05. naga merah

118

Upload: amalia-cantika

Post on 14-Oct-2015

54 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • Seri Pendekar Rajawali SaktiKarya : Teguh Sdalam episode Naga MerahPenerbit Cintamedia Jakarta

    NAGA MERAH oleh Teguh S. Cetakan pertamaPenerbit Cintamedia, Jakarta Gambar sampul oleh HenkyHak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengcopyatau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku initanpa izin tertulis dari penerbit

    Teguh S.

    Serial Pendekar Rajawali Sakti

    dalam episode:

    Naga Merah

    128 hal. ; 12 x 18 cm

    Pembuat Ebook :Scan ke Djvu : Syaugy_arr

    http://hanaoki.wordpress.comConvert & Editor text : Dewi KZ

    Pdf by : Dewi KZhttp://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/

  • 1Desa Jatiwangi tidak seperti biasanya. Umbul-umbul danmacam-macam hiasan bertebaran di seluruh desa. Tampaksemarak sekali. Keceriaan tercermin di setiap wajahpenduduknya Berbondong-bondong mereka menujupanggung hiburan yang ada di setiap sudut desa.

    Sebenarnya bukan hanya penduduk desa Jatiwangi sajayang kelihatan ceria penuh kegembiraan. Desa-desa disekitarnya pun juga tidak luput dari suasana ceria itu. Tidaksedikit orang dari desa tetangga yang tumplek di desa yangpenuh dengan panggung hiburan. Tentu saja kegembiraanini juga sangat dirasakan oleh Kepala Desa Jati wangi.

    Ki Rangkuti tersenyum bangga menyaksikan wargadesanya bergembira. Sepasang bola matanya berbinar-binarmerayapi sekelilingnya. Kepala desa yang sudah berumurlanjut tapi masih terlihat gagah itu, duduk didampingi duaorang tamu istimewa yang diundang khusus. Yang duduk disebelah kanannya adalah seorang laki-laki berumur sekitarempatpuluh tahun. Wajahnya masih kelihatan tampan dangagah. Di punggungnya bertengger sebilah pedangbergagang emas. Senjata itulah yang membuat dirinyadikenal sebagai Dewa Pedang Emas.

    Sedangkan yang duduk di sebelah kiri Ki Rangkuti,seorang tua berambut putih. Pakaiannya pun serba putihbersih. Matanya bercahaya menandakan seorang yang arifbijaksana. Kelihatannya dia tidak menyandang senjatasebuah pun. Semua orang pasti akan mengenalnya. Laki-laki tua berpenampilan penuh wibawa ini dikenal dengannama Bayangan Malaikat.

    Pada saat itu tiba-tiba seorang laki-laki muda dengantombak panjang di tangan menghampiri. Pandangan mataKi Rangkuti langsung tertuju padanya.

  • "Ada apa, Darmasaka?" tanya Ki Rangkuti.

    "Ada seorang wanita tua ingin bertemu, Ayah," sahutDarmasaka yang ternyata putra kepala desa itu.

    "Siapa dia?" tanya Ki Rangkuti sambil mengernyitkanalisnya Sepengetahuannya dia tidak pernah mengundangtamu seorang perempuan.

    "Dia tidak mau menyebutkan namanya. Katanya Ayahpasti sudah mengenalnya," sahut Darmasaka.

    "Hm...," Ki Rangkuti bergumam.

    "Apakah dia menyandang senjata?" tanya Dewa PedangEmas.

    'Tidak," sahut Darmasaka cepat Pakaiannya serba biru,dan hanya membawa tongkat berkepala ular"

    "Dia menunggang kuda putih dengan garis hitam padalehernya?" tanya Bayangan Malaikat.

    "Benar!" jawab Darmasaka.

    'Tidak salah lagi, pasti si Ular Betina," gumamDewa.Pedang Emas.

    "Kau mengundangnya juga, Rangkuti?" tanya BayanganMalaikat menatap Ki Rangkuti yang sejak tadi diam saja.

    Ki Rangkuti yang sejak tadi sudah menduga siapa yangdatang, hanya menggeleng perlahan. Dia tidak menyangkasama sekali kalau si Ular Betina akan datang tanpadiundang. Sementara Darmasaka hanya memandang tidakmengerti. Hatinya bertanya-tanya melihat perubahan padawajah Ayahnya yang seperti tidak menyukai kehadiranperempuan tua yang berjuluk Ular Betina itu.

    Saat mereka terdiam, tiba-tiba terdengar suara ringkikandan derap kaki kuda. Tampak seekor kuda putih yang

  • ditunggangi seorang perempuan tua berpakaian serba birumemasuki halaman rumah kepala desa yang luas. Kuda ituberhenti tepat di depan serambi depan, tempat empat oranglaki laki itu berdiri.

    Perempuan tua yang tidak lain adalah si Ular Betina.Dengan tangkas dan ringan sekali dia melompat darikudanya, seolah ingin memamerkan ilmu meringankantubuh yang indah pada keempat laki-laki di depannya.Manis sekali kakinya menjejak tanah setelah berputar diudara dua kali.

    "Kau mengadakan pesta besar, kenapa tidakmengundangku, Rangkuti?" suara si Ular Betina kecil,namun terdengar nyaring tinggi.

    "Maafkan kelalaianku, Ular Betina," sahut Ki Rangkutipelan penuh wibawa. 'Tidak seorang pun dari orang-orangku mengetahui di mana tempat tinggalmu. "

    "Hik hik hik..," si Ular Betina tertawa kecil. "Aku tidakmempersoalkan orang-orangmu, Rangkuti. Aku datang kesini hanya ingin menikmati pesta besarmu." Ki Rangkutimenarik napas panjang dan berat.

    Ada sedikit kelegaan di dadanya. Jika kedatangan si UlarBetina hanya sekedar menikmati pesta, tidak ada masalahbaginya. Hanya yang dikhawatirkan kedatanganperempuan tua itu bisa menghancurkan semua rencanayang sudah disiapkannya berbulan-bulan dengan penuhperhitungan.

    "Kau tidak mempersilakan aku duduk di kursi undangan,Rangkuti?" kata si Ular Betina.

    "Silakan. Pilihlah tempat di mana kau suka," KiRangkuti merentangkan kedua tangannya.

  • Sambil tertawa mengikik kecil, si Ular Betina melangkahmenaiki beranda rumah itu. Dia kemudian duduk disamping Dewa Pedang Emas. Ki Rangkuti masih berdirimeskipun ketiga tamunya sudah duduk di tempat masing-masing. Masih ada delapan bangku lagj yang kosong.Berarti belum semua undangan yang hadir. Padahalrencananya hari ini adalah puncak semua pesta besar yangtelah terlaksana.

    Ki Rangkuti memberi isyarat pada Darmasaka untukmendekat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, putrakepala desa itu maju mendekati ayahnya. Dia menganggukkecil pada ketiga tamu undangan Ki Rangkuti. Darmasakaberdiri di samping ayahnya membelakangi BayanganMalaikat.

    "Kau urus kuda Ular Betina dengan baik, kemudiantambahkan satu kursi lagi di sini," kata Ki Rangkutimemerintah.

    "Baik, Ayah," sahut Darmasaka. Darmasaka langsungmelangkah menghampiri kuda putih milik si Ular Betina.Kemudian dituntunnya ke belakang. Dua kuda lainnyamilik Bayangan Malaikat dan Dewa Pedang Emas, telahtertambat di sana.

    "Benar-benar anak yang berbakti, Rangkuti," kata UlarBetina setelah Darmasaka lenyap di belakang rumah.

    Ki Rangkuti hanya tersenyum, lalu duduk di kursinyasendiri. Hatinya masih belum bisa tenang dengan kehadiransi Ular Betina yang tidak diundang itu. Dia belum bisamemperkirakan maksud kedatangan si Ular Betina yangsebenarnya. Harinya hanya berharap benar-benar UlarBetina hanya ingin menikmati pesta besar di Desa Jatiwangiini

  • Tidak lama berselang, datang satu per satu undangan.Dari penampilan mereka, jelas kalau semuanya adalahtokoh-tokoh sakti kaum rimba persilatan. Mereka semuaadalah laki laki, kecuali si Ular Betina saja. Mereka dudukpada tempatnya masing-masing, menghadap panggungbesar yang berdiri di tengah halaman rumah kepala desa ini.

    Para penduduk pun sudah mulai berdatangan memenuhihalaman sekitar panggung. Dalam waktu yang tidak lama,halaman rumah Kepala Desa Jatiwangi penuh sesakdipenuhi manusia. Mereka semua ingin menyaksikanpuncak acara pesta besar itu.

    ***

    Pesta apa sebenarnya yang tengah berlangsung di desaJatiwangi? Sebenarnya bukan pesta merayakan sesuatu, tapiKi Rangkuti mengadakan pesta ini untuk menyambutberdirinya Padepokan Jatiwangi yang baru didirikan,dengan mengundang tokoh-tokoh rimba persilatan.

    Tampak pada bagian kanan panggung, berdiri berjajarpuluhan anak-anak muda yang mengenakan seragamkuning keemasan. Mereka semua menggenggam tombakpanjang. Merekalah murid pertama Padepokan JatiwangiPada barisan depan, duduk lima orang guru pengajar. Daripenampilan kelima orang itu, dapat diukur kalau merekamemiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah.

    Suara riuh penuh sorak-sorai seketika berhenti ketikaterdengar suara gong dipukul tiga kali. Ki Rangkuti berdiridengan sikap penuh wibawa. Langkahnya pelan dan tegapmenuju ke panggung. Semua mata memandang ke arahlaki-laki tua yang penuh daya pancar pesona itu. KiRangkuti berdiri tegak di tengah-tengah panggung. Sebentarmatanya menyapu ke arah warga desanya.

  • "Saudara-saudara sekalian, saya gembira pada hari yangsangat bersejarah bagi seluruh warga Desa Jatiwangi.Berkat restu Yang Maha Kuasa jualah maksud luhur kitasemua bisa tercapai hari ini. Pada hari yang bahagia ini,saya selaku Kepala Desa Jatiwangi akan meresmikanberdirinya satu-satunya Padepokan Jatiwangi di desa yangkita cintai ini," pelan dan teratur kata-kata Ki Rangkuti,namun terdengar menggema ke seluruh pelosok.

    Semua mata masih tertuju pada laki-laki yang penuhwibawa ini. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun.

    "Pada hari ke tujuh bulan Sanga, saya atas nama seluruhwarga Desa Jatiwangi meresmikan berdirinya

    Padepokan Jatiwangi!"

    Suara sorak-sorai dan tepuk tangan meriah terdengarmenggemuruh begitu Ki Rangkuti menyelesaikan kata-katanya Dengan gegap-gempita semua orang yang hadirmenyambut berdirinya Padepokan Jatiwangi yang hanyasatu-satunya di desa ini.

    Ki Rangkuti hanya tersenyum gembira menerimasambutan hangat seluruh warga desanya. Dadanya terasahampir pecah menyaksikan sambutan yang tidak pernahterbayangkan sebelumnya. Rencana mendirikan PadepokanJatiwangi ternyata berjalan lancar tanpa sedikit punmendapat gangguan yang berarti. Ki Rangkuti baru bisabernapas lega sebentar, ketika tiba-tiba sebuah bayanganhitam berkelebat cepat ke arah panggung.

    Suara-suara menggumam terkejut terdengar begitubayangan hitam tadi sudah berada di atas panggung.Ternyata seorang.perempuan tua dengan wajah penuhkeriput sudah berdiri tegak di depan Ki Rangkuti. Tangankanannya menggenggam sebatang tongkat hitam yang

  • meliuk-liuk bagai ular. Bagian kepala tongkat itu bulat tidakrata

    "Iblis Tongkat Hitam...," gumam Ki Rangkuti begitumengenali perempuan yang berdiri di depannya.

    "Hik hik hik..., rasanya tidak mudah mendirikan satupadepokan. Aku datang hanya ingin tahu, apakah DesaJatiwangi sudah pantas memiliki padepokan silat?" suaraIblis Tongkat Hitam terdengar pelan, namun penuh denganejekan yang menyakitkan.

    "Rasanya aku tidak mengundangmu, Iblis TongkatHitam. Satu kehormatan besar bagiku kau berkenan

    hadir pada peresmian berdirinya Padepokan Jatiwangi,"kata Ki Rangkuti.

    "Aku tidak suka acara ramah-tamah. Aku datang ke siniuntuk menguji pantas tidaknya Padepokan Jatiwangiberdiri!" dengus Iblis Tongkat Hitam.

    Panas kuping Ki Rangkuti mendengarnya. Tapi sebagaiguru besar Padepokan, sekaligus Kepala Desa Jatiwangi,dia harus bisa mengendalikan diri. Belum sempat iamenjawab tantangan itu, tiba-tiba Dar-masaka melompatringan. Tahu-tahu dia sudah berdiri di depan ayahnya.

    "Ijinkan aku yang memberi pelajaran kepada perempuanyang tidak tahu sopan-santun ini, Ayah," kata Darmasaka.

    "Hati-hatilah. Dia sangat licik dan tinggi tingkatkepandaiannya," kata Ki Rangkuti bijaksana.

    Darmasaka membalikkan tubuhnya. Kemudian diamelangkah tiga tindak ke depan. Ki Rangkuti menurunipanggung, kembali ke tempat duduknya semula. Meskipunbibirnya menyunggingkan senyum, tapi khawatir jugadengan keselamatan putranya. Dia tahu kalau Iblis Tongkat

  • Hitam bukanlah lawan Darmasaka. Itulah sulitnya jadiguru besar padepokan. Dia harus bisa menahan segalabentuk perasaan. Kebijaksanaan selalu menyertai dalamsetiap sikap dan tindakannya.

