10 - sukarman et al - metodologi percepatan pemetaan status hara lahan sawah

9
141 Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah 1 Sukarman, 2 Diah Setyorini dan 1 Sofyan Ritung 1 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114 2 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114 Abstrak. Peta status hara P dan K lahan sawah sangat bermanfaat untuk arahan menyusun rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional. Peta status hara P dan K lahan sawah skala 1:50.000 bermanfaat untuk menyusun rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk tingkat kabupaten. Peta status hara P dan K lahan sawah skala 1:250.000 untuk arahan alokasi kebutuhan pupuk nasional. Pembuatan peta status hara lahan sawah telah dimulai pada tahun 1970 oleh Lembaga Penelitian Tanah dan sampai saat ini baru 22 provinsi yang dipetakan pemetaan status hara tanahnya. Sementara pemetaan status hara 1: 50.000, baru dilaksanakan pada beberapa kabupaten di wilayah Pantura, Jawa Barat, sehingga masih banyak lahan sawah di seluruh Indonesia yang belum dipetakan status hara tanahnya. Metode pemetaan status hara lahan sawah yang dilaksanakan sampai saat ini adalah metode grid. Penggunaan metode ini memerlukan waktu lama dan mahal, karena harus menjelajahi seluruh areal pemetaan dan jumlah contoh tanah yang dianalisis sangat banyak. Agar pemetaan status hara lahan sawah seluruh Indonesia dapat segera diselesaikan, maka perlu adanya upaya untuk melakukan percepatan, diantaranya menggunakan metode pemetaan yang cepat dan efisien serta akurat. Salah satu alternatif metode percepatan pemetaan status hara yang dapat digunakan adalah memanfaatkan cara delineasi satuan peta yang dianalisis secara digital berbasis GIS (Geographic Information System). Unsur yang dijadikan dasar delineasi satuan peta adalah: bentuk wilayah/lereng, bentuk sawah (diteras atau tidak diteras), bahan induk/litologi, sumber air irigasi dan tingkat manajemen pemupukan yang digunakan di suatu wilayah. Unsur bentuk wilayah/lereng diturunkan dari DEM (SRTM atau peta topografi digital), bentuk sawah diperoleh dari citra satelit, bahan induk/litologi diperolah dari peta geologi, sumber air irigasi diperoleh dari peta Rupabumi Indonesia (RBI) dan tingkat manajemen diperoleh Dinas Pertanian setempat. Dengan cara ini, maka (1). delineasi satuan peta dapat dilakukan secara cepat dan mencakup wilayah yang luas, (2). penjelajahan lapangan dilakukan seminimal mungkin dan (3). jumlah contoh tanah yang dianalisis dapat diminimalisir. Tujuan dari tulisan ini adalah membahas salah satu metode pemetaan status hara (P, K dan C-organik) lahan sawah dalam upaya untuk percepatan pemetaan status hara lahan sawah di Indonesia pada skala semi detail (1:50.000). Kata Kunci: Percepatan pemetaan, status hara, lahan sawah Abstract. Map of P and K status of wetland is very useful for making recommendations landing site-specific fertilization of rice paddies and the direction of the need for fertilizers in the district, provincial and national levels. Map of P and K status of wetland 10

Upload: ikhsan07

Post on 20-Oct-2015

20 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

141

Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

1Sukarman, 2Diah Setyorini dan 1Sofyan Ritung 1Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara

Pelajar No. 12, Bogor 16114 2Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor

16114

Abstrak. Peta status hara P dan K lahan sawah sangat bermanfaat untuk arahan menyusun

rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk di

tingkat kabupaten, provinsi dan nasional. Peta status hara P dan K lahan sawah skala

1:50.000 bermanfaat untuk menyusun rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi

serta arahan kebutuhan pupuk tingkat kabupaten. Peta status hara P dan K lahan sawah

skala 1:250.000 untuk arahan alokasi kebutuhan pupuk nasional. Pembuatan peta status

hara lahan sawah telah dimulai pada tahun 1970 oleh Lembaga Penelitian Tanah dan

sampai saat ini baru 22 provinsi yang dipetakan pemetaan status hara tanahnya. Sementara

pemetaan status hara 1: 50.000, baru dilaksanakan pada beberapa kabupaten di wilayah

