10 - sukarman et al - metodologi percepatan pemetaan status hara lahan sawah
TRANSCRIPT
![Page 1: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022080220/55cf98d7550346d03399f7d3/html5/thumbnails/1.jpg)
141
Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah
1Sukarman, 2Diah Setyorini dan 1Sofyan Ritung 1Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara
Pelajar No. 12, Bogor 16114 2Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor
16114
Abstrak. Peta status hara P dan K lahan sawah sangat bermanfaat untuk arahan menyusun
rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk di
tingkat kabupaten, provinsi dan nasional. Peta status hara P dan K lahan sawah skala
1:50.000 bermanfaat untuk menyusun rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi
serta arahan kebutuhan pupuk tingkat kabupaten. Peta status hara P dan K lahan sawah
skala 1:250.000 untuk arahan alokasi kebutuhan pupuk nasional. Pembuatan peta status
hara lahan sawah telah dimulai pada tahun 1970 oleh Lembaga Penelitian Tanah dan
sampai saat ini baru 22 provinsi yang dipetakan pemetaan status hara tanahnya. Sementara
pemetaan status hara 1: 50.000, baru dilaksanakan pada beberapa kabupaten di wilayah
Pantura, Jawa Barat, sehingga masih banyak lahan sawah di seluruh Indonesia yang
belum dipetakan status hara tanahnya. Metode pemetaan status hara lahan sawah yang
dilaksanakan sampai saat ini adalah metode grid. Penggunaan metode ini memerlukan
waktu lama dan mahal, karena harus menjelajahi seluruh areal pemetaan dan jumlah
contoh tanah yang dianalisis sangat banyak. Agar pemetaan status hara lahan sawah
seluruh Indonesia dapat segera diselesaikan, maka perlu adanya upaya untuk melakukan
percepatan, diantaranya menggunakan metode pemetaan yang cepat dan efisien serta
akurat. Salah satu alternatif metode percepatan pemetaan status hara yang dapat
digunakan adalah memanfaatkan cara delineasi satuan peta yang dianalisis secara digital
berbasis GIS (Geographic Information System). Unsur yang dijadikan dasar delineasi
satuan peta adalah: bentuk wilayah/lereng, bentuk sawah (diteras atau tidak diteras),
bahan induk/litologi, sumber air irigasi dan tingkat manajemen pemupukan yang
digunakan di suatu wilayah. Unsur bentuk wilayah/lereng diturunkan dari DEM (SRTM
atau peta topografi digital), bentuk sawah diperoleh dari citra satelit, bahan induk/litologi
diperolah dari peta geologi, sumber air irigasi diperoleh dari peta Rupabumi Indonesia
(RBI) dan tingkat manajemen diperoleh Dinas Pertanian setempat. Dengan cara ini, maka
(1). delineasi satuan peta dapat dilakukan secara cepat dan mencakup wilayah yang luas,
(2). penjelajahan lapangan dilakukan seminimal mungkin dan (3). jumlah contoh tanah
yang dianalisis dapat diminimalisir. Tujuan dari tulisan ini adalah membahas salah satu
metode pemetaan status hara (P, K dan C-organik) lahan sawah dalam upaya untuk
percepatan pemetaan status hara lahan sawah di Indonesia pada skala semi detail
(1:50.000).
Kata Kunci: Percepatan pemetaan, status hara, lahan sawah
Abstract. Map of P and K status of wetland is very useful for making recommendations
landing site-specific fertilization of rice paddies and the direction of the need for
fertilizers in the district, provincial and national levels. Map of P and K status of wetland
10
![Page 2: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022080220/55cf98d7550346d03399f7d3/html5/thumbnails/2.jpg)
Sukarman et al.