    "He, bocah! Untuk apa kau berdiri di situ?" bentak IblisTongkat Hitam sengit.

    "Aku akan membungkam mulutmu yang jelek!" dengusDarmasaka ketus

    "Hik hik hik..., sebaiknya kau turun. Aku tak maumengotori tangan dengan bocah bau kencur macam-12mu," ejek Iblis Tongkat Hitam.

    "Kami tidak mengundangmu datang ke sini. Aku Jugamalas mengusirmu seperti anjing kalau kau tidak lekas-lekasminggat!" balas Darmasaka tidak kalah sengitnya.

    "Bocah setan! Tajam sekali mulutmu!" geram IblisTongkat Hitam.

    "Lebih tajam lagi ujung tombakku!" "Setan! Mampuskau!"

    Iblis Tongkat Hitam tidak bisa lagi menahan amarahnyamendengar kata-kata Darmasaka yang menyakitkan.Seketika saja dia melompat sambil men-gebutkan tongkathitamnya yang meliuk-liuk bagai ular. Angin sambarantongkat itu menderu keras di atas kepala Darmasaka yangmerunduk. Dan bersamaan dengan itu, ujung tombakDarmasaka menyodok ke arah perut lawan.

    Iblis Tongkat Hitam menarik kembali tongkatnya, dandengan kecepatan bagai kilat dikebutkan ke bawah.Darmasaka tidak mau mengambil resiko denganmembenturkan tombaknya dengan tongkat hitam itu. Buru-buru ditarik tombaknya pulang. Iblis Tongkat Hitam

  • menggeram sengit karena serangan pertamanya gagal total,bahkan hampir-hampir kecolongan.

    Sorak-sorai bergemuruh mengelu-elukan Darmasakayang berhasil mengimbangi serangan pertama dari IblisTongkat Hitam. Tentu saja hal ini membuat perempuan tuaberbaju hitam itu semakin geram. Segera dia menyiapkanserangan yang kedua. Matanya memerah penuh amarahmenatap Darmasaka yang hampir saja membuatnya malu.Kali ini Iblis

    Tongkat Hitam tidak lagi menganggap enteng lawannya.Meskipun masih muda, Darmasaka memiliki ilmu silatyang cukup tinggi juga.

    'Terima seranganku, bocah!" teriak Iblis Tongkat Hitam.

    Darmasaka menarik tubuhnya menghindari sodokantongkat hitam perempuan tua itu. Pemuda itu langsungberputar ke belakang. Tapi sodokan tongkat hitam yanggagal diteruskan dengan kebutan ke arah dada. Dengan satulentingan indah, anak muda itu berhasil keluar dariserangan beruntun Iblis Tongkat Hitam.

    Baru saja ditapakkan kakinya di papan panggung,mendadak Iblis Tongkat Hitam kembali menyerang denganmengibaskan tongkat hitam ke arah iga. Darmasaka yangbaru saja menjejakkan kakinya, tidak bisa lagi mengelak.Terpaksa ditangkisnya tongkat hitam itu dengantombaknya.

    Trak!

    Darmasaka terpental dua tindak ke belakang Matanyamembeliak melihat tombaknya patah jadi dua. Sambilmenggeram kesal, dibuangnya tombak patah itu ke luarpanggung. Sementara Iblis Tongkat Hitam berdiri tegakdengan sikap jumawa. Tawanya mengikik kecil mengejek

  • lawannya. Suara-suara riuh dari bawah panggung memberidorongan semangat pada Darmasaka.

    "Ayo, keluarkan lagi senjatamu. Aku tidak pernahmelawan orang tanpa senjata!" seru Iblis Tongkat Hitam.

    Sret!

    Tanpa sungkan-sungkan lagi Darmasaka mencabutpedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Senjataitu berkilatan tertimpa sinar matahan. Iblis Tongkat Hitamhanya mengikik menyaksikan hal itu. Baginya sebatangpedang bukanlah hal yang patut diperhitungkan. Sudahterlalu banyak lawan yang menggunakan pedang disikathabis olehnya.

    "Majulah. Kuberi kau kesempatan menyerang," kata Iblistongkat Hitam meremehkan.

    "Phuih!" Darmasaka meludah sengit.

    Sambil mengeluarkan teriakan panjang, Darmasakamelompat deras seraya mengibaskan pedangnya ke arahleher lawannya. Masih dengan suara mengikik, IblisTongkat Hitam hanya menarik sedikit bagian lehernya kebelakang, dan ujung pedang Darmasaka lewat begitu saja didepan leher Iblis Tongkat Hitam.

    Mendapati serangan pertamanya gagal, Darmasaka cepatmembelokkan arah pedangnya ke kaki lawan tanpamenariknya lagi. Iblis Tongkat Hitam menaikkan sedikitkaki kanannya, dan pedang itu lewat di bawah telapakkalanya. Darmasaka kembali melancarkan serangan tanpahenti, namun Iblis Tongkat Hitam dengan mudahnyamampu mengelak.

    Sementara itu di serambi depan rumah Kepala DesaJatiwangi, Ki Rangkuti memperhatikan jalannyapertarungan dengan mata tidak berkedip. Hatinya semakin

  • diliputi kecemasan melihat putranya tidak dapat lagimengendalikan hawa amarah Dalam beberapa gebrakanlagi, Darmasaka diramalkan akan kalah.

    Dan baru saja Ki Rangkuti berkata begitu dalam hatiTiba-tiba Iblis Tongkat Hitam memekik keras.

    Tongkat hitamnya berkelebat cepat mengarah kepalaDarmasaka. Gerakan yang cepat dan tiba-tiba ini sangatmengejutkan anak muda itu. Tidak mungkin lagi untukmenghindar. Terpaksa disambutnya dengan menangkis.Trak!

    Tangan Darmasaka bergetar keras ketika pedangnyamenangkis tongkat hitam yang mengancam kepalanya. Danbelum sempat dia menguasai diri, mendadak....

    "Lepas!"

    Iblis Tongkat Hitam melayangkan kakinya menghantampergelangan tangan Darmasaka yang menggenggampedang. Darmasaka tersentak kaget. Mendadak sajapergelangan tangannya terasa nyeri, seperti remuk. Diatidak tahu lagi ke mana pedangnya mencelat.

    Belum sempat Darmasaka berpikir lebih jauh, satutendangan keras kembali menghantam dadanya dengantelak. Darmasaka terjengkang ambruk ke luar panggung,dan jatuh di depan kaki ayahnya sendiri. Dari sudut bibiranak muda itu mengalir darah segar. Dia berusaha bangkitberdiri, tapi tangan Ki Rangkuti lebih cepat menahanpundaknya.

    "Semadilah, kau terluka dalam," kata Ki Rangkuti.

    "Perempuan iblis itu, Ayah...," Darmasaka akan protes.

    "Kau sudah kalah. Anggap saja semua ini sebagaipelajaran. Nah! Bersemadilah," potong Ki Rangkuti tegas.

  • Darmasaka beringsut bangun, lalu duduk bersila.

    Dia merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada.Kedua kelopak matanya terpejam. Dadanya masih terasasakit, dan napasnya juga jadi sesak.

    Sementara itu di atas panggung, Iblis Tongkat Hitamberdiri pongah. Sikapnya jelas-jelas menunjukkan tantanganbagi siapa saja yang berani melawannya. Matanyamemerah, sangat tajam menatap Ki Rangkuti yang masihduduk tenang di kursinya.

    "Biarkan aku yang mengenyahkan iblis itu, Rangkuti,"kata Dewa Pedang Emas setengah berbisik.

    "Jangan. Kau tamuku. Tidak pantas turun tangan," KiRangkuti menolak halus tanpa menyinggung perasaanDewa Pedang Emas. "Lagipula dia bukan lawanmu. Kaumasih jauh di atas tingkat kepandaiannya."

    Dewa Pedang Emas tidak membantah. Memang benarapa yang dikatakan Ki Rangkuti tadi. Dalam tiga jurus sajadia mampu menundukkan Iblis Tongkat Hitam. Dulu puniblis itu pernah dikalahkannya hanya dalam satu gebrakansaja. Dan dilihat dari caranya bertarung melawanDarmasaka, tampaknya belum ada perubahan dari jurus-jurusnya. Entah kalau dia menyimpannya untukmenghadapi lawan yang berat

    "Siapa lagi jago-jago Jatiwangi? Apakah nyali kalianhanya sebesar tahi ayam?" Iblis Tongkat Hitam menantangdengan pongahnya.

    "Aku lawanmu, iblis jelek!"

    Dari deretan kursi depan di samping panggung,melompat seorang laki-laki berpakaian serba putih yangketat Dua kali dia berputar di udara, kemudian denganmanis kedua kakinya menapak di papan panggung. Iblis

  • Tongkat Hitam terkekeh melihat lawannya yang kali initampak lebih tua dari Darmasaka.

    Bukan itu saja kelebihannya. Tanpa memperdengarkansuara sedikitpun dalam melompat, tahu-tahu sudah beradadi atas panggung tanpa terdengar suara. Pertanda kalau diamemiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dariDarmasaka.

    "Ijinkan aku bermain-main sedikit dengan Iblis TongkatHitam, Kakang Rangkuti?"

    "Silakan, Mahesa Jalang," sahut Ki Rangkuti serayamerentangkan tangan kanannya ke depan.

    Mahesa Jalang menggeser kakinya mendekati IblisTongkat Hitam. Dia berhenti setelah jaraknya kira-kira satubatang tombak lagi di depan perempuan tua berpakaianlonggar serba hitam itu.

    "Berikan aku sedikit pelajaran, nenek tua," MahesaJalang menjura hormat.

    "Hik hik hik...," Iblis Tongkat Hitam jadi risih jugadengan sikap Mahesa Jalang yang penuh aturan dan tata-krama. "Jangan kau sungkan-sungkan. Keluarkan semuakesaktianmu!"

    "Bersiaplah!"

    ***

  • 2Mahesa Jalang menjura sekali lagi, kemudian dengancepat digeser kakinya maju. Begitu cepatnya bergerak,kedua tapak kakinya sepertinya tidak menyentuh papanpanggung lagi. Kedua tangannya berkelebat cepat ke kiridan ke kanan serta ke depan.

    Iblis Tongkat Hitam sesaat tertegun melihat jurus yangdigunakan Mahesa Jalang. Gerakan-gerakannya tidakberaturan, seperti orang mabuk saja layaknya. Tapiketertegunan Iblis Tongkat Hitam berubah menjadi rasaterkejut yang amat sangat, karena tiba-tiba saja tangankanan Mahesa Jalang nyelonong ke arah dadanya.

    "Uts!"

    Iblis Tongkat Hitam langsung memiringkan tubuhnya kekanan, sehingga tangan Mahesa Jalang lewat disampingnya. Belum juga perempuan tua itu membenahiposisinya, mendadak kaki Mahesa Jalang terangkat cepatmengarah ke perut. Iblis Tongkat Hitam cepatmembabatkan tongkatnya melindungi perut.

    Tentu saja Mahesa Jalang tidak mau mengambil resiko.Buru-buru ditarik kakinya kembali. Bukan disitu saja IblisTongkat Hitam bergerak. Selagi tongkatnya terayun kebawah, dengan cepat tangan kirinya menyentak ke depan.

    Bet!

    Mahesa Jalang tersentak seraya menarik kepalanya kebelakang menghindari tangan kiri yang mengancamkepalanya. Hanya beberapa helai rambut saja kepalantangan kiri Iblis Tongkat Hitam melayang di depanmukanya.

    "Awas kepala!" seru Mahesa Jalang tiba-tiba.

  • Secepat lalat tangan kanannya bergerak ke arah kepalalawan. Iblis Tongkat Hitam merunduk sedikit, namuntangan yang hampir mencapai atas kepala itu secara tiba-tiba turun dengan deras. Dan meluruk cepat ke arah perut.

    Buk!

    "Uhk!"

    Iblis Tongkat Hitam terbungkuk terdorong dua langkahke belakang. Bibirnya meringis merasakan mual dan nyeripada perutnya, terkena sodokan keras tangan MahesaJalang.

    "Setan!" geram Iblis Tongkat Hitam.

    Sorak-sorai menggemuruh mengelu-elukan MahesaJalang. Mulut-mulut usil kembali mengejek Iblis TongkatHitam. Tentu saja hal ini membuat perempuan tua itu jadisemakin geram. Segera saja diputar tongkatnya dengancepat. Tongkat hitam itu berputar deras bagai baling-baling.Suara angin menderu-deru bagai angin topan. Panggungbesar dan kokoh itu berderak-derak seakan-akan hendakruntuh.

    Menghadapi serangan yang dahsyat ini, Mahesa Jalanglangsung mengerahkan ilmu kesaktiannya. Dia tidak inginmenghadapinya hanya dengan jurus-jurus yangmengandalkan kecepatan gerak dan pengerahan tenagadalam. Dia tahu kalau Iblis Tongkat Hitam sudahmengeluarkan ilmu kesaktiannya yang cukup ting$.

    Mahesa Jalang mengepalkan tangan kanannya, laludirapatkan dengan telapak tangan kiri di pinggang kanan.Cepat sekali dia memindahkan posisi tangannya kepinggang kiri. Lalu perlahan-lahan naik sampai ke dadakiri.

    "Aji 'Karang Kati'...!" teriak Mahesa Jalang keras.

  • Seketika itu juga tubuhnya melenting deras ke arah IblisTongkat Hitam yang sudah melintangkan tongkatnya kedepan. Satu ledakan keras terjadi ketika kedua tanganMahesa Jalang membentur tengah-tengah tongkat hitam.