Pantura, Jawa Barat, sehingga masih banyak lahan sawah di seluruh Indonesia yang

belum dipetakan status hara tanahnya. Metode pemetaan status hara lahan sawah yang

dilaksanakan sampai saat ini adalah metode grid. Penggunaan metode ini memerlukan

waktu lama dan mahal, karena harus menjelajahi seluruh areal pemetaan dan jumlah

contoh tanah yang dianalisis sangat banyak. Agar pemetaan status hara lahan sawah

seluruh Indonesia dapat segera diselesaikan, maka perlu adanya upaya untuk melakukan

percepatan, diantaranya menggunakan metode pemetaan yang cepat dan efisien serta

akurat. Salah satu alternatif metode percepatan pemetaan status hara yang dapat

digunakan adalah memanfaatkan cara delineasi satuan peta yang dianalisis secara digital

berbasis GIS (Geographic Information System). Unsur yang dijadikan dasar delineasi

satuan peta adalah: bentuk wilayah/lereng, bentuk sawah (diteras atau tidak diteras),

bahan induk/litologi, sumber air irigasi dan tingkat manajemen pemupukan yang

digunakan di suatu wilayah. Unsur bentuk wilayah/lereng diturunkan dari DEM (SRTM

atau peta topografi digital), bentuk sawah diperoleh dari citra satelit, bahan induk/litologi

diperolah dari peta geologi, sumber air irigasi diperoleh dari peta Rupabumi Indonesia

(RBI) dan tingkat manajemen diperoleh Dinas Pertanian setempat. Dengan cara ini, maka

(1). delineasi satuan peta dapat dilakukan secara cepat dan mencakup wilayah yang luas,

(2). penjelajahan lapangan dilakukan seminimal mungkin dan (3). jumlah contoh tanah

yang dianalisis dapat diminimalisir. Tujuan dari tulisan ini adalah membahas salah satu

metode pemetaan status hara (P, K dan C-organik) lahan sawah dalam upaya untuk

percepatan pemetaan status hara lahan sawah di Indonesia pada skala semi detail

(1:50.000).

Kata Kunci: Percepatan pemetaan, status hara, lahan sawah

Abstract. Map of P and K status of wetland is very useful for making recommendations

landing site-specific fertilization of rice paddies and the direction of the need for

fertilizers in the district, provincial and national levels. Map of P and K status of wetland

10

Page 2: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

Sukarman et al.

142

1:50,000 scale useful for preparing rice fertilizer recommendation and referral site-

specific fertilizer needs of the district. Map of P and K status of wetland 1:250.000 scale

for the allocation of landing a national fertilizer requirement. Making maps of wetland

nutrient status has been initiated in 1970 by the Research Institute of Soil and till now

only 22 provinces are mapped mapping soil nutrient status. While mapping the nutrient

status of 1: 50,000, has just been implemented in several districts in the northern coast,

West Java, so it is still a lot of paddy fields in Indonesia is not yet mapped the soil nutrient

status. Methods of nutrient status of wetland mapping undertaken to date is the grid

method. The use of these methods require long and expensive, because they have to

explore all areas of mapping and the number of soil samples are analyzed very much. In

order for the mapping of wetland nutrient status throughout Indonesia can be resolved,

there needs to accelerate efforts, including using a mapping method that quickly and

efficiently and accurately. One alternative method of mapping the acceleration of nutrient

status that can be used to delineate the unit is utilizing the analyzed digital maps based on

GIS (Geographic Information System). Elements that form the basis delineation map unit

are: the shape/slope, form fields (or not diteras diteras), parent material/lithology, source

of irrigation water and fertilizer management levels are used in a region. Elements of the

shape/slope derived from DEM (SRTM or digital topographic maps), form fields derived

from satellite imagery, the parent material/lithology obtained from geological maps, the

source of irrigation water obtained from Topographic maps of Indonesia (RBI) and the

Agriculture Department acquired the management of local . In this way, then (1).

Delineation map unit can be performed quickly and covers a wide area, (2). Field

explorations conducted a minimum and (3). The number of soil samples that were

analyzed can be minimized. The purpose of this paper is to discuss one method of

mapping the nutrient status (P, K and C-organic) paddy field in an effort to accelerate the

mapping of wetland nutrient status in Indonesia in the semi detail scale (1:50,000).