142
1:50,000 scale useful for preparing rice fertilizer recommendation and referral site-
specific fertilizer needs of the district. Map of P and K status of wetland 1:250.000 scale
for the allocation of landing a national fertilizer requirement. Making maps of wetland
nutrient status has been initiated in 1970 by the Research Institute of Soil and till now
only 22 provinces are mapped mapping soil nutrient status. While mapping the nutrient
status of 1: 50,000, has just been implemented in several districts in the northern coast,
West Java, so it is still a lot of paddy fields in Indonesia is not yet mapped the soil nutrient
status. Methods of nutrient status of wetland mapping undertaken to date is the grid
method. The use of these methods require long and expensive, because they have to
explore all areas of mapping and the number of soil samples are analyzed very much. In
order for the mapping of wetland nutrient status throughout Indonesia can be resolved,
there needs to accelerate efforts, including using a mapping method that quickly and
efficiently and accurately. One alternative method of mapping the acceleration of nutrient
status that can be used to delineate the unit is utilizing the analyzed digital maps based on
GIS (Geographic Information System). Elements that form the basis delineation map unit
are: the shape/slope, form fields (or not diteras diteras), parent material/lithology, source
of irrigation water and fertilizer management levels are used in a region. Elements of the
shape/slope derived from DEM (SRTM or digital topographic maps), form fields derived
from satellite imagery, the parent material/lithology obtained from geological maps, the
source of irrigation water obtained from Topographic maps of Indonesia (RBI) and the
Agriculture Department acquired the management of local . In this way, then (1).
Delineation map unit can be performed quickly and covers a wide area, (2). Field
explorations conducted a minimum and (3). The number of soil samples that were
analyzed can be minimized. The purpose of this paper is to discuss one method of
mapping the nutrient status (P, K and C-organic) paddy field in an effort to accelerate the
mapping of wetland nutrient status in Indonesia in the semi detail scale (1:50,000).
Keywords: Acceleration mapping, nutrient status, wetland
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian tanaman pangan terutama beras, merupakan salah subsektor yang
masih merupakan prioritas pembangunan pertanian di Indonesia. Peningkatan produksi
padi nasional tidak terlepas dari digunakannya varietas padi unggul baru (VUB) yang
umumnya responsif terhadap pemberian pupuk makro N, P dan K. Untuk memenuhi
kebutuhan hara varietas padi VUB dapat dilakukan melalui pemupukan. Apabila tidak
dilakukan pemupukan yang cukup, maka tanaman akan menguras unsur hara tersebut dari
dalam tanah. Jika tanahnya subur, tanaman padi tidak akan memperlihatkan penurunan
produksi dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang akan terjadi penurunan
produktivitas tanah dan tanaman. Jika tanah tidak subur maka tanaman padi akan
memperlihatkan produktivitas jauh lebih rendah daripada potensi produktivitas yang
sebenarnya.
![Page 3: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022080220/55cf98d7550346d03399f7d3/html5/thumbnails/3.jpg)
Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah
143
Status hara tanah sangat dipengaruhi oleh tingkat pengelolaan tanah yang dilakukan
petani. Lahan sawah yang dikelola secara intensif dan dipupuk terus menerus diduga
mengalami peningkatan kadar hara tanah, terutama kadar P dan K, serta mengalami
ketidakseimbangan hara. Sebaliknya pada lahan sawah yang dikelola tidak intensif atau
jarang dipupuk, akan terjadi penurunan kadar hara terutama hara K yang mudah tercuci.
Untuk itu diperlukan upaya penyusunan peta status hara tanah terutama P dan K untuk
mendukung akurasi rekomendasi pemupukan spesifik lokasi, ketepatan alokasi pupuk,
efisiensi pemupukan dan peningkatan mutu intensifikasi.
Pembuatan peta status hara lahan sawah telah dimulai pada tahun 1970 oleh
Lembaga Penelitian Tanah dan sampai saat ini baru 22 provinsi yang dipetakan pemetaan
status hara tanahnya pada skala 1:250.000. Sementara pemetaan status hara 1:50.000, baru
dilaksanakan pada beberapa kabupaten di wilayah Pantura, Jawa Barat, sehingga masih
banyak lahan sawah di seluruh Indonesia yang belum dipetakan status hara tanahnya. Peta
status hara P dan K tanah sawah skala 1:50.000 bermanfaat untuk menyusun rekomendasi
pemupukan padi sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk tingkat kabupaten.
Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan skala 1:50.000 di sentra produksi padi sawah seperti
di jalur pantura Jawa, Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat.
Metode pemetaan status hara lahan sawah yang dilaksanakan sampai saat ini
adalah menggunakan metode grid. Penggunaan metode ini memerlukan waktu lama dan
mahal karena harus menjelajahi seluruh areal pemetaan dan jumlah contoh tanah yang
dianalisis sangat banyak. Agar pemetaan status hara lahan sawah seluruh Indonesia dapat
segera diselesaikan, maka perlu adanya upaya untuk melakukan percepatan, diantaranya
menggunakan metode pemetaan yang cepat dan efisien serta akurat.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas kemungkinan
memanfaatkan cara delineasi satuan peta yang dianalisis secara digital berbasis GIS
(Geographic Information System), menggunakan unsur-unsur penyebab perbedaan
kandungan unsur hara yang dapat dianalisis dari peta geologi/litologi, DEM (digital
elevation model), citra satelit serta data pendukung lainnya.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERBEDAAN STATUS HARA TANAH
Perbedaan status hara atau keragaman sifat tanah secara ruang dikelompokkan kedalam
dua golongan, yaitu keragaman sistematik dan keragaman acak (Wilding dan Drees,
1983). Keragaman sistematik berubah secara berangsur atau secara jelas atau menurut
kecenderungan tertentu. Penyebab keragaman sistematis, yaitu perbedaan topografi,
litologi, iklim, aktivitas biologi dan umur suatu wilayah.
![Page 4: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022080220/55cf98d7550346d03399f7d3/html5/thumbnails/4.jpg)
Sukarman et al.
144
Untuk wilayah yang tidak luas, keragaman mungkin berkaitan dengan posisi
geomorfik dan litologi/bahan induk, vegetasi dan iklim. Hasil penelitian Ovalles dan
Collins (1986) menunjukkan bahwa perbedaan bahan induk tanah dalam suatu landskap
dapat menjadi penyebab terjadinya perbedaan sifat-sifat tanah dan terdapat suatu
hubungan yang jelas antara perbedaan sifat-sifat tanah dengan posisinya di dalam
landskap.
Jenis keragaman spasial lainnya adalah keragaman yang bersifat acak. Keragaman
ini tidak dapat dihubungkan dengan penyebabnya yang jelas. Keragaman acak sebenarnya
dapat juga dinyatakan sebagai keragaman sistematis jika ditelaah secara lebih detail.
Wilding dan Drees (1983) telah meneliti keragaman sifat tanah secara secara lateral
maupun vertikal yang menyimpulkan bahwa keragaman sifat tanah disebabkan oleh :
1. Perbedaan litologi: fungsi dari susunan fisik, kimia, dan mineralogi dari bahan induk
yang mencerminkan asal muasal bahan induk, mekanisme transport dan sejarah
perkembangannya.
2. Perbedaan intensitas hancuran: fungsi dari jenis dan mekanisme hancuran,
pembentukan dan pengangkutan hasil hancuran dan evolusi landskap.
3. Perbedaan erosi dan deposisi: fungsi dari stabilitas landskap dan proses-proses
geomorfik.
4. Faktor-faktor biologi: fungsi dari flora dan fauna termasuk pengaruh manusia.
5. Perbedaan hidrologi: fungsi dari iklim, relief, vegetasi dan posisi geomorfik pada
suatu wilayah.
Faktor-faktor tersebut di atas pengaruhnya dapat diidentifikasi secara visual dan
terukur. Namun apabila faktor-faktor tersebut berinteraksi seringkali pengaruhnya sulit
atau tidak dapat diidentifikasi dengan jelas.
