108 pendekar liang-shan

99
Kisah Tepi Air/108 Pendekar Liang Shan Batas Air (Hanzi: 水水水, hanyu pinyin: shui hu zhuan; bahasa Inggris: Water Margin, All Men are Brothers, Outlaw of the Marsh, 108 Bandits of Liang Shan; bahasa Jepang: Suikoden) adalah sebuah roman terkenal dari zaman Dinasti Ming. Roman ini menceritakan realita kehidupan para bandit yang dipimpin oleh Song Jiang melawan kebengisan pemerintah Dinasti Song. Song Jiang sendiri adalah tokoh sejarah, namun di roman tentunya ia digambarkan sesuai imajinasi sang pengarang. Bagi kaum pemerintahan, mereka disebut bandit, tetapi bagi rakyat setempat mereka disebut pahlawan, karena mereka biasa merampok kaum orang kaya yang tidak baik dan korupsi yang kemudian dibagikan kepada orang miskin dan tidak mampu. Dalam sejarahnya, ada 108 bandit pahlawan yang terkenal dan mereka bersatu mengikat janji di Ruangan Kesetiaan (bahasa Inggris: Hall of Loyalty). Markas mereka berada di Gunung Liangshanpo, yang dikelilingi oleh laut dan air sehingga sulit diserang. Mereka memiliki anggota sampai puluhan ribu. Pengarang roman ini adalah Shi Nai-an (Hanzi: 水水水) dengan bantuan Luo Guanzhong. Namun sebenarnya, ada dugaan bahwa tidak ada orang bernama Shi Nai- an dan Shi Nai-an adalah nama samaran dari Luo sendiri. Namun versi lain yang lebih populer adalah Shi Nai-an menuliskan novel ini, Luo bertindak sebagai editor dan menambahkan 30 bab terakhir daripada novel ini.

Upload: rojiih-nitikusuma

Post on 08-Feb-2016

790 views

Category:

Documents


326 download

DESCRIPTION

All Men Are Brothers

TRANSCRIPT

Page 1: 108 Pendekar Liang-Shan

Kisah Tepi Air/108 Pendekar Liang Shan

Batas Air (Hanzi: 水滸傳, hanyu pinyin: shui hu zhuan; bahasa Inggris: Water Margin, All Men are Brothers, Outlaw of the Marsh, 108 Bandits of Liang Shan; bahasa Jepang: Suikoden) adalah sebuah roman terkenal dari zaman Dinasti Ming.

Roman ini menceritakan realita kehidupan para bandit yang dipimpin oleh Song Jiang melawan kebengisan pemerintah Dinasti Song. Song Jiang sendiri adalah tokoh sejarah, namun di roman tentunya ia digambarkan sesuai imajinasi sang pengarang. Bagi kaum pemerintahan, mereka disebut bandit, tetapi bagi rakyat setempat mereka disebut pahlawan, karena mereka biasa merampok kaum orang kaya yang tidak baik dan korupsi yang kemudian dibagikan kepada orang miskin dan tidak mampu. Dalam sejarahnya, ada 108 bandit pahlawan yang terkenal dan mereka bersatu mengikat janji di Ruangan Kesetiaan (bahasa Inggris: Hall of Loyalty). Markas mereka berada di Gunung Liangshanpo, yang dikelilingi oleh laut dan air sehingga sulit diserang. Mereka memiliki anggota sampai puluhan ribu.

Pengarang roman ini adalah Shi Nai-an (Hanzi: 施耐庵) dengan bantuan Luo Guanzhong. Namun sebenarnya, ada dugaan bahwa tidak ada orang bernama Shi Nai-an dan Shi Nai-an adalah nama samaran dari Luo sendiri. Namun versi lain yang lebih populer adalah Shi Nai-an menuliskan novel ini, Luo bertindak sebagai editor dan menambahkan 30 bab terakhir daripada novel ini.

Page 2: 108 Pendekar Liang-Shan

BAB 1Zhang Sang Pendeta Suci Berdoa untuk Menghilangkan Wabah Penyakit

Jendral Hong Melepaskan Iblis-Iblis Secara Tidak SengajaBagian 1

Setelah kekacauan dan perselisihan pada masa Lima DinastiAwan-awan menghilang dan menampakkan langit sekali lagiHujan memberikan pohon-pohon tua kehidupanTercapailah kemajuan budaya dan pendidikanRakyat jelata mengenakan sutraMusik bergema di gedung dan menaraDi bawah naungan surga seluruh dunia amanDitengah burung dan bunga manusia tertidur nyaman*

Puisi delapan baris ini ditulis pada masa Kaisar Shen Zong dari Dinasti Song oleh seorang sarjana bernama Shao Yaofu, juga dikenal dengan nama Master Kang Jie. Dari akhir Dinasti Tang dan masa Lima Dinasti, berkali-kali terjadi kekacauan. Dinasti-dinasti hanya berumur pendek dan terus silih berganti. Benarlah sajak ini:

Zhu, Li, Shi, Liu, Guo mendirikanLian, Tang, Jin, Han dan Zhou didirikanLima belas kaisar dalam lima puluh tahun berkelanjutanMembawa penderitaan, kekacauan, dan kesengsaraan

Pada masa ini, kehendak Langit membawa perubahan baru. Di Jiamaying, Tai Zu dilahirkan. Cahaya kemerahan menutupi langit ketika dia dilahirkan ke dunia dan wangi-wangian masih memenuhi udara pada pagi harinya. Dia sebenarnya adalah Dewa Petir yang turun ke bumi. Keberanian dan kemurahan hatinya melebihi kaisar-kaisar yang pernah ada.

Dengan tombak yang setinggi badannya dia berperang dengan gagah berani sehingga empat ratus perfektur dan distrik mengakui kekuasaannya. Dia menyapu bersih seluruh daratan dan mempersatukan Dataran

Page 3: 108 Pendekar Liang-Shan

Utama. Menamakan kekaisarannya sebagai Song Agung, dia menetapkan pusat pemerintahannya di Bian Liang. Tai Zu merupakan kaisar pertama dari delapan belas kaisar Dinasti Song dan merupakan pendiri dari dinasti yang bertahan selama empat ratus tahun.

Inilah sebabnya Shao Yaofu mengatakan dalam puisinya: Awan-awan menghilang dan menampakkan langit sekali lagi. Karena bagi rakyat hal ini benar-benar seperti melihat kembali matahari.

Pada masa itu di Huashan, gunung suci di barat, hidup seorang pertapa Tao bernama Chen Tuan. Dia adalah seorang pertapa yang sakti. Dia dapat meramal masa depan hanya dengan melihat keadaan langit. Suatu hari dia sedang mengendarai keledainya menuruni gunung menuju ke kota Huayin, dia mendengar seorang pengelana di jalan berkata, “Kaisar Chai Shi Zong telah menyerahkan takhtanya ke Jendral Zhao di Ibukota Timur.”

Chen menepukkan tangannya ke keningnya kemudian tertawa terbahak-bahak hingga dia terjatuh dari keledainya. Ketika ditanya alasan kenapa dia sangat senang, dia menjawab: “Kekaisaran akan berjalan dengan baik mulai sekarang. Karena ini sesuai dengan kehendak langit di atas, hukum bumi di bawah, dan hati rakyat di tengah.”

Jendral Zhao menerima takhta pada tahun 960 M dan mendirikan rezimnya. Dia berkuasa selama tujuh puluh tahun dan pada masa itu terjadi kedamaian di seluruh daratan. Dia digantikan oleh adiknya, Tai Zong, yang berkuasa selama dua puluh tahun. Tai Zong digantikan oleh Zhen Zong yang kemudian digantikan oleh Ren Zong.

Ketika Kaisar Ren Zong dilahirkan di bumi, dia menangis siang dan malam tanpa berhenti. Kekaisaran mengeluarkan pengumuman, mengundang siapa saja yang bisa menyembuhkan pangeran untuk datang. Langit tersentuh dan kemudian mengirim Dewa Langit dalam wujud seorang kakek tua. Dia mengatakan sanggup untuk menyembuhkan tangis sang pangeran. Pejabat yang berwenang membawanya ke istana, dimana kaisar memerintahkan agar dia diperbolehkan untuk melihat Ren Zong di ruangan dalam.

Kakek tua itu masuk, menggendong bayi itu, dan membisikan delapan kata ke telinganya. Seketika itu juga sang pangeran berhenti menangis. Kakek itu menghilang dalam sekejap tanpa menyebutkan namanya. Apakah delapan kata itu? Kata-kata itu adalah: “Bidang Sipil dan Militer, keduanya memiliki bintangnya masing-masing.”

Artinya bahwa Kaisar Langit telah menurunkan dua bintang dari Konstelasi Kemujuran untuk melayani sang calon kaisar. Bintang di bidang sipil menjadi Bao Zheng, hakim negara di Kaifeng dan merupakan anggota senior dari Akademi Diagram Naga. Bintang di bidang militer menjadi Di Qing, seorang jendral yang memimpin ekspedisi untuk melawan Kerajaan Xia Barat.

Dengan bantuan dari dua orang pejabat ini, Ren Zong menjabat sebagai kaisar selama empat puluh dua tahun, yang kemudian dia beri nama khusus untuk sembilan periode jabatannya. Pada sembilan tahun pertama masa pemerintahannya, diberi nama periode Tian Sheng, semua berjalan lancar. Panen berlimpah; rakyat berbahagia; tak ada perampokan, bahkan pintu-pintu dibiarkan tak terkunci di malam hari. Inilah periode “Keemasan Pertama”.

Pada awal periode Ming Dao hingga tahun ketiga periode Huang You, terjadi sembilan tahun lagi kemakmuran. Inilah masa “Keemasan Kedua”.

Dari tahun keempat Huang You hingga tahun kedua Jia You, sembilan tahun lagi, terjadi lagi panen yang melimpah. Ini merupakan periode “Keemasan Ketiga”.

Page 4: 108 Pendekar Liang-Shan

Tiga periode sembilan tahun ini, dua puluh tujuh tahun seluruhnya, dikenal sebagai Era Tiga Keemasan. Pada masa ini rakyat mengalami kebahagiaan. Siapa yang dapat mengira kebahagiaan ini akan melahirkan kesedihan?

Pada tahun ketiga periode Jia You, wabah menyerang daratan. Dari selatan hingga ke dua ibu kota, tidak ada satupun dusun yang terhindar dari wabah. Surat-surat dari seluruh provinsi berdatangan bagaikan salju.

Lebih dari setengah penduduk dan tentara di dan sekitar Ibu Kota Timur meninggal. Bao Zheng, penasihat dan hakim negara di Kaifeng, menyebarkan resep obat yang telah disetujui pemerintah dan mengeluarkan uang pribadinya untuk menyediakan obat-obatan dalam usahanya untuk menyelamatkan rakyat. Tapi usahanya sia-sia. Wabah semakin meluas. Semua pejabat sipil dan militer berkumpul. Mereka berkumpul di Ruangan Jam Air (Hall of the Water Clock) dan menunggu waktu fajar, ketika rapat akan dilangsungkan, sehingga mereka bisa memohon kepada kaisar.

Hari itu, hari ketiga dari bulan ketiga pada tahun ketiga periode Jia You, pada interval ketiga dari jam kelima, Kaisar Ren Zong menaiki singgasananya di Istana Kaisar. Setelah para pejabat memberikan hormatnya, pemimpin rapat berkata: “jika ada yang memiliki petisi, silakan maju ke depan. Jika tidak ada, rapat ini akan ditunda.”

Zhao Zhe, Perdana Menteri, dan Wen Yanbo, wakilnya, menghadap ke depan dan berkata: “Wabah ini mengamuk dan tak juga mereda di ibu kota. Korban-korban yang berjatuhan dari kalangan prajurit dan rakyat sangatlah banyak. Kami berharap yang mulia, dengan murah hati memberikan amnesti dan memotong pajak, serta berdo’a kepada langit agar rakyat bisa tenang dan diselamatkan dari bencana ini.”

Kaisar seketika itu juga memerintahkan Akademi Hanlin untuk membuat titah berisi amnesti umum untuk semua tahanan dan menghapuskan semua pajak. Dia juga memerintahkan semua kuil dan biara di ibu kota melakukan upacara agar bencana ini dapat berhenti.

Tapi wabah malah semakin memburuk. Kaisar sangat gelisah dan kembali mengumpulkan para pejabat pemerintah. Seorang menteri maju ke depan dan memohon untuk berbicara. Kaisar segera mengenali bahwa yang maju adalah Fan Zhongyan, wakil utamanya.

Fan berkowtow, kemudian bangkit dan berkata, “wabah ini telah membinasakan sebagian besar rakyat dan tentara kita. Tak ada yang aman dari wabah ini. Menurut hemat saya jika wabah ini ingin segera diakhiri, Yang Mulia harus memanggil Pendeta Besar agama Tao, yang telah ada sejak jaman dinasti Han. Perintahkan dia agar sesegera mungkin datang ke ibu kota dan memimpin upacara persembahan di taman kekaisaran. Dengan cara ini rakyat akan terselamatkan.”

Kaisar Ren Zong menyetujui usul Fan. Dia memerintahkan para sarjana dari Akademi Hanlin untuk menulis titah, yang dia stempel sendiri, dan menyiapkan dupa kekaisaran. Dia memerintahkan Jendral Hong Xin pergi sebagai wakilnya menuju Gunung Naga dan Harimau di Perfektur Xinzhou, Provinsi Jiangxi dan menjemput Zhang sang pendeta. Ketika dupa dibakar di ruang istana, kaisar sendiri yang menyerahkan titahnya kepada tangan Jendral Hong dan memerintahkannya untuk segera berangkat.

Hong menerima titah kaisar dan segera meninggalkan istana. Dengan titah berada dalam tas di punggungnya dan batang-batang dupa dalam kotak emas, dia menunggangi kudanya dan meninggalkan ibu kota timur, sambil memimpin beberapa orang bawahannya. Mereka menuju Guixi, sebuah kota kecil di Perfektur Xinzhou.

Page 5: 108 Pendekar Liang-Shan

Beberapa hari kemudian mereka tiba. Pejabat setempat, baik yang berpangkat tinggi maupun rendah, menyambut Jendral Hong. Mereka mengirimkan pesan kepada kepala pendeta serta pendeta-pendeta Tao di Kuil Kesucian di Gunung Naga dan Harimau untuk bersiap-siap menerima titah kaisar.

Hari berikutnya pejabat setempat mengantar Jendral Hong sampai kaki gunung. Serombongan pendeta tao sambil membunyikan genderang dan lonceng, memainkan musik suci, membawa dupa dan lilin serta bendera-bendera, menyambut kedatangan rombongan kerajaan. Mereka mengantar sang Jendral ke kuil, dimana dia turun dari kudanya. Semua pendeta, dari kepala kuil hingga para murid terendah, berkumpul dan mengantar Jendral Hong menuju Ruangan Tiga Kesucian. Para pendeta meminta Jendral Hong untuk meletakkan titah kaisar di altar.

“Dimanakah Sang Pendeta Suci?” Jendral Hong bertanya kepada kepala pendeta.

“Anda harus mengerti Jendral,” jawab kepala pendeta, “Guru kami telah mencapai ‘Kedamaian sejati’. Beliau tidak bisa diganggu dengan hal-hal duniawi seperti menerima dan menyambut tamu. Beliau membangun sebuah gubuk di puncak gunung, dan bermeditasi di sana.”

“Tapi saya membawa titah kaisar. Dimana saya bisa menemukan beliau?”

Page 6: 108 Pendekar Liang-Shan

BAB 1 Bagian 2

“Tinggalkan saja titah itu di ruangan ini. Tak akan ada seorang pun dari kami yang akan berani untuk membukanya. Mari kita masuk ke dalam untuk meminum teh. Kita bisa berbincang-bincang di sana.”

Jendral Hong melakukan apa yang diminta kepala pendeta. Ketika dia telah duduk, teh dan hidangan-hidangan tanpa daging segera disajikan. Setelah makan, sang jendral bekata kepada kepala pendeta. “Anda tadi berkata bahwa Pendeta Suci berada sebuah gubuk di puncak gunung. Kenapa anda tidak memintanya untuk turun kemari dan menerima titah kaisar?”

“Beliau berada di puncak sana, baik-baik saja, menyepi dan menjauh dari dunia. Tapi Pendeta Suci sangatlah sakti. Beliau bisa mengendarai awan dan kabut. Tak ada seorangpun yang tahu pasti keberadaan beliau. Kami pendeta biasa sangat jarang bisa bertemu dengannya. Bagaimana cara kami bisa memintanya untuk datang ke sini?”

“Saya harus bertemu dengannya. Wabah telah menyerang ibu kota dan kaisar telah mengirim saya kesini dengan titah dan dupa kekaisaran untuk mengundang beliau melakukan upacara yang akan melenyapkan wabah dan menyelamatkan rakyat. Apa yang harus saya lakukan?”

“Pertama-tama Anda harus membuktikan kesungguhan Anda. Jangan makan daging, mandilah kemudian ganti pakaian anda menjadi pakaian sederhana dari katun. Bungkuslah titah kaisar kemudian bawa dupa yang terbakar dan pergilah sendirian menuju puncak gunung. Setelah tiba di sana, berkowtowlah, kemudian bacakan undangan itu keras-keras. Anda mungkin bisa bertemu dengan Pendeta. Tapi apabila anda tidak tulus perjalanan anda akan sia-sia. Anda tidak akan pernah bertemu dengan beliau.”

“Saya hanya makan sayuran saja sejak meninggalkan ibu kota. Tidak kah itu menunjukkan bahwa saya tulus?” tukasnya. “Saya akan mengerjakan apa yang anda perintahkan. Saya akan mulai mendaki gunung esok pagi.”

Kemudian semua orang beristirahat malam itu.

Pada jam kelima pagi itu para pendeta menyiapkan air bunga dan makanan tanpa daging untuk sang jendral. Setelah mandi dalam air bunga dia mengenakan pakaian dari katun dan sandal jerami, sarapan tanpa daging, membungkus titah kaisar dengan selembar sutra kuning kemudian mengikatnya di punggungnya. Dalam pedupaan perak dia membawa dupa yang terbakar. Banyak pendeta yang mengantarnya menuju gunung di belakang kuil dan menunjukkan jalan yang harus dilaluinya.

“Anda tidak boleh menyerah jika Anda benar-benar ingin menyelamatkan rakyat, Jendral,” pesan kepala pendeta.

Jendral Hong pun memulai perjalanannya menuju puncak gunung sendirian. Dia mendaki dan memapaki jalan setapak yang tak terawat sepanjang dua atau tiga li, melewati beberapa bukit kecil.

Tak lama kemudian kakinya mulai terasa sakit. Dia merasa dirinya tak akan bisa melangkahkan kakinya lagi. Dia berkata pada dirinya sendiri, “seorang pejabat negara penting seperti diriku harus bersusah payah seperti ini. Ketika di Ibu kota, aku berbaring di ranjang yang empuk dan makan di perjamuan mewah. Sekarang apa yang kulakukan, menggunakan sandal jerami dan mendaki sebuah gunung? Siapa yang tahu berada di manakah Sang Pendeta Suci itu? Kenapa aku yang harus menderita?”

Page 7: 108 Pendekar Liang-Shan

Belum sampai dia berjalan lima puluh langkah lagi, nafasnya sudah memburu dan bahunya terasa berat. Angin yang kencang bertiup di sepanjang lembah. Ketika angin tak lagi kencang, terdengar auman dari belakang pohon-pohon pinus dan keluarlah seekor macan yang sangat besar, dengan mata berwarna putih yang menonjol, kening yang juga berwarna putih serta bulu loreng.

Sang jendral berteriak dan mundur dengan ketakutan.

Macan itu, dengan mata yang terus menatap Jendral Hong, berputar ke kiri dan kanan. Kemudian macan itu mengaum lagi dan meloncat ke belakang dan menghilang kembali ke dalam pepohonan. Jendral Hong bersembunyi di belakang sebuah pohon, giginya bergemeletuk, jantungnya berdegup sangat kencang. Dia tak bisa bergerak saking takutnya, kakinya gemetaran dan dia hanya bisa merintih.

Belum ada sepeminuman teh sesudah macan itu pergi Jendral Hong mampu merangkak keluar persembunyiannya. Dia mengambil kembali dupa kekaisaran dan melanjutkan perjalanannya untuk mencari sang Pendeta.

Jendral Hong mendaki kembali empat puluh atau lima puluh langkah. Dia menarik nafas, kemudian menggerutu kembali, “Kalau saja Kaisar tidak memberikan batas waktu untuk tugas ini, aku tak perlu merasakan semua ini.”

Sebelum dia selesai berbicara, angin kencang kembali berhembus. Jendral Hong kemudian mendengar desisan yang sangat keras. Seekor ular besar bertotol-totol putih seperti salju, merayap keluar dari serumpun bambu.

“Oh.. Matilah aku!” teriak sang jendral. Dia terjatuh diatas sebuah batu berbentuk spiral dan menjatuhkan dupa yang dibawanya.

Ular besar itu merayap dengan cepat mendekati batu itu, kemudian melingkarkan tubuhnya, matanya mengeluarkan cahaya keemasan. Ular itu membuka lebar-lebar mulutnya, mengeluarkan lidahnya, kemudian menghembuskan udara beracun ke arah muka jendral Hong.

Jendral Hong sangat ketakutan bagai tiga bagian jiwanya melayang dan tujuh bagian rohnya mati. Ular itu memandangnya kemudian merayap menuruni gunung dan segera saja menghilang dari pandangan. Setelah ular itu pergi Jendral Hong memaksa dirinya untuk bangkit.

“Untung saja ular itu pergi,” dia menggerutu. “Ular itu hampir saja membuatku mati ketakutan!” Seluruh bulu romanya berdiri. Dia lalu mengutuki kepala pendeta. “Benar-benar keterlaluan, menakutiku sampai seperti ini! Kalau aku tidak berhasil menemukan Pendeta Suci itu di puncak, aku akan melakukan perhitungan dengan kepala pendeta itu!”

Dia mengambil kembali tempat dupa peraknya yang terjatuh, merapikan pakaiannya, dan menggendong kembali titahnya. Ketika dia mau melanjutkan perjalanannnya kembali, dia mendengar suara seruling yang lembut dari belangkang pohon-pohon. Sedikit demi sedikit suaranya terdengar mendekat. Seekor kerbau berjalan dengan susah payah. Seorang anak kecil, duduk di atas kerbau itu, sedang tersenyum sambil memainkan seruling dari logam.

“Kamu berasal dari mana?” tanya sang Jendral. “Apa kamu tahu siapa aku?”

Anak laki-laki itu terus meniup serulingnya. Jendral Hong meneriakkan pertanyaannya beberapa kali. Anak itu tertawa dan mengacungkan serulingnya ke arah Jendral Hong.

“Anda datang untuk mencari Pendeta Suci kami, ya kan?”. Anak itu berkata.

Page 8: 108 Pendekar Liang-Shan

Jendral itu terkejut. “Kamu hanya seorang pengembala biasa. Bagaimana kamu tahu?”

Anak itu tersenyum kemudian menjawab, “Ketika aku melayani Pendeta Suci di gubuknya pagi ini, beliau berkata padaku ‘Kaisar telah mengirimkan Jendral Hong kesini dengan dupa kekaisaran dan titah kaisar untukku agar aku pergi ke Ibukota Timur dan melakukan upacara yang akan menghilangkan wabah penyakit ini. Aku akan menunggang burung bangau kemudian menaiki awan untuk pergi ke ibukota hari ini’. Jadi sekarang Pendeta pasti telah berangkat ke ibukota. Tidak ada untungnya lagi Anda pergi ke puncak gunung sekarang jendral. Gunung ini penuh ular-ular beracun dan binatang-binatang buas. Mereka bisa membunuhmu.”

“Apakah kamu mengatakan yang sebenarnya?” sang Jendral bertanya.

Penggembala itu hanya tertawa dan tidak menjawabnya. Dia lalu meniup kembali serulingnya dan pergi dari hadapan Jendral Hong.

“Bagaimana bisa anak itu tahu begitu banyak?” Jendral Hong bertanya-tanya. “Pendeta Suci pasti telah memberitahunya sebelumnya. Pasti begitu.” Dia meyakinkan dirinya sendiri. “Aku telah mengalami ketakutan yang sangat hebat dan hampir kehilangan nyawaku. Mungkin aku memang lebih baik kembali.”

Sambil membawa dupa dia cepat-cepat kembali melewati jalan yang telah dia lewati sebelumnya. Para pendeta menyambutnya dan mempersilakannya untuk duduk di dalam.

“Apakah Anda bertemu dengan Pendeta Suci?” kepala pendeta bertanya.

“Aku adalah seorang pejabat tinggi kekaisaran. Kenapa kau menyuruhku mendaki sendirian dan membiarkanku menderita seperti ini? Aku hampir saja mati di atas sana. Pertama-tama seekor harimau dengan mata yang menonjol dan dahi berwarna putih tiba-tiba muncul dan membuatku ketakutan. Kemudian seekor ular besar bertotol-totol putih seperti salju merayap keluar dari serumpun bambu dan menghalangi jalanku. Jika aku tidak beruntung, aku pasti tidak akan bisa kembali ke ibukota hidup-hidup. Ini semua salah kalian!”

“Bagaimana mungkin kami para pendeta berani bertindak tidak sopan terhadap seorang menteri kaisar?” kata pemimpin pendeta. “Pendeta Suci mungkin menguji kesungguhan Anda, jendral. Walaupun ada banyak ular dan harimau di gunung, tapi mereka tidak pernah melukai manusia.”

“Waktu itu aku sudah sangat kelelahan untuk berjalan. Baru saja aku mau melanjutkan menaiki gunung, seorang pemuda yang duduk di atas kerbau berwarna kuning dan sedang meniup seruling datang mendekat. Aku bertanya padanya, ‘Kamu berasal dari mana? Apa kamu tahu siapa aku?’. Kemudian dia menjawab ‘Saya tahu semua tentang Anda, jendral.’ Dia bilang Pendeta Suci memberitahunya bahwa sang pendeta akan menunggang bangau kemudian menaiki awan untuk pergi ke Ibukota Timur pagi ini. Itulah kenapa aku langsung kembali ke sini.”

“Ah, sayang sekali,” desah kepala pendeta. “Jendral, Anda telah bertemu dengan Pendeta Suci. Pemuda itulah Sang Pendeta Suci.”

“Seorang anak desa seperti itu?”

“Pendeta Suci yang sekarang sangatlah luar biasa. Walaupun beliau masih muda, beliau memiliki kebijaksanaan yang tiada tara. Beliau bukanlah seorang manusia biasa. Beliau bisa merubah wujudnya menjadi apapun seperti yang beliau inginkan. Orang-orang memanggil beliau dengan sebutan Penguasa Arah (Master of The Way).”

Page 9: 108 Pendekar Liang-Shan

“Aku melihat beliau dan tidak mengenalinya! Benar-benar memalukan.”

“Tidak usah kecewa, Jendral. Karena Pendeta Suci berkata bahwa beliau telah berangkat, ketika Anda sampai di ibukota, upacara pasti telah selesai dilaksanakan.”

Page 10: 108 Pendekar Liang-Shan

BAB 1Bagian 3

Setelah sarapan pagi harinya, kepala pendeta, para pendeta dan penjaga kuil mengundang sang jendral untuk berjalan-jalan. Jendral Hong menerima undangan itu dengan senang hati. Dengan dipimpin oleh dua orang pendeta mereka meninggalkan kuil, diikuti oleh rombongan pengiring. Mereka berjalan mengelilingi daerah di sekitar kuil, menikmati pemandangan yang indah di sekitarnya.