Keywords: Acceleration mapping, nutrient status, wetland

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian tanaman pangan terutama beras, merupakan salah subsektor yang

masih merupakan prioritas pembangunan pertanian di Indonesia. Peningkatan produksi

padi nasional tidak terlepas dari digunakannya varietas padi unggul baru (VUB) yang

umumnya responsif terhadap pemberian pupuk makro N, P dan K. Untuk memenuhi

kebutuhan hara varietas padi VUB dapat dilakukan melalui pemupukan. Apabila tidak

dilakukan pemupukan yang cukup, maka tanaman akan menguras unsur hara tersebut dari

dalam tanah. Jika tanahnya subur, tanaman padi tidak akan memperlihatkan penurunan

produksi dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang akan terjadi penurunan

produktivitas tanah dan tanaman. Jika tanah tidak subur maka tanaman padi akan

memperlihatkan produktivitas jauh lebih rendah daripada potensi produktivitas yang

sebenarnya.

Page 3: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

143

Status hara tanah sangat dipengaruhi oleh tingkat pengelolaan tanah yang dilakukan

petani. Lahan sawah yang dikelola secara intensif dan dipupuk terus menerus diduga

mengalami peningkatan kadar hara tanah, terutama kadar P dan K, serta mengalami

ketidakseimbangan hara. Sebaliknya pada lahan sawah yang dikelola tidak intensif atau

jarang dipupuk, akan terjadi penurunan kadar hara terutama hara K yang mudah tercuci.

Untuk itu diperlukan upaya penyusunan peta status hara tanah terutama P dan K untuk

mendukung akurasi rekomendasi pemupukan spesifik lokasi, ketepatan alokasi pupuk,

efisiensi pemupukan dan peningkatan mutu intensifikasi.

Pembuatan peta status hara lahan sawah telah dimulai pada tahun 1970 oleh

Lembaga Penelitian Tanah dan sampai saat ini baru 22 provinsi yang dipetakan pemetaan

status hara tanahnya pada skala 1:250.000. Sementara pemetaan status hara 1:50.000, baru

dilaksanakan pada beberapa kabupaten di wilayah Pantura, Jawa Barat, sehingga masih

banyak lahan sawah di seluruh Indonesia yang belum dipetakan status hara tanahnya. Peta

status hara P dan K tanah sawah skala 1:50.000 bermanfaat untuk menyusun rekomendasi

pemupukan padi sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk tingkat kabupaten.

Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan skala 1:50.000 di sentra produksi padi sawah seperti

di jalur pantura Jawa, Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera

Utara, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat.

Metode pemetaan status hara lahan sawah yang dilaksanakan sampai saat ini

adalah menggunakan metode grid. Penggunaan metode ini memerlukan waktu lama dan

mahal karena harus menjelajahi seluruh areal pemetaan dan jumlah contoh tanah yang

dianalisis sangat banyak. Agar pemetaan status hara lahan sawah seluruh Indonesia dapat

segera diselesaikan, maka perlu adanya upaya untuk melakukan percepatan, diantaranya

menggunakan metode pemetaan yang cepat dan efisien serta akurat.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas kemungkinan

memanfaatkan cara delineasi satuan peta yang dianalisis secara digital berbasis GIS

(Geographic Information System), menggunakan unsur-unsur penyebab perbedaan

kandungan unsur hara yang dapat dianalisis dari peta geologi/litologi, DEM (digital

elevation model), citra satelit serta data pendukung lainnya.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERBEDAAN STATUS HARA TANAH

Perbedaan status hara atau keragaman sifat tanah secara ruang dikelompokkan kedalam

dua golongan, yaitu keragaman sistematik dan keragaman acak (Wilding dan Drees,

1983). Keragaman sistematik berubah secara berangsur atau secara jelas atau menurut

kecenderungan tertentu. Penyebab keragaman sistematis, yaitu perbedaan topografi,

litologi, iklim, aktivitas biologi dan umur suatu wilayah.

Page 4: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

Sukarman et al.

144

Untuk wilayah yang tidak luas, keragaman mungkin berkaitan dengan posisi

geomorfik dan litologi/bahan induk, vegetasi dan iklim. Hasil penelitian Ovalles dan

Collins (1986) menunjukkan bahwa perbedaan bahan induk tanah dalam suatu landskap

dapat menjadi penyebab terjadinya perbedaan sifat-sifat tanah dan terdapat suatu

hubungan yang jelas antara perbedaan sifat-sifat tanah dengan posisinya di dalam

landskap.

