1 cita-cita tinggi ulama salaf dalam menuntut ilmu dan beribadah

Download 1 Cita-Cita Tinggi Ulama Salaf Dalam Menuntut Ilmu Dan Beribadah

If you can't read please download the document

Upload: ganasa

Post on 10-Aug-2015

82 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

1.

BIDANG-BIDANG CITA-CITA TINGGIPASAL PERTAMA:

CITA-CITA TINGGI PARA SALAFUS SHALIH DALAM MENUNTUT ILMUIlmu adalah sesuatu paling mulia yang disenangi oleh orang yang berminat; sesuatu paling utama yang dicari orang dengan bersungguh-sungguh; dan sesuatu paling berguna yang didapat oleh orang yang mau mengusahakannya.

Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu pernah berkata kepada Kumail, "Cam kan apa yang aku katakan kepadam u. Manusia itu ada tiga m acam . Pertam a, orang berilm u yang rabbani. Kedua, orang berilm u yang m asih tetap belajar di atas jalan keselam atan. Dan ketiga, orang jem bel yang suka ikut-ikutan. Ia selalu m engikuti ke m ana arah angin. Ia tidak m au berpe an pada cahaya ilm u, dan tidak berlindung pada pilar yang dom kokoh. Sesung guhnya ilm u itu lebih baik daripada harta. Ilm u akan m enjaga Anda, sedangkan harta, Andalah yang harus m enjaganya. Ilm u dapat m engem bangkan am al,sedangkan harta itu berkurang karena dibelanjakan. Karya ilm u akan dikenang walaupun yang bersangkutan telah m eninggal dunia, sedangkan karya harta akan hilang bersam a m eninggalnya orang yang bersangkutan. Para penyim pan harta itu telah m ati kendatipun sebenarnya m ereka m asih hidup, sedangkan para ulam a akan terus abadi sepanjang zam an. M eskipun jasad m ereka telah tiada, nam un keteladanan-keteladanan m ereka tetap bersem ayam dalam hati." Pembicaraan tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan yang didapat oleh orang yang mencarinya dengan sungguh-sungguh adalah pembicaraan yang sudah sangat jelas dan tidak kedengaran asing di telinga. Maksud kami bukan itu. Kami ingin menyoroti ilmu sebagai potensi yang mengandung kekuatan amaliyah dan sekaligus sebagai sarana yang mampu mengantarkan para ulama kita ke derajat yang tinggi, terutama di mata Allah. Mereka adalah para pelayan agama dan penyebar ilmu. Imam Abul Faraj Al-Jauzi Rahimahullah mengatakan, "Heran aku memikirkan. Untuk mendapatkan segala sesuatu yang mahal dan sangat penting, jalannya berliku-liku dan membutuhkan banyak jerih payah. Begitu pula dengan ilmu. Untuk mendapatkan sesuatu yang paling mulia ini, orang harus mau bersusah payah, begadang, dan meninggalkan berbagai kesenangan nafsu. Ada seorang ulama ahli fiqih yang mengatakan, 'Selama beberapa tahun aku ingin sekali memakan bubur harisah, tetapi belum juga kesampaian sebab makanan itu dijual bersamaan dengan waktu aku harus mendengarkan pelajaran'." Oleh karena itulah, Ibnul Qayyim Rahim ahullah mengatakan, "Kebabahagiaan ilmu hanya bisa kamu dapatkan jika kamu mau mengorbankan waktu luang, benarbenar berusaha mencari, dan disertai dengan niat yang benar." Indah sekali apa yang dikatakan oleh seorang penyair: Katakan kepada orang yang ingin menggapai hal-hal yang luhur tanpa bersusah payah, "Kamu mengharapkan sesuatu yang mustahil" Seseorang yang bercita-cita ingin meraih hal-hal yang mulia, ia wajib menempuh dengan tekun dan mencintai jalan-jalan agama yang menjanjikan kebahagiaan, meskipun pada awalnya sulit untuk menghindari dari berbagai macam penderitaan dan hal-hal yang tidak menyenangkan. Akan tetapi, jika ia sanggup mengendalikan nafsunya sehingga tunduk dan bersabar menghadapi segala kesulitan untuk menuju ke sebuah tempat yang mulia, ia akan mendapati segala kenikmatan. Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair: Aku melihat diriku dibawa oleh kesenangan ke batas yang sangat jauh Ketika telah sampai dan aku perhatikan keindahannya, aku yakin bahwa aku hanya sedang bermain-main Untuk mencapai kemuliaan memang harus mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, dan untuk memperoleh kebahagiaan itu memang harus melewati

1

jembatan kesusahan. Dan perjalanannya hanya bisa ditempuh dengan bahtera kesungguhan serta perjuangan. Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim berkata, "Yahya bin Abu Katsir mengatakan, 'Ilmu itu tidak bisa didapat dengan memanjakan tubuh'." Orang bijak mengatakan, "Siapa mencari kesenangan, dia harus meninggalkan kesenangan." Seandainya semua orang tahu betapa manis kenikmatan ilmu dan betapa besar nilainya, tentu mereka akan berjuang mendapatkannya meskipun harus saling pukul memukul dengan menggunakan pedang. Akan tetapi, manisnya ilmu itu dikelilingi oleh dinding-dinding yang tidak menyenangkan. Dan mereka disekat dengan sekat-sekat kebodohan sehingga secara khusus Allah hanya memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya. Allah adalah pemilik karunia yang agung. Imam Asy-Syafi'i Rahim ahullah mengatakan, "Seorang penuntut ilmu yang ingin memperbanyak ilmunya, ia wajib mengerahkan segenap jerih payahnya, sabar menghadapi segala kesulitan yang menghadang, ikhlas niat karena Allah dalam mencari ilmu-Nya, dan selalu memohon pertolongan Allah." Seorang penyair mengatakan: Jangan kamu kira kemuliaan itu seperti korma yang siap kamu makan karena kamu tidak akan mendapatkannya tanpa melewati kesabaran Untuk mendapatkan ilmu, para ulama harus menghadapi berbagai macam kesulitan dan penderitaan. Imam Ibnu Hisyam, seorang ulama ahli ilmu nahwu yang cukup terkenal, penulis kitab Al-Qathar, Al-M ughni, kitab-kitab lainnya, berpesan dan kepada para penuntut ilmu supaya sabar menghadapi berbagai kesulitan untuk mendapatkan ilmu karena sabar adalah syarat memperoleh sesuatu yang mulia dan mahal nilainya. Ia mengatakan: Siapa yang bersabar untuk ilmu, ia akan memperolehnya Siapa ingin meminang gadis cantik, ia harus sabar untuk berkorban Siapa mencari keluhuran namun tidak mau sabar mengatasi nafsu sebentar saja, selamanya ia akan hidup terhina Seorang musafir yang ingin menempuh perjalanan dan sampai ke tempat tujuan, ia harus memiliki kesungguhan serta semangat yang kuat, termasuk berjalan pada malam hari. Jika ia menyimpang dari jalan yang sedang ditempuhnya atau tidur semalam suntuk, kapan ia sampai ke tempat tujuann y a ? Siapa ingin dapat harus giat dan malas adalah kegagalan Siapa bersusah payah ia akan segera mendapat puncak harapan Oleh karena itu, Anda harus bersungguh-sungguh, wahai orang yang sedang menuntut ilmu. Niscaya Anda akan berhasil karena masalahnya adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Al-Junaid, "Siapapun yang mencari sesuatu dengan sungguhsungguh dan benar, niscaya ia akan mendapatkannya. Seandainya ia tidak mendapatkan seluruhnya, paling tidak ia akan mendapatkan sebagiannya." Berikut adalah tanda-tanda sifat orang yang bercita-cita tinggi dalam menuntut ilmu: Tidak membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Memiliki minat yang besar. Antusias terhadap semua peluang yang dapat menghasilkan ilmu. Rajin mencari tanpa kenal lelah dan tidak merasa bosan atas

2

lamanya jarak perjalanan yang harus ditempuh. Menjaga lidah agar jangan sampai mudah mengucapkan sesuatu yang sia-sia dan mengandung kebodohan. Dikarenakan sedang menekuni kebenaran, maka harus berpaling dari kebatilan. Apa yang telah dicontohkan oleh para Salafus-Shalih dalam menuntut ilmu, menyebarkannya, dan menyusunnya, sungguh mengagumkan. Demi semua itu mereka rela menghabiskan waktu dan melewatkan masa muda mereka. Akibatnya, mereka berhasil meraih prestasi dan reputasi yang mencengangkan. Cobalah perhatikan perilaku-perilaku mereka, ikuti petunjuk mereka, dan turuti jejak langkah mereka. Seorang penyair mengatakan: Ceritakan padaku tentang mereka, wahai Sa'ad Biar aku semakin mencintai mereka Berceritalah terus padaku, wahai Sa'ad Seorang penyair lain mengatakan: Ulangi terus cerita tentang mereka, wahai Hadi Kerena cerita tentang mereka amat menyejukkan hatiku yang dahaga ****** (1) CITA-CITA TINGGI SALAFUS SHALIH DALAM MENUNTUT ILMU YANG MULIA Ilmu adalah karya dan aktivitas hati. Jika Anda tidak mau meluangkan waktu untuk ilmu, tentu Anda tidak akan mendapatkannya. Dan jika Anda arahkan diri Anda pada kesenangan-kesenangan nafsu, Anda akan jauh dari ilmu. Orang yang lebih mengutamakan kesenangan nafsunya daripada kenikmatannya mendapatkan ilmu, selamanya ia tidak akan mendapatkan derajat ilmu. Akan tetapi, jika ia bisa membayangkan nikmatnya mendapatkan ilmu, ia masih punya harapan untuk menjadi anggota keluarga besar orang-orang yang berilmu. Itulah sebabnya kenapa para ulama kita dahulu begitu antusias dalam menuntut dan menghimpun ilmu. Antusiasme mereka sungguh tidak ada bandingannya. Berikut ini adalah beberapa contohnya: Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, "Pada suatu hari aku sedang bersama seorang tetanggaku bernama Aus bin Khawali Al-Anshari dari Bani Umayyah bin Zaid. Kami bergantian menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi w a Sallam . Ia menemui beliau pada suatu hari, dan pada hari berikutnya giliran aku yang menemui beliau. Begitu seterusnya. Selesai bertemu beliau, aku datang menemuinya dengan membawa berita hari itu tentang wahyu dan yang lainnya. Demikian pula yang ia lakukan padaku." Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhumberkata, "Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi w a a Sallam telah wafat, pada suatu hari aku berkata kepada seorang shahabat Anshar, 'Mari kita menemui shahabat-shahabat Rasulullah. Sesungguhnya pada hari ini mereka cukup banyak.' Ia berkata, 'Aku heran pada Anda, wahai Ibnu Abbas! Anda lihat sendiri orang-orang sedang membutuhkan Anda dan di antara mereka terdapat shahabat-shahabat Rasulullah. Jadi siapa di antara mereka yang akan Anda temui?' Aku tidak menghiraukan hal itu. Aku lalu berangkat untuk bertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi w a Sallam . Setiap kali aku mendengar orang yang punya hadits, langsung aku datangi rumahnya. Jika ia sedang tidur siang, aku rela menunggu di depan pintunya, duduk berbantalkan sorbanku. Aku tidak peduli dengan tiupan angin yang menaburkan debu pada wajahku. Begitu ia keluar dan melihat aku, ia berkata, 'Wahai sepupu Rasulullah

3

Shallallahu Alaihi w a Sallam , mengapa Anda datang? Kenapa Anda tidak suruh orang lain mengundangku saja? Pasti aku akan datang ke Anda.' Aku berkata, 'Tidak. Akulah pada yang harus datang kepada Anda.' Aku kemudian bertanya kepadanya tentang hadits. Orang Anshar itu diam-diam mengikuti aku. Melihat aku sedang dikerumuni oleh banyak orang yang ingin bertanya kepadaku ia berkata, 'Benar. Anak muda itu lebih pintar dari pada aku'." Ketika beberapa negara telah berhasil ditaklukkan oleh kaum Muslimin, Ibnu Abbas lebih memilih kehausan oleh udara yang panas karena harus menelusuri jalan-jalan kota Madinah demi mencari ilmu, daripada bernaung di bawah pohon taman-taman di Syiria, atau di tepi-tepi Sungai Nil, Sungai Tigris, dan Sungai Efrat. Ibnu Abbas bercerita, "Ketika beberapa kota berhasil ditaklukkan oleh pasukan Islam, orang-orang sama mencari harta dunia, sedangkan aku memilih menemui Umar Radhiyallahu Anhu." Setiap anak manusia itu punya keinginan Dan keinginanku ialah sehat dan punya waktu luang guna mendapatkan ilmu syari'at sebagai bekal ke surga Untuk hal seperti itulah seharusnya orang-orang yang berakal saling berlomba Bagiku, dunia adalah bekal yang menipu dan kebahagiaan sejati itu ada di surga yang abadi tempat segala kenikmatan tak terbatas Ibnu AbbasRadhiyallahu Anhu bercerita tentang kegigihannya dalam menuntut ilmu. Ia mengatakan, "Aku biasa datang ke rumah Ubai bin Ka'ab. Ketika ia sedang tidur, aku rela menunggunya sambil tidur di depan pintunya. Melihat kedudukanku sebagai kerabat dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi w a Sallam , yakin ia tidak akan marah jika aku dibangunkan karena keda tanganku. Akan tetapi, aku tidak mau membuatnya bosan." Ibnu AbbasRadhiyallahu Anhu juga pernah mengatakan, ''Aku sangat dekat dengan beberapa shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senior, baik dari golongan yang Muhajirin maupun golongan Anshar. Aku sering bertanya kepada mereka tentang peperangan-peperangan yang diikuti oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi w a Sallam , juga dan tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan hal itu. Aku berusaha menemui siapapun dengan cara menyamar. Hal itu demi menjaga perasaannya, mengingat aku adalah termasuk kerabat dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi w a Sallam . suatu hari aku Pada bertanya kepada Ubai bin Ka'ab, seorang yang mempunyai ilmu cukup mendalam tentang surat-surat Al-Qur'an yang diturunkan di Madinah. Dan ia menjawab, 'Yang diturunkan di Madinah ada dua puluh tujuh surat, dan sisanya diturunkan di Makkah'." Asy-Syafi'i Rahim ahullah mengatakan "Aku hapal Al-Qur'an dalam usia tujuh , tahun dan aku hapal kitab Al-M uw atha' ketika berusia sepuluh tahun." Asy-Syafi'i Rahim ahullah mengatakan, "Setelah mengkhatamkan Al-Qur'an, aku masuk masjid dan bertemu dengan beberapa orang ulama. Begitu mendengar hadits atau masalah yang lain, aku langsung hapal. Ibuku tidak punya uang yang bisa ia berikan padaku untuk membeli kertas. Maka begitu melihat tulang yang bisa digunakan untuk menulis, aku ambil dan aku gunakan untuk menulis. Dan jika sudah penuh aku simpan tulang itu ke dalam guci kuno milik keluargaku." Asy-Syafi'i Rahim ahullah juga mengatakan, "Aku tidak punya uang ketika aku sedang menuntut ilmu pada usia yang masih sangat muda, yaitu kurang dari tiga belas tahun. Aku biasa pergi ke kantor pemerintahan untuk minta kertas-kertas bekas yang masih bisa aku gunakan untuk menulis pelajaran." Ibnu Abu Hatim berkata, "Aku pernah mendengar Al-Muzani mengatakan, 'AsySyafi'i ditanya, 'Bagaimana kesenangan Anda terhadap ilmu?' Ia menjawab, 'Setiap kali mendengar satu kalimat yang belum pernah aku dengar, seluruh anggota tubuhku merasakan nikmat. Seolah-olah semua bisa mendengar seperti sepasang telinga.' Asy-Syafi'i ditanya, 'Bagaimana kelobaan Anda terhadap ilmu?' Ia menjawab, 'Seperti seorang materialis yang serakah ketika melihat peluang