JENIS DAN METODE PEMETAAN STATUS HARA
Pembuatan peta status hara lahan sawah telah dimulai pada tahun 1970 oleh Lembaga
Penelitian Tanah yang dipetakan pada skala 1: 250.000, dilanjutkan dengan pemetaan
status hara 1: 50.000, dan baru dilaksanakan pada beberapa kabupaten di wilayah Pantura,
Jawa Barat.
Pada dasarnya tingkat pemetaan status hara tanah mengikuti tingkat pemetaan
untuk pemetaan tanah, yaitu ultra detail (skala 1:> 5.000), detail (sakala 1:5.000-10.000),
semi detail (skala 1:25.000-50.000), tinjau mendalam (skala 1:50.000-100.000), tinjau
(skala 1:100.000-500.000), eksplorasi (skala 1:1.000.000-2.500.000) dan bagan (skala <
![Page 5: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022080220/55cf98d7550346d03399f7d3/html5/thumbnails/5.jpg)
Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah
145
1:2.500.000). Namun demikian di Indonesia pemetaan tanah yang pernah dilakukan
umumnya berskala 1: 250.000 atau yang lebih besar.
Peta status hara skala 1: 250.000 sangat bermanfaat sebagai dasar penyusunan
rekomendasi pemupukan, menghitung kebutuhan pupuk nasional serta perencanaan dan
arahan distribusi penyaluran pupuk secara nasional di setiap propinsi. Sedangkan peta
status hara skala 1: 50.000 bermanfaat untuk menyusun rekomendasi pemupukan padi
sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk tingkat kabupaten.
Metode pemetaan status hara tanah sawah yang dilakukan umumnya menggunakan
grid sistematis. Untuk pemetaan skala 1: 250.000, contoh tanah diambil secara komposit
pada setiap jarak 2.500 meter, sedangkan untuk pemetaan skala 1: 50.000 contoh tanah
komposit diambil pada setiap jarak 500 meter. Semua contoh kemudian dianalisis di
laboratorium. Delineasi dilakukan secara manual berdasarkan tiga staus unsur hara yang
telah ditetapkan sebelumnnya, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Dengan berkembangnya
teknologi komputer, delineasi peta dilakukan dengan komputerisasi menggunakan teknik
GIS. Dalam melakukan deliniasi peta untuk membatasi antara lahan sawah berstatus
rendah, sedang dan tinggi berdasarkan kepada hasil analisis tanah dengan memperhatikan
bahan induk, jenis tanah, topografi/bentuk wilayah, dan batas alam (sungai/jalan).
Beberapa pemetaan status hara yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian pada skala 1: 50.000 juga dilakukan dengan metode grid. Salah satu contohnya
adalah Pemetaan Status hara Sawah di Jawa Tengah.
Dalam pemetaan dengan metode grid seluruh wilayah yang dipetakan harus
dijelajahi dan diambil contohnya untuk dianalisis di laboratorium. Dengan harus
menjelajahinya seluruh wilayah yang akan dipetakan maka diperlukan waktu yang cukup
lama, demikian juga halnya jumlah contoh yang akan dianalisis akan banyak yang pada
gilirannya menyebabkan jumlah biaya yang dikeluarkan akan tinggi.
Pengambilan contoh yang dilakukan secara grid juga kurang sesuai jika sebaran
status hara tanah sebenarnya menyebar secara sistematis. Oleh karena itu pengambilan
contoh akan lebih menemui sasarannya jika dilakukan berdasarkan pola sistematis sesuai
dengan kemungkinan perbedaan status hara tanahnya. Dengan perkataan lain pengambilan
contoh perlu dilakukan secara taktis mengekuti kemungkinan pola penyebarannya. Hal ini
juga akan menyebabkan jumlah contoh yang perlu diambil tidak akan terlalu banyak,
karena dapat dipilih tempat-tempat mana saja yang perlu dipilih contohnya untuk
dianalisis di labiratorium.
