perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/bab 1-3 formalin.docx · web...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mi banyak dikonsumsi masyarakat dari berbagai usia dari anak-anak
hingga orang dewasa. Mi digunakan pada pangan olahan seperti bakso, soto, mi
goreng, mi rebus, mi ayam, dan sebagainya. Mi basah banyak dipasarkan di pasar
tradisional dan modern dengan harga yang murah. Terdapat mi basah yang
ditambahkan bahan tambah pangan yang dilarang yaitu formalin dan metanil
yellow. Mi basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan
atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambah pangan yang
diijinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan (SNI, 1992). Kadar air mi
basah cukup tinggi, sehingga mi basah memiliki waktu penyimpanan yang cukup
pendek. Beberapa produsen mi menambahkan bahan tambahan pangan pengawet
untuk memperpanjang masa simpan dan pewarna untuk mempertahankan
penampakan warna agar tetap terlihat segar seperti formalin sebagai pengawet dan
metanil yellow sebagai pewarna.
Bahan tambah pangan (BTP) atau food additives adalah senyawa (atau
campuran berbagai senyawa) yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan.
Pengawet dan pewarna merupakan beberapa jenis bahan tambahan pangan.
Penggunaan bahan tambahan pangan telah diatur oleh pemerintah pada Peraturan
Mentri Kesehatan Repiblik Indonesia Nomor 722/MenKes/Per/IX/88 yang
menjelaskan bahan tambahan pangan yang diizikan dan yang dilarang.
Formalin menurut Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomor
722/MENKES/PER/IX/88 merupakan senyawa kimia berbahaya. Larutan
formaldehid merupakan desinfektan yang efektif melawan bakteri vegetative,
jamur atau virus, tetapi kurang efektif melawan spora bakteri (Cahyadi, 2008).
Formalin merupakan salah satu bahan tambahan pangan terlarang yang digunakan
oleh beberapa produsen mi basah sebagai pengawet.
Zat warna sintetis banyak digunakan sebagai pewarna tambahan pangan
karena penggunaannya lebih praktis dan harganya lebih murah (Cahyadi, 2008).
2
Salah satu pewarna yang dilarang digunakan pada produk pangan adalah metanil
yellow. Perlu adanya pengawasan penggunaanya untuk keamanan pangan bagi
masyarakat. Peruntukan sebenarnya sebagai pewarna tekstil. Sekarang ini, banyak
digunakan metanil yellow sebagai pewarna kuning pada pangan karena harga yang
relatif murah dan warna yang terang dan mencolok. Metanil yellow ini dilarang
penggunaanya oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan RI No.
239/Men. Kes/Per/V/85, terlampir pada Lampiran 6.
1.2 Identifikasi Masalah
Terdapat mi basah yang menggunakan bahan tambahan pangan pengawet
dan pewarna. Salah satu pengawet yang digunakan yaitu zat berbahaya formalin
dan pewarna yang digunakan yaitu metanil yellow yang dilarang penggunaanya
pada pangan oleh pemerintah. Maka perlu ada pengawasan penggunaan formalin
dan metanil yellow pada mi basah yang dipasarkan di pasar tradisional Jakarta,
Depok dan Bogor.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk menentukan kadar formalin dan metanil yellow dalam mi basah
yang dipasarkan di Bogor, Depok dan Jakarta. Formalin dan metanil yellow
dideteksi secara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).
1.4 Hipotesis
Mi basah yang beredar dipasaran Jakarta, Bogor, dan Depok ada yang
mengandung pengawet formalin dan metanil yellow.
1.5 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi dan wawasan kepada masyarakat sebagai
konsumen dalam memilih mi basah yang akan dikonsumsi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mi Basah
Mi basah mentah adalah produk pangan yang diperoleh dari tepung terigu
dengan atau tanpa penambahan bahan lain, berbentuk khas mi yang diperoleh
melalui proses sheeting dan slittering (belum dipanaskan, direbus, dikukus,
dimasak, dipragelatinisasi, atau dibekukan) (BPOM, 2006).
Mi basah matang adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu
dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain, yang telah mengalami
pengukusan atau perebusan (BPOM, 2006). Mi basah adalah produk makanan
yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain
dan bahan tambah pangan yang diijinkan, berbentuk khas mi yang tidak
dikeringkan (SNI, 1992) penampakkan mi basah dapat dilihat pada lampiran 7.
Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan mi basah matang adalah
tepung terigu, garam dapur, air dan garam alkali. Terigu merupakan bahan dasar
utama dalam pembuatan mi. Garam berfungsi memberikan rasa, memperkuat
tekstur, membantu reaksi gluten dan karbohidrat, pengikat air, serta meningkatkan
elastisitas dan fleksibilitas mi (Astawan, 1999). Proses pembuatan mi basah
matang terdiri dari proses pencampuran, pengadukan, pembentukan lembaran,
pengistirahatan, penipisan, pemotongan, perebusan/pengukusan, pendinginan dan
pemberian minyak sawit.