Jenis keragaman spasial lainnya adalah keragaman yang bersifat acak. Keragaman

ini tidak dapat dihubungkan dengan penyebabnya yang jelas. Keragaman acak sebenarnya

dapat juga dinyatakan sebagai keragaman sistematis jika ditelaah secara lebih detail.

Wilding dan Drees (1983) telah meneliti keragaman sifat tanah secara secara lateral

maupun vertikal yang menyimpulkan bahwa keragaman sifat tanah disebabkan oleh :

1. Perbedaan litologi: fungsi dari susunan fisik, kimia, dan mineralogi dari bahan induk

yang mencerminkan asal muasal bahan induk, mekanisme transport dan sejarah

perkembangannya.

2. Perbedaan intensitas hancuran: fungsi dari jenis dan mekanisme hancuran,

pembentukan dan pengangkutan hasil hancuran dan evolusi landskap.

3. Perbedaan erosi dan deposisi: fungsi dari stabilitas landskap dan proses-proses

geomorfik.

4. Faktor-faktor biologi: fungsi dari flora dan fauna termasuk pengaruh manusia.

5. Perbedaan hidrologi: fungsi dari iklim, relief, vegetasi dan posisi geomorfik pada

suatu wilayah.

Faktor-faktor tersebut di atas pengaruhnya dapat diidentifikasi secara visual dan

terukur. Namun apabila faktor-faktor tersebut berinteraksi seringkali pengaruhnya sulit

atau tidak dapat diidentifikasi dengan jelas.

JENIS DAN METODE PEMETAAN STATUS HARA

Pembuatan peta status hara lahan sawah telah dimulai pada tahun 1970 oleh Lembaga

Penelitian Tanah yang dipetakan pada skala 1: 250.000, dilanjutkan dengan pemetaan

status hara 1: 50.000, dan baru dilaksanakan pada beberapa kabupaten di wilayah Pantura,

Jawa Barat.

Pada dasarnya tingkat pemetaan status hara tanah mengikuti tingkat pemetaan

untuk pemetaan tanah, yaitu ultra detail (skala 1:> 5.000), detail (sakala 1:5.000-10.000),

semi detail (skala 1:25.000-50.000), tinjau mendalam (skala 1:50.000-100.000), tinjau

(skala 1:100.000-500.000), eksplorasi (skala 1:1.000.000-2.500.000) dan bagan (skala <

Page 5: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

145

1:2.500.000). Namun demikian di Indonesia pemetaan tanah yang pernah dilakukan

umumnya berskala 1: 250.000 atau yang lebih besar.

Peta status hara skala 1: 250.000 sangat bermanfaat sebagai dasar penyusunan

rekomendasi pemupukan, menghitung kebutuhan pupuk nasional serta perencanaan dan

arahan distribusi penyaluran pupuk secara nasional di setiap propinsi. Sedangkan peta

status hara skala 1: 50.000 bermanfaat untuk menyusun rekomendasi pemupukan padi

sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk tingkat kabupaten.

Metode pemetaan status hara tanah sawah yang dilakukan umumnya menggunakan

grid sistematis. Untuk pemetaan skala 1: 250.000, contoh tanah diambil secara komposit

pada setiap jarak 2.500 meter, sedangkan untuk pemetaan skala 1: 50.000 contoh tanah

komposit diambil pada setiap jarak 500 meter. Semua contoh kemudian dianalisis di

laboratorium. Delineasi dilakukan secara manual berdasarkan tiga staus unsur hara yang

telah ditetapkan sebelumnnya, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Dengan berkembangnya

teknologi komputer, delineasi peta dilakukan dengan komputerisasi menggunakan teknik

GIS. Dalam melakukan deliniasi peta untuk membatasi antara lahan sawah berstatus

rendah, sedang dan tinggi berdasarkan kepada hasil analisis tanah dengan memperhatikan

bahan induk, jenis tanah, topografi/bentuk wilayah, dan batas alam (sungai/jalan).

Beberapa pemetaan status hara yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian pada skala 1: 50.000 juga dilakukan dengan metode grid. Salah satu contohnya

adalah Pemetaan Status hara Sawah di Jawa Tengah.