4

mendapatkan harta yang banyak.' Asy-Syafi'i juga ditanya, 'Bagaimana keadaan Anda dalam mencari ilmu?' Ia menjawab, 'Seperti seorang ibu yang mencari putra satu-satunya yang hilang'." Muhammad bin Salam adalah guru Imam Al-Bukhari. Pada suatu hari ketika AlBukhari sedang tekun menulis hadits yang didiktekan oleh sang guru, tiba-tiba pena yang ia gunakan patah. Ketika sang guru berseru agar mengganti pena. Maka beterbanganlah beberapa pena ke arah Al-Bukhari. Imam Ahmad bin Hanbal Rahim ahullah mengatakan, "Orang pertama yang mendiktekan hadits kepadaku adalah Abu Yusuf." Selanjutnya, Imam Ahmad bin Hanbal menerima hadits di Baghdad mulai tahun 179 Hijriyah sampai tahun 186 Hijriyah. Ia pernah sangat dekat dengan Husyaim bin Basyir bin Abu Hazim AlWasithi, seorang ulama ahli hadits dan atsar di Baghdad, selama empat tahun. Ia juga biasa mendengar hadits dari Abdurrahman bin Mahdi dan Abu Bakar bin Iyasy. Ia adalah orang yang terkenal sangat gigih, tekun, dan rajin dalam mencari ilmu. Menceritakan tentang dirinya ia berkata, "Terkadang pagi-pagi sekali aku sudah ingin mendengarkan hadits. Ibuku mencegah dengan memegangi pakaianku." Ia juga mengatakan, "Begitu punya uang sebanyak lima puluh dirham, aku langsung pergi menemui Jarir bin Abdul Humaid." Sufyan Ats-Tsauri Rahim ahullah mengatakan, 'Jika aku hendak menuntut ilmu, aku katakan, 'Ya Tuhanku, aku harus punya penghidupan.' Dan setiap kali melihat ilmu yang harus dipelajari, aku katakan, 'Ya Tuhanku, berikanlah keleluasaan padaku untuk mendapatkannya. Dan tolong berikan aku bekal yang cukup'." Begitu besar tekad Sufyan Ats-Tsauri dalam menuntut ilmu sehingga mendorong ibunya bersedia membiayainya. Dengan tulus sang ibu berkata, "Wahai putraku, carilah ilmu. Biarkan aku yang akan mencukupimu dengan uang hasil tenunanku." Selain belajar ilmu dari beberapa orang guru, ia juga belajar kepada siapa saja yang punya ilmu. Begitu tinggi perhatian dan semangat Sufyan Ats-Tsauri dalam menuntut ilmu. Diceritakan oleh Abu Nu'aim, "Setiap kali bertemu dengan seorang guru, ia akan bertanya, 'Apakah Anda mendengar suatu ilmu?' Jika jawabannya 'Tidak,' ia berkata, 'Semoga Allah membalas jasa baik Anda kepada Islam'." Di antara bukti betapa besar perhatian Sufyan Ats-Tsauri terhadap ilmu ialah pernyataannya, "Orang yang merasa tidak suka anaknya mencari hadits, ia layak untuk dimintai tanggung jawabnya di akhirat nanti." Ternyata perhatian Sufyan Ats-Tsauri terhadap ilmu tidak hanya sekedar mencarinya saja, melainkan juga mengamalkannya. Ia bersemangat sekali menyebarluaskan ilmu dan menyerukannya kepada masyarakat. Diceritakan oleh Abu Nu'aim, "Sesungguhnya Sufyan Ats-Tsauri pernah mengatakan, 'Selain amal-amal fardhu, amal yang paling utama ialah menuntut ilmu.' Dan ia juga pernah mengatakan 'Aku akan terus mempelajari ilmu selama aku , masih mendapati orang yang mau mengajarkannya kepadaku' ." Tsa'labah mengatakan, "Selama kira-kira lima puluh tahun, satu kalipun aku tidak pernah melihat Ibrahim Al-Harbi absen dalam majelis bahasa." Al-Hafizh Adz-Dzahabi menuturkan tentang biografi Abu Hatim Ar alias -Razi Muhammad bin Idris yang wafat tahun 277 Hijriyah, "Sesung guhnya Abu Hatim pernah berkata kepadaku, 'Aku tidak pernah melihat orang yang begitu antusias dalam mencari hadits melebihi Anda.' Aku katakan, 'Putraku Abdurrahman lebih antusias lagi.' Mendengar jawabanku itu, ia berkata, 'Siapa yang menyerupai ayahnya, ia tidak berbuat aniaya'." Ar-Rammam alias Ahmad bin Ali, salah seorang tokoh sanad hadits, berkata, ''Aku bertanyakepada Abdurrahman tentang prestasinya yang luar biasa itu. Dan ia menjawab, 'Terkadang sambil makan pun ayahku memba hadits padaku. Sambil berjalan pun cakan ayahku membacakan hadits padaku. Ketika sedang berada di dalam jamban pun ayahku sempat membacakan hadits padaku. Bahkan, ketika masuk rumah untuk mencari sesuatu

5

pun ayah masih sempat membacakan hadits padaku'." ku Tidak heran jika semangat menuntut ilmu yang sangat langka tersebut membuahkan hasil karya yang sangat besar. Di antaranya ialah: 1)Kitab A l-Ja rh u A l-T a 'd il wa sebanyak sembilan jilid, kitab yang sangat bagus, yang sarat dengan ilmu. 2)Kitab A l-T a fsir sebanyak beberapa jilid. 3)Dan kitabA l-M u sn a d sebanyak seribu juz. Adz-DzahabiR a h im a h u llaberkata, "Ali bin Ahmad Al-Khawarzami berkata, 'Ibnu Abu h Hatim berkata, 'Aku tinggal di Mesir selama tujuh bulan. Kami tidak pernah makan kuah. Siang hari aku gunakan buat berkeliling ke para guru. Sementara malam harinya aku gunakan buat menulis naskah dan mencari perbandingan. Pernah pada suatu hari aku dan temanku mendatangi seorang guru. Lalu orang-orang berkata, 'Ia sakit.' Ketika pulang kami melihat seekor ikan besar. Kami lalu membelinya untuk dimasak. Akan tetapi, sesampai di rumah tiba waktunya kami harus belajar kepada seorang guru. Selama tiga hari kami biarkan ikan tersebut sehingga hampir membusuk. Akan tetapi, kami tetap memasak dan memakannya juga, meskipun rasanya sangat tidak nikmat. Kemudian, temanku itu berkata, 'Ilmu itu tidak bisa didapat dengan memanjakan jasmani'." Seandainya tidak ada tiga hal, cintaku padanya tidak terbendung lagi, yaitu mencari riwayat hadits, menulisnya, dan mendalaminya Bagiku, ketiganya merupakan cinta yang menjanjikan petunjuk Imam Sulaim bin Ayyub Ar-Razi, salah seorang imam besar madzhab Syafi'i yang wafat tahun 447 Hijriyah, merupakan orang yang sangat meng hargai waktu. Ia tidak mau menyia-nyiakannya untuk hal-hal yang tidak faidah. Abul Faraj Ghaits bin Ali At-Tanukhi ber Ash-Shuri mengatakan, "Aku mendapatkan cerita tentang Sulaim bin Ayyub Ar-Razi. Ia adalah orang yang sangat menghargai waktu. Ia tidak mau membiarkan waktu berlalu ba rang sebentar pun tanpa ada gunanya sama sekali; mungkin untuk menulis, untuk belajar, untuk membaca, dan lain sebagainya. Syaikh Abul Faraj Al-Isfirayini, salah seorang muridnya, bercerita kepadaku bahwa pada suatu hari Sulaim bin Ayyub Ar-Razi datang ke rumahnya. Ketika hendak pamit pulang ia berkata, 'Dalam perjalanan ke sini tadi aku berhasil membaca satu juz'." Mu'ammal bin Husain juga bercerita kepadaku bahwa pada suatu hari ia melihat Sulaim sedang memperbaiki penanya yang patah ketika sedang di pakai untuk menulis, sementara sepasang bibirnya nampak bergerak-gerak. Belakangan ketahuan bahwa ketika memperbaiki penanya tadi ia tetap membaca. Rupanya ia tidak mau membiarkan ada waktu kosong yang berlalu begitu saja. Ibnu Nashir Al-Hafizh menyifatkan Abu Thahir As-Salafi dengan mengatakan, "Semangatnya dalam mendapatkan ilmu adalah laksana nyala api." Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Rahim ahullah mengatakan, "Saat-saat paling berat bagiku ialah saat harus makan." Utsman Al-Baqilawi adalah orang yang sangat rajin berdzikir mengingatTa'ala.Ia Allah mengatakan, "Pada waktu berbuka (puasa) rohku seakan- terasa keluar karena aku akan harus makan dan berhenti berdzikir." Ammar bin Raja' mengatakan, ''Aku pernah mendengar Ubaid bin Ya'isy mengatakan, 'Selama tiga puluh tahun pada waktu malam aku tidak sempat makan dengan menggunakan tanganku. Adik perempuankulah yang menyuapi aku, ketika aku sedang asyik menulis hadits'." Daud Ath-Tha'i adalah orang yang suka menelan remukan roti. Ia pernah mengatakan, "Selama menelan remukan roti dan memakan rotinya aku berhasil membaca lima puluh ayat Al-Qur'an." Imam Ibnu Aqil Rahim ahullah mengatakan, "Saat-saat paling menyiksa aku ialah saat-