Dalam pemetaan status hara dari kegiatan pemetaan tanah tingkat semi detail di
Pusat Penelitian Tanah dalam memetakan areal untuk pembukaan lahan transmigrasi di
luar Pulau Jawa, penilaian status hara didasarkan kepada satuan peta tanah yang telah
![Page 6: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022080220/55cf98d7550346d03399f7d3/html5/thumbnails/6.jpg)
Sukarman et al.
146
disusun. Pengambilan contoh tanah komposit dilakukan dari setiap satuan peta tanah yang
telah terbentuk dengan memperhatikan penyebaran jenis tanahnya pada suatu landskap.
Sebagai contoh dalam Pemetaan Tanah Semi Detail di Lokasi Transmigrasi Taluk
Kuantan Riau (Tim Pusat Penelitian Tanah, 1981) contoh komposit untuk penilaian status
hara tanah diambil berdasarkan di setiap satuan peta tanah dengan jumlah 2 sampai 5
contoh tergantung dari luasan satuan peta tanah tersebut. Hal yang serupa juga dilakukan
pada pemetaan tanah di Pabrik Gula Jati Tujuh, Jatibarang Jawa Barat (Lembaga
Penelitian Tanah, 1980); Pemetaan Tanah Semi Detail Daerah Mbay dan Magepanda
(Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1996a, 1996b).
KONSEP PENYUSUNAN SATUAN PETA STATUS HARA TANAH
Penilaian status hara khususnya tanah sawah adalah didasarkan kepada status hara yang
ada di lapisan atas (top soils). Para peneliti sudah lama mendapatkan bahwa sifat kimia
tanah di permukaan tanah mempunyai variabilitas yang tinggi dibandingkan sifat kimia di
dalam sub soil atau sifat penciri untuk klasifikasi tanah. Penelitian keragaman sifat tanah
sudah dimulai sejak tahun 1915 (Wilding dan Drees, 1983). Hasil penelitian Rachim
(1989) di Bogor, mendapatkan bahwa sifat-sifat kimia tanah mempunyai variabilitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan sifat fisika tanah, kecuali pH dan kapasitas tukar kation.
Menurut Wilding dan Drees (1983) keragaman maupun keseragaman sifat tanah
dipengaruhi oleh: perbedaan litologi/bahan induk, intensitas hancuran iklim, perbedaan
tingkat erosi dan deposisi, faktor biologi (termasuk pengaruh manusia), perbedaan
hidrologi dan akibat kesalahan sampling. Untuk tujuan pemetaan status hara tanah, faktor-
faktor tersebut harus diperhatikan secara seksama agar hasil delineasi menghasilkan nilai-
nilai yang relatif seragam.
Masalah mendasar yang selalu diperdebatkan dalam pemetaan tanah atau pemetaan
status hara adalah penarikan batas (delineasi) satuan peta. Diperlukan adanya suatu
konsep bahwa unsur-unsur yang dijadikan dasar dalam delinesasi menghasilkan satus hara
tanah yang seragam atau berada pada kisaran yang relatif sempit dan batasnya dapat
ditentukan secara mudah dan nyata di lapangan. Perlu dibangun suatu konsep, bagaimana
cara melakukan delineasi dari tanda-tanda yang tampak jelas secara visual dan terukur,
sehingga dapat dianlisis melalui citra, DEM, data litologi dan data lain yang berpengaruh
terhadap status hara suatu wilayah.
Dalam pemetaan tanah, konsep yang dibangun adalah melalui pendekatan
landform. Landform adalah bentukan alam di permukaan bumi khususnya di daratan yang
terjadi karena proses pembentukan tertentu dan melalui suatu evolusi tertentu pula
(Marsoedi et al. 1997). Pemahaman yang mendorong digunakannya pendekatan landform
![Page 7: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022080220/55cf98d7550346d03399f7d3/html5/thumbnails/7.jpg)
Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah
147
ini adalah bahwa pada pemetaan tanah berskala kecil, batas-batas penyebaran tanah sulit
ditentukan, sebaliknya batas-batas landform tampak lebih jelas. Yang menjadi pertanyaan
adalah apakah pendekatan landform yang digunakan dalam pemetaan tanah, dapat juga
digunakan untuk delineasi pemetaan status hara tanah ? Nampaknya konsep ini dapat
digunakan dengan tambahan data lainnya diantaranya adalah data sumber air irigasi,
kondisi sawah (diteras atau tidak) dan penggunaan pupuk (pengaruh manusia).
