1 bab i pendahuluan 1.1. latar belakang hukum pidana yang

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia merupakan hukum warisan penjajahan Belanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia. Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dimana merupakan penegasan negara Indonesia untuk memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 sebagai hukum pidana yang berlaku di Indonesia. KUHP atau dalam Bahasa Belanda disebut Wetboek van Strafrecht merupakan bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia dan terbagi menjadi dua bagian, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Semua hal yang berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku tindak pidana dan pidana (sanksi), sedangkan hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Menurut Kansil, KUHP merupakan segala peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen),

Upload: vuongcong

Post on 01-Feb-2017

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia merupakan hukum warisan

penjajahan Belanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia.

Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan

pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang

dimana merupakan penegasan negara Indonesia untuk memberlakukan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942

sebagai hukum pidana yang berlaku di Indonesia.

KUHP atau dalam Bahasa Belanda disebut Wetboek van Strafrecht

merupakan bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia dan terbagi menjadi dua

bagian, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Semua hal yang

berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku tindak

pidana dan pidana (sanksi), sedangkan hukum pidana formil adalah hukum yang

mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Menurut Kansil, KUHP

merupakan segala peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen),

Page 2: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

2

kejahatan (misdrijven), dan sebagainya, diatur oleh Hukum Pidana (Strafrecht) dan

dimuat dalam satu Kitab Undang-Undang.1

Sebagai sebuah hukum warisan pemerintah kolonial Belanda, hukum pidana

yang berlaku saat ini dirasa tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat

Indonesia. Hukum pidana yang berlaku saat ini dirasa perlu diperbaharui atau dalam

konteks ini pembaharuan hukum pidana menjadi sangat urgen, yaitu sebagai upaya

untuk menyelaraskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat ke dalam hukum pidana

Indonesia.

Urgensi pembaharuan hukum pidana Indonesia juga telah dikemukakan oleh

Sudarto, yang mengemukakan adanya tiga alasan penting dalam rangka penyusunan

hukum nasional, yaitu:

1. Alasan Politis

Adalah wajar bahwa Indonesia sebagai negara merdeka mempunyai

hukum (pidana) yang bersifat nasional, yang didasarkan pada Pancasila

sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

2. Alasan Sosiologis

Urgensi pembentukan hukum (pembaharuan hukum pidana) nasional

didasarkan pada keharusan, bahwa hukum nasional itu harus didasarkan

pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Hukum

nasional haruslah mencerminkan kultur masyarakat Indonesia.

3. Alasan Praktis

Alasan ini mengisyaratkan, bahwa hukum nasional itu harus dapat

dipahami oleh masyarakatnya sendiri. Alasan ini didasarkan pada

kenyataan bahwa hukum pidana yang sekarang berlaku di Indonesia

secara resmi menggunakan Bahasa Belanda, sementara dalam

1CST. Kansil, 1976, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, (selanjutnya disebut CST. Kansil I) h. 257.

Page 3: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

3

perkembangannya sangat sedikit masyarakat (termasuk para penegak

hukum) yang mempunyai kemampuan berbahasa Belanda.2

Sangat disadari bahwa hukum pidana yang sekarang ini berlaku di Indonesia

sudah tidak dapat menampung aspirasi masyarakat yang berkembang sangat dinamis

serta tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia. Pembaharuan

hukum pidana dalam rangka menciptakan sistem hukum pidana nasional menjadi

sangat urgen dan mendesak untuk dikedepankan.

Pada dasarnya, hukum pidana itu dibangun di atas substansi pokok yaitu: (1)

tindak pidana, (2) pertanggungjawaban pidana, dan (3) pidana dan pemidanaan.

Dalam perkembangannya, pidana dan pemidanaan selalu mengalami perubahan yang

disebabkan oleh adanya upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

demi meningkatkan kesejahteraan. Tingkat kriminalisasi dalam masyarakat pun

meningkat akibat kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat disertai dengan

kemiskinan yang relatif masih cukup tinggi. Hal tersebut menyebabkan perlu adanya

pembaharuan hukum pidana dalam penjatuhan suatu sanksi pidana yang nantinya

akan menjadi peringatan setiap orang agar berfikir dua kali dalam melakukan suatu

tindak pidana.

Apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana, maka akan muncul

ancaman sanksi pidana sebagai suatu pertanggungjawaban atas perbuatannya

tersebut. Jenis-jenis sanksi pidana telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 KUHP,

2Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), h. 95.

Page 4: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

4

dimana pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri

dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan,

sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan

barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan

kemerdekaan.3 Terdapat 3 (tiga) sistem dalam hukuman penjara yaitu:

1. Sistem Pennsylvania (suatu negara bagian di Amerika Serikat) yang

menghendaki para hukuman terus-terusan ditutup sendiri-sendiri dalam

satu kamar atau sel.

2. Sistem Auburne (satu kota dalam negara bagian New York di Amerika

Serikat) yang menentukan bahwa para hukuman pada siang hari disuruh

bersama-sama bekerja tetapi tidak boleh bicara.

3. Sistem Irlandia yang menghendaki para hukuman mula-mula ditutup

terus-menerus, tetapi kemudian dikerjakan bersama-sama, dan tahap demi

tahap diberi kelonggaran bergaul satu sama lain sehingga pada akhirnya,

setelah tiga perempat dari lamanya hukuman sudah lampau, dimerdekakan

dengan syarat.4

Di Indonesia, keberadaan ketiga sistem ini seolah-olah seperti digabungkan

karena biasanya beberapa pelaku tindak pidana dikumpulkan dalam satu ruangan dan

tidur didalam ruangan yang sama. Ada kemungkinan pula seorang pelaku tindak

pidana dapat ditutup sendiri dalam satu sel.

Pidana penjara merupakan jenis pidana pokok yang paling banyak

diancamkan terhadap pelaku tindak pidana. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa

ancaman pidana penjara yang sangat dominan terjadi dalam KUHP Indonesia, bahkan

3Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 120.

4Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama,

Bandung, h. 183.

Page 5: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

5

sampai saat ini. Perumusan ancaman pidana penjara yang bersifat imperatif di

Indonesia tersebut merupakan warisan dari pemikiran aliran klasik yang menetapkan

pidana dengan definite sentence.5 Alasan pidana penjara masih menjadi pidana pokok

yang paling banyak diancamkan terhadap pelaku tindak pidana karena pidana penjara

masih dianggap oleh Negara sebagai sanksi pidana yang paling ampuh untuk

membuat jera para pelaku tindak pidana agar tidak melakukan atau mengulangi

perbuatannya tersebut.

Namun pada kenyataannya, di sisi lain sanksi pidana penjara juga

menimbulkan suatu dilema, dikarenakan sejak dahulu sampai saat ini efektivitas dari

pidana penjara semakin diragukan. Berdasarkan hasil penelitian Djisman Samosir di

Lembaga Pemasyarakatan Cipinang pada tahun 1990 menemukan bahwa 85 (delapan

puluh lima) orang dari 100 (seratus) narapidana yang diteliti menyatakan, bahwa

pidana penjara bukan sesuatu yang menakutkan, karena sebelum melakukan tindak

pidana sudah mengetahui tentang resiko dari perbuatannya yaitu dijatuhi pidana

penjara.6

Melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi saat ini, pidana penjara sudah tidak

ditakuti lagi keberadaannya oleh para pelaku tindak pidana. Ruangan penjara para

5Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan

Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, (selanjutnya disebut Barda

Nawawi Arief II), h. 201-202. 6Djisman Samosir, 1992, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia,

Bina Cipta, Bandung, h. 56.

Page 6: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

6

pelaku tindak pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) bahkan oleh

sebagian pelaku tindak pidana diubah menjadi ruangan pribadi yang mewah

dilengkapi dengan segala fasilitas yang membuat pelaku seolah-olah tidak berada di

dalam penjara, karena pelaku dapat melakukan segala aktifitas yang seharusnya tidak

didapatkan di dalam penjara. Seperti yang terjadi pada Artalita Suryani, setelah

ditelusuri keberadaan sel tahanannya yang telah dia sulap menjadi kamar yang

mewah dan dari sel tahanannya itu pula dengan segala fasilitas yang canggih dia

dapat mengendalikan pekerjaaannya dari dalam sel. Oleh karena itu, pidana penjara

semakin banyak mendapat sorotan tajam dari para ahli penologi dan selain itu sangat

diperlukan peranan hakim agar lebih selektif dalam penjatuhan pidana penjara.