Dalam pemetaan dengan metode grid seluruh wilayah yang dipetakan harus

dijelajahi dan diambil contohnya untuk dianalisis di laboratorium. Dengan harus

menjelajahinya seluruh wilayah yang akan dipetakan maka diperlukan waktu yang cukup

lama, demikian juga halnya jumlah contoh yang akan dianalisis akan banyak yang pada

gilirannya menyebabkan jumlah biaya yang dikeluarkan akan tinggi.

Pengambilan contoh yang dilakukan secara grid juga kurang sesuai jika sebaran

status hara tanah sebenarnya menyebar secara sistematis. Oleh karena itu pengambilan

contoh akan lebih menemui sasarannya jika dilakukan berdasarkan pola sistematis sesuai

dengan kemungkinan perbedaan status hara tanahnya. Dengan perkataan lain pengambilan

contoh perlu dilakukan secara taktis mengekuti kemungkinan pola penyebarannya. Hal ini

juga akan menyebabkan jumlah contoh yang perlu diambil tidak akan terlalu banyak,

karena dapat dipilih tempat-tempat mana saja yang perlu dipilih contohnya untuk

dianalisis di labiratorium.

Dalam pemetaan status hara dari kegiatan pemetaan tanah tingkat semi detail di

Pusat Penelitian Tanah dalam memetakan areal untuk pembukaan lahan transmigrasi di

luar Pulau Jawa, penilaian status hara didasarkan kepada satuan peta tanah yang telah

Page 6: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

Sukarman et al.

146

disusun. Pengambilan contoh tanah komposit dilakukan dari setiap satuan peta tanah yang

telah terbentuk dengan memperhatikan penyebaran jenis tanahnya pada suatu landskap.

Sebagai contoh dalam Pemetaan Tanah Semi Detail di Lokasi Transmigrasi Taluk

Kuantan Riau (Tim Pusat Penelitian Tanah, 1981) contoh komposit untuk penilaian status

hara tanah diambil berdasarkan di setiap satuan peta tanah dengan jumlah 2 sampai 5

contoh tergantung dari luasan satuan peta tanah tersebut. Hal yang serupa juga dilakukan

pada pemetaan tanah di Pabrik Gula Jati Tujuh, Jatibarang Jawa Barat (Lembaga

Penelitian Tanah, 1980); Pemetaan Tanah Semi Detail Daerah Mbay dan Magepanda

(Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1996a, 1996b).

KONSEP PENYUSUNAN SATUAN PETA STATUS HARA TANAH

Penilaian status hara khususnya tanah sawah adalah didasarkan kepada status hara yang

ada di lapisan atas (top soils). Para peneliti sudah lama mendapatkan bahwa sifat kimia

tanah di permukaan tanah mempunyai variabilitas yang tinggi dibandingkan sifat kimia di

dalam sub soil atau sifat penciri untuk klasifikasi tanah. Penelitian keragaman sifat tanah

sudah dimulai sejak tahun 1915 (Wilding dan Drees, 1983). Hasil penelitian Rachim

(1989) di Bogor, mendapatkan bahwa sifat-sifat kimia tanah mempunyai variabilitas yang

lebih tinggi dibandingkan dengan sifat fisika tanah, kecuali pH dan kapasitas tukar kation.

Menurut Wilding dan Drees (1983) keragaman maupun keseragaman sifat tanah

dipengaruhi oleh: perbedaan litologi/bahan induk, intensitas hancuran iklim, perbedaan

tingkat erosi dan deposisi, faktor biologi (termasuk pengaruh manusia), perbedaan

hidrologi dan akibat kesalahan sampling. Untuk tujuan pemetaan status hara tanah, faktor-

faktor tersebut harus diperhatikan secara seksama agar hasil delineasi menghasilkan nilai-

nilai yang relatif seragam.

Masalah mendasar yang selalu diperdebatkan dalam pemetaan tanah atau pemetaan

status hara adalah penarikan batas (delineasi) satuan peta. Diperlukan adanya suatu

konsep bahwa unsur-unsur yang dijadikan dasar dalam delinesasi menghasilkan satus hara

tanah yang seragam atau berada pada kisaran yang relatif sempit dan batasnya dapat

ditentukan secara mudah dan nyata di lapangan. Perlu dibangun suatu konsep, bagaimana

cara melakukan delineasi dari tanda-tanda yang tampak jelas secara visual dan terukur,

sehingga dapat dianlisis melalui citra, DEM, data litologi dan data lain yang berpengaruh

terhadap status hara suatu wilayah.

