalau kau tertarik pada olah kanuragan, mulai besokmalam kau datang ke tempat ini. Pengetahuan dankemampuanku tidak banyak, tapi ada baiknya kaupelajarisebagai dasar berpijak."

"Baik, Paman."

Arya Kamandanu sangat gembira bahwa MpuRanubhaya mau mengajarinya ilmu olah kanuragan. Diamerasa mendapat penghiburan dan penyaluran, merasamendapat wadah untuk menampung kesedihannya karenakehilangan gadis yang dicintainya. Maka sejak malam itu,begitu matahari mulai tenggelam di ufuk barat, AryaKamandanu bergegas meninggalkan rumahnya. Takseorang pun yang tahu ke mana ia pergi. Ayah dankakaknya, Bibi Rongkot maupun Nari Ratih yang sudahtinggal di rumahnya tidak pernah tahu jika ia seringmeninggalkan rumah bila malam hari tiba.

dw

Malam merayap semakin larut, Arya Kamandanu sangatbahagia mendapatkan seorang guru yang sangat sabar danpengertian. Ia duduk bersila ditemani Wirot murid tunggal

Page 74: 03-Nurani Yg Terkoyak

Mpu Ranubhaya yang setia. Mereka mendengarkan apayang diucapkan lelaki tua itu dengan saksama. Bunyikelelawar sesekali memamerkan jeritannya meningkahisuara tetes-tetes air yang jatuh dari langit-langit gua batupayung sebagai tempat pamujan Mpu Ranubhaya.

Kemudian lelaki itu memandang kedua muridnya lekat-lekat dengan tatapan sangat tajam. Perlahan sekali iamengangguk-angguk setelah mengusap janggutnya. Suaralelaki tua itu menambah suasana magis dan seram di dalamgua yang hanya berpenerangan pelita.

"Dengar baik-baik, Kamandanu! Ilmu kanura-gan padadasarnya mempelajari segala sesuatu yang terdapat didalam raga atau tubuh manusia. Karena itu yang pertamakali perlu dipersiapkan adalah tubuh manusia itu sendiri.Setelah tubuh siap barulah belajar kuda-kuda yang benar.Kuda-kuda artinya dalam keadaan siap siaga. Coba,pamanmu Wirot akan memberi contoh kuda-kuda yangbagus "

Wirot yang ikut mendengarkan pelajaran kanuragansegera bangkit, lalu berdiri dengan kedua lutut menekuk kesamping. Tangan menyilang di atas dada.

"Nah, itu kuda-kuda yang sudah banyak dikenal orang.Kuda-kuda erat kaitannya dengan jurus. Jurus adalah suaturangkaian pukulan yang mengarah pada satu titikkelemahan lawan. Pamanmu Wirot akan memberikancontohnya."

Maka dengan lincah dan gesit Wirot melompat,menjotos dan memukul udara kosong dengan sesekalimenghempaskan napas untuk menghentakkan seluruhtenaga simpanannya. Ia melompat ke samping, menerjangke depan dan melentingkan tubuhnya seperti burungsrikatan yang ingin menangkap nyamuk. Bibirnya

Page 75: 03-Nurani Yg Terkoyak

mengatup rapat, kedua tangannya mengepal keras, kakinyaselalu menghentak tanah setiap kali ia mengubah posisikuda-kudanya. Sangat perkasa.

"Yah, cukup, Wirot! Sekarang kalian berdua bisa berlatihdi halaman depan gua ini. Kukira tempatnya cukup legauntuk kalian berdua!"

Arya Kamandanu segera bangkit dan mengikuti langkah-langkah Wirot yang berjalan menuju halaman gua.Halaman gua itu cukup luas untuk berlatih beladiri. Merekasegera memasang kuda-kuda berhadapan satu denganlainnya. Wirot yang lebih dulu memahami apa yangdiajarkan gurunya tampak lebih gesit dan trengginas.

Arya Kamandanu menirukan setiap gerak dan pukulan-pukulan berantai sebagai rangkaian jurus Naga Puspa.Mereka berlatih dan berusaha memusatkan hati dan pikiransepenuhnya pada olah kanuragan. Mereka tidak sadar jikaMpu Ranubhaya mengikuti setiap gerakan jurus-jurus yangtelah diciptakannya. Lelaki tua itu tidak mau mengganggu,tidak mau memberikan komentar sebab ia berkeinginankedua anak asuhnya itu bisa mengembangkan jurus-jurusNaga Puspa paling dasar yang telah diberikannya. Tampakkeduanya bersimbah keringat. Mereka tidak menyadari jikatelah berlatih habis-habisan.