6

saat ketika aku harus makan. Sampai-sampai aku memilih mema kan sepotong kue saja yang segera aku susuli dengan air supaya tidak banyak menyita waktu karena masih banyak hal-hal bermanfaat yang harus aku kerjakan." Bahkan, ada seorang ulama yang merasa sangat sedih sehingga jatuh sakit gara-gara ia terlambat mendapatkansuatu ilmu. Ketika Syu'bah mendengar orangorang menuturkan sebuah hadits yang belum pernah didengarnya, ia berkata, "Aduh, menyedihkan sekali!" Ia merasa sangat menyesal sehingga jatuh sakit. Pada suatu hari seseorang bertanya kepada Asy-Syu'bi, "Dari mana Anda dapatkan semua ilmu ini?" Syu'bah menjawab, "Dengan cara membuang sikap malas, rajin mencari ke mana-mana, bersabar seperti kesabaran seekor keledai, dan dengan sangat cekatan seperti cekatannya seekor burung gagak." Di antara bukti betapa mereka itu sangat antusias terhadap ilmu dan majelismajelisnya ialah lalu lalangnya mereka dengan tergesa-gesa di jalan-jalan, seperti yang Anda lihat sendiri sehingga mereka itu seperti orang-orang gila. Oleh karena itu, Syu'bah Rahim ahullah pernah mengatakan, "Setiap kali melihat ada orang yang berjalan bolak-balik dengan tergesa-gesa, aku yakin ia adalah orang gila atau orang yang sedang sibuk mencari hadits."1 Abdurrahman bin Taimiyah mengutip cerita ayahnya, "Kakekmu kalau masuk ke dalam jamban, ia berkata kepadaku, 'Bacalah kitab ini dengan suara keras, biar aku bisa mendengarnya dari dalam'." Al-Allamah Abul Ma'ali alias Mahmud Syukri Al-Alusi Al-Baghdadi adalah seorang ulama besar yang terkenal sangat gigih dalam berusaha dan juga sangat menghargai waktu. Ia tidak mau absen memberikan pelajaran hanya gara-gara udara sangat panas atau sangat dingin. Ia tidak segan-segan mengkritik, menegur, memarahi, bahkan berlaku keras kepada murid-muridnya yang terlambat sekolah karena alasan yang dianggapnya sepele seperti itu. Salah seorang muridnya yang bernama Bahjat Al-Atsri menceritakan pengalamannya, ''Aku ingat, pernah pada suatu hari aku tidak masuk sekolah karena terhalang oleh hujan lebat disertai angin kencang yang menyebabkan jalanan menjadi becek. Dan aku yakin bahwa beliau juga absen mengajar. Akan tetapi, pada hari berikutnya beliau mengatakan, "Tidak ada kebaikan sama sekali pada orang yang dikalahkan oleh udara panas atau dingin." Al-Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Rahimahullah, seorang ulama ahli Al-Qur'an, mengatakan, "Pernah aku datang kepada seorang guru untuk belajar. Sebelumnya beliau tidak pernah mengenalku. Beliau bertanya siapa aku dan apa tujuanku. Setelah memperkenalkan identitasku serta asal usulku, dengan tegas aku jawab bahwa aku bermaksud ingin belajar ilmu nahwu kepada beliau." Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Rahimahullah menuntut ilmu semenjak kecil. Ia mempelajari berbagai disiplin ilmu dari beberapa orang guru. Hal itu karena ia terdorong oleh keinginannya yang kuat dan cita-citanya yang tinggi untuk bisa mendapatkan banyak ilmu serta menguasainya dalam waktu yang sesingkat mungkin. Salah satu contoh yang membuktikan betapa ketika masih muda ia sudah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap ilmu ialah pengalamannya ketika sedang dalam perjalanan menunaikan ibadah haji. Ia mengatakan, "Dikarenakan terlalu sibuk mencari ilmu, aku jadi tidak sempat memikirkan keinginan untuk menikah karena menurutku hal itu bisa menggangguku. Aku pernah ditawari oleh seorang temanku untuk menikah dengan seorang wanita yang cukup cantik. Sebenarnya aku merasa tertarik padanya dan mau menikahinya, dengan syarat ia1 Al-Hafizh Abu Ismail Al-Harawi Al-Anshari Rahimahullah m engatakan, "Seorang ahli hadits harus sanggup berjalan dengan cepat, menulis dengan cepat, dan m em baca dengan cepat." Bisa ditam bahkan "Makan dengan cepat." Kata Sahnun, "Ilm u tidak layak dimiliki oleh orang yang m akan sampai kenyang. " As-Suyuthi Rahimahullah m engatakan: Guru kami, Syaikh Al-Kanani, bercerita kepada kami dari ayahnya yang seorang orator, "Orang yang berilmu itu punya tiga ciri khas: Makannya cepat, berjalannya cepat, dan m enulisnya cepat"

7

mau sabar menunggu aku yang sedang menuntut ilmu. Akan tetapi, mungkin karena terlalu lama wanita tersebut menjadi putus asa dan tidak sabar. Akhirnya, ia memilih menikah dengan seorang hartawan. Aku terima kenyataan itu dengan lapang dada. Aku tidak kecewa karena aku memang belum puas menuntut ilmu. Pada suatu hari seorang teman berkata kepadaku, 'Menikahlah sebelum terlanjur tua. Saat ini banyak wanita cantik dari keturunan orang baik-baik yang masih mau menikah denganmu.' Temanku itu bermaksud supaya aku tergesa-gesa menuntut ilmu. Dan sebagai jawabannya, aku menulis bait-bait sya'ir." Orang-orang itu menasihati aku untuk menikah besok pagi Mereka bilang padaku, menikahlah dengan seorang wanita yang genit, menawan kerlingannya, anggun, periang, dan lembut Nanti kamu akan menemukan selaksa nikmat Kerlingannya laksana anak panah yang menembus hati yang luka Bagiku itu biasa Akan tetapi, berapa banyak terjadi anak panah yang telah membunuh seorang pasukan yang lemah dan tak bersenjata seperti diriku ini? Makanya aku katakan kepada mereka, "Biarkan sajalah aku karena saat ini hatiku masih bingung dan menjerit" Aku masih asyik dengan wanita pujaanku yang parasnya berkilau seakan-akan pagi yang cerah Aku melihat ia begitu cantik dengan pakaiannya yang sangat anggun Aku masih enggan berpikir untuk meninggalkannya demi menikahi wanita yang kalian tawarkan kepadaku itu *** (2) CITA-CITA TINGGI MEREKA MEMBACA KITAB-KITAB HADITS DALAM WAKTU YANG SANGAT SINGKAT Disebutkan dalam biografi Al-Fairuz Abadi, penulis Al-Qamus, di Damaskus ia membaca kitab Shahih M uslim hanya dalam waktu tiga hari. Pengalaman itu ia tulis dalam sya'ir: Dengan bersyukur kepada Allah, aku baca Jami' Muslim di Damaskus Di hadapan Nashiruddin Al-Imam bin Juhail, seorang Al-hafizh yang terkemuka dan terkenal Dan berkat taufik Allah, selesai selama tiga hari Al-Hafizh Abul Fadhel Al-Iraqi membaca kitab Shahih M uslim hadapanMuhammad di bin Ismail AI-Khabbaza di Damaskus dalam enam majelis secara berturut-turut. Lebih dari sepertiga bagian kitab tersebut ia baca pada majelis yang terakhir, di hadapan Al-Hafizh Zainuddin bin Rajab. Disebutkan dalam Tarikh Al-D zahabi tentang biografi Ismail bin Ahmad Al-Hairi An-Naisaburi bahwa di Makkah Al-Khathib Al-Baghdadi membaShahih Alcakan Bukhari kepadanya dalam tiga majelis; dua majelis di antaranya diselenggarakan dalam dua malam secara berturut-turut. Ia mulai membacanya selepas shalat maghrib dan selesai menjelang shalat shubuh. Sementara majelis yang ketiga diselenggarakan sejak pagi hari sampai waktu terbit fajar. Komentar Adz-Dzahabi, "Pada zamanku, aku tidak pernah melihat seorang pun yang sanggup melakukan hal tersebut." Al Hafizh As-Sakhawi mengatakan, "Apa yang berhasil dilakukan oleh guru kami AI-Hafizh Ib n uHajar lebih hebat dari apa yang dilakukan oleh gurunya. Betapa tidak. Ia pernah membaca Shahih Al-Bukhari hanya dalam waktu empat puluh jam, Dan dia membaca Shahih M uslim dalam empat majelis, selain majelis takhtimselama dua hari lebih sedikit. Ia juga berhasil membaca Sunan Abi Daud dalam empat majelis, dan membaca Al-Nasa'i Al-Kabir dalam sepuluh majelis, yang setiap majelis berlangsung selama kurang lebih empat jam." Selanjutnya, As-Sakhawi mengatakan, "Hebatnya lagi, dalam lawatannya di Syiria Ibnu Hajar pernah

8

membaca M u'jam Ath - Thabarani Al-Shaghir hanya dalam satu majelis yang berlangsung sangat singkat, yakni selepas shalat zhuhur hingga menjelang shalat ashar. Padahal kitab yang hanya terdiri dari satu jilid tersebut memuat sekitar seribu lima ratus hadits." * * * (3) CITA-CITA TINGGI MEREKA DALAM PERGI MERANTAU MENCARI ILMU Al-Bukhari Rahim ahullah mengatakan, "Jabir bin Abdullah pergi menempuh perjalanan selama satu bulan menemui Abdullah bin Anis hanya demi mendapatkan satu riwayat hadits." Abu Ayyub Al-Anshari meninggalkan Madinah menemui Uqbah bin Nafi' yang tinggal di Mesir, dengan tujuan untuk mendengarkan satu riwayat hadits. Begitu tiba di Mesir, ia langsung turun dari untanya tanpa menambatkannya terlebih dahulu. Dan selesai mendengar satu riwayat hadits dari Uqbah, ia langsung pulang kembali ke Madinah. Imam Malik berkata-seperti yang dikutip oleh Yahya bin Sa'id-, "Sa'id bin AlMusayyab mengatakan, 'Selama beberapa hari dan beberapa malam aku pernah bepergian hanya untuk mencari satu hadits'." Abul Aliyah alias Rufai' bin Mihran Ar-Rayyahi Al-Bashari mengatakan, "Ketika berada di Bashrah, kami mendengar riwayat hadits dari beberapa shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi w a Sallam . tetapi, kami masih harus pergi ke Akan Madinah karena merasa belum puas kalau kami tidak mendengarnya langsung dari mulut-mulut mereka," Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam biografi Imam Al-Bukhari Rahim ahullah mengatakan, "Sedapat mungkin Al-Bukhari berusaha untuk pergi menemui guru-guru haditsnya yang lain, yang tersebar di berbagai negara. Ia menulis hadits lebih dari seribu orang guru." Bahkan, menurut Al-Firabri, ''Ada kurang lebih tujuh puluh ribu orang yang pernah mendengar Shahih Al-Bukhari langsung dari Al-Bukhari, termasuk aku. Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang masih hidup selain aku." Yang cukup mencengangkan tentang cita-cita tinggi dalam mencari dan mendapatkan ilmu ialah apa yang pernah dilakukan oleh Ar-Razi. Ia menceritakan pengalamannya, "Ketika pertama kali pergi merantau mencari ilmu, usiaku baru tujuh tahun. Aku telah berjalan kaki lebih dari seribu farsakh. Dari Bahrain ke Mesir aku tempuh dengan berjalan kaki. Lalu perjalanan aku lanjutkan ke Ramlah, kemudian ke Tharsus juga dengan berjalan kaki. Usiaku waktu itu sekitar dua puluh tahun." Akan aku jelajahi semua negeri untuk mencari ilmu Atau aku akan mati sebagai orang asing Jika diriku harus mati, aku tidak menyesal karena Allah pasti merahmati aku Tetapi jika diriku selamat, aku akan segera kembali Ilmu yang tersebar di Maroko dan Andalusia, jelas tidak terlepas dari jasa tokoh-tokoh ulama yang pergi merantau ke Timur dengan mengalami berbagai macam tantangan dan kesulitan, seperti, Asad bin Al-Farat, Abul Walid Al-Baji, dan Abu Bakar bin Al-Arabi. *** (4 ) DEMI MENCARIILMU MEREKA RELA MENDERITA Kitab-kitab sastra, biografi, sejarah, dan akhlak banyak menjelaskan tentang pengalaman beberapa ulama. Tentang kemiskinan, kesepian, dan kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai kesulitan yang mencekik. Walaupun demikian, hal itu mereka anggap sebagai ujian yang masih ringan dan tidak perlu begitu

9

dipedulikan karena mereka yakin mendapatkan balasan tersendiri dari kesabaran mereka sebagai orang-orang yang beruntung. Ada di antara mereka yang menganggap bahwa kemiskinan adalah teman akrabnya yang tidak mungkin bisa ia tinggalkan begitu saja sehingga hal itu justru ia nikmati. Ia menulis sya'ir: Aku bertanya kepada kemiskinan, "Di mana kamu berada?" Ia menjawab, "Aku berada di sorban para ulama. Mereka adalah saudaraku yang tidak mungkin aku tinggalkan begitu saja" Imam Syafi'iRahim ahullah, misalnya, ia menganggap sepele kemiskinan karena ia sanggup mengatasi masalah tersebut dengan kesabarannya. Ia mesya'ir: nulis Aku tak peduli diguyur hujan di bawah kolong langit Sarandib2 Aku pun tak peduli dicampakkan ke belantara Tukrura3 karena selama masih hidup aku tidak akan takut kelaparan Dan kalau harus mati, aku tidak akan kehilangan kubur Cita-citaku adalah cita-cita Raja dan semangatku adalah semangat orang merdeka yang melihat kenistaan sebagai kekufuran4 Umar bin Hafesh Al-Asyqar bercerita, "Selama beberapa hari kami tidak mendapati AlBukhari menulis hadits di Bashrah. Setelah dicari ke mana-mana, akhirnya kami mendapatinya berada di sebuah rumah dalam keadaan telanjang. Ia sudah tidak punya apa-apa. Atas dasar musyawarah, kami berhasil mengumpulkan uang beberapa dirham, lalu kami belikan pakaian untuk dipakainya. Selanjutnya, ia mau bersama-sama kami lagi meneruskan penulisan hadits." Imam Malik Rahim ahulah berkata, "Hal itu tidak bisa dicapai sebelum merasakan getirnya kemiskinan." Ibnul Qayyim Rahim ahullah berkata, "Demi membiayai tujuan mencari hadits, Imam Malik sampai mencopot atap rumahnya, lalu papannya ia jual untuk membiayainya." Yahya bin Mu'in Rahim ahullah diberi warisan uang sebanyak sejuta dirham, yang kemudian ia gunakan semuanya untuk biaya mendapatkan hadits, sampai-sampai sandal pun ia sudah tidak punya.2 Nama sebuah sem enanjung besar yang terletak di ujung timur India. 3 Nama sebuah wilayah di ujung Maroko . 4 Lihat Shafhat min Shabri Al-Ulama', hal. 35 dan sesudahnya. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa orang-orang yang mengemban tugas-tugas agama seperti seorang hakim, mufti, guru, imam , mubalig, mu'azin, dan lain sebagainya, biasanya mereka tidak peduli dengan kekayaan. Alasannya adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun, "Sesungguhnya hasil adalah nilai karya manusia, dan itu sifatnya relatif sesuai sejauh mana karya itu dibutuhkan. Jika menyangkut hajat orang banyak, tentu nilainya sangat besar dan sangat dibutuhkan. Orang-orang yang mengemban tugas agama m emang tidak begitu dibutuhkan oleh mayoritas orang, kecuali oleh orang-orang relijius yang m emang membutuhkan jasa serta peranan mereka. Fatwa dan hukum, misalnya, hanya dibutuhkan untuk mengatasi perselisihan-perselisihan yang tidak setiap waktu terjadi. Oleh karena itulah, kebanyakan m asyarakat kurang membutuhkannya. Akan tetapi, seorang penguasa wajib selalu memikirkan kem aslahatan mereka. Ia harus bisa mem bagikan kesejahteraan kepada mereka sesuai dengan tingkat kebutuhan. Tugas-tugas berat dan mulia yang diemban oleh mereka, seharusnya menjadi pertimbangan tersendiri. Ia dak boleh m enyam akan m ereka dengan anggota masyarakat secara umum. Jarang sekali ti penguasa yang memperhatikan masalah ini. Namun, sebagai orang-orang yang berjiwa m ulia, mereka biasanya tidak mau tunduk kepada para penguasa, meskipun m ereka diberikan kesejahteraan. Bahkan, mereka tidak mau meluangkan waktu untuk m emikirkan hal itu karena mereka lebih m emilih sibuk dengan tugas-tugas m ereka yang mulia daripada m emikirkan masalah materi. Mereka tidak mau melakukan kompromi dengan orang-orang yang sibuk dengan urusan-urusan duniawi. Mereka berusaha menjauhinya. Oleh karena itulah, biasanya m ereka tidak peduli dengan masalah harta. Dalam konteks saya pernah berdebat dengan seorang ulama. Sem ula ia tidak setuju dengan pikiran ini saya. Nam un, setelah saya sodorkan dokumen-dokum en berisi daftar aset kekayaan pem erintahan Khalifah AlMa'm un berikut kesejahteraan yang ia berikan kepada para qadhi, para imam m asjid, dan para m u'azin, akhirnya ia setuju."