METODE PERCEPATAN PEMETAAN YANG DAPAT DITERAPKAN
Uraian di atas menunjukkan bahwa selama ini, metode pemetaan status hara tanah masih
menggunakan sistem grid yang kurang memperhatikan pola penyebaran perbedaan status
hara tanah yang sebenarnya di lapangan. Dengan memperhatikan pola penyebarannya,
sebenarnya jumlah pengamatan maupun jumlah contoh tanah dapat dikurangi semininal
mungkin yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya efisiensi dalam waktu dan biaya.
Agar jumlah pengamatan lapang dan jumlah contoh dapat dikurangi secara
signifikan, maka perlu ada metode terobosan yang dapat mendukung keinginan tersebut.
Metode terobosan tersebut meliputi memperhatikan beberapa aspek:
1. Metode tersebut dikembangkan harus berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah.
2. Metode diarahkan kepada penggunaan teknik-teknik pemetaan mutakhir yang pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi waktu dan dana tanpa mengurangi keakuratan
peta status hara yang dihasilkan.
3. Delineasi satuan peta status hara didasarkan kepada kemungkinan penyebaran
perbedaan status hara yang diyakini disebabkan oleh faktor penyebab keragaman
tanah secara spasial.
4. Faktor penyebab perbedaan status hara harus dapat diidentifikasi di lapangan dan
terekam dalam alat bantu yang digunakan (Citra satelit, DEM, Peta geologi dll).
5. Delineasi satuan peta status hara menggunakan teknik komputer berbasis GIS.
6. Hasil delineasi harus diverifikasi di lapangan.
7. Penetapan status hara tanah harus berdasarkan data contoh tanah komposit yang
diambil di lapangan, pada setiap satuan peta status hasil delineasi.
8. Jumlah sample yang diambil secara komposit pada setiap satuan peta status hasil
delineasi didasarkan kepada kemunginan variabilitas tanahnya yang bersifat acak.
9. Karena itu, untuk pemetaan status hara skala 1: 50.000 perlu disusun suatu konsep
satuan peta status hara yang dapat didelineasi mempergunakan alat bantu, yang
![Page 8: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022080220/55cf98d7550346d03399f7d3/html5/thumbnails/8.jpg)
Sukarman et al.
148
memperhatikan penyebaran keragaman/kehomogeman secara lateral unsur hara tanah
(terutama P, K dan C-oragnik) di lapangan.
Metode yang dapat diterapkan dalam upaya percepatan pemetaan adalah meliputi
perbaikan metode delineasi satuan peta dan perbaikan jumlah pengambilan contoh tanah
yang akan dianalisis. Agar pelaksanaan delineasi dapat dilakukan secara cepat, maka
pelaksanaannya harus terkomputerisasi berbasis GIS. Delineasi satuan peta memanfaatkan
DEM resolusi 30 meter yang bersumber dari peta kontur/Peta Rupabumi Indonesia (RBI)
skala 1: 25.000 - 1: 50.000 atau DEM dari Suttle Radar Topographic Mission resolusi 30
meter. Berbegai atribut landform dan faktor penentu variabilitas unsur hara dapat
dianalisis dari DEM dan citra satelit. Arc GIS, dan Arcview merupakan salah satu
perangkat lunak yang dapat digunakan untuk analisis atribut landform dari DEM.