    Trak!

    "Akh!" Iblis Tongkat Hitam memekik tertahan.

    "Uhk!" Mahesa Jalang melenguh pendek.

    Dua tubuh yang berbenturan tadi, terdorong ke belakangsejauh dua batang tombak. Iblis Tongkat Hitam limbungbeberapa saat, kemudian kembali berdiri tegak. Matanyamembeliak merah setelah tahu tongkat hitamnya patah jadidua bagian.

    Teriakan-teriakan kembali terdengar menggemuruh daripara penduduk yang gembira melihat Mahesa Jalangberhasil mematahkan tongkat Iblis Tongkat Hitam.

    "Bocah setan! Kau harus mati di tanganku!" dengus IblisTongkat Hitam geram.

    Selesai berkata demikian, langsung disiapkan ilmukesaktiannya yang lain. Sedangkan Mahesa Jalang kembalimenyiapkan aji 'Karang Kati'. Dua orang di atas panggungitu kembali saling berhadapan dengan niat inginmenjatuhkan satu sama lain. Keadaan kembali jadi hening,menunggu akhir adu kesaktian itu

    "Aji 'Tapak Api'!" teriak Iblis Tongkat Hitam.

    "Aji 'Karang Kati'!" Mahesa Jalang tidak mau kalah.

    Hampir bersamaan mereka melompat ke udara. Masing-masing mendorong kedua tangan ke depan. Tampak keduatelapak tangan Iblis Tongkat Hitam berubah menjadi merahmembara. Tepat pada satu titik, dua pasang tangan itubertemu di udara. Kembali ledakan keras disertai percikan

  • bola-bola api, terdengar menggema saat dua pasang telapaktangan beradu.

    Iblis Tongkat Hitam terpental ke belakang. Teriakankeras melengking keluar dari mulutnya. Keras pulatubuhnya terbanting di pinggir panggung. Tampak darimulut dan hidungnya merembes darah segar.

    Sementara itu Mahesa Jalang melenting dan berputardua kali di udara, lalu dengan manis mendarat tepat ditengah-tengah panggung. Matanya tajam memandangtubuh terbungkus baju hitam yang ter-golek di pinggirpanggung besar yang kokoh ini. Tubuh Iblis Tongkat Hitammenelungkup tidak bergerak-gerak. Seorang murid dariPadepokan Jatiwangi menghampiri dan memeriksa keadaanIblis Tongkat Hitam.

    "Mati," katanya agak pelan.

    Suara bergemuruh kembali terdengar menyambutkemenangan Mahesa Jalang. Begitu mendengar kema-tianIblis Tongkat Hitam, Mahesa Jalang melangkah ke tepipanggung. Tapi baru saja akan turun, mendadak terdengarsuara tawa menggelegar. Disusul melompatnya sesosoktubuh dari tengah-tengah penonton.

    Begitu cepatnya sosok tubuh itu melompat, tahu-tahusudah berdiri di atas panggung. Mahesa Jalangmembalikkan tubuhnya. Dia tahu kalau kemenangan initentu akan mendapatkan tantangan lagi dari tokoh-tokohsakti rimba persilakan. Dan semuanya sudah diperkirakansebelumnya.

    ***

    "Buto Dungkul...," gumam Mahesa Jalang mengetahuisiapa yang kini berdiri dengan sikap menantang di tengah-tengah panggung.

  • "Belum saatnya kau turun gelanggang, Mahesa Jalang, "ujar Buto Dungkul. Suaranya berat dan serak.

    Mahesa Jalang memiringkan kepalanya mengamati laki-laki yang hanya mengenakan cawat saja. Di tangankanananya tergenggam sebuah gada penuh duri-duri tajamyang besar. Tubuh Buto Dungkul juga tinggi besar bagairaksasa. Dadanya penuh dengan bulu-bulu hitam.Keadaannya sangat kotor, persis manusia hutan yang barukeluar dari pengasingan.

    Bagi tokoh-tokoh sakti rimba persilatan, nama ButoDungkul tidak asing lagi. Dia sudah terkenal sebagaimanusia rimba belantara yang menguasai Hutan Gading.Hutan Ubat yang berada tidak jauh dari Desa Jabwangi iniSudah tak terhitung lagi manusia yang mati di tangannya.Buto Dungkul tidak memiliki satu jenis ilmu silat pun. Tapitenaganya sangat besar dan kuat, melebihi tenaga manusiabiasa.

    Kelebihan yang paling utama dari tubuhnya adalah kebalterhadap segala jenis racun. Kulit tububnya sekeras baja,sukar ditembus senjata tajam. Cara bertarungnya juga aneh,tidak mengikuti aturan jurus-jurus silat Serampangan danhanya mengandalkan kekuatan otot serta kekebalan tubuhsaja.

    "Kau sudah mengingkari janji, Mahesa Jalang. Sekarangaku datang untuk menagih janjimu," kata Buto Dungkul.

    Mahesa Jalang hanya bergumam kecil. Dia memangpernah berjanji pada manusia raksasa ini untuk mengadujiwa. Tiga tahun yang lalu, ketika masih bertugas sebagaipengantar barang-barang dari satu desa ke desa yang lain,dia pernah melewati Hutan Gading. Di situ Mahesa Jalangbertarung melawan Buto Dungkul yang ingin merampassemua barang-barang yang ada di atas pedati. Enam orang

  • yang ikut waktu itu tewas secara mengerikan di tanganmanusia raksasa ini.

    Mahesa Jalan bisa menandingi, bahkan sempat melukaiButo Dungkul. Tapi keadaan dirinya juga tidak kalah kritis.Mereka kemudian mengadakan satu perjanjian untukmelanjutkan pertarungan dalam waktu tiga tahunmendatang. Dan setelah tiga tahun ini rupanya ButoDungkul datang untuk menagih janji. Mahesa Jalang bukanlupa akan janjinya, tapi niatnya akan dipenuhi setelahPadepokan Jatiwangi berdiri resmi.

    "Buto Dungkul, saat ini bukan waktu yang tepat untukmenyelesaikan persoalan pribadi," kata Mahesa Jalang.

    "Ha ha ha.... Kau gentar menghadapiku, MahesaJalang?"

    "Waktu yang kita janjikan masih tujuh hari lagi. Akuakan datang tepat pada waktunya nanti ke Hutan Gading!"

    "Kau kira aku salah menghitung, heh? Hari ini tepat kauharus memenuhi janjimu!"

    Mahesa Jalang tidak mengerti dengan cara perhitunganhari Buto Dungkul. Dalam perhitungannya sendiri,sebenarnya masih tujuh hari lagi, tapi kenapa Buto Dungkulmenganggap hari ini perjanjian itu harus terlaksana?

    "Rangkuti! Kau yang jadi saksi perjanjian itu. Bagaimanabunyinya?" Buto Dungkul menatap Ki Rangkuti.

    Sebentar Ki Rangkuti menarik napas panjang. Memangpada waktu itu dia ada di sana. Dialah yang mengusulkansupaya diadakan satu perjanjian.

    Kebetulan saat itu ia sedang berburu di tepian HutanGading, dan mendengar suara pertarungan. Namun ketikatiba di tempat kejadian, dua orang yang bertarung sudah

  • tergeletak dalam keadaan kritis. Tapi masing-masing orangitu tidak mau mengakui kekalahannya. Lalu Ki Rangkutipun mengusulkan agar diadakan suatu perjanjian untukmengulang pertempuran itu. Mereka pun akhirnya setuju.

    Sejak kejadian itulah Mahesa Jalang tinggal di DesaJatiwangi. Dia merasa berhutang budi pada Ki Rangkutiyang tanpa sengaja telah menyelamatkan nyawanya.Memang saat itu Buto Dungkul sudah bisa bangkit kembalisementara Mahesa Jalang masih tergeletak lemah tanpadaya.

    "Perjanjian itu berbunyi, tiga tahun berselang,pertarungan kalian dilanjutkan sampai ada yang tewas.Waktunya ditetapkan tujuh hari sebelum bulan purnamaketiga," lantang suara Ki Rangkuti menyebutkan isiperjanjian antara Mahesa Jalang dengan Buto Dungkul.

    "Kau dengar itu, Mahesa Jalang?" Buto Dungkul kembalimenatap Mahesa Jalang.

    "Aku tahu!" sahut Mahesa Jalang.

    "Nah! Bukankah tujuh hari lagi bulan purnama ketiga?Berarti hari ini kau harus menepati janjimu!"

    Mahesa Jalang tidak bisa berkata lain leigi. Sungguh matidia tidak ingat kalau bulan purnama ketiga yang ditetapkandikurangi tujuh hari. Kalau begitu, memang tepat hari iniharus bertarung untuk memenuhi janji dengan manusiaraksasa itu.

    "Kau sudah menyalahi janji, Mahesa Jalang. Seharusnyakau datang tepat begitu matahari terbit. Jangan salahkanaku kalau kedatanganku merusak acara besar di sini."

    Ki Rangkuti mengangguk-anggukkan kepalanya. Diamemang tidak bisa menyalahkan Buto Dungkul. Danseharusnyalah Mahesa Jalang harus menepati janji datang

  • ke Hutan Gading tepat ketika matahari terbit. Ki Rangkutitidak bisa mencegah lagi, panggung yang sedianya untukpertunjukan adu ketangkasan murid-muridnya denganbeberapa padepokan yang diundang, jadi arena pertarunganpelaksanaan perjanjian.

    Malah sejak awal acara peresmian Padepokan Jatiwangisudah dirusak dengan munculnya Iblis Tongkat Hitam.Kejadian seperti ini memang sudah diperhitungkan oleh KiRangkuti dan lima orang pembantunya di padepokan. Kinisalah seorang pembantu utamanya harus melaksanakanjanji yang dibuatnya sendiri.

    "Bersiaplah kau, Mahesa Jalang!" seru Buto Dungkultiba-tiba.

    Manusia raksasa itu berteriak menggelegar sambilmemutar-mutar gadanya yang besar berduri di atas kepala.Sungguh besar tenaga yang dimilikinya. Gada sebesar pahaorang dewasa itu menderu-deru menimbulkan suara anginmenggemuruh memekakkan telinga. Dengan gada yangdiputar-putar di atas kepala, Buto Dungkul berlari berat kearah Mahesa Jalang.

    Suara menderu berat terdengar keras di samping MahesaJalang. Gada besar berduri itu melayang cepat mengarah kekepala laki-laki gagah berpakaian serba putih itu. Hanyasedikit saja Mahesa Jalang menarik kepalanya ke belakang,gada itu lewat di depan mukanya. Angin keras yang bertiupdari gada itu membuat tubuh Mahesa Jalang agakterdorong.

    Sret!

    Mahesa Jalang menarik pedangnya sambil melangkahmundur dua tindak. Pedang bercahaya keperakan ituberkelebat cepat membabat bagian perut Buto Dungkul.

  • Sabetan pedang disertai pengerahan tenaga dalam cukuptinggi itu tak dapat lagi dielakkan Buto Dungkul.

    Duk!

    Mata pedang perak menghantam keras perut buncit darimanusia raksasa itu. Tangan Mahesa Jalang bergetar hebat.Hampir saja pedangnya terlempar dari genggamananya.Mahesa Jalang membelalak lebar melihat perut ButoDungkul tidak terluka sedikitpun oleh sabetan pedangnya.

    Bukan cuma Mahesa Jalang yang keheranan melihatkekebalan kulit Buto Dungkul, tapi semua orang yang hadirjuga jadi melongo. Sementara itu Buto Dungkulmenggeram keras bagai gorila lapar. Gada besar penuh duridiayunkan seperti hendak meremukkan tubuh MahesaJalang.

    "Uts!"

    Mahesa Jalang melompat mundur saat gada ButoDungkul nyaris menghantam tubuhnya. Begitu derasnyahantaman gada sebesar paha manusia dewasa itu, sehinggaketika menghantam papan panggung, langsung jebolberantakan. Panggung berukuran besar itu bergetar hebatseolah akan rubuh.

    "Gila! Orang apa gorila tuh!" seru salah seorang hadirin.

    Mahesa Jalang kembali mengarahkan pedangnya, yangkali ini mengancam leher Buto Dungkul. Kibasan pedangyang hampir bersamaan degan hancurnya panggung, tidakbisa dielakkan manusia raksasa itu. Mata pedang dari perakitu tepat membabat leher Buto Dungkul.

    Lagi-lagi Mahesa Jalang terpental begitu pedangnyamenghantam leher Buto Dungkul. Sabetan keras disertaipengerahan tenaga dalam penuh membuat pedang MahesaJalang patah jadi dua bagian. Dan dia sendiri terpental

  • sejauh satu batang tombak ke belakang. Mahesa Jalangbergulingan di atas panggung, dan segera berdiri.

    "Setan!" dengan kesal Mahesa Jalang melemparkanpedangnya yang buntung.

    Buto Dungkul menggeleng-gelengkan kepalanyasebentar. Leher yang terbabat pedang tidak sedikit punmengalami luka. Kulitnya benar-benar sekeras baja, tidakmempan oleh senjata tajam. Padahal Mahesa Jalang sudahmengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

    "Ghraaaghhh...! Mampus kau sekarang, Mahesa Jalang!"Buto Dungkul menggeram bagai guruh.

    Mahesa Jalang yang kini tidak lagi menggengam senjata,segera mengerahkan kesaktiannya. Tidak tanggung-tanggung lagi, langsung dikerahkan aji 'Karang Kati' yangmenjadi ilmu andalannya.