Mi basah merupakan salah satu jenis mi yang sudah dikenal luas dan
disukai masyrakat Indonesia. Terdapat dua jenis mi basah yang dikenal
masyarakat yaitu mi mentah (raw noodle) dan mi rebus (cooked noodle) (BPOM,
2006). Daya awet mi basah bervariasi disebabkan oleh adanya perbedaan proses
pengolahan dan penggunaan bahan tambahan.
Mi basah dijual di pasar tradisional dalam keadaan terkemas dan dalam
bentuk curah, berwarna kuning mengkilat dan juga ada yang dibalur tepung.
Dijual pula dalam bentuk olahan pada pedangan makanan seperti soto mi, toge
goreng, mi ayam, dan juga dapat diolah di tingkat rumah tangga.
4
Kandungan nutrisi mi basah dapat dilihat pada lampiran 4. Mi basah tanpa
pengawet memiliki umur simpan yang pendek yaitu sekitar 1-2 hari jika disimpan
disuhu ruang (BPOMN, 2006). Hal ini disebabkan karena mi basah memiliki
kadar air yang tinggi sehingga mudah ditumbuhi mikroorganisme. Oleh karena itu
banyak produsen mi basah menambahkan bahan tambahan pengawet, dan salah
satu pengawet berbahaya yang ditambahkan adalah formalin.
Berikut ini syarat mutu mi basah sesuai SNI:
Tabel 1. Syarat Mutu Mi Basah Sesuai SNI 01-2987-1992
No Kriteria Mutu Satuan Persyaratan1 Keadaan:
1.1 Bau Normal1.2 Rasa Normal1.3 warna Normal
2 Air %, b/b 20 – 35
3 Abu (dihitung atas dasar bahan kering) %, b/b Maks. 3
4 Protein (Dihitung atas dasar bahan kering) %, b/b Min. 8
5 Bahan tambah pangan5.1 Boraks dan asam borat Tidak boleh ada
5.2 Pewarna Sesuai SNI 01-0222-1992
5.3 Formalin Tidak boleh ada6 Cemaran logam:
6.1 Timbal (Pb) mg/Kg Maks. 1.06.2 Tembaga (Cu) mg/Kg Maks. 10.06.3 Seng (Zn) mg/Kg Maks. 40.06.4 Raksa (Hg) mg/Kg Maks. 0.05
7 Arsen (As) mg/Kg Maks. 0.58 Cemaran mikroba:
8.1 Angka lempeng total Koloni/gram Maks. 1.0 x 106
8.2 E. Coli APM/gram Maks 108.3 Kapang Koloni/gram Maks 1,0 x 104
2.2 Bahan Tambah Pangan
Bahan tambah pangan (BTP) atau food additives adalah senyawa (atau
campuran berbagai senyawa) yang sengaja ditambahkan kedalam makanan dan
5
terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan/atau penyimpanan, dan bukan
merupakan bahan (ingredient) utama. Dalam Peraturan Mentri Kesehatan RI No.
772/Menkes/PER/IX/88 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak
digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas
makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan,
pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan,
BTP dan produk-produk degradasinya, biasanya tetap di dalam makanan, tetapi
ada beberapa yang sengaja dipisahkan selama proses pengolahan. Penggunaan
bahan tambahan pangan dalam produk pangan yang tidak mempunyai resiko
kesehatan dapat dibenarkan, karena hal tersebut lazim digunakan. BTP yang
secara tidak sengaja ditambahkan, atau lebih tepat disebut sebagai kontaminan.
Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah meningkatkan atau
mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan
lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan (Cahyadi,
2008).
Terdapat dua golongan bahan tambahan pangan pada umumnya (Cahyadi,
2008):
1. Bahan tambah pangan yang ditambahkan sengaja ke dalam makanan,
dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan
itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu
pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pemanis.
2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan
yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara
tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat
perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan.
Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu
pestisida, antibiotik, dan hidrokarbon aromatis polisiklis.
Pengolahan pangan belakangan ini mempunyai kecenderungan untuk
memproduksi makanan yang panjang umur simpannya (awet) dan mudah
disajikan (convenient). Hal tersebut didorong oleh faktor-faktor seperti sifat bahan
6
pangan segar yang umumnya mudah rusak (perishable) dan musiman, serta gaya
hidup yang menginginkan segala sesuatunya serba mudah dan cepat. Untuk
mendapatkan makanan yang demikian, salah satu usaha yang digunakan adalah
dengan menambahkan bahan pengawet, baik untuk mencegah tumbuhnya mikroba
maupun untuk mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia yang tidak dikehendaki
selama pengolahan dan penyimpanan.
