1 bab i pendahuluan 1.1. latar belakang hukum pidana yang
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia merupakan hukum warisan
penjajahan Belanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia.
Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang
dimana merupakan penegasan negara Indonesia untuk memberlakukan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942
sebagai hukum pidana yang berlaku di Indonesia.
KUHP atau dalam Bahasa Belanda disebut Wetboek van Strafrecht
merupakan bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia dan terbagi menjadi dua
bagian, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Semua hal yang
berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku tindak
pidana dan pidana (sanksi), sedangkan hukum pidana formil adalah hukum yang
mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Menurut Kansil, KUHP
merupakan segala peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen),
2
kejahatan (misdrijven), dan sebagainya, diatur oleh Hukum Pidana (Strafrecht) dan
dimuat dalam satu Kitab Undang-Undang.1
Sebagai sebuah hukum warisan pemerintah kolonial Belanda, hukum pidana
yang berlaku saat ini dirasa tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat
Indonesia. Hukum pidana yang berlaku saat ini dirasa perlu diperbaharui atau dalam
konteks ini pembaharuan hukum pidana menjadi sangat urgen, yaitu sebagai upaya
untuk menyelaraskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat ke dalam hukum pidana
Indonesia.
Urgensi pembaharuan hukum pidana Indonesia juga telah dikemukakan oleh
Sudarto, yang mengemukakan adanya tiga alasan penting dalam rangka penyusunan
hukum nasional, yaitu:
1. Alasan Politis
Adalah wajar bahwa Indonesia sebagai negara merdeka mempunyai
hukum (pidana) yang bersifat nasional, yang didasarkan pada Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
2. Alasan Sosiologis
Urgensi pembentukan hukum (pembaharuan hukum pidana) nasional
didasarkan pada keharusan, bahwa hukum nasional itu harus didasarkan
pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Hukum
nasional haruslah mencerminkan kultur masyarakat Indonesia.
3. Alasan Praktis
Alasan ini mengisyaratkan, bahwa hukum nasional itu harus dapat
dipahami oleh masyarakatnya sendiri. Alasan ini didasarkan pada
kenyataan bahwa hukum pidana yang sekarang berlaku di Indonesia
secara resmi menggunakan Bahasa Belanda, sementara dalam
1CST. Kansil, 1976, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, (selanjutnya disebut CST. Kansil I) h. 257.
3
perkembangannya sangat sedikit masyarakat (termasuk para penegak
hukum) yang mempunyai kemampuan berbahasa Belanda.2
Sangat disadari bahwa hukum pidana yang sekarang ini berlaku di Indonesia
sudah tidak dapat menampung aspirasi masyarakat yang berkembang sangat dinamis
serta tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia. Pembaharuan
hukum pidana dalam rangka menciptakan sistem hukum pidana nasional menjadi
sangat urgen dan mendesak untuk dikedepankan.
Pada dasarnya, hukum pidana itu dibangun di atas substansi pokok yaitu: (1)
tindak pidana, (2) pertanggungjawaban pidana, dan (3) pidana dan pemidanaan.
Dalam perkembangannya, pidana dan pemidanaan selalu mengalami perubahan yang
disebabkan oleh adanya upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
demi meningkatkan kesejahteraan. Tingkat kriminalisasi dalam masyarakat pun
meningkat akibat kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat disertai dengan
kemiskinan yang relatif masih cukup tinggi. Hal tersebut menyebabkan perlu adanya
pembaharuan hukum pidana dalam penjatuhan suatu sanksi pidana yang nantinya
akan menjadi peringatan setiap orang agar berfikir dua kali dalam melakukan suatu
tindak pidana.
Apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana, maka akan muncul
ancaman sanksi pidana sebagai suatu pertanggungjawaban atas perbuatannya
tersebut. Jenis-jenis sanksi pidana telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 KUHP,
2Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), h. 95.