Shain, seorang Direktur Penelitian dari Judicial Council of California

mengemukakan bahwa perlu adanya pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan

pidana penjara agar lebih selektif. Terdakwa yang memenuhi persyaratan berikut

tidak layak dijatuhi pidana penjara, (a) Terdakwa tidak termasuk penjahat

professional, dan tidak mempunyai riwayat kejahatan yang buruk; (b) Banyak

faktor subjektif yang meringankan terdakwa; (c) Terdakwa tidak melakukan

ancaman maupun menyebabkan penderitaan atau kerugian yang serius terhadap

korban; (d) Ada bukti bahwa terdakwa melakukan tindak pidana karena provokasi

dari pihak korban; (e) Terdakwa bersedia memberikan ganti kerugian atas

kerugian material maupun nonmaterial yang diderita korban; (f) Tidak terdapat

cukup alasan yang menunjukkan, bahwa terdakwa akan melakukan tindak pidana

lagi, atau tidak terdapat cukup indikasi bahwa sifat-sifat jahat terdakwa akan

muncul lagi.7

Penggantian pidana penjara dalam konteks ini adalah mencari alternatif

pengganti pidana penjara jangka pendek dengan pidana jenis lain. Setiap negara perlu

7Eddy Junaedi Karnasudirdja, 1983, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan

Narapidana, Tanpa Penerbit, h. 92.

Page 7: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

7

mencari alternatif pengganti pidana penjara dengan pidana yang lebih bermanfaat

sesuai dengan kondisi suatu negara dan lebih banyak melibatkan masyarakat luas,

dalam rangka melakukan rehabilitasi bagi pelanggar atau pelaku suatu tindak pidana.

Negara Amerika merupakan salah satu negara yang berhasil melaksanakan

alternatif pemidanaan dalam wujud pidana pengawasan, dimana pelaksanaan pidana

pengawasan di Amerika Serikat ternyata menunjukkan hasil yang cukup memuaskan,

meskipun efektifitasnya masih belum terukur secara pasti.8 Pidana pengawasan bukan

merupakan jenis pidana pokok baru dalam hukum pidana Indonesia, tetapi merupakan

jenis pidana pokok baru dalam RUU KUHP. Selain didalam RUU KUHP, Pidana

pengawasan dikenal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

Berdasarkan penjelasan Pasal 77 RUU KUHP, pidana pengawasan bersifat

noncustodial, probation, atau pidana penjara bersyarat sebagaimana dimaksud dalam

KUHP. Dapat diketahui disini bahwa istilah pidana pengawasan memiliki pengertian

yang sama dengan pidana bersyarat. Pengertian pidana bersyarat (suspended

sentence) adalah sebagai berikut.

Pidana bersyarat adalah suatu jenis pidana, dalam hal ini si terpidana tidak

perlu menjalani pidana tersebut, kecuali jika selama masa percobaan tersebut

terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah

ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang menangani

perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syarat-

8Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja

Sosial Dan Pidana Pengawasan Bagi Pelaku Cyber Crime, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, h. 203.

Page 8: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

8

syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar supaya pidana dijalani

bilamana terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat ini

merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana.9

Pasal 14 a KUHP secara garis besar menyebutkan, bahwa terhadap terpidana

yang akan dijatuhi pidana penjara kurang dari 1 (satu) tahun atau pidana penjara

jangka pendek, kurungan bukan pengganti denda dan denda yang tidak dapat dibayar

oleh terpidana dapat diganti dengan pidana bersyarat. Dengan demikian terhadap

pelaku tindak pidana telah ada penjatuhan pidana secara pasti, yang pelaksanaannya

ditunda dengan bersyarat, sehingga telah terjadi proses stigmatisasi terhadap pelaku

tindak pidana melalui keputusan hakim yang disampaikan dalam sidang yang terbuka

untuk umum.