Di Ruang Tiga Kesucian jendral Hong diperlihatkan benda-benda berharga yang tak ternilai harganya. Pada samping bagian kiri kuil, ia mengunjungi Ruang Sembilan Surga, Ruang Bintang Keberuntungan, dan Ruang Kutub Utara. Pada bagian kanan dia memasuki Ruang Monad yang Agung, Ruang Tiga Pejabat, dan Ruang Mengusir Iblis.

Kemudian dia diantarkan ke bagian ujung kanan kuil. Disana dia melihat sebuah bangunan dengan tembok berwarna semerah darah, dan teralis berwarna merah terang pada jendela di bagian depan. Sebuah kunci setebal lengan manusia mengunci kedua pintunya. Selusin potongan kertas betuliskan segel berwarna merah merekat pada celah kedua pintu tersebut. Dibawah bagian depan atap terdapat papan peringatan berwarna merah berpahatkan huruf-huruf berwarna emas, “Ruang Penguncian Iblis”.

“Tempat apa ini?” tanya jendral Hong.

“Sebuah ruangan dimana Pendeta Suci terdahulu memenjarakan iblis,” jawab kepala pendeta.

“Kenapa banyak sekali segel di depan pintunya?”

“Pendeta Suci mengunci iblis-iblis di bangunan itu pada jaman Dinasti Tang. Setiap Pendeta Suci generasi berikutnya menambahkan segelnya masing-masing untuk mencegah penerusnya membuka pintu tersebut. Jika iblis-iblis itu berhasil kabur, hal itu merupakan bencana yang sangat besar. Sembilan generasi Pendeta Suci telah berlalu semenjak penyegelan iblis ini, dan semua Pendeta Suci bersumpah untuk menjaga agar pintu itu tetap terkunci. Lubang kunci di pintu itu telah diisi dengan perunggu. Karena itu tak seorang pun dari kami mengetahui apa yang ada di dalam ruangan tersebut. Saya telah menjadi kepala kuil ini selama tiga puluh tahun, tapi hanya itu yang saya ketahui.”

Jendral Hong sangat terkejut. “Aku ingin melihat sebenarnya seperti apa iblis itu,” pikirnya. Kemudian dia berkata kepada kepala kuil: “Bukakan pintu itu. Aku ingin melihat seperti apa iblis itu.”

“Saya tidak bisa Jendral,” jawab kepala pendeta. “Generasi Pendeta Suci Terdahulu telah melarangnya. Tak akan ada seorang pun yang berani untuk membuka pintu itu sekarang.”

Jendra Hong tertawa. “Omong kosong. Cerita ini pasti hanya karanganmu untuk menipu orang-orang. Kamu pasti sengaja menyiapkan bangunan ini agar kamu bisa mengatakan bahwa di sini ada iblis yang dikunci sebagai bukti kekuatan sihir tao kalian. Aku telah membaca banyak buku, tapi tak ada satu pun yang berisi tentang bagaimana cara mengunci iblis. Roh dan iblis hanya hidup di alam lain. Aku tak percaya bahwa di dalam sana ada iblis. Bukakan pintu itu dan biarkan aku masuk.”

“Ruang ini tidak boleh dibuka,” bantah kepala pendeta. “Bila dibuka maka akan terjadi bencana.”

Jendral Hong menjadi marah kemudian dia menunjuk ke arah para pendeta dan berteriak, “kalau kalian tidak melakukan apa yang kuperintahkan, akan kulaporkan kepada kaisar bahwa kalian menghalangiku dalam menyampaikan titah kaisar dan menolak untuk membiarkanku bertemu Pendeta Suci. Aku akan melaporkan

Page 11: 108 Pendekar Liang-Shan

bagaimana kalian mempersiapkan bangunan ini dan mengarang cerita bahwa kalian memiliki iblis yang terkurung di dalamnya untuk membohongi rakyat. Aku akan membuat kuil ini dihancurkan dan kalian semua akan dicap dengan tanda seorang kriminal serta mengasingkan kalian ke daerah yang liar dan jauh!”

Kepala pendeta sangat takut pada kekuasaan Jendral Hong. Dia tidak memiliki pilihan lain kecuali memerintahkan beberapa orang tukang besi untuk menghancurkan kuncinya. Kemudian pintu itu didorong agar terbuka dan semua orang memasuki ruangan itu. Ruangan itu sangatlah gelap. Jendral itu kemudian memerintahkan untuk menyalakan obor. Ketika obor-obor ini dibawa masuk jendral Hong melihat bahwa ruangan itu kosong, tak ada apapun kecuali sebuah lempeng batu di tengah-tengah ruangan. Lempeng yang tingginya sekitar enam kaki itu diletakkan di atas patung kura-kura dari batu yang tenggelam setengahnya kedalam lantai dari tanah. Jendral Hong mendekatkan obornya ke lempeng batu itu. Pada bagian depannya terukir naga dan burung phoenix serta tanda-tanda dan simbol mistis yang tak seorang pun mengerti. Kemudian dia melihat bagian belakang lempeng itu. Di bagian belakang tertulis empat buah kata: “Bukalah Ketika Hong Tiba”.

Jendral Hong sangatlah senang. “Kau berusaha mencegah dan menghentikanku,” katanya kepada kepala pendeta. “Tapi lihatlah, namaku telah tertulis di sini sejak ratusan tahun yang lalu. ‘Bukalah Ketika Hong Tiba’. Pesan ini sangatlah jelas. Apa salahnya kalau aku membukanya sekarang? Aku yakin iblis-iblis itu berada di bawah lempeng batu ini. Panggil beberapa orang lagi dengan membawa cangkul dan sekop, kemudian galilah dibawah lempeng ini.”

Kepala pendeta itu ketakutan. “Kita tidak boleh melakukannya Jendral. Bencana akan terjadi jika itu dilakukan. Ini sangat berbahaya!”

“Tahu apa kamu!?” Jendral Hong berteriak marah. “Tulisan ini mengatakan dengan jelas bahwa lempeng ini boleh diangkat ketika aku datang. Berani-beraninya kamu menghalangiku. Cepat panggilkan orang-orang itu.”

Empat atau lima kali lagi kepala pendeta itu memohon, “tak akan ada kebaikan yang akan terjadi bila anda melakukannya jendral”. Tapi jendral Hong tak mendengarkannya. Para pekerja dipanggil. Setelah usaha yang melelahkan dan cukup lama, mereka bisa menggeser lempeng itu dan menarik kura-kura batu itu dari tanah.

Kemudian mereka mulai menggali. Setelah menggali sedalam empat kaki, mereka menemukan sebuah lempengan batu seluas kira-kira sepuluh kaki persegi. Jendral Hong memerintahkan mereka untuk menggalinya. “Jangan lakukan itu jendral,” pinta kepala pendeta, tapi jendral itu tidak menggubrisnya. Ketika orang-orang itu berhasil mengangkat lempengan batu itu, sebuah lubang sedalam ratusan ribu kaki terlihat. Suara raungan yang keras terdengar, dan asap hitam keluar dari lubang itu. Asap itu melubangi atap kemudian melesat menuju langit, dimana kemudian asap itu berpencar menjadi lebih dari seratus cahaya keemasan yang berpendar ke segala arah.

“Siapakah iblis-iblis yang kabur itu?”Jendral Hong bertanya. “Oh Jendral, Anda tidak tahu,” rintih kepala pendeta. “Dalam ruangan ini Pendeta Suci meninggalkan peringatan tertulis. Peringatan itu berisi: ‘Tiga puluh enam bintang roh langit dan tujuh puluh dua bintang iblis bumi dipenjarakan di sini, dijaga oleh oleh lempeng batu berpahatkan nama-nama mereka, tertulis dalam simbol gaib yang menyimbolkan naga dan phoenix. Jika mereka dilepaskan mereka akan mengakibatkan kekacauan yang tak terbayangkan.’ Sekarang Anda telah melepaskan mereka. Apa yang harus kita lakukan?”

Jendral Hong gemetaran dan keringat dingin mengalir dari dahinya. Dia segera berkemas kemudian meninggalkan kuil itu untuk segera kembali ke ibukota. Kepala pendeta dan para pendeta mengantar kepergian rombongan jendral Hong kemudian kembali ke kuil dan segera membetulkan atap yang rusak dan mengembalikan lempengan batu ke tempatnya semula.

Page 12: 108 Pendekar Liang-Shan

Dalam perjalanan kembali ke ibukota, karena takut menerima hukuman dari kaisar, jendral Hong memerintahkan anak buahnya untuk tidak mengatakan apa pun mengenai lepasnya iblis-iblis di kuil. Perjalanan mereka berlangsung tanpa ada suatu kejadian apapun. Mereka berjalan siang dan malam, hingga akhirnya mereka pun tiba di Bianliang, Ibukota Timur. Ketika memasuki kota, mereka diberitahu bahwa Pendeta Suci telah melaksanakan upacara di Taman Kekaisaran selama tujuh hari tujuh malam dan membagi-bagikan jimat. Sekarang wabah penyakit yang melanda ibu kota telah hilang sepenuhnya. Pendeta Suci telah pergi dari istana kaisar dan kembali ke Gunung Naga dan Harimau.

Pada pagi hari berikutnya, Jendral Hong menghadap dan melapor kepada kaisar.

“Pendeta Suci menunggang bangau dan mengendarai awan, sehingga beliau tiba lebih dulu,” lapornya. “Kami berjalan kaki sepanjang perjalanan, karena itulah kami baru tiba di ibu kota.”

Kaisar menerima laporan tersebut. Dia memberi hadiah kepada jendral itu dan menugaskannya untuk kembali bertugas seperti biasa.

Kaisar Ren Zong memerintah selama empat puluh dua tahun dan meninggal tanpa meninggalkan anak laki-laki. Takhta kekaisaran kemudian dilanjutkan oleh anak dari Pangeran Yun Rang dari Puan. Cucu Tai Zong, yang terkenal dengan gelar anumerta “Ying Zong”. Setelah empat tahun memerintah, dia turun takhta demi anaknya, Shen Zong, yang berkuasa selama enam belas tahun dan kemudian mewariskan takhtanya kepada Zhe Zong, anaknya. Pada seluruh periode tersebut terjadi kedamaian di seluruh daratan dan tak ada kekacauan yang terjadi.

Page 13: 108 Pendekar Liang-Shan

BAB 2Instruktur Militer Wang Pergi Diam-Diam ke Provinsi Yanan

Shi Jin si Sembilan Naga Menimbulkan Kekacauan di Desa Keluarga ShiBagian 1

Ketika masa pemerintahan Kaisar Zhe Zhong yang memerintah lama setelah Ren Zong, di Bianliang, di Perfektur Kaifeng yang dulunya dikenal dengan Distrik Xuanwu, hiduplah seorang pemuda berandal bernama Gao. Sebagai seorang anak kedua, dia benar-benar tak berguna. Yang dia sukai hanyalah berkelahi menggunakan tongkat dan tombak, serta merupakan seorang pemain sepak bola yang handal. Orang-orang memanggilnya Gao Qiu, artinya “Gao si Bola”. Tapi kemudian ketika dia kaya dia merubah “Qiu” menjadi huruf lain yang memiliki bunyi yang sama tetapi memiliki arti yang lebih bagus.

Selain kemahirannya dalam menggunakan senjata, Gao Qiu juga bisa bermain alat-alat musik serta menari dan menyanyi. Dia juga belajar sedikit mengenai puisi dan menggubah syair. Tapi dalam hal sifat dan tingkah laku yang baik, dia tak tahu apa-apa. Dia menghabiskan waktunya dengan berkeluyuran di kota dan daerah sekitarnya. Karena ajakan Gao Qiu, anak Master Wang, seorang pemilik toko besi, berfoya-foya dan menghabiskan banyak uang di teater, meja judi, dan rumah bordil.

Karena alasan ini Master Wang mengajukan laporan keberatan terhadap Gao kepada Pemerintah Kaifeng. Hakim memutuskan memberi Gao hukuman dua puluh kali cambuk, mengusirnya dari kota, dan melarang orang-orang untuk memberinya makan atau tempat tinggal. Gao Qiu kemudian mengabdi kepada Liu Shiquan, dikenal dengan sebutan Tetua Liu, yang memiliki rumah judi di Provinsi Linhuai, sebelah barat Sungai Huaihe. Liu mempekerjakan banyak pengangguran dan preman dari mana-mana.

Gao Qiu bekerja pada Liu selama tiga tahun. Kemudian Kaisar Zhe Zong melakukan upacara persembahan kepada langit di bagian selatan kota, dan ini mengakibatkan cuaca menjadi sangat baik dan menguntungkan. Kemudian kaisar mengumumkan amnesti masal. Gao Qiu akhirnya bisa kembali ke ibu kota. Tetua Liu menulis surat pengantar kepada Dong Jiangshi, seorang keluarganya yang membuka toko obat di dekat Jembatan Tiang Emas, memberi Gao uang untuk bekal perjalanan dan mengatakan padanya bahwa Dong akan mengurusnya di sana.

Gao berpamitan, menenteng tasnya dan kembali ke ibukota. Dia mengantarkan surat dari Liu kepada Dong Jiangshi. Penjual obat itu memandang sejenak kepada Gao, kemudian membaca surat tersebut.

“Bagaimana mungkin aku membiarkan orang ini tinggal bersamaku?” pikirnya. “Aku akan senang hati menerimanya apabila dia jujur dan baik. Anak-anak bisa mencontohnya. Akan tetapi dia hanya seorang pemalas dan tak bisa dipercaya yang diasingkan karena melangggar hukum, dan bukan tipe orang yang menyesal dan bertobat. Kalau aku membiarkannya tinggal bersamaku, dia akan membawa pengaruh buruk terhadap anak-anak. Tapi kalau aku menolaknya aku menentang keinginan Tetua Liu.”

Dia tak punya pilihan lain selain menerima Gao di rumahnya dan berpura-pura senang. Dong menjamunya selama sepuluh hari, kemudian dia mendapat ide. Dia menyuruh Gao berpakaian rapi kemudian memberinya surat pengantar.

“Lampu di rumahku terlalu redup*,” katanya. “Kamu tidak akan bisa sukses bila terus berada di sini. Aku akan menyerahkanmu kepada seorang Sarjana Istana. Dengan bekerja padanya kamu bisa mulai berkarir. Bagaimana?”

Page 14: 108 Pendekar Liang-Shan

Gao sangat berterima kasih padanya. Dong mengirim pelayannya untuk membawa suratnya dan mengantarkan Gao ke kediaman Sarjana Istana tersebut. Setibanya di sana, seorang penjaga gerbang melaporkan kedatangan Gao. Sarjana itu keluar dan menerimanya. Dia mengetahui dari surat yang diterimanya bahwa Gao dulunya adalah seorang berandalan.

“Aku tak bisa mempekerjakan orang ini,” pikir sarjana itu. “Aku akan mengirimnya kepada Wang Jinqing, seorang Pangeran Muda, untuk mempekerjakannya sebagai pelayan. Pangeran Muda menyukai orang-orang seperti dia.”

Dia menulis surat balasan untuk Dong dan menyuruh Gao untuk menginap malam itu. Hari berikutnya dia menulis surat lainnya dan menyuruh pelayan untuk membawa Gao Qiu ke kediaman Pangeran Muda Wang.

Wang Jinqing menikahi adik perempuan Kaisar Zhe Zong sebelum kaisar itu naik takhta, yaitu ketika Kaisar Shen Zong memerintah. Pangeran Muda itu menyukai para petualang, dan dia banyak mempekerjakan para petualang itu. Dia langsung menyukai Gao ketika melihatnya datang dengan surat pengantar. Dia segera menulis surat balasan yang isinya menyatakan ia menerima Gao sebagai pelayannya. Sejak saat itu Gao tinggal bersama Pangeran Muda dan sudah seperti keluarga saja.

Seperti kata pepatah: Sahabat di tempat jauh menjadi semakin jauh, sahabat di genggaman kian mendekat. Untuk merayakan ulang tahun sang pangeran muda, dia memerintahkan untuk mengadakan sebuah perjamuan, dan mengundang Pangeran Duan, adik dari istrinya. Duan adalah anak ke sebelas dari Kaisar Shen Zong dan merupakan adik laki-laki dari Kaisar Zhe Zong yang sekarang memerintah. Dia dipercaya untuk mengurusi perlengkapan kekaisaran. Pangeran Duan adalah seorang yang tampan dan cerdas serta berbakat dalam segala jenis kesenian, dengan gelar Pangeran Kesembilan. Keahliannya diantaranya bermain seruling, catur, kaligrafi, seni lukis, dan sepak bola. Dia juga seorang musisi, penyanyi, dan penari yang hebat.

Hari itu, Pangeran Muda Wang menyiapkan makanan-makanan yang sangat lezat di perjamuannya. Dia menempatkan Pangeran Duan di kursi kehormatan dan dia sendiri duduk di hadapannya. Setelah beberapa cangkir arak dan beberapa jenis hidangan, Pangeran Duan pergi untuk menenangkan dirinya. Dia berhenti di depan perpustakaan ketika akan kembali ke perjamuan, dimana kemudian Pangeran Muda Wang menemaninya. Duan tertarik dengan sepasang pemberat kertas berbentuk singa yang diukir dari batu giok besar. Pemberat-pemberat itu benar-benar merupakan karya yang indah, penuh detail yang halus sekali buatannya.

Pangeran Duan memegang pemberat-pemberat itu dan memperhatikannya. “Indah sekali,” bisiknya.

“Perajin yang sama juga membuat wadah kuas dari giok yang berbentuk naga,” kata Pangeran Muda. “Saya lupa di mana menyimpannya, tapi saya akan mencarinya dan besok akan saya kirimkan kepada Anda bersama pemberat-pemberat kertas ini.”

Pangeran Duan memegang pemberat-pemberat itu dan memperhatikannya. “Indah sekali,” bisiknya.

“Perajin yang sama juga membuat wadah kuas dari giok yang berbentuk naga,” kata Pangeran Muda. “Saya lupa di mana menyimpannya, tapi saya akan mencarinya dan besok akan saya kirimkan kepada Anda bersama pemberat-pemberat kertas ini.”

“Kamu baik sekali. Aku yakin ukiran naga itu pasti lebih bagus lagi daripada ukiran singa ini.”

“Saya akan mengirimkannya ke istana besok. Anda akan bisa melihatnya sendiri Pangeran.”

Pangeran Duan mengucapkan terimakasih padanya dan kembali ke meja perjamuan dimana mereka makan minum hingga menjelang malam.

Page 15: 108 Pendekar Liang-Shan

Hari berikutnya Pangeran Muda menemukan tempat kuas berbentuk naga itu. Dia menyimpannya dalam sebuah kotak kecil yang terbuat dari emas bersama dengan pemberat-pemberat kertas berbentuk singa, membungkusnya dalam sutra keemasan, kemudian menulis surat dan menyuruh Gao untuk mengirimkan hadiah itu. Gao kemudian segera pergi ke istana Pangeran Duan. Penjaga gerbang memberitahukan kedatangannya kepada pelayan yang datang menyambutnya.

“Dari kediaman petugas manakah dirimu?” tanyanya.

Gao Qiu membungkuk. “Pangeran Muda Wang mengirim saya untuk menyerahkan hadiah ini kepada Pangeran.”

“Pangeran sedang bermain bola di lapangan bersama beberapa orang kasim muda. Kamu boleh masuk.”

“Bisakah Anda menunjukkan jalannya?”

Pelayan itu menunjukkan jalan menuju lapangan di dalam. Empat atau lima orang kasim muda terlihat sedang bermain bola dengan Pangeran. Pangeran Duan mengenakan topi halus dari sutra bergaya dinasti Tang dan jubah ungu yang bersulam naga kekaisaran. Jubah nya diselipkan ke depan dibawah ikat pinggang kebesaran pangeran. Sepatunya disulami benang emas membentuk burung phoenix yang sedang terbang.

Gao tidak berani untuk mengganggu. Dia diam berdiri dibelakang beberapa orang pelayan dan menunggu. Kemudian nasib baik mendatanginya. Bola menggelinding ke arah Pangeran Duan yang tidak dapat menghentikan bola itu, kemudian bola itu terus melaju ke arah Gao Qiu. Tanpa pikir panjang Gao Qiu menendang bola itu kembali ke arah Pangeran Duan dengan menggunakan tendangan berputar.

Pangeran Duan senang melihat kebolehannya. “Siapa kamu?” tanyanya.

Gao kemudian berlutut, “Pelayan Pangeran Muda Wang. Atas perintah beliau saya membawakan kepada Pangeran hadiah berupa dua buah hiasan giok. Saya memiliki surat yang harus disampaikan bersama kedua hadiah tersebut.”

Pangeran tersenyum. “Adik ipar benar-benar baik hati.”

Gao Qiu memberikan surat itu. Pangeran Duan membuka kotak hadiah itu dan memandangi kedua hadiah itu, kemudian memberikannya pada pelayan urusan rumah tangganya untuk disimpan.

“Kamu bisa bermain bola ya,” dia berkata pada Gao. “Siapa namamu?”

“Pelayanmu ini bernama Gao,” jawabnya. “Saya dulu suka bermain bola.”

“Bagus,” kata pangeran itu. “Ayo kita bermain.”

“Saya hanya seorang pelayan, mana hamba berani bermain bersama Yang Mulia.”

“Kenapa tidak? Siapa saja bisa bermain di sini.”

Gao Qiu terus menolak. Tapi karena pangeran terus bersikeras, dia kemudian berkowtow, kemudian ikut bermain. Dia melakukan beberapa operan dan pangeran berteriak memberi semangat. Gao Qiu menjadi bersemangat dan mengeluarkan segala kemampuanya. Gerakannya dan gayanya sangat indah dan hebat. Bola di kakinya tak pernah lepas seakan dilem pada kedua kakinya itu.

Pangeran Duan terpesona. Dia tidak membiarkan Gao pergi dan menyuruhnya tinggal malam itu di istana. Esok harinya dia mengadakan perjamuan dan mengirim undangan pada Pangeran Muda.

Page 16: 108 Pendekar Liang-Shan

-------*Peribahasa

Page 17: 108 Pendekar Liang-Shan

BAB 2Bagian 2

Ketika Gao tidak kembali malam itu, Pangeran Muda mulai bertanya-tanya apakah Gao Qiu bisa di percaya. Kemudian penjaga gerbangnya melapor bahwa seorang pengantar pesan dari Pangeran Kesembilan telah di sini dan mengirim undangan kepadanya untuk menghadiri perjamuan di istana. Pangeran Muda keluar menyambut pengirim pesan itu dan membaca undangan untuknya dari Pangeran Kesembilan. Kemudian dia menyuruh untuk menyiapkan kudanya dan pergi ke istana. Sesampainya di istana dia langsung menghadap Pangeran Duan.

Pangeran Kesembilan berterima kasih padanya atas hadiah yang dia berikan. Kemudian mereka memasuki ruang perjamuan.

“Pelayanmu yang bernama Gao Qiu itu sangat hebat bermain bola,” kata Pangeran Duan. “Aku menginginkannya untuk menjadi pelayanku. Bagaimana?”

Pangeran Duan mengangkat cawan araknya dan berterima kasih kepada Pangeran Muda. Mereka berdua mengobrol dan makan-makan hingga malam hari. Kemudian Pangeran Muda kembali ke kediamannya.

Sementara itu Gao Qiu, setelah dia menjadi pelayan Pangeran Duan, dia tinggal di istana dan menemani Sang Pangeran setiap hari dan tidak pernah terpisah dari Pangeran itu. Dalam waktu kurang dari dua bulan, Kaisar Zhe Zong meninggal tanpa meninggalkan seorang penerus. Semua pejabat sipil dan militer mengadakan rapat dan menetapkan Pangeran Duan sebagai seorang kaisar. Dia dikenal dengan sebutan Kaisar Hui Zong.

Hui Zong naik tahkta dan semua berjalan dengan lancar. Suatu hari dia berkata kepada Gao Qiu, “Aku ingin menaikkan pangkatmu, tetapi kamu harus melakukan sesuatu yang berjasa dulu di perbatasan. Aku akan menyuruh Dewan Urusan Militer untuk menugaskanmu.” Kemudian kurang dari setengah tahun kemudian, dia mengangkat Gao Qiu menjadi jendral yang memimpin Pasukan Penjaga Kekaisaran.

Gao Qiu memilih hari yang baik untuk memulai tugas perdananya. Semua petugas-petugas dari Penjaga Kekaisaran, baik infanteri maupun kavaleri, yang akan diperintah olehnya datang untuk menunjukkan rasa hormat mereka. Semua petugas-petugas itu menunjukkan identitas pengenal mereka dan didaftar dalam suatu daftar nama. Gao Qiu memeriksa daftar nama yang hadir satu demi satu dan menemukan bahwa hanya Wang Jin, seorang instruktur senjata Pasukan Penjaga Kekaisaran yang tidak hadir. Satu bulan setengah sebelumnya dia telah melaporkan bahwa dirinya sakit. Karena dia belum sembuh maka dia belum kembali bertugas.

Jendral Gao langsung marah, “omong kosong!” teriaknya. “Ini adalah pembangkangan! Dia mengirim dokumen pengenalnya kan? Si bebal itu hanya berpura-pura sakit. Bawa dia kemari sekarang juga!” Gao mengirim beberapa orang petugas ke rumah Wang Jin untuk menangkapnya.

Wang Jin tidak memiliki istri maupun anak, dia hanya tinggal bersama ibunya yang sudah berumur enam puluhan tahun. Petugas yang dikirim ke rumah Wang Jin berkata padanya, “Jendral Gao sekarang telah diangkat. Ketika dia memeriksa daftar nama yang hadir, Anda tak berada di sana. Kepala petugas menerangkan bahwa Anda sedang sakit, dan telah mengirimkan keterangan bahwa Anda sakit. Tapi Jendral Gao langsung marah. Dia tidak mempercayainya. Dia bersikeras bahwa Anda hanya berpura-pura dan menginginkan untuk menangkap Anda. Silahkan Anda ikut saya tuan. Kalau tidak saya akan berada dalam masalah.”

Page 18: 108 Pendekar Liang-Shan

Wang Jin tak punya pilihan lain selain pergi ke markas pasukan, walaupun dia benar-benar sedang sakit, kemudian melapor pada sang jendral. Dia berkowtow empat kali, menyapa Gao dengan penuh hormat, kemudian bangkit dan berdiri.

“Apakah ayahmu bernama Wang Sheng, seorang instruktur senjata?” Gao Qiu bertanya.

“Sayalah orang itu,” jawab Wang Jin.

“Bajingan!” teriaknya. “Ayahmu hanyalah seorang pedagang obat yang bisanya memutar-mutar tongkatnya untuk menarik pembeli. Apa yang kau tahu tentang seni perang? Komandan sebelumnya pasti buta karena mengangkatmu sebagai instruktur senjata. Beraninya kau menghinaku dan tidak datang melapor. Siapa yang menjadi pelindungmu sehingga kau bisa pura-pura sakit dan enak-enakan di rumah?”

“Pelayanmu yang rendah ini mana berani. Saya benar-benar belum sembuh.”

“Pembohong! Jika kamu sakit, bagaimana mungkin sekarang kamu bisa datang?”

“Karena jendral memanggil saya, maka saya harus mematuhinya.”

Gao benar-benar marah. “Pengawal!” teriaknya, “tangkap orang ini lalu hajar dia.”

Banyak petugas-petugas di sana adalah teman Wang Jin. Kemudian mereka memohon kepada Gao Qiu, “hari ini adalah hari keberuntungan dimana Anda pertama bertugas. Karena itu tolong ampuni dia.”

“Sebagai bentuk hormatku pada petugas-petugas ini aku akan mengampunimu hari ini,” teriak Gao. “Aku akan mengurusmu besok.”

Wang Jin berterima kasih kepadanya. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan memandang Gao Qiu. Ketika dia pergi meninggalkan markas, Wang Jin menarik nafas panjang.