Demikianlah, malam itu, dan malam-malam berikutnya,Arya Kamandanu sibuk berlatih olah kanuragan denganditemani Wirot.

Setahap demi setahap akhirnya Arya Kamandanumampu menyerap pelajaran ilmu pukulan dua belas jurusmilik Mpu Ranubhaya. Pada malam yang kedua puluhsatu, Mpu Ranubhaya melihat mereka berlatih di halamandepan gua. Setelah beberapa saat lamanya mengamati, MpuRanubhaya berdiri dan bertepuk tangan memberi aba-aba

Page 76: 03-Nurani Yg Terkoyak

supaya keduanya beristirahat. Wajah lelaki tua itu tampakberseri-seri karena kedua muridnya benar-benar mengalamikemajuan sangat pesat dalam berlatih olah kanuragan.

Namun, ada sesuatu yang sangat mengganjal saatmemperhatikan kedua muridnya itu. Lelaki tua itu punmelambaikan tangannya memberi aba-aba agar keduanyamendekat dan memperhatikannya. Ia pandang satu persatubergantian.

"Cukup! Hentikan dulu latihan kalian. Mari masuk, akuakan bicara dengan kalian berdua."

Mpu Ranubhaya membalikkan badannya dan melangkahmenuju dalam gua batu payung diikuti kedua muridnya.

Wirot dan Arya Kamandanu saling berpandangansejenak dan mengangkat bahu sambil mengangkat alis dantersenyum simpul menahan geli. Mereka melangkahmenuju dalam gua beriringan mengikuti jalan MpuRanubhaya.

Suasana di dalam gua sungguh mencekam Temaramsinar pelita yang tergantung di dinding gua tidak mampumemberikan penerangan yang cukup. Mereka kemudianduduk berhadap-hadapan di lantai gua yang kering.

"Bagus. Kau sudah menguasai dua belas jurus yangkuajarkan padamu, Kamandanu. Kau tahu nama jurus yangbaru saja kau perlihatkan bersama Wirot?"

"Ehh, tidak, Paman. Saya tidak tahu namanya. PamanWirot hanya mengatakan pukulan dua Belas jurus." jawabArya Kamandanu sambil melirik ke arah Wirot

"Walaupun sudah lama Wirot mengenal dua belas jenispukulan beruntun itu, dia pun belum tahu namanya."

"Guru tidak pernah memberi tahu namanya pada saya."

Page 77: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Kalau kalian ingin tahu, dua belas jenis pukulan itumerupakan bagian pertama dari jurus Naga Puspa."

"Kedengarannya asing nama itu, Guru?" sahut Wirotdengan nada ingin tahu. Ia mengerutkan dahinya.

"Ya. Memang kedengarannya asing, karena hampir takada orang yang mengetahui rahasia ini. Bahkan Pamantahu siapa mereka yang mengenalnya," jelas lelaki tua itupada muridnya.

"Tapi Guru pernah mengatakan bahwa jurus itu sangatterkenal di kalangan para pendekar," tukas Wirot.

"Ya, tapi mereka hanya mengenalnya dengan namapukulan dua belas jurus."

"Mengapa hanya dua belas jurus, Paman?" tanya AryaKamandanu.

"Sebenarnya jurus Naga Puspa terdiri dari tiga puluhlima jurus. Tiga puluh lima jurus ini dibagi menjadi tigatahap pelajaran. Dua belas jurus yang pertama adalah tahapawal atau tahap pertama. Isinya hanya olah kanuragandalam tata lahirnya saja. Bagaimana cara menendangdengan kaki kiri dan bergantian dengan kaki kanan,bagaimana cara menggunakan sikut, lutut kiri kanan,kepalan tangan, telapak kaki untuk menyerang ataupunbertahan. Wirot sudah mahir sekali menggunakan keduabelas jurus itu, walaupun kecepatan geraknya masih perluditambah lagi."