    Begitu Mahesa Jalang selesai mempersiapkan ajiannya,Buto Dungkul menghantamkan gadanya dengan cepatsambil menggeram hebat Gada besar penuh duri tajam itumelayang deras bagai gunung runtuh. Mahesa Jalangmelompat sambil menapak senjata mengerikan itu dengantangannya yang sudah mengerahkan Aji 'Karang Kati'.

    "Akh...!" Mahesa Jalang memekik keras begitutangannya membentur gada Buto Dungkul.

    Bersamaan dengan pekikan keras itu, terdengar suaraledakan dahsyat Tubuh Mahesa Jalang terlontar deras danterbanting ke luar panggung. Darah segar muncrat keluardari mulutnya begitu tubuhnya menghantam tanah dengankerasnya.

    Sedangkan Buto Dungkul menggeram-geram sambilmemutar-mutar gada besarnya. Suara angin menderu-derukeluar dari putaran gada di atas kepala manusia raksasa itu.

  • Semua orang yang berada di sekitar pannggung, bergegasmundur penuh kengerian. Tak ada lagi sorak-sorai ataudecak kekaguman. Yang terlihat hanya wajah-wajahketakutan dan kengerian menyaksikan manusia raksasaberdiri dengan tegar sambil memutar-mutar gadanya di ataskepala.

    Mahesa Jalang bangkit berdiri. Dengan ujung lenganbajunya disekanya darah yang mengotori mulut. Diahampir tidak percaya kalau Aji 'Karang Kati' tidak bisamelukai Buto Dungkul, apa lagi membunuhnya. MahesaJalang benar-benar putus asa menghadapi kehebatannmanusia liar ini. Sungguh tidak diduga sama sekali dalamwaktu tiga tahun telah begitu hebat.

    "Ilmu setan apa yang dipakainya?" gumam MahesaJalang bertanya pada dirinya sendiri.

    "Mahesa Jalang, keluarkan semua kesaktianmu. Kitabertarung sampai ada yang mati!" keras menggelegar suaraButo Dungkul.

    "Phuih!" Mahesa Jalang menyemburkan ludahnya.

    Seketika dikempos tenaganya, dan melayang kembali keatas panggung. Tubuhnya ringan bagai kapas, menjejakpapan panggung tanpa menimbulkan suara sedikitpun juga.Segera disiapkan kembali Aji 'Karang Kati'. Kali ini MahesaJalang mengerahkan seluruh kekuatannya dan dipusatkanpada kedua telapak tangannya.

    "Aji 'Karang Kati'...!" teriak Mahesa Jalang keras.

    Bersamaan dengan itu, tubuhnya segera melentingmenerjang Buto Dungkul. Manusia raksasa itumengibaskan gadanya berusaha menghantam tubuhMahesa Jalang yang meluncur deras ke arahnya. Mahesa

  • Jalang menurunkan tubuhnya sedikit, dan gada ButoDungkul lewat di atas tubuhnya sedikit.

    Dalam waktu yang bersamaan, kedua telapak tanganMahesa Jalang menerpa dada manusia raksasa itu. Suaraledakan dahsyat kembali terdengar. Tubuh Mahesa Jalangterlontar lagi ke belakang dengan derasnya. Sementara ButoDungkul hanya terdorong dua langkah saja. Dia masihtetap berdiri tegak meskipun mulutnya sedikit meringis.

    Tubuh Mahesa Jalang kembali terbanting keras dipanggung. Papan panggung yang tebal dan kuat itu tergetar,kemudian hancur berkeping-keping tertimpa tubuh MahesaJalang. Guru kelima Padepokan Jati-wangi itu bergulingansetelah menghantam papan panggung di tanah. MahesaJalang baru berhenti bergulir begitu sampai di pinggir.

    "Hoek!" kembali dia memuntahkan darah segar darimulutnya.

    Mahesa Jalang merasakan seluruh tubuhnya sepertiremuk. Rasa nyeri menggerogoti seluruh tulang-tulangtubuhnya. Dengan susah-payah dia berusaha bangkitberdiri. Namun belum juga sempat berdiri, mendadak lantaipanggung itu bergetar hebat.

    "Graaahhh...!" Buto Dungkul menggeram keras.

    Kakinya yang besar dan berat berlari kencang ke arahMahesa Jalang yang belum juga bangkit. Buto Dungkulberlari kencang sambil mengayun-ayunkan gadanya. Dandengan keras dihantamkan ke punggung Mahesa Jalang.

    "Aaakh...!" Mahesa Jalang menjerit melengking tinggi.

    Darah langsung muncrat dari punggungnya yangterbelah. Buto Dungkul mengangkat tubuh Mahesa Jalangyang telah tewas dengan sebelah tangannya. Dia memutar-mutar tubuh itu, sehingga darah berceceran kemana-mana.

  • Dengan satu geraman mengguruh, Buto Dungkulmelemparkan tubuh Mahesa Jalang ke tengah-tengah paramurid Padepokan Jati-wangi.

    Tubuh Mahesa Jalang yang sudah tidak bernyawa lagiitu meluncur deras, dan jatuh tepat di tengah-tengah murid-muridnya sendiri. Seketika itu juga Desa Jatiwangi gegerdengan gugurnya Mahesa Jalang di tangan manusia raksasaitu. Suara-suara penuh kengerian mendengung memenuhisekitar panggung. Buto Dungkul berdiri tegak menyandanggada berdurinya. Matanya merah menyala menatap KiRangkuti yang kini berdiri dari kursinya.

    "Rangkuti, giliranmu tiga purnama lagi!" seru ButoDungkul menggelegar.

    Ki Rangkuti belum bisa berkata apa-apa, Buto Dungkulsudah berbalik dan melangkah menuruni panggung. Orang-orang pun segera menyingkir ketika manusia raksasa ituakan lewat. Ki Rangkuti masih menatap kepergian ButoDungkul yang semakin jauh dengan langkah-langkah lebardan berat

    ***

  • 3Malam sudah amat larut. Suasana di Desa Jatiwangi sepilengang. Beberapa obor masih tampak menyala terang dibeberapa tempat. Halaman rumah kepala desa pun tampaksenyap. Tidak ada seorang pun yang terlihat, kecuali diberanda depan. Tampak Ki Rangkuti duduk termenungdidampingi oleh Dewa Pedang Emas dan BayanganMalaikat. Dua sahabat yang belum juga meninggalkantempat meskipun perayaan peresmian berdirinyaPadepokan Jabwangi sudah berakhir sore tadi.

    Sementara tamu-tamu undangan lainnya sudahberistirahat di kamar masing-masing yang telah disediakanoleh Ki Rangkuti. Sejak sore tadi ketiga orang itu duduk diberanda depan tanpa banyak kata yang terucap darimulutnya. Ki Rangkuti seperti sedang memikirkan sesuatuyang berat.

    "Aku lihat kau tidak lagi gembira sejak kematian MahesaJalang, Rangkuti. Apakah kau memikirkan kata-kata ButoDungkul?" Dewa Pedang Emas membuka suara pelan.

    Ki Rangkuti menarik napas panjang. Bola matanyamenatap kedua sahabatnya bergantian.

    "Kau punya perjanjian dengan manusia liar itu,Rangkuti?" tanya Bayangan Malaikat.

    "Ya," desah Ki Rangkuti berat. " Aku harus berhadapandengannya tiga bulan mendatang kalau Mahesa Jalangtewas."

    "Perjanjian nekad!" dengus Dewa Pedang Emas.

    "Aku melakukannya karena terpaksa, aku hanya inginmenyelamatkan nyawa Mahesa Jalang waktu itu."

  • "Seharusnya kau biarkan saja Mahesa Jalang mati saatitu juga. Toh akhirnya dia pun harus mati di tangan ButoDungkul!" Bayangan Malaikat seolah-olah menyesalkansikap Ki Rangkuti.

    "Aku tidak menyesali perjanjian itu," sahut Ki Rangkuti.

    "Lalu, kenapa kau jadi murung?" desak Dewa PedangEmas.

    "Aku memikirkan permintaan Buto Dungkul.""Permintaan apa?"

    "Buto Dungkul tidak akan membunuhku dalampertarungan nanti. Dia hanya ingin mengalahkan aku saja."

    "Kalau cuma itu, kenapa jadi dipikirkan?"

    "Bukan cuma itu, Dewa Pedang Emas. Yang jadi bebanpikiranku sekarang, Buto Dungkul meminta putriku kalauaku kalah."

    Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat terkejutsetengah mati. Rasanya mereka saat itu mendengar ledakanpetir yang amat dahsyat. Tidak diduga sama sekali KiRangkuti mempunyai perjanjian yang berat sekali.

    Mereka semua tahu bagaimana hebatnya Buto Dugkul.Rasanya sulit bagi Ki Rangkuti mengalahkan manusia liaritu. Mereka bertiga saja belum tentu bisa menandingimeskipun secara bersamaan menyerang. Benar-benarperjanjian edan!

    "Sekar Telasih sudah tahu perjanjian itu?" tanya DewaPedang Emas

    "Belum," sahut Ki Rangkuti lesu.

    "Aku tidak bisa bayangkan, bagaimana kalau putrimutahu mengenai perjanjian itu? Benar-benar sembrono sekalikau, Rangkuti," gumam Bayangan Malaikat menyesalkan.

  • Ki Rangkuti tidak bisa menyalahkan kata-katasahabatnya. Diakui kalau tindakannya sungguh ceroboh.Padahal tidak ada untungnya sama sekali menolongMahesa Jalang waktu itu. Dia juga tidak kenal sebelumnya.Mungkin karena jiwa kependekarannya saja yang tergerakuntuk menolong siapa saja yang membutuhkan meskipunharus mengorbankan apa yang dicintainya.

    "Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Tiga purnamabukan waktu yang panjang untuk mempersiapkan diri,Rangkuti," kata Dewa Pedang Emas.

    "Aku belum bisa memikirkannya," sahut Ki Rangkuti.

    "Sebaiknya kau menyempurnakan ilmu-ilmu andalanmu.Aku juga tidak akan tinggal diam begitu saja melihatkehancuranmu," kata Bayangan Malaikat.

    'Terima kasih. Kalian memang sahabat sejati," ucap KiRangkuti terharu.

    "Ah, sudahlah. Aku juga belum tahu, apakah pedangkuini bisa merobek kulitnya," kata Dewa Pedang Emas.

    Ki Rangkuti menatap kedua sahabatnya dengan penuhrasa haru. Dia tidak bisa lagi mengatakan apa-apa.Kesediaan dua sahabatnya membantu memecahkankesulitan yang tengah dihadapi, membuat lidahnya seakan-akan jadi kelu. Mungkin inilah arti persahabatan sejati.Senang sama dirasa, susah sama dipikul. Meskipun nyawataruhannya tidak membuat persahabatan jadi retak.

    Dewa Pedang Emas menepuk pundak Ki Rang-kuti,kemudian bangkit berdiri. Kakinya terayun menuju ke pintumasuk rumah besar itu. Tidak lama kemudian BayanganMalaikat menyusul untuk berisirahat. Kini di berandadepan itu tinggal Ki Rangkuti duduk termenung sendirian.Sungguh berat persoalan yang dihadapinya sekarang.

  • Bagaimana mungkin menyerahkan Sekar Telasih padamanusia liar yang selalu hidup di tengah-tengah hutanbelantara?

    Saat Ki Rangkuti tengah termenung, tiba-tiba secercahsinar meluncur deras ke arahnya, dan tepat membenturtengah-tengah meja batu pualam putih di depannya. Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu terkejut hinggaterlonjak berdiri. Seberkas sinar yang meluncur deras ituternyata sebuah anak panah kecil yang terbuat dari bahanlogam berwarna merah menyala. Ki Rangkuti mengedarkanmatanya ke sekeliling menerobos kegelapan malam.

    'Tidak ada seorang pun yang terlihat di luar sana. Hanyakegelapn saja yang menyelimuti sekitarnya. Tidak adasuara-suara ganjil terdengar, kecuali desah angin dangemerisik dedaunan saja. Ki Rangkuti mengalihkanpandangannya pada anak panah kecil yang tertancap itu.

    "Hmmm...," bibirnya bergumam panjang begitu i ielihatada gulungan daun lontar terikat pada batang nak panahitu.

    Gulungan daun lontar yang diikat dengan pita berwarnamerah darah. Ki Rangkuti melepaskannya dari anak panahitu. Matanya jadi melebar begitu membaca tulisan yangtertera pada daun lontar itu.

    "Setan!" geramnya sambil meremas daun lontar ituhingga hancur lumat

    Ki Rangkuti langsung melompat ke luar dari beranda.Dua kali berputar di udara, lalu dengan manisnya menjejaktanah. Dia berdiri bertolak pinggang dengan bola matanyalang beredar ke sekelilingnya. TUdak ada seorang punyang terlihat Keadaan sekeliling tetap sunyksepi, bahkanbinatang-binatang malam pun seolah enggan untukmemperdengarkan suara.

  • Cukup lama juga Ki Rangkuti berdiri di atas reruntuhanpanggung yang terletak persis di tengah-tengah halamanrumahnya. Dia seperti tidak peduli dengan hembusan anginmalam yang dingin menusuk kulit. Hatinya panas dangeram menerima surat tantangan dari seorang yang tidakdikenal sama sekali. Kemarahan Ki Rangkuti memuncak.

    Kalimat yang tertulis tidak banyak, tapi cukup membuathati Kepala Desa Jatiwangi itu jadi panas. Di dalambenaknya masih tertera hangat kata-kata "Serahkan SekarTelasih, kau akan terbebas dari perjanjian gila. Tidak adayang bisa menandingi Buto Dungkul selain aku." Ini samasaja satu tantangan yang meremehkan kemampuan KiRangkuti. Pantas saja Kepala Desa Jatiwangi ini jadi panas.Belum pernah dia menerima tantangan yang begitumeremehkan dan menghina.