Penambahan BTP secara umum bertujuan untuk:
1. Meningkatkan nilai gizi makanan
2. Memperbaiki nilai sensori makanan, dan
3. Memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan.
Selain tujuan-tujuan di atas, BTP sering digunakan untuk memproduksi
makanan untuk kelompok khusus seperti penderita diabetes, pasien yang baru
mengalami operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah kalori atau rendah
lemak, dan sebagainya. Berbagai BTP yang digunakan untuk maksud tersebut
diantaranya pemanis buatan, pengganti lemak (fat replacer), pengental, dan lain-
lain.
Dari keterangan dia atas, didapat pengertian bahwa BTP dan produk-
produk degradasinya harus bersifat tidak berbahaya pada tingkat pemakaian yang
diizinkan. Selain itu, pemakaian BTP sebaiknya hanya jika benar-benar
dibutuhkan, yaitu jika benar-benar dirasakan terjadi penurunan nilai gizi makanan,
perubahan sifat sensori makanan akibat pengolahan atau jika diperlukan untuk
membantu pengolahan.
Pemakaian BTP umumnya diatur oleh lembaga-lembaga seperti Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia dan Food and Drug
Administration (FDA) di USA. Peraturan mengenai pemakaian BTP berbeda di
suatu negara dengan negara lainnya. Meskipun demikian, ada usaha untuk
mengharmoniskan peraturan tersebut, terutama berdasarkan penemuan-penemuan
terbaru mengenai keamanan BTP yang digunakan. Di Indonesia sendiri, peraturan
tentang BTP dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan dan pengawasannya
dilakukan oleh BPOM.
7
Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa penggunaan BTP dapat
dibenarkan apabila (1) dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan
penggunaannya dalam pengolahan, (2) tidak digunakan untuk menyembunyikan
penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan, (3) tidak untuk
menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik
untuk makanan, dan (4) tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan
pangan (Cahyadi, 2008).
2.2.1 Pengawet
Bahan pengawet pada umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan
yang memiliki sifat mudah rusak. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
kerusakan pangan yaitu suhu lingkungan, kadar air, oksigen, pH, relatif humidity
(RH) dan water activity (Aw) (Winarno, 2007).
1. Suhu lingkungan mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dan biokimia
dan mempengaruhi pertumbuhan optimal mikroba pembusuk.
2. Water activity (Aw) merupakan tekanan uap air dalam makanan
berbanding tekanan uap air murni, pada suhu yang sama. Aw faktor
terpenting pada laju reaksi kimia serta reaksi degradasi enzim.
3. Relatif humidity (Rh) merupakan kadar air dari udara lingkungan
bahan pangan.
Gambar 1. Water Activity
8
Kadar air pada mi basah yang tinggi dapat menyebabkan cepatnya terjadi
kerusakan pada mi. Maka di tambahkan bahan tambahan pengawet untuk
memperpanjang masa simpan mi basah. Bahan ini dapat menghambat atau
memperlambat proses fermentasi, pengsaman, atau penguraian yang disebabkan
oleh mikroba.
Terdapat beberapa jenis pengawet, yaitu zat pengawet anorganik dan zat
pengawet organik. Zat pengawet anorganik yang sering digunakan adalah sulfit,
hidrogen peroksida, nitrat dan nitrit. Untuk zat pengawet organik yang sering
digunakan yaitu asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan
epoksida (Cahyadi, 2008). Dan zat pengawet yang dilarang digunakan salah
satunya formalin (Peraturan Mentri Kesehatan RI No. 239/Men.Kes/Per/V/85)
(lampiran 6).
Sebagai anti mikroba, bahan pengawet memiliki mekanisme kerja untuk
menghambat pertumbuhan mikroba bahkan mematikannya, diantaranya sebagai
berikut (Cahyadi, 2008):
1. Gangguan sistem genetik.
2. Menghambat sintesa dinding sel atau membran.
3. Penghambat enzim.
4. Peningkatan nutrient esensial.
2.2.1.1 Formalin (Formaldehid)
Formaldehid dipasaran dikenal dengan nama formalin. Formaldehid ini
dilarang ditambahkan ke dalam pangan, sesuai Peraturan Mentri Kesehatan RI
NOMOR 1168/MENKES/PER/X/1999 pada lampiran 5. Namun pada
kenyataanya formaldehid ini digunakan dalam pengawetan pangan seperti susu,
tahu, mi, ikan asin, ikan basah, dan produk pangan lainnya.
Formaldehid merupakan larutan tak berwarna dengan bau menyengat yang
merangsang hidung, tenggorokan, dan mata. Formaldehid dapat bercampur dalam
air dan alkohol. Sifat formalin yang mudah larut dalam air karena terdapat
elektron sunyi pada oksigen, sehingga dapat mengadakan ikatan hidrogen molekul
air (Fessenden, 1999). Larutan formaldehid 37% dikenal dengan formalin (Wu,
9
2003). Formaldehid termasuk kedalam kelompok aldehid dengan rumus kimia
HCHO.