10

Abu Hatim mengatakan, "Ketika sedang mencari hadits, keadaanku benarbenar sangat memprihatinkan karena tidak mampu membeli sumbu lampu. Pada suatu malam aku terpaksa keluar ke tempat ronda yang terletak di mulut jalan. Aku belajar dengan menggunakan lampu penerangan yang dipakai oleh tukang ronda. Dan terkadang kalau ia tidur, aku yang menggantikannya." *** (5) MEREKA RELA MENDERITA LAPAR DAN SAKIT KERAS YANG MENGANCAM JIWA DALAM MENUNTUT ILMU Imam Abu Hatim Rahim ahullah menceritakan sekelumit pengalamannya ketika ia sedang merantau menuntut ilmu. ia mengatakan, "Sepulang dari rumah Daud AlJa'fari di Madinah, aku, Abu Zuhair Al-Maruzi yang sudah cukup tua, dan AnNaisaburi langsung menuju ke pantai. Kami bertiga mengarungi lautan. Angin dingin menerpa wajah kami. Kami berada di tengah lautan selama tiga bulan. Kami sangat menderita karena kami sudah hampir kehabisan bekal. Setelah sampai di daratan, kami harus berjalan kaki selama berhari-hari. Sementara bekal kami termasuk air sudah habis sama sekali. Selama sehari semalam kami berjalan kaki terus tanpa ada yang kami makan dan kami minum. Begitu pula dengan hari kedua dan hari ketiga. Setiap hari kami berjalan kaki sampai malam. Jika tiba waktu sore, kami berhenti untuk menunaikan shalat. Kami tidur di sembarang tempat. Tubuh kami lemas sekali karena menanggung rasa lapar, haus, dan capai yang luar biasa. Pada hari keempat, pagi-pagi kami melanjutkan perjalanan dengan sisa-sisa tenaga yang masih kami miliki. Tiba-tiba Abu Zuhair jatuh pingsan. Kami berdua meng hampirinya untuk membantu menggerak-gerakkan tubuhnya. Dikarenakan tidak juga sadar, akhirnya kami tinggalkan ia. Kami berdua terus melanjutkan perjalanan sejauh puluhan mil. Giliran tubuhku yang tidak tahan sehingga akhirnya aku pun jatuh pingsan. Temanku si An-Naisaburi meninggalkan aku, dan terus berjalan. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat rombongan manusia yang sedang mendekati sebuah perahu di daratan. Mereka baru saja turun disumur pening galan Nabi Musa AlaihisSalam .Temanku lalu menanggalkan pakaian yang dikenakannya, kemudian An-Naisaburi melambai-lambaikannya ke arah mereka sebagai isyarat minta pertolongan. Mereka lalu menghampirinya dengan membawa bejana berisi air. Setelah diberi minum dan disuruh duduk, An -Naisaburi berkata kepada mereka, 'Dua temanku sedang pingsan di belakang.' Mereka menghampiriku. Begitu siuman, aku hanya merasa ada seseorang yang sedang menuangkan air ke wajahku. Pelan-pelan aku mencoba membuka mata, lalu minta tolong diberi minum. Setelah memberiku minum, ia mem bantuku duduk. Lalu aku katakan kepada orang itu bahwa di belakangku ada temanku yang sedang pingsan dan perlu ditolong. Beberapa orang segera beranjak untuk menolong temanku. Aku digandeng dan berjalan tertatih -tatih. Aku terus diberinya minum sedikit demi sedikit. Akhirnya aku sampai di dekat perahu. Tidak lama kemudian aku melihat mereka membawa Abu Zuhair, temanku yang sudah tua itu. Kami bertiga dinaikkan ke dalam perahu, diperlakukan dengan baik. Selama beberapa hari kami tinggal bersama di perahu. Kemudian, tenaga kami sudah pulih kembali dan keadaan kami pun sudah membaik. Sebelum meneruskan perjalanan, kami diberi peta menuju ke kota Rayyah dan dititipi sepucuk surat buat wali kotanya. Selain itu, kami juga diberi bekal berupa air dan beberapa potong roti. Berhari-hari kami terus berjalan kaki menelusuri pantai mengikuti petunjuk peta ke arah kota Rayyah. Kami kembali menanggung haus dahaga karena perbekalan kami dan sudah habis sama sekali. Saat itu tiba-tiba kami mendapati seekor kura-kura yang dihempaskan oleh ombak. Kami segera mengambil sebuah batu besar, lalu kami pukulkan ke punggungnya. Lalu dari punggung binatang tersebut keluar benda seperti warna kuning telur. Selain itu, kami juga mendapati beberapa kerang yang dihempas ombak sehingga tercecer di pantai. Kami makan binatang itu, dan kami jadikan benda tadi untuk mencedok air. Setelah merasa kenyangdan segar, kami meneruskan perjalanan kembali,

11

sampai akhirnya kami tiba di kota Rayyah. Kami langsung menemui wali kotanya untuk menyampaikan sepucuk surat yang dititipkan kepada kami. Dengan ramah ia mempersilahkan kami. Kami dijamu dan dimuliakan layaknya rombongan tamu yang terhormat. Setiap hari kami diberi makan dengan lauk yang enak-enak. Pada suatu hari ketika salah seorang teman kami berkata kepada pelayan dengan menggunakan bahasa Persia, sang wali kota yang kebetulan mendengarnya menemui kami dan berkata, 'Aku juga bisa berbahasa Persia dengan baik karena nenekku adalah berasal dari suku Harawi.' Setelah beberapa hari tinggal di rumah wali kota yang budiman tersebut, akhirnya kami memutuskan memohon pamit untuk meneruskan perjalanan. Kami diberi bekal yang cukup sehingga kami berhasil sampai di Mesir." Bakar bin Hamdan Al-Maruzi berkata, ''Aku pernah mendengar Ibnu Kharrasy mengatakan, 'Demi mencari ilmu, aku pernah meminum air kencingku sendiri sebanyak lima kali. Ceritanya, sewaktu sedang berjalan melintasi gurun pasir untuk mendapatkan hadits, aku merasakan haus yang luar biasa, tanpa ada yang bisa aku minum. Maka dengan terpaksa aku minum air kencingku sendiri'." Kenapa kamu cerca aku yang mengais ilmu dan mencari hadits? Kamu kira aku sedang bersenang-senang? Hai orang yang mencerca aku. biarkan aku dengan apa yang aku lakukan ini karena nilai setiap orang itu terletak pada apa yang mereka lakukan dengan baik Al-Wahsyi alias Abu Ali Al-Hasan mengatakan, "Di Asqalan, aku ingin mendengar riwayat hadits dari Ibnu Mushahhih dan ulama-ulama hadits lainnya. Waktu itu aku kehabisan bekal sama sekali. Aku mencoba bertahan selama beberapa hari tanpa bisa makan karena memang sudah tidak ada yang bisa aku makan. Tubuhku sangat lemas. Bahkan, untuk menulis saja aku tak sanggup. Aku lalu pergi ke sebuah toko roti, lalu aku duduk di dekatnya untuk bisa mencium aroma sedap roti. Dengan cara begitu aku merasa mendapatkan kekuatan tenaga, sampai akhirnya Allah memberikan pertolongan kepadaku." Ibnul Jauzi Rahim ahullah mengatakan, "Ketika sedang menuntut ilmu, segala penderitaan yang aku alami terasa lebih manis daripada madu. Sewaktu masih kecil, dengan membawa beberapa potong roti kering aku pergi untuk mencari hadits. Di tengah perjalanan aku berhenti dan duduk di tepi Sungai Isa. Soalnya aku tidak bisa memakannya, kecuali ada air di dekatku. Setiap kali memakan satu suap, aku susuli dengan meminum air dari sungai tersebut. Mata cita-citaku dengan nanar melihat betapa nikmatnya bisa mendapatkan ilmu. Dan menurutku, itulah yang membuatku berhasil untuk banyak mendengar hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam , mengenal perilaku-perilaku, dan adab-adab beliau; mengenal perilaku-perilaku para shahabat dan perilaku-perilaku para tabi'in." Al-Barudi mengatakan: Orang yang punya cita-cita tinggi, ia akan mencintai semua yang dihadapinya ** * (6) MEREKA HARUS BEGADANG DALAM MENUNTUT ILMU Seorang ulama salaf pernah ditanya, "Dengan bantuan apa Anda mendapatkan ilmu?" Ia menjawab, "Dengan bantuan penerangan lampu dan duduk sampai subuh." Ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada seorang ulama salaf yang lain, ia menjawab, "Dengan rajin pergi merantau, begadang, dan bangun tengah malam." Al-Khathib Al-Baghdadi mengatakan, "Waktu belajar yang paling baik ialah

12

waktu malam. Itulah yang biasa dilakukan oleh ulama-ulama salaf. Sebagian mereka mulai melakukannya selepas shalat isya' dan baru selesai begitu mereka mendengar seruan azan shalat subuh." Bergegaslah melakukan apa yang kamu inginkan senyampang masih malam karena malam adalah siang bagi orang yang tengah menuntut ilmu Syaikh Abu Ali punya kebiasaan membuka baju pada malam yang dingin untuk mengusir rasa kantuknya. Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani Rahim ahullah tidak suka tidur pada malam hari. Ia selalu menyediakan air di dekatnya untuk menghilangkan rasa kantuk. Ia pernah mengatakan, "Sesungguhnya nafsu tidur itu berasal dari udara panas. Jadi harus diusir dengan air dingin." Seperti yang dituturkan oleh Ibnu Al-Labbad bahwa Muhammad bin Abdus biasa melakukan shalat subuh dengan berwudlu terlebih dahulu pada sepertiga malam yang pertama, selama waktu tiga puluh tahun. Lima belas tahun untuk belajar, dan lima belas tahun lagi untuk ibadah. Gelap malam itu turun Melalaikan orang yang tertipu Seolah-olah warna hitamnya laksana pandangan mata yang menusuk Seperti yang dikutip oleh Rabi', Fatimah binti Asy-Syafi'i mengata"Dalam waktu kan, semalam akupernah memberi lampu penerangan untuk ayahku sebanyak tujuh puluh kali." Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, "Pada suatu malam Al-Bukhari bangun dari tidurnya. Setelah menyalakan lampu, ia menulis apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Kemudian, beberapa saat setelah memadamkan lampu ia bangun lagi untuk menulis lagi. Begitu yang terjadi berulang-ulang hingga hampir dua puluh kali." Asad Al-Furat adalah seorang qadhi di Fairawan. Dia merupakan murid Imam Malik yang dipercaya menyusun ide-idenya, dan salah seorang panglima perang yang berhasil menaklukkan wilayah Shiqilayah, meskipun ia sendiri gugur sebagai pahlawan syahid di wilayah tersebut pada tahun1 2Hijriyah. Pada suatu hari dia berangkat dari Fairawan ke 2 Timur, pada tahun 7 2 Hijriyah. Setelah mengaji kitab uwatha' 1 Al-M pada Imam Malik di Madinah, ia meneruskan perjalanan ke Iraq. Di sana ia juga mengaji dan mendalami ilmu kepada beberapa sahabat Imam Abu Hanifah. Ia sering mendatangi Muhammad bin AlHasan Asy-Syaibani. Dalam suatu perte muan, ia berkata kepada Muhammad bin Al-Hasan, "Aku ini orang asing, tidak punya banyak uang, dan jarang mengaji kepada Anda yang punya banyak murid. Jadi apa yang bisa saya perbuat?" Muhammad bin Al-Hasan menjawab, "Siang hari ikutlah mengaji ber orang-orang sama Iraq. Dan malam harinya aku khususkan buatmu saja. akan mengajar kamu." Asad AlAku Furat berkata, "Kesempatan itu aku pergu nakan dengan sebaik-baiknya. Setiap malam aku berada di rumahnya untuk menimba ilmu. Sebelum memulai pelajaran biasanya ia menyiapkan segelas air yang diletakkan di dekatnya. Jika malam semakin larut dan aku kelihatan mengantuk, ia memercikkan air ke wajahku sehingga aku kaget dan langsung terjaga. Itulah yang terjadi selama beberapa malam, sampai akhirnya aku berhasil menimba banyak ilmu darinya." Muhammad bin Al-Hasan adalah seorang guru yang dermawan. Setiap kali tahu Asad Al-Furat sudah tidak mempunyai uang lagi, ia membantunya. Pada suatu hari ia memberi uang sebanyak delapan puluh dinar, ketika ia melihat sendiri Asad Al-Furat meminum di jalanan. Dia juga memberikan ongkos kalau muridnya yang satu ini ingin pulang ke Iraq. Abdurrahman bin Al-Qasim Al-Utaqi Al-Mishri, salah seorang sahabat Imam Malik, AlLaits, dan lainnya bercerita, "Aku biasa menemui Malik pada waktu larut malam untuk menanyakan beberapa masalah, dan aku diterima dengan senang hati serta lapang dada. Ia sama sekali tidak marah atau merasa terganggu. Oleh karena itulah, aku jadi punya kebiasaan mene uinya pada larut malam. m