4
dimana pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri
dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan,
sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan
kemerdekaan.3 Terdapat 3 (tiga) sistem dalam hukuman penjara yaitu:
1. Sistem Pennsylvania (suatu negara bagian di Amerika Serikat) yang
menghendaki para hukuman terus-terusan ditutup sendiri-sendiri dalam
satu kamar atau sel.
2. Sistem Auburne (satu kota dalam negara bagian New York di Amerika
Serikat) yang menentukan bahwa para hukuman pada siang hari disuruh
bersama-sama bekerja tetapi tidak boleh bicara.
3. Sistem Irlandia yang menghendaki para hukuman mula-mula ditutup
terus-menerus, tetapi kemudian dikerjakan bersama-sama, dan tahap demi
tahap diberi kelonggaran bergaul satu sama lain sehingga pada akhirnya,
setelah tiga perempat dari lamanya hukuman sudah lampau, dimerdekakan
dengan syarat.4
Di Indonesia, keberadaan ketiga sistem ini seolah-olah seperti digabungkan
karena biasanya beberapa pelaku tindak pidana dikumpulkan dalam satu ruangan dan
tidur didalam ruangan yang sama. Ada kemungkinan pula seorang pelaku tindak
pidana dapat ditutup sendiri dalam satu sel.
Pidana penjara merupakan jenis pidana pokok yang paling banyak
diancamkan terhadap pelaku tindak pidana. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa
ancaman pidana penjara yang sangat dominan terjadi dalam KUHP Indonesia, bahkan
3Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 120.
4Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama,
Bandung, h. 183.
5
sampai saat ini. Perumusan ancaman pidana penjara yang bersifat imperatif di
Indonesia tersebut merupakan warisan dari pemikiran aliran klasik yang menetapkan
pidana dengan definite sentence.5 Alasan pidana penjara masih menjadi pidana pokok
yang paling banyak diancamkan terhadap pelaku tindak pidana karena pidana penjara
masih dianggap oleh Negara sebagai sanksi pidana yang paling ampuh untuk
membuat jera para pelaku tindak pidana agar tidak melakukan atau mengulangi
perbuatannya tersebut.
Namun pada kenyataannya, di sisi lain sanksi pidana penjara juga
menimbulkan suatu dilema, dikarenakan sejak dahulu sampai saat ini efektivitas dari
pidana penjara semakin diragukan. Berdasarkan hasil penelitian Djisman Samosir di
Lembaga Pemasyarakatan Cipinang pada tahun 1990 menemukan bahwa 85 (delapan
puluh lima) orang dari 100 (seratus) narapidana yang diteliti menyatakan, bahwa
pidana penjara bukan sesuatu yang menakutkan, karena sebelum melakukan tindak
pidana sudah mengetahui tentang resiko dari perbuatannya yaitu dijatuhi pidana
penjara.6
Melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi saat ini, pidana penjara sudah tidak
ditakuti lagi keberadaannya oleh para pelaku tindak pidana. Ruangan penjara para
5Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, (selanjutnya disebut Barda
Nawawi Arief II), h. 201-202. 6Djisman Samosir, 1992, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia,
Bina Cipta, Bandung, h. 56.
6
pelaku tindak pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) bahkan oleh
sebagian pelaku tindak pidana diubah menjadi ruangan pribadi yang mewah
dilengkapi dengan segala fasilitas yang membuat pelaku seolah-olah tidak berada di
dalam penjara, karena pelaku dapat melakukan segala aktifitas yang seharusnya tidak
didapatkan di dalam penjara. Seperti yang terjadi pada Artalita Suryani, setelah
ditelusuri keberadaan sel tahanannya yang telah dia sulap menjadi kamar yang
mewah dan dari sel tahanannya itu pula dengan segala fasilitas yang canggih dia
dapat mengendalikan pekerjaaannya dari dalam sel. Oleh karena itu, pidana penjara
semakin banyak mendapat sorotan tajam dari para ahli penologi dan selain itu sangat
diperlukan peranan hakim agar lebih selektif dalam penjatuhan pidana penjara.