Gambar 2. Struktur bangun formaldehid (metanal)
Larutan formaldehid merupakan desinfektan yang efektif melawan bakteri
vegetative, jamur atau virus, tetapi kurang efektif melawan spora bakteri
(Cahyadi, 2008). Formalin bereaksi dengan protein yang mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme menjadi menurun. Formaldehid merusak bakteri karena bakteri
merupakan protein. Reaksi formalin dengan protein, yang pertama diserang adalah
gugus amina pada posisi lisin diantara gugus polar dari peptidanya. Selain
menyerang gugus amina dari lisin, formaldehid juga menyerang residu tirosin dan
histidin (Cahyadi, 2008). Formalin biasanya juga mengandung alkohol 10 – 15%
yang berfungsi sebagai stabilisator agar formaldehid tidak mengalami
polimerisasi. Formaldehid merupakan bentuk aldehid yang paling sederhana,
namun ia merupakan elektrofil yang paling kuat dan paling reaktif di antara
aldehid yang lain (Pahrudin, 2006). Mekanisme formaldehid sebagai desinfektan
adalah membunuh sel dengan cara mendehidrasi sel jaringan dan sel bakteri dan
menggantikan cairan yang normal dengan komponen kaku seperti gel sehingga sel
bakteri akan kering (Pahrudin, 2006).
Formalin merupakan senyawa berbahaya dan beracun bagi kesehatan
manusia. Dampak kesehatan manusia jika masuk ke dalam tubuh, formalin
bereakasi secara kimia dengan sel tubuh yang dapat menekan fungsi sel dan
menyebabkan kematian sel yang menyebabkan keracunan didalam tubuh
(Cahyadi, 2008). Kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh menyebabkan
iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik dan bersifat mutagenik.
2.2.2 Pewarna
Penentuan mutu makanan salah satunya adalah faktor warna. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi telah ditemukan zat warna
10
sintetis, karena penggunaan yang praktis dan harga lebih murah (Cahyadi, 2008).
Secara garis besar terdapat dua jenis pewarna pada tambahan pangan, yaitu
pewarna alami dan pewarna sintetis.
Pewarna sintetis yang diizinkan di Indonesia diantaranya, Biru berlian
(brilliant blue), Eritrosin, Ponceau 4R, kuning FCF (sunset yellow), dan tartrazine
dengan batas penggunaan secukupnya. Dan terdapat beberapa pewarna yang
dilarang digunakan pada produk pangan seperti metanil yellow dan rhodamin B.
Tabel 2. Zat Warna yang Diijinkan Digunakan di Indonesia (Winarno, 2002)
Pemakaian warna sintetis dalam bahan pangan, selain berdampak positif
diantaranya membuat pangan lebih menarik, meratakan warna pangan, dan
mengembalikan warna dari bahan dasar yang hilang atau berubah selama
pengolahan, dapat juga berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Hal yang
dapat memberi dampak negatif (Cahyadi, 2008) :
a. Bahan pewarna sintetis dimakan dalam jumlah kecil, namun berulang.
b. Bahan pewarna sintetis dimakan dalam jangka waktu lama.
11
c. Kelompok masyarakat luas dengan daya tahan yang berbeda-beda, tergantung
pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu pangan, dan keadaan fisik.
d. Menggunakan bahan pewarna sintetis yang berlebihan.
e. Penyimpanan bahan pewarna oleh pedagang yang tidak memenuhi
persyaratan.
2.2.2.1 Metanil Yellow
Metanil yellow merupakan senyawa kimia golongan azo, amin, aromatik
dan sulfonat. Metanil yellow merupakan nama dagang dari senyawa sodium 3-[(4-
anilinophenyl)diazenyl]benzenesulfonate dengan rumus kimia C18H14N3NaO3S.
Gambar 3. Struktur Bangun Metanil Yellow (Sodium 3-[(4-anilinophenyl)diazenyl]benzenesulfonate))(NCBI,2005)
Metanil yellow ini berbentuk serbuk dengan warna cokelat hingga kuning,
larut dalam alkohol, air, dan sedikit larut dalam aseton. Peruntukan metanil yellow
sebenarnya sebagai indikator dalam rekasi asam basa, dan juga sebagai pewarna
tekstil. Toksisitas metanil yellow ini pada LD50 tikus oral yaitu pada konsentrasi
5g/kg berat badan. Paparan jangka pendek jika tertelan yaitu mual, muntah, diare,
dan perut terasa perih. Maka dari itu teradapat peraturan Mentri Kesehatan RI No.