13

Pada suatu malam aku duduk di depan pintu rumahnya. Dikarenakan mengantuk, aku lalu tertidur dengan pulas sehingga aku tidak tahu ketika Malik keluar ke masjid. Tiba-tiba seorang wanita berkulit hitam mencolek aku dengan kakinya seraya berkata, 'Tuanmu sudah keluar. Ia tidak malas seperti kamu ini. Ia selalu bangun larut malam lalu ke masjid selama empat puluh sembilan tahun ini. Ia sering shalat subuh dengan wudlu larut malam.' Perempuan itu menganggap Imam Malik sebagai tuanku lantaran aku sering menemuinya. Lebih lanjut Ibnu Al-Qasim bercerita, "Aku berkunjung ke kediaman Imam Malik selama tujuh puluh tahun. Di sana segala kebutuhanku tercukupi sehingga aku tidak perlu menjual apa-apa untuk membeli makanan. Pada suatu malam, ketika aku sedang bersamanya, datang seorang tamu dari Mesir. Ia masih cukup muda. Setelah mengucapkan salam kepada kami, ia bertanya, 'Apa di antara kalian ada yang bernama Ibnu Al-Qasim?' Imam Malik me unjuk ke arah aku. Lalu ia menghampiriku dan serta merta mencium n diantara kedua mataku. Aku mencium aroma yang sangat harum, aroma seorang anak. Ternyata ia adalah anakku sendiri." Ibnu Al-Qasim meninggalkan istrinya yang masih saudara sepupunya sendiri, ketika masih mengandung anaknya tersebut. Ketika hendak berangkat, ia menyuruhnya memilih untuk ikut bersamanya atau tinggal di rumah, meng ia akan pergi cukup lama. ingat Ternyata istrinya memilih tinggal di rumah. Abu Ya'la Al-Maushili mengatakan: Bersabarlah menanggung kepedihan berjalan larut malam dan pulang pagi-pagi demi mencari ilmu Jangan pernah patah semangat dan bosan mencarinya karena hal itu akan menghadang kesuksesan Aku melihat hari-harimu penuh cobaan, maka tetaplah bersabar karena kamu akan memperoleh akibat yang terpuji Jarang sekali orang yang bersungguh-sungguh dan sabar mencari sesuatu ia akan menemukan kegagalan Syaikh Al-Islam An-Nawawi Rahim ahullah menceritakan tentang gurunya, Imam Abu Ishak Ibrahim bin Isa Al-Muradi. Gurunya berkata, ''Aku pernah mendengar Syaikh Abdul Azhim Rahim ahullah mengatakan, 'Aku telah menulis kitab karya sendiri tentang ilmu hadits dan menulis karya orang lain sebanyak tujuh ratus juz'." Kata guruku, "Aku tidak pernah melihat atau mendengar orang yang sangat gigih melebihi Syaikh Abdul Azhim Rahim ahullah. Siang malam ia selalu tekun menulis. Ketika sekolah di Kairo, aku tinggal bertetangga dengannya. Setiap tengah malam terbangun, aku pasti melihat lampu kamarnya masih menyala, pertanda bahwa ia masih tekun belajar dan menulis. Bahkan, saat sedang makan sekalipun ia masih sempat membaca dan menulis." Cahaya para ulama salaf memantul dari kegigihan dan kebiasaan mereka begadang semalaman untuk belajar. Misalnya, yang dilakukan oleh Al-Dhiya' alias Abu Muhammad AlMaqdasi. Sepertinya ada cahaya yang memantul dari wajahnya. Pandangan matanya sudah terasa kabur karena terlalu sering digunakan untuk menulis dan menangis. Az-Zamakhsyari menggambarkan keadaan para ulama yang menikmati begadang semalaman dalam bait-bait sya'irnya berikut ini: Aku begadang adalah untuk menjaring ilmu yang tak seberapa Aku berjaga adalah untuk mengatasi kesulitan kecil yang terasa sangat nikmat dan manis, meski sepasang telapak kakiku bengkak Suara goresan penaku di atas kertas lebih indah daripada nyanyian rindu orang yang sedang kasmaran dan lebih merdu daripada bunyi rebana yang ditabuh seorang gadis karena itu aku ingin terus begadang untuk mendengarkannya Dan jika kamu tidur, mana mungkinberharap bertemu denganku? An-NawawiRahim ahullah menceritakantentang pengalamannya ketika pertama kali ia mencari ilmu, "Selama dua tahun aku tidak sempat takkan lambungku di lantai." mele

14

Diceritakan oleh Al-Badar bin Jama'ah R ahim ahullah, ketika ditanya tentang tidurnya, An-Nawawi menjawab, "Setiap kali mengantuk berat, se aku bersandar pada kitabjenak kitab lalu aku terbangun lagi." KataBadar, "Setiap kali aku mengunjungi An-Nawawi, ia Almenumpuk kitab-kitab supaya ada sedikit tempat untuk aku duduki." nya Al-Hafizh Syaikh Imaduddin Abul Fida' Ismail bin Umar bin Katsir ahullah, Rahim seorang ulama besar ahli sejarah Islam, secara teratur menyempurnakan kitab Imam Ahmad dan ia menambahkan padanya hadits-hadits Kutub Al-Sittah, M u'jam Al-Thabarani Al-Kabir, M usnad Al-Bazzari, dan M usnad Abu Ya'la Al-M ushili. Dalam hal ini dia telah bekerja keras dan bersusah payah sehingga ia mencapai hasil luar biasa yang tidak ada ban dingannya di dunia. Ibnu Katsir telah menyempurnakannya, kecuali dari sebagian Abu H urairah M usnad karena ia keburu wafat terlebih dahulu sebelum sempat menyempurnakannya. Akibat ketekunan Ibnu Katsir dalam menulis dan membaca pada malam hari, ia menjadi tuna netra. Ibnu Katsir pernah bercerita kepada Adz-Dzahabi, "Aku selalu menulis pada malam hari di bawah cahaya lampu yang lemah sinarnya sehingga mengakibatkan pan mataku dangan hilang. Dan mudah-mudahan Allah berkenan mendatangkan orang yang akan menyempurnakannya." Berikut adalah sekelumit sejarah perilaku Imam Ibnu Daqiq Al-'Idi ahullah, Rahim yang menjelaskan betapa besar cita-cita dan ketekunannya un tuk begadang dalam mencari ilmu. Ibnu Daqiq Al-'Idi berkeliling di Fustat, Kairo, Iskandaria, Damaskus, dan Hijaz untuk menimba ilmu dari sejumlah guru senior satu kurun. Beliau mendalami dua madzhab, yakni madzhab Maliki dan madzhab Asy-Syafi'i. Beliau mendalami ilmu hadits, tafsir, tauhid, nahwu, dan sastra. Ia sangat teliti mendalami kedua madzhab tersebut sehingga ia menjadi seorang mufti. Padahal saat itu usianya masih relatif cukup muda. Kata Al-Asnawi, "Ibnu Daqiq Al-'Idi meneliti dua madzhab sekaligus sehingga ia mendapat pujian dari Syaikh Ruknuddin bin Al-Qari' Al-Maliki." Terdapat pujian kepadanya dalam sebuah kasidah, yang antara lain berbunyi: Di usia yang masih muda ia telah menguasai ilmu Teruslah naik dengan cita-citamu sebagai anak muda Dia begitu cermat meneliti dalil-dalil Imam Malik dan Imam Syafi'i Syaikh Taqiyuddin Rahim ahullah adalah seorang ulama yang menghabiskan hidupnya untuk ilmu dan ibadah. Ia jarang sekali tidur pada malam hari. Hampir seluruh waktunya ia pergunakan buat belajar, mengais ilmu, menulis, dan meriwayatkan hadits. Waktu luangnya ia manfaatkan buat berdiri shalat di mihrab, atau duduk sambil membaca Kitab Allah atau berjalan-alan sambil memikirkan makhluk ciptaan Allah, dan memikirkan karya-Nya. Ia j menyimpulkan bahwa semua itu merupakan bukti kekuasaan dan keesaan Allah. Siang malam jasad dan pikirannya tidak pernah diam. Kalau tidak sedang merenung, ia pasti sedang shalat dan berdzikir mensucikan Allah Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui. Cermin hidupnya yang sejati ia ungkapkan dalam ucapannya: Tubuh ini hancur untuk kewajiban-kewajiban berkhidmat Dan hati tersiksa oleh cita-cita yang tinggi Usia harus dihabiskan dalam kepenatan Dan jika kesenangan telah mati akan lahir kasih sayang Dia telah mengerahkan segenap hatinya pada cita-cita tinggi untuk menggapai tujuan yang mulia. Itulah sebabnya ia gunakan pikirannya untuk mencetuskan hukum-hukum syari'at, berkhidmat kepada agama dan umat serta mencari bekal ketakwaan sebanyak mungkin. As-Subki berkata, "Kegigihannya dalam mencari ilmu dan beribadah malam hari pada sungguh luar biasa. Terkadang semalaman suntuk ia membaca kitab sampai berjilid-jilid. Terkadang pula ia membaca satu ayat AlQur'an dan mengulang-ulanginya hingga terbit fajar." Al-Adafuwi berkata, "Guruku Syaikh Zainuddin Umar Damsyiqiq atau yang lebih dikenal

15

dengan nama Ibnu Al-Kanani Rahim ahullah pernah bercerita kepadaku ketika pagi-pagi sekali aku menemuinya. Kemudian, dia memberikan padaku sebuah kitab besar seraya berkata, "Kitab ini baru saja aku tela'ah semalam'." Al-Adafuwi juga mengatakan, "Ia memang memiliki kekuatan mutala'ah yang luar biasa. Ia memiliki banyak koleksi kitab-kitab besar. P erpustakaan sekolahannya ada sejumlah kitab-kitab karya ulama besar, antara lain ada kitab Uyun Al-Akhbar karya Ibnu Al-Qashar, sebanyak kurang lebih tiga puluh jilid. Aku juga melihat ada kitab Sunan Al-Kubra karya Al-Baihaqi yang terdiri dari beberapa jilid, ada Tarikh Al-Baghdadi, dan Mu'jam Al- Thabarani Al-Kabir, dan M u'jam Al- Thabarani Al-A usath. Guruku, Al-Faqih Sirajuddin Ad-Dainuri, melihat kitab Syarah Al-Kabir karya Ar-Rafi'i kemudian langsung membelinya dengan harga seribu dirham. Gara-gara terlalu rajin bermutala'ah, hanya sempat menjalankan shalat-shalat fardhu saja. Ketika ditanyakan kepadanya tentang reputasi Ar-Rafi'i dan reputasi Al-Ghazali dalam hal ilmu fiqih, spontan ia menjawab, 'Ar-Rafi'i di langit.' Ia memang sangat mengagumi Ar-Rafi'i sebagai seorang ulama ahli fiqih yang besar." Ulama lain yang perilaku sejarahnya dalam sejarah patut dikagumi ialah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Rahim ahullah. Seorang putranya yang bernama Abdullah bercerita, "Ayah bercerita kepadaku bahwa ketika masih menuntut ilmu di suatu negara, ia pernah membaca kitab M ukhtashar Khalilbab 'Nikah.' Ketika sampai pada ucapan 'Aku punya sepuluh ekor kuda. Kalau sampai sang Sultan menjualnya ia akan bangkrut,' ia berkata kepadaku, 'Ini pernah dibacakan oleh guruku kepadaku sesudah ashar. Kajiannya tuntas. Dia akan membaca semua yang ada dalam satu bab. Aku lalu mengambil kitab-kitab syarah Khalildan juga catatan-catatan pinggirnya untuk mencermati masalah tersebut. Aku terus membacanya dengan seksama sampai tiba waktu malam. Kemudian, aku menyalakan lampu sebagai penerang dan terus membacanya sampai subuh. Aku tidak sempat tidur, dan hanya melakukan shalat fardhu saja. Akhirnya aku tahu bahwa si pengulas punya dua pendapat terhadap ucapan Khalil tersebut. Dan kalau aku bahas dalam perspektif Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, aku akan mampu mendatangkan keajaiban bagi umat'." Jika aku sedang sibuk dengan gadisku yang parasnya laksana cahaya pagi, aku enggan berpikir yang lain Syaikh Athiyah Salim juga menceritakan tentang kehebatan Ibnu Daqiq Al-'Idi sebagai berikut, "Memang benar. Dalam mencari ilmu ia selalu berpikir dan merenung sehingga berbagai kesulitan bisa ia atasi. Ucapannya sesuai dengan perbuatannya. Ia pernah bercerita kepadaku, 'Pada suatu hari aku menemui seorang guru untuk mengaji. Ia memang memberikan penjelasan kadaku dengan gamblang. Akan tetapi, aku masih belum merasa puas. Ketika pamit pulang, aku merasa membutuhkan penjelasan yang lebih rinci atas beberapa masalah yang aku anggap musykil. Kala itu waktu dhuhur telah tiba. Aku mengambil beberapa kitab rujukan, dan aku tela'ah sampai ashar. Belum sempat menyelesaikan urusanurusan yang lain, kembali aku menela'ah sampai maghrib. Akan tetapi, belum juga selesai. Lalu aku suruh pelayanku membikin api unggun untuk penerangan. Aku masih terus menela'ah. Untuk mengatasi rasa jenuh dan malas, aku meminum teh. Sementara pelayanku tetap setia menjaga api unggun. Ketika fajar merekah aku masih berada di tempatku. Setelah shalat subuh dan menyantap sedikit makanan, kembali aku meneruskan aktivitasku hingga siang hari. Setelah bisa menemukan pemahaman, aku berhenti lalu tidur. Dan sebelum tidur aku berpesan kepada pelayanku agar jangan membangunkan aku karena ingin beristirahat yang cukup untuk melepaskan kelelahan setelah semalaman begadang'." Al-Allamah Abul Fadhel Syihabuddin Sayid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi Rahimahullah menceritakan tentang pengalamannya ketika mendalami tafsir AlQur'an dalam usia kurang dari dua puluh tahun, "Semenjak kecil aku sudah tekun mengungkap rahasia Al-Qur'an yang tersembunyi di balik ayat-ayatnya. Begitu

16

tinggi semangatku sehingga aku rela jarang tidur dan meninggalkan keluarga serta teman-temanku. Semalam suntuk aku asyik dengan lembar-lembar Kitab Allah. Ketika tidak punya uang untuk membeli lilin, aku belajar dengan menggunakan penerangan cahaya bulan. Teman-teman sebayaku waktu itu masih suka bermainmain dan bersenang-senang karena mereka lebih mengutamakan kenikmatan jasmani daripada kenikmatan rohani. Mereka menghabiskan waktu buat menuruti kesenangan nafsu. Sebaliknya, aku tidak mau terpengaruh dan tertipu oleh keadaan mereka." *** (7) MEREKA SENANG SEKALI BERKUMPUL DENGAN PARA ULAMA Salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada umat ini, Dia tanamkan ke dalam hati ulama-ulama salaf kita terdahulu rasa kecintaan terhadap ilmu dan majelismajelisnya, untuk menjaga agama dan menjadi teladan bagi generasi-generasi yang hidup sesudah mereka. Itulah sebabnya mereka tampil sebagai pemimpinpemimpin agama yang sangat dihormati oleh umatnya. Mereka sangat antusias mengadakan dan mendatangi majelis-majelis ilmu. Dalam hal ini Ja'far bin Darastawaih menceritakan pengalamannya, "Selepas shalat ashar aku sudah berada di majelis pengajian Ali bin Al -Madini, yang baru akan diselenggarakan keesokan harinya. Sepanjang malam aku berada di tempatku karena khawatir tidak mendapatkan tempat untuk mendengarkan pengajiannya. Bahkan, aku pernah melihat seorang kakek yang terpaksa harus buang air kecil di jubahnya, juga karena khawatir tempatnya akan diduduki orang lain jika ia harus meninggalkannya untuk buang air kecil." Yahya bin Hassan juga menceritakan pengalamannya, "Aku sudah berada di samping Sufyan bin Uyainah yang akan meriwayatkan hadits. Aku melihat sekelompok orang berebut tempat yang sedang diduduki oleh seorang kakek yang lemah. Mereka menarik tangan sang kakek supaya mau menyingkir sehingga sang kakek berteriak minta tolong kepada Sufyan. Dikarenakan suasana sedang gaduh, Sufyan tidak mendengarnya. Sufyan mengawasi seorang di antara mereka dan bertanya, 'Apa yang dikatakan oleh si kakek tadi?' Ia menjawab dengan bohong, 'Tidak apa-apa. Kami ingin mendengar riwayat hadits dari Anda lagi'." HusyaimRahim ahullah meninggal dunia gara-gara dikerubuti oleh para penuntut ilmu. Sebagaimana yang diceritakan oleh Al-Khithabi, "Para pencari hadits berebut mendekati Husyaim dengan berdesak-desakanhingga ia terjatuh dari keledainya. Dan itulah yang se menyebabkan ia meninggal dunia." Abu Bakar bin Al-Khayyath An-Nahwi Rahim ahullah melewatkan seluruh waktunya untuk belajar. Termasuk ketika ia sedang dalam perjalanan sehingga terkadang ia pernah jatuh ke dalam lereng bukit, atau diinjak oleh binatang. Konon Tsa'lab selalu memegangi kitab yang tengah dipelajarinya. Bahkan, ketika harus memenuhi undangan seseorang, ia minta disediakan tempat yang agak longgar untuk meletakkan kitabnya, untuk dibaca. Penyebab kematiannya ialah ketika ia baru saja keluar dari masjid jami' pada hari Jum'at selepas shalat ashar. Ia tuli sehingga susah untuk bisa mendengarkan. Ketika sedang membaca kitab di pinggir jalan, ia ditabrak oleh seekor kuda sehingga ia terlempar ke sebuah jurang. Dalam keadaan pingsan, ia digotong ke rumahnya. Ia mengeluh karena kepalanya terasa sakit. Dan pada hari berikutnya ia meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya. Imam Baqyu bin Makhlad Al-Andalusi pada suatu hari pergi ke Baghdad dengan berjalan kaki. Tujuan utamanya ingin bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah untuk menimba ilmu darinya. Lebih lanjut ia menceritakan pengalamannya, "Ketika sudah hampir tiba di Baghdad, aku mendengar kabar tentang cobaan yang sedang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal. Penguasa setempat melarang siapapun menemuinya

17

dan mendengarkan pengajiannya. Saat itu aku bingung sekali. Aku lalu menyewa kamar di sebuah penginapan. Setelah menaruh barang-barang, secara -diam aku menuju diam masjid jami'. Di sana aku ingin memperoleh informasi tentang Imam Ahmad bin Hanbal dari sekelompok orang yang sedang mengadakan majelis pertemuan. Aku bergabung di tengah-tengah mereka. Lalu tiba-tiba muncul seseorang yang menarik perhatianku. Ia sedang memberikan pelajaran hadits. Dikarenakan penasaran, aku bertanya kepada orang yang berada di sebelahku, 'Siapa orang itu?' Ia menjawab, 'Dia adalah Yahya bin Mu'in.' Melihat ada tempat kosong di sampingnya, aku segera menghampiri dan bertanya, 'Wahai Abu Zakaria, semoga Allah selalu merahmati Anda. Aku ingin bertanya kepada Anda, dan aku harap Anda jangan meremehkan aku.' Ia berkata kepadaku, 'Katakan saja apa yang ingin kamu tanyakan.' Aku lalu menanyakan tentang beberapa ulama ahli hadits yang pernah aku temui. Sebagian ada yang adil, dan sebagian lagi ada yang dha'if. Terakhir, aku menanyakan tentang seorang ulama ahli hadits bernama Hisyam bin Ammar karena aku sering mendengar riwayat darinya. Ia berkata, 'Nama panggilannya ialah Abul Walid alias Hisyam bin Ammar. Orang yang tekun shalat ini adalah penduduk Damaskus. Ia adalah seorang perawi yang sangat jujur.' Kemudian, orang-orang di majelis itu memprotes aku karena mereka juga ingin mengajukan pertanyaan. Akan tetapi, aku tidak meme dulikan, dan berpura-pura tidak mendengar protes mereka. Aku lalu bertanya lagi, 'Lalu siapa itu Ahmad bin Hanbal?' Mendengar pertanyaanku itu, Yahya bin Mu'in menatapku dengan heran, kemudian berkata, 'Kita seha mengenal siapa Imam rusnya Ahmad bin Hanbal. Beliau itu imam terbaik kaum Muslimin.' Selanjutnya, aku keluar untuk mencari informasi di mana kediaman Imam Ahmad bin Hanbal. Setelah menemukan tempat kediamannya, aku mencoba mengetuk pintu. Ia keluar untuk membukakan pintu. Sejenak ia melihat aku yang belum dikenalnya. Maka bergegas aku katakan, 'Wahai Abu Abdullah, aku baru pertama kali datang di negeri ini. Aku ini pencari hadits dan penghimpun Sunnah Nabi. Aku datang ke sini hanya ingin bertemu Anda.' Ia berkata, 'Silahkan masuk. Jangan sampai ada yang melihat kamu ke rumahku ini.' 'Dari mana asalmu?' tanyanya. 'Maroko,' jawabku. 'Kamu tinggal di Afrika?' tanyanya. 'Lebih jauh lagi. Dari negeriku untuk sampai ke Afrika aku harus menyeberangi lautan,' jawabku. 'Tempatmu jauh sekali,' katanya, 'sebenarnya aku ingin sekali menolong orang sepertimu. Akan tetapi, sayang saat ini aku sedang dicekal. Mungkin kamu sudah mendengarnya.' 'Benar. Aku memang sudah mendengarnya ketika aku hampir tiba di negeri Anda ini dalam perjalanan untuk menemui Anda,' kataku. 'Wahai Abu Abdullah, ini kunjunganku yang pertama di negeri ini. Dan masih banyak hal-hal yang belum aku ketahui di sini. Aku harap Anda tidak keberatan jika setiap hari aku menemui Anda untuk mengajukan berapa pertanyaan. Jika Anda keberatan, kita bisa be bertemu di tempat lain. Meskipun setiap hari aku hanya mendengar satu riwayat hadits saja dari Anda, bagiku itu sudah cukup,' kataku. 'Baiklah,' jawabnya, 'tetapi dengan syarat, jangan sampai ada yang mengetahui. Termasuk oleh para pencari hadits lainnya.' 'Akan aku penuhi syarat Anda,' kataku. Sambil membawa tongkat dan mengenakan ikat kepala serta menyiapk dan an pena kertas di kantong, aku berjalan tertatih-tatih seperti seorang kakek. Aku memang sengaja menyamar supaya tidak diketahui siapapun. Pagi-pagi buta aku sudah berada di depan pintu rumahnya. Mengetahui aku yang datang, ia mempersilahkan aku masuk lalu segera mengunci kembali pintu rumahnya. Dalam setiap pertemuan, aku berhasil mendapatkan minimal dua sampai tiga riwayat hadits darinya. Hal itu berlangsung selama beberapa hari. Sampai akhirnya penguasa setempat yang mencekalnya meninggal dunia, dan digantikan oleh penguasa dari golongan Ahlus-Sunnah wal Jama'ah. Sejak saat itulah Ahmad bin Hanbal mulai berani menampakkan diri di tengah-

18

tengah masyarakat. Namanya semakin harum dan semakin dihormati sebagai imam masyarakat. Aku merasa bersyukur karena ia tahu akan kesabaran serta kegigihanku. Aku merasa mendapat tempat terhormat di matanya. Hal itu terbukti setiap kali aku ikut majelis pengajiannya, ia menyuruhku untuk duduk di dekatnya. Kepada muridmuridnya yang lain, ia mengatakan sambil menunjuk ke arahku, 'Inilah contoh penuntut ilmu yang sejati.' Selanjutnya, kepada mereka ia menceritakan kisah pengalamannya bersamaku. Pernah pada suatu hari aku jatuh sakit sehingga tidak bisa ikut hadir di majelis pengajiannya. ia menanyakan aku. Dan ketika dijawab bahwa aku sedang sakit, seketika itu ia pergi menjengukku dengan ditemani beberapa orang muridnya. Aku sedang tergolek di kamar kontrakanku yang acak-acakan, dan di dekat kepalaku tergeletak beberapa kitab yang belum sempat aku taruh di tempatnya. Pemilik penginapan kaget bukan main ketika melihat Imam Ahmad bin Hanbal beserta rombongan datang ke tempatnya. Dengan tergopoh-gopoh ia menuju ke kamarku dan berkata, 'Hai Abu Abdurrahman, lihat itu! Imam Ahmad bin Hanbal datang hendak menjenguk kamu!' la segera masuk ke kamarku, dan duduk di dekat kepalaku. Murid- yang murid menemaninya pun ikut masuk sehingga kamar kontrakanku yang tidak begitu luas menjadi sesak. Mereka semua membawa pena dan kertas untuk menulis setiap apa yang diucapkan olehnya. Terpaksa di antara mereka harus mengalah berada di luar. Sejenak suasana hening. Dan tiba-tiba aku mendengar ia berkata kepadaku, 'Wahai Abu Abdurrahman, berbahagialah dengan pahala dari Allah. Hari-hari sehat tidak ada sakit, dan hari-hari sakit tidak ada sehat. Semoga Allah lekas memberimu kesehatan dan mengelus jiwamu dengan tangan-Nya yang lembut.' Secara serentak mereka semua mencatat apa yang diucapkannya tadi. Setelah dijenguk oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan rombongan, pemilik penginapan menjadi sangat baik sekali kepadaku. Segala kebu tuhanku, termasuk yang paling kecil sekalipun dilayaninya dengan senang hati. Aku benar-benar sangat dimanjakan oleh para pelayan penginapan tersebut. Bahkan, aku yang sedang sakit merasa mendapatkan pelayanan yang melebihi pelayanan keluargaku sendiri. Dan aku sadar, hal itu adalah berkat kunjungan orang shalih bernama Ahmad bin Hanbal." Akhirnya Baqyu bin Makhlad meninggal dunia pada tahun 27 Hijriyah di Andalusia. Semoga Allah senantiasa merahmatinya. Banyak ulama bergelar al-hafizh berusaha dengan sungguh-sungguh mendapatkan guru sebanyak mungkin untuk menimba ilmu. Sampai-sampai Imam Abu Sa'ad alias Abdul Karim As Sam'ani Al-Maruzi memiliki tujuh ribu orang guru. Dan karena pengalamannya menjelajahi berbagai negara, berhasil menulis kitab M u'jam Al-Buldan 'kamus negaranegara', dan juga berhasil menulis Mu'jam Syuyukhi'kamus guru-guru' sebanyak beberapa jilid. Al-Qasim bin Daud Al-Baghdadi mengatakan, "Aku telah menulis dari enam ribu orang guru." Dan konon jumlah guru Imam Al-Hafizh Ibnu Asakir ahullah Rahim mencapai seribu tiga ratus orang, delapan puluhan di antaranya adalah guru wanita. *** Ketika Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu wafat, setelah upacara pemakaman, Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhum a berkata, "Hai orang-orang, siapa yang ingin tahu bagaimana hilangnya ilmu, beginilah hilangnya ilmu. Demi Allah, pada hari ini telah hilang banyak ilmu. Telah meninggal dunia seseorang yang mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang lain. Ia pergi berikut apa yang bersamanya. Dan -sambil menunjuk ke kubur Zaidpada hari ini telah dikuburkan ilmu yang banyak." Yahya bin Al-Qasim mengatakan, "Ibnu Sukainah adalah seorang ber ilmu yang mengamalkan ilmunya. Ia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya barang sedikitpun. Setiap kami menemuinya, ia berkata, 'Jangan menam bahkan masalah pada salam un alaikum .' Hal ini dikarenakan begitu besar semangatnya dalam membahas ilmu, dan