    "Keluar kau. Biar kuhancurkan batok kepalamu!" geramKi Rangkuti agak keras.

    Tetap sepi, tidak ada yang menyahut. Hanya desiranangin saja yang membawa suara Ki Rangkuti menyebar kesegala penjuru.

    "Kalau kau laki-laki jantan, tunjukkan batanghidungmu!" seru Ki Rangkuti lagi.

    Tetap saja tidak ada sahutan, keadaan tetap sepi. KiRangkuti mendengus kesal. Dengan kaki terhentak, diamelangkah kembali ke beranda rumahnya yang diterangiempat buah pelita di tiap pojoknya. Dengan kesaldihenyakkan tubuhnya ke kursi. Matanya langsungmenatap anak panah berwarna merah yang masih tertancapdi tengah-tengah meja.

    Batu pualam putih alas meja itu kerasnya melebihi batubiasa. Dan mata anak panah itu mampu tembus ke dalamtanpa sedikit pun merusak bagian lainnya. Dari situ saja

  • sudah dapat diukur ketinggian ilmu tenaga dalam yangdimiliki si pelempar.

    "Siapakah si pelempar panah kecil itu? Dan apamaksudnya meminta putriku? Darimana dia tahu akupunya persoalan dengan Buto Dungkul?" Ki Rangkuti jadibertanya-tanya sendiri.

    ***

    Kegemparan kembali terjadi pagi ini. Sepuluh orangmurid Padepokan Jatiwangi yang kepandaianuya baruseumur jagung kedapatan tewas dengan dada tertancapanak panah kecil berwarna merah. Sepuluh orang yangtewas itu semalam mendapat tugas jaga di sekitarpadepokan.

    Geraham Ki Rangkuti bergemeletuk menahan jeram.Matanya memerah melihat sepuluh orang mayat muridnya.Satu persatu wajah-wajah muridnya dan empat gurupengajar yang tersisa di padepokan, dipandanginya.Desahan napas berat terdengar keras.

    "Siapa yang pertama melihat?" tanya Ki Rangkuti.Suaranya terdengar dalam dan berat.

    "Saya, Ki," sahut salah seorang dari keempat gurupengajar.

    "Pandu," gumam Ki Rangkuti. "Hanya kau sendiri yangpertama melihat?"

    "Bersama sepuluh orang murid," sahut Pandu.

    "Ceritakan apa yang terjadi?"

    "Saya tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Saya dansepuluh orang lainnya mendapatkan mereka sudah tewas,"sahut Pandu menjelaskan.

  • "Ada di antara kalian yang mendengar sesuatu tadimalam?"

    Semua menggelengkan kepalanya.

    "Edan!" geram Ki Rangkuti gusar.

    Ki Rangkuti tidak bisa menyalahkan mereka semua.Orang yang melakukan ini pasti memiliki tingkatkepandaian yang sangat tinggi, sehingga tidak seorang punbisa mengetahui dan mendengar apa-apa. Mungkinkahorang itu memiliki aji sirep, sehingga mereka semua jaditerlelap tidurnya bagai mati?

    "Kuburkan mereka sekarang juga," perintah Ki Rangkuti.

    Semua murid Padepokan Jatiwangi membungkukhormat. Ki Rangkuti berbalik dan melangkah meninggalkanhalaman padepokan yang berada tidak jauh dari rumahkediamannya. Langkahnya lebar dan cepat keluar daritembok padepokan

    Ki Rangkuti memandangi beberapa penduduk yangberkerumun ingin menyaksikan kematian sepuluh muridPadepokan Jatiwangi. Laki-laki tua itu terus melangkahmenuju rumah kediamannya. Dia baru berhenti ketikamelihat Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat berdiridi depan beranda rumahnya. Kedua sahabat itumenghampiri.

    "Aku dengar, sepuluh orang muridmu tewas. Benarkahitu?" tanya Dewa Pedang Emas

    "Ya, benar. Semalam," jawab Ki Rangkuti

    "Mustahil! Kita baru beranjak dari beranda menjelangpagi. Dan kau sendiri kelihatannya tidak tidur semalaman.Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?" Bayangan Malaikatmenggeleng-gelengkan kepalanya setengah tidak percaya.

  • "Aku sendiri tidak tahu. Bencana apa yang akanmenimpa desaku?" Ki Rangkuti mengeluh.

    Mereke bertiga terdiam. Ki Rangkuti melangkah menujuke beranda. Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikatmengikuti dari belakang. Mereka kembali duduk di berandamenghadapi meja marmer yang tengah-tengahnya bolong.Dewa Pedang Emas meraba lubang di tengah-tengah mejaitu.

    "Dia melemparkan ini semalam," kata Ki Rangkutiseraya mengeluarkan anak panah kecil berwarna merahyang tergeletak di atas meja.

    "Hebat...," gumam Dewa Pedang Emas menggeleng-gelengkan kepalanya.

    "Kapan ini terjadi?" tanya Bayangan Malaikat.

    'Tidak lama sesudah kalian masuk "

    Dewa Pedang Emas berdecak kagum.

    "Aku rasa ada orang yang tidak senang atas berdirinyaPadepokan Jatiwangi," Bayangan Malaikat menduga-duga.

    "Kejadian seperti ini selalu terjadi pada padepokan silatyang baru berdiri. Ini merupakan salah satu ujian bagiPadepokan Jatiwangi," sambung Dewa Pedang Emas.

    Ki Rangkuti hanya tersenyum tipis. Dugaan-dugaanyang dikeluarkan kedua sahabatnya hanya didengarkansaja. Dalam pikirannya berkecamuk permasalahan yangsaling tumpang-tindih. Semua dugaan itu memang adabenarnya kalau orang yang melemparkan anak panah kecilberwarna merah ini tidak menyertai surat penghinaan.Bunyi surat itu yang membuat Ki Rangkuti punya pikiranlain.

  • Orang itu bukan hanya ingin merampas Sekar Telasih.Tapi juga ingin menghancurkan Padepokan Jatiwangi yangseumur jagung itu. Siapapun orangnya, yang jelas diamempunyai kepandaian yang tinggi. Dia dapat beraksitanpa diketahui seorangpun! Sedangkan malam tadi, tidakkurang dari sebelas orang tokoh-tokoh sakti rimbapersilatan menginap di rumah kepala desa itu. Tidak satupun dari mereka mengetahuinya.

    ***

    Satu persatu para undangan meninggalkan DesaJatiwangi hari itu juga. Hanya Dewa Pedang Emas danBayangan Malaikat saja yang masih tinggal. Sebagaisahabat, mereka bertekad untuk membantu kesulitan yangkini sedang dihadapi Ki Rangkuti. Bagi mereka nyawatidaklah penting. Persahabatan sejatilah yang paling pentingdalam hidup ini.

    Pada masa mudanya dulu Ki Rangkuti adalah seorangpendekar yang selalu malang-melintang dalam rimbapersilatan. Tidak heran kalau memiliki banyak musuh, atauorang-orang yang tidak senang dan menaruh dendampadanya. Hal ini sangat disadari oleh Ki Rangkuti maupunkedua sahabatnya.

    Pada masa tuanya Ki Rangkti memilih menetap di desakelahirannya. Lebih-lebih setelah mempunyai istri dananak. Tekadnya untuk meninggalkan kehidupan yangpenuh kekerasan benar-benar dijalankan selama bertahun-tahun. Tapi sekarang ini Kepala Desa Jatiwangi itu mautidak mau harus menghadapi dan terjun kembali dalamkehidupannya yang dulu. Kehidupan yang selalu dilumuridarah dan kematian. Wusss!

    "Awas...!" tiba-tiba Dewa Pedang Emas berteriak.

  • Secercah sinar merah tiba-tiba berkelebat cepat ke arahKi Rangkuti. Tiga orang yang berdiri di tengah-tengahhalaman yang luas itu serentak berlompatanmenyelamatkan diri. Ki Rangkuti yang menjadi sasaransinar merah itu melenting berputar di udara dua kali. Sinarmerah itu lewat di dalam putaran tubuh Ki Rangkuti.

    Baru saja lakiJaki tua yang masih kelihatan gagah itumenapak di tanah, kembali berkelebat sinar merahmengancam dirinya. Secepat kilat Ki Rangkutimenggerakkan tangannya, dan.... Tap!

    Tangkas sekali dia menangkap kelebatan sinar merah itu.Ki Rangkuti berdiri tegak di tengah-tengah halamanrumahnya. Sementara Dewa Pedang Emas berada agakjauh di kiri. Bayangan Malaikat jaraknya sekitar tigatombak di kanan. Ki Rangkuti melihat genggamantangannya yang menangkap sinar merah tadi.

    "Panah merah...," desisnya begitu melihat sebatang anakpanah kecil berwarna merah darah di telapak tangannya.

    Anak panah merah itu terbungkus oleh daun lontar yangdiikat pita merah. Ki Rangkuti langsung melepaskan pitamerah yang mengikat daun lontar itu. Sementara keduasahabatnya sudah mendekati dan berdiri di samping kiridan kanan.

    "Rangkuti, kutunggu kau di Lembah Bunga Bangkaitepat tengah malam ini," gumam Dewa Pedang Emas yangikut membaca tulisan di sehelai daun lontar.

    "Kau kenal dengan senjata itu?" tanya BayanganMalaikat.

    Ki Rangkuti tidak segera menjawab. Sejak pertama kalididapatkan senjata anak panah kecil merah ini, otaknyaselalu berputar mengingat-ingat. Barangkali saja dia pernah

  • bentrok dengan orang yang biasa menggunakan senjata ini.Tapi rasa-rasanya belum pernah kenal dengan senjata inisebelumnya.

    "Kehidupan pendekar memang selalu dikelilingi musuh.Bisa saja orang itu murid dari salah satu musuhmu," kataDewa Pedang Emas.

    "Mungkin juga, aku tidak pernah melihat senjata jenis inisebelumnya," sahut Ki Rangkuti setengah bergumam.

    "Sekarang bagaimana? Kau akan penuhi tantangan itu?"tanya Dewa Pedang Emas lagi.

    "Bagaimana dengan Buto Dungkul?" Bayangan Malaikatseolah mengingatkan.

    "Itu urusan belakangan," sahut Ki Rangkuti.

    Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat salingberpandangan. Mereka sama-sama mengangkat bahu.Persoalan yang dihadapi Ki Rangkuti saat ini memang tidakringan. Satu persoalan belum juga tuntas, sudah datang lagipersoalan lain.

    "Kami akan mendampingimu nanti malam," kata DewaPedang Emas 'Terima kasih."

    ***

  • 4Malam gelap yang dingin menyelimuti seluruh LembahBunga Bangkai. Angin bertiup sedikit keras menyebarkanaroma tidak sedap. Sepanjang hari di lembah ini selalutercium bau seperti bangkai. Dan setiap setahun sekali dilembah ini selalu tumbuh sejenis bunga yang menyebarkanbau busuk selama tujuh hari. Itulah sebabnya lembah inidinamakan Lembah Bunga Bangkai. Tidak ada seorang punyang bersedia tinggal di situ. Masuk ke daerah sekitarlembah ini pun enggan.

    Ki Rangkuti berdiri tepat di tengah-tengah batu besarmenantang sang dewi malam yang berada tepat di tengah-tengah atas kepala. Sudut ekor matanya melirik DewaPedang Emas dan Bayangan Malaikat yang bersembunyiagak jauh dari tempatnya berdiri.

    "Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik,menggema ke seluruh dataran Lembah Bunga Bangkai ini.

    Ki Rangkuti memiringkan sedikit kepalanya, mencobamencari arah suara tawa tadi. Belum juga dapatmenentukan arahnya, tiba-tiba berkelebat sebuah bayanganmerah keluar dari gerumbul semak belukar di depan laki-laki tua itu.

    "Nyi Rongkot..!" Ki Rangkuti terkejut begitu mengetahuisiapa yang kini berdiri di depannya.

    "Hik hik hik..., kau masih ingat aku, Pendekar Jari Baja?Lama sekali kita tidak pernah lagi bertemu," perempuan tuayang masih kelihatan garis-garis kecantikannya itumenyebut julukan Ki Rangkuti.

    Memang pada masa mudanya dulu, ketika malang-melintang dalam rimba persilatan, Ki Rangkuti punyajulukan Pendekar Jari Baja. Karena dia punya satu jurus

  • yang membuat kesepuluh jari-jari tangannya sekuat baja."Tidak ada lawan yang mampu menandingi jurus yangdinamakan 'Sepuluh Jari Baja' itu.

    "Hm..., kau membawa kedua sahabatmu. Kenapamereka bersembunyi seperti tikus? Undanglah mereka kesini agar bisa jadi saksi pada malam ini," kata Nyi Rongkotsetengah bergumam.

    Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat yangmendengar semua kata-kata itu jadi terkejut juga. Tidakdisangka sama sekali kalau Nyi Rongkot mengetahuikehadiran mereka di Lembah Bunga Bangkai ini.

    Merasa kehadirannya sudah diketahui, kedua o-rang itukeluar dari tempat persembunyiannya. Mereka melangkahmenghampiri dan berhenti setelah jaraknya dengan KiRangkuti sekitar tiga batang tombak lagi. Nyi Rongkotmengikik kecil melihat kedua sahabat Ki Rangkuti sudahmenampakkan diri.

    "Apa maksudmu meminta aku datang ke sini, NyiRongkot?" tanya Ki Rangkuti.

    "Aku hanya meminta anakku," sahut Nyi Rongkot.