"Lalu tahap berikutnya, Paman?" tanya AryaKamandanu.

"Tahap berikutnya merupakan pelajaran yang lebih beratdan rumit. Tahap kedua ini terdiri dari sebelas jurus yangmemerlukan persyaratan istimewa bagi orang yang inginmenguasainya."

Page 78: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Persyaratan apa, Guru?" tanya Wirot penasaran.

"Orang itu harus lebih dulu menguasai ilmumeringankan tubuh atau bisa juga disebut Aji Seipi Angin."

"Mengapa harus memerlukan persyaratan itu, Paman?"tanya Arya Kamandanu sambil mengubah posisi duduknya.

"Karena untuk memainkan sebelas jurus itu dibutuhkankecepatan gerak seperti angin. Kecepatan gerak seperti itutak mungkin dilakukan oleh manusia biasa yang keberatanmembawa tubuhnya sendiri."

"Bagaimana dengan Aji Seipi Angin itu, Paman? Apakahsusah mempelajarinya?" tanya Arya Kamandanu penuhrasa ingin tahu.

"Dengan kemauan yang keras, tekad membaja, tak adapelajaran yang susah di muka bumi ini. Untuk bisamenguasai Aji Seipi Angin dibutuhkan latihan pernapasandan pemusatan pikiran. Ada satu cara yang sangat jituuntuk melatih kedua hal tersebut. Besok malam aku akanmemberikan cara itu, untuk kalian coba latih dengan baik."

Setelah memberikan nasihat dan petuah secara panjanglebar, kedua murid itu diminta untuk membaringkan badandi lantai gua dengan mata terpejam. Mereka harusmelakukan pernapasan dalam. Pernapasan dalam ialahmenghirup udara melalui hidung. Setelah itu mereka harusmenyimpan udara dengan beberapa kali hitungan.Kemudian mengembuskannya perlahan-lahan dikeluarkanmelalui hidung tanpa mengeluarkan suara dengus dandesah. Hal itu harus dilakukannya berulang-ulang. Setiapkali mereka mengembuskan napas harus penuh ucapansyukur pada Yang Mahakuasa.

Malam berikutnya Arya Kamandanu datang lebih awaldari malam-malam sebelumnya. Wirot dan Mpu

Page 79: 03-Nurani Yg Terkoyak

Ranubhaya sudah menunggu di halaman depan gua. Kaliini malam terasa lebih menyeramkan. Dada AryaKamandanu berdebar kencang ketika Mpu Ranubhayamenyuruhnya duduk di atas tumpukan jerami kering.Pemuda itu diminta untuk memusatkan hati dan pikiranagar bisa berlatih secara total.

Keduanya mengikuti seluruh perintah Mpu Ranubhayayang berdiri tegak bagaikan patung. Hanya bibirnya yangtampak bergetar dan bergerak-gerak setiap memberi aba-abapada kedua muridnya.

Getaran-getaran suaranya bergema menggaung padadinding-dinding karang di seputar gua batu payung.Suaranya agak serak dan parau namun penuh kewibawaanseorang yang memiliki karisma.

"Nah, kalian sudah siap?"

"Sudah, Guru."

"Sudah, Paman."

"Aji Seipi Angin ini dulu pernah diajarkan olehalmarhum guruku yang bernama Mpu Sasi. Beliau tidakpernah bepergian naik kuda atau kereta, tapi beliau selalusampai di tempat yang dituju lebih awal dari teman-temannya. Hal itu karena beliau berjalan denganmenggunakan kemampuan ilmu tersebut. Kamandanu dankau Wirot Tiga hari yang lalu aku menyuruh agar kaliantidak tidur barang sekejap mata pun. Apa kalian sudahmematuhinya?"

"Sudah, Paman."

"Sudah, Guru."

"Sekarang ini kalian tentu mengantuk sekali."

Page 80: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Ehh, ya tentu saja, Paman. Tapi saya berusaha untuktidak tidur walaupun mata rasanya seperti dibubuhitumbukan cabe rawit saking pedasnya." jawab AryaKamandanu sambil mengerjapkan matanya.

"Kalian tentu malas berlatih malam ini. Sungguhnyaman sekali rasanya untuk tidur dalam keadaan kantukseperti ini. Nah, marilah ikut aku."

"Ke mana, Guru?" tanya Wirot penasaran.

"Ke tempat tidur," jawab Mpu Ranubhaya serayamembalikkan tubuhnya menuju suatu tempat. Langkah-langkahnya diikuti Wirot dan Arya Kamandanu yangsesekali saling berpandangan tak mengerti apa yangdikehendaki oleh gurunya yang dianggap aneh sekali.

Mereka menuju suatu tempat agak jauh di balik gua batupayung di mana selama ini mereka berlatih dan digembleng.Tempat itu sunyi sekali. Kegelapan menyelimuti tempatyang ditumbuhi oleh semak belukar dan bambu petung.Suara burung malam membuat bulu kuduk berdiri.Suaranya ditingkahi kepak sayap kelelawar dan jeritansuaranya yang mencericit bercengkerama denganpasangannya. Di tempat itulah lelaki tua itu berhenti danmembalikkan tubuh memandang kedua muridnya yangsejak tadi hanya menunggu dengan diam.

"Bagi mereka yang tidak sedang belajar olah kanuragan,tempat tidur yang nyaman adalah sebuah kasur yangempuk, uang dipasang di atas ranjang kayu jati berukir.Tapi bagi mereka yang ingin menguasai ilmu Seipi Angin,tempat tidur yang paling baik adalah sebatang petung, yangtingginya melebihi pohon kelapa.”

"Ehh, maksud Guru?" tanya Wirot dengan dahiberanyam kerutan.

Page 81: 03-Nurani Yg Terkoyak

Tetapi lelaki tua itu tidak segera menjawab. Hanya desahnapas dan kepalanya yang mengangguk-angguk. Bibirnyamenyungging senyuman dan matanya menyipit.Pandangannya beralih pada sebatang pohon bambu petungyang sudah tua dan setinggi pohon kelapa.

"Maksudku pergunakanlah sebatang bambu ini untuktidur malam ini. Hmmh, masih belum jelas? Kalian berduanaik ke atas pohon bambu ini, sampai ke ujungnya yangpaling tinggi. Nah, peluklah batang pohon bambu itu sambilberusahalah untuk tidur di atas sana."

"Oh. Bagaimana... bagaimana itu mungkin, Guru?"tanya Wirot dengan nada cemas dan mohon pengertian.Kemudian lelaki tua itu memandang Wirot sangat tajam.

"Tak ada yang tak mungkin. Kalian coba saja dulu apayang kukatakai ini. Kalau tak ingin jatuh, kalian tak bolehtidur terlalu lelap. Bagaimana, Kamandanu? Apalagi yangkau tunggu?"

"Ehh, ba... aaiklah, Paman. Saya akan menuruti perintahPaman Ranubhaya. Saya akan tidur di atas pucuk pohonbambu ini."

Kemudian tanpa ragu-ragu lagi Arya Kamandanumerayap menaiki sebatang bambu petung yang cukup besar.Ia memanjat bagai seekor monyet. Cepat dan trengginas.Kedua tangannya mencengkeram batang bambu, sedangkankedua ujung jemari kakinya memanjat batang bambu itujika tidak ingin terpeleset. Sebaliknya Wirot masih bimbang.Sejenak lamanya ia hanya diam mematung, terpakumemandang Arya Kamandanu yang sudah hampirmencapai pucuk petung.

Terdengar suara kerusek dan kerosak setiap kali tubuhArya Kamandanu menyentuh daun-daun bambu itu. KetikaArya Kamandanu sudah mencapai pucuk pohon petung itu,

Page 82: 03-Nurani Yg Terkoyak

barulah Wirot perlahan-lahan memanjat pohon bambupetung itu. Berkali-kali ia berdecak kesal. Ia sama sekalibelum mengerti apa yang dikehendaki Mpu Ranubhayamemintanya tidur di pucuk bambu. Untuk kesekian kalinyaia menganggap gurunya sangat aneh.

Pada pucuk pohon bambu petung itu, Arya Kamandanumulai merasakan kantuk serta angin malam membuatnyacukup menggigil. Ia belum bisa memejamkan mata.Hatinya semakin cemas dan berdebar-debar ketika matanyaterbuka dan memandang ke bawah. Tetapi ia berusahauntuk menguatkan dan meneguhkan hatinya

Demikian halnya dengan apa yang dialami oleh Wirot.Jejaka tua itu tubuhnya sangat menggigil oleh kedinginandan rasa cemas.