“Hidupku dalam bahaya,” katanya dalam hati. “Ternyata dia jendral Gao itu. Ketika dia belajar berduel dengan tongkat, ayahku memberinya pelajaran hingga dia tak bisa bangkit dari tempat tidurnya selama tiga bulan. Dia pasti mendendam kepada keluargaku. Sekarang dia telah memiliki kekuasaan dan diangkat menjadi Komandan Pasukan Penjaga Kerajaan, pasti dia akan balas dendam. Siapa kira aku akan dipimpin olehnya? Seperti pepatah lama ‘jangan takut pada pemerintah, kecuali yang memerintahmu’. Bagaimana bisa aku melawannya? Apa yang harus kulakukan?”

Dia pulang kerumahnya dengan sedih dan menceritakan kepada ibunya tentang hal itu. Keduanya saling berpelukan dan menangis.

“Anakku,” kata ibunya. “Dari tiga puluh enam cara untuk menghindar dari masalah, cara yang paling tepat adalah kabur. Hanya saja aku takut kita tak punya tempat untuk dituju.”

“Ibu benar,” kata Wang Jin. “Aku telah memikirkannya, dan aku pun berpendapat demikian. Benteng di perbatasan Yanan diperintah oleh Jendral Tua Zhong. Banyak petugas-petugasnya yang datang ke ibukota mengagumi kemampuanku dalam menggunakan berbagai senjata. Kenapa kita tidak pergi ke sana? Yanan adalah tempat dimana orang-orang sepertiku dibutuhkan. Aku akan aman di sana.

Kemudian ibu anak itu setuju untuk segera pergi ke Yanan.

“Kita harus pergi secara diam-diam, anakku,” kata ibunya. “Bagaimana dengan dua prajurit di depan gerbang itu? Jika mereka mengetahui kepergian kita, kita takkan bisa pergi dengan selamat.”

Page 19: 108 Pendekar Liang-Shan

“Jangan khawatir Bu,” jawab Wang Jin. “Aku memiliki cara untuk menghalau mereka.”

Ketika sore harinya, dia memanggil prajurit Zhang dan berkata, “Sekarang kamu makanlah dulu, kemudian aku ingin kamu pergi untuk melakukan sesuatu untukku.”

“Kemana saya harus pergi, tuan instruktur?”

“Karena aku sakit beberapa hari yang lalu, aku berjanji akan membakar dupa di Kuil Gunung Suci di luar Gerbang jika aku sehat kembali. Aku ingin melakukan hal itu esok pagi-pagi sekali. Malam ini, tolong beritahu pendeta di sana untuk membuka gerbang lebih awal besok. Kemudian belilah tiga jenis daging untuk persembahan. Kamu bisa menginap di kuil itu dan menungguku datang besok pagi.”

Kopral Zhang berjanji untuk melakukan permintaan itu. Dia makan malam, berkemas, kemudian berangkat menuju kuil.

Malam itu kedua ibu dan anak mengemas selimut, pakaian, sutra, serta perak-perak mereka dan menyimpannya dalam sebuah kotak untuk dipikul. Mereka juga mengisi dua kantong penuh disamping pelana kuda dengan makanan untuk kuda mereka.

Pada jam kelima sebelum matahari terbit Wang Jin memanggil Kopral Li dan berkata, “bawalah koin-koin perak ini ke kuil. Kamu dan Kopral Zhang harus membeli dan memasak tiga jenis daging untuk persembahan, kemudian tunggu aku datang. Aku akan segera ke sana setelah aku memberi kertas uang untuk persembahan dan lilin-lilin.

Kopral Li menerima uang perak itu kemudian berangkat menuju kuil. Wang Jin segera menyiapkan kuda, memasang pelana dan mengikatnya, kemudian membawa hewan itu keluar gerbang dan membantu ibunya untuk menaiki kuda itu. Semua perabot rumah mereka ditinggalkan. Wang Jin mengunci gerbang depan dan samping, memikul pikulannya, kemudian berjalan di samping kuda.

Dengan berjalan dalam kegelapan subuh itu mereka meninggalkan kota melalui gerbang barat dan segera mengarah ke Provinsi Yanan.

Kembali kepada dua orang prajurit tadi. Mereka membeli daging untuk persembahan, memasaknya, kemudian menunggu di kuil hingga pagi tiba. Tapi Wang Jin tidak datang juga. Kopral Li kemudian menjadi gelisah. Dia kembali ke rumah Wang Jin dan tidak dapat menemukan instruktur itu. Dia tidak bisa masuk ke dalam karena gerbangnya telah dikunci. Li bertanya-tanya kepada tetangga di sekitar selama beberapa jam tetapi tidak ada yang melihat instruktur itu. Kemudian hari mulai siang. Kopral Zhang di kuil mulai curiga dan segera kembali pula ke kediaman Wang Jin. Kedua prajurit itu mencari hingga sore hari. Tapi bahkan sampai malam harinya, Wang Jin maupun ibunya tak pernah kelihatan.

Hari berikutnya kedua kopral itu menanyakan mengenai Wang Jin kepada kerabatnya tetapi tidak menemukan jejak sedikitpun mengenai keberadaan Wang Jin. Karena takut dituduh bersekongkol, mereka melapor kepada markas Pasukan Penjaga Kekaisaran. “Wang Jin dan ibunya telah kabur. Tujuan mereka tidak diketahui.”

Page 20: 108 Pendekar Liang-Shan

BAB 2Bagian 3

Gao Qiu berteriak marah, “jadi kriminal itu telah melarikan diri! Bah, kita lihat sejauh mana mereka bisa kabur!” Dia memberi perintah kepada seluruh perfektur dan distrik untuk menangkap Wang Jin sebagai pemberontak. Karena kedua kopral yang bertugas itu melapor dengan sukarela, mereka berdua tidak dihukum. Tentang mereka ini tidak akan kita ceritakan lagi.

Marilah kita beralih ke Instruktur Wang Jin dan ibunya.

Mereka makan hanya ketika lapar dan minum disaat haus menyerang mereka, berhenti saat malam hari dan mulai berangkat lagi saat subuh. Suatu hari disaat senja, setelah lebih dari sebulan melakukan perjalanan, Wang Jin, yang membawa tanggungan di belakan kuda yang ibunya kendarai, berkata: “Langit telah sangat bermurah hati pada kita. Kita telah menghindari mala petaka yang telah menyebar seperti jaring di bumi dan langit. Kita sekarang tidak terlalu jauh dari Provinsi Yanan. Bahkan kalaupun Jendral Gao mengirim orang untuk menangkapku, mereka tidak akan bisa menangkap kita sekarang.”

Ibu dan anak itu bersuka cita, bahkan melewati sebuah penginapan tanpa menyadarinya. Tak ada desa sejauh mata memandang. Walaupun telah larut malam, mereka tidak tahu di mana mereka akan melewati malam itu. Namun tiba-tiba mereka melihat sebuah lampu berkelip di kejauhan.

“Itulah jawabannya,” kata Wang Jin. “Ayo kita pergi ke sana. Kita bisa meminta maaf karena mengganggu mereka dan meminta tempat untuk menginap malam ini, lalu kita berangkat di pagi hari.” Mereka memasuki hutan itu dan menemukan rumah besar yang dikelilingi tembok. Di sekitar tembok tersebud terdapat dua atau tiga buah pohon willow. Wang Jin mengetuk gerbang selama beberapa saat. Kemudian muncul seorang pelayan. Sang Instruktur tersebut menurunkan bawaannya dan menyapa pelayan tersebut.

“Apa yang Anda inginkan?” kata orang itu.

“Sebenarnya,” kata Wang Jin, “ibuku dan aku telah melewatkan penginapan terakhir. Kami tidak melihat adanya penginapan atau desa lain di sekitar sini. Kami berharap kalian bisa menampung kami malam ini. Kami akan pergi besok pagi. Kami bisa membayar untuk kamar yang kalian berikan.

“Tunggu sebentar,” kata pelayan itu. “Aku akan bertanya pada tuanku. Kalau dia setuju, kalian boleh masuk.”

“Maaf telah merepotkanmu, saudaraku.”

Tak berapa lama kemudian pelayan itu datang dan berkata, “tuanku mempersilakan kalian berdua untuk masuk.”

Wang Jin membantu ibunya untuk turun dari kuda. Sambil membawa tanggungannya dan menuntun kudanya, dia mengikuti pelayan itu masuk. Dia menurunkan bawaannya dan mengikat kudanya ke sebuah pohon willow. Ibu dan anak itu masuk ke seubah ruangan dengan atap dari jerami. Sang pemilik rumah terlihat telah menunggu mereka.

Dia berumur lebih dari enam puluh tahun. Rambut dan janggutnya telah memutih. Dia mengenakan penutup kepala dan jubah berpotongan lurus yang diikat dengan ikat pinggang sutra berwarna hitam pada pinggangnya. Dia juga mengenakan sepatu dari kulit.

Wang Jin segera memberi hormat.

Page 21: 108 Pendekar Liang-Shan

“Itu tidak perlu,” kata orang tua itu cepat. “Kalian adalah pengelana yang tidak memiliki tempat untuk berlindung dari cuaca. Ini sudah kewajibanku. Silakan duduk.”

Ibu dan anak itu menyelesaikan perkenalan mereka.

“Dari mana kalian berasal?” tanya sang pemilik rumah. “Kenapa kalian tiba di sini sangat larut?”

“Pelayanmu ini bernama Zhang,” kata Wang Jin. “Kami berasal dari ibu kota. Karena kami telah menghabiskan seluruh uang kami dan tidak bisa melanjutkan bisnis, kami memutuskan pergi ke Provinsi Yanan untuk menemui kerabat kami. Di jalan hari ini kami terlalu bersemangat untuk melanjutkan perjalanan dan melewati penginapan tanpa menyadarinya. Kalau Anda berkenan mengizinkan kami menghabiskan malam di sini kami akan pergi besok pagi dan membayar untuk kamar yang Anda berikan.”

“Tentu saja. Siapa yang membawa tempat tidur mereka saat bepergian? Pasti kalian belum makan?” Kemudian pemilik rumah itu menyuruh pelayannya untuk membawakan makanan.Tak berapa lama kemudian sebuah meja telah digelar di ruangan tersebu dan pelayan itu membawa nampan dengan empat jenis masakan dari sayuran dan satu masakan dari daging sapi. Dia duduk lalu memanaskan arak yang kemudian dia sajikan.

“Kami hanya memiliki makanan sederhana di desa seperti ini,” kata tuan rumah. “Kuharap kalian memaafkan kami.”

Wang Jin berdiri dan berterima kasih pada tuan rumah itu. “Kami sangat merepotkanmu. Kami tidak tahu bagaimana caranya kami bisa membalas kebaikanmu.”

“Tak perlu bicara seperti itu,” kata tuan rumah. “Mari kita minum.”

Karena terus didesak tuan rumah, Wang Jin dan ibunya meneguk enam atau tujuh gelas arak. Kemudian makanan pun dihidangkan dan mereka makan. Setelah mangkuk-mangkuk dan piring-piring kosong dibersihkan, tuan rumah berdiri dan mengantar mereka menuju kamar tamu.

“Bolehkah saya merepotkan Anda sekali lagi untuk memastikan kuda yang ibuku kendarai diberi makan?” kata Wang Jin. “Tentu saja kami akan membayar.”

“Hal yang mudah,” kata tuan rumah. “Kami memiliki kuda-kuda dan keledai. Aku akan menyuruh pelayan untuk menaruh kudamu di istal dan memberinya makan bersama hewan lainnya.”

Wang Jin berterima kasih, mengangkat tanggungannya dan membawa barang-barangnya itu ke ruang tamu. Seorang pelayan menyalakan lampu dan membawa air panas agar mereka bisa mencuci kaki mereka. Tuan rumah itu kembali ke kamarnya. Wang Jin dan ibunya berterima kasih pada sang pelayan, menutup pintu kemudian beristirahat.

Mereka tidur sepanjang malam. Saat subuh tiba keesokan harinya mereka masih belum keluar dari kamar mereka, lalu tuan rumah mendatangi pintu kamar mereka. Dia mendengar ibu Wang Jin mengerang kesakitan.

“Sekarang sudah pagi,” kata orang tua itu. “Kalian sebaiknya bangun.”

Wang Jin segera keluar dan menyapa tuan rumah. “Aku telah bangun beberapa saat,” katanya. “Kami telah merepotkan Anda tadi malam. Saya merasa tak enak.”

“Siapa yang barusan merintih?” tanyanya.

“Sebenarnya, Ibu saya kelelahan karena perjalanan ini. Tadi malam jantungnya mulai terasa sakit lagi.”

Page 22: 108 Pendekar Liang-Shan

“Kalau begitu kenapa tidak tinggal di sini beberapa hari lagi? Tak usah khawatir. Aku tahu obat yang bagus untuk sakit di jantung. Aku akan mengirim pelayan ke kota dan membeli obat untuk ibumu. Katakan padanya untuk tenang dan beristirahat.”

Wang Jin menyatakan rasa terima kasihnya.

Wang Jin dan ibunya pun tetap tinggal di rumah tersebut. Ibunya menjalani pengobatan di sana. Setelah enam atau tujuh hari dia merasa sakitnya telah sembuh. Wang Jin segera mengemas barang-barangnya dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Ketika hendak menuju istal untuk melihat kudanya, dia melihat seorang pemuda bertelanjang dada dengan tato naga berwarna biru di seluruh tubuhnya. Mukanya berbentuk bulat seperti piring dari perak. Usianya sekitar sembilan belas tahun, dan terlihat dia sedang berlatih menggunakan tongkat.

Wang Jin menonton selama beberapa saat, kemudian berkata tanpa pikir panjang, “bukan gaya yang buruk, tapi memiliki kelemahan. Tongkatmu tak akan mampu menghentikan orang yang hebat.”Pemuda itu mendengarnya. “Siapa dirimu hingga menertawakan kemampuanku?” dia bertanya dengan marah. “Aku telah berguru pada delapan guru terbaik. Jangan berpikir aku tak bisa mengalahkanmu! Kau berani melawanku?”

Saat dia berkata seperti itu, tuan rumah itu datang. “Hentikan omong kosngmu,” kata orang tua itu.

“Apa hak orang ini menertawakan teknikku?” pemuda itu bertanya.

“Apakah kamu bisa menggunakan tongkat?” tanya sang tuan rumah.

“Sedikit,” jawab Wang jin. “Bolehkah saya bertanya, tuan, apakah hubungan pemuda ini dengan Anda?”

“Dia adalah anakku.”

“Karena dia adalah tuan muda, kalau dia ingin belajar, pelayanmu ini bisa memberinya beberapa petunjuk. Apakah Anda setuju?”

“Tentu saja,” kata tuan rumah. Lalu dia menyuruh pemuda itu untuk menghormat kepada Wang Jin. “Berkowtowlah pada gurumu,” perintahnya.

Tapi pemuda itu tidak menurutinya. “Jangan terpengaruh omongan orang ini, Pa,” katanya kasar. “Aku akan berkowtow padanya hanya jika dia bisa mengalahkanku dengan tongkat!”

“Kalau tuan muda tidak akan menganggapnya serius,” kata Wang Jin, “kita bisa bertanding, hanya untuk bermain-main.”

Sembari berdiri di tengah tanah lapang tersebut, anak muda itu memutarkan tongkatnya di atas kepalanya seperti kincir. “Ayo kalau begitu,” dia menantang. “Kesini kalau kau berani!”

Wang Jin tersenyum, tapi dia tidak bergerak.

“Karena kamu berniat mengajari anakku,” kata sang tuan rumah, “kenapa tidak berlatih dengannya sekarang?”

“Aku takut aku akan menyakiti tuan muda,” kata Wang Jin sambil tertawa. “Hal itu akan membuatku terlihat buruk.”

“Tidak apa-apa. Kalau kau mematahkan tangan atau kakinya dia akan meluruskannya sendiri.”

Page 23: 108 Pendekar Liang-Shan

“Baiklah, maafkan saya sebelumnya kalau begitu.” Wang Jin kemudian memilih tongkat dari rak senjata, melangkah menuju lapang dan memasang kuda-kuda.”

Pemuda itu memandangnya, kemudian mengangkat tongkatnya lalu menyerang. Wang Jin cepat mundur, menarik senjatanya. Anak itu mengayunkan tongkatnya dan mengejar. Tiba-tiba Wang Jin berbalik dan mengangkat tongkatnya seperti akan memotong ke bawah. Lawannya juga mengangkat tongkatnya untuk menangkis. Tapi Wang Jin menarik tongkatnya kemudian menusukannya ke arah dada lawannya itu. Pemuda itu jatuh ke tanah, tongkatnya terlempar ke pinggir lapangan.

Wang Jin menyimpan senjatanya dan segera menolong pemuda itu. “Aku sangat meminta maaf,” katanya.

Anak itu bangkit kembali. Dia membawa sebuah bangku, mempersilakan Wang Jin untuk duduk dan berkowtow padanya.

“Aku telah belajar pada banyak guru,” katanya, “tapi mereka tidak mengajarkanku apa-apa. Guru, yang bisa kulakukan hanyalah memohon petunjukmu.”

“Ibuku dan aku telah menyulitkan keluarga kalian selama beberapa hari tanpa ada cara untuk menunjukkan rasa terima kasih kami. Aku akan mengajarimu dengan segenap kemampuanku.”

Page 24: 108 Pendekar Liang-Shan

BAB 2Bagian 3

Tuan rumah itu sangatlah senang. Dia menyuruh anaknya untuk berpakaian, dan mereka pergi ke ruang samping dan duduk di sana. Orang tua itu menyuruh pelayan menyembelih kambing dan menyiapkan arak, makanan serta buah-buahan. Mereka mengundang Wang Jin dan ibunya ke jamuan tersebut.

Ketika empat orang itu telah duduk di atas meja, orang tua itu menuangkan arak. Mengangkatnya, kemudian bersulang untuk Wang Jin. “Dengan kemampuanmu yang luar biasa, kamu pastilah seorang instruktur senjata,” katanya. “Anaku memiliki mata tapi tidak bisa melihat Gunung Taishan di depan mata.”

Wang Jin tertawa. “Kepada seorang pria sejati, seseorang akan berbicara sejujurnya. Pelayanmu ini bukanlah bernama Zhang, tetapi Wang Jin. Aku adalah seorang instruktur senjata bagi Tentara Kerajaan di Ibu Kota Timur. Aku bermain tombak dan tongkat setiap hari. Gao Qiu, yang baru saja diangkat sebagai komandan Penjaga Kekasiaran, dulu pernah dipukuli oleh ayahku. Sekarang dia membalas dendamnya pada diriku. Aku merupakan bawahannya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Jadi aku lari bersama ibuku. Kami menuju Provinsi Yanan untuk bergabung dengan Pasukan Perbatasan yang dipimpin oleh Jendral Zhong. Kami tidak pernah mengira akan datang ke tempat ini dan diperlakukan dengan baik oleh Anda dan putra Anda. Anda telah menyembuhkan penyakit ibuku dan menyenangkan kami selama berhari-hari. Kami telah berutang budi sangat banyak. Kalau anakmu ini hendak belajar, pelayanmu ini akan dengan senang hati mengajarnya dengan segala kemampuan. Apa yang telah dia pelajari sampai sekarang sebagian besar merupakan gerakan-gerakan yang indah. Memang enak dilihat, tapi tidak berguna dalam bertempur. Aku akan mengajarnya dari awal.”

“Anaku,” kata sang tuan rumah, “terima kekalahanmu. Berkowtowlah pada gurumu sekali lagi.” Lalu pemuda itu melakukannya.

“Biarkan saya memberitahumu, wahai guru yang terhormat,” orang tua itu melanjutkan. “Keluarga kami telah hidup sejak lama di Daerah Huayin ini. Di belakang sana adalah Gunung Shaohua. Desa ini dikenal dengan nama Desa Keluarga Shi. Putraku ini, sejak kecil, tidak tertarik untuk bertani. Dia hanya suka memainkan senjata. Ibunya telah mencoba untuk menyadarkannya. Dia pun akhirnya meninggal karena cemas. Aku tak punya pilihan selain membiarkannya melakukan apa yang dia inginkan. Aku tidak tahu sudah berapa banyak uang yang kuhabiskan untuk membayar guru silat. Aku juga membayar pentato untuk menggambar naga di tangan dan dadanya, sembilan naga seluruhnya. Karena hal itulah anakku dikenal dengan nama Shi Jin si Sembilan Naga di seluruh daerah ini. Adalah hal yang sangat baik kau datang kemari, Instruktur, agar dia bisa menyelesaikan pelajarannya. Aku akan memberimu hadiah sebagai tanda terima kasih.”

Wang Jin sangat senang. “Jangan khawatir tuan,” katanya. “Kalau itu keinginanmu, pelayanmu ini akan mengajarinya dengan baik.”

Mereka makan dan minum dengan gembira. Sejak saat itu, Wang Jin dan ibunya tetap tinggal di rumah itu. Wang Jin mengajari pemuda itu setiap hari, mengajarinya bagaimana menggunakan delapan belas jenis senjata: Tombak, palu, panah, crossbow, jingal, gada bersendi, pentungan, pedang, rantai, kait, kapak, trisula, halberd, perisai, tongkat, dan garu. Sang tuan rumah pergi ke kota Huayin untuk menjadi kepala daerah. Tentangnya kita tidak akan menceritakannya lagi.

Hari-hari pun berlalu. Setengah tahun pun terlewati. Shi Jin telah mahir menggunakan kedelapan belas jenis senjata. Wang Jin telah mengajarinya dengan sungguh-sungguh, menjelaskan segala macam hal penting tentang setiap senjata. Ketika pemuda itu telah menguasai semua jenis senjata, Wang Jin berpikir walaupun

Page 25: 108 Pendekar Liang-Shan

tempat itu sangat menyenangkan, dia tidak mengalami kemajuan. Dia ingin pergi ke Yanan, tapi Shi Jin tidak menginginkannya pergi.

“Tinggalah di sini guru,” pemudah itu memohon. “Aku akan melayanimu dan ibumu seumur hidupmu. Tidakkah itu cukup?”

“Terima kasih atas kesediaanmu, saudaraku,” kata Wang Jin. “Di sini sangatlah menyenangkan. Hanya saja aku takut Jendral Gao akan mengirim orang untuk menangkapku, dirimu akan terbawa-bawa. Hal itu merisaukanku. Kita berdua akan berada dalam masalah. Aku ingin pergi ke Yanan dan bergabung dengan tentara di bawah Jendral Tua Zhong. Di sana adalah pos perbatasan dan mereka membutuhkan orang. Aku bisa memulai awal yang baru di sana.

Karena dia tidak bisa memaksa Wang Jin untuk tetap tinggal, Shi Jin dan ayahnya akhirnya mengadakan jamuan perpisahan. Mereka memberinya dua gulung kain satin dan bertail-tail perak, dibawakan dalam sebuah nampan.

Hari berikutnya Wang Jin mengikat barang-barangnya ke tanggungannya dan menyiapkan kudanya. Dia dan ibunya berpamitan pada sang tuan rumah, lalu Wang Jin membantu ibunya menaiki kuda dan mereka pun berangkat ke Yanan. Shi Jin menyuruh seorang pelayan mengangkat tanggungan gurunya. Dia sendiri, tak ingin berpisah, mengantarkan gurunya sejauh sepuluh li.

Akhirnya Shi Jin berlutut pada gurunya dan mengucapkan selamat tinggal dengan air mata berurai. Dia kembali dengan pelayannya ke rumah. Wang Jin dan ibunya melanjutkan perjalanan ke arah barat.

Kita tidak akan menceritakan dulu Wang Jin yang bergabung dengan tentara di perbatasan, tapi kita akan menceritakan Shi Jin. Setiap hari, dia berlatih dengan penuh semangat. Dia masih muda dan belum menikah, jadi dia sering bangun tengah malah untuk berlatih dengan senjata-senjatanya. Di siang hari dia berlatih panahan dan berkuda di belakang rumah.

Sebelum setengah tahun berlalu, ayahnya jatuh sakit dan tidak bisa meninggalkan tempat tidurnya. Shi Jin mengundang tabib dari seluruh penjuru negeri, tapi tak ada yang bisa menolongnya. Diringi kesedihan dari semua orang, orang tua itu pun meninggal. Shi Jin segera mengurus jenazah ayahnya dan menyiapkan peti mati di mana ayahnya kemudian berbaring. Dia juga mengundang pendeta Budha untuk melakukan tujuh upacara, sekali setiap tujuh hari untuk mendoakan ayahnya. Dia juga mengundang pendeta Tao untuk berdoa agar arwah ayahnya langsung menuju surga. Ada lebih dari sepuluh upacara yang dilaksanakan. Dia kemudian memilih hari yang baik untuk pemakaman ayahnya. Semua keluarga di desa itu, sekitar 300-400 keluarga, hadir semua dengan mengenakan pakaian berkabung. Tuan Shi dimakamkan di pemakaman leluhur di bagian barat desa.

Sekarang tidak ada yang mengurus urusan rumah tangga Shi Jin. Pemuda itu tidak peduli tentang bertani. Dia hanya tertarik untuk menemukan orang yang bisa melawan kemampuan silatnya.

Tiga-Empat bulan pun terlewati. Saat itu adalah pertengahan bulan keenam, cuaca sangatlah panas. Shi Jin duduk di kursi lipat di bawah pohon willow di samping halaman, mencari udara sejuk. Dia tidak punya kegiatan apapun. Angin dingin bertidup dari hutan pinus di seberang. “Sangat menyegarkan,” pikir Shi Jin.

Tiba-tiba dia melihat sebuah kepala seorang pria yang melihat berkeliling. “Siapa di sana,” teriak Shi Jin, “melihat rumah kami?” Dia segera berlari ke arah hutan. Di belakang pohon pinus, dia menemukan Li Ji, si pemburu kelinci.

“Kenapa kau memperhatikan rumahku?” tanya Shi Jin. “Apakah kau memata-mataiku?”

Page 26: 108 Pendekar Liang-Shan

Li Ji mendekat dan menyapanya dengan hormat. “Pelayanmu yang rendah ini sedang mencari Qiu. Saya ingin mengajaknya minum arak. Ketika saya melihat tuan muda sedang duduk di sana dan menikmati angin, saya tidak berani mengganggu.”

“Aku ingin bertanya. Dulu kamu sering datang dan menjual kepada kami binatang buruan. Aku selalu membayarmu dengan layak. Kenapa kau berhenti datang? Apakah kau pikir aku tak punya uang?”

“Bagaimana mungkin hamba berani berpikir seperti itu. Hanya saja akhir-akhir ini tidak ada binatang buruan. Itulah sebabnya saya tak pernah datang lagi.”

“Omong kosong! Gunung sebesar dan seluas Shaohua? Apa kau pikir aku akan mempercayai bahwa tak ada rusa maupun kelinci di sana?”

“Jadi Anda belum mendengarnya, Tuan Muda? Bandit-bandit telah membuat benteng di atas gunung. Ada sekitar enam ratus orang dan lebih dari seratus kuda di sana. Pemimpin mereka disebut Zhu Wu Si Ahli Strategi. Orang kedua disebut Chen Da Si Macan Pelompat Jurang. Orang ketiga dikenal dengan nama Yang Chun Si Ular Bertutul Putih. Ketiga orang ini menyerang dan menjarah sekehendak hati mereka. Pemerintah di Huayin tidak dapat berbuat apa-apa tentang mereka. Mereka telah mengumumkan akan memberikan hadiah tiga ribu tail untuk mereka yang berhasil menangkap bandit itu. Tapi siapa yang berani mencoba? Pelayanmu ini takut untuk berburu di gunung itu. Itulah sebabnya aku tidak bisa menjual binatang buruan lagi.”

“Aku telah mendengar bahwa ada bandit di atas sana,” kata Shi Jin. “Tapi aku tak tahu kalau mereka begitu aktif. Mereka membuat masalah. Tapi aku tetap menginginkan binatang buruan kalau kau menangkap beberapa.”

Li Ji pun membungkuk dan pergi.

Shi Jin kembali ke rumahnya. “Penyamun-penyamun itu akan menjadi masalah,” pikirnya. “Mereka mungkin akan menyerang desa kami. Kalau terjadi seperti itu…”

Dia kemudian menyuruh pelayan-pelayannya untuk menyembelih dua kerbau gemuk dan mengeluarkan arak yang bagus. Pertama-tama dia membakar kertas yang menyerupai uang sebagai persembahan untuk langit dan berdoa untuk nasib baik. Kemudian dia mengundang sekitar tiga atau empat ratus penduduk ke rumahnya. Setelah semua orang duduk menurut usianya, dia menyuruh para pelayan agar menuangkan arak

Page 27: 108 Pendekar Liang-Shan

BAB 2Bagian 4

“Aku mendengar tiga orang pemimpin penyamun telah membentuk kelompok bandit beranggotakan sekitar enam atau tujuh ratus orang di Gunung Shaohua yang kadang melakukan penyerangan dan perampokan,” katanya. “Karena mereka terus bergerak, cepat atau lambat mereka pun akan menyerang desa kita. Aku mengundang kalian semua untuk mengadakan rapat. Ketika mereka datang, semua keluarga harus sudah siap. Kalau kami membunyikan tanda bahaya, kalian semua harus datang sambil membawa senjata. Kami akan melakukan hal yang sama bila ada di antara kalian yang diserang. Kita akan membantu satu sama lain. Kalau ketua bandit-bandit itu datang, aku yang akan menghadapinya sendiri.”

“Kau yang memimpin, Tuan Muda,” kata para penduduk. “Kami bergantung padamu. Ketika tanda bahaya dibunyikan, tak ada seorang pun dari kami yang akan berdiam diri.”

Siang harinya mereka meminum cangkir terakhir sebagai tanda terima kasih lalu kembali ke rumah masing-masing untuk menyiapkan senjata mereka.

Shi Jin memperkuat gerbang dan tembok-tembok di sekitar tanahnya dan mempersiapkan segalanya. Dia mengeluarkan baju zirahnya serta menyiapkan kuda dan pedang.

Sementara itu ketiga pemimpin bandit di Gunung Shaohua. Mereka sedang duduk di suatu hari, dan mengadakan rapat. Zhu Wu Si Ahli Strategi, pemimpin mereka, berasal dari Dingyuan. Senjatanya berupa dua buah pedang. Walaupun bukan seorang petarung yang hebat, dia sangat hebat dalam taktik perang dan merupakan seorang ahli strategi yang pandai. Komandan kedua, Chen Da, berasal dari kota Yacheng. Dia menggunakan tombang berujung baja. Yang Chun, orang ketiga, berasal dari Daerah Xieliang di Puzhou. Dia menggunakan halberd.

“Kudengar pemerintah Huayin memberikan hadiah tiga ribu tail untuk menangkap kita,” kata Zhu Wu. “Tentu saja kita akan menyambut mereka dengan pedang kalau sampai mereka datang. Masalahnya kita kekurangan uang dan gandum. Lebih baik kita keluar dan mencuri. Kita akan membutuhkan banyak persediaan gandum bila prajurit mereka mengepung kita.”

“Benar,” kata Chen Da. “Ayo kita minta gandum ke daerah Huayin, dan kita lihat apa yang akan mereka lakukan.”

“Jangan ke Huayin,” kata Yang Chun. “Pucheng lebih baik. Kita pasti mendapatkannya di sana.”

“Tak banyak orang di Puchang,” kata Chen Da, “dan mereka tidak memiliki banyak gandum maupun uang. Aku lebih memilih menyerang Huayin. Orang-orangnya lebih sejahtera di sana. Mereka memiliki banyak uang dan gandum di sana.”

“Kau tak mengerti, saudaraku,” kata Yang Chun. “Untuk pergi ke Huayin, kita harus melewati Desa Keluarga Shi. Shi Jin si Sembilan Naga sangatlah hebat. Bukan hal yang bijaksana untuk melawannya. Dia tidak akan membiarkan kita lewat begitu saja.”

“Kau berbicara seperti orang lemah, saudaraku,” kata Chen Da. “Kalau kita tidak bisa melewati desa biasa seperti itu, bagaimana kita bisa melawan tentara pemerintah?”

“Kau tidak boleh meremehkan Shi Jin,” kata Yang Chun. “Dia sangat tangguh.”

Page 28: 108 Pendekar Liang-Shan

“Aku juga pernah mendengar bahwa dia adalah seorang pemberani,” kata Zhu Wu. “Mereka berkata bahwa kemampuannya menggunakan senjata merupakan kelas satu. Lebih baik kita tidak melawannya.”

“Tutup mulutmu,” teriak Chen Da. “Memuji keberanian orang lain akan menurunkan keberanian diri sendiri. Dia hanyalah seorang manusia. Apakah dia memiliki tiga kepala dan enam tangan? Aku tak mempercayainya!” Lalu dia pun berteriak kepada pengawalnya, “Bawakan kudaku. Aku akan menyerang Desa Keluarga Shi, lalu aku akan menyerang Huayin.”

Zhu Wu dan Yang Chun mencoba untuk menghalanginya, tapi dia tidak mendengarkan. Dia mengenakan zirahnya lalu menaiki kudanya, membawa serta seratus lima puluh orang, lalu diiringi tabuhan genderang dan bunyi gong, mereka turun gunung menuju Desa Keluarga Shi.

Shi Jin, yang sedang berada di depan rumahnya dan mengecek peralatan serta senjata orang-orangnya, diberitahu akan penyerangan ini oleh salah seorang pelayannya. Dia kemudian membunyikan tanda bahaya. Seketika dari berbagai arah orang-orang datang berlarian ke arah rumah Shi Jin sembari membawa senjata mereka masing-masing. Mereka menemukan Shi Jin mengenakan ikat kepala, baju zirah, penutup dada serta penutup punggung dengan jubah berwarna merah, sepatu berwarna hijau dan sebuah ikat pinggang dari kulit. Dia membawa busur dan satu set anak panah, serta menggenggam pedang berujung tiga dengan empat buah lubang dan delapan anting-anting menghiasi pedang itu.

Seorang pelayan membawa kuda merahnya. Shi Jin pun naik. Dia mengankat pedangnya. Diiringi empat puluh pengikutnya yang kuat dan sembilan puluh penduduk desa, Shi Jin pun berderap maju. Sembari berteriak dan memberi semangat, sisa-sisa dari penduduk bergabung di sisi-sisi dan mengikuti mereka menuju jalan di sebelah utara desa.

Chen Da memimpin orang-orangnya menuruni gunung dan memerintahkan agar berpencar. Shi Jin melihatnya mengenakan topi berwarna merah, zirah berwarna keemasan, jubah berwarna merah serta sepatu yang bersol tebal. Disekeliling pinggangnya terdapat ikat pinggang dari bambu. Dia mengendarai kuda berwarna putih dan menggenggam tombak dengan ujung terbuat dari baja yang panjangnya sekitar delapan belas kaki. Pengikutnya berada di sekitarnya sambil berteriak-teriak.

Di atas tunggangannya, kedua pemimpin itu saling pandang satu sama lain. Chen Da membungkuk dari atas pelananya.

Kau membunuh dan membakar, mencuri dan merampok, kejahatanmu harus dihukum dengan kematian. Teriak Shi Jin. Tidakkah kau pernah mendengar tentangku? Kenapa kau berani membangunkan harimau yang sedang tidur?

Kami kehabisan gandum di benteng kami, Chen Da menjawab. Kami berharap bisa meminjam sedikit gandum di Huayin. Jalan ini membawa kami menuju tanahmu, tapi tentu saja kami tidak berani untuk menyentuh seujung rumput pun tanahmu. Biarkan kami lewat. Kami akan berterima kasih dengan pantas sebagai gantinya.

Omong kosong. Aku adalah pemimpin di sini. Aku memang ingin menyerang kalian para bandit, dan sekarang kau datang sendiri ke hadapanku. Kalau aku membiarkanmu pergi dan para hakim mendengarnya, aku akan ikut dihukum.

Pepatah mengatakan, ‘sepanjang empat samudera, semua orang adalah saudara.’ Kami memohon agar Anda membiarkan kami lewat.

Page 29: 108 Pendekar Liang-Shan

Cukup dengan omong kosong ini. Bahkan walaupun aku ingin, ada seorang lagi yang tidak akan setuju. Kau harus meminta padanya juga.

Dan siapakah orang itu?

Pedang di tanganku ini!

Chen Da pun marah. Jangan mendesakku terlalu jauh. Kau membuatku terpaksa membalas!

Shi Jin, yang juga marah, mengangkat pedangnya, lalu memacu kudanya untuk menyerang. Chen Da pun melaju dengan tombak terangkat. Kedua orang itu bertemu dan saling tempur. Setelah beberapa ronde, Shi Jin melakukan gerak tipu, dia berpura-pura dadanya terbuka, dan Chen Da pun menerjang. Tuan tanah muda itu mengelak dari tusukan tombak. Kedua tubuh mereka bertemu. Shi Jin dengan gesit melayangkan lengannya ke pinggang Chen Da, menangkap ikat pinggangnya, lalu dengan cepat mengangkatnya dari pelana kudanya dan menjatuhkannya ke tanah. Kuda sang pemimpin bandit itu kabur seperti angin. Shi Jin memerintahkan agar orang-orangnya mengikat Chen Da. Sisa-sisa bandit itu berhasil diusir.

Shi Jin kembali ke rumahnya dan mengikat Chen Da di sebuah tiang di halaman. Dia memutuskan kalau dia berhasil menangkap dua pemimpin bandit lainnya dia akan menyerahkan mereka ke pihak yang berwenang dan mengambil hadiahnya. Dia menyajikan arak bagi orang-orangnya dan mengatakan bahwa mereka boleh pulang. Mereka pun minum-minum dan memuji keberanian Shi Jin.

Jauh di benteng mereka, Zhu Wu dan Yang Chun bertanya-tanya kenapa belum ada kabar berita. Mereka mengirim orang untuk memeriksa. Tak berapa lama bandit-bandit lain kembali sembari membawa kuda pemimpin mereka yang kini tak dikendarai siapapun. Ketika mereka menaiki gunung, Betapa menyedihkan! Chen Da tidak mendengarkan kalian berdua, dan sekarang dia bagaikan orang mati.

Zhu Wu bertanya apa yang telah terjadi. Bandit-bandit itu menceritakan tentang pertarungan itu dan mengatakan, Shi Jin merupakan seorang petarung yang hebat.

Chen Da tidak mendengarkanku, kata Zhu Wu, dan akibatnya dia mengalami bencana.

Ayo kita pergi dengan kekuatan penuh dan menyerang mereka, saran Yang Chun.

Tidak mungkin, kata Zhu Wu. Kalau Chen Da tak bisa melawannya, bagaimana kau bisa? Aku memiliki ide. Sangat beresiko, tapi mungkin bisa menyelamatkan Chen Da. Kalau tidak berhasil, kita berdua pun akan tamat.

Apa itu?

Zhu Wu kemudian membisikan rencananya ke telinga Yang Chun.

Luar biasa, kata Yang Chun. Ayo kita pergi, kalau begitu. Kita tak memiliki banyak waktu.

Shi Jin di rumahnya, masih agak marah ketika seorang pelayan buru-buru masuk dan melapor. Zhu Wu dan Yang Chun sedang dalam perjalanan dari benteng mereka.

Bajingan itu. Aku akan menangkap mereka berdua. Bawakan kudaku, cepat.

Tanda bahaya pun di bunyikan dan penduduk desa segera berkumpul. Dia menaiki kudanya dan sedang menuju gerbang ketika dia melihat Zhu Wu dan Yang Chun datang dengan berjalan kaki.

Page 30: 108 Pendekar Liang-Shan

Mereka berdua berlutut dan memandangnya sambil menangis. Shi Jin turun dari kudanya dan berteriak. Kenapa kalian berlutut di sana?

Sembari menghapus air matanya, Zhu Wu menjawab, kami tiga orang laki-laki dikejar-kejar oleh pemerintah sehingga kami terpaksa pergi ke bukit-bukit dan menjadi buronan. Kami bersumpah bahwa walaupun kami tidak lahir di hari yang sama kami akan mati di hari yang sama. Mungkin sumpah kami tidak bisa dibandingkan dengan sumpahnya Guan Yu, Zhang Fei dan Liu Bei, tapi hati kami sama tulusnya. Hari ini adik kami Chen Da tidak mengikuti nasihat kami. Dia melawanmu dan sekarang tertangkap dan ditawan di rumahmu. Karena kami tidak memiliki cara untuk menyelamatkannya, kami datang untuk mati bersamanya. Silakan serahkan kami bertiga kepada pemerintah dan ambilah hadiahnya. Kami tidak akan melawan.

Page 31: 108 Pendekar Liang-Shan

BAB 2Bagian 5

Tuan muda itu pun berkata, “karena kalian sangatlah setia, aku tidak akan menjadi pendekar sejati kalau menyerahkan kalian ke pemerintah. Kurasa aku akan melepaskan Chen Da, bagaimana?”

“Tapi Anda akan dihukum,” kata Zhu Wu. “Kami tidak menginginkannya. Lebih baik Anda menyerahkan kami dan mengambil hadiahnya.”

“Tidak mungkin,” kata Shi Jin. “Maukah kalian makan dan minum di sini?”

“Kematian pun tak kami takuti,” kata Zhu Wu. “Kenapa kami harus takut dengan makanan dan minumanmu?”

Shi Jin pun merasa senang. Dia melepaskan Chen Da dan mengadakan jamuan untuk ketiga pemimpin bandit itu di ruangan samping. Zhu Wu, Yang Chun dan Chen Da berterima kasih padanya atas kebaikannya. Setelah beberapa gelas arak, mereka merasa lebih ceria. Ketika arak telah habis, ketiga pemimpin itu sekali lagi menyatakan terima kasih pada Shi Jin dan pergi kembali ke gunung. Shi Jin mengantarkan mereka hingga ke gerbang rumahnya.

Setelah kembali ke benteng, Zhu Wu duduk bersama kedua saudaranya. “Kalau bukan karena rencana kita, akankah kita masih hidup sekarang?” katanya. “Tidak hanya menyelamatkan Chen Da, tapi Shi Jin, dengan gagahnya melepaskan kita semua. Dalam beberapa hari ini kita harus mengirim hadiah untuk memperlihatkan rasa terima kasih kita.”

Sekitar sepuluh hari kemudian, ketiga pemimpin bandit itu, saat bulan tak bersinar, mengirimkan bawahan mereka dengan tiga puluh batang emas. Mereka mengetuk pintu rumah Shi Jin dan pelayan melaporkan kedatangan mereka. Shi Jin segera mengenakan pakaian mereka dan menyambut mereka.

“Apa kau punya pesan untukku?”

“Ketiga pemimpin kami ingin memperlihatkan rasa hormat mereka. Kami diperintahkan untuk mengirimkan hadiah ini sebagai rasa terima kasih atas kebaikan Tuan Muda karena telah menyelamatkan mereka. Tolong jangan menolaknya.” Mereka pun menyerahkan emas tersebut kepada Shi Jin.

Awalnya dia ingin menolak, tapi kemudian dia berfikir, “karena mereka cukup baik dengan mengirimkan hadiah ini, seharusnya hadiah ini kuterima.” Lalu dia pun menyuruh pelayannya untuk menuangkan arak bagi pemberi pesan itu. Mereka minum sampai tengah malam, lalu Shi Jin memberinya perak dan menyuruh mereka untuk pulang.

Kurang dari setengah bulan kemudian, para pemimpin bandit itu mengadakan rapat sekali lagi dan mengirim hadiah kembali untuk Shi Jin. Kali ini berupa mutiara-mutiara berukuran besar yang sangat berharga yang mereka dapatkan dalam salah satu perampokan. Shi Jin pun menerimanya.

Setelah setengah bulan kemudian, Shi Jin berpikir, “ketiga orang itu menunjukan rasa hormat mereka yang besar, aku pun seharusnya mengirimkan hadiah sebagai balasannya.” Hari berikutnya dia menyuruh pelayannya untuk membeli tiga gulung kain brokat berwarna merah di kota dan meminta penjahit untuk membuatkan tiga buah jubah untuk para pemimpin bandit. Dia juga memerintahkan untuk menyembelih tiga ekor kambing dan memasaknya. Masakan dan pakaian itu dikirimkannya pada pemimpin bandit dalam sebuah peti besar.

Page 32: 108 Pendekar Liang-Shan

Pengurus rumah tangga Shi Jin adalah seseorang bernama Wang. Lidah orang ini sangatlah lemas dan dia sering bercakap-cakap dengan para pejabat. Pelayan lainnya menyebutnya sebagai ‘Bodang’. Pelayan ini merupakan salah seorang pelayan yang dikirim Shi Jin. Ketika mereka tiba di kaki gunung, penjaga menanyai mereka dan memimpin mereka menuju benteng. Ketua bandit itu sangat senang dengan daging kambing yang lezat, arak, dan jubah yang diberikan Shi Jin. Mereka memberi pengantar hadiah itu 10 tail perak dan memberi mereka lebih dari dua belas mangkuk arak. Mereka pun kembali ke rumah Shi Jin.

“Ketua bandit itu sangat senang,” mereka memberi tahu tuan muda mereka.

Sejak saat itu, Shi Jin sering mengirim hadiah kepada para bandit. Beberapa kali, para pemimpin bandit pun mengirim emas dan perak kepada Shi Jin.

Hari-hari pun berganti. Tibalah bulan kedelapan, saatnya festival pertengahan musim semi. Shi Jin memutuskan untuk mengundang para ketua bandit untuk menikmati bulan purnama dan meneguk arak di rumahnya pada malam kelima belas. Dia mengirim Wang ke benteng tersebut dengan undangan tertulis. Ketiga bandit itu menerimanya dengan senang hati. Mereka menulis surat balasan, memberi Wang lima tail perak dan memberinya lebih dari sepuluh cawan arak.

Di jalan pulang, Wang bertemu dengan dua orang bandit yang sering datang ke rumah Shi Jin untuk memberikan hadiah. Mereka mengajaknya ke kedai arak di sebuah dusun di pinggir jalan, dimana mereka menegak lagi sepuluh cawan arak. Akhirnya mereka berpisah dan Wang meneruskan perjalanannya. Angin yang kencang menerjangnya dan membuatnya merasa mabuk. Wang terhuyung-huyung sekitar sepuluh li sebelum dia tiba di sebuah belukar. Dia menjatuhkan dirinya dan berbaring di padang rumput.

Secara kebetulan Li Ji si pemburu sedang mengejar kelinci di pinggir gunung. Dia mengenali Wang dan ketika melihatnya berbaring di sana, segera mendekat untuk menolongnya tapi pelayan itu terlalu berat. Mata tajam si pemburu itu melihat sekantung perak di ikat pinggang Wang.

“Bajingan ini sedang mabuk,” pikirnya. “Dari mana dia mendapat uang sebanyak itu? Kenapa aku tidak mengambilnya saja?” Li Ji melepaskan kantung itu dan menggoncangkannya. Kepingan perak dan surat balasan dari kepala bandit pun terjatuh ke tanah. Dia mengangkatnya dan membukanya. Dia tidak terlalu bisa membaca, dan hanya bisa mengenali nama Zhu Wu, Chen Da dan Yang Chun sedangkan sisanya tak bisa dia baca sama sekali.

“Tidak mudah bagi pemburu miskin sepertiku untuk bisa sukses di dunia ini,” dia berkata pada dirinya. “Tapi seorang peramal menyatakan bahwa aku akan jadi kaya. Mungkin ini kesempatanku. Di Kota Huayin aku melihat pengumuman yang memberikan hadiah tiga ribu tail uang untuk menangkap ketiga bandit itu. Tak heran waktu itu saat aku mencari Qiu, Shi Jin takut aku sedang memata-matainya. Ternyata dia berteman dengan bandit-bandit itu sejak dulu!”

Li Ji mengambil perak dan surat itu lalu menuju Huayin untuk melapor pada pihak yang berwenang.

Ketika Wang terbangun, saat itu telah jam kedua. Dia mulai sadar dan menemukan dirinya sedang berada di bawah cahaya bulan yang pucat. Dia pun bangun dan melihat sekeliling. Di segala arah dia melihat pohon-pohon pinus. Dia meraba-raba pinggangnya.

Kantung uang dan suratnya hilang. Wang mencari kemana-mana. Dia hanya menemukan kantung uang yang kosong tergeletak di atas rumput.

Wang mengerang. “Tak masalah dengan peraknya,” pikirnya. “Tapi surat yang hilang itu sangat penting. Siapa yang mengambilnya?” Dia mengerutkan kening. “Kalau aku bilang aku menghilangkannya, tuan muda pasti

Page 33: 108 Pendekar Liang-Shan

akan sangat marah. Dia akan mengusirku. Lebih baik kukatakan bahwa tak ada balasan yang tertulis. Dia tidak akan pernah tahu.”

Pelayan itu pun kembali ke rumah Shi jin. Saat itu sedang jam kelima ketika dia tiba.

“Apa yang membuatmu sangat lama?” tanya Shi Jin.

“Sebagai rasa hormat mereka padamu, Tuan Muda, mereka tidak membiarkan saya pergi. Mereka menjamuku dengan arak hingga tengah malam. Itulah sebabnya saya terlambat.”

“Apakah mereka menulis balasan?”

Mereka akan menulis balasan, tapi saya berkata, ‘karena kalian pasti akan datang, kenapa harus menulis surat balasan? Pelayanmu ini telah mabuk. Bagaimana kalau saya menghilangkannya di tengah perjalanan? Hal itu akan membuat masalah.’”

“Tak heran orang-orang menjulukimu dengan sebutan Bodang,” komentar Shi Jin. “Kau benar-benar sangat pintar.”

“Pelayanmu ini tidak berani berlama-lama. Setelah itu saya segera kembali tanpa berhenti sekalipun.”

“Baiklah kalau begitu, kirimkan seseorang ke kota untuk membeli makanan ringan untuk dihidangkan bersama arak nanti.”

Tak berapa lama, tibalah hari festival pertengahan musim semi. Cuaca sangatlah cerah. Shi Jin memerintahkan pelayan-pelayannya untuk menyembelih seekor biri-biri dan ratusan ayam serta angsa dan menyiapkan perjamuan.

Zhu Wu, Chen Da dan Yang Chun memerintahkan bawahan mereka untuk menjaga benteng. Sore harinya mereka menuruni gunung dengan dikawal oleh lima orang bawahan mereka. Mereka masing-masing membawa halberd dan sebuah pedang. Mereka semua berjalan kaki dan langsung menuju ke kediaman Shi Jin.

Shi Jin menyambut mereka dan saling menyapa. Tuan muda itu langsung mengundang mereka menuju taman samping, dimana sebuah perjamuan telah disiapkan. Dia meminta mereka untuk menduduki tempat kehormatan. Dia sendiri duduk di depan mereka dan menyuruh pelayan untuk mengunci gerbang depan serta samping rumahnya. Tuan rumah dan tamu-tamu pun segera minum-minum, para pelayan terus mengisi cawan-cawan kosong dengan arak dan menyuguhkan hidangan. Setelah beberapa cawan arak, bulan purnama pun terbit di timur.

Mereka terus minum dan menikmati festival musim semi tersebut, serta berbincang-bincang tentang banyak hal. Tiba-tiba, mereka mendengar keributan di luar rumah dan melihat cahaya obor. Shi Jin yang merasa terkejut segera bangkit.

“Tak usah khawatir, sahabatku. Aku akan melihat apa yang terjadi,” katanya. Dia berteriak ke pelayannya, “jangan buka gerbangya!” Kemudian dia menaiki sebuah tangga menuju atas tembok dan melihat keadaan sekeliling.

Kepala polisi kota Huayin, dua orang perwira pengadilan dan sekitar tiga hingga empat ratus prajurit telah mengepung kediaman Shi Jin. Shi Jin dan para kepala bandit terkejut. Diterangi cahaya obor, Shi Jin dapat melihat ratusan tombak, halberds, dan tongkat berduri. Polisi itu berteriak, “jangan biarkan pencuri-pencuri itu kabur!”

Page 34: 108 Pendekar Liang-Shan

Bab 3Shi Jin Meninggalkan Huayin di Malam Hari

Perwira Lu Memukuli Si Penguasa Daerah Barat

“Apa yang harus kita lakukan?” Shi Jin bertanya.

Zhu Wu dan kedua bandit lainnya berlutut di hadapannya dan berkata, “kau tidak bersalah, kakak. Jangan melindungi kami. Lebih baik tangkaplah kami dan dapatkan hadiahnya demi nama baikmu.”

“Tak mungkin aku melakukan itu,” jawab Shi Jin.”Kalau aku melakukan hal seperti itu maka aku seolah-olah menjebak kalian di sini demi mendapatkan uang. Semua orang akan menertawakanku. Kita akan hidup dan mati bersama. Bangkitlah dan jangan khawatir. Tak perlu mengorbankan diri kalian demi diriku.”

Dia menaiki tangga dan berteriak, “apa maksud kalian menyerang rumahku di tengah malam?”

“Jangan berpura-pura, Tuan Muda,” perwira pengadilan itu menjawab. “Li Ji, yang datang dengan bukti-bukti telah berada di sini bersama kami.”

“Li Ji,” Shi Jin berteriak, “kenapa kau memfitnah orang jujur sepertiku?”

“Aku tidak memfitnahmu,” kata pemburu itu. “Aku mengambil surat dari Wang di hutan dan membawa surat itu ke pengadilan. Inilah hasilnya.”

Shi Jin memanggil Wang. “Kau bilang tak ada surat balasan. Dari mana surat itu berasal?”

“Saya sedang mabuk Tuanku. Saya tidak tahu tentang hal itu.”

“Kurang ajar,” teriak Shi Jin. “Kau membuatku dalam masalah.”

Karena takut akan kemampuan Shi Jin, kepala polisi dan perwira pengadilan itu tidak berani memaksa untuk masuk. “Lebih baik beri mereka jawaban,” kata para pemimipin bandit. Shi Jin pun mengerti apa yang mereka maksud.

“Jangan berani bergerak selangkahpun,” teriaknya dari atas tangga. “Mundurlah dari tembokku. Aku akan mengikat bandit-bandit ini dan menyerahkannya pada pemerintah untuk mendapatkan hadiah.”

Para perwira pengadilan itu tidak memiliki keinginan untuk bentrok dengan Shi Jin. “Kami tidak ingin membuat masalah,” kata mereka. “Bawa mereka kemari dan kami akan membawamu serta ke pengadilan bersama-sama.”

Shi Jin menuruni tangga dan pergi ke ruang depan. Dia menyeret Wang Se ke taman samping dan membunuhnya dengan sabetan pedang. Kemudian dia menyuruh para pelayannya untuk menyiapkan barang berharga yang dapat dibawa dan sekitar 30-40 obor. Dia dan para pemimpin bandit itu mengenakan baju zirah dan mengambil senjata dari rak senjata. Mereka membakar bangunan-bangunan di bagian belakang rumah.

Sementara itu para pelayan juga mengepak barang-barang mereka.

Ketika para prajurit di luar melihat api yang menyala, segera saja mereka menyerbu lewat samping. Shi Jin membakar ruang tengah, membuka gerbang depan dan menyerbu keluar sembari berteriak garang. Diikuti

Page 35: 108 Pendekar Liang-Shan

oleh Zhu Wu, Yang Chun, Chen Da serta para pengawal mereka, Shi Jin dan para pengikutnya menyerbu. Shi Jin merupakan seorang pendekar yang tangguh. Siapakah yang dapat menahan serbuannya?

Sementara api berkobar menghiasi malam, Shi Jin dan orang-orangnya berhasil melewati para prajurit. Tak lama kemudian dia berhadapan dengan dua perwira pengadilan dan Li Ji. Shi Jin segera saja marah.

Kedua perwira pengadilan itu menyadari bahwa situasi sangat buruk bagi mereka. Mereka pun segera putar badan dan lari. Li Ji juga berusaha untuk lari, tapi Shi Jin dengan cepat mengejarnya. Dengan sekali sabetan pedangnya, dia memenggal Li Ji. Chen Da dan Yang Chun mengejar kedua perwira pengadilan dan menusuk mereka dengan tombak mereka masing-masing. Kepala Polisi, ketakutan, memacu kudanya secepat mungkin. Tentu saja para prajurit yang lain tak berani berbuat apa pun. Mereka kabur ke segala arah.

Sembari membunuh para prajurit, Shi Jin dan pengikutnya berhasil tiba di benteng para prajurit di gunung Shaohua.

Hanya saat itulah mereka berani duduk dan beristirahat. Zhu Wu dan pemimpin lainnya menyuruh untuk menyembelih lembu jantan dan menyiapkan jamuan kemenangan. Shi Jin berdiam di benteng itu selama beberapa hari.

Dia berpikir, “untuk menyelamatkan nyawa orang, aku membakar rumahku. Walaupun aku berhasil membawa beberapa barang berharga, sebagian besar hartaku hilang.” Dia merasa tak enak. Bagaimana mungkin dia bisa tinggal di tempat seperti ini? Dia pun berkata pada ketua bandit. “Instruktur Wang, guruku, bertugas di perbatasan. Aku sudah sejak lama ingin menemuinya, namun karena kematian ayahku aku tak bisa pergi. Sekarang rumahku telah terbakar, tak ada yang dapat menahanku di sini. Aku akan mencari guruku.”

“Jangan pergi, Kakak,” para bandit itu memohon. “Tinggalah sebentar lagi, dan kita bicarakan hal ini nanti. Kalau kau tidak mau bergabung bersama kami, ketika keadaan kembali aman kami akan membangun rumahmu dan kau bisa menjadi seorang yang terhormat lagi.”

“Terima kasih atas niat baik kalian tapi aku tak ingin berdiam diri di sini. Kalau aku berhasil menemukan guruku dan mendapat semacam pekerjaan dimana aku bisa menyibukkan diri, aku akan bahagia seumur hidupku.”

“Kenapa tidak tinggal di sini dan menjadi pemimpin kami? Tidakkah itu membuatmu senang?” tanya Zhu Wu. “Walaupun tentu saja benteng di gunung ini terlalu kecil untuk orang sepertimu.”

“Aku tidak ingin menjadi bandit. Aku tidak bisa menerimanya.”

Beberapa lama kemudian, Shi Jin memutuskan untuk berangkat. Permohonan ketiga kepala bandit ditolaknya. Dia meninggakan sebagian besar pelayan dan uangnya di benteng itu dan hanya membawa sejumlah kecil perak yang dia bawa dalam sebuah buntalan.

Shi Jin mengikat buntalannya ke punggungnya, membawa tombaknya dan mengucapkan salam perpisahakn kepada para bandit. Mereka mengantar Shi Jin hingga kaki gunung. Sembari menangis mereka berpisah dengan Shi Jin dan kembali ke gunung.

Shi Jin mengikuti jalan ke arah Provinsi Yanan. Dia makan dan minum hanya ketika lapar dan haus, dia berhenti hanya ketika malam dan segera berangkat keesokan harinya saat subuh. Dia terus berjalan seperti ini sendirian selama lebih dari setengah bulan hingga akhirnya dia tiba di Weizhou.

Page 36: 108 Pendekar Liang-Shan

“Di sini juga ada pasukan perbatasan,” katanya pada diri sendiri. “Mungkin guruku, instruktur Wang, ada di sini.”

Dia memasuki kota. Kota itu kota yang ramai, dengan beberapa jalan besar dan pasar. Di pojok jalan dia melihat sebuah kedai teh. Dia masuk dan segera duduk di salah satu meja.

Seorang pelayan mendekatinya. “Teh seperti apa yang ingin Anda pesan, Tuan?”

“Aku ingin secangkir teh celup.”

Pelayan itu membawakan pesanannya dan menaruhnya di depan mejanya.

“Di manakah markas pasukan perbatasan di kota ini?” tanya Shi Jin.

“Tempat itu ada di depan sana.”

“Apa kau pernah mendengar kalau mereka memiliki instruktur dari ibukota, seorang instruktur yang bernama Wang Jin?”

“Pasukan perbatasan memiliki banyak instruktur senjata. Ada tiga atau empat yang bermarga Wang. Tapi aku tak tahu apakah ada yang bernawa Wang Jin.”

Ketika pelayan itu sedang berbicara, seorang pria berbadan besar yang tampaknya seorang prajurit memasuki kedai itu. Kepalanya diikat oleh ikat kepala dengan lambang swastika, terikat di belakang dengan cincin emas dari Taiyuan. Ikat pinggang berwarna sehitam burung gagak melingkari pinggangnya. Dia mengenakan sepatu dengan empat buah sulaman bermotif kaki elang. Dia memiliki telinga yang besar, hidung yang lurus dan mulut yang lebar. Janggut panjang memenuhi mukanya yang bulat. Tingginya sekitar enam kaki.

Ketika orang yang baru datang itu duduk, pelayan itu berkata pada Shi Jin, “dia adalah perwira di pasukan perbatasan. Anda bisa bertanya padanya tentang Wang Jin. Dia mengenal semua instruktur senjata.”

Shi Jin segera bangkit dari duduknya dan menghormat pada orang yang baru datang itu. “Bolehkah saya mentraktir Anda secangkir teh, tuan?”

Perwira itu melihat Shi Jin yang terlihat gagah dan sepertinya seorang pendekar. Dia pun mendekat dan balik menyapa. Kemudian mereka berdua duduk bersama.

“Bolehkah saya mengenal nama tuan?” Shi Jin bertanya.

“Aku bernama Lu Da. Aku adalah perwira di kesatuan ini. Dan siapakah Anda, saudaraku?”

“Saya bernama Shi Jin. Saya berasal dari Huayin di Provinsi Huazhou. Guru saya, Wang Jin, dulunya seorang instruktur senjada di Tentara Penjaga Kekaisaran di Ibukota Timur. Bisakah tuan memberitahu saya, apakah dia ada di kesatuan ini?”

“Hmm, bukankah kau adalah Tuan Muda Shi dari Desa Keluarga Shi, orang yang dijuluki sebagai Sembilan Naga?”

Shi Jin membungkuk. “Saya adalah orang itu.”

Lu Da pun balas menghormat, “bertemu dengan seorang yang terkenal lebih berharga daripada sekedar mendengar namanya. Apakah gurumu Wan Jin ini adalah prajurit yang dikejar Komandan Gao?”

Page 37: 108 Pendekar Liang-Shan

“Benar sekali.”

“Aku pernah mendengarnya, tapi dia tidak berada di sini. Orang-orang bilang dia sedang berada di Pasukan Perbatasan di Yanan. Weizhou hanya merupakan pos perbatasan kecil. Jendral Muda Zhong adalah komandan kami. Saudara Wang tidak ada di sini. Jadi kamu benar-benar Tuan Muda Shi. Aku telah lama mendengar tentangmu. Mari minum secawan arak bersamaku.”

Dia menggandeng tangan Shi Jin. Ketika mereka meninggalkan kedai the itu, Lu Da berteriak ke belakang, “masukkan ke dalam tagihanku.”

“Tak masalah, Tuan,” jawab si pelayan.

Lu Da dan Shi Jin menyusuri jalan sambil masih bergandeng tangan. Belum sampai lima puluh langkah, mereka melihat sekumpulan orang mengelilingi sebuah tanah lapang.

“Ayo kita lihat,” ajak Shi Jin.

Mereka masuk kerumunan itu. Di tengah-tengah kerumunan, seorang pria sedang memegang sekitar selusin tongkat. Berbagai obat dan salep, dengan label harga, tersusun di atas sebuah wadah di tanah. Orang itu adalah seorang pedagang obat yang sedang menarik pelanggan dengan melakukan atraksi senjata.

Shi Jin mengenalinya. Dia adalah guru silat pertamanya, Li Zhong, yang dikenal sebagai Jendral Petarung Harimau.

“Guru,” panggil Shi Jin. “Telah lama aku tak melihatmu.”

“Apa yang kau lakukan di sini?” seru Lhi Zong.

“Karena kau adalah guru Tuan Muda Shi,” kata Lu Da, “ayo ikatlah bersama kami untuk minum arak.”

“Dengan senang hati, tapi setelah aku menjual obat-obatan ini dan mendapatkan uang.”

Page 38: 108 Pendekar Liang-Shan

BAB 3Bagian 2

“Siapa yang punya waktu untuk menunggu? Cepatlah, kalau kau mau ikut.”

“Pergilah duluan, aku akan menyusul nanti”

Lu Da sangat kesal. Dia dengan kasar mengusir para penonton. “Pergilah kalian dari sini atau akan ku hajar kalian satu-satu,” teriaknya.

Kerumunan itu segera mengenalinya dan segera saja bubar. Li Zhong sangat marah, tapi dia tak berani memprotes. Lu Da jelas-jelas terlihat keras kepala. “Betapa tak sabarannya dirimu,” kata Li sambil tersenyum. Dia pun memberekan senjata-senjata serta obat-obatnya, memberikannya kepada temannya untuk disimpan, lalu pergi dengan Shi Jin dan perwira itu.

Mereka berbelok beberapa kali sepanjang jalan hingga akhirnya mereka tiba di sebuah kedai arak terkenal yang didirikan oleh sebuah keluarga bermarga Pan di kaki sebuah jembatan. Mereka masuk dan menuju lantai dua kemudian memilih ruangan yang bersih. Lu Da menduduki kursi untuk tuan rumah, Lin Zhong duduk di seberangnya, sedangkan Shi Jin duduk di samping.

Seorang pelayan, yang mengenal Lu Da, menyapanya dengan hormat. “Berapa banyak arak yang Anda pesan, tuan?”

“Bawakan kami 4 guci arak.”

“Makanan apa yang ingin Anda pesan?”

“Tak usah banyak bertanya,” kata Lu Da. “Bawa apapun yang kau punya, aku akan membayarnya! Haruskah kau secerewet ini?”

Pelayan itu pun turun ke lantai bawah. Tak lama kemudian dia kembali dengan arak hangat. Dia memenuhi meja dengan berpiring-piring daging dan makanan lainnya.

Ketiga orang itu meneguk beberapa cawan arak. Mereka mengobrol tentang banyak hal dan membanding-bandingkan metode dalam bermain senjata.

Ketika percakapan mereka mulai ramai, mereka mendengar suara orang menangis dari ruangan sebela. Lu Da yang tak sabaran segera merasa terganggu. Dia mengambil piring-piring dan memecahkannya ke lantai. Pelayan yang terkejut segera mendekatinya.

“Kalau ada yang Anda inginkan, tuan, silakan beri perintah dan saya akan membawakannya,” katanya sembari ketakutan.

“Siapa yang ingin sesuatu? Kupikir kau tahu siapa aku. Tapi kau berani-beraninya membiarkan orang untuk menangis di ruang sebelah dan mengganggu kami ketika kami sedang makan. Aku tak pernah kurang membayarmu kan?”

“Jangan marah, tuan. Aku tidak akan pernah membiarkan ada seorang pun yang menganggumu. Orang yang menangis itu adalah seorang pria dan anak perempuannya yang bernyanyi di kedai-kedai. Mereka tidak mengetahui Anda dan teman-teman Anda sedang minum di sini. Mereka sedang menangisi nasib buruk mereka.”

Page 39: 108 Pendekar Liang-Shan

“Ada sesuatu yang aneh terjadi di sini. Bawa mereka padaku.”

Beberapa menit kemudian pelayan itu kembali bersama seorang perempuan berusia sekitar delapan belas tahun dan seorang laki-laki berumur lima puluhan. Keduanya membawa tetabuhan. Walaupun tidak terlalu cantik, gadis itu cukup manis. Sembari mengusap air matanya, dia memberi hormat pada tiga orang itu. Pria tua itu juga ikut memberi hormat.

“Dari mana kalian berasal?” tanya Lu Da. “Kenapa kalian menangis?”

“Saya akan menceritakan kisah kami, tuan,” balas gadis itu. “Kami dari Ibukota Timur. Orang tua saya dan saya datang untuk mengunjungi seorang famili, tapi ketika kami tiba kami baru tahu bahwa dia telah meninggalkan Weizhou dan pergi ke Ibukota Selatan. Ibu saya jatuh sakit di penginapan dan meninggal dunia. Ayah dan saya pun mengalami kesulitan. Tuan Zheng, yang dijuluki Penguasa Daerah Barat melihat saya dan menginginkan saya menjadi selirnya. Dia mengirim orang untuk mengancam kami, dan akhirnya saya menandatangani kontrak yang berisi bahwa dia akan memberikan ayahku uang tiga ribu tail sebagai ganti diri saya.”

“Kontrak itu nyata, tapi janjinya palsu. Tiga bulan kemudian istrinya mengusir saya dari rumah. Lalu Tuan Zheng menyuruh penjaga penginapan agar kami mengembalikan uang tiga ribu tail. Padahal kami tak pernah menerima uang sepeser pun dari dia. Bagaimana caranya kami membayarnya? Ayahku sudah lemah. Dia tak bisa melawan seorang kaya dan kuat seperti Zheng. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Ayah mengajari saya bernyanyi sewaktu kecil jadi kami mulai menyanyi di kedai-kedai. Sebagian besar penghasilan kami yang sedikit itu kami serahkan pada Zheng dan menabungkan sedikit sisanya untuk bekal pulang kami.”

“Tapi beberapa hari terakhir ini kedai-kedai sepi, sehingga kami tak mendapatkan banyak penghasilan. Kami takut kalau-kalau Zheng akan datang dan menagih uang pada kami. Kami tak memiliki tempat untuk memohon pertolongan. Karena itulah kami menangis. Kami tidak bermaksud untuk mengganggu tuan-tuan. Tolong maafkanlah kami.”

“Apa margamu?” tanya Lu Da. “Di penginapan mana kalian tinggal? Di manakah si Zheng ini tinggal?”

Orang tua itu menjawab, “marga kami adalah Jin. Aku adalah anak kedua. Anak saya ini dikenal dengan sebutan Teratai Giok. Zheng adalah seorang penjagal yang berjualan di dekat Jembatan Zhuangyuan. Dia dikenal dengan sebutan Penguasa Daerah Barat. Aku dan anakku tinggal di Penginapan Marga Lu, tak jauh dari Gerbang Timur kota ini.”

“Bah,” kata Lu Da. “Jadi si Zheng ini cuma Zheng si penjagal babi, bajingan yang berjualan di bawah perlindungan Jendral Muda Zhong, komandan kami. Dan dia menipu kalian?”

Dia berbicara pada Li Zhong dan Shi Jin. “Kalian berdua diamlah di sini, aku akan memukul orang itu sampai mati. Aku akan segera kembali.”

Li Zhong dan Shi Jin menghentikannya. “Tenangkan dirimu saudaraku,” mereka menenangkannya. “Mari kita bicarakan dulu hal ini.” Akhirnya Lu Da pun dapat ditenangkan.

“Kemarilah, pak tua,” kata Lu Da pada ayah gadis itu. “Aku akan memberimu uang. Besok kau bisa kembali ke Ibukota Timur.”

“Kalau Anda bisa membantu kami pulang ke rumah, hal itu merupakan suatu kebahagiaan bagi kami,” kata orang tua itu. “Tapi kami takut penjaga penginapan tak akan membiarkan kami pergi. Tuan Zheng memerintahkan penjaga penginapan untuk memungut uang kami setiap hari.”

Page 40: 108 Pendekar Liang-Shan

“Jangan khawatir,” kata Lu Da. “Aku akan membereskan masalah dengan penjaga itu.” Dia mengeluarkan 5 tail perak dan menaruhnya di atas meja. Kepada Shi Jin dia berkata, “ini adalah semua uang yang kubawa sekarang. Kalau kau memiliki uang perak, pinjamkanlah padaku. Aku akan mengembalikannya besok.”

“Jangan khawatir, saudaraku. Tak usah mengembalikannya.” Shi Jin pun mengeluarkan uang perak 10 tail dari kantungnya dan menaruhnya di samping uang miliki Lu Da.

Perwira itu menatap Li Zhong. “Pinjamkan uangmu juga.”

Li Zhong mengeluarkan dua tail perak.

Lu Da tak senang karena jumlah yang dia berikan sedikit. “Sungguh dermawannya dirimu,” dia menyindir. Dia lalu memberikan lima belas tail perak tersebut pada orang tua itu. “Ini cukup untuk biaya perjalanan kau dan anakmu.”

“Pergilah ke penginapan dan bereskan barang-barang kalian,” perintahnya. “Besok pagi aku akan datang kalau-kalau penjaga penginapan mencoba menghentikan kalian.”

Pak Tua Jin dan anaknya berterima kasih padanya lalu pergi. Lu Da mengembalikan uang dua tail itu pada Li Zhong.

Setelah tiga orang itu menghabiskan dua guci arak, mereka pun pulang. “Aku akan membayar besok,” kata Lu Da pada pemilik kedai.

“Sudahlah, tak usah dipikirkan,” kata pemilik perusahaan. “Kamu boleh minum di sini kapan pun kau mau, tuan.”

Ketiga orang itu pun meninggalkan kedai itu. Setibanya di jalan mereka pun segera berpisah. Shi Jin dan Li Zhong kembali ke penginapan masing-masing.

Lu Da kembali ke markasnya di dekat perbatasan dan segera tidur tanpa makan lagi.

Pak tua Jin kembali ke penginapannya dengan lima belas tail perak. Dia meninggalkan anaknya, kemudian pergi keluar kota dan menyewa sebuah kereta kuda. Lalu dia kembali ke penginapan, mengepak barang-barang mereka dan membayar sewa kamar. Setelah itu mereka hanya bisa menunggu datangnya hari esok.

Malam pun berlalu tanpa ada yang terjadi. Ayah dan anak itu bangun pagi-pagi, menyalakan api dan segera memasak sarapan. Ketika mereka selesai sarapan, mereka mengumpulkan peralatan mereka. Ketika langit mulai terang, Lu Da masuk ke penginapan itu.

“Pelayan,” katanya, “di kamar mana pak tua Jin menginap?”

“Paman Jin,” teriak pelayan itu, “Perwira Lu Da ingin menemuimu.” Lalu orang tua itu membuka pintu kamarnya. “Ah, Tuan Lu, silakan masuk.”

“Tak usah,” kata Lu Da. “Kalau kau ingin pergi, segeralah pergi. Apalagi yang kau tunggu?”

Jin memanggil anaknya dan mengangkut barang-barangnya ke pundaknya. Dia berterima kasih dan segera menuju gerbang penginapan. Pelayan tadi menghentikannya.

“Mau pergi ke mana, Paman Jin?”

“Apakah dia belum membayar sewa kamar?” tanya Lu Da.

Page 41: 108 Pendekar Liang-Shan

“Dia telah membayar tadi malam. Tapi tuan Zheng memerintahkanku untuk memungut uang sebagai pembayaran atas uang yang dia berikan pada anaknya.”

“Aku sendiri yang akan mengembalikan uang tukang babi itu. Biarkan pak tua itu pergi.”

Pelayan itu menolak. Lu Da kemudian menampar pelayan itu hingga darah mengucur dari mulutnya.

Setelah itu Lu Da memukulnya hingga mematahkan dua gigi depan si pelayan. Sembari merangkak ketakutan, pelayan itu masuk ke dalam dan bersembunyi.

Jin dan anaknya segera berangkat dan meninggalkan kota itu menuju kereta kuda yang telah mereka sewa sehari sebelumnya.

Lu Da yang takut si pelayan itu akan mencoba untuk menghentikan mereka, tetap diam di penginapan itu dan tinggal di sana selama empat jam. Hanya setelah dia yakin kalau orang tua itu telah jauh barulah dia meninggalkan penginapan itu. Dia segera pergi ke arah Jembatan Zhuangyuan.

Di sana Zheng memiliki dua buah toko daging dengan dua buah tempat jagal. Sekitar empat daging babi terlihat menggantung. Zhang duduk di belakang sebuah meja dekat pintu, mengawasi para pekerjanya yang sedang memotong dan menjual daging.

Lu Da mendekati pintu itu. “Zheng,” teriaknya.

Zheng segera mengenalinya. Dia cepat-cepat keluar dan menyapa perwira itu dengan hormat, “Perwira Lu, merupakan sebuah kehormatan menerima kunjungan tuan.” Dia lalu menyuruh pekerjanya untuk membawa bangku. “Silakan duduk, tuan.”

Page 42: 108 Pendekar Liang-Shan

BAB 3Bagian 3

Lu Da pun duduk. “Komandan memerintahkanku untuk membeli 10 kati daging.”

“Baiklah,” kata Zheng. Dia memerintah pegawainya. “Pilih daging yang bagus dan siapkan sepuluh kati.”

“Aku tak ingin mereka menyentuh daging itu,” kata Lu Da. “Potong daging itu olehmu sendiri.”

“Tentu saja,” kata Zheng. “Dengan senang hati.” Dia pun menyiapkan sepuluh kati daging dan mulai mencincang daging itu.”

Penjaga penginapan, dengan kepala terbungkus tisu putih, datang untuk melapor kepada Zheng tentang pak tua Jin. Tapi ketika dia melihat Lu Da sedang duduk di dekat pintu, dia takut untuk mendekat. Dia pun bersembunyi di dekat sebuah rumah, memperhatikan dengan seksama dari kejauhan.

Setelah mencincang daging selama satu jam, Zheng membungkus daging cincang itu dengan daun teratai. “Haruskah saya mengantarkannnya, tuan?” tanyanya.

“Tak usah. Kenapa terburu-buru? Sekarang potong lagi sepuluh kati lemak daging. Tak boleh ada daging sedikitpun di dalamnya.”

“Untuk apa kah lemak itu?”

Lu Da menatapnya. “Ketika komandan memberi perintah, siapa yang berani bertanya untuk apa?”

“Kalau itu yang Anda mau, akan ku potongkan untukmu.” Zheng lalu memotong sepuluh kati lemak daging lalu kembali mencincangnya. Ketika dia membungkusnya dengan daun teratai, pagi telah berlalu dan datanglah saatnya makan siang.

Penjaga penginapan tak berani mendekat. Bahkan pembeli pun ketakutan untuk berbelanja.

“Haruskah saya mengirimkannya kepada komandan, tuan?” tanya Zheng.

“Sekarang aku ingin sepuluh kati tulang, potong-potonglah, dan aku tak ingin melihat ada daging di tulang itu.”

Zheng tertawa. “Apakah tuan mengerjaiku?”

Lu Da bangkit, merenggut bungkusan daging dari si penjual daging. “Itulah yang kulakukan, mengerjaimu.” Dia melemparkan isi dari bungkusan itu seluruhnya ke muka Zheng.

Hal itu membuat Zheng murka. Dia mengambil pisau dari tempat potong daging. Lu Da kemudian keluar dan menunggunya di tengah jalan.

Tak ada seorangpun yang berani melerai mereka. Orang-orang yang lewat segera berhenti di kedua sisi jalan. Si penjaga penginapan pun hanya berdiam diri.

Dengan pisau di tangan kanannya, Zheng mencoba memukul Lu Da dengan tangan kirinya. Lu Da menangkap tangan yang mengarah padanya itu, mendekat, lalu melayangkan tendangan ke arah paha. Zheng pun terjatuh. Lu Da kemudian menginjakkan kakinya di atas dada Zheng. Sembari mengepalkan tangannya, Lu Da berkata, “Aku merupakan pemimpin dari lima daerah militer di bawah Jendral Zhong. Orang-orang pantas bila

Page 43: 108 Pendekar Liang-Shan

menyebutku Penguasa Daerah Barat. Tapi kau hanya seorang penjual daging, seorang pengecut. Bagaimana bisa kau menjuluki dirimu sendiri Penguasa Daerah Barat? Dan siapa yang memberimu hak untuk memaksa dan menipu anak pak tua Jin?”

Dia memukul wajah Zheng tepat di hidungnya hingga darah mengucur. Zheng mencoba untuk bangkit dengan susah payah. Pisaunya lepas dari genggamannya. “Puh, pukulan yang bagus.”

“Dasar kau pencuri sialan,” kata perwira itu. “Berani-beraninya kau bicara padaku?” dia kembali memukul si pedagang daging pada alisnya, meninggalkan benjol besar di atas matanya. Muka si pedagang sekarang sudah penuh memar.

Orang-orang yang menonton semuanya takut pada Lu Da. Tak ada seorang pun yang mencoba menghentikannya.

Zheng pun memohon ampun.

“Dasar bajingan,” si perwira itu berkata. “Kalau kau menunjukkan sedikit keberanian mungkin aku akan mengampunimu.”

“Tapi karena kau sangat pengecut, aku tak akan.” Dia melayangkan pukulan keras ke pelipis si pedagang. Zheng merasa kepalanya berdengung seperti puluhan gong dan lonceng dipukul di dekatnya. Dia terbaring di atas tanah. Dia tak bernafas dan tak bergerak.

Lu Da pura-pura marah. “Berpura-pura mati, hah? Aku akan memukulimu lagi!” Dia lalu melihat muka Zheng yang berubah warna. “Aku hanya ingin memberi orang ini pelajaran,” katanya pada diri sendiri. “Siapa yang mengira tiga pukulan akan membunuhnya? Pasti mereka akan menangkapku, dan aku tak punya keluarga yang akan mengirimkan makanan ke penjara. Lebih baik aku segera meninggalkan tempat ini.”

Dia bangkit dan menjauh, berhenti sejenak untuk melihat ke belakang, mengacungkan telunjuknya ke arah mayat Zheng dan berteriak, “pura-puralah mati. Aku akan kembali lagi nanti.”

Tak seorang pun pekerja Zheng maupun orang lain memiliki keberanian untuk menghentikannya.

Lu Da kembali ke markasnya dan segera mengepak barangnya. Dia hanya membawa beberapa pakaian dan sedikit perak. Pakaian tua dan barang-barang yang berat dia tinggalkan. Sembari membawa tombak, dia segera pergi ke arah Gerbang Selatan.

Walaupun keluarga Zheng dan penjaga penginapan telah berusaha menolong Zheng, mereka tak mampu menghidupkannya kembali. Dia telah mati. Istri dan tetangganya pergi ke gedung pemerintah dan melaporkan pembunuhan.

Pengadilan menerima laporan itu, seorang petugas polisi membacakan dokumen yang berisi tuduhan.

“Lu Da itu adalah perwira di kesatuan tentara,” pikir petugas itu. Dia tidak segera mengeluarkan perintah, melainkan menaiki kereta kudanya dan pergi ke kantor komandan tentara perbatasan. Dia turun dan seorang tentara di gerbang mengumumkan kedatangannya. Dia diantar menuju ruang utama dimana dia diterima oleh komandan sendiri. Kedua orang itu saling menyapa.

“Apakah yang membawamu datang ke sini?” tanya si komandan.

“Aku datang kemari untuk memberitahu bahwa Perwira Lu Da telah, tanpa alasan, memukuli sampai mati seorang pedagang bernama Zheng. Aku tak ingin menangkapnya tanpa melapor terlebih dahulu pada tuan.”

Page 44: 108 Pendekar Liang-Shan

Komandan itu terkejut. “Lu Da adalah seorang tentara yang hebat,” pikirnya, “tapi dia sangat kasar. Hari ini dia membunuh seseorang. Bagaimana bisa aku melindunginya? Aku harus membiarkannya ditangkap dan diinterogasi.” Lalu dia pun berkata, “Lu Da dulunya merupakan prajurit ayahku. Aku tak punya ajudan yang cakap, maka dikirimlah dia ke sini sebagai perwira. Karena dia melakukan tindakan kriminal kamu boleh menangkap dan menginterogasinya sesuai dengan hukum yang ada. Kalau dia mengaku dan kejahatannya terbukti, kau harus memberitahu ayahku dulu sebelum menjatuhkan hukuman. Kalau tidak, akan sangat memalukan bagiku kalau tiba-tiba ayahku memanggil Lu Da kembali.”

“Saya akan mengingatnya dan mengirim laporan resmi kepada Jendral Tua sebelum menjatuhkan hukuman apapun,” janji si petugas.

Dia pun pamit kepada komandan itu, meninggalkan markas tentara dan kembali ke kota. Di sana dia melanjutkan kembali persidangan dan mengeluarkan perintah kepada polisi yang bertugas untuk menangkap Lu Da. Polisi itu dengan dua puluh anak buahnya segera berangkat ke tempat tinggal Lu Da.

“Dia baru saja pergi dengan tombak dan buntalan barang,” jawab pemilik rumah. “Kupikir perwira itu akan pergi bertugas, jadi aku tak berani bertanya.”

Polisi itu ditunjukkan kamar Lu Dan lalu mencari-cari bukti di sana. Yang mereka temukan hanyalah beberapa potong pakaian tua dan sebuah tempat tidur. Sambil membawa pemilik rumah bersama mereka, para petugas itu mencari-cari Lu Da di seluruh kota dari selatan sampai ke utara. Tak ada jejak sedikitpun mengenai keberadaannya. Lalu polisi itu kembali ke kantornya dengan pemilik rumah dan dua orang tetangga untuk ditanyai dan melapor pada atasannya.

“Perwira Lu Da telah melarikan diri, tak ada yang tau di mana dia. Aku telah menangkap tetangga serta pemilik rumah yang disewa Lu Da.”

Petugas tadi memerintahkan agar mereka ditahan dan agar keluarga Zheng serta tetangga dekatnya dipanggil. Bersama pakar forensik, petugas lokal, dan kepala desa, dia memeriksa korban dengan hati-hati. Keluarga zheng memasukkan mayatnya kedalam peti mati dan disimpan untuk sementara waktu di sebuah biara.

Dokumen-dokumen disiapkan dan polisi diperintahkan untuk menangkap Lu Da. Pelapor diperbolehkan pulang ke rumahnya setelah membayar uang jaminan. Tetangga-tetangga dekat yang menyaksikan kejadian itu dipukuli karena telah gagal menyelamatkan Zheng. Pemilik rumah Lu Da dan tetangganya tidak dihukum apapun. Sebuah pengumuman penting yang berisikan hadiah seribu tail untuk menangkap Lu Da disebar dimana-mana. Keluarga Zheng pun memulai perkabungan. Tentang hal ini kita tak akan menceritakannya lagi.

Kembali ke Lu Da. Setelah meninggalkan Weizhou, dia segera kabur ke arah timur dan barat, melewati beberapa ibu kota provinsi. Cocoklah sajak ini dengan keadaannya:

Makanan apapun terasa nikmat disaat lapar terasa,Ketika dingin menggigit kain tua selamatkan nyawa;Jalan manapun akan ditempuh ketika takut melanda,Bahkan seorang istri pun tak punya.Berlari penuh ketakutan, tanpa arah dan tujuan.

Setelah berhari-hari berkeliaran tanpa arah, dia pun tiba di Yanmen, sebuah kota di provinsi Daizhou. Kota itu sangat ramai. Kereta-kereta kuda berlalu lalang. Walaupun hanya sebuah kota kabupaten, kota ini lebih makmur daripada ibu kota provinsi.

Page 45: 108 Pendekar Liang-Shan

Di sebuah pojokan jalan dia melihat orang-orang ramai berkumpul di depan sebuah pengumuman. Seseorang membacakannya dengan nyari. Karena tak bisa membaca, dia maju untuk mendengarkan. Inilah yang dia dengar:

Atas perintah komandan militer Taiyuan, kota ini menyebarkan pemberitahuan dari Weizhou sebagai berikut: Dicari—pembunuh bernama Lu Da, dulunya seorang perwira dari komando perbatasan Weizhou. Siapapun yang melindunginya atau memberinya makanan dan tempat tinggal akan dihukum sama dengan pembunuh itu. Siapapun yang menangkap dan membawanya ke pengadilan, atau memberikan informasi terkait dirinya, akan diberikan hadiah seribu tail uang…

Saat Lu Da berdiri mendengarkan, seseorang merangkul pundaknya dari belakang dan berkata, “apa yang kau lakukan di sini kakak Zhang?” Lalu orang itu menarik Lu Da dari sudut jalan itu.

Page 46: 108 Pendekar Liang-Shan

Chapter 4Lu Zhi Shen Mengacau di Gunung Wutai

Tuan Muda Zhao Memperbaiki Biara Wenshu

Lu Da membalikan badannya untuk melihat siapa yang menariknya. Tak lain yang menariknya adalah Pak Tua Jin dari kedai Weizhou, orang yang dia selamatkan sebelumnya. Orang tua itu tidak berhenti menariknya hingga mereka tiba di tempat yang sunyi.

“Anda terlalu gegabah, tuan. Selebaran itu memberikan hadiah seribu tail untuk menangkapmu. Bagaimana bisa Anda berdiri di sana melihatnya? Kalau saja aku tidak melihatmu, mungkin Anda telah ditangkap polisi. Umur, deskripsi dan asal daerahmu semua ada di pengumuman itu.”

“Sejujurnya, ketika aku pergi ke Jembatan Zhuangyuan hari itu untuk menemui Zheng dan membicarakan tentang masalahmu, aku membunuh orang itu dengan tiga pukulan. Jadi aku harus kabur. Aku telah bepergian selama sekitar empat-lima puluh hari sekarang, dan secara kebetulan tiba di kota ini. Kupikir kau kembali ke Ibukota Timur. Apa yang kau lakukan di sini?”

“Setelah Anda menolongku, aku menaiki sebuah kereta kuda. Tadinya aku ingin kembali ke Ibukota Timur, tapi aku takut Zheng akan menyusulku dan Anda tak akan ada untuk menolongku lagi. Jadi aku berubah pikiran dan menuju ke arah utara. Di perjalanan aku bertemu dengan tetanggaku dulu dari ibukota yang datang kemari untuk berdagang. Dia membawa aku dan anakku bersamanya. Dia sangat baik dan menjodohkan putriku itu. Sekarang dia istri dari seorang kaya, tuan muda Zhao. Tuan muda itu memberinya rumah. Berkatmu, kami sekarang hidup berkecukupan. Putriku juga telah menceritakan kebaikanmu pada tuan muda. Dia juga suka bermain tongkat. Anda harus datang dan tinggal bersama kami beberapa hari. Kita bisa membicarakan tentang apa yang akan Anda lakukan nanti.”

Lu Da dan pak tua Jin berjalan sekitar setengah li sampai mereka tiba di pintu sebuah rumah. Orang tua itu menyingkap tirai bambu dan memanggil putrinya.

“Anakku, tuan penolong kita ada di sini.”

Gadis itu muncul, berdandan dengan rapi dan menarik. Dia mempersilakan Lu Da untuk duduk di tengah ruangan. Kemudian dia berkowtow padanya enam kali. “Kalau saja Anda tak menyelamatkan kami, Tuan,” katanya, “kami tak akan pernah bisa menjadi seperti sekarang.” Dia mengundangnya ke sebuah ruang tamu.

“Tak usah repot-repot,” kata Lu Da. “Aku harus pergi.”

“Karena sekarang Anda ada di sini tuanku, tentu saja kami tak bisa membiarkan Anda pergi,” kata orang tua itu. Dia membawa tongkat dan buntalan milik Lu Da lalu membawanya ke atas. Kepada putrinya dia berkata, “temanilah tuan penolong kita ini. Aku akan menyiapkan makan malam.”

“Jangan terlalu repot-repot,” kata Lu Da. “Makanan apapun akan kumakan.”

“Walaupun aku memberimu nyawaku, aku tak akan bisa membayar kebaikanmu,” kata pak tua Jin. “Suatu makanan sederhana seperti ini tak cukup berharga untuk disebutkan.”

Putrinya duduk bersama Lu Da ketika orang tua itu pergi ke lantai bawah dan menyuruh seorang anak laki-laki yang baru-baru ini mereka pekerjakan untuk memberitahu pelayan agar menyalakan kompor di dapur. Lalu dia dan anak laki-laki itu keluar untuk membeli ikan segar, ayam, angsa, ikan asin dan buah-buahan

Page 47: 108 Pendekar Liang-Shan

segar. Dia membawa semua itu pulang, menyiapkan seguci arak, menyiapkan beberapa hidangan, lalu membawanya ke lantai atas. Di sana cawan-cawan arak dan tiga sumpit diletakkan di atas meja.

Ketika makanan dan buah-buahan itu dihidangkan, pelayan datang dengan teko arak dari perak lalu menghangatkan arak tersebut.

Ayah dan anak itu bergantian memenuhi cawan arak Lu Da. Kemudian pak tua Jin menjatuhkan lutunya dan berkowtow.

“Tolonglah paman, jangan melakukan itu,” kata Lu Da. “Kau membuatku sangat malu.”

“Ketika kami pertama datang kesini beberapa waktu yang lalu,” kata orang tua itu, “aku menulis namamu di kertas berwarna merah dan menempelkannya pada sebuah plakat kayu. Kami membakar dupa di depannya setiap pagi dan sore, lalu aku dan putriku berkowtow di depannya. Sekarang Anda ada di sini, kenapa aku tak boleh berkowtow secara langsung padamu?”

“Aku sangat tersentuh dengan rasa terima kasihmu,” kata Lu Da.

Ketiga orang itu minum hingga hampir malam. Tiba-tiba mereka mendengar ada kegaduhan di luar. Lu Da membuka jendela dan melihat keadaan. Sekitar dua-tiga puluh orang, semua bersenjatakan tombak, berkumpul di depan rumah. “Bawa dia keluar,” teriak mereka. Seorang pria berteriak dari atas kudanya, “jangan biarkan penjahat itu kabur!”

Lu Da menyadari bahwa dia sedang dalam bahaya. Dia meraih sebuah bangku lalu turun ke bawah. Pak tua Jin, melambaikan tangannya, segera turun mendahuluinya sambil berteriak, “Jangan bergerak!” Dia berlari ke arah seorang pria yang duduk di atas kudanya lalu mengatakan beberapa kata. Orang di atas kuda itu tertawa. Dia menyuruh orang-orangnya untuk bubar.

Ketika orang-orang itu bubar, pria di atas kuda itu turun dan memasuki rumah. Pak tua Jin meminta Lu Da untuk turun. Pria itu memberi hormat ketika Lu Da menuruni tangga.

“Bertemu dengan seorang yang terkenal lebih berharga daripada sekedar mendengar namanya. Terimalah penghormatan dariku wahai Perwira yang Gagah.”

“Siapakah pria ini?” tanya Lu Da pada pak tua Jin. “Kami tidak mengenal satu sama lain. Kenapa dia begitu menghormatiku?”

“Ini adalah Tuan Muda Zhao Gao, suami putriku. Seseorang berkata padanya bahwa seorang pemuda dibawa ke rumah ini dan minum-minum di atas. Jadi dia membawa orang-orangnya ke sini dan datang untuk berkelahi. Ketika aku menjelaskan yang sebenarnya, dia membubarkan mereka.”

“Jadi seperti itu kejadiannya,” kata Lu Da. “Hanya salah paham saja ternyata.”

Tuan Muda Zhao mengundang Lu Da ke ruang atas. Pak tua Jin membereskan meja dan sekali lagi mempersiapkan makanan dan minuman. Zhao mempersilakan perwira itu untuk duduk di tempat kehormatan. Lu Da menolaknya.

“Aku tak bisa menerimanya.”

“Itu hanyalah merupakan sedikit tanda penghormatanku. Aku telah mendengar banyak tentangmu. Sungguh merupakan keberuntungan bagiku bisa bertemu denganmu hari ini.”

Page 48: 108 Pendekar Liang-Shan

“Walaupun aku hanya seorang kasar yang telah melakukan kejahatan besar, Tuan Muda tidak memandang rendah diriku dan bersedia menjadi temanku. Kalau saja ada hal yang bisa kulakukan untukmu, kau cukup mengatakannya saja.”

Zhao Gao sangat senang. Dia bertanya tentang perkelahian dengan Zheng si penjagal. Mereka membicarakan banyak hal, berdiskusi tentang silat dan minum-minum hingga larut malam. Kemudian semua orang beristirahat.

Pagi berikutnya Zhao berkata, “aku takut tempat ini tidak begitu aman. Marilah pergi ke tempatku untuk beberapa waktu.”

“Dimana itu?” tanya Lu Da.

“Sekitar sepuluh li dari sini, di sebuah desa yang dikenal dengan nama Tujuh Harta Karun.”

“Baiklah.”

Tuan muda itu mengirimkan seorang pelayan ke rumahnya agar mengambil kuda untuk Lu Da. Pelayan itu kembali sebelum siang hari.

Tuan muda Zhao kemudian menyuruh para pelayan membawakan barang bawaan Lu Da dan meminta perwira itu untuk menaiki kudanya. Lu Da mengucapkan perpisahan pada pak tua Jin dan putrinya, lalu pergi bersama tuan muda itu.

Kedua orang itu berkuda berdampingan, bercakap-cakap hingga mereka tiba di desa Tujuh Harta Karun. Tak lama kemudian mereka tiba di rumah Zhao Gao dan turun dari kuda. Tuan muda Zhao membawa Lu Da menuju sebuah ruangan dimana mereka duduk sebagai tuan rumah dan tamu. Tuan muda itu memerintahkan agar menyembelih kambing dan menyiapkan arak.

Malam itu, Lu Da tidur di sebuah ruang tamu. Hari berikutnya dia kembali minum-minum dan makan di sana.

“Kau terlalu baik kepadaku, Tuan Muda,” kata perwira itu. “Bagaimana aku bisa membalasmu?”

“Semua pendekar adalah saudara,” kata Zhao. “Jangan sebut-sebut tentang balas budi.”

Lu Da tinggal di rumah itu selama enam hari. Dia dan Zhao berbincang-bincang suatu hari di ruangan belajar ketika pak tua Jin tiba-tiba masuk. Dia memperhatikan keadaan sekitar untuk memastikan tak ada orang lain di sana, kemudian berkata pada Lu Da, “Anda mungkin menganggapku terlalu hati-hati, tuan. Tapi sejak malam ketika tuan muda membawa orang-orangnya ke rumah, para tetangga mulai curiga. Telah ada desas-desus yang mengatakan Anda berada di sana saat itu. Kemarin tiga orang polisi menanyai tetangga kami. Aku khawatir mereka akan datang ke sini dan menangkapmu. Aku tak ingin sesuatu terjadi padamu, tuan.”

“Kalau seperti itu,” kata Lu Da, “lebih baik aku segera pergi.”

“Mungkin akan terjadi hal buruk bila kau tetap di sini,” kata tuan muda itu. “Tapi kalau aku tak melindungimu aku akan kehilangan muka. Aku punya ide. Ide ini cukup bagus dan akan memberimu perlindungan yang sempurna. Tapi mungkin kau takkan mau melakukannya.”

“Aku adalah orang dengan hukuman mati menanti. Aku akan melakukan apapun untuk selamat.”

“Baiklah kalau begitu. Di tempat ketika dulu Buddha Wenshu bermeditasi di Gunung Wutai, sekitar tiga puluh li dari sini, berdiri sebuah biara. Mereka memiliki sekitar tujuh ratus pendeta. Kepala pendetanya adalah sahabatku. Leluhurku adalah pelindung biara itu dan selalu menyumbang ke sana. Aku memiliki suatu hak

Page 49: 108 Pendekar Liang-Shan

untuk mengajukan seorang pendeta baru agar diterima di sana dan belum menemukan orang yang cocok. Kalau kau setuju, kau bisa bergabung di sana. Aku akan membayar semua biayanya. Maukah kau mencukur rambutmu dan menjadi pendeta?”

Lu Da berpikir, “kepada siapa lagikah aku akan meminta pertolongan bila aku pergi sekarang? Lebih baik aku menerima tawaran ini.” Lalu dia pun berkata, “aku akan menjadi pendeta kalau Anda mendukung saya tuan muda. Aku sepenuhnya bergantung pada kebaikanmu.”

Malam itu pakaian, uang dan sutra disiapkan. Semua orang bangun lebih awal pagi berikutnya. Lu Da dan Zhao menuju Gunung Wutai, ditemani pelayan-pelayan yang membawa hadiah dan barang-bawaan. Mereka tiba di kaki gunung sebelum pertengahan pagi. Tuan muda Zhao dan Lu Da menaiki kereta mereka dan mengirim seorang pelayan lebih dulu untuk memberitahukan kedatangan mereka.

Page 50: 108 Pendekar Liang-Shan

BAB 4Bagian 2

Di gerbang biara, mereka melihat pendeta yang menunggu untuk menyambut mereka. Mereka pun keluar dari kereta dan beristirahat di sebuah paviliun kecil sambil menunggu kepala pendeta. Tak berapa lama kepala pendeta pun muncul dengan seorang pendeta muda dan seorang tetua. Tuan muda Zhao dan Lu Da segera menyambut dan memberi hormat. Kepala pendeta menyatukan tangannya di depan dada dan menyapa dengan cara Budha.

Ada apakah gerangan hingga tuan muda datang kemari? tanyanya.

Ada hal kecil yang aku ingin minta bantuanmu, kata Zhao.

Marilah kita ke biara dan menikmati teh.

Lu Da mengikuti Zhao ke sebuah ruangan. Kepala pendeta itu mempersilakan Zhao untuk duduk di tempat tamu. Lu Da duduk di sebuah kursi di depan kepala pendeta. Zhao Gao berbisik padanya, kau di sini untuk menjadi pendeta. Jangan duduk di hadapan kepala pendeta.

Aku tak tahu, jawab Lu Da. Dia pun bangkit dan berdiri di samping Zhao.

Tetua pendeta, kepala biara, asisten kepala, dan pendeta lainnya duduk dalam dua barisan berurutan berdasarkan tingkatannya di bagian timur dan barat dari ruangan itu.

Pelayan Zhao meninggalkan kereta di tempat teduh dan bergegas masuk ke ruangan itu dengan beberapa peti yang mereka simpan di depan pemimpin biara.

Kenapa kau membawa hadiah lagi? tanya kepala biara. Kau telah menyumbang banyak bagi biara ini.

Hanya beberapa benda kecil, jawab Zhao.

Beberapa orang pendeta muda mengambilnya.

Zhao Gao berdiri. Aku ingin meminta bantuanmu, Pendeta. Telah menjadi keinginanku sejak lama untuk mendukung seorang pendeta baru di biara ini. Aku memiliki surat untuk itu sudah sejak lama, namun sampai hari ini belum menemukan seorang yang cocok. Orang ini bermarga Lu. Dia dulunya seorang petugas militer, tapi karena beberapa kesulitan dia ingin berhenti dan menjadi pendeta. Aku berharap Pendeta yang Terhormat mau menerima orang ini di sini. Aku akan membayar semua biayanya dan akan sangat senang sekali kalau Anda mau menerimanya.

Dengan senang hati, kata kepala biara. Hal ini akan membawa kemasyuran bagi biara kami. Mari kita minum teh.

Seorang pendeta muda menyajikan teh. Setelah semuanya minum, dia membawa kembali cawan-cawannya. Kepala biara itu meminta pendapat tetua tentang upacara penerimaan Lu Da di biara itu, lalu menyuruh seorang pendeta kepala untuk menyiapkan makanan tanpa daging.

Orang ini tidak cocok menjadi pendeta, kata tetua pendeta pada pendeta lainnya secara sembunyi-sembunyi. Lihat betapa garang matanya!

Suruh mereka keluar dulu sebentar, kata pendeta-pendeta itu. Kami ingin berbicara dengan kepala biara.

Page 51: 108 Pendekar Liang-Shan

Seorang pendeta penerima tamu lalu mengundang Zhao dan Lu Da untuk beristirahat di penginapan untuk tamu. Mereka pergi dan tetua serta pendeta lainnya mendekati kepala biara.

Orang baru itu terlihat ganas dan brutal, kata mereka. Kalau kita menerimanya, dia pasti akan membuat masalah.

Dia adalah ponakan tuan muda Zhao, pelindung kita. Bagaimana mungkin kita menolak? Simpan keraguan kalian, aku akan memikirkan masalah ini lebih dalam.

Kepala biara lalu menyalakan dupa dan duduk bersila di lantai. Melantunkan doa lalu bersemadi. Ketika dupa itu habis, dia pun sadar dari semadinya.

Kau boleh melakukan segera upacara pentasbihan, kata Kepala Biara. Orang ini adalah jelmaan suatu bintang dari langit. Walaupun penampilannya kasar dan hidupnya dalam masalah, dia akan menjadi orang suci. Tak seorangpun dari kalian yang dapat menandinginya. Camkan kata-kataku. Tak boleh ada yang menentang lagi.

Kepala Biara hanya menutupi keburukan orang itu, kata tetua pendeta pada pendeta lainnya. Tapi kita harus melakukan seperti yang dia perintahkan. Kita hanya bisa memberikan saran. Kalau dia tak mau mendengarnya, maka itu adalah terserah dia.

Tuan muda Zhao dan yang lainnya diundang untuk makan malam di dalam biara. Ketika mereka telah selesai, seorang pemimpin pendeta memberi daftar yang dibutuhkan bagi Lu Da sebagai seorang pendeta: sepatu khusus, pakaian, topi, mantel tak berlengan dan bantal duduk. Tuan muda Zhao memberikan uang dan meminta kepada biara itu agar membeli barang-barang yang dibutuhkan tersebut.

Beberapa hari kemudian semuanya telah siap. Kepala Biara memilih hari dan jam yang tepat, lalu menyuruh agar lonceng-lonceng dibunyikan. Semua orang berkumpul di ruang upacara. Dengan mantel-mantel tersampir di pundak, hampir sekitar enam ratus pendeta merapatkan telapak tangan di depan dada mereka sebagai bentuk penghormatan kepada kepala pendeta yang sedang duduk di atas mimbar dan mereka terbagi kedalam dua kelompok. Tuan muda Zhao, sembari membawa hadiah berbatang-batang perak serta kain mahal dan membawa dupa mendekati mimbar dan memberi hormat.

Tujuan dari upacara ini pun diumumkan. Seorang pendeta muda mengarahkan Lu Da menuju Kepala Biara. Kemudian seorang pemimpin pendeta menyuruh Lu Da melepas topinya dan mengikat rambutnya. Seorang pendeta mencukur habis rambutnya itu. Dia pun segera akan mencukur janggutnya.

Paling tidak sisakan janggutku, kata perwira itu.

Para pendeta pun tak bisa menahan tawa mereka.

Dengarkan aku, kata kepala biara. Jangan menyisakan sebatang rambut pun, biarkan enam akar nafsu untuk tercerabut. Semuanya harus dicukur dengan bersih, supaya mereka tidak kembali ke dalam dirimu lagi, katanya. Cukur semuanya, perintahnya.

Lalu yang mencukur itu pun segera menyelesaikan pekerjaannya. Kemudian sembari memberikan dokumen pada Kepala Biara, tetua pendeta memintanya untuk memilih sebuah nama bagi Lu Da.

Suatu semangat dalam jiwa lebih berharga daripada seribu batang emas, kata Kepala Biara. Jalan Budha sangatlah luas dan panjang. Biarkanlah orang ini dikenal dengan nama Si Bijaksana.

Page 52: 108 Pendekar Liang-Shan

Seorang pendeta mengisi dokumen itu dan menyerahkannya kepada Si Bijaksana Lu. Dia pun diberikan pakaian pendeta dan disuruh untuk mengenakannya. Kemudia dia dibawa menuju mimbar. Kepala Pendeta meletakkan tangannya di atas kepala Lu dan memberitahunya hukum-hukum yang harus dia taati.

Berlindunglah pada Budha, Hukum dan Tata Cara Biara. Inilah tiga perlindungan utama. Jangan membunuh, mencuri, berzina, minum arak atau berbohong. Inilah lima larangan utama.

Lu Da tak tahu kalau dia harusnya menjawab aku akan melakukannya pada setiap tiga perlindungan dan aku tidak akan melakukannya pada setiap lima larangan terakhir.

Aku akan mengingatnya, katanya.

Semua pendeta pun tertawa.

Zhao membawa semua hadiah ke ruangan pertemuan di mana dia membakar dupa dan memberikan persembahan berupa makanan tanpa daging kepada para dewa Budha. Dia memberi hadiah pada semua anggota biara itu tanpa kecuali. Seorang pendeta memperkenalkan Si Bijaksana pada semua orang di biara, lalu membawanya menuju sebuah bangunan di samping tempat para pendeta bermeditasi. Tak ada kejadian apapun terjadi malam itu.

Hari berikutnya, tuan muda Zhao memutuskan untuk pergi. Dia berpamitan pada Kepala Biara yang mencoba menahannya agar tinggal lebih lama.

Setelah sarapan, semua pendeta mengantarnya hingga gerbang biara. Tuan muda Zhao merapatkan tangan di depan dadanya dan berkata, Kepala Biara, guru-guru, tolong bersabarlah dengan saudaraku. Sepupuku ini seorang yang kasar dan suka mengungkapkan pikirannya apa adanya. Kalau dia lupa tata krama atau mengatakan sesuatu yang kasar atau melanggar aturan, tolong maafkanlah dia demi diriku.

Jangan khawatir, Tuan Muda, kata Kepala Biara. Aku akan mengajarinya sedikit-demi sedikit untuk melafalkan doa-doa, melakukan upacara, dan bermeditasi.

Aku akan sangat berterima kasih, kata Zhao. Dia memanggil Lu menuju sebuah pohon pinus dan berbisik padanya, hidupmu harus berubah mulai sekarang, Saudaraku. Bersabarlah dalam segala hal. Kalau tidak, akan sulit bagi kita untuk bertemu kembali. Jaga dirimu baik-baik. Aku akan mengirimmu pakaian yang hangat dari waktu ke waktu.

Tak perlu mencemaskanku, Saudaraku, kata Lu.“Aku akan menjaga sikapku.

Zhao pun meninggalkan biara itu dan pergi turun gunung. Para pelayan mengikutinya dari belakang sembari membawa kereta lainnya dan peti-peti yang kini telah kosong. Kepala Biara dan para pendeta kembali ke dalam biara.

Ketika Lu kembali ke ruang mediatasi, dia menuju tempat tidurnya dan tidur. Para pendeta yang sedang bermeditasi segera membangunkannya.

Kau tak boleh seperti itu, kata mereka. Sekarang kau adalah seorang pendeta, kau harus belajar bagaimana cara bermeditasi.

Kalau aku ingin tidur, apa hubungannya denganmu? tanya Lu.

Dasar iblis! teriak para pendeta.

Setelah cekcok mulut, para pendeta pun menyerah. Mereka membiarkannya tidur.

Page 53: 108 Pendekar Liang-Shan

Hari berikutnya mereka hendak melapor kepada Kepala Biara. Tapi para tetua melarangnya. Dia bilang, Kepala Biara hanya menutupi keburukannya ketika dia berkata bahwa orang itu akan melampaui kita semua. Tapi tak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Jangan menghiraukan orang itu.

Para pendeta pun kembali. Karena tak ada yang menegurnya, Si Bijaksana diam di tempat tidurnya setiap malam dan tidur sambil mendengkur keras. Ketika dia ingin buang air kecil, dia pun terbangun. Dia buang air kecil di belakang suatu ruangan. Baunya tercium ke mana-mana.

Asisten Kepala Biara melaporkan hal ini. Lu itu tidak memiliki sopan santun. Dia bukanlah tipe orang yang akan meninggalkan dunia fana dan masuk Budha. Tak mungkin kita terus membiarkan orang seperti itu di Biara.

Omong kosong, kata Kepala Biara. Jangan lupakan permintaan tuan Zhao. Si Bijaksana itu akan berubah nantinya.

Tak ada seorang pun yang berani membantah.

Dan begitulah, Si Bijaksana Lu tetap tinggal di biara Gunung Wutai itu. Tak terasa waktu lima bulan pun terlewati. Saat itu musim dingin telah tiba dan pikiran Lu mulai bosan. Suatu hari dia mengenakan jubah dan sepatu pendetanya, lalu pergi dari biara.

Page 54: 108 Pendekar Liang-Shan

Bab 4Bagian 3

Dalam perjalanan turun gunung itu dia berhenti di sebuah paviliun. Dia duduk di atas sebuah bangku dan berkata pada dirinya sendiri, dulu aku bisa minum arak dan makan daging setiap hari. Tapi karena sekarang aku adalah pendeta aku malah kelaparan. Zhao tidak mengirimku apapun untuk dimakan. Mulutku belum merasakan makanan enak. Kalau saja aku bisa minum arak.

Di kejauhan terlihat seorang lelaki membawa dua buah guci di sebuah tanggungan. Dia berjalan sambil bernyanyi:

Di depan Gunung Sembilan Li sebuah tanah bekas peperangan terhampar,Di sana pengembala menemukan pisau dan tombak tua menggelepar,Sebagaimana angin dingin membelokkan air dari Sungai Wu ke DaratanKita pun teringat Perpisahan Nyonya Wu dengan Sang Tuan.

Lu melihatnya mendekat. Orang ini memasuki paviliun itu dan menaruh bawaannya.

Apa isi guci mu ini? tanya Lu.

Arak yang bagus.

Berapa harga satu guci?

Kau serius, pendeta, atau hanya bercanda?

Kenapa aku harus bercanda?

Arak ini adalah untuk tukang masak, tukang bersih-bersih, dan pekerja di Biara. Kepala Biara memperingatkanku bila aku menjual arak ini ke pendeta, dia akan mengambil kembali uang dan rumah yang Biara pinjamkan kepadaku. Aku tak berani menjual ini kepadamu.

Kau tidak akan menjualnya?

Tidak bahkan kalau kau membunuhku!

Aku tak akan membunuhmu, tapi akau akan membeli arakmu.

Orang itu tidak menyukainya. Dia membawa tanggungannya dan hendak beranjak. Lu mengejarnya, merebut tanggungan itu dengan kedua tangannya, lalu menendang orang itu di paha. Orang itu memegang kakinya dan terjatuh. Dia tak bisa berdiri selama beberapa lama.

Si Bijaksana Lu membawa sebuah guci ke paviliun. Dia membawa gayung, membuka tutupnya, lalu mulai minum. Tak berapa lama, guci itu pun kosong.

Datanglah ke biara besok dan aku akan membayarmu, katanya.

Orang itu baru saja sembuh dari rasa sakitnya. Kalau Kepala Biara mengetahuinya, itu artinya kehidupannya akan berakhir. Bagaimana mungkin dia meminta uang kepada Lu di Biara? Sambil menelan kemarahannya, dia membagi sisa arak itu ke dalam dua guci. Lalu dia membawanya pergi turun gunung.

Page 55: 108 Pendekar Liang-Shan

Lu duduk di paviliun itu selama beberapa lama. Araknya telah naik ke kepalanya. Dia meninggalkan paviliun itu, duduk di bawah sebatang pohon pinus dan beristirahat. Arak itu semakin memabukannya. Dia membuka jubahnya dan mengikatkannya di sekeliling pinggangnya. Punggungnya yang bertato terlihat, dia pun menaiki gunung lagi sembari menggoyangkan tangannya.

Penjaga gerbang biara melihatnya dari kejauhan. Mereka maju dan ketika Lu mendekat mereka menahannya dengan tongkat bambu mereka.

Kau seharusnya menjadi penganut Budha, kata mereka. Berani-beraninya kau datang kemari dengan keadaan seperti ini? Kau pasti buta. Tak bisakah kau membaca peraturan? Setiap pendeta yang melanggar peraturan dan minum arak akan mendapatkan empat puluh pukulan bambu lalu dikeluarkan dari biara. Setiap penjaga gerbang yang membiarkan orang mabuk masuk akan diberi sepuluh pukulan. Cepatlah kembali ke bawah kalau kau tidak mau dipukuli.

Lu memang merupakan pendeta baru dan emosinya masih meluap-luap. Sambil memandang marah dia berteriak.

Dasar bajingan! Jadi kalian ingin memukuliku? Pukullah kalau berani!

Situasi mulai memburuk. Salau satu penjaga gerbang segera masuk dan melapor kepada atasannya sedangkan yang lain mencoba menahan Lu dengan tongkatnya. Lu menangkis tongkat itu ke pinggir dan menampar seorang pendeta tepat di mukanya.

Ketika orang itu berusaha menyadarkan diri, Lu memukulnya hingga dia terjatuh.

Aku akan membiarkanmu kali ini, kata Si Bijaksana. Dia berjalan sambil terhuyung-huyung menuju biara.Pendeta pemimpin penjaga memanggil tukang masak, tukang bersih-bersih dan pelayan lainnya hingga terkumpul hampir tiga puluh orang.

Dengan bersenjatakan tongkat mereka menghadang Lu. Mantan perwira itu menyerbu mereka dengan teriakan garang. Mereka tak tahu kalau Lu dulunya adalah seorang tentara. Dia menyerbu mereka dengan hebat hingga mereka pun kabur dalam kebingungan ke ruangan sutra dan menutup pintu. Si Bijaksana Lu menaiki tangga ke ruangan itu.

Dengan satu pukulan dan tendangan, dia menghancurkan pintu itu hingga terbuka. Orang-orang yang terjebak mengangkat tongkat mereka dan mulai menyerang.

Kepala Biara yang telah diberitahu oleh pemimpin pendeta segera datang ke tempat kejadian dengan lima bawahannya.

Lu Si Bijak, teriaknya, aku melarangmu berbuat kasar.

Lu memang mabuk, tapi dia segera mengenali Kepala Pendeta. Dia menyimpan tombaknya, maju lalu menyapanya.

Aku memang meminum arak, tapi aku tak melakukan apapun yang membuat marah orang-orang ini, kata Si Bijaksana. Mereka datang beramai-ramai dan menyerangku.

Kalau kau menghormatiku, kata Kepala Biara, pergilah ke kamarmu dan tidurlah. Kita bicarakan hal ini besok.

Hanya rasa hormatku padamu yang menghentikanku untuk menghajar keledai-keledai itu!

Page 56: 108 Pendekar Liang-Shan

Kepala Biara menyuruh asistennya untuk membawa lu ke ruangan para pendeta. Dia segera terjatuh di atas tempat tidurnya dan tidur sambil mendengkur keras.

Sekumpulan pendeta mengelilingi Kepala Biara. Seperti yang kami katakan, kata mereka. Sekarang Anda bisa melihat apa yang terjadi? Bagaimana mungkin kita bisa membiarkan orang seperti dia tinggal di Biara. Dia mengacaukan jalan hidup kita yang suci.

Memang benar dia seorang yang kurang tahu aturan, kata Kepala Biara, tapi dia akan menjadi orang suci nantinya. Sekarang kita tak bisa melakukan apapun. Kita harus memaafkannya demi penolong kita, tuan muda Zhao. Aku akan berbicara padanya besok.

Para pendeta tertawa dingin.“Kepala Biara kita tidak bijaksana, kata mereka satu sama lain. Lalu mereka pun kembali ke pekerjaannya masing-masing.

Pagi berikutnya Kepala Biara menyuruh asistennya ke gedung para pendeta untuk memanggil Lu. Dia masih tertidur. Asisten itu menunggu hingga dia bangun dan mengenakan pakaian pendetanya. Namun tiba-tiba Lu pergi keluar dengan bertelanjang kaki. Si asisten itu pun terkejut lalu membuntuti Lu dari belakang. Lu ternyata pergi ke belakang biara untuk kencing. Asisten itu pun tertawa terbahak-bahak. Dia menunggu sampai Lu selesai, kemudian berkata, Kepala Biara ingin menemuimu.

Lu ikut bersamanya menuju ruangan kepala biara.

Walaupun dulunya kau seorang tentara, kata Kepala Biara, aku menasbihkanmu karena permintaan tuan muda Zhao. Aku memerintahkanmu untuk tidak membunuh, mencuri, berzina, minum-minuman keras, atau berbohong. Inilah lima larangan yang mengikat semua pendeta. Jadi tak ada seorang pun pendeta yang diperbolehkan minum arak. Tapi kemarin dirimu kembali dalam keadaan mabuk dan memukuli penjaga gerbang, merusak pintu biara lalu memukuli juga tukang masak dan petugas kebersihan. Kenapa kau bertindak seperti itu?

Lu berlutut di depannya. Aku tak akan melakukan hal itu lagi.

Kau adalah seorang pendeta sekarang, lanjut Kepala Biara. Kenapa kau melanggar peraturan dan merusak kehidupan suci kita? Kalau bukan karena tuan muda Zhao, aku pasti telah mengeluarkanmu dari biara ini. Jangan bertingkah seperti itu lagi.

Lu meletakkan kedua telapak tangannya di depan dada. Aku tak akan berani melakukannya lagi, katanya.

Kepala Biara menyuruh membawakan sarapan untuk Lu dan dengan kata-kata bijaksana menyuruh Lu untuk berubah. Dia memberi Lu jubah dari kain yang bagus dan sepasang sepatu pendeta lalu menyuruhnya kembali ke tempatnya.

Selama tiga bulan setelah kejadian itu Lu tidak keluar dari biara sekalipun. Kemudian suatu hari, cuaca berubah menjadi sangat panas. Saat itu sedang bulan kedua. Lu keluar dari kamarnya, berjalan menuju gerbang biara lalu berdiri dengan penuh kekaguman memandangi keindahan Gunung Wutai. Dari kaki gunung angin dingin membawa suara logam berdentangan. Lu kembali ke kamarnya, membawa beberapa tail perak dan menyimpanyna di dalam dadanya. Kemudian dia pun menuruni gunung. Dia melewati suatu gerbang yang bertuliskan Wutai, Daerah yang Diberkahi. Di depannya dia melihat sebuah kota dengan penduduk sekitar 700 keluarga.

Apa lagi yang kutunggu? tanya Lu pada dirinya. Kalau saja aku tahu ada tempat seperti ini, daripada mengambil arak dari orang itu aku lebih baik turun gunung dan membeli arak sendiri. Aku telah menahan diri terlalu lama. Lebih baik kulihat makanan apa saja yang mereka jual di sini.

Page 57: 108 Pendekar Liang-Shan

Kemudian dia mendengar kembali suara logam berdentang.

Di samping sebuah bangunan dengan nama Penginapan Ayah dan Anak ada sebuah toko tukang besi. Suara itu datang dari sana. Lu kemudian mendatanginya. Di sana ada beberapa orang sedang memukul besi.

Punya baja yang bagus, tuan tukang besi? dia bertanya pada yang paling tua di antara mereka.

Orang itu sedikit ketakutan dengan Lu. Dia berhenti memukuli besi kemudian berkata, silakan duduk tuan. Benda seperti apa yang tuan inginkan?

Aku butuh sebuah tongkat Budha dan sebuah pisau pendeta. Apa kau punya baja kualitas satu?

Aku memilikinya. Seberapa berat tongkat dan pisau yang kau inginkan? Kami akan membuatnya sesuai dengan permintaanmu.

Berat tongkatnya harus seratus kati.

Terlalu berat, pandai besi itu tertawa.“Aku bisa membuatkannya untukmu, tapi kau takkan pernah bisa mengangkatnya. Bahkan tongkat Guan Yu pun tak lebih dari delapan puluh satu kati!

Aku sehebat Guan Yu, kata Lu dengan tak sabar. Dia hanya manusia juga.

Tapi tuanku, bahkan empat puluh lima kati pun sudah sangat berat.

Kau bilang tongkat golok Guan Yu beratnya delapan puluh satu kati? Buatkan aku tongkat seberat itu kalau begitu.

Page 58: 108 Pendekar Liang-Shan

Bab 4Bagian 4

Terlalu tebal tuanku. Tongkatnya akan terlihat jelek dan memalukan untuk dipakai. Lebih baik ikuti saranku, aku akan membuat tongkat budha seberat enam puluh dua kati dari logam mengkilat. Tentu saja itu saja sudah terlalu berat, jangan menyalahkanku nanti. Untuk pisaunya serahkan saja padaku. Aku akan menggunakan baja terbaik.

Berapa untuk dua itu?

Kami tidak menerima tawar-menawar. Kau bisa mendapatkan keduanya dengan lima ratus tail perak.

Baiklah. Kalau hasilnya bagus, aku akan memberimu lebih.

Pandai besi itu menerima peraknya. Kami akan mulai membuatnya sekarang.

Aku punya uang kecil, ayolah ikut bersamaku minum arak.

Maaf sekali tuan. Aku harus segera bekerja kembali. Aku tak bisa menemanimu.

Lu pun meninggalkan tukang besi itu. Belum ada dia berjalan tiga puluh langkah, dia melihat sebuah kedai arak. Dia mengangkat tirai kemudian memasuki kedai itu, duduk di sebuah meja dan mengetuk mejanya.

Bawakan aku arak, teriaknya.

Pemilik kedai itu mendatanginya. Maafkan saya, tuan. Kedai saya dan modalnya semuanya pinjaman dari biara. Kepala Biara memiliki peraturan untuk kami. Kalau kami menjual arak pada pendeta, dia akan mengambil semua uang biara dan mengusir kami. Tolong jangan paksa kami.

Yang kuinginkan hanya sedikit arak. Aku tak bilang aku akan membelinya di sini.”

Tak mungkin. Silakan beli dari tempat lain. Maaf.

Lu berdiri. Kalau kedai lain memberikan araknya, aku akan datang lagi kemari nanti!

Dia meninggalkan kedai itu dan berjalan kembali. Tak berapa lama dia melihat kedai arak lainnya. Dia masuk dan duduk.

Bawakan aku arak. Cepatlah.

Penjaga kedai berkata, kau pasti tahu peraturan Kepala Biara. Apa kau mau menghancurkan usahaku?

Lu Da tetap memaksa untuk dilayani, tapi penjaga kedai itu tidak mau. Lu tak punya pilihan lain selain pergi lagi. Dia memasuki lima kedai lainnya dan semuanya menolak melayaninya.

Kalau aku tak menggunakan cara lain, aku takkan pernah mendapat arak, katanya pada diri sendiri. Di ujung pasar dia melihat sebuah pohon aprikot dan kedai kecil. Ketika dia mendekat ternyata kedai itu adalah kedai arak. Lu masuk dan duduk di samping jendela.

Berikan arak untuk pendeta pengelana ini, katanya.

Pemilik kedai itu masuk dan menanyainya. Dari mana Anda berasal, Tuan?

Page 59: 108 Pendekar Liang-Shan

Aku adalah pendeta pengalana yang kebetulan lewat. Beri aku arak.

Kalau kau dari biara Gunung Wutai, aku tak diperbolehkan untuk memberimu arak.

Bukan. Berikan aku arak.

Penampilan Lu dan caranya berbicara membuat pemilik kedai itu ketakutan. Berapa banyak yang Anda inginkan?

Bawakan saja arak semangkuk penuh terus menerus.

Lu meminum sepuluh mangkuk arak. Apa kau punya daging? tanyanya.

Aku punya daging sapi tadi pagi, kata pemilik kedai, tapi semuanya telah terjual.

Lu Da mencium bau daging yang dimasak. Dia masuk dan menemukan daging anjing yang sedang direbus dalam guci tanah.

Kau punya daging anjing, katanya. Kenapa tidak menawarkannya padaku?

Kupikir seorang pendeta tak akan memakannya, jadi aku tak bertanya.

Aku punya banyak uang. Lu lalu mengeluarkan peraknya dan memberikan pada pemilik kedai. Berikan aku setengah daging itu.

Pemilik kedai memotong daging anjing itu setengahnya dan menaruhnya dalam sebuah piring dengan saus di depan Lu. Lu menyobek daging itu dengan tangan dengan senang hati. Dia juga meminum sepuluh mangkuk arak lagi. Dia merasa araknya sangat nikmat dan terus meminta tambahan.

Sudah cukup, pendeta, kata sang pemilik kedai.

Lu memandangnya. Aku membayar apa yang kuminum. Siapa yang memintamu untuk ikut campur?

Seberapa banyak lagi yang kau inginkan?

Beri aku satu guci penuh.

Pemilik kedai tak memiliki pilihan lain selain menuruti permintaannya. Tak lama kemudian Lu Da kemudian merasa kenyang. Kaki anjing yang belum sempat dimakannya dia masukan ke dalam jubahnya.

Simpan saja kembaliannya, katanya sebelum pergi. Aku akan kembali besok.

Pemilik kedai yang ketakutan itu hanya bisa melongo ketika melihat Lu menuju Gunung Wutai.

Ditengah perjalanan, Lu duduk di paviliun dan beristirahat. Arak itu mulai memabukannya. Dia berkata, aku sudah lama tak berolah raga, persendianku mulai kaku. Yang kubutuhkan adalah sedikit olah raga.

Lu keluar dari paviliun itu. Dia melebarkan tangannya, mengayunkannya dengan semangat ke atas ke bawah, lalu ke kiri dan kanan dengan kekuatan yang terus bertambah. Tak sengaja tangannya mengenai suatu tiang paviliun itu. Lalu terdengar suara tiang patah yang keras. Setengah dari paviliun itu runtuh.

Dua orang penjaga gerbang mendengar keributan itu lalu mendaki sebuah menara untuk melihat. Mereka melihat Lu.

Oh tidak, kata mereka. Orang itu mengacau lagi!

Page 60: 108 Pendekar Liang-Shan

Mereka mengunci gerbang. Melalui suatu celah mereka melihat Lu mendekat. Ketika dia menemukan gerbang itu terkunci, dia memukulnya dengan tangannya. Para penjaga gerbang tak berani membiarkannya masuk.

Lu memukul-mukul sebentar. Kemudian dia melihat sebuah patung penjaga Budha di samping gerbang.

Hei, dasar kau tak berguna, teriak Lu. Bukannya membantuku mengetuk pintu, kau mengangkat tinjumu dan mencoba menakutiku! Aku tak takut padamu!”

Kemudian dia mengambil tiang patah lalu memukulkannya pada kaki patung itu. Patung itu pun hancur berkeping-keping.

Oh tidak, teriak para penjaga gerbang. Mereka berlarian untuk melapor pada Kepala Biara.

Lu berhenti sejenak, kemudian berbalik dan memandangi patung penjaga di bagian kanan.

Beraninya kau menertawakanku! teriaknya. Dia lalu mendekati patung itu dan memukul kaki patung itu dua kali. Patung itu jatuh ke tanah dengan suara yang keras.

Lu tertawa bergelak sembari menggenggam tiang yang rusak itu di tangannya.

Ketika penjaga gerbang memberitahu kepala biara dia hanya berkata, jangan membuatnya marah. Kembalilah ke gerbang.

Pada saat itu para pendeta lainnya memasuki ruangan itu. Lu Da sekarang sangat mabuk, kata mereka. Dia merusak paviliun dan patung penjaga di gerbang. Bagaimana mungkin kita biarkan hal ini terjadi?

Ada pepatah yang mengatakan bahkan seorang raja pun menghindari orang mabuk. Yang harus kita lakukan adalah menghindarinya, jawab Kepala Biara. Kalau dia merusak patung, kita bisa meminta Zhao untuk membuatkan patung yang baru. Zhao juga bisa memperbaiki paviliun itu. Biarkan Lu Da melakukan apa yang dia inginkan.

Patung penjaga itu adalah dewa dari gerbang, protes para pendeta. Anda tak bisa menggantinya begitu saja.

Jangan pikirkan tentang patung itu, kata Kepala Biara. Bahkan kalaupun yang dihancurkan adalah patung dari para pemimpin Budha, tak ada yang bisa kita lakukan. Jangan halangi dia. Tak ingatkah kalian seberapa ganasnya dia tempo hari?

Jangan buka gerbangnya, para pendeta itu memerintah. Diam di dalam dan perhatikan saja.

Kalau kalian para keledai tak membiarkanku masuk, kata Lu Da, aku akan membakar biara bau ini!

Buka kuncinya dan biarkan dia masuk, kata para pendeta. Kalau tidak, dia pasti benar-benar akan melakukannya!

Para penjaga gerbang membuka kunci gerbang itu lalu segera menjauh. Para pendeta lainnya berpencar.

Lu mendorong gerbang itu dengan kedua tangannya dengan keras. Tak disangka, gerbang itu terbuka dengan mudah. Dia terhuyung ke depan dan terjatuh. Dia bangkit kembali, mengusap mukanya, dan segera berjalan menuju kamarnya.

Dia menyibakkan tirai di pintu dan masuk ke ruang meditasi. Para pendeta yang sedang bersemadhi memandangnya. Mereka segera menundukkan kepala mereka kembali. Ketika mendekati tempat tidurnya, Lu Da muntah dengan suara keras. Para pendeta lainnya menutup hidung mereka.

Page 61: 108 Pendekar Liang-Shan

Lu membuka jubah dan ikat pinggangnya. Kaki anjing di jubahnya terjatuh ke lantai. Bagus, katanya. Aku baru saja merasa lapar. Dia lalu mengambilnya dan mulai makan.

Para pendeta menyembunyikan wajah mereka dibalik lengan mereka. Pendeta yang berada dekat Lu segera menjauh. Lu menyobek sebagian daging itu dan menawarkannya pada pendeta di samping kirinya.

Cobalah, tawarnya.

Orang itu menekan tangannya dengan erat ke bibirnya.

Kau tak mau? tanya Lu. Dia lalu menawarkannya pada pendeta di sebelah kanannya. Orang itu mencoba lari, tapi Lu Da menangkapnya dan memasukkan daging itu ke mulutnya.

Lima pendeta segera mencoba menolong pendeta itu. Mereka memohon Lu agar menghentikan perbuatannya. Dia melempar daging anjingnya dan memukulkan tangannya pada kepala botak para pendeta. Ruangan meditasi itu segera saja menjadi kacau. Para pendeta mengenakan jubah mereka dan membawa mangkuk-mangkuk mereka lalu pergi. Terjadilah eksodus besar-besaran. Para tetua tak dapat menghentikan mereka.

Kali ini para pemimpin pendeta tidak memberi tahu Kepala Biara tapi segera mengumpulkan para pendeta dan semua pekerja yang ada, sekitar dua ratus orang seluruhnya. Mereka semua bersenjatakan pentungan dan tongkat, bersama-sama menuju ruang para pendeta.

Lu berteriak keras ketika melihat mereka. Karena tak memiliki senjata, dia kembali ke ruangan meditasi, memukul meja altar di depan patung Budha, mematahkan dua kaki meja itu lalu menyerang.

Dia menyerang dengan kuat sehingga para penyerangnya segera mundur keberanda. Lu Da merangsek maju sambil mengayun-ngayunkan kaki meja di tangannya. Lawan-lawannya mengepungnya dari dua arah. Lu pun marah. Dia memukul ke kiri, kanan, depan, dan belakang. Hanya mereka yang berada jauh darinya selamat dari amukannya itu.

Kemudian suara Kepala Biara terdengar, Lu Da, berhenti berkelahi! Kalian juga!

Beberapa puluh penyerang telah terluka. Mereka dengan senang hati mundur ketika Kepala Biara datang. Lu menjatuhkan kaki meja di tangannya.

Kepala Biara, tolonglah aku, tangisnya. Sekarang dia hanya 8/10 mabuk

Page 62: 108 Pendekar Liang-Shan

Bab 4Bagian 5

“Lu, kau memberiku banyak masalah,” katanya. “Terakhir kali kau mabuk dan membuat kekacauan aku menulis pada Zhao tentang hal ini dan dia mengirimkan surat permintaan maaf. Sekarang kau mempermalukan dirimu sendiri, mengacaukan kehidupan suci kami, meruntuhkan paviliun dan merusak dua patung. Hal ini kami bisa memaafkannya. Tapi kau mengusir para pendeta dari ruang meditasi. Itu adalah kejahatan yang sangat besar. Budha Wenshu telah bermeditasi di tempat biara ini berdiri. Selama berabad-abad daerah ini hanya mengenal kesucian dan wangi dupa. Tempat ini bukanlah tempat untuk orang sepertimu. Beberapa hari kedepan, kau tinggal bersamaku di ruang Kepala Biara. Aku akan mengatur untuk memindahkanmu ke tempat lain.”

Mantan perwira itu pergi bersama kepala biara. Kepala Biara memerintahkan para pemimpin pendeta untuk mengatur agar para pendeta kembali bermeditasi. Mereka yang terluka dibiarkan istirahat. Lu Da pun menghabiskan malam itu di ruang Kepala Biara.

Pagi berikutnya kepala biara berkonsultasi dengan para tetua. Mereka memutuskan untuk memberi Lu uang dan menyuruhnya pergi.

Tapi mereka harus memberi tahu Zhao terlebih dahulu. Kepala biara menulis sebuah surat dan mengirimnya ke kediaman Zhao oleh dua orang pembawa pesan yang dia suruh untuk menunggu balasan dari Zhao.

Zhao cukup terkejut dengan hal ini. Dia menjawab bahwa dia mengormati keputusan kepala biara dan berkata, “aku akan mengganti kerusakan patung dan paviliun. Lu harus pergi kemana pun kepala biara memerintahkannya.”

Kepala biara menyuruh asistennya untuk menyiapkan jubah berwarna hitam, sepasang sepatu pendeta, dan seribu tail perak lalu memanggil Lu.

“Lu,” kata kepala biara, “terakhir kali kau mabuk dan mengacau di biara ini, kau masih dimaafkan. Kali ini kau mabuk lagi, merusak patung penjaga, menghancurkan paviliun, dan mengacau di ruang meditasi. Hal itu adalah kejahatan besar. Kau juga melukai beberapa pendeta. Biara kami adalah tempat yang damai. Apa yang kau lakukan itu adalah hal yang sangat buruk. Sebagai rasa hormatku pada tuan muda Zhao aku memberimu surat pengenal agar kau bisa diterima di tempat lain. Tak mungkin bagi kami untuk tetap menerimamu di sini. Tadi malam aku mendapat ramalan dan menulis empat kalimat ramalan sebagai petunjuk dalam takdirmu.”

“Kemana kau ingin aku pergi, guru?” tanya Lu. “Tolong beritahu aku ramalan itu.”

Page 63: 108 Pendekar Liang-Shan

Bab 5Karena Mabuk, Sang Raja Kecil Menyingkapkan Tirai KeemasanLu Sang Pendeta Bertato Membingungkan Desa PersikBagian 1

“Lu,” kata Kepala Biara, “kau benar-benar tak bisa tinggal di sini. Di Ibukota Timur seorang saudaraku, yang dikenal dengan nama Guru Pencerah, menjadi kepala biara di Biara Xiangguo. Bawalah surat ini kepadanya dan mintalah pekerjaan padanya. Kemarin malam aku mendapatkan ramalan dan membuat empat baris puisi untuk memberimu petunjuk. Kau harus mengingat kata-kata ini.”

Sembari berlutut di depannya, Lu berkata, “Aku ingin mendengar ramalan itu.”

Kepala Biara pun berkata, “Bertemu hutan, bertindak. Bertemu gunung, makmur. Bertemu air, berkembang. Bertemu sungai, berhenti.”

Lu pun berkowtow pada kepala biara sembilan kali, lalu membawa barang bawaannya. Dia mengucapkan perpisahan kepada kepala biara dan para pendeta lalu meninggalkan Gunung Wutai menuju penginapan di pinggir tukang besi dan menunggu tongkat dan pisaunya jadi. Para pendeta sangat senang melihatnya pergi. Kepala biara menyuruh para pendeta untuk membersihkan kerusakan yang disebabkan Lu. Beberapa hari kemudian Zhao datang secara pribadi dengan membawa uang untuk memperbaiki patung dan paviliun yang dirusak Lu. Tentang biara tersebut kita tidak akan mendengarnya lagi.

Pendeta Lu menunggu beberapa hari di penginapan. Ketika kedua senjatanya telah jadi, dia membuat sarung untuk pisaunya dan mengecat tongkatnya. Dia memberi uang tambahan untuk si tukang besi, memikul buntalannya, menggantungkan pisaunya di pinggang, memegang tongkatnya, lalu beranjak pergi dari sana.

Dia menyusuri jalan menuju Ibukota Timur dan melakukan perjalan selama lebih dari setengah bulan. Lu tidak berhenti di biara-biara. Dia selalu menghabiskan malamnya di penginapan dan makan di restoran pada siang harinya.

Ketika dia berjalan pada suatu sore, dia sangat terkesima oleh keindahan pemandangan yang dilaluinya hingga dia terlambat menyadari kalau waktu telah menjelang malam. Tiba-tiba dia menyadari kalau dia tidak akan bisa mencapai penginapan berikutnya sebelum gelap, dan diat tidak memiliki teman. Dimanakah dia harus tidur?

Dia berjalan tergesa-gesa sepanjang dua atau tiga puluh li. Ketika melewati jembatan kayu dia melihat di kejauhan, berkelipan di balik awan-awan senja, sebuah pemukiman besar di tengah hutan kecil. Di belakangnya terlihat menjulang pegunungan yang tinggi.

“Lebih baik aku menghabiskan malam di sana,” kata Lu pada dirinya sendiri.

Ketika dia sudah dekat, dia melihat bebarapa orang penduduk sedang sibuk memindahkan barang-barang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dia meletakkan tongkatnya dan menyapa beberapa orang itu.

“Apa yang membawamu ke sini, pendeta?” tanya mereka.

Page 64: 108 Pendekar Liang-Shan

“Aku tidak bisa mencapai pengeinapan sebelum gelap,” jawabnya. “Kuharap tuan tanah di sini membolehkanku tidur di sini. Aku akan berangkat lagi esok pagi.”

“Kami sibuk malam ini. Kamu tidak bisa tinggal di sini.”

“Hanya untuk malam ini saja. Besok aku akan pergi.”

“Pergilah, Pendeta. Jangan berkeliaran di sini kalau kau ingin hidup.”

“Aneh sekali. Kenapa begitu menolak permintaanku menginap satu malam? Apa bahayanya?”

“Pergilah. Kalau tidak kau akan kami tangkap dan ikat.”

Lu pun kehilangan kesabarannya. “Tak bisakah kalian bersikap sopan? Aku tidak bersikap kasar pada kalian, tapi kalian mengancam untuk mengikatku!?”

Beberapa orang mengatainya, beberapa orang lain mencoba menenangkannya. Lu mengangkat tongkatnya ketika seorang kakek tua muncul dari dalam. Usianya sekitar enampuluhan. Dia berjalan dengan tongkat yang tingginya melebihi kepalanya.

“Apa yang kalian ributkan?” teriaknya pada para pengikutnya ketika dia mendekat.

“Pendeta ini berusaha untuk memukul kami,” balas mereka.

“Aku sedang dalam perjalanan menuju Ibukota Timur dari Gunung Wutai,” kata Lu. “Aku tidak bisa mencapai penginapan dan karenanya aku meminta untuk tidur satu malam di sini. Tapi mereka malah mau menangkapku.”

“Karena kau adalah pendeta dari Gunung Wutai,” kata orang tua itu, “ikutlah bersamaku.”

Lu mengikutinya hingga ke dalam bangunan utama di mana mereka duduk sebagai tamu dan tuan rumah. “Penduduk kami tidak mengetahui kalau kau datang dari tempat Sang Budha Hidup, Pendeta,” kata kakek itu. “Jangan memarahi mereka. Mereka berpikir kau merupakan pendeta biasa. Aku sendiri selalu menghormati Buddha, ajarannya, serta pengikutnya. Walaupun kami sibuk malam ini, kami dengan senang hati menerimamu di sini malam ini.”

Lu menyimpan tongkatnya, berdiri lalu membungkuk hormat. “Terima kasih tuan. Bolehkah saya bertanya nama tuan?”

“Marga kami adalah Liu. Karena tempat ini disebut Desa Persik, para penduduk memanggilku Kakek Liu dari Desa Persik. Bolehkah saya bertanya namamu, dan gelar Buddhamu?”

“Marga saya adalah Lu. Kepala Biara kami memberiku gelar Si Bijaksana.”

“Mari makan malam bersama kami, Pendeta. Apakah kamu tidak memakan daging?”“Aku bisa makan daging dan minum arak. Baik arak yang jernih atau tidak. Daging sapi atau daging anjing, aku makan semuanya.”

Page 65: 108 Pendekar Liang-Shan

“Baiklah, aku akan menyuruh pelayanku untuk menghidangkan arak dan daging.”

Meja pun disiapkan dan sumpit dikeluarkan. Para pelayan membawakan Lu masakan daging sapi dan tiga atau empat jenis sayuran. Dia menaruh buntalannya dan duduk. Seorang pelayan menghangatkan arak dan mengisi cawan Lu Da. Pendeta itu tak perlu diperintah lagi. Dalam sekejap dia telah menghabiskan masakan dan seguci arak. Kakek Liu, yang duduk di sebrangnya, menatap Lu dengan terkejut. Nasi pun dikeluarkan. Lu Da juga memakannya.

Akhirnya meja pun dibersihkan. “Silakan beristirahat di ruangan samping, Pendeta, “ Kata kakek tua itu. “Kalau kau mendengar ada suara gaduh di malam hari, jangan keluar apapun yang terjadi.”

“Bisakah kau memberitahuku apa yang akan terjadi malam ini?”

“Ini bukanlah hal yang bisa didiskusikan bersama orang yang telah meninggalkan duniawi.”

“Kenapa kau terlihat sangat sedih, kakek Liu? Apakah kedatanganku ke sini begitu mengganggu? Besok pagi, tuliskan berapa aku berhutang, pasti akan kubayar.”

“Dengarkan aku, Pendeta. Kami sering memberi makan dan tempat tinggal bagi para pendeta. Apa bedanya menambah satu pendeta lagi? Masalahnya adalah malam ini anak perempuanku menikah dan membawa menantuku ke keluarga ini.”

Lu Da tertawa. “Laki-laki dan perempuan semuanya harus menikah. Itu merupakan hal yang penting dalam kehidupan semua orang dan merupakan hal yang normal. Apa yang aneh?”

“Kamu tidak mengerti, Pendeta. Kami tidak menginginkan pernikahan ini.”

Lu Tersenyum. “Kalau kau tidak menginginkannya, kenapa kau setuju?”

“Aku tak punya anak lain, dan anak perempuanku baruberumur sembilan belas tahun. Tak jauh dari sini ada gunung yang disebut Gunung Persik. Dua orang bandit membangun benteng di sana baru-baru ini bersama enam atau tujuh ratus pengikutnya. Mereka mencuri dan merampok, tapi polisi di Qingzhou tidak bisa menghentikan mereka. Beberapa hari yang lalu mereka datang ke sini untuk mengumpulkan upeti, dan salah satu dari bandit itu melihat anakku. Dia memberiku dua puluh tail emas dan segulung sutra merah sebagai mahar perkimpoian, serta memilih malam ini sebagai hari pernikahan. Dia bilang mereka akan menikah di sini. Aku tak bisa menolak permintaannya. Itulah kenapa aku sedih. Bukan karena aku tak senang atas kedatanganmu, Pendeta.”

“Jadi begitu. Kalau aku berbicara dengannya dan memintanya untuk tidak menikahi putrimu, bagaimana?”

“Dia adalah bandit yang membunuh tanpa mengedipkan mata. Bagaimana bisa kau merubah keinginannya?”

“Ketika aku di Gunung Wutai, aku belajar Hukum-Hukum Buddha dari Kepala Biara. Sekarang aku bisa melunakan seseorang bahkan bila hatinya sekeras besi. Suruh putrimu untuk bersembunyi. Aku akan berbicara dengan bandit itu di kamar putrimu dan membuatnya membatalkan pernikahan.”

“Baiklah. Tapi tolong pastikan kau tidak membangunkan singa yang tertidur.”

Page 66: 108 Pendekar Liang-Shan

“Aku juga ingin hidup. Serahkan saja semua padaku.”

“Baiklah. Betapa beruntungnya keluargaku karena seorang Buddha sepertimu datang ke sini dari Langit!”

Para pelayan terkejut mendengar hal ini.

“Apa kau ingin makan lagi?” tanya kakek Liu.

“Aku tak ingin makan lagi,” kata Lu, “tapi kalau kau masih memiliki arak, bisa kau berikan padaku sedikit.”

“Kami masih punya banyak,” balas Kakek Liu. Dia lalu menyuruh pelayannya untuk membawa daging angsa dan seguci besar arak.

Lu meminum sekitar tiga puluh cawan arak dan menghabiskan daging angsa tersebut. Seorang pelayan disuruh untuk menaruh bawaannya ke ruang tamu.

Lu membawa tongkat dan pisaunya. “Sudahkah putrimu bersembunyi, kek?” tanyanya pada sang tuan rumah.

“Aku telah menyuruhnya bersembunyi di rumah tetangga.”

“Bawa aku ke kamar pengantin, kalau begitu.”

Kakek tua itu membawanya ke sebuah pintu. “Ini kamarnya.”

“Baik, tinggalkan aku di sini,” kata Lu Da.

Kakek Liu dan pengikutnya pergi untuk menyiapkan jamuan pernikahan. Lu Da mendorong semua meja dan kursi di ruangan tersebut. Dia menyimpan pisaunya di atas tempat tidur dan menyandarkan tongkatnya ke sisi tempat tidur. Lalu dia menurunkan tirai tempat tidur yang berwarna keemasan, membuka pakaiannya, lalu duduk di atas tempat tidur itu.

Malam pun tiba. Kakek Liu menyuruh pelayannya untuk menyalakan lampu di depan dan pinggir rumah. Sebuah meja panjang dengan dupa, lampu dan lilin di gelar di depan rumah. Kakek tua itu menghidangkan banyak masakan dan beguci-guci arak hangat.

Sekitar jam pertama terdengar suara drum dan gong dari pinggir gunung. Kakek Liu mulai mengkhawatirkan tipu dayanya, dan para pelayan keluar dari gerbang untuk melihat.

Page 67: 108 Pendekar Liang-Shan

Bab 5Karena Mabuk, Sang Raja Kecil Menyingkapkan Tirai KeemasanLu Sang Pendeta Bertato Membingungkan Desa PersikBagian 2

Di kejauhan terlihat sekitar lima puluh obor, membuat malam seperti siang, memperlihatkan iring-iringan orang, sebagian berkuda dan sebagian lagi berjalan kaki, menuju Desa Persik. Kakek Liu berteriak kepada para pelayannya untuk membuka gerbang lebar-lebar, dan maju untuk bertemu dengan rombongan itu. Rombongan tersebut berdesak-desakan sembari membawa senjata yang berkilauan dan berhiaskan pita-pita.

Bunga liar menghiasi rambut para bandit. Sekitar lima lentera merah menerangi sang pemimpin bandit yang berada di kudanya yang besar dan berwarna putih.Di depan gerbang, kepala bandit itu turun. Pengikutnya mengelilinginya dan mengucapkan selamat. “Dengan topi berliontin, malam ini kau akan menjadi seorang pengantin. Dengan pakaian baru malam ini akan menjadi seorang menantu.”

Kakek Liu segera maju ke depan dengan membawa secawan arak bagus di atas sebuah nampan, lalu berlutut di depan kepala bandit itu. Para pelayannya mengikutinya. Kepala bandit itu mengangkat kakek Liu hingga berdiri.

“Kau adalah mertuaku. Kau tak boleh berlutut padaku.”

“Jangan bilang begitu,” kata Kakek liu. “Aku hanyalah orang rendah di daerah milik ketua yang agung.”

Ketua itu, yang saat itu sudah agak mabuk, tertawa. “Kau tidak akan kecewa karena menjadikanku menantu. Aku adalah orang yang tepat untuk putrimu.”

Kakek tua itu memberinya secawan arak sebagai upacara, lalu membawanya menuju meja yang terang oleh lentera di halaman. “Kau tidak perlu repot-repot mengadakan penyambutan ini,” kata ketua bandit itu.

Dia meminum tiga cawan arak lagi lalu beranjak menuju ruang resepsi. Dia menyuruh orang-orangnya untuk mengikat kuda-kuda ke pohon. Beberapa orang bandit mulai memukul kembali drum dan gong di luar ruangan.

Kepala bandit itu pun duduk. “Ayah mertua, dimanakah istriku?” tanyanya.

“Dia tak berani keluar. Dia sangat pemalu.”

Bandit itu tertawa. “Bawakan arak lagi. Aku harus bersulang untukmu.” Tapi ketika dia membawa cawannya, dia berkata “aku ingin bertemu pengantinku dulu. Aku akan menemanimu minum nanti.”

Kakek Liu sangat cemas perihal muslihat si pendeta. “Aku akan membawamu ke kamarnya,” balasnya.” Dengan membawa sebatang lilin, dia membawa bandit itu ke kamar pengantin. “Ini dia,” katanya. “Silakan masuk.” Kakek Liu lalu pergi dengan lilinnya. Dia tidak begitu yakin rencananya akan sukses, dia ingin segera pergi secepatnya.

Page 68: 108 Pendekar Liang-Shan

Kepala bandit itu membuka pintu. Di dalam kamar tersebut sangatlah gelap. “Ayah mertuaku itu sungguh orang yang hemat,” gerutunya. “Dia bahkan tidak menyalakan lampu dan membiarkan istriku duduk dalam gelap. Aku harus menyuruh orang-orangku membawa satu tong minyak dari benteng besok.”

Lu, yang duduk di balik tirai tempat tidur, berusaha menahan tawanya. Dia tidak mengeluarkan suara. Kepala bandit itu pun mulai berjalan menuju tengah kamar.

“Istriku,” panggilnya, “keluar dan sambutlah aku. Jangan malu-malu. Besok aku akan menjadikanmu ratu di benteng.” Sembari memanggil “istrinya”, dia meraba-raba ke depan hingga dia menyentuh tirai tempat tidur. Dia membuka tirai itu dan menjulurkan tangannya. Tangan itu menyentuh perut Lu. Pendeta itu segera menarik bandit itu lalu menindihnya di atas tempat tidur dan bergulat di sana. Lu lalu mengepalkan tangan kirinya.

“Dasar bandit cabul,” teriak pendeta itu, lalu melayangkan pukulannya ke bagian leher dan telinga si bandit.

“Kenapa kau pukuli tuanmu ini?” jerit si kepala bandit.

“Aku mengajarimu bagaimana memperlakukan nyonyamu,” dengus Lu. Dia menariknya dari tempat tidur lalu kembali memukul dan menendangnya.

“Tolong!” teriak si bandit.

Di luar, Kakek Liu kaget karena untuk beberapa saat dia yakin sang pendeta sedang berbicara dengan kepala bandit itu. Kakek tua itu membawa lampu lalu cepat-cepat masuk ke dalam kamar, diikuti oleh sekawanan bandit. Mereka melihat pendeta tinggi besar, tanpa mengenakan pakaian, duduk mengangkangi kepala bandit di samping tempat tidur dan memukul-mukulnya.

“Selamatkan ketua kita,” teriak para bandit. Beberapa bandit buru-buru mendekati Lu dengan bersenjatakan gada dan tombak.

Pendeta Lu mendorong kepala bandit itu ke samping, mengambil tongkatnya dari samping tempat tidur lalu menyerang para bandit. Dia menyerang dengan hebat hingga para bandit pun terkejut lalu lari ketakutan. Kakek Liu hanya bisa memandang dengan khawatir.

Dalam keributan itu, kepala bandit berhasil merangkak keluar kamar, lalu lari ke gerbang depan kemudian menaiki kudanya. Dia memotong sebatang ranting willow lalu menggunakannya sebagai cambuk darurat. Tapi kuda itu tak bergerak.

“Celakalah aku,” pikir si kepala bandit. “Bahkan kuda ini pun menyiksaku!” Lalu dia melihat bahwa kuda itu masih terikat ke pohon. Dia pun buru-buru membukanya kemudian secepat mungkin memacu kudanya.

“Lihat saja nanti dasar keledai tua sialan,” dia menyumpah kakek Liu sembari keluar dari gerbang. “Jangan harap kau bisa selamat setelah kejadian ini!” Dia memukul kuda itu beberapa kali lagi. Kuda itu pun berlari dengan kencang ke arah gunung.

Kakek Liu memegang lengan sang pendeta. “Kau membawa bencana ke keluarga kami, Pendeta!” erangnya.

“Harap maafkanlah sifat burukku,” jawab sang pendeta. “Tolong bawakan pakaian dan jubahku, lalu kita bisa

Page 69: 108 Pendekar Liang-Shan

berbicara.”

Seorang pelayan kembali ke ruangan sembari membawa pakaiannya lalu Lu pun mengenakan pakaiannya.

“Aku tadinya berharap kau akan menyadarkannya, memaksanya untuk berubah pikiran,” kata si kakek tua. “Aku tak pernah menyangka kau akan memukulinya. Dia pasti akan menceritakan hal ini ketika sampai di benteng. Sekarang para bandit itu akan turun ramai-ramai dan membunuh seluruh keluargaku!”“Jangan khawatir, kek. Sejujurnya, aku dulu adalah seorang perwira di perbatasan dibawah Jendral Zhong di Provinsi Yanan. Karena aku membunuh seseorang, aku akhirnya menjadi pendeta. Dua ribu orang tak akan membuatku ketakutan, apalagi beberapa orang bandit tak berarti. Cobalah kalian angkat tongkat ini,” dia menyuruh para pelayan yang sedang mendengarkan, “kalau kalian tak percaya.”

Tentu saja tak ada seorang pun yang mampu mengangkat tongkat itu. Pendeta Lu lalu mengangkat tongkat itu lalu memutarnya seakan tongkat itu seringan sumbu lampu.

“Tolong jangan tinggalkan kami, Pendeta,” pinta Kakek Liu. “Keluargaku butuh perlindunganmu!”

“Tanpa diminta pun aku akan melakukannya. Aku tak akan pergi bahkan walau nyawaku taruhannya.”

“Bawa arak untuk pendeta,” kakek tua itu berteriak. Lalu dia berkata lagi kepada Lu Da, “tapi jangan minum terlalu banyak hingga mabuk.”

“Ketika aku mabuk satu persepuluh bagian, aku bisa mengeluarkan satu persepuluh kekuatanku, tapi ketika aku mabuk sepuluh persepuluh bagian, aku bisa mengeluarkan seluruh kekuatanku.”

“Baiklah kalau begitu. Aku punya banyak arak dan daging di sini. Ambillah sebanyak yang kau mau.””

Page 70: 108 Pendekar Liang-Shan

Bab 5Karena Mabuk, Sang Raja Kecil Menyingkapkan Tirai KeemasanLu Sang Pendeta Bertato Membingungkan Desa PersikBagian 3

Kita akan melihat apa yang dilakukan pemimpin utama para bandit.

Sembari duduk di markas mereka di Gunung Persik, dia baru saja hendak mengirim orang untuk melihat bagaimana perkimpoian temannya ketika beberapa orang bandit dengan nafas terengah-engah datang dan berkata “celaka, celaka!”

“Ada apa?” tanyanya cepat. “Kenapa kau terlihat kesakitan?”

“Pemimpin kedua dipukuli dan dikalahkan!” kata mereka.

Pemimpin pertama yang bingung menanyai mereka. Lalu dari luar terdengar teriakan, “Pemimpin Kedua telah datang!”

Kepala bandit melihat kedatangan temannya itu. Dia kehilangan topi merahnya, jubah hijaunya sobek. Pemimpin Kedua itu lalu turun dari kudanya dan terjatuh.

“Selamatkan aku kakak, selamatkan aku,” pintanya.

“Apa yang terjadi?”

“Aku masuk ke rumah mereka dan masuk ke kamar pengantin. Keledai tua sialan itu telah melarikan anak perempuannya dan menyembunyikan seorang pendeta besar dan gemuk di tempat tidur. Karena tak mencurigai ada yang aneh, aku membuka tirai tempat tidur itu dan meraba-raba. Tiba-tiba orang itu menariku dan memukul serta menendangku hingga aku babak belur. Ketika orang-orang kita menyelamatkanku, dia meninggalkanku, mengambil tongkatnya lalu mengejar mereka. Kalau tidak, aku takkan bisa pulang hidup-hidup. Kamu harus membalaskan dendamku Kakak!”

“Jadi itu yang terjadi. Kau masuklah ke dalam dan istirahat. Aku akan menangkap si maling gendut itu dan membawanya ke sini,” kata kepala bandit. Dia memanggil orang-orangnya, “siapkan kudaku sekarang juga. Kalian semua bersiap dan ikut aku.”Dia menaiki kudanya dan membawa tombaknya di tangan. Dengan sebanyak mungkin bandit yang bisa dia kerahkan, dia pun turun gunung.

Semua pengikutnya berteriak-teriak.

Sementara itu Pendeta Lu sedang minum-minum di rumah Pak Tua ketika seorang pelayan masuk dan melapor, “Seorang kepala bandit turun gunung dan membawa banyak anggotanya!”

“Jangan khawatir,” kata Lu. “Setelah aku menghajar mereka, kalian bisa mengikat mereka dan menyerahkan mereka ke pengadilan dan mengambil hadiahnya. Bawakan pedangku.”

Page 71: 108 Pendekar Liang-Shan

Pendeta Lu melepaskan jubah pendetanya, mengikat bagian bawah jubahnya, dan menggantungkan pedangnya di pinggang. Dengan tongkat di tangan, dia menuju halaman. Diterangi nyala banyak obor, dia melihat kepala bandit itu membawa sebuah tombak panjang dan masuk dengan cepat ke halaman.

“Mana keledai gendut itu?” teriak si kepala bandit. “Keluar dan kita selesaikan ini sekarang juga!”

“Dasar bajingan rendah,” teriak Lu. “Aku akan mengajarimu untuk mengenal tongkatku!” Sembari memutar-mutar tongkatnya dia pun menyerang.

Kepala bandit itu menyambut serangannya. “Tunggu sebentar pendeta,” teriaknya. “Suaramu seperti kukenal. Siapa namamu?”

“Aku tak lain dan tak bukan adalah Lu Da, bekas tentara di bawah Jendral Tua Zhong. Sekarang aku adalah Pendeta Lu.”

Kepala bandit itu tertawa dengan senang dan turun dari kudanya, menyimpan tombaknya ke samping. Dia bertepuk tangan lalu memberi hormat.

“Ku harap kamu baik-baik saja sejak kita berpisah. Jadi ternyata kamu yang mengalahakan bawahanku!”

Awalnya pendeta Lu mengira itu hanyalah trik belaka. Dia mundur beberapa langkah dan menurunkan tongkatnya. Tapi ketika dia melihat baik-baik muka orang itu di bawah cahaya obor, ternyata yang dia lihat tak lain dan tak bukan ialah Li Zhong, si Jendral Petarung Harimau yang mempertunjukan permainan senjata di jalan untuk menjual obatnya.

Li Zhong menyalami tangan Lu. “Kenapa kau menjadi pendeta,saudaraku?”

“Akan kuceritakan di dalam,” kata Lu Da.

Kakek Liu yang melihat itu kecewa. “Jadi pendeta itu adalah salah satu dari mereka juga,” pikirnya.

Lu masuk ke dalam rumah dan mengenakan jubah pendetanya kembali, kemudian mengantar Li Zhong ke ruang tengah untuk berbicara tentang masa lalu.

Pendeta itu duduk di tengah ruangan dan memanggil Kakek Liu. Tapi orang tua itu tak berani mendekat.

“Jangan takut padanya, kakek,” kata Lu. “Dia adalah saudaraku.”Ini malah semakin mengejutkan kakek tua itu, dan dia terus mundur. Li Zhong lalu mengambil tempat duduk di tempat kedua. Baru kemudian kakek Liu pun duduk di tempat ketiga.

“Aku akan menceritakan kisahku pada kalian,” kata pendeta Lu. “Setelah membunuh si Penguasa Daerah Barat di Weizhou dengan tiga pukulan, aku melarikan ke Yanmen di Provinsi Daizhou. Di sana aku bertemu dengan Pak Tua Jin yang telah kuselamatkan dan dikirim ke Ibukota Timur. Namun dia pergi ke Yanmen bersama seseoarang yang dia kenal. Anak perempuannya menikah dengan seoarang penguasa kaya, Tuan Muda Zhao, yang sangat menghormatiku sejak hari pertama bertemu.Tapi para polisi terus melacak keberadaanku, lalu Tuan Muda Zhao membayar sejumlah uang dan mengirimku ke sebuah biara di Gunung Wutai dimana aku menjadi Biara. Karena aku mabuk-mabukan dua kali dan mengacau di ruangan meditasi, Kepala Biara memberiku surat untuk pergi ke Biara Xiangguo di

Page 72: 108 Pendekar Liang-Shan

Ibukota Timur. Semalam aku kemalaman untuk mencari penginapan jadi aku menginap di rumah ini. Aku tak pernah berpikir akan bertemu denganmu lagi. Siapakah orang yang aku pukuli? Dan apa yang kau lakukan di sini?”

“Saat aku meninggalkanmu dan Shi Jin di kedai di Weizhou aku mendengar kau membunuh Zheng si Penjagal. Aku pergi untuk mendiskusikannya dengan Shi Jin tapi dia telah pergi. Kemudian aku mendengar dari polisi bahwa mereka mencarimu jadi akupun cepat-cepat pergi dari kota itu. Aku melewati sebuah kaki gunung ketika orang yang kau pukuli tadi menyerangku. Dia adalah Zhou Tong, si Raja Kecil, dan memiliki sebuah benteng di Gunung Persik. Aku mengalahkannya dan dia memintaku untuk tinggal bersamanya menjadi pemimpin mereka. Aku menjadi bandit sejak hari itu.”

“Karena kau adalah pemimpin mereka, tolong batalkan pernikahan dengan anak Kakek Liu. Dia adalah satu-satunya anaknya dan telah berharap agar bisa mengurus Kakek Liu hingga akhir hayatnya. Kamu tak boleh membawanya dan meninggalkan Kakek Liu sendirian.”

Kakek Liu sangat senang. Dia segera memberikan hidangan makanan dan arak untuk kedua tamunya. Masing-masing bandit juga dijamu dengan dua bakpau, dua potong daging kukus, dan semangkuk besar arak. Semuanya menghabiskan jatah mereka itu. Kakek Liu juga mengembalikan hadiah yang diberikan sebagai mas kimpoi dari bandit itu.

“Bawalah lagi itu kakak,” kata Pendeta Lu. “Aku menyerahkan hal ini di tanganmu sepenuhnya.”

“Jangan khawatir, itu bisa diatur,” kata Li Zhong. “Mari tinggalah bersama kami di benteng sementara waktu. Kakek Liu, kau harus datang juga.”

Pak tua itu menyuruh pelayan-pelayannya untuk menyiapkan kereