1. tanaman melati (jasminum sambac ait.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/m0411041_bab2.pdf ·...
TRANSCRIPT
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tanaman Melati (Jasminum sambac Ait.)
Melati (Jasminum sambac Ait.) diduga berasal dari India, melati putih
pertama kali dibudidayakan di Inggris pada tahun 1665. Terdapat 200 jenis melati
yang telah diidentifikasi oleh para ahli botani dan baru sekitar 9 jenis melati yang
umum dibudidayakan yaitu melati hutan (J. multiflorum), melati raja (J. rex),
melati cablanca (J. officinale), J. revotulum, J. mensy, J. parkery, melati australia
(J. simplicifolium), melati hibrida dan melati (J. sambac) (Rukmana, 1997).
Melati dikenal dengan beberapa nama di berbagai daerah antara lain yaitu
Jasminum sambac Ait. sebagai nama ilmiah, malati (Sunda); melati, menur
(Jawa); malur, merul (Batak); puti, bunga manor (Ambon); maluru (Makasar) dan
nama asing yaitu jasmine (Inggris); mo li hua (Cina) (Hieronymus, 2013).
Gambar 1. Tanaman Melati (Jasminum sambac Ait.) (Dokumen Pribadi)
7
a. Klasifikasi
Klasifikasi tanaman melati (J.sambac Ait) menurut Tjitrosoepomo (2005)
adalah :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dycotyledonae
Ordo : Oleales
Famili : Oleaceae
Genus : Jasminum
Spesies : Jasminum sambac (L) W. Ait
b. Morfologi tanaman melati (J. sambac Ait.)
Melati adalah tanaman perdu dengan tinggi tanaman sekitar 0,3-3 m.
Tanaman melati termasuk family Oleaceae, tumbuh lebih dari setahun (perennial)
dan bersifat merambat. Bunga melati berbentuk terompet dengan warna bervariasi
terantung pada jenis dan spesiesnya. Umumnya bunga melati tumbuh di ujung
tanaman. Susunan mahkota bunga tunggal atau ganda (bertumpuk), beraroma
harum tetapi ada beberapa jenis melati tidak memiliki aroma (Hieronymus, 2013).
Daun melati bertangkai pendek dengan helaian berbentuk bulat telur.
Panjang daun 2,5-10 cm dan lebarnya 1,5-6 cm. Ujung daun runcing, pangkal
membulat, tepi daun rata, tulang daun menyirip, menonjol pada permukaan bawah
dan permukaan daun hijau mengkilap. Letak duduk daun berhadap-hadapan pada
8
setiap buku. Batangnya berwarna coklat, berkayu berbentuk bulat sampai segi
empat, berbuku-buku dan bercabang banyak seolah-olah merumpun ( Eren, 2013).
Sistem perakaran tanaman melati adalah akar tunggang dan bercabang
yang menyebar ke semua arah dengan kedalaman 40-80 cm dari akar yang
terletak dekat permukaan tanah. Akar melati dapat menumbuhkan tunas atau cikal
bakal tanaman baru (Hieronymus, 2013).
Melati dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah maupun
dataran tinggi hingga ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Perbanyakan
tanaman melati dapat dilakukan dengan stek batang atau cangkok. Budidaya
melati menghendaki media tanam yang mengandung bahan organik tinggi.
Tanaman melati tidak memerlukan perlakuan khusus pada proses
pembungaannya. Melati banyak dimanfaatkan sebagai komponen taman,
rangkaian bunga untuk pengantin, ritual adat, bunga tabur, campuran teh atau
diambil minyak atsirinya sebagai bahan baku parfum. Selain itu, tanaman ini juga
dimanfaatkan sebagai obat tradisional karena pengaruh dari senyawa kimia dan
efek farmakologi yang dihasilkan (Endah, 2002).
c. Kandungan kimia dan efek farmakologi
Melati mengandung senyawa kimia yang sangat besar manfaatnya.
Kandungan senyawa kimia pada bunga dan daun melati menimbulkan rasa manis,
pedas dan bersifat sejuk. Sementara akarnya mempunyai rasa pedas, manis dan
agak beracun (Arief dan Anggoro, 2008). Skrinning fitokimia yang dilakukan oleh
Rastogi dan Mehrotra (1989) melaporkan adanya kandungan indole, eugenol,
9
linalool dan senyawa aktif lainnya pada bunga melati. Kandungan senyawa aktif
bunga melati disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Skrining fitokimia bunga melati (J. sambac Ait.)
No. Senyawa Tingkat Kepolaran
Nonpolar Semipolar Polar
1. 3-hexenol +
2. 2-vinylpridine +
3. Indol + + +
4. Myrcene + +
5. Geranyl linalool +
6. Alpha terphenol +
7. Beta terpenol +
8. Linalyl acetate +
9. Nerolidol +
10. Phytol +
11. Isophytol +
12. Farsenol +
13. Eugenol + + +
14. Benzyl alcohol
15. Methyl benzoate + + +
16. Benzyl cyanide + + +
17. Benzyl acetat + + +
18. Methyl anilate +
19. Cis-jasmone +
20. Methyl N-mthylantheranilate +
21. Vanilin +
22. Cis-hexenylbenzoate +
23. Asam benzoate +
24. Mthylpalmitate +
25. Mthyl linoleat +
26. 8,9-dihydrojasminin +
27. Linalool +
Sumber : Rastogi dan Mehrotra (1989)
Bunga melati mempunyai banyak manfaat dalam bidang kesehatan. Efek
farmakologis bunga melati di antaranya sebagai obat diare, influenza, jerawat,
biduran, bengkak digigit binatang, cacingan, demam, sakit gigi, radang mata
merah dan sesak napas (Eren, 2013). Bunga melati menghasilkan pigmen kuning
yang berperan aktif dalam memperbaiki metabolisme dan jaringan dalam tubuh
10
termasuk kulit (Rahardja dan Tjay, 2002). Berbagai khasiat yang diperoleh dari
bunga melati tersebut disebabkan keberadaan sejumlah senyawa aktif yang dapat
diperoleh melalui proses ekstraksi.
Kandungan komponen terbesar dari minyak bunga melati yaitu indole.
Indole adalah senyawa heterosiklik yang tersusun atas cincin benzena dengan cincin
pirola pada posisi C-2 dan C-3. Cincin indole antara lain ditemukan pada triptofan,
triptamina, serotonin. Indole adalah komponen populer wewangian dan prekursor
untuk obat-obatan. Senyawa yang mengandung cincin indole disebut indoles
(Lestari dkk, 2007).
Gambar 2. Struktur Indole
Indole merupakan senyawa alkaloid yang memiliki aktivitas antikanker.
Mekanisme kerja alkaloid sebagai antikanker adalah dengan mengikat tubuli dan
menghambat pembentukan komponen mikrotubuli pada kumparan mitosis
sehingga metafase berhenti (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Turunan indolin-
2-on dilaporkan menunjukkan bioaktivitas sebagai anti kanker. 4,6-Dibromo-3-
hidroksi-3-(2-oksopropil)indolin-2-on yang diisolasi dari Amathia convolute
menghambat pertumbuhan sel leukemia HL-60 dengan sebesar 12,5-25
μg/mL; maremycin-B dan maremycin-C yang diisolasi dari Streptomyces sp.
sitotoksik terhadap sel kanker serviks HeLa dengan sebesar 50 μg/mL.
(Peddibhotla, 2009).
11
2. Simplisia dan Ekstrak
a. Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan
alam yang dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia
hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang
berupa tanaman utuh, bagian tanaman tertentu atau eksudat tanaman. Simplisia
nabati harus bebas dari serangga, fragmen hewan atau kotoran hewan; tidak boleh
menyimpang bau dan warnanya; tidak boleh mengandung lendir dan cendawan,
atau menunjukkan tanda-tanda pengotoran lain; tidak boleh mengandung bahan
lain yang beracun atau berbahaya. Jika dalam beberapa hal khusus ada sedikit
penyimpangan dari beberapa ketentuan mengenai morfologik dan mikroskopik
yang tertera dalam Materia Medika Indonesia, sedangkan semua persyaratan lain
dipenuhi maka simplisia yang bersangkutan dapat dianggap memenuhi
persyaratan Materia Medika Indonesia (Depkes, 1995).
Materia Medika Indonesia berlaku sebagai pedoman untuk simplisia yang
akan dipergunakan untuk keperluan pengobatan, tetapi tidak berlaku bagi bahan
yang dipergunakan untuk keperluan lain yang dijual dengan nama yang sama.
Namun simplisia nabati secara umum merupakan produk hasil pertanian
tumbuhan obat setelah melalui proses pasca panen dan proses preparasi secara
sederhana menjadi bentuk produk kefarmasian yang siap dipakai atau siap
diproses selanjutnya, yaitu (Depkes, 2000) :
12
a. Siap dipakai dalam bentuk serbuk halus untuk diseduh sebelum diminum
(jamu).
b. Siap dipakai untuk dicacah dan digodok sebagai jamu godokan (infus).
c. Diproses selanjutnya untuk dijadikan produk sediaan farmasi lain yang
umumnya melalui proses ekstraksi, separasi dan pemurnian, yaitu menjadi
ekstrak, fraksi atau bahan isolat senyawa murni.
b. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat
secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan
pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (Depkes,
2000).
Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen senyawa yang
diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari
suatu bahan yang merupakan sumber komponennya. Pada umumnya ekstraksi
akan semakin baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan
pelarut semakin luas. Dengan demikian, semakin halus serbuk simplisia maka
akan semakin baik ekstraksinya. Selain luas bidang, ekstraksi juga dipengaruhi
oleh sifat fisik dan kimia simplisia yang bersangkutan (Agoes, 2007).
13
Proses pemisahan senyawa dari simplisia dilakukan dengan menggunakan
pelarut tertentu sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Pemisahan
senyawa berdasarkan kaidah like dissolved like yang artinya suatu senyawa akan
larut dalam pelarut yang sama tingkat kepolarannya. Bahan dan senyawa kimia
akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Kepolaran suatu
pelarut ditentukan oleh besar konstanta dieletriknya, yaitu semakin besar nilai
konstanta dielektrik suatu pelarut maka polaritasnya semakin besar. Menurut
Agoes (2007) beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut
antara lain:
1. Selektifitas, yaitu pelarut hanya melarutkan komponen target yang diinginkan
dan bukan komponen lain.
2. Kelarutan, yaitu kemampuan pelarut untuk melarutkan ekstrak yang lebih besar
dengan sedikit pelarut.
3. Toksisitas, yaitu pelarut tidak beracun.
4. Penguapan, yaitu pelarut yang digunakan mudah diuapkan.
5. Ekonomis, yaitu harga pelarut relatif murah.
Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan
ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Struktur kimia
yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-
senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat
keasaman. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan
mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Ekstraksi dengan
menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua golongan, yakni cara dingin dan
14
cara panas yang didasarkan pada kestabilan senyawa kimia dalam simplisia.
Metode ekstraksi yang dipakai pada penelitian ini adalah ekstraksi cara dingin
yaitu maserasi.
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (suhu
kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian
konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan
yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan
seterusnya (Agoes, 2007).
Pada proses maserasi ini pelarut akan menembus dinding sel sehingga
dapat masuk ke dalam rongga dan senyawa bioaktif akan larut, karena prinsip
kerja metode ekstraksi dengan maserasi ini adalah terjadi kontak langsung antara
bahan yang di ekstrak dengan pelarut pada waktu tertentu kemudian diikuti
dengan pemisahan dari bahan yang telah diekstrak (Rohman dan Gholib, 2009).
3. Uji Toksisitas Metode BSLT
Untuk skrining dan fraksionisasi fisiologi aktif dari ekstrak tanaman dapat
dilakukan uji standar toksisitas akut (jangka pendek). Suatu metode yang
digunakan secara luas dalam penelitian bahan alam untuk maksud tersebut adalah
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
merupakan salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat toksik
dan digunakan sebagai suatu bioassay yang pertama untuk penelitian bahan alam.
Metode ini menggunakan larva Artemia salina Leach sebagai hewan coba. Uji
15
toksisitas dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas dimana efek toksik
dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat, yaitu rentang waktu selama
24 jam setelah pemberian dosis uji. (Meyer et al., 1982).
Dengan berdasarkan pada pemikiran bahwa efek farmakologi adalah
toksikologi sederhana pada dosis yang rendah dan sebagian besar senyawa
antitumor adalah sitotoksik, maka BSLT dapat digunakan sebagai uji
pendahuluan senyawa anti tumor. Senyawa yang mempunyai kemampuan
membunuh larva udang diperkirakan juga mempunyai kemampuan membunuh sel
kanker dalam kultur sel (McLaughlin, 1991).
Pengujian ini adalah pengujian letalitas yang sederhana dan tidak spesifik
untuk aktifitas tumor, tetapi merupakan indikator toksisitas yang baik dan
menunjukkan korelasi yang kuat dengan pengujian anti tumor yang lainnya seperti
uji sitotoksisitas dan uji leukemia tikus. Karena kesederhanaan prosedur
pengerjaan, menjadikan BSLT sebagai uji hayati pendahuluan untuk aktivitas anti
tumor yang sesuai dan dapat dilakukan secara rutin di laboraturium dengan
fasilitas sederhana (McLaughlin, 1991).
Metode BSLT juga digunakan untuk mendeteksi keberadaan senyawa
toksik dalam proses isolasi senyawa dari bahan alam yang berefek sitotoksik
dengan menentukan harga dari senyawa aktif. Metode BSLT dapat
digunakan untuk system uji seperti pestisida, mitotoksin, polutan, anastetik,
komponen seperti morfin, karsinogenik dan ketoksikan dari hewan dan tumbuhan
laut serta senyawa beracun dari tumbuhan darat (McLaughlin, 1991).
16
Nilai merupakan nilai yang menunjukkan besarnya konsentrasi suatu
bahan uji yang dapat menyebabkan 50% kematian jumlah hewan uji setelah
perlakuan 24 jam. Melalui metode tersebut, pelaksanaan skrining awal suatu
senyawa aktif akan berlangsung relatif cepat dengan biaya yang relatif murah. Hal
ini dikarenakan hanya ekstrak atau senyawa yang memiliki aktivitas antikanker
berdasarkan metode BSLT tersebut yang selanjutnya dapat diyakinkan efek
antikankernya terhadap biakan sel kanker (Dwiatmaka, 2001; Mukhtar dkk.,
2007).
Metode ini dilakukan dengan menentukan besarnya nilai selama 24
jam. Data tersebut dianalisis menggunakan probit analisis untuk mengetahui nilai
. Jika nilai masing-masing ekstrak atau senyawa yang diuji kurang dari
1000 μg/mL maka dianggap menunjukkan adanya aktivitas biologik, sehingga
pengujian ini dapat digunakan sebagai skrining awal terhadap senyawa bioaktif
yang diduga berkhasiat sebagai antikanker. Metode BSLT memiliki keuntungan,
antara lain cepat, murah, sederhana (tidak memerlukan teknik aseptik), untuk
melakukannya tidak memerlukan peralatan khusus dan membutuhkan sampel
yang relatif sedikit dalam pengujian (Sunarni et al., 2003; Anderson et al., 1991;
Sukardiman dkk., 2004).
4. Artemia salina Leach.
Artemia salina Leach. atau sering disebut brine shrimp adalah sejenis
udang-udangan primitif yang sudah dikenal cukup lama dan oleh Linnaeus pada
tahun 1778 yang diberi nama Cancer salinus, kemudian oleh Leach diubah
menjadi Artemia salina pada tahun 1819. Hewan ini hidup planktonik di perairan
17
yang berkadar garam tinggi. Sebagai plankton, A. salina Leach. tidak dapat
mempertahankan diri terhadap musuh-musuhnya, karena tidak mempunyai cara
maupun alat untuk mempertahankan diri. Satu-satunya kondisi yang
menguntungkan dari alam adalah lingkungan hidup yang berkadar garam tinggi,
karena pada kondisi tersebut pemangsanya pada umumnya sudah tidak dapat
hidup lagi (Mudjiman, 1995).
Artemia (Artemia salina) merupakan pakan bagi Larva udang dan ikan
yang banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan pembenihan udang dan ikan
(hatchery). Artemia merupakan jenis crustaceae tingkat rendah dari phylum
arthropoda yang memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi seperti karbohidrat,
lemak, protein dan asam-asam amino. Nauplius artemia mempunyai kandungan
protein hingga 63 % dari berat keringnya. Selain itu artemia sangat baik untuk
pakan ikan hias karena banyak mengandung pigmen warna yang diperlukan untuk
variasi dan kecerahan warna pada ikan hias agar lebih menarik (Anderson et al.,
1991). Bentuk A. salina Leach. secara morfologi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Artemia salina Leach. (Abatzopoulos et. al., 1996 )
18
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Subclass : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Family : Artemiidae
Genus : Artemia
Spesies : A. salina Leach.
(Mudjiman, 1995).
b. Deskripsi
Artemia salina Leach. dewasa memiliki panjang tubuh umumnya sekitar
8-10 mm bahkan mencapai 20 mm tergantung lingkungan. Tubuhnya memanjang
terdiri sedikitnya 20 segmen dan dilengkapi kira-kira 10 pasang phyllopodia
pipih, yaitu bagian tubuh yang menyerupai daun yang bergerak dengan ritme
teratur. A. salina Leach. dewasa berwarna putih pucat, merah muda, hijau, atau
transparan dan biasanya hanya hidup beberapa bulan. Memiliki mulut dan
sepasang mata pada antenanya (Pitoyo, 2004).
Telur A. salina Leach. berbentuk bulat berlekuk dalam keadaan kering dan
bulat penuh dalam keadaan basah. Warnanya coklat dan diselubungi oleh
cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berfungsi untuk melindungi embrio
terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan
mempermudah pengapungan (Bougias, 2008).
19
c. Habitat A. salina Leach.
Artemia merupakan kelompok udang-udangan dari phylum Arthopoda.
Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton lain seperti copepode dan daphnia
(kutu air). Artemia hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh
dunia. Artemia hidup planktonik di perairan yang berkadar garam tinggi (antara
15- 300 per mil). Suhu yang dikehendaki berkisar antara 25-30° C, oksigen
terlarut sekitar 3 mg/L, dan pH antara 7,3–8,4. Secara alamiah salinitas danau
dimana mereka hidup sangat bervariasi, tergantung pada jumlah hujan dan
penguapan yang terjadi. Apabila kadar garam kurang dari 6% telur Artemia akan
tenggelam sehingga telur tidak bisa menetas, hal ini biasanya terjadi apabila air
tawar banyak masuk ke dalam danau di musim penghujan. Apabila kadar garam
lebih dari 25% telur akan tetap berada dalam kondisi tersuspensi, sehingga dapat
menetas dengan normal (Mudjiman, 1995).
Secara alami, makanan Artemia berupa sisa-sisa jasad hidup yang hancur,
ganggang-ganggang renik, bakteri dan cendawan (ragi laut). Selama pemeliharaan
makanan yang diberikan adalah katul, padi, tepung beras, tepung terigu, tepung
kedelai atau ragi. Artemia merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem
laut yang keberadaan sangat penting untuk perputaran energi dalam rantai
makanan, selain itu Artemia juga dapat digunakan dalam uji laboratorium untuk
mendeteksi toksisitas suatu senyawa dari ekstrak tumbuhan (Mudjiman, 1995 ;
Kanwar, 2007).
Artemia salina Leach. memiliki resistensi luar biasa pada perubahan dan
mampu hidup pada variasi salinitas air yang luas dari seawater (2.9-3.5%) sampai
20
the great salt lake (25-35%), dan masih dapat bertoleransi pada kadar garam 50%
(jenuh). Beberapa ditemukan di rawa asin hanya pada pedalaman bukit pasir
pantai, dan tidak pernah ditemui di lautan itu sendiri karena di lautan terlalu
banyak predator. A. salina Leach. juga mendiami kolom-kolom evaporasi buatan
manusia yang biasa digunakan untuk mendapatkan garam dari lautan. Insang
membantunya agar cocok dengan kadar garam tinggi dengan absorbs dan ekskresi
ion-ion yang dibutuhkan dan menghasilkan urin pekat dari glandula maxillaris.
Hidup pada variasi temperatur air yang tinggi pula, dari 6-37°C dengan
temperatur optimal untuk reproduksi pada 25°C (suhu kamar). Keuntungan hidup
pada lokasi berkadar garam tinggi adalah sedikitnya predator namun sumber
makanannya sedikit (Pitoyo, 2004; Stappen, 2006).
d. Perkembangan dan Siklus Hidup
Artemia salina Leach. dibedakan menjadi dua golongan berdasarkan cara
berkembangbiaknya, antara lain perkembangbiakan secara biseksual dan
partenogenetik. Keduanya dapat terjadi secara ovipar maupun ovovivipar. Pada
jenis A. salina Leach. ovovivipar, anakan yang keluar dari induknya sudah berupa
burayak yang dinamakan nauplis, sehingga sudah langsung dapat hidup sebagai A.
salina Leach. muda. Sedangkan pada cara ovipar, yang keluar dari induknya
berupa telur bercangkang tebal yang dinamakan siste. Proses untuk menjadi
nauplis masih harus melalui proses penetasan terlebih dahulu. Kondisi ovovivipar
biasanya terjadi bila keadaan lingkungan cukup baik, dengan kadar garam kurang
dari 150 per ml dan kandungan oksigennya cukup. Oviparitas terjadi apabila
keadaan lingkungan memburuk, dengan kadar garam lebih dari 150 per mil dan
21
kandungan oksigennya kurang. Telur ini memang dipersiapkan untuk menghadapi
keadaan lingkungan yang buruk, bahkan kering. Bila keadaan lingkungan baik
kembali, telur akan menetas dalam waktu 24-36 jam (Mudjiman, 1995; Kanwar,
2007).
Siklus hidup artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur.
Setelah 15 - 20 jam pada suhu 25°C kista akan menetas manjadi embrio. Dalam
waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada
fase ini embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi
naupli yang sudah akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna
orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru
menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan
sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap
larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa
mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya mereka tidak
akan peduli (tidak pemilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan
tersebut tersedia diair dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit
sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa
rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat
mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian
biomasnya akan mencapi 500 kali dibandingakan biomas pada fase naupli
(McLaughlin, 1991).
Artemia salina Leach. yang sudah dewasa dapat hidup sampai enam bulan.
Sementara induk-induk betinanya akan beranak atau bertelur setiap 4-5 hari
22
sekali, dihasilkan 50-300 telur atau nauplius. Nauplis akan dewasa setelah
berumur 14 hari, dan siap untuk berkembang biak (Mudjiman, 1995). Dalam
tingkat salinitas rendah dan dengan pakan yang optimal, betina Artemia bisa
menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50
hari) mereka bisa memproduksi nauplii rata-rata sebanyak 10 -11 kali. Dalam
kondisi super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi
nauplii atau kista sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari. Kista akan terbentuk
apabila lingkungannya berubah menjadi sangat salin dan bahan pakannya sangat
kurang dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam hari
(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Artemia dewasa toleran terhadap selang suhu -18 hingga 40°C.
Temperatur optimal untuk penetasan kista dan pertumbuhan adalah 25-30°C.
Meskipun demikian hal ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia
menghendaki kadar salinitas antara 30 - 35 ppt, dan mereka dapat hidup dalam air
tawar selama 5 jam sebelum akhirnya mati. Variabel lain yang penting adalah pH,
cahaya, dan oksigen. pH dengan selang 8-9 merupakan selang yang paling baik,
sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh Artemia.
Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat
menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup
untuk keperluan hidup Artemia. Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk
pertumbuhan Artemia, dengan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna
kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila
mereka banyak mengkonsumsi mikro alga (Bougias, 2008).
23
Artemia diperjual belikan dalam bentuk telur istirahat yang disebut kista.
Kista ini berbentuk bulatan-bulatan kecil berwarna kecoklatan dengan diameter
berkisar 200-300 mikron. Kista yang berkualitas baik akan menetas sekitar 18-24
jam apabila diinkubasi air yang bersalinitas 5- 70 permil. Ada beberapa tahapan
pada proses penetasan Artemia ini yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang dan
tahap payung atau tahap pengeluaran. Tahap hidrasi terjadi penyerapan air
sehingga kista yang diawetkan dalam bentuk kering tersebut akan menjadi bulat
dan aktif bermetabolisme. Tahap selanjutnya adalah tahap pecah cangkang dan
disusul tahap payung yang terjadi beberapa saat sebelum nauplii keluar dari
cangkang (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Siklus hidup A. salina dapat dilihat
pada Gambar 4.
Gambar 4. Siklus hidup A.salina (Tamaru dkk., 2004 )
24
e. Perilaku A. salina Leach.
Artemia salina Leach. bersifat fototaksis positif yang berarti menyukai
cahaya, di alam hal tersebut dibuktikan dengan adanya gerakan tubuh menuju ke
permukaan karena sinar matahari sebagai sumber cahaya secara alami, dimana
akan selalu di permukaan saat siang hari dan tenggelam pada malam hari.
Intensitas cahaya yang terlalu tinggi dapat pula mengakibatkan respon fototaksis
negatif sehingga ia akan menjauhi cahaya. A. salina Leach. yang baru menetas
mempunyai perilaku geotaksis positif, hal ini terjadi ketika nauplius tenggelam ke
bawah setelah menetas akibat efek gravitasi. Gerakan phyllopodia mendorong
makanan bergerak ke anterior (lokomosi). Gerakan anggota tubuhnya untuk
mendorongnya menuju arah sumber makanan (Bougias, 2008).
Budidaya artemia dapat dilakukan dengan beberapa sistem yaitu sistem
tumpang sari, monokultur dan dalam bak. Sistem tumpang sari dilakukan dengan
cara modifikasi tambak yang dapat berfungsi ganda. Pertama, untuk memproduksi
garam dengan kualitas yang lebih baik. Kedua memproduksi artemia, baik dalam
bentuk kista maupun biomassa. Dengan demikian sistem ini akan memberikan
keuntungan usaha tani yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan petani garam (Goh, 1997).
5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisiokimiawi senyawa
yang didasarkan pada pembagian campuran dua senyawa dalam dua fase dimana
fase gerak bergerak terhadap fase diamnya. Fase diam berupa serbuk yang
dilapiskan tipis merata pada lempeng kromatografi (plat, gelas, logam atau
25
lempeng yang cocok). Fase diam berfungsi sebagai penyerap. Pada sistem ini
dikenal istilah kecepatan rambat suatu senyawa yang diberi simbol Rf
(Retardation factor). Harga Rf ditentukan oleh jarak rambat senyawa dari titik
awal dan jarak rambat fase gerak dari titik awal. Harga Rf ini dapat digunakan
untuk identifikasi senyawa yang dianalisa. Menurut Sjamsul (1986) penentuan
harga Rf adalah sebagai berikut:
Suatu senyawa tanaman hasil isolasi akan diidentifikasi dengan
spektroskopi berdasarkan sifat kimia dan fisikanya. Teknik identifikasi dan
elusidasi struktur yang diperoleh dapat dilakukan dengan metode standar yang
sudah dikenal untuk menentukan senyawa kimia dan termasuk derivat-
derivatnya. Metode tersebut adalah metode kromatografi dan metode
spektroskopi. Penggunaan kromatografi sangat membantu dalam pendeteksian
senyawa metabolit sekunder dan dapat dijadikan sebagai patokan untuk proses
pengerjaan berikutnya dalam menentukan struktur senyawa. Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) merupakan salah satu jenis kromatografi yang umum digunakan.
Teknik KLT merupakan salah satu metode identifikasi awal untuk menentukan
kemurnian senyawa yang ditemukan atau dapat menentukaan jumlah senyawa dari
ekstrak kasar metabolit sekunder. Cara ini sangat sederhana dan murah serta dapat
digunakan sebagai suatu upaya pendeteksian awal (Gibbons, 2006).
26
A. Kerangka Pemikiran
Tanaman melati merupakan salah satu tanaman yang banyak dijumpai di
Indonesia. Pemanfaatan bunga melati sendiri baru sebagai bahan industri
kosmetik, parfum, makanan dan pelengkap upacara adat keagamaan. Penelitian
tentang khasiat bunga melati sudah beberapa kali dilakukan yaitu sebagai
antibakteri, antijamur, dan mampu menjadi obat dari beberapa penyakit. Bunga
melati mengandung berbagai senyawa diantaranya indole, eugenol, linalool dan
senyawa aktif lainnya. Kandungan Indole dari bunga melati diduga berpotensi
sebagai kandidat antikanker. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk skrinning
awal anti kanker dengan uji toksisitas larva Artemia salina Leach. Bagan
kerangka pemikiran dapat dilihat dari Gambar 5.
27
Gambar 5. Bagan alir kerangka pemikiran
Bunga melati diekstrak dengan 3 pelarut
(Klorofom, etil asetat dan etanol)
Pencarian bahan obat alami untuk kanker
Bunga melati mengandung senyawa alkaloid yang merupakan
antikanker dengan mekanisme mengikat tubuli dan menghambat
pembentukan komponen mikrotubuli pada kumparan mitosis
sehingga metafase berhenti (Siswandono dan Soekardjo, 1995)
Pengujian Alkaloid dengan Kromatografi Lapis Tipis
Uji Toksisitas metode BSLT
Diperoleh nilai 𝐿𝐶
28
B. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
1. Bagian komponen teraktif dari bunga melati (Jasminum sambac Ait.)
diduga mempunyai nilai kurang dari 1000 μg/mL sehingga
berpotensi sebagai kandidat antikanker.
2. Profil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dari ekstrak bunga melati dapat
terdeteksi mengandung alkaloid.