Keringat dinginnya mengalir dan membasahi seluruhtubuhnya. Ia benar-benar ketakutan sekali ketika kembalimemandang ke bawah.

"Ohh, tinggi juga batang bambu ini. Oh, kalau jatuh kebawah sana bisa remuk tulang-tulangku Apa maksud Gurumemberi pelajaran seperti ini? Jangan-jangan Guru hanyamain-main. Soalnya aku tahu watak guruku. Di sampingsuka angin-anginan, dia juga senang bercanda, senangbermain-main."

Wirot menguap lebar karena kantuk menguasainya. Tapiia tidak mungkin bisa tidur dengan cara seperti monyet diatas pohon. Ia juga merasakan kedua kakinya sudah kakukarena takut. Ia tak merasakan apa-apa lagi. Keringatdingin sudah membasahi pakaiannya. Ia makin cemas,takut dan khawatir jika jatuh. Ia ragu jika bisa bertahan diatas pohon sampai pagi. Ia mulai menggigil.

"Saya tidak sanggup. Saya, saya masih mau hidup."Wirot merasakan sesuatu yang hangat mulai mengalir,

Page 83: 03-Nurani Yg Terkoyak

membasahi paha dan celananya. Sekujur tubuhnya benar-benar menggigil. Sedikit pun ia tidak bisa memicingkanmatanya sekalipun perasaan mengantuk luar biasamenyerangnya. Bahkan ia tidak ada niat melanjutkanlakunya untuk mempelajari apa yang diajarkan gurunya.

Akhirnya, ia memutuskan untuk turun. Ia tidakmempedulikan petunjuk gurunya yang kini tak ada dibawah. Wirot benar-benar semakin jengkel pada MpuRanubhaya. Napasnya terengah-engah saat kakinyamenginjak tanah. Ia menghela napas sedalam-dalamnyakemudian dihempaskannya napas itu denganmenggelembungkan kedua pipinya. Kedua tangannyamengurut dada, kepalanya menggeleng-geleng dan rasapening mulai merayapi keningnya. Jejaka tua itu sesaatmemandang ke arah Arya Kamandanu yang kelihatanberusaha tidur di pucuk pohon bambu petung. Ia tersenyumkarena pemuda itu pun kelihatan gelisah.

Wirot akhirnya melangkahkan kakinya menuju dalamgua setelah mengibas-ngibaskan pakaiannya yang berbaupesing. Ia yakin gurunya diam di dalam gua untukbersemadi.

Suasana di dalam gua batu payung itu sangat gelapgulita. Pelita minyak yang biasa tergantung di dinding sudutgua tidak menyala. Wirot yakin, bahwa gurunya sengajamematikan pelita itu untuk mendukung suasana semadinya.Suara tetes-tetes air terdengar mengerikan dalampendengaran Wirot. Baru saja ia akan membaringkantubuhnya pada sebuah lempengan batu pipih selebar mejayang terdapat dalam ruangan gua itu, ia sangat terkejut.Terdengar suara gurunya menegurnya.

"Bagaimana, Wirot? Mengapa kau turun? Apakah kausudah tidur terlelap di atas tempat tidurmu?"

Page 84: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Ehh, ampun Guru. Saya tidak sanggup."

"Ahh, Wirot. Kau adalah satu-satunya muridku yangsudah kuanggap sebagai anakku sendiri Sekarang aku tahu,mengapa aku tidak mewariskan ilmu yang lebih tinggiselain pukulan dua belas jurus."

"Mungkin, mungkin Guru menganggap saya kurangberbakat."

"Yah. Ilmu yang tinggi harus diimbangi dengan wadahyang memadai. Sebab kalau tidak, orang yang bersangkutanbisa menjadi korban ilmu tersebut. Ilmu tidak bisadipaksakan. Di samping itu ilmu cocok-cocokan denganorangnya."

"Ehh, maaf, Guru. Saya masih belum mengerti mengenaiAji Seipi Angin ini. Ehh, maksud saya, mengapa harusmelalui tidur di atas pohon bambu segala? Apahubungannya dengan meringankan tubuh?"