Negara Indonesia yang didalam RUU KUHPnya mengadopsi pidana

pengawasan, tidak terlepas dari rasa ketidakpuasaan masyarakat khususnya pakar-

pakar hukum pidana terhadap pidana perampasan kemerdekaan yang telah terbukti

sangat merugikan baik individu yang dikenai pidana maupun masyarakat pada

umumnya. Diadopsinya pidana pengawasan ini merupakan upaya untuk menjadikan

hukum pidana di Indonesia lebih manusiawi dan tidak saja berorientasi pada

perbuatan saja tetapi juga berorientasi pada pelaku sekaligus.

Pidana pengawasan sebagai upaya alternatif pidana perampasan kemerdekaan,

diharapkan dapat menekan biaya ekonomi pelaksanaan pidana dan dapat

9Muladi, 1992, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang,

(selanjutnya disebut Muladi I), h. 242.

Page 9: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

9

menghindarkan terpidana dari dampak negatif seperti kelakuan yang semakin buruk

setelah menyelesaikan masa hukuman, adanya pemikiran negatif masyarakat yang

menganggap terpidana adalah orang jahat sehingga terpidana tidak dapat

bersosialisasi dengan baik didalam masyarakat dan tidak menutup kemungkinan

terpidana tersebut untuk kembali melakukan kejahatan. Keberadaan pidana

pengawasan bagi terpidana diharapkan juga mampu membuat terpidana tersebut

hidup secara normal di dalam masyarakat.

Pidana pengawasan atau pidana bersyarat sebagai alternatif pidana

perampasan kemerdekaan dalam KUHP yang berlaku sekarang dirasa masih kurang

mampu memberikan perlindungan terhadap individu atau pelaku tindak pidana.

Selain itu, dalam KUHP yang berlaku sekarang, pidana bersyarat bukan merupakan

suatu pidana pokok dan hanya merupakan cara penerapan pidana, sehingga hal ini

tidak memberikan dasar yang kuat bagi hakim dalam penerapannya. Pengaturan

pidana pengawasan atau pidana bersyarat ini dalam KUHP belum dapat digunakan

secara lebih efektif sebagai sarana alternatif penerapan pidana penjara, khususnya

pidana penjara jangka pendek.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas serta alasan-alasan yang ada, maka

penulisan skripsi ini mengambil judul “PROSPEK PIDANA PENGAWASAN

SEBAGAI ALTERNATIF ANCAMAN PIDANA DALAM PEMBAHARUAN

HUKUM PIDANA”.

Page 10: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

10

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan pidana pengawasan di dalam hukum positif dan

Rancangan KUHP di Indonesia?

2. Bagaimanakah prospek pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman

pidana dalam pembaharuan hukum pidana?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah, perlu ditentukan secara tegas

batasan materi yang dibahas dalam tulisan yang dimaksud sehingga pembahasan yang

diuraikan nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang

diinginkan, hal ini diperlukan untuk menghindari pembahasan menyimpang dari

pokok permasalahan, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :

1. Yang pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan pidana

pengawasan di dalam hukum positif dan Rancangan KUHP di Indonesia.

2. Yang kedua akan membahas tentang prospek pidana pengawasan sebagai

alternatif ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian ini, penulis kali ini

menampilkan satu skripsi yang penelitiannya hampir mirip dengan penelitian penulis.

Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat di dalam dunia pendidikan di

Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukkan orisinalitas dan

penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan judul penelitian skripsi yang

Page 11: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

11

terdahulu sebagai pembanding. Seperti judul Pidana Pengawasan dalam Perspektif

Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, dengan penulis Bagus Surya Darma asal

Fakultas Hukum Universitas Udayana, Tahun 2015 dengan permasalahan sebagai

berikut, Apakah pidana pengawasan relevan dengan tujuan pemidanaan dalam

pembaharuan hukum pidana? dan, Bagaimana sebaiknya pidana pengawasan di

formulasikan sebagai salah satu jenis pidana dalam pembaharuan KUHP dimasa

mendatang?.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan

penulis terjamin orisinalitasnya, dikarenakan aspek penelitian penulis bertitik pada

pengaturan pidana pengawasan dalam hukum positif dan Rancangan KUHP di

Indonesia dan Prospek ke depannya terhadap Pidana Pengawasan sebagai alternatif

ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana.