Sedangkan program ER Mapper dapat digunakan untuk analisis citrab satelit. Dengan
memadukan hasil analisis dari kedua sumber data tersebut, berbagai kelemahan dari DEM
dan kelemahan dari Citra satelit dapat diminimalisir.
Contoh tanah yang diambil secara komposit unruk analisis kimia tanah tidak perlu
dilakukan secara sistem grid berjarak 500 meter, tetapi cukup diwakili oleh beberapa
pewakil dari setiap satuan tanah yang sebelumnya dibuat. Setiap satuan tanah yang
terbentuk diwakili oleh tiga contoh tanah komposit yang diambil secara acak. Dengan cara
ini, diharapkan pengambilan contoh tanah dapat mewakili penyebaran tanah sebenarnya di
lapangan, selain itu jumlah contoh tanah yang diambil untuk dianalsis dapat diminimalisir.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Untuk mendukung program ketahanan pangan yang lebih operasional, penyediaan
data status hara skala 1: 50.000 harus dipercepat.
2. Percepatan penyediaan data status hara tidak bisa mengandalkan metode
konvensional yang kurang efisien dalam hal waktu, tenaga dan biaya.
3. Diperlukan terobosan baru penggunaan metode pemetaan status hara memanfaatkan
kemajuan IPTEK, pendekatan metode fisiografi dari DEM yang dipadukan dengan
peta geologi/litologi, Data Hidrologi (DAS), citra satelit berbasis GIS merupakan
salah satu alternatif untuk menangulangi masalah ini.
4. Penggunaan metode delineasi secara digital dapat menghasilkan peta status hara
dengan lebih cepat, efisien dan murah.
![Page 9: 10 - Sukarman Et Al - Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022080220/55cf98d7550346d03399f7d3/html5/thumbnails/9.jpg)
Metodologi Percepatan Pemetaan Status Hara Lahan Sawah
149
Saran
1. Untuk kelancaran percepatan pemetaan status hara diperlukan pengembangan
infrastruktur jaringan komputer intern di BBSDLP maupun untuk akses data ke
sumber data, dan pengembangan sumberdaya manusia.
2. Data base satus hara tanah sawah maupun lahan kering perlu terus dikembangkan
untuk mendukung kegiatan ini.
3. Perlu ditindak lanjuti dengan penyusunan Petunjuk Teknis yang lebih operasional
DAFTAR PUSTAKA
Lembaga Penelitian Tanah. 1980. Survai dan Pemetaan Tanah, Areal Proyek Gula
Jatitujuh - Jatibarang, Jawa Barat. Kerjasama Proyek Industri Gula Pusat,
Direktorat Jenderal Perkebunan dengan Lembaga Penelitian Tanah. Lembaga
Penelitian tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian.
Marsoedi, D. S., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul S.W.P., S. Hardjowigeno dan E.R.
Jordens. 1997. Pedoman klasifikasi Landform. Technical Report No.5, Versi 3.
Pengembangan Pertanian.
Ovalles, F.A. and M. E. Collins. 1986. Soil-landscape relationships and soil variability in
North Central Florida. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 22:157-160.
Rachim, D.A. 1989. Evaluasi ketelitian pemetaan tanah detil dan keragaman spasial tanah
pada dua satuan peta di daerah Bogor. Thesis Magister Sains. Fakultas
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tim Pusat Penelitian Tanah. 1981. Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail (skala 1: 50.000)
daerah Taluk Kuanatan, Raiau. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang
Transmigrasi, Pusat Penelitian Tanah, Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian.
Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1996a. Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail
(skala 1: 50.000) daerah Mbay, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian Proyek
Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat, Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian.
Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1996b. Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail
(skala 1: 50.000) daerah Magepanda, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian Proyek
Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat, Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian.
Wilding, L.P. and L.R. Drees. 1983. Spasial variability and pedology. In Wilding, L.P.,
N.E. Semeck and G.F. Hall (Ed). Pedogenesis and Soil Taxonomy I. Concepts and
Interactions. Elsevier