    Ki Rangkuti mendengus keras mendengar jawaban yangmemang sudah diduga sebelumnya ketika perempuan itumuncul. Sedangkan Dewa Pedang Emas dan BayanganMalaikat terkejut sekali mendengarnya. Dia tidak tahumaksud kata-kata Nyi Rongkot barusan. Mereka memangsudah mengetahui siapa perempuan berbaju serba merahini.

    Nyi Rongkot masih terhitung saudara sepupu KiRangkuti. Dulu ketika sama-sama masih muda, merekatidak pernah akur dalam setiap langkah. Di samping itu,jalan hidup mereka berdua memang saling bertentangan. Ki

  • Rangkuti dikenal sebagai Pendekar Jari Baja yang berjalanlurus. Sedangkan Nyi Rongkot sampai sekarang masihmalang-melintang dengan julukan Ular Betina. Itulahsebabnya kenapa pada waktu puncak acara peresmianPadepokan Jatiwangi, Ki Rangkuti kelihatan tidakmenyukai kehadiran Nyi Rongkot.

    "Dia bukan anakmu, Nyi Rongkot! Dia tidak pernahkenal siapa ibunya yang sebenarnya. Kau mencampakkanbegitu saja saat dia memerlukan kasih-sayang seorang ibu.Apakah pantas kau meminta dan mengakuinya sebagaianak? Tidak! Sekar Telasih bukan anakmu! Dia anakku!Aku yang merawat dan membesarkannya sejak masih bayimerah!" Ki Rangkuti membeberkan semuanya dengan suarakeras dan tegas.

    "Aku hanya menitipkan Sekar Telasih padamu. Bukanuntuk mengakuinya sebagai anak!" dengus Nyi Rongkotalias Ular Betina.

    "Apapun namanya kau telah membuang anakmu sendiri.Darah dagingmu!" sentak Ki Rangkuti gusar.

    "Rangkuti! Suka atau tidak, kau harus mengembalikananakku!" geram Nyi Rongkot.

    'Tidak!"

    Nyi Rongkot menggeram marah. Matanya menyala-nyala menatap tajam pula. Sementara dua orang yangberdiri di belakang Ki Rangkuti perlahan-lahan melangkahmundur menjauh. Mereka tidak ingin ikut campur dalamurusan yang bersifat pribadi ini.

    Dewa Pedang Emas menggeser kakinya mendekatiBayangan Malaikat Sepasang bola matanya tetap terarahpada Nyi Rongkot yang berdiri tegak di depan Ki Rangkuti.

  • Beberapa saat lamanya suasana di Lembah Bunga Bangkaiini jadi sepi senyap.

    "Kau mengetahui persoalan itu, Bayangan Malaikat?"tanya Dewa Pedang Emas berbisik.

    "Tidak Aku sendiri agak terkejut juga mendengarnya!"sahut Bayangan Malaikat terus-terang.

    "Tidak kusangka kalau Sekar Telasih anak Ular Betina,"Dewa Pedang Emas setengah bergumam.

    "Segalanya bisa terjadi dalam dunia ini," sahut BayanganMalaikat

    "Ya, dan kita tidak mungkin mencampurinya."

    "Benar, sebaiknya kita hanya menjadi saksi saja."

    Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat duduk dibawah pohon yang besar dan rindang. Dua pasang matatetap tertuju ke depan dengan telinga terpasang lebarmendengarkan semua pembicaraan yang sudahmenghangat.

    Sementara itu Nyi Rongkot menyumpah-nyumpah kesalkarena Ki Rangkuti masih tetap tidak ingin menyerahkanSekar Telasih. Begitu marahnya ia sehingga seluruh otot-otot lengannya menegang bersembulan. Wajahnya semakinmemerah-saga menahan kemarahan. Sedangkan KiRangkuti yang me-48 ngenal persis watak saudarasepupunya ini sudah bersiap-siap jika Nyi Rongkot mainkekerasan.

    "Aku beri kesempatan sekali lagi, Rangkuti! Pilih salahsatu, serahkan Sekar Telasih atau kau mati!" kata NyiRongkot mengancam.

    "Sekali aku bilang tidak, tetap tidak!" sahut Ki Rangkutitegas.

  • "Kau memilih mampus, Rangkuti!" geram Nyi Rongkot.

    "Itu lebih baik, berarti kau sengaja membiarkan SekarTelasih jatuh ke tangan Buto Dungkul!" sinis suara KiRangkuti

    "Ha ha ha...!" Nyi Rongkot tertawa terbahak-bahakmendengar perkataan Ki Rangkuti. "Dasar, kakek tuajompo! Sudah pikun masih sok jual laga. Apakah kau tidakingat dengan surat pertamaku, heh?"

    "Setan demit! Rupanya kau bersekutu dengan manusialiar itu!" geram Ki Rangkuti menyadari apa yang telahterjadi selama ini.

    "Hik hik hik...!" Nyi Rongkot hanya tertawa mengikik

    "Kubunuh kau iblis!" geram Ki Rangkuti "Kau tidakakan mampu, Rangkuti...."

    "Yeaaah...!"

    ***

    Ki Rangkuti yang sudah muak melihat tingkah saudarasepupunya ini langsung melompat menyerang. Keduatangannya bergerak cepat mengarah ke bagianbagian tubuhNyi Rongkot begitu kalanya menjejak tanah. Mendapatserangan yang cepat disertai pengerahan tenaga dalammembuat Nyi Rongkot berkelit sambil mengebutkantongkat berbentuk ularnya.

    Pertarungan dua saudara yang bertentangan ituberlangsung cepat dengan menggunakan jurus-jurus mautdan berbahaya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama,pertarungan sudah berjalan tidak kurang dari sepuluh jurus.Namun sampai saat ini belum ada yang kelihatan terdesak.Pertarungan masih berjalan seimbang dan cepat.

  • "Kau melihat ada kejanggalan dalam pertarungan itu,Bayangan Malaikat?" tanya Dewa Pedang Emas.

    "Ini bisa berbahaya kalau Rangkuti tidak cepatmenyadarinya," gumam Bayangan Malaikat.

    Cara bertarung Ular Betina yang ogah-ogahan iturupanya juga disadari oleh Ki Rangkuti. Hal ini bukannyamembuat Ki Rangkuti jadi enggan, tapi malah semakinbernafsu untuk menjatuhkan lawan. Dia merasa kalau ulahUlar Betina yang tidak sungguh-sungguh hanyameremehkan dirinya saja.

    Pada satu ketika, tangan kanan Ki Rangkuti menerobosmasuk ke arah dada Ular Betina. Begitu cepatnya sodokantangan itu, sehingga membuat perempuan tua itu jaditerkejut. Buru-buru diangkat tongkatnya dan disilangkan kedada.

    "Uts!"

    Ki Rangkuti yang sudah mengetahui kehebatan tongkatular Nyi Rongkot, segera menarik tangannya kembali. Diatahu kalau tongkat itu mengandung racun yang sangatmematikan. Hanya pemiliknya saja yang kebal terhadapracun tongkat maut itu.

    Begitu menarik tangannya pulang, secepat kilat KiRangkuti mengangkat kakinya, mengibas ke arah pinggang.Nyi Rongkot menarik tongkatnya ke samping menjagapinggangnya dari sepakan kaki lawan. Lagi-lagi serangan KiRangkuti gagal total sebelum mencapai tujuan.

    "Keluarkan keris Pancanagamu, Rangkuti!" seru NyiRongkot.

    Selesai berkata begitu, Nyi Rongkot mengibaskan ujungtongkatnya mengarah ke dada lawan. Begity cepatnyakibasan itu, sehingga membuat Ki Rangkuti tidak bisa lagi

  • menghindar. Jalan satu-satunya adalah menangkis. Padahaldia sekarang dalam keadaan kosong tanpa senjata. Secepatkilat Ki Rangkuti mencabut kerisnya yang berlekuk lima.

    Tring!

    Dua senjata beradu keras tepat di depan dada KiRangkuti. Bunga-bunga api memercik begitu dua senjataberadu. Pada saat itu juga Ki Rangkuti merasakantangannya bergetar kesemutan. Buru-buru dia melompatmundur tiga langkah.

    "Hik hik hik...!" Nyi Rongkot terkikik dengan tongkatmenyilang di depan dada.

    Bola matanya berbinar melihat keris hitam legamtergenggam di tangan Ki Rangkuti. Tatapannya tertujupada ujung keris yang berlekuk lima. Dari ujung-ujungnyayang runcing mengepulkan asap hitam yang sangat baumenyengat hidung. Tidak ada seorang pun yang sanggupbertahan lama mencium bau busuk yang terpancar darikeris Pancanaga itu.

    Nyi Rongkot menghirup dalam-dalam uap busuk yangtersebar di selatarnya. Cuping hidungnya kem-bang-kempisseolah tengah menikmati bau yang harum menyegarkan.Jelas sekali kalau dia begitu kesenangan menghirup baubusuk yang keluar dari keris Pancanaga milik Ki Rangkuti.

    Sementara dua orang yang duduk di bawah pohon,mulai mengerahkan hawa murni untuk menghalau baubusuk yang semakin lama semakin menyengat hidung.Kalau mereka orang biasa atau hanya memiliki tingkatkepandaian pas-pasan, mungkin sudah sejak tadi muntah-muntah dan pingsan. Dan begitu melihat Nyi Rongkotseperti kenikmatan menghirup udara busuk, mata merekajadi terbelalak seperti tidak percaya dengan penglihatansendiri.

  • "Gila! Bagaimana mungkin dia bisa tahan oleh asapPancanaga?" dengus Ki Rangkuti keheranan melihat NyiRongkot sedikitpun tidak terpengaruh oleh uap berbaubusuk itu.

    "Ah..., segar sekali rasanya," desah Nyi Rongkot sambilmenghirup udara yang berbau busuk dalam-dalam.

    "Hesss..., hih!" Ki Rangkuti menarik napas dalam-dalam,lalu menghembuskannya dengan kuat

    Bersamaan dengan itu, secepat kilat dia melompat sambilmenghunus kerisnya. Uap hitam mengepul tebal keluar darikelima lekukan keris berwarna hitam kelam itu. NyiRongkot memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan Tusukankeris itu lewat sedikit di depan dadanya. Lalu dengan cepatdihentakkan tongkatnya menghalau keris Pancanaga.

    Trak!

    "Akh!" Ki Rangkuti memekik tertahan.

    Tanpa dapat dicegah lagi, keris dalam genggamannyaterpental tinggi ke udara. Dan pada saat itu, meluncursebuah bayangan menyambar keris Pan-canaga, yangmelayang deras ke angkasa. Ki Rangkuti melenting dua kaliberputar di udara, lalu mendarat dengan kala sempoyongansejauh dua tombak dari Ular Betina itu.

    Nyi Rongkot yang melihat ada sebuah bayanganmeluncur deras menyambar keris Pancanaga, langsungmelesat cepat mengejar bayagan itu. Ujung tongkatnyaterhunus mengarah ke bayangan yang sudah menyambarkeris hitam di udara.

    Buk!

    "Ikh!" Nyi Rongkot terpekik

  • Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya meluruk deras kebawah. Namun dengan manis sekali mampu menjejaktanah dengan kedua kakinya Bayangan itu juga menukikderas turun ke bawah. Nyi Rongkot menggeram hebatdengan bola mata memerah nyalang.

    "Setan!"

    ***

    Seorang laki-laki muda dan tampan berdiri tegak diantara dua tokoh sakti yang tadi bertarung sengit. Di tangankanannya tergenggam keris hitam Pancanaga. Tampak dipunggungnya bertengger sebilah pedang bergagang kepalarajawali. Dengan baju rompi putih, sudah dapat dikenalisiapa pemuda tampan gagah itu. Dia, Pendekar RajawaliSakti.

    Pendekar Rajawali Sakti atau Rangga, menatap NyiRongkot sebentar, lalu beralih pada Ki Rangkuti yangberdiri sambil memegangi tangan kanannya sendiri.Tampak darah mengucur dari jari-jari tangannya. Luka ditangannya terjadi akibat hentakan keras disertai tenagadalam yang cukup sempurna dari tongkat ular Nyi Rongkottadi.

    "Kau terkena racun berbahaya, Paman," kata Ranggasambil melangkah menghampiri.

    Ki Rangkuti membiarkan saja tangannya dipegang olehPendekar Rajawali Sakti itu. Jari-jari tangan Ranggabergerak cepat menotok sekitar pergelangan tangan yangmulai membiru kehitaman. Lalu di serahkan kerisPancanaga pada Ki Rangkuti. Tentu saja laki-laki tua itujadi keheranan dengan sikap anak muda yang jelas-jelasberpihak kepadanya.

  • "Keluarkan darah yang mengandung racun. Gunakanpisau biasa," kata Rangga.

    Belum sempat Ki Rangkuti mengucapkan apa-apa,Pendekar Rajawali Sakti sudah meninggalkannya. Ranggamelangkah menghampiri Nyi Rongkot yang menyumpah-nyumpah karena serangannya gagal akibat campur tangananak muda yang kini sudah berdiri di depannya.

    "Setan belang! Minggir! Jangan coba-coba campuriurusanku!" bentak Nyi Rongkot geram.

    "Aku tidak akan mencampuri urusanmu kalau kau tidakberlaku kejam," sahut Rangga kalem.

    "Buka matamu lebar-lebar, bocah. Siapa di antara akudan dia yang paling kejam?!" sinis suara Nyi Rongkot

    "Aku sudah tahu semua, dan sudah berada di sinisebelum kalian semua datang. Tidak sepatutnya kaumenuntut dengan cara begitu. Pertumpahan darah bukanpenyelesaian yang terbaik," tenang sekali Rangga berkata.