239/Men.Kes/Per/V/85 melarang penggunaan metanil yellow yang terlampir pada
lampiran no. 6.
2.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatogtrafi adalah suatu metode analitik untuk pemurnian dan
pemisahan senyawa-senyawa organik dan anorganik (Khopkar, 2008).
Kromatografi adalah istilah umum untuk berbagai cara pemisahan
berdasarkan partisi cuplikan antara fase yang bergerak, dapat berupa zat cair atau
12
gas dan fase diam dapat berupa zat cair atau zat padat (Johnson dan Stevenson,
1991).
Prinsip kerja KCKT yaitu dengan bantuan pompa fase gerak cair dialirkan
melalui kolom ke detektor. Cuplikan dimasukkan ke dalam fase gerak melalui
penyuntikan. Di dalam kolom terjadi pemisahan komponen-komponen campuran.
Karena perbedaan kekuatan interaksi antara molekul yang terlarut dalam fase
gerak terhadap fase diam maka terjadilah pemisahan. Komponen yang lemah
interaksinya dengan fase diam akan lebih dulu keluar dari kolom. Setiap
komponen campuran yang keluar dari kolom akan dideteksi oleh detektor,
kemudian direkam dalam bentuk kromatogram.
2.3.1 Mekanisme Pemisahan Pada KCKT
Mekanisme pemisahan dominan yang terjadi dalam system KCKT
ditentukan oleh jenis kolom yang digunakan. Terdapat kemungkinan terjadi lebih
dari satu proses pemisahan dalam satu kolom. Mekanisme pemisahan yang
mungkin adalah adsorpsi, partisi, penukar ion, kromatografi eklusi, dan
kromatografi afinitas.
a) Adsorpsi (fase normal)
Kromatografi adsorbs didasarkan pada retensi zat terlarut oleh adsorbs
permukaan (Khopkar, 2008).
b) Partisi (fase terikat)
Mekanisme pemisahan secara pertisi terjadi jika digunakan fase diam berupa
cairan dan fase gerak berupa cairan. Pemisahan terjadi berdasarkan perbedaan
kelarutan dalam fase diam terhadap fase gerak. Kromatografi fase terikat
dapat digunakan untuk sistem kromatografi fase normal atau fase terbalik.
Pada kromatografi fase terikat, fase diam terikat secara kimiawi pada partikel
pendukung (Skoog dan James, 1992).
13
c). Penukar ion (ion exchange)
Kromatografi pertukaran ion atau sering disebut kromatografi ion merupakan
cara modern dan efisien untuk memisahkan dan menetapkan ion-ion
berdasarkan resin (damar) penukar ion (Skoog dan James, 1992).
d). Eklusi
Mekanisme pemisahan terjadi berdasarkan pemilihan ukuran partikel
molekul. Molekul akan terdifusi dalam pori dengan ukuran tertentu. Molekul
kecil dapat memasuki jaringan pori dan tertahan dalam fase gerak yang tak
mengalir dan molekul lebih besar tidak dapat memasuki jaringan dan mereka
melalui kolom tanpa ditahan (Johnson dan Stevenson, 1991).
2.3.2 Instrumentasi KCKT
Pada dasarnya kromatografi cair kinerja tinggi terdiri dari sistem
penampung fase gerak dan sistem penangan pelarut, sistem pemompaan, sistem
injeksi, kolom dan detektor (Skoog dan James, 1992). Berikut diagram KCKT
sedehana:
Gambar 4. Diagram Instrumen KCKT
a) Penampung Fase Gerak (mobile phase/solvent reservoir)
Untuk KCKT modern, mobile phase reservoir ini sudah didesain
sedemikian rupa. Biasanya mobile phase reservoir ini sudah dilengkapi alat-alat
14
khusus seperti penghilang gas (degasser), ataupun filtration. Proses degassing
sangat diperlukan karena bertujuan untuk menghilangkan gas-gas yang ada dalam
pelarut (terlarut) terutama pelarut-pelarut polar.
Fase gerak yang digunakan untuk KCKT mempunyai beberapa persyaratan,
diantaranya:
a. Murni tanpa cemaran
Kemurnian fase gerak merupakan faktor yang penting dalam pemisahan untuk
mencegah timbulnya puncak lain yang disebabkan oleh pengotor dan udara
yang terperangkap dalam kolom atau detektor.
b. Tidak bereaksi dengan kolom.
c. Tidak mempunyai serapan dan tidak mempengaruhi serapan standar.
d. Dapat melarutkan cuplikan.
e. Viskositasnya rendah dan kevolatilannya kecil.
f. Sesuai dengan detektor.
b) Pompa
Pompa yang umum digunakan dalam KCKT adalah type reciprocating
(pompa dengan tekanan balik). Pompa ini menghasilkan pulse (denyut), sehingga
ditambah dengan alat pulse dumper sehingga tidak berdenyut.
c) Injektor
Penentuan suatu zat juga ditentukan oleh banyaknya zat yang dimasukkan
ke dalam KCKT melalui injektor. Salah satu cara yang paling sederhana untuk
memasukkan contoh ke dalam sistem KCKT adalah dengan syringe. Syarat
injektor yang baik dalam KCKT antara lain mempunyai keterulangan yang tinggi,
dapat bekerja pada tekanan balik, mudah digunakan.
d) Kolom
Berfungsi untuk memisahkan komponen-komponen dari campurannya
seperti halnya pada kolom gas kromatografi. Setiap kromatografi kolom tanpa
adanya kolom, pemisahan tidak akan terjadi.