Dalam pemetaan tanah, konsep yang dibangun adalah melalui pendekatan

landform. Landform adalah bentukan alam di permukaan bumi khususnya di daratan yang

terjadi karena proses pembentukan tertentu dan melalui suatu evolusi tertentu pula

(Marsoedi et al. 1997). Pemahaman yang mendorong digunakannya pendekatan landform

Page 7: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

147

ini adalah bahwa pada pemetaan tanah berskala kecil, batas-batas penyebaran tanah sulit

ditentukan, sebaliknya batas-batas landform tampak lebih jelas. Yang menjadi pertanyaan

adalah apakah pendekatan landform yang digunakan dalam pemetaan tanah, dapat juga

digunakan untuk delineasi pemetaan status hara tanah ? Nampaknya konsep ini dapat

digunakan dengan tambahan data lainnya diantaranya adalah data sumber air irigasi,

kondisi sawah (diteras atau tidak) dan penggunaan pupuk (pengaruh manusia).

METODE PERCEPATAN PEMETAAN YANG DAPAT DITERAPKAN

Uraian di atas menunjukkan bahwa selama ini, metode pemetaan status hara tanah masih

menggunakan sistem grid yang kurang memperhatikan pola penyebaran perbedaan status

hara tanah yang sebenarnya di lapangan. Dengan memperhatikan pola penyebarannya,

sebenarnya jumlah pengamatan maupun jumlah contoh tanah dapat dikurangi semininal

mungkin yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya efisiensi dalam waktu dan biaya.

Agar jumlah pengamatan lapang dan jumlah contoh dapat dikurangi secara

signifikan, maka perlu ada metode terobosan yang dapat mendukung keinginan tersebut.

Metode terobosan tersebut meliputi memperhatikan beberapa aspek:

1. Metode tersebut dikembangkan harus berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah.

2. Metode diarahkan kepada penggunaan teknik-teknik pemetaan mutakhir yang pada

akhirnya dapat meningkatkan efisiensi waktu dan dana tanpa mengurangi keakuratan

peta status hara yang dihasilkan.

3. Delineasi satuan peta status hara didasarkan kepada kemungkinan penyebaran

perbedaan status hara yang diyakini disebabkan oleh faktor penyebab keragaman

tanah secara spasial.

4. Faktor penyebab perbedaan status hara harus dapat diidentifikasi di lapangan dan

terekam dalam alat bantu yang digunakan (Citra satelit, DEM, Peta geologi dll).

5. Delineasi satuan peta status hara menggunakan teknik komputer berbasis GIS.

6. Hasil delineasi harus diverifikasi di lapangan.

7. Penetapan status hara tanah harus berdasarkan data contoh tanah komposit yang

diambil di lapangan, pada setiap satuan peta status hasil delineasi.

8. Jumlah sample yang diambil secara komposit pada setiap satuan peta status hasil

delineasi didasarkan kepada kemunginan variabilitas tanahnya yang bersifat acak.

9. Karena itu, untuk pemetaan status hara skala 1: 50.000 perlu disusun suatu konsep

satuan peta status hara yang dapat didelineasi mempergunakan alat bantu, yang

Page 8: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

Sukarman et al.

148

memperhatikan penyebaran keragaman/kehomogeman secara lateral unsur hara tanah

(terutama P, K dan C-oragnik) di lapangan.

Metode yang dapat diterapkan dalam upaya percepatan pemetaan adalah meliputi

perbaikan metode delineasi satuan peta dan perbaikan jumlah pengambilan contoh tanah

yang akan dianalisis. Agar pelaksanaan delineasi dapat dilakukan secara cepat, maka

pelaksanaannya harus terkomputerisasi berbasis GIS. Delineasi satuan peta memanfaatkan

DEM resolusi 30 meter yang bersumber dari peta kontur/Peta Rupabumi Indonesia (RBI)

skala 1: 25.000 - 1: 50.000 atau DEM dari Suttle Radar Topographic Mission resolusi 30

meter. Berbegai atribut landform dan faktor penentu variabilitas unsur hara dapat

dianalisis dari DEM dan citra satelit. Arc GIS, dan Arcview merupakan salah satu

perangkat lunak yang dapat digunakan untuk analisis atribut landform dari DEM.