    "Edan! Monyet buntung! Sebutkan gurumu! Lancangsekali kau berkhotbah di depanku. Apa matamu sudah buta,sehingga tidak melihat siapa yang ada di depanmu, heh?!"merah-padam muka Nyi Rongkot

    Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti yang tenang. Sangattepat menusuk jantung. Rangga tahu siapa yang berdiri didepannya ini. Dia seorang tokoh tua yang pilih tanding.Tapi jelas Rangga tidak bisa melihat kekejaman berlangsungdi depan matanya.

    "Aku tahu siapa kau. Perempuan tua yang berjuluk UlarBetina. Perempuan yang tidak mau mengakui darahdagingnya sendiri. Apakah pantas setelah kau menyerahkananakmu sendiri, lalu kau meminta kembali dengan carapaksa? Membunuh sepuluh orang yang tidak berdosa! Dan

  • sekarang, kau hampir membunuh orang yang mengurus danmembesarkan anakmu. Semua orang pasti akanmengutukmu, Nyi Rongkot!"

    "Bedegul! Berani kau jerkata begitu padaku!" "Anak kecilpun akan mengatakan begitu padamu."

    "Setan! Kau harus mampus!" Selesai memaki, NyiRongkot berteriak nyaring. Tongkatnya dikebutkan dengancepat sambil melompat menenang Pendekar Rajawali Sakti.Kemarahan yang sudah meluap membuat Ular Betina itulangsung menyerang dengan jurus-jurus maut.

    Tongkat berbentuk ular berkelebatan cepat menimbulkansuara angin menderu-deru di selatar tubuh PendekarRajawali Sakti. Setiap kibasannya mengandung hawadingin menusuk tulang. Hawa yang mengandung uap racundahsyat mematikan. Tapi semuanya tidaklah berarti samasekali bagi Pendekar Rajawali Sakti yang kebal terhadapsegala jenis racun.

    Dalam tubuh Rangga sudah mengandung zat penangkalsegala jenis racun yang sudah menyatu dalam alirandarahnya. Duapuluh tahun tinggal di Lembah Bangkai,selama itu pula hanya memakan jamur yang mengandungkhasiat penawar segala jenis racun. (Baca Serial PendekarRajawali Sakti dalam kisah Iblis Lembah Tengkorak).

    Ular Betina semakin mengkelap melihat lawannya tidakterpengaruh sama sekali dengan uap racun yang keluar daritongkat saktinya. Biasanya tidak ada seorang lawan punyang sanggup melayani kalau jurus 'Tongkat Beracun'sudah keluar dalam sepuluh jurus. Tapi kini sudah lebihdari sepuluh jurus Pendekar Rajawali Sakti itu masihmampu menandinginya. Bahkan tidak sedikit pun kelihatanterdesak. Malahan tidak jarang memberikan seranganbalasan yang cukup berbahaya.

  • "Mampus kau, hih!" dengus Nyi Rongkot geram.

    Seketika diputar tongkatnya dengan cepat dari bawah keatas. Rangga hanya menundukkan kepalanya sedikit, dantongkat itu mendesing di atas kepalanya. Begituserangannya lewat menerpa angin, Nyi Rongkot cepatmenarik tongkatnya sedikit, dan dengan kecepatan kilatditusukkan tepat ke arah dada Rangga.

    Pendekar muda ini memiringkan tubuhnya ke kanan.Ujung tongkat itu lewat di depan dadanya. Dengan jarinyadisentil tepat pada ujung tongkat yang runcing. NyiRongkot terkejut karena dari ujung tongkat sampai pangkallengannya bergetar ketika ujung tongkatnya tersentil.

    "Kurang ajar, hih!" Nyi Rongkot mengumpat sambilcepat-cepat menarik kembali tongkatnya.

    Tepat ketika Nyi Rongkot menarik pulang tongkatularnya, kaki Rangga melayang deras ke atas. Buk! Tanpadapat dicegah lagi, kibasan kaki yang cepat bagai geledekitu menghantam dadanya. Nyi Rongkot mengeluh pendek.Tubuhnya terdorong tiga langkah ke belakang. Cepatdigerakkan tangannya untuk menghilangkan rasa sesakyang menyelimuti dadanya.

    Rangga berdiri tegak bertolak pinggang. Bibirnyatersenyum tipis mengejek. Nyi Rongkot mendengus geram>langsung menyilangkan tongkatnya di depan dada.Kemudian dengan cepat diputarnya tongkat itu bagaibaling-baling. Suara angin menderu-deru bagai hendak adabadai topan.

    Dengan tiba-tiba perempuan tua itu menghantam ujungtongkatnya ke tanah. Lalu secepat kilat dia memindahkanujung tongkat ke dalam genggaman. Pelan-pelan tangannyamengangkat tongkat itu.

  • "Naga Merah...!" teriak Nyi Rongkot tiba-tiba.Bersamaan dengan terdengarnya teriakan itu, mendadaktongkat sakti Ular Betina berubah jadi seekor ular berwarnamerah menyala. Rangga tersentak kaget, dan langsungmelompat mundur sejauh satu batang tombak. Ular ditangan Nyi Rongkot meliuk-liuk dengan suara mendesis-desis. Dari mulutya keluar asap kemerahan seirama dengansuara desisannya.

    "Celaka! Anak muda itu bisa mati!" sentak Ki Rangkutiyang kini sudah didampingi oleh dua sahabatnya.

    "Jarang sekali Nyi Rongkot mengeluarkan ilmu 'NagaMerah'nya," gumam Dewa Pedang Emas.

    "Kita harus mencegah sebelum terlambat," kataBayangan Malaikat.

    "Mustahil! Ilmu 'Naga Merah' tidak bisa ditarik sebelummendapatkan korban," dengus Ki Rangkuti.

    Dua orang yang berdiri mengapit Ki Rangkuti terdiam.Mereka memang sudah mendengar kehebatan ilmu 'NagaMerah'. Kalau Nyi Rongkot sudah mengeluarkannya, sulituntuk ditarik kembali sebelum jatuh korban. Mereka hanyaterdiam memandang iba pada Pendekar Rajawali Sakti.

    ***

    Sambil melompat cepat, Nyi Rongkot melepaskantongkatnya yang sudah berubah jadi ular berwarna merahdarah. Ular itu meluncur cepat mengarah ke dada PendekarRajawali Sakti. Hanya dengan memiringkan tubuhnyasedikit ke samping, ular itu lewat di depan dada. Namunbelum juga Rangga merubah posisinya, kaki Nyi Rongkotmelayang deras.

    Buk!

  • Rangga tidak bisa berkelit lagi. Punggungnya terhajartendangan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam.Tiga langkah Pendekar Rajawali Sakti itu terdorong kedepan. Lalu dengan cepat dia berputar sambilmengembangkan kedua tangannya ke samping. Keduatangan membentang lebar, bergerak cepat diikuti geserankaki yang menyuruk tanah.

    Wut, wut!

    Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan kedua tangannyabergantian. Begitu cepatnya kibasan tangan yang disertaigerakan tubuh yang lincah, membuat Nyi Rongkot sedikitkerepotan menghindari serangan jurus 'Sayap RajawaliMembelah Mega'.

    Pada saat perempuan tua itu kerepotan menghindarikibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba mulutnyamendesis bagai ular. Dan tiba-tiba saja berkelebat sebuahbayangan merah panjang ke arah Pendekar Rajawali sakti.Ular yang meliuk-liuk melayang bagai kilat, langsungmenyambar tubuh Rangga.

    Serangan yang datang tiba-tiba tanpa diduga itumenyebabkan Pendekar Rajawali Sakti sedikit terperangah.Buru-buru dimiringkan tubuhnya sambil mengibaskantangan kanannya. Ular merah jelmaan tongkat NyiRongkot, meliuk membentuk putaran, dengan kepalameluruk deras ke arah pundak. Cras!

    "Akh!" Rangga memekik tertahan.

    Pundak sebelah kiri tak dapat lagi dilindungi. Ular merahitu berhasil menancapkan giginya dan merobek pundakPendekar Rajawali Sakti. Darah segar langsung mengucurderas. Rangga segera menghantam tubuh ular itu. Tapigerakan yang selalu meliuk-liuk, membuat hantamannyahanya mengenai angin kosong.

  • "Hiyaaa!"

    Mendadak Ular Betina berteriak nyaring. Bagai anakpanah lepas dari busur, tubuhnya meluncur deras dengankedua telapak tangan terbuka. Rangga yang sibuk olehserangan ular merah, terkejut melihat dua telapak tanganberwarna merah meluncur deras ke arahnya.

    Buru-buru dia melompat ke udara, namun gerakannyaterhambat karena ular merah kembali menyerang dari ataskepala. Rangga mengibaskan tangan larinya ke atas,sehingga pertahanan dadanya jadi terbuka lebar.

    Buk!

    "Aaakh...!"

    Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terlontar sejauh duabatang tombak ke belakang. Kedua telapak tangan NyiRongkot yang mengerahkan ilmu 'Naga Merah', berhasilbersarang telak di dada Pendekar Rajawali Sakti. Derassekali tubuh Rangga meluncur, dan terbanting ke tanah.

    Dua tapak tangan berwarna merah tergambar di dada.Rangga memuntahkan darah kental kehitaman darimulutnya ketika telah mampu bangun. Seluruh bagianrongga dadanya terasa nyeri dan sesak, Sebentar digerak-gerakkan tangannya menghimpun hawa mumi di dalamtubuhnya, lalu berdiri tegak dengan mata menatap tajamNyi Rongkot. Ular merah membelit tangan kananperempuan tua itu.

    "Dadaku..., ukh!" Rangga mengeluh. Dadanya terasanyeri dan sesak sekali. Sepertinya seluruh tulang-tulangdadanya remuk. Hawa murni yang dialirkan ke ronggadada membuatnya kembali memuntahkan darah kentalkehitaman. Saat Pendekar Rajawali Sakti itu tengah

  • bergelut dengan rasa nyeri di dada, mendadak Nyi Rongkotsudah melompat bagai kilat menyerang lagi.

    "Mampus kau, bocah setan!" teriak Nyi Rongkot.Rangga berkelit sambil mengempos ilmu meringankantubuhnya. Kemudian dia berlari-lari kencang mengelilingiUlar Betina itu. Sambil berlari berkeliling, PendekarRajawali Sakti mengeluarkan jurus andalan yang terakhir,yaitu 'Seribu Rajawali'.

    Sungguh luar biasa, tubuh Pendekar Rajawali Saktibagaikan berjumlah seribu orang banyaknya mengepunglawan. Nyi Rongkot tampak tenang-tenang sajamenghadapi kepungan seribu orang Pendekar RajawaliSakti.

    "He he he...," Nyi Rongkot malah tertawa terkekeh."Yeah!"

    Satu jeritan keras terdengar melengking tinggi.Bersamaan dengan itu, kedua tangan Nyi Rongkotterangkat ke atas. Ular Merah bergerak cepat memutarikedua tangan yang jari-jemarinya bergerak-gerak. Tampakkedua tangan Ular Betina itu seperti dikelilingi sinar merah.

    "Bubar...!" teriak Nyi Rongkot tiba-tiba.

    Seketika itu juga dari gulungan sinar merah di tanganUlar Betina itu, memijar percikan bola-bola api ke segalapenjuru. Bola-bola api itu langsung menghantam satupersatu tubuh dari pecahan Pendekar Rajawali Sakti. Satupersatu bayangan tubuh itu lenyap dengan cepat. Danakhirnya tinggal satu saja yang tinggal.

    "Bedebah!" dengus Rangga geram. "He he he..., ilmuandalan apa yang bisa kau keluarkan bocah setan?" ejek NyiRongkot terkekeh.

    "Lihat ini, iblis betina!" rungut Rangga. Sret!

  • Seketika itu juga tagan kanan Pendekar Rajawali Saktimenarik pedang pusaka dari warangkanya. Sinar birumenyilaukan membias menerangi sekitarnya. Nyi Rongkotmundur dua langkah ke belakang ketika melihat pamorPedang Rajawali Sakti.

    "Rasakan Pedang Rajawali Sakti, iblis betina!" teriakRangga keras.

    "Yeaaah...!"

    Rangga menerjang bagai kilat sambil mengayun-ayunkanpedang pusakanya. Sinar biru menyilaukan berkelebat cepatmengurung tubuh Ular Betina. Pertarungan dua tokoh saktikembali berlangsung cepat dan berbahaya. Masing-masingtelah mengeluarkan ilmu andalannya yang paling dahsyat.

    Sinar merah berkilau berkelebat menjadi satu, salingsambar. Tubuh kedua tokoh sakti itu bagai lenyap ditelandua sinar yang berkelebat cepat. Sinar biru yang memancardari Pedang Rajawali Sakti, semakin lama semakin berkilaumenyilaukan mata.

    Tampak kedua mata Nyi Rongkot mulai berair terkenapancaran sinar Pedang Rajawali Sakti. Pandangannyamenjadi buram tak mampu melihat jelas. Sekuat tenaga diaberusaha mengimbangi ilmu pedang

    Rajawali Sakti Kejadian yang hampir sama juga dialamioleh Pendekar Rajawali Sakti. Sinar merah ilmu 'NagaMerah' menyalatkan matanya.

    Pada suatu saat, tiba-tiba Ular Betina berteriak nyaring.Kemudian tubuhnya melambung tinggi ke udara. PendekarRajawali Sakti ikut melayang deras mengejar. Ular Betinamelepaskan ular merah jelmaan tongkat saktinya. Ular itumeluncur deras ke arah Rangga.

    Wut!

  • Pendekar Rajawai Sakti mengecutkan pedangnya,membabat kepala ular yang menganga lebar. Namunsabetan pedang itu hanya menyambar angin, dengan lincahsekali ular merah meliukkan tubuhnya menghindari babatanpedang Rajawali Sakti. Pada saat yang bersamaan, kaki NyiRongkot terangkat dan....