"Dengan kata lain, kau masih meragukan apa yangkukatakan? Nah, mari ikutlah aku. Kau nanti akan melihatsendiri, bagaimana ampuhnya kekuatan yang ditimbulkandalam diri manusia, yang mampu mengatasi ujian berat diatas pucuk pohon bambu."

Kemudian lelaki tua itu bangkit tanpa memperhatikanlagi Wirot yang meringis karena risih dengan celananyayang basah kuyup oleh keringat dingin dan air kencing.

Mpu Ranubhaya yang sudah terlatih dengan suasanakegelapan dalam gua itu melangkah dengan tenangnya. Ialalu membawa Wirot ke tempat di mana Arya Kamandanumasih tergantung di atas pucuk pohon bambu.

Dari bawah tampak Arya Kamandanu bagaikan seekorkalong yang besar, yang terperangkap jaring seorangpemburu.

Page 85: 03-Nurani Yg Terkoyak

Malam semakin mencekam. Gemerisik angin yangmendera daun-daun bambu terdengar bagaikan tangisanhantu-hantu malam.

Wirot mengikuti gurunya ketika lelaki tua itumemandang ke pucuk bambu petung di mana AryaKamandanu masih menggelantung di sana.

"Ohh, luar biasa Angger Kamandanu. Dia masih mampubertahan di pucuk pohon bambu," gumam Mpu Ranubhayaseperti pada diri sendiri. Lalu ia memandang Wirot yangberdiri seperti tikus di depan kucing.

"Ketahuilah, Wirot! Anak Hanggareksa ini mempunyaibakat besar di dalam hal olah kanuragan "

"Saya khawatir dia nanti terjatuh, Guru. Saya sendirimerasakan betapa beratnya ujian ini. Kaki saya sampaikehilangan rasa, tangan-tangan saya seperti kejang!"

"Sudahlah, Wirot. Nanti akan kausaksikan sendirisebuah tontonan keajaiban yang langka. Tapi kalau kausekarang ingin tidur, tentu kau tak akan melihatnya."

Kemudian lelaki tua itu membisu seribu bahasa sambilmemandang Arya Kamandanu yang menggelantung dipucuk pohon bambu.

Wirot yang memandang pun merasa merinding bulukuduknya karena ia sendiri tidak kuat menahan ujian yangsangat berat seperti itu.

Terdengar kerusek dan kerosak binatang malam menderadan menyibak dedaunan bambu disusul dengan suaranyayang menyayat mengerikan.'Hal itu mengejutkan AryaKamandanu yang berusaha mati-matian memerangikekejangan kaki dan tangannya. Tangan dan kakinyasemutan dan benar-benar mati rasa. Ia pun merintih sambilperlahan membuka kelopak matanya.

Page 86: 03-Nurani Yg Terkoyak

"Ohh, kakiku... kakiku sudah mengejang semuanya.Mengejang sampai ke jari-jari kaki Ohh... apakah aku akanbisa lulus dari ujian berat ini? Bagaimana kalau aku sampaiterlelap? Tentu tubuhku akan hancur berantakan di bawahsana." Mata Arya Kamandanu sudah terasa berat danpedih. Matanya ingin menutup saja. Berat sekali ia rasakanmembuka kelopak mata. Ia menggigil dan tubuhnyagemetar.

Bagaimanapun juga Arya Kamandanu mencoba untukbertahan, akhirnya terlena juga. Seperti terkena panah AjiSirep yang dahsyat, mendadak Arya Kamandanu merasaterlelap, dengan kelopak matanya tetap terbuka, tapi keduabelah tangannya terlepas. Tubuhnya terperosok seiringbunyi kerosak panjang. Tubuh pemuda itu melayang-layangdi udara sebelum akhirnya terhempas dan tercampak disemak belukar dan tanaman liar.

Wirot matanya melotot penuh kecemasan lalu ia berlarimenghampiri tubuh Arya Kamandanu yang tergeletak disemak-semak. Mulutnya setengah menganga sambilmemekik memanggil Mpu Ranubhaya yang belumbergeming dari tempatnya berdiri.