15
Gambar 5. Kolom KCKT dengan berbagai macam ukuran sesuai kebutuhan.
e) Detektor
Berfungsi untuk mendeteksi komponen yang keluar dari ujung kolom,
kemudian mengubahnya menjadi suatu besaran yang dapat diukur. Detektor pada
KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu: detektor universal (yang
mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik, dan tidak bersifat
selektif) seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri massa dan
golongan detektor yang spesifik hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan
selektif , seperti detektor UV-Vis, detektor flouresensi, dan detektor elektrokimia
(Rohman, 2007).
Detektor UV-VIS digunakan pada penyerapan cahaya baik sinar UV
maupun visible oleh analit dalam cuplikan terhadap sinar yang melewati cuplikan.
Detektor ini ada dua macam yaitu:
a. Detector fix wavelength tidak bisa mengukur pada panjang
gelombang maksimum karena tidak bisa diatur.
b. Detector variable wavelength dapat mengukur pada panjang
gelombang maksimum karena dapat diatur.
f) Penganalisis dan Pengolahan data
Penganalisis dan pengolahan data ini berbentuk computer yang berfungsi
mengolah data yang dihasilkan menjadi bentuk grafik. Grafik yang terbentuk
menunjukkan hubungan antara absorban dan waktu. Dengan membandingkan
puncak yang spesifik dari sampel dengan puncak standar maka identitas contoh
dapat diketahui. Tetapi pengukuran dengan menggunakan KCKT harus dijalankan
pada kondisi yang tepat sama antara sampel dan standar.
16
2.3.3 Derivatisasi
Pada beberapa masalah, derivatisasi berguna untuk merubah senyawa
menjadi derivate sebelumnya atau senyawa sesudahnya. Karena pada pemisahan
dengan kromatografi tidak diperoleh respon, maka dilakukan derivatisasi.
Beberapa tujuan derivatisasi :
1. Mengurangi polaritas senyawa yang terbagi lebih baik dari kolom adsorbs
atau penukar ion yang bisa digunakan.
2. Menaikkan respon detektor dan sensitifitas untuk berbagai komponen pada
sampel.
3. Lebih selektif terhadap respon detektor terhadap senyawa tertentu dalam
sampel.
Pelabelan senyawa dengan reagen yang memungkinkan serapan UV
adalah salah satu teknik derivatisasi paling populer. Reagen harus dipilih sehingga
penyerapan maksimum dari produk reaksi menunjukkan tidak hanya peningkatan
sensitivitas tetapi juga selektivitas yang baik. Kombinasi ini mengurangi efek
matriks yang dihasilkan dari reagen, dari produk sampingan, atau dari matriks
asli. Berikut ini tabel daftar senyawa dan pereaksi umum (Primer, 2001).
Tabel 3. Daftar senyawa dengan pereaksi derivatisasi (Primer, 2001)
Senyawa target Rumus Pereaksi Panjang gelombang (λ)
Alkohol -OH phenylisocyanate 250 nmSenyawa sulfur teroksidasi (SO3)2- 2,2’-dithiobis (5-nitro-
pyridine) 320 nm
Asam Lemak -COOH p-bromophenacyl bromide 258 nm2-naphthacyl bromide 250 nm
Aldehid dan keton
=C=O, -CHO 2,4-dinitrophenyl hydrazine 365 nm
Amina primer -NH2 ο-phthalaldehyde (OPA) 340 nmAmina primer dan sekunder
-NH2 =NH
9-fluorenylmethyl chloroformate (FMOC) 256 nm
17
Pada analisa formaldehid dengan KCKT ini, formaldehid ini diderivatisasi
dengan menggunakan DNPH (2,4 dinitrophenilhidrazin) menjadi 2,4
dinitrophenilhidrazon. Berikut ini reaksinya (Shriner, 2004):
Gambar 6. Reaksi Formaldehid dengan DNPH (2,4-dinitrophenilhidrazin)
18
BAB III
METODE PENELITIAN
1.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012 di Laboratorium PT
Saraswanti Indo Genetech yang berlokasi di Jl Rasamala, No. 20 Taman Yasmin
Bogor.