Shain, seorang Direktur Penelitian dari Judicial Council of California
mengemukakan bahwa perlu adanya pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan
pidana penjara agar lebih selektif. Terdakwa yang memenuhi persyaratan berikut
tidak layak dijatuhi pidana penjara, (a) Terdakwa tidak termasuk penjahat
professional, dan tidak mempunyai riwayat kejahatan yang buruk; (b) Banyak
faktor subjektif yang meringankan terdakwa; (c) Terdakwa tidak melakukan
ancaman maupun menyebabkan penderitaan atau kerugian yang serius terhadap
korban; (d) Ada bukti bahwa terdakwa melakukan tindak pidana karena provokasi
dari pihak korban; (e) Terdakwa bersedia memberikan ganti kerugian atas
kerugian material maupun nonmaterial yang diderita korban; (f) Tidak terdapat
cukup alasan yang menunjukkan, bahwa terdakwa akan melakukan tindak pidana
lagi, atau tidak terdapat cukup indikasi bahwa sifat-sifat jahat terdakwa akan
muncul lagi.7
Penggantian pidana penjara dalam konteks ini adalah mencari alternatif
pengganti pidana penjara jangka pendek dengan pidana jenis lain. Setiap negara perlu
7Eddy Junaedi Karnasudirdja, 1983, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan
Narapidana, Tanpa Penerbit, h. 92.
7
mencari alternatif pengganti pidana penjara dengan pidana yang lebih bermanfaat
sesuai dengan kondisi suatu negara dan lebih banyak melibatkan masyarakat luas,
dalam rangka melakukan rehabilitasi bagi pelanggar atau pelaku suatu tindak pidana.
Negara Amerika merupakan salah satu negara yang berhasil melaksanakan
alternatif pemidanaan dalam wujud pidana pengawasan, dimana pelaksanaan pidana
pengawasan di Amerika Serikat ternyata menunjukkan hasil yang cukup memuaskan,
meskipun efektifitasnya masih belum terukur secara pasti.8 Pidana pengawasan bukan
merupakan jenis pidana pokok baru dalam hukum pidana Indonesia, tetapi merupakan
jenis pidana pokok baru dalam RUU KUHP. Selain didalam RUU KUHP, Pidana
pengawasan dikenal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Berdasarkan penjelasan Pasal 77 RUU KUHP, pidana pengawasan bersifat
noncustodial, probation, atau pidana penjara bersyarat sebagaimana dimaksud dalam
KUHP. Dapat diketahui disini bahwa istilah pidana pengawasan memiliki pengertian
yang sama dengan pidana bersyarat. Pengertian pidana bersyarat (suspended
sentence) adalah sebagai berikut.
Pidana bersyarat adalah suatu jenis pidana, dalam hal ini si terpidana tidak
perlu menjalani pidana tersebut, kecuali jika selama masa percobaan tersebut
terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah
ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang menangani
perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syarat-
8Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja
Sosial Dan Pidana Pengawasan Bagi Pelaku Cyber Crime, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, h. 203.
8
syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar supaya pidana dijalani
bilamana terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat ini
merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana.9
Pasal 14 a KUHP secara garis besar menyebutkan, bahwa terhadap terpidana
yang akan dijatuhi pidana penjara kurang dari 1 (satu) tahun atau pidana penjara
jangka pendek, kurungan bukan pengganti denda dan denda yang tidak dapat dibayar
oleh terpidana dapat diganti dengan pidana bersyarat. Dengan demikian terhadap
pelaku tindak pidana telah ada penjatuhan pidana secara pasti, yang pelaksanaannya
ditunda dengan bersyarat, sehingga telah terjadi proses stigmatisasi terhadap pelaku
tindak pidana melalui keputusan hakim yang disampaikan dalam sidang yang terbuka
untuk umum.
Negara Indonesia yang didalam RUU KUHPnya mengadopsi pidana
pengawasan, tidak terlepas dari rasa ketidakpuasaan masyarakat khususnya pakar-
pakar hukum pidana terhadap pidana perampasan kemerdekaan yang telah terbukti
sangat merugikan baik individu yang dikenai pidana maupun masyarakat pada
umumnya. Diadopsinya pidana pengawasan ini merupakan upaya untuk menjadikan
hukum pidana di Indonesia lebih manusiawi dan tidak saja berorientasi pada
perbuatan saja tetapi juga berorientasi pada pelaku sekaligus.