Sedangkan program ER Mapper dapat digunakan untuk analisis citrab satelit. Dengan

memadukan hasil analisis dari kedua sumber data tersebut, berbagai kelemahan dari DEM

dan kelemahan dari Citra satelit dapat diminimalisir.

Contoh tanah yang diambil secara komposit unruk analisis kimia tanah tidak perlu

dilakukan secara sistem grid berjarak 500 meter, tetapi cukup diwakili oleh beberapa

pewakil dari setiap satuan tanah yang sebelumnya dibuat. Setiap satuan tanah yang

terbentuk diwakili oleh tiga contoh tanah komposit yang diambil secara acak. Dengan cara

ini, diharapkan pengambilan contoh tanah dapat mewakili penyebaran tanah sebenarnya di

lapangan, selain itu jumlah contoh tanah yang diambil untuk dianalsis dapat diminimalisir.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Untuk mendukung program ketahanan pangan yang lebih operasional, penyediaan

data status hara skala 1: 50.000 harus dipercepat.

2. Percepatan penyediaan data status hara tidak bisa mengandalkan metode

konvensional yang kurang efisien dalam hal waktu, tenaga dan biaya.

3. Diperlukan terobosan baru penggunaan metode pemetaan status hara memanfaatkan

kemajuan IPTEK, pendekatan metode fisiografi dari DEM yang dipadukan dengan

peta geologi/litologi, Data Hidrologi (DAS), citra satelit berbasis GIS merupakan

salah satu alternatif untuk menangulangi masalah ini.

4. Penggunaan metode delineasi secara digital dapat menghasilkan peta status hara

dengan lebih cepat, efisien dan murah.

Page 9: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah

149

Saran

1. Untuk kelancaran percepatan pemetaan status hara diperlukan pengembangan

infrastruktur jaringan komputer intern di BBSDLP maupun untuk akses data ke

sumber data, dan pengembangan sumberdaya manusia.

2. Data base satus hara tanah sawah maupun lahan kering perlu terus dikembangkan

untuk mendukung kegiatan ini.

3. Perlu ditindak lanjuti dengan penyusunan Petunjuk Teknis yang lebih operasional

DAFTAR PUSTAKA

Lembaga Penelitian Tanah. 1980. Survai dan Pemetaan Tanah, Areal Proyek Gula

Jatitujuh - Jatibarang, Jawa Barat. Kerjasama Proyek Industri Gula Pusat,

Direktorat Jenderal Perkebunan dengan Lembaga Penelitian Tanah. Lembaga

Penelitian tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen

Pertanian.

Marsoedi, D. S., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul S.W.P., S. Hardjowigeno dan E.R.

Jordens. 1997. Pedoman klasifikasi Landform. Technical Report No.5, Versi 3.

Pengembangan Pertanian.

Ovalles, F.A. and M. E. Collins. 1986. Soil-landscape relationships and soil variability in

North Central Florida. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 22:157-160.

Rachim, D.A. 1989. Evaluasi ketelitian pemetaan tanah detil dan keragaman spasial tanah

pada dua satuan peta di daerah Bogor. Thesis Magister Sains. Fakultas

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tim Pusat Penelitian Tanah. 1981. Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail (skala 1: 50.000)

daerah Taluk Kuanatan, Raiau. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang

Transmigrasi, Pusat Penelitian Tanah, Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, Departemen Pertanian.

Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1996a. Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail

(skala 1: 50.000) daerah Mbay, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian Proyek

Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat, Pusat Penelitian Tanah dan

Agroklimat Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen

Pertanian.

Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1996b. Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail

(skala 1: 50.000) daerah Magepanda, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian Proyek

Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat, Pusat Penelitian Tanah dan

Agroklimat Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen

Pertanian.

Wilding, L.P. and L.R. Drees. 1983. Spasial variability and pedology. In Wilding, L.P.,

N.E. Semeck and G.F. Hall (Ed). Pedogenesis and Soil Taxonomy I. Concepts and

Interactions. Elsevier