1.5. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi

keilmuan secara ilmiah terkait pengembangan hukum pidana dan juga

terkait dengan prospek pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman

pidana dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

b. Tujuan Khusus

Terdapat beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai dengan dilakukannya

penelitian hukum ini, yaitu:

Page 12: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

12

1. Untuk mendeskripsi dan menganalisis tentang pengaturan pidana

pengawasan didalam hukum positif dan Rancangan KUHP di

Indonesia

2. Untuk mendeskripsi dan menganalisis tentang prospek pidana

pengawasan sebagai alternatif ancaman pidana dalam

pembaharuan hukum pidana.

1.6. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum

pidana, khususnya pemahaman teoritis mengenai pengaturan pidana

pengawasan didalam hukum positif dan Rancangan KUHP di Indonesia,

termasuk di dalamnya mengenai prospek pidana pengawasan sebagai

alternatif ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan

kontribusi dan solusi kongkrit bagi para lembaga penegak hukum seperti:

kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai bagian dari sistem peradilan

pidana (criminal justice system) yang terpadu di Indonesia dalam hal

penjatuhan pidana pengawasan, apabila jenis pidana ini telah berlaku di

Indonesia. Selain itu penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan

Page 13: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

13

pertimbangan bagi para pembentuk undang-undang terkait dengan upaya

mencari jenis pidana baru di Indonesia, dimana pembaharuan hukum

pidana yang dilakukan dapat mengakomodir pengaturan yang jelas tentang

pidana pengawasan sebagai suatu jenis pidana yang memiliki prospek

yang baik ke depannya untuk diterapkan di Indonesia.

1.7. Landasan Teoritis

1.7.1. Teori Pemidanaan

Pemidanaan merupakan penjatuhan atau pengenaan penderitaan pada

seseorang yang melanggar hukum oleh petugas yang berwenang sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Terdapat tiga teori pemidanaan yaitu sebagai berikut:

a. Teori Pembalasan/Teori Absolute (vergerldingstheorien)

Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk

yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang

mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada,

karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat

penjatuhan pidana.10

Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif

dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap

10

Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,

(selanjutnya disebut Andi Hamzah I), h. 26.

Page 14: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

14

kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang

telah diciptakan pelaku di dunia luar.11

Menurut J.E. Sahetapy, apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan

semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti

tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu

ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia

menaruh rasa dendam.12

b. Teori Tujuan/Teori Relatif (doeltheorien)

Teori pembalasan kurang memuaskan, kemudian timbullah teori

tujuan. Teori ini memberikan dasar pemikirannya bahwa dasar hukuman dari

pidana adalah terletak dari tujuannya sendiri. Teori ini terbagi menjadi dua

bagian, pertama teori pencegahan umum (algemene preventive atau general

preventive).13

Teori ini ingin mencapai tujuan dari pidana, yaitu semata-mata

dengan membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan

kejahatan-kejahatan. Sementara teori tujuan khusus (bijondere preventie atau

speciale preventie) mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah penjahat

dalam mengulangi lagi kejahatannya, dengan memperbaikinya lagi.

11

Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rinneka Cipta, Jakarta, (selanjutnya disebut

Andi Hamzah II), h. 31. 12

J.E. Sahetapy, 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni,

Bandung, h. 149. 13

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung, h. 16.

Page 15: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

15

c. Teori Gabungan

Selain teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian

muncul teori ketiga yaitu teori gabungan. Teori ini menggabungkan antara

teori absolut dan teori relatif.

Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan

teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua

teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu:14

1) Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena

dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti

yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang

melaksanakan.

2) Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena

pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat; kepuasan

masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat;

dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.15

Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu:

1) Memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan berarti

menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan

yang sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti di pemidanaan

14

Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan

Hukum Pidana, cetakan I, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 11-12. 15

Ibid.

Page 16: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

16

berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi

penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat;

2) Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan mengganggap

pemidanaan untuk jalan mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si

terpidana. Ciri khas dari pandangan tersebut adalah pemidanaan

merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana

agar kembali berintegrasi dalam masyarakat secara wajar; Pemidanaan

sebagai wahana pendidikan moral, atau merupakan proses reformasi.

Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk

menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya.16

1.7.2. Pendekatan Pembaharuan Hukum Pidana (Penal Reform)

Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari

kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan

hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya

pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya pembaharuan hukum

pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi

hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis,

dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,

kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Menurut Barda

16

Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System

Implementasinya, Raja Grafindo Persasda, Jakarta, h. 45.

Page 17: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

17

Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana adalah sebagai

berikut :

a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan

- Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-

masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka

mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan

sebagainya).

- Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat

(khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

- Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui

substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan

penegakan hukum.

b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan

peninjauan kembali (reorientasi dam re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik,

sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap

muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah

pembaharuan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum

pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP) sama saja dengan orientasi nilai

dari hukum pidana lama warisan pejajah (WvS).17

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini termasuk dalam

kategori/jenis penelitian hukum normatif.18

Dipilihnya jenis penelitian

17Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III) h.

26. 18

Soerjono Soekanto, 1985, Penulisan Hukum Normaif Suatu Tinjauan Singkat, CV.

Rajawali, Jakarta, h. 15.

Page 18: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

18

normatif karena penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang

ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori-teori

hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku dalam praktek hukum.19

Penelitian hukum normatif merupakan

penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder.

Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari adanya

kekaburan norma hukum yang berkaitan dalam permasalahan penelitian,

sehingga didalam mengkajinya lebih mengutamakan sumber data sekunder,

yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Dimana belum

terdapat pengaturan secara jelas atau norma kabur mengenai pengaturan

pidana pengawasan di Indonesia. Selain itu pengaturan pidana pengawasan

belum dapat digunakan secara lebih efektif sebagai sarana alternatif penerapan

pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Penulisan ini mengunakan jenis pendekatan perundang-undangan

(The Statue Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The

Conseptual Approach) dan pendekatan perbandingan (Comparative

Approach).

19

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penulisan Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, PT. Grafindo Persada, Jakarta, h.13.

Page 19: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

19

Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti

adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral

dalam penulisan ini.20

Pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach)

digunakan untuk mengkaji beberapa aturan hukum yang ada dalam mengetahui

tentang pengaturan hukum tentang pidana pengawasan di Indonesia.

Pendekatan analisa konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach)

merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami konsep-konsep

aturan yang jelas tentang pidana pengawasan, Pendekatan perbandingan

(Comparative Approach) dilakukan untuk melihat bagaimana negara lain

mengatur pidana pengawasan.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini berasal dari :

1) Sumber bahan hukum primer

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang

mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang

berkaitan, yang bersifat mengikat.21

Sumber bahan hukum primer yang

digunakan adalah :

- Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945;

20

Ibrahim Johny, 2006, Teori Metodologi & Penulisan Hukum Normatif, Bayumedia

Publishing, Malang, h. 302.

21Soerjono Soekanto dan Sri Mahmmudji, Op.cit, h. 34.

Page 20: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

20

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

- Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 153);

- Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Nasional Tahun 2015.

2) Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi

buku-buku, literatur, makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum

tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.22

Dipergunakan juga bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui

internet dengan cara mengcopy atau mendownload bahan hukum.

3) Sumber bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum.23

22Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, h. 141.

23Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Rajagrafindo

Persada, Jakarta, h. 119.

Page 21: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

21

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penulisan ini yakni teknik kepustakaan (study document).24

Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara

mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara berurut dan sistematis

sesuai dengan permasalahan.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik

deskriptif analisis dengan menggunakan metode sistematis, metode interprestatif

dan metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah penjabaran data yang

diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan.

Metode sistematis adalah segala usaha menguraikan dan merumuskan

sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem

yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan

rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya.25

Obyek yang dimaksud dalam

skripsi ini yakni tentang pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman pidana

dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

24H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.107.

25Amiruddim dan H. Zainal Asikin, Op.cit., h. 128.

Page 22: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang

22

Metode interpretatif adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-

undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau

dengan keseluruhan sistem hukum.26

Karena suatu undang-undang pada

hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang

berlaku sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri

tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Metode argumentatif adalah alasan berupa penjelasan yang diuraikan

secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau

menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum,

norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan

hukum, yang berkaitan dengan pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman

pidana dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

26

H. Zainuddin Ali, Op.cit., h.111.