Pidana pengawasan sebagai upaya alternatif pidana perampasan kemerdekaan,
diharapkan dapat menekan biaya ekonomi pelaksanaan pidana dan dapat
9Muladi, 1992, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang,
(selanjutnya disebut Muladi I), h. 242.
9
menghindarkan terpidana dari dampak negatif seperti kelakuan yang semakin buruk
setelah menyelesaikan masa hukuman, adanya pemikiran negatif masyarakat yang
menganggap terpidana adalah orang jahat sehingga terpidana tidak dapat
bersosialisasi dengan baik didalam masyarakat dan tidak menutup kemungkinan
terpidana tersebut untuk kembali melakukan kejahatan. Keberadaan pidana
pengawasan bagi terpidana diharapkan juga mampu membuat terpidana tersebut
hidup secara normal di dalam masyarakat.
Pidana pengawasan atau pidana bersyarat sebagai alternatif pidana
perampasan kemerdekaan dalam KUHP yang berlaku sekarang dirasa masih kurang
mampu memberikan perlindungan terhadap individu atau pelaku tindak pidana.
Selain itu, dalam KUHP yang berlaku sekarang, pidana bersyarat bukan merupakan
suatu pidana pokok dan hanya merupakan cara penerapan pidana, sehingga hal ini
tidak memberikan dasar yang kuat bagi hakim dalam penerapannya. Pengaturan
pidana pengawasan atau pidana bersyarat ini dalam KUHP belum dapat digunakan
secara lebih efektif sebagai sarana alternatif penerapan pidana penjara, khususnya
pidana penjara jangka pendek.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas serta alasan-alasan yang ada, maka
penulisan skripsi ini mengambil judul “PROSPEK PIDANA PENGAWASAN
SEBAGAI ALTERNATIF ANCAMAN PIDANA DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA”.
10
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaturan pidana pengawasan di dalam hukum positif dan
Rancangan KUHP di Indonesia?
2. Bagaimanakah prospek pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman
pidana dalam pembaharuan hukum pidana?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah, perlu ditentukan secara tegas
batasan materi yang dibahas dalam tulisan yang dimaksud sehingga pembahasan yang
diuraikan nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang
diinginkan, hal ini diperlukan untuk menghindari pembahasan menyimpang dari
pokok permasalahan, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :
1. Yang pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan pidana
pengawasan di dalam hukum positif dan Rancangan KUHP di Indonesia.
2. Yang kedua akan membahas tentang prospek pidana pengawasan sebagai
alternatif ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian ini, penulis kali ini
menampilkan satu skripsi yang penelitiannya hampir mirip dengan penelitian penulis.
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat di dalam dunia pendidikan di
Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukkan orisinalitas dan
penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan judul penelitian skripsi yang
11
terdahulu sebagai pembanding. Seperti judul Pidana Pengawasan dalam Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, dengan penulis Bagus Surya Darma asal
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Tahun 2015 dengan permasalahan sebagai
berikut, Apakah pidana pengawasan relevan dengan tujuan pemidanaan dalam
pembaharuan hukum pidana? dan, Bagaimana sebaiknya pidana pengawasan di
formulasikan sebagai salah satu jenis pidana dalam pembaharuan KUHP dimasa
mendatang?.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan
penulis terjamin orisinalitasnya, dikarenakan aspek penelitian penulis bertitik pada
pengaturan pidana pengawasan dalam hukum positif dan Rancangan KUHP di
Indonesia dan Prospek ke depannya terhadap Pidana Pengawasan sebagai alternatif
ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana.