19

menetapkan hukum." *** (8) MEREKA SANGAT JELI MEMANFAATKAN WAKTU DEMI MENDAPATKAN ILMU Pada suatu hari Syu'bah bin Al-Hajjaj datang menemui Khalid Al -Hadza' yang sedang menderita sakit. "Wahai Abu Manazil, Anda punya hadits. Tolong ceritakan kepadaku," kata Syu'bah. "Aku sedang sakit," jawab Khalid. "Satu saja," desak Syu'bah. Khalid lalu menceritakannya. Setelah selesai, Syu'bah berkata, "Sekarang kamu boleh meninggal dunia." Yahya bin Mu'in adalah orang yang bersemangat untuk menemui para guru dan mendengar hadits dari mereka karena khawatir mereka keburu meninggal dunia. Abdu bin Humaid menceritakan pengalamannya, "Pada suatu hari Yahya bin Mu'in datang menemuiku. Begitu duduk, ia langsung meminta supaya aku meriwayatkan hadits kepadanya. Aku berkata, 'Dengarkan baik-baik, 'Aku mendapatkan riwayat dari Hammad bin Salamah ....' Tiba-tiba ia memotongku, 'Harus dari catatanmu sendiri!' Ketika aku bangkit hendak mengeluarkan catatanku serta merta ia memegang pakaianku dan berkata, 'Diktekan saja padaku karena aku khawatir tidak bisa bertemu kamu lagi.' Aku lalu mendiktekan kepadanya. Setelah itu, aku baru mengambil catatanku dan aku bacakan padanya." Ibnu Ishak berkata, "Aku pernah mendengar Makhul mengatakan, 'Demi mencari ilmu aku telah merantau keliling dunia'." Abu Wahab meriwayatkan dari Makhul, ia berkata, "Aku mendapat status merdeka di Mesir. Setiap ilmu yang ada di sana aku himpun. Kemudian, aku pindah ke Iraq, lalu pindah ke Madinah. Sedapat mungkin aku juga berusaha untuk menghimpun setiap ilmu yang ada di kedua kota tersebut. Kemudian, aku pindah lagi ke Syiria untuk mengembara." ltulah kepintaran Makhul yang ingin memanfaatkan waktu sebaik-baiknya karena khawatir ia tidak bisa bertemu dengan para perawi dan para ahli hadits yang keburu meninggal dunia.5 *** (9) CITA-CITA TINGGI MEREKA DALAM MENGHAPAL DAN MEMPELAJARI ILMU Ibrahim An-Nakh'i mengatakan, "Siapa yang ingin menghapal hadits, hendaklah ia menceritakannya, sekalipun kepada orang yang tidak menginginkannya. Apabila ia mau melakukannya, maka hal itu seperti buku di dadanya." Diceritakan dari Ibnu Syihab, sesungguhnya setelah mendengar hadits dari Urwah dan lainnya, ia lalu menemui budak perempuannya yang sedang tidur. Ia kemudian membangunkannya dan berkata, "Dengarkan, hadits si Fulan yang ini dan hadits si Fulan yang ini." Budak perempuan itu bertanya, "Apa urusanku dengan hadits ini?" Ibnu Syihab menjawab, ''Aku tahu kamu tidak bisa mengambil manfaatnya. Akan tetapi, aku baru saja mendengarnya, dan aku ingin kamu ikut mengingatnya." Zaid bin Sa'ad bercerita, "Aku pergi bersama Az-Zuhri ke tanah kela hirannya di Syu'ab. Di sana Az-Zuhri mengumpulkan beberapa orang yang fasih berbahasa Arab, lalu5 Ini adalah salah satu fenom ena kaidah yang ditetapkan oleh penerus Im am Ahm ad bin Hanbal, yaitu Yahya bin M u'in Rahimahullah yang pernah m engatakan, "Jika kam u m enulis hadits, m aka tulislah sem ua yang kam u dengar dan him punlah. Dan jika kam u m enceritaka hadits, m aka telitilah."

20

ia menceritakan hadits kepada mereka. Az-Zuhri ingin menguji hapalannya." Ada sementara ulama yang suka menghapal sendiri ilmunya. Mereka suka duduk menyendiri dan mengeraskan suaranya supaya mereka lekas ha pal. Ja'far bin Al-Maraghi bercerita, "Ketika sedang berziarah di pekuburan Tustar, aku mendengar seseorang berteriak cukup lama, 'Al-A'masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah. Al-A'masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah.' Setelah mencari sumber suara teriakan itu, akhirnya aku melihat Ibnu Zuhair sedang belajar sendiri menghapalkan hadits Al-A'masy." Abdurrazaq bercerita, "Sufyan Ats-Tsauri berkunjung ke rumahku. Pada tengah malam aku mendengar ia mengigau membaca Al-Qur'an. Lalu ia bangun untuk shalat. Setelah selesai, ia duduk lalu membaca, 'Al-A'masy, Al-A'masy, Al-A'masy. Manshur, Manhsur, Manshur. Al-Mughirah, AlMughirah, Al-Mughirah.' Aku bertanya, 'Wahai Abu Abdullah, apa maksudmu ini?' Ia menjawab, 'Aku tadi shalat sambil menghapalkan hadits'." Al-Qathbu Al-Yunini bercerita tentang Imam An-Nawawi a ullah,ia berkata, "AnR ahim h Nawawi adalah orang yang tidak mau membuang -buang waktu, baik siang atau malam. Ia selalu sibuk dengan urusan ilmu. Bahkan, saat sedang dalam perjalanan pun ia tetap sibuk menghapal atau membaca pelajaran. Ia menjalani kebiasaannya tersebut selama enam tahun." Ketika pertama kali menuntut ilmu, setiap hari An-Nawawi membaca dua belas pelajaran sekaligus di hadapan guru-gurunya; dia membaca dua pelajaranAkitab l- W asith, tiga pelajaran kitab l-M uhadzab, A satu pelajaran kitab l-Jam 'u baina Al-Shahihain, A lima pelajaran kitab Shahih M uslim , satu pelajaran kitab Al-Lum a' karya Ibnu Jani yang membahas tentang ilmu nahwu. Dia membaca satu pelajaran kitab Al-M anthiq Ishlah karya Ibnu As Sakir yang membahas tentang ilmu bahasa, satu pelajaran tentang ilmu sharaf, satu pelajaran tentang ushul fiqih, satu pelajaran tentang nama-nama perawi, satu pelajaran tentang pokok-pokok agama alias tauhid. Terkadang membaca Al-Lum a' kitab karya Abu Ishak, terkadang membaca kitab Al-Muntakhab karya Al-Fakhru Ar-Razi. An-Nawawi berkata, "Aku sanggup mengomentari semua penjelasan yang dianggap musykil, menerangkan ungkapan-ungkapan, dan menguraikan bahasa. Semoga Allah senantiasa melimpahkan berkah atas waktu dan kesibukanku serta menolongku." Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar Al-Hanbali mene kitabAl-Mughni la'ah tulisan Al-Muwafiq Ibnu Qadamah sebanyak dua puluh tiga kali sehingga ia hampir hapal. ** * (10) CITA-CITA TINGGI MEREKA DALAM MENGHAPAL HADITS Abu Zura'ah mengatakan, "Ahmad bin Hanbal mampu menghapal sejuta hadits." Imam Ahmad ditanya, "Apa resep Anda?" Ia menjawab, "Aku mempelajarinya dan selalu mempelajarinya." Sulaiman bin Syu'bah berkata, "Mereka menulis dari Abu Daud se empat puluh banyak ribu hadits, padahal ia tidak membawa kitab." Abu Zura'ah Ar-Razi mengatakan, "Aku hapal dua ratus ribu hadits seperti orang menghapal surat Al-Ikhlas. Dan jika dengan mengingat keras aku bisa hapal tiga ratus ribu hadits." Hisyam Al-Kalbi mengatakan, "Aku bisa hapal sesuatu yang orang lain tidak hapal, dan bisa lupa sesuatu yang orang lain tidak lupa. Aku punya seorang paman yang selalu mendorongku agar menghapal Al-Qur'an. Pada suatu hari aku masuk rumah, lalu aku bersumpah tidak akan keluar sebelum aku hapal Al-Qur'an. Dan hanya dalam tempo tiga hari aku sudah hapal." Abu Ahmad alias Abdullah bin Ady Al-Hafizh berkata, "Aku mendebeberapa orang ngar guru bercerita, 'Pada suatu hari Muhammad bin Isma'il tiba di Baghdad. Para ulama ahli hadits yang mendengar berita itu segera berkumpul. Mereka telah menyiapkan seratus

21

hadits yang sengaja telah dibolak-balik matan serta sanadnya. Mereka menunjuk sepuluh orang wakil yang masing-masing akan menyodorkan sepuluh hadits kepada Al-Bukhari. Selanjutnya, mereka bersama-sama menemui Al-Bukhari. Salah seorang dari mereka mulai membacakan sepuluh hadits yang telah dipersiapkan. Dan ketika ditanyakan kepada AlBukhari, ia menjawab 'Aku tidak tahu.' Giliran yang lain yang mencoba lagi, dan Al-Bukhari juga menjawab, 'Aku tidak tahu.' Para ulama ahli fiqih yang ikut hadir di majelis itu saling memandang satu sama lain. Mereka yakin bahwa Al-Bukhari hanya berpura-pura. Ia sebenarnya tahu. Sementara yang lain menganggap Al-Bukhari memang benar-benar tidak tahu. Orang ketiga sampai yang ke sepuluh melakukan hal yang sama, Al-Bukhari tetap menjawab, 'Aku tidak tahu.' Ketika tahu mereka semua sudah selesai, barulah Al-Bukhari menoleh kepada mereka satu persatu seraya menjelaskan dengan hapalan yang tepat hadits-hadits yang mereka tanyakan. Bahkan, ia juga sanggup membenarkan matan serta sanadsanadnya yang telah mereka bolak-balik sedemikian rupa. Semua yang hadir tercengang menyaksikan kehebatannya. Salah seorang dari mereka, yang bernama Ibnu Shaid, setiap kali mengingat peristiwa itu ia mengatakan, 'Ia benar-benar laksana seekor kambing kibas yang suka menanduk'." Ibnu An-Najjar berkata, "Aku pernah mendengar guruku Abdul Wahab bin AlAmin bercerita, 'Pada suatu hari aku sedang bersama Al-Hafizh Abul Qasim bin Asakir dan Abu Sa'id bin As-Sam'ani. Ketika kami sedang dalam perjalanan mencari hadits dan menemui para guru, kami bertemu seorang guru. Ibnu As-Sam'ani meminta sang guru itu untuk berhenti sebentar supaya ia bersedia membacakan hadits untuknya. Akan tetapi, hadits yang dibacakannya, setelah dicocokkan ternyata tidak ada dalam catatannya. Ia (Ibnu As-Sam'ani) merasa kesal. Ibnu Asakir segera menghampiri Ibnu As-Sam'ani dan bertanya, 'Apa rujukannya?' Ibnu As-Sam'ani menjawab, 'Kitab Al-Ba'tsu a Al-Nusyur w tulisan Ibnu Abu Daud. Katanya ia mendengar riwayat tersebut dari Abu Nasher Az-Zainabi.' Ibnu Asakir berkata kepada Ibnu As-Sam'ani, jangan sedih.' Kemudian, ia membacakan hapalannya yang cocok dengan catatan Ibnu As-Sam'ani. Setelah itu, kami bertiga lalu melanjutkan perjalanan." Ibnu Al-Amid bercerita, "Sebelumnya aku tidak mengira di dunia ini ada sesuatu yang manis, semanis memegang kekuasaan yang aku alami. Sampai akhirnya aku menyaksikan sendiri mudzakarah yang berlangsung antara AthThabarani dan Abu Bakar Al-Ji'abi. Kelebihan Ath-Thabarani terletak pada hapalannya yang sangat banyak. Adapun Abu Bakar Al-Ji'abi, kelebihannya terletak pada kecerdasannya dan suaranya yang lantang. Abu Bakar Al-Ji'abi mengatakan, 'Aku punya sebuah hadits yang di dunia ini hanya aku saja yang punya.' AthThabarani berkata, 'Coba bacakan.' Abu Bakar Al-Ji'abi pun membacakan haditsnya, 'Aku mendapatkan riwayat dari Abu Khalifah, Abu Sulaiman bin Ayyub....' AthThabarani yang mendengar itu segera memotongnya, 'Aku, Sulaiman bin Ayyub mendengar riwayat dariku yang kemudian didengar oleh Abu Khalifah, kemudian Abu Khalifah menceritakannya kepada Ali dariku.' Mendengar sanggahan Ath-Thabarani tersebut, Abu Bakar Al-Ji'abi merasa malu. Aku tertawa dan gembira melihat hal itu." Diceritakan oleh Muhammad bin Ahmad Al-Wa'idh, "Pada suatu hari Abu Bakar bin Al-Baghindi sedang shalat. Setelah takbiratul ihram, ia mem 'Aku mendapatkan baca, riwayat dari Muhammad bin Sulaiman bin Luwain.' Menyangka ia melakukan kesalahan, aku segera membaca tasbih untuk mengingatkannya. Akan tetapi, ia malah terus membaca surat Al-Fatihah." Muhammad bin Ahmad Al-Wa'idh juga menceritakan, "Aku sangat mencintai hadits. Aku biasa melihat Nabi Shallallahu A laihi w a Sallam , tetapi aku tidak pernah berkata, 'Tolong, doakan aku kepada Allah.' Akan tetapi, aku memilih bertanya kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, mana di antara dua orang ini yang lebih kuat haditsnya, Manshur atau Alke A'masy?' Beliau menjawab, 'Manshur, Manshur'."