1.2 Bahan dan Alat
1.2.1 Bahan
Methanol LC grade, asetonitril LC grade, standar bahan baku pembanding
formaldehyde 37%, standar baku pembanding metanil yellow, (NH4)2HPO4 20
mM pH 8.8, aquabidestilata, DNPH, dikhlormethan, dan asam posfat 10%
1.2.2 AlatLabu Ukur 10, 25, dan 100 ml, blender, kertas saring, Millipore 0,45 μm,
vial 2 ml, ultrasonic, erlenmeyer asah 250 dan 500 ml, alat destilasi, pemanas,
tabung reaksi 15 ml, buret 50 ml dan KCKT dengan detektor UV-Vis dan PDA
(Photo Diode Array), kotak timbang dan oven.
1.3 Metode Penelitian
Metode penelitian kadar formalin dan metanil yellow dilakukan secara
kuantitatif dengan menggunakan alat kromatografi cair kinerja tinggi. Sampel mi
basah yang digunakan yaitu mi basah yang beredar di pasar daerah Bogor
sebanyak 4 sampel, Jakarta sebanyak 3 sampel dan Depok sebanyak 3 sampel.
Masing-masing sampel tersebut dilakukan pula analisis tambahan sebagai data pendukung yaitu penentuan kadar air.
1.3.1 Preparasi Sampel
Penetapan dilakukan pada sampel mi basah dipasar kota Jakarta, Bogor,
dan Depok sebanyak 10 sampel dan akan diberi kode J1, J2, J3 (Jakarta), B1, B2,
B3, B4 (Bogor) dan D1, D2, D3 (Depok) dan dianalisis masing masing sebanyak
19
2 ulangan. Setiap sampel dihomogenkan dengan dihancurkan (blender) hingga
halus.
1.3.2 Analisis Formalin Secara KCKT (Li, 2007)
a. Prinsip
Sampel di panaskan, uap formalin dikondensasi. Formalin diderivatisasi
dengan DNPH dan di ekstraksi dengan diklormethan, formalin diinjeksikan ke
alat KCKT dengan fase gerak asetonitril 45% pada panjang gelombang 355 nm.
b. Pembuatan fase gerak
Dilarutkan 450 ml asetonitril dengan 550 ml aquabidestilata.
Dihomogenkan, lalu disaring dengan filter membran 0,45 μm. Lalu di ultrasonik
(degassing) selama 15 menit.
c. Pembuatan Larutan Standar
Dipipet 270 µl larutan formaldehida 37% ke dalam labu ukur 100,0 ml,
larutkan dengan aquabidest dan himpitkan sampai tanda batas, kemudian kocok
untuk menghomogenkan. Dipipet 5,0 ml ke dalam labu ukur 50,0 ml, encerkan
dengan aquabidest dan himpitkan sampai tanda batas, lalu kocok.
Dari larutan baku induk 100 mg/L dibuat seri larutan baku kerja dengan
konsentrasi 0; 0,25; 0,5; 1; dan 2 mg/L dalam labu ukur 10,0 mL dengan memipet
larutan induk 100 ppm masing-masing 0; 25 ; 50 ; 100 ; dan 200 ul,encerkan
dengan aquabidest hingga tanda garis dan kocok sampai homogen.
d. Pembuatan Larutan Sampel
Ditimbang 1 gram sampel ke dalam Erlenmeyer 500 ml. Ditambahkan 200
ml air dan 10 ml larutan asam fosfat 10%, aduk larutan dan didestilasi
(dipanaskan hingga mendidih). Ditampung ke labu ukur 100 ml hingga kurang
lebih 100 ml destilat. Himpitkan pada labu ukur 100 ml.
e. Derivatisasi formalin
Diambil larutan destilat sampel, deret standar formalin masing masing 1
ml ke dalam tabung rekasi. Ditambahkan 0,5 ml larutan DNPH 1mg/ml, kemudian
20
diekstraksi dengan diklorometan, kocok dengan kuat. Setelah pengocokan,
diambil fase diklorometan dan hilangkan fase air. Diuapkan diklorometan, dan
sisa penguapan dilarutkan kembali dengan asetonitril grade ke dalam labu ukur 10
ml. Disaring larutan dengan membran filter 0,45 µm ke dalam vial autosampler.
f. Kondisi Alat KCKT
Metode analisis KCKT ini menggunakan instrumen seperangkat alat
KCKT quatemary pump dengan fase gerak asetonitril 45%, laju alir 1,0
mL / menit, volume injeksi sebesar 20 µL, detektor UV-VIS pada panjang
gelombang 355 nm, menggunakan kolom RP-18 LiChosper dengan panjang 150
mm dan diameter 4,60 mm.
g. Perhitungan
Kadar Formalin (mg /Kg )=
Area sampel -IntercepSlope
×fp×V akhir(ml)
Wsampel (gram)
Keterangan :
Area sampel = Luas area peak sampel dari kromatogram sampel.