    Buk!

    "Akh!" Pendekar Rajawali Sakti memekik tertahan.Tubuhnya langsung meluruk deras ke bawah.

    "Hiyaaa...!" Nyi Rongkot mengejar sambil mendorongkedua tangannya ke depan.

    "Aaa...!" Rangga berteriak nyaring.

    Kedua telapak tangan Nyi Rongkot yang merah berhasiltelak memukul punggung Pendekar Rajawali Sakti itu. Takampun lagi Rangga jatuh keras di tanah. Tubuhnyabergulingan membentur batu besar Pedang Rajawali Saktiterlepas dari genggamannya. Bagian dada dan punggungtergambar sepasang telapak tangan berwarna merahmenyala.

    Manis sekali Ular Betina mendarat di tanah. Keduatangannya segera terangkat tinggi-tinggi. Sinar merahmenyala dari kedua telapak tangannya. Lalu dengan cepatmengebut ke depan. Dua bias sinar merah meluncur deraske arah Pendekar Rajawali Sakti yang masih menggeletak ditanah.

    Rangga menjerit-jerit ketika sinar merah menggulungtubuhnya. Dia menggeliat-geliat di tanah dengan seluruhtubuh terbalut warna merah. Pohon-pohon dan batu hancurberantakan diterjang tubuh Pendekar Rajawali Sakti yangbergulingan sambil berteriak-teriak keras. Cahaya merahmenyala masih mengurung dirinya.

  • "Ha ha ha...!" Nyi Rongkot tertawa terbahak-bahak."Mampus kau, bocah setan!"

    "Kraaagh...!" tiba-tiba terdengar suara raunganmenggelegar.

    Mendadak satu bayangan besar dan hitam melesat cepatmenukik dari atas. Nyi Rongkot terkejut ketika tiba-tibamerasakan sapuan angin bagai topan mengarah ketubuhnya. Secepat kilat dia melompat menghindari sapuanderas itu. Nyi Rongkot berputar dua kali di udara, tubuhnyaagak limbung saat kakinya menjejak tanah. Angin bagaibadai topan yang hampir melontarkan tubuhnya lewathanya beberapa jengkal saja

    Mata Nyi Rongkot membelalak lebar setelah melihatseekor rajawali raksasa melayang-layang di atas tanahdengan kecepatan tinggi. Suaranya menggelegarmemekakkan telinga seakan ingin meruntuhkan LembahBunga Bangkai ini. Nyi Rongkot segera menuding ularmerah yang bergerak-gerak di tanah dengan jaritelunjuknya. Seketika itu juga sinar merah meluncurlangsung menerpa ular merah itu.

    "Hsss...!" desisan keras terdengar.

    Tiba-tiba saja ular yang tadinya sebesar tongkat, berubahmembesar. Setelah tubuhnya mencapai sebesar batangpohon kelapa, langsung menyerang burung rajawali sakti.Itulah ilmu tingkat akhir 'Naga Merah'. Ular itu menjadibesar seperti seekor naga berwarna merah menyala. Lidah-lidah api menyembur dari lubang hidung dan mulutnya.

    "Khraaagh...!" rajawali memekik keras.

    Seketika tubuhnya melesat ke udara, lalu kembalimenukik deras ke arah kepala naga. Semburan api keluar

  • saat cakar-cakar rajawali raksasa hampir mencapai kepalanaga merah itu.

    Secepat kilat burung raksasa itu berkelit dari sambaranapi. Langsung meluruk menghantam tubuh naga merah.

    Ular naga merah itu menggerung dahsyat begitu paruhburung rajawali raksasa menyobek kulit tubuhnya. Belumsempat balas menyerang, tahu-tahu cakar burung raksasaitu sudah mencengkeram kuat. Sayap yang lebar mengepak

    kencang menimbulkansuara angin yang kerasmenderu.

    Nyi Kongkot yangmelihat ular naga jelmaantongkat saktinya terangkatnaik, segera melompatmenerjang burung rajawaliraksasa. Kedua tangannyayang berwarna merah,didorong ke depan.Secercah sinar merahmeluncur deras ke arahburung raksasa itu.

    Tepat pada saat itu,burung rajawali itu melemparkan ular naga yang sebesarbatang pohon kelapa ke arah Nyi Rongkot. Cepat sekali diamenukik turun sehingga sinar merah yang dilepaskan NyiRongkot tidak mengenai sasaran. Sayap rajawali raksasayang besar, mengibas dan....

    "Aaakh!" Nyi Rongkot terpekik.

    Dalam keadaan tubuh masih di udara, Ular Betina tidakbisa berkelit. Dengan telak sayap rajawali itu menghantamtubuhnya. Nyi Rongkot terpelanting keras jatuh ke tanah.

  • Bersamaan dengan itu, ular naga ciptaannya juga melurukmenghantam tubuhnya. Nyi Rongkot meraung keras sambilmenggelimpang keluar dari himpitan badan ular yang besardan berat.

    "Graaahg...!" rajawali raksasa memekik nyaring.

    Bagai kilat tubuhnya melesat menyambar tubuhPendekar Rajawali Sakti dan pedang pusaka yangmenggeletak di tanah. Tubuh Rangga serta pedang pusakaitu dicengkeram dengan jari-jari kalanya. Hanya sekejapmata saja burung rajawali raksasa itu telah membumbungtinggi ke angkasa.

    ***

  • 5Nyi Rongkot menggeram sambil berusaha bangun. Ularnaga merah jelmaan tongkat sakti miliknya sudah kembalike bentuk asalnya. Kibasan sayap burung rajawali raksasamembuat seluruh tubuhnya nyeri. Seluruh tulang-tulangtubuhnya bagaikan remuk Tertatih-tatih dihampiri tongkatsaktinya yang menggeletak di tanah.

    Mata perempuan tua itu memandang ke sekitar LembahBunga Bangkai. Kegelapan masih menyelimuti sekitarnya.Kabut tebal bergulung-gulung membuat udara betambahdingin. Lagi-lagi dia menggeram begitu menyadari KiRangkun dan kedua sahabatnya sudah tidak kelihatan lagibatang hidungnya.

    "Sial, dasar pengecut!" dengus Nyi Rongkot.

    Merasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama di lembahyang selalu menyebarkan bau busuk ini, perempuan tua itumengayunkan kakinya pergi. Digunakannya ilmumeringankan tubuh, sehingga dalam waktu sebentar sajasudah tidak tampak lagi tertelan kabut tebal.

    Ular betina itu tidak tahu kalau Ki Rangkuti masihbelum jauh dari tempat pertarungan tadi. Ki Rangkuti yangdidampingi dua sahabatnya bersembunyi di balik batu besaragak jauh dari arena pertarungan ketika Nyi Rongkotmengeluarkan ilmu 'Naga Merah'. Mereka tidak ingin matikonyol terkena keganasan ilmu 'Naga Merah'.

    "Luar biasa...," gumam Dewa Pedang Emas menggeleng-gelengkan kepalanya.

    "Dunia persilatan bakal hancur kalau tidak ada yang bisamenandingi ilmu 'Naga Merah'." sambung BayanganMalaikat.

  • "Pedang Emasku juga belum tentu bisa menandinginya,"ujar Dewa Pedang Emas jujur.

    "Ya. Sepuluh orang seperti kita pun belum tentu bisamenandingi kehebatan ilmu itu," sambung BayanganMalaikat.

    Tiba-tiba kedua orang itu terdiam. Mata merekalangsung menatap Ki Rangkuti yang sejak tadi hanyaterdiam dengan pandangan kosong ke depan. Merasadirinya dipandangi, Kepala Desa Jatiwangi itu menolehsambil menarik napas panjang.

    "Aku yakin, anak muda itu pasti Pendekar RajawaliSakti," pelan suara Ki Rangkuti terdengar.

    "Apakah dia mati?" tanya Bayangan Malaikat yangsudah tahu siapa anak muda itu ketika telah mengeluarkanpedang berwarna biru berkilau

    "Entahlah," desah Ki Rangkuti.

    "Aku juga telah mendengar sepak terjang PendekarRajawali Sakti. Ternyata berita yang kudengar bukan isapanjempol belaka," Dewa Pedang Emas bergumam.

    "Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini," ajak Ki Rangkuti.

    Tanpa banyak bicara lagi mereka segera melangkahmeninggalkan Lembah Bunga Bangkai. Mereka berjalanbiasa tanpa mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Tak adayang bicara sampai tiba di luar batas lembah yang berbaubusuk itu.

    "Sebentar!" tiba-tiba Dewa Pedang Emas berhentimelangkah.

    "Ada apa?" tanya Ki Rangkuti seraya berhentimelangkah.

  • "Apa tidak sebaiknya kita datangi saja manusia liar ButoDungkul?" Dewa Pedang memberi usul.

    "Jangan!" sergah Bayangan Malikat. "Keselamatan SekarTelasih lebih penting daripada manusia liar itu."

    "Benar. Apapun yang terjadi, Sekar Telasih tidak bolehjatuh ke tangan Buto Dungkul. Apa lagi sampai dibawa NyiRongkot, meskipun ibu kandungnya sendiri," Ki Rangkutimenyetujui kata-kata Bayangan Malaikat

    "Jangan-jangan Ular Betina langsung ke DesaJatiwangi," gumam Ki Rangkuti.

    "Celaka! Kita harus cepat ke sana sebelum terlambat!"seru Bayangan Malaikat

    "Kalian berdua saja ke sana, aku akan ke HutanGading," kata Dewa Pedang Emas.

    "Mau apa kau ke sana?" tanya Ki Rangkuti.

    "Aku ingin coba kehebatan manusia liar itu," sahutDewa Pedang Emas.

    "Gila! Apa kau sudah tidak pikir dua kali, Dewa PedangEmas?" ujar Bayangan Malaikat kaget

    "Aku belum pernah punya persoalan dengan ButoDungkul. Kini, aku akan membuat persoalan dengannya.Hal ini untuk memecahkan perhatiannya ter-70 hadapmu,Rangkuti," kata Dewa Pedang Emas.

    "Kau akan sia-sia, Dewa Pedang Emas," kata KiRangkuti terharu.

    'Tidak ada yang sia-sia dalam hidup. Aku akantersenyum puas meskipun hanya mencederai sedikit saja."

    Bayangan Malaikat akan membuka mulut hendakmencegah kenekatan Dewa Pedang Emas, tapi cepat

  • dikatupkan lagi mulutnya. Dewa Pedang Emas sudahmemberi isyarat dengan menggoyang-goyangkan telapaktangannya.

    "Pergilah. Mudah-mudahan kalian bisa menyelamatkanSekar Telasih," kata Dewa Pedang Emas.

    Setelah berkata demikian, Dewa Pedang Emas segeramengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Dalam sekejapmata saja ia sudah berlari meninggalkan kedua sahabatnya.Cukup tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki,sehingga dalam waktu yang singkat, hanya terlihat titikpunggungnya saja di kejauhan. Ki Rangkuti mendesah beratsetelah bayangan tubuh Dewa Pedang Emas tidak terlihatlagi.

    "Nekad! Aku tidak yakin dia mampu mengalahkan ButoDungkul," dengus Bayangan Malaikat setengah bergumam.

    "Kita doakan semoga selamat," sahut Ki Rangkuti. "Ayo,kita harus cepat sebelum terlambat!"

    "Mari."

    ***

    Bagaimana dengan nasib Pendekar Rajawali Sakti yangdapat dikalahkan oleh Ular Betina? Burung Rajawaliraksasa membawanya pergi, langsung menuju ke LembahBangkai tempat Rangga yang kini bergelar PendekarRajawali Sakti digembleng selama duapuluh tahun. (BacaSerial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Iblis LembahTengkorak).

    Burung Rajawali Sakti itu memandangi tubuh Ranggayang tergolek pingsan di atas batu pipih di dalam goaLembah Bangkai. Di dadanya tergambar dua tapak tanganberwarna merah, burung raksasa itu menggeleng-gelengkankepalanya sebentar, kemudian paruhnya ditotok ke

  • beberapa bagian tubuh Rangga. Sedangkan pedang pusakaRajawali Sakti tergeletak di sampingnya.

    Kemudian dengan cakarnya digenggamnya tubuhRangga. Suaranya terdengar lirih. Sayapnya terkepak, dantubuhnya yang besar terangkat naik. Burung rajawaliraksasa itu membawa Rangga masuk lebih ke dalam goabesar yang pengap dan gelap.

    Sampai pada satu relung yang luas, burung rajawali ituberhenti. Rangga diletakkan di atas tanah berpasir danberbatu-batu kerikil. Di sebelahnya tampak sebuah kolamberisi air yang berwarna kebiru-biruan bergolak mendidih.Suaranya terdengar gemuruh disertai letupan-letupan kecil.

    "Arggghk!" burung rajawali raksasa mengeluarkan suaralirih.

    Dengan paruhnya dia menggusur tubuh Ranggamendekati kolam mendidih. Air muncrat ke atas ketikatubuh Rangga tercebur ke dalam kolam. Rangga langsungtenggelam bersamaan dengan menggelegaknya air.Suaranya semakin terdengar bergemuruh keras. Seketika itujuga permukaan air menjadi berubah-ubah warnanya.

    Agak lama juga Rangga tenggelam di dalam kolammendidih itu. Kemudian perlahan-lahan permukaan airkolam itu menjadi tenang. Setenang kolam biasa dan tidaklagi bergolak mendidih. Perlahan-lahan Rangga munculterangkat ke permukaan. Tampak seluruh t