22

Ibnu Katsir berkata, "Terkadang tanpa sadar aku suka menyebut suatu hadits dalam shalat atau dalam tidur." Setiap hari, sejak siang sampai malam hari Yahya bin Hilal bin Mathar duduk untuk mendengarkan hadits-hadits yang telah dicatat. Dan setiap bulan ia bisa menyempurnakan bacaannya. Imam Abu Ishak Asy-Syairazi penulis kitab uhadzab Al-M bercerita, "Setiap pelajaran aku ulangi sampai seratus kali. Jika dalam satu masalah ada sebuah bait sya'ir yang dijadikan sebagai bukti penguat, aku hapalkan seluruh kasidahnya." Adz-Dzahabi berkata, "Aku pernah mendengar Syaikh Taqiyuddin mengatakan, 'Syaikh Ibnu Maliki mengatakan, 'Sesungguhnya Allah Subhnahu wa Ta'ala telah melembutkan pemahaman kepada Majduddin bin Taimiyah (kakek Ibnu Taimiyah), sebagaimana Dia telah melunakkan besi bagi Nabi Daud Alaihis Salam Ibnu Taimiyah juga .' berkata, 'Sesungguhnya kakekku (Majduddin) memiliki suatu keistimewaaan. Bahwa seuatu ketika seorang ulama bertanya kepadanya tentang suatu masalah ilmiah. Kakekku berkata kepadanya bahwa jawaban masalah itu ada enam puluh cara. Kemudian ia mengemukakannya satu persatu. Ulama itu berkata, "Cukup engkau mengulanginya." Sungguh dia tercengang-cengang dengan kecerdasannya itu. Ibnu Taimiyah juga berkata, "Sesungguhnya dia memang orang yang sangat istimewa pada zamannya dalam menukil matan dan menghafal beberapa mazhab tanpa sedikitpun merasa kesulitan dalam hal itu." Dia meninggal dunia pada tahun 652 H. Salah satu karya peninggalannya yang termasyhur adalah kitab Muntaqiyul Akhbar yang menjadi referensi banyak ulama di setiap masa. Dalam kitab itu penulisnya mengumpulkan hadits-hadits yang memuat soal fiqih yang dijadikan dalil dan rujukan bagi ahli mazhab. Pada akhir hayatnya dia meminta seorang ulama mujtahid besar dari Yaman, yakni Al-'Alamah Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (wafat 1255 M) untuk mensyarahinya menjadi delapan jilid tebal dengan judul Nailul Authar. Dia tergolong sebagai buku yang yang berbobot di bidang ilmu pengetahuan dan pengajaran dan penjelasan karena buku itu memang sangat analitis dan sistematis serta dijamin oleh luasnya wawasan penulis dan 6 kejelian hatinya. Syaikh Taqiyuddin mengatakan, "Kami kagum atas kehebatannya mengemukakan matan dan menghapal pendapat dengan sangat lancar. Pada suatu hari ia mengajak saudara sepupunya pergi ke Iraq untuk membantunya. Tengah malam saat terbangun, saudara sepupunya itu mendengar ia meng ulang-ulang masalah khilafiyah, sampai ia hapal masalahnya." Syaikh Ahmad bin Al-Hasan bin Anu Syarwan Ar-Rumi Al-Hanafi (652-745 Hijriyah) setiap hari sanggup menghapal tiga ratus baris pelajaran. Selama lebih dari tujuh belas tahun ia tinggal di Damaskus untuk belajar. Abu Shalih Ayyub bin Sulaiman menekuni ilmu 7 sampai hapal. Ketika ditanya arudl alasannya kenapa setelah dewasa ia tetap menekuni ilmu ter ia mengatakan, "Pada sebut, suatu hari aku pernah berada di tengah-tengah kaum yang banyak bicara sehingga aku merasa rendah diri. Sejak itulah aku bertekad untuk mendalami ilmu ini." *** (11 ) MEREKA SANGAT MENCINTAI BUKU Para ulama adalah orang-orang yang sangat mencintai buku. Mereka memiliki hubungan yang kuat dengan buku. Mereka senang sekali mene la'ahnya karena mereka menganggap buku sebagai gudang dan sumber ilmu. Al-Mubarrad mengatakan, "Setahuku, ada tiga orang ulama yang sangat rakus6 Ibnu Taimiyah, Pustaka Mantiq, Hal. 40-41

7

Adalah salah satu cabang dari ilm u Sastra Arab yang m em pelajari tentang sajak.

23

terhadap ilmu. Mereka ialah Al-Jahidz, Al-Fathu bin Khaqan, dan Ismail bin Ishak Al-Qadhi. Jika Al-Jahizh sedang memegang buku apa saja, ia akan membacanya sampai habis. AlFathu suka menyelipkan buku khuf-nya. Dan ketika berdiri meninggalkan Khalifah Aldi Mutawakkil untuk keper luan buang air kecil atau untuk shalat, ia keluarkan bukunya lalu ia baca sambil bejalan sampai ke tempat yang ditujunya. Pulangnya, ia melakukan hal yang sama sampai tiba di tempat semula. Sementara Ismail bin Ishak, setiap kali aku bertemu dengannya, pasti ia sedang memegang buku dan dibac atau sekedar dibolak-balik anya, untuk mencari informasi buku-buku baru." Abu Bakar Al-Khayyath An-Nahwi menggunakan seluruh waktunya untuk belajar, termasuk saat sedang dalam perjalanan. Akibat hobinya itu, ia pernah jatuh ke dalam lereng bukit, dan diinjak oleh binatang. Pada suatu hari seorang menteri yang sedang menerima rombongan tamu memanggil pelayannya, "Hai pelayan! Siapkan untukku teman kesepian dan pengisi waktu luangku." Mereka mengira sang menteri sedang minta d iambilkan minuman kesukaannya. Ternyata si pelayan muncul dengan mem bawa keranjang berisi buku yang cukup banyak. Ahmad bin Imran mengatakan, "Pada suatu hari aku sedang bersama Abu Ayyub alias Ahmad bin Muhammad bin Syuja' di rumahnya. Ia menyu ruh salah seorang pelayannya menemui Abu Abdullah Al-A'rabi yang terkenal suka berbuat aneh-aneh untuk menyampaikan pesan supaya ia datang mene muinya. Tidak lama kemudian, si pelayan datang dan berkata, 'Pesan Anda sudah aku sampaikan. Katanya, ia sedang menerima beberapa orang tamu dari dusun. Kalau selesai menemui mereka, ia akan segera kemari. Padahal aku tahu persis tidak ada siapa-siapa di rumahnya. Di depannya hanya ada setumpuk buku yang dilihatnya satu persatu.' Belum selesai si pelayan menyampaikan laporan, tiba-tiba Abu Abdullah muncul. Ia segera disambut oleh Abu Ayyub, 'Wahai Abu Abdullah Mahasuci Allah! Kenapa lama sekali , kamu tidak berkunjung ke sini. Anda sibuk terus dengan hobimu, ya? Kata pelayanku, tadi tidak ada siapa-siapa di rumahmu. Akan tetapi, kenapa kamu bilang kalau sedang ada tamu, dan kamu akan ke sini setelah menemani mereka? Apa maksudmu?' tanya Abu Ayyub. Abu Abdullah menjawab dengan membacakan sya'ir." Kami punya teman-teman duduk Dan kami tak pernah bosan berbicara dengan mereka Mereka bisa dipercaya saat aku ada di rumah maupun sedang pergi Mereka memberiku ilmu, kepintaran, pendidikan, dan pendapat yang benar tanpa menimbulkan fitnah yang ditakuti dan perlakuan buruk Aku juga tidak mengkhawatirkan kejahatan lidah dan tangannya Jika kamu bilang mereka mati, kamu tidak bohong Dan jika kamu bilang mereka hidup, kamu juga tidak berdusta Yang unik, konon Al-Jahizh pernah mengontrak beberapa toko buku dan alat-alat tulis. Malam hari ia suka tidur di tempat tersebut agar bisa baca kitab-kitab yang ada. mem Ibnu Al-Jauzi Rahim ahullah mengatakan, "Jalan kesempurnaan dalam menuntut ilmu ialah suka menela'ah buku-buku yang sarat dengan ilmu. Dengan demikian, sebagai seorang yang sedang menuntut ilmu Anda akan mengetahui kualitas dan kuantitas ilmu para ulama dahulu serta cita-cita mereka yang sangat tinggi sehingga diharapkan hal itu dapat membantu melecut sema belajar Anda. Setiap buku pasti mengandung manfaat. ngat Betapapun Anda harus membaca perjalanan hidup para ulama salaf, membaca karangankarangan mereka, dan memperhatikan kisah-kisah mereka, niscaya Anda akan mengetahui siapa mereka sebenarnya, seperti kata seorang penyair: Aku akan melihat perkampungan rumah dengan mata kepalaku supaya aku bisa melihat perkampungan rumah yang pernah aku dengar Aku ingin memberitahukan tentang keadaanku sendiri bahwa aku tidak merasa kenyang untuk membaca buku. Setiap kali melihat sebuah buku yang belum pernah aku lihat, aku seakan-akan berada di sebuah gudang penyim harta. panan Aku pernah melihat buku-buku yang diwakafkan di madrasah AnNizhamiyah.

24

Jumlahnya ada enam ribuan jilid. Di antaranya ada buku-buku karya Imam Abu Hanifah, karya Al-Humaidi, karya Syaikh Abdul W ahab bin Nashir, karya Abu Muhammad bin AlKhasysyab, dan masih banyak lagi buku-buku yang tidak bisa aku ketahui satu persatu. Selama menuntut ilmu, aku telah membaca buku sebanyak dua puluh ribu jilid. Dengan rajin membaca buku, aku bisa mengetahui sejarah para ulama salaf, cita-cita mereka yang tinggi, hapalan mereka yang luar biasa, ketekunan ibadah-ibadah mereka, dan ilmu mereka yang aneh-aneh. Semua itu jelas tidak mungkin diketahui oleh orang yang malas membaca. Itulah sebabnya dalam hal hobi membaca aku mempunyai kelebihan tersendiri dibanding kebanyakan manusia. Aku sangat prihatin atas cita-cita para penuntut ilmu sekarang ini. Dan segala puji adalah milik Allah." Selain mengandung banyak manfaat yang melimpah ruah dan merukebanggaan pakan besar, buku adalah harta yang paling mulia dan keindahan yang paling berharga. Buku adalah teman duduk yang paling setia, pelipur lara yang paling menyenangkan, dan teman keluh-kesah yang paling bisa di percaya. Itulah sebabnya para ulama sangat antusias dalam mengoleksi buku -buku dan membacanya. Ibnu HajarRahimahullahmisalnya, dalam kitabnya , Al-DurarAl-Kaminatmenceritakan tentang Ibnul Qayyim, "Ia sangat hobi mengoleksi buku sehingga ia berhasil memiliki koleksi buku yang tidak bisa dihitung jumlahnya. Setelah ia meninggal dunia, anak-anaknya menjual buku-buku peninggalannya dalam waktu yang cukup lama karena saking banyaknya, kecuali buku-buku tertentu yang mereka gunakan sendiri." Yahya bin Mu'in meninggalkan warisan buku sebanyak seratus empat-belas lemari dan empat tas berukuran sangat besar, yang semuanya penuh dengan buku. Tentang Ibnu Al-Mulaqqan, Ibnu Hajar mengatakan, "Ia mengoleksi banyak buku. Pada suatu hari aku mendengar kabar -ketika penyakit tha'un tengah melanda negerinya- ia bermaksud untuk menjual buku-buku hadits miliknya dengan harga yang berlaku saat itu. Merasa tertarik, aku segera ke rumahnya dengan membawa uang dirham satu tas. Aku berhasil memborong kitab-kitabnya, termasuk di antaranya ialahMusnad Im am Ahm ad kitab seharga tiga puluh dirham." Al-HafizhAdz-Dzahabi dalam kitabnya A'lam Al-N ubala' Sair bercerita tentang Al-Qadhi Abdurrahim bin Ali Al-Lakhmi, yang terkenal su