Slope = Didapat dari persamaan garis deret standar.
Intercept = Didapat dari persamaan garis deret standar .
Fp = Faktor pengenceran.
V akhir = Volume akhir pengenceran sampel (ml)
W sampel = Bobot sampel (gram)
1.3.3 Analisis Pewarna Makanan Secara KCKT (Dionex, 2010)
a. Prinsip
Pada penentapan pewarna makanan secara kromatografi cair kinerja tinggi
(KCKT) menggunakan detektor PDA (Photo Diode Array) pada panjang
gelombang 419 nm dalam mi basah dengan fase gerak A yaitu diammonium
dihidrogen posfat 20mM pH 8,8 dan fase gerak B diammonium dihidrogen posfat
20mM pH8,8 berbanding acetonitril (50:50) secara gradient pump.
21
b. Pembuatan Fase Gerak
Dilarutkan 2,64 gram (NH4)2HPO4, dilarutkan dengan aquabidestilata
sampai 500 mL dan dihomogenkan. Ditambahkan NH4OH hingga pH larutan 8,8,
dihomogenkan, lalu ditepatkan hingga 1L kemudian kocok hingga homogen (Fase
gerak A). Dicampurkan asetonitril kualitas kromatografi dengan (NH4)2HPO4 pH
8,8 dengan perbandingan 50 : 50 (Fase gerak B). Sebelum masuk ke sistem
kromatografi, fase gerak disaring dengan membran filter 0,45 mm lalu dide-
gazing terlebih dahulu dengan ultrasonic.
c. Pembuatan Larutan Standar
Ditimbang 25 mg standar pewarna metanil yellow lalu dilarutkan dalam
labu ukur 25 ml dengan methanol hingga tanda batas, lalu dihomogenkan (larutan
induk). Dipipet 100, 200, dan 500ul larutan induk ke masing-masing labu ukur 10
ml (10, 20, dan 50mg/L), dan diencerkan dengan methanol hingga tanda tera,
dihomogenkan, lalu disaring dengan membrane filter 0,45 μm dimasukkan ke
dalam vial. Diinjeksikan ke alat KCKT.
d. Pembuatan Larutan Sampel
Sampel yang telah homogen ditimbang sebanyak 2 gram. Dimasukkan ke
dalam labu ukur 25 ml, dilarutkan dengan aquabidest hingga 5 ml, diultrasonik
selama 15 menit kemudian dihimpitkan dengan methanol. Larutan dikocok hingga
homogen lalu disaring dengan kertas saring, filtrate selanjutnya disaring dengan
membrane filter 0,45 μm dan dimasukkan ke dalam vial. Diinjeksikan ke alat
KCKT.
e. Kondisi Alat KCKT
Metode analisis KCKT ini menggunakan instrumen seperangkat alat
KCKT quatemary pump dengan Fase Gerak A yaitu (NH4)2HPO4 pH 8,8 dan B
yaitu (NH4)2HPO4 pH 8,8 berbanding asetonitril (50:50). Laju alir 0,71
mL/menit dengan sistem gradien fase gerak 12% B selama 5 menit, 50% B selama
5 menit, 100% B selama 3 menit, dan kembali ke B 12% selama 7 menit, volume
22
injeksi sebesar 10 µL, detektor PDA UV-Vis pada panjang gelombang 419 nm,
menggunakan kolom C-18 Gemini NX- 5um dengan panjang 250 mm dan
diameter 4,60 mm.
f. Perhitungan
Kadar Metanil Yellow (mg /Kg )=
Area sampelSlope
×fp× Vakhir(ml )
Wsampel (gram)
Keterangan :
Area sampel = Luas area peak sampel dari kromatogram sampel.
Slope = Didapat dari persamaan garis deret standar.
Fp = Faktor pengenceran.
V akhir = Volume akhir pengenceran sampel (ml)
W sampel = Bobot sampel (gram)
1.3.4 Kadar Air (SNI 01-2891-1992)
a. Analisa Sampel
Analisis kadar air menggunakan oven, dengan pemanasan langsung.
Sampel yang telah homogen ditimbang 1 gram ke dalam kotak timbang yang telah
diketahui bobotnya. Kotak timbang berisi sampel, dipanaskan pada suhu 105ºC
dalam oven selama 3 jam. Lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit, lalu
ditimbang. Dilakukan pemanasan kembali hingga didapat bobot tetap.
b. Perhitungan
Kadar Air (%) ¿C - BA
× 100 %
Keterangan :
A = Bobot sampel (gram)
B = Bobot sampel + kotak timbang (tetap) setelah pemanasan (gram)
C = Bobot sampel + kotak timbang sebelum pemanasan (gram)
23