"Guru, Guru, bagaimana dengan Angger Kamandanu?!"serunya dengan suara parau karena cemas dan ketakutan.

dw

Bersambung..... Tutur Tinular 4 Lembah berkabut

BIODATA PENULIS

Buanergis Muryono

Buanergis Muryono (Mas Yono), lahir di Jepara 11Oktober 1966 Lulus dari Fakultas Sastra Jurusan Sejarah

Page 87: 03-Nurani Yg Terkoyak

disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat di Universitas SebelasMaret Surakarta tahun 1991. Ia sangat aktif berteater darikecil sampai sekarang. Kariernya dimulai sebagai penuliscerita Sanggar Shakuntala, Surakarta (1989-1992), SanggarCerita Prathivi Grup, Jakarta (1992-1998), Studio Icons,Bandung (1996-1999) Saat ini ia bekerja sebagai penuliscerita lepas antara lain di Studio Red Rocket, Bandung(1999-sekarang), Studio Duta Animasi Nusantara, Jakarta(1999-sekarang), Studio Wissta Animation & Emperor PT.UCP, Jakarta (2000-sekarang), dan mengasuh SanggarAkting Mariska, Jakarta.

Karya-karya sandiwara radionya antara lain Misteri VillaBaiduri, Ketiban Pulung (bahasa Jawa), Refangga, DasaRatna, Wahyu Astabrata, Kembar Mayang, KembangWiswayana, Sauh Kala Bendu, dan masih banyak lagi.

Ia juga banyak terlibat dalam penulisan karya animasidan serial TV, antara lain Timun Mas, Joko Tingkir, 13Real World Story Dongeng untuk Aku dan Kau,Petualangan Kyko, Ande-Ande Lumut, Nyai Lara Kidul,Lima Pohon Sorga, Ajisaka, Kodok Ngorek, dan Puteridalam Lukisan. Aktif menulis buku-buku panduan yangtelah diterbitkan di beberapa penerbit antara lain: Teateruntuk Anak (1997), Menjadi Artis Dubber Professional(1997), Menjadi Artis Ngetop (2000), Menjadi Artis Model,(2000) dan Seni Produksi Animasi (2000).

Cerita, Screenplay, dan design produksi animasi MasYono dalam Dewi Mayangsari produksi Emperor HomeVideo, WISSTA FILM, dan DOT menjadi PemenangFestival Film Animasi 2001 kategori VCD. Dua karyanyamenjadi Nominator Festival Film Animasi 2001 kategoriTV seri, yaitu Klilip dan Putri Bulan (script) produksi RedRocket Animation dan Son of Earth (cerita dan screenplay).

Page 88: 03-Nurani Yg Terkoyak

Bersama penyair Cyber, ia berantologi dalam GraffitiGratitute, 2001, menerbitkan dua album Puisi Nurani yangTercerabut dan Suara Sahabatku (1997). Cerita Film danVideo Si Pahit Lidah (1999) dan Surat dari Ibunda (1996)mendapat penghargaan dari Deppen RI. Di samping itu, iajuga sangat aktif membuat lakon/cerita panggung.

S. Tidjab

S. Tidjab lahir di Solo, ia telah aktif bergumul di duniakesenian sejak remaja. Salah satu pendiri Teater Kecil inimemiliki pengalaman yang cukup matang sebagai penulis.Karya tulisannya untuk sinetron TVRI antara lain: PasienTerakhir, Sang Guru, Sopir Opelet, Pohon Anggur.

Menjadi Karyawan Sanggar Prathivi tahun 1983-1990,sebagai penulis dan sutradara, ia mengasuh program ABC

Drama, Kesejahteraan Tani dan Desa versi Jawa danIndonesia. Menulis dan menyutradarai video dokumenterPenyu Laut dalam Bahaya; dan Becak untuk SanggarPrathivi. Selain itu, ia juga mengolah naskah serial sandi-wara radio dari novel Nagasasra Sabuk Inten, Pelangi diLangit Singasari, Sepasang Ular Naga di Satu Sarang (SH.Mintardja); dan Pangeran Jaya Kusuma (HermanPraktikto).

Karya tulisannya dalam sandiwara radio adalah serialTutur Tinular (720 seri), Mahkota Mayangkara (720 seri),Kaca Benggala (720 seri), Kidung Keramat (720 seri).

Menulis skenario Film Tutur Tinular I, MahkotaMayangkara 52 episode untuk TPI, Mahkota Majapahit, 26episode untuk RCTI.