1.5. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi
keilmuan secara ilmiah terkait pengembangan hukum pidana dan juga
terkait dengan prospek pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman
pidana dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
b. Tujuan Khusus
Terdapat beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai dengan dilakukannya
penelitian hukum ini, yaitu:
12
1. Untuk mendeskripsi dan menganalisis tentang pengaturan pidana
pengawasan didalam hukum positif dan Rancangan KUHP di
Indonesia
2. Untuk mendeskripsi dan menganalisis tentang prospek pidana
pengawasan sebagai alternatif ancaman pidana dalam
pembaharuan hukum pidana.
1.6. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum
pidana, khususnya pemahaman teoritis mengenai pengaturan pidana
pengawasan didalam hukum positif dan Rancangan KUHP di Indonesia,
termasuk di dalamnya mengenai prospek pidana pengawasan sebagai
alternatif ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan
kontribusi dan solusi kongkrit bagi para lembaga penegak hukum seperti:
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai bagian dari sistem peradilan
pidana (criminal justice system) yang terpadu di Indonesia dalam hal
penjatuhan pidana pengawasan, apabila jenis pidana ini telah berlaku di
Indonesia. Selain itu penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan
13
pertimbangan bagi para pembentuk undang-undang terkait dengan upaya
mencari jenis pidana baru di Indonesia, dimana pembaharuan hukum
pidana yang dilakukan dapat mengakomodir pengaturan yang jelas tentang
pidana pengawasan sebagai suatu jenis pidana yang memiliki prospek
yang baik ke depannya untuk diterapkan di Indonesia.
1.7. Landasan Teoritis
1.7.1. Teori Pemidanaan
Pemidanaan merupakan penjatuhan atau pengenaan penderitaan pada
seseorang yang melanggar hukum oleh petugas yang berwenang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Terdapat tiga teori pemidanaan yaitu sebagai berikut:
a. Teori Pembalasan/Teori Absolute (vergerldingstheorien)
Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk
yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang
mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada,
karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat
penjatuhan pidana.10
Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif
dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap
10
Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,
(selanjutnya disebut Andi Hamzah I), h. 26.
14
kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang
telah diciptakan pelaku di dunia luar.11
Menurut J.E. Sahetapy, apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan
semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti
tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu
ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia
menaruh rasa dendam.12
b. Teori Tujuan/Teori Relatif (doeltheorien)
Teori pembalasan kurang memuaskan, kemudian timbullah teori
tujuan. Teori ini memberikan dasar pemikirannya bahwa dasar hukuman dari
pidana adalah terletak dari tujuannya sendiri. Teori ini terbagi menjadi dua
bagian, pertama teori pencegahan umum (algemene preventive atau general
preventive).13
Teori ini ingin mencapai tujuan dari pidana, yaitu semata-mata
dengan membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan
kejahatan-kejahatan. Sementara teori tujuan khusus (bijondere preventie atau
speciale preventie) mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah penjahat
dalam mengulangi lagi kejahatannya, dengan memperbaikinya lagi.
11
Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rinneka Cipta, Jakarta, (selanjutnya disebut
Andi Hamzah II), h. 31. 12
J.E. Sahetapy, 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni,
Bandung, h. 149. 13
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, h. 16.
15
c. Teori Gabungan
Selain teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian
muncul teori ketiga yaitu teori gabungan. Teori ini menggabungkan antara
teori absolut dan teori relatif.
Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan
teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua
teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu:14
1) Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena
dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti
yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang
melaksanakan.
2) Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena
pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat; kepuasan
masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat;
dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.15
Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu:
1) Memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan berarti
menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan
yang sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti di pemidanaan
14
Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan
Hukum Pidana, cetakan I, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 11-12. 15
Ibid.
16
berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi
penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat;
2) Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan mengganggap
pemidanaan untuk jalan mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si
terpidana. Ciri khas dari pandangan tersebut adalah pemidanaan
merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana
agar kembali berintegrasi dalam masyarakat secara wajar; Pemidanaan
sebagai wahana pendidikan moral, atau merupakan proses reformasi.
Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk
menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya.16
1.7.2. Pendekatan Pembaharuan Hukum Pidana (Penal Reform)
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari
kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan
hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya
pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya pembaharuan hukum
pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi
hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis,
dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,
kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Menurut Barda
16
Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System
Implementasinya, Raja Grafindo Persasda, Jakarta, h. 45.
17
Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana adalah sebagai
berikut :
a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan
- Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-
masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan
sebagainya).
- Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
- Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan
penegakan hukum.
b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan kembali (reorientasi dam re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik,
sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap
muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah
pembaharuan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum
pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP) sama saja dengan orientasi nilai
dari hukum pidana lama warisan pejajah (WvS).17
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini termasuk dalam
kategori/jenis penelitian hukum normatif.18
Dipilihnya jenis penelitian
17Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III) h.
26. 18
Soerjono Soekanto, 1985, Penulisan Hukum Normaif Suatu Tinjauan Singkat, CV.
Rajawali, Jakarta, h. 15.
18
normatif karena penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang
ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori-teori
hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam praktek hukum.19
Penelitian hukum normatif merupakan
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.
Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari adanya
kekaburan norma hukum yang berkaitan dalam permasalahan penelitian,
sehingga didalam mengkajinya lebih mengutamakan sumber data sekunder,
yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Dimana belum
terdapat pengaturan secara jelas atau norma kabur mengenai pengaturan
pidana pengawasan di Indonesia. Selain itu pengaturan pidana pengawasan
belum dapat digunakan secara lebih efektif sebagai sarana alternatif penerapan
pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek.
1.8.2. Jenis Pendekatan
Penulisan ini mengunakan jenis pendekatan perundang-undangan
(The Statue Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The
Conseptual Approach) dan pendekatan perbandingan (Comparative
Approach).
19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penulisan Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Grafindo Persada, Jakarta, h.13.
19
Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti
adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
dalam penulisan ini.20
Pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach)
digunakan untuk mengkaji beberapa aturan hukum yang ada dalam mengetahui
tentang pengaturan hukum tentang pidana pengawasan di Indonesia.
Pendekatan analisa konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach)
merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami konsep-konsep
aturan yang jelas tentang pidana pengawasan, Pendekatan perbandingan
(Comparative Approach) dilakukan untuk melihat bagaimana negara lain
mengatur pidana pengawasan.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini berasal dari :
1) Sumber bahan hukum primer
Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang
mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang
berkaitan, yang bersifat mengikat.21
Sumber bahan hukum primer yang
digunakan adalah :
- Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945;
20
Ibrahim Johny, 2006, Teori Metodologi & Penulisan Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 302.
21Soerjono Soekanto dan Sri Mahmmudji, Op.cit, h. 34.
20
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 153);
- Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Nasional Tahun 2015.
2) Sumber bahan hukum sekunder
Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi
buku-buku, literatur, makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum
tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.22
Dipergunakan juga bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui
internet dengan cara mengcopy atau mendownload bahan hukum.
3) Sumber bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum.23
22Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, h. 141.
23Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, h. 119.
21
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang
diperlukan dalam penulisan ini yakni teknik kepustakaan (study document).24
Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara
mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara berurut dan sistematis
sesuai dengan permasalahan.
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik
deskriptif analisis dengan menggunakan metode sistematis, metode interprestatif
dan metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah penjabaran data yang
diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan.
Metode sistematis adalah segala usaha menguraikan dan merumuskan
sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem
yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan
rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya.25
Obyek yang dimaksud dalam
skripsi ini yakni tentang pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman pidana
dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
24H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.107.
25Amiruddim dan H. Zainal Asikin, Op.cit., h. 128.
22
Metode interpretatif adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-
undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau
dengan keseluruhan sistem hukum.26
Karena suatu undang-undang pada
hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang
berlaku sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri
tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Metode argumentatif adalah alasan berupa penjelasan yang diuraikan
secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau
menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum,
norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan
hukum, yang berkaitan dengan pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman
pidana dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
26
H. Zainuddin Ali, Op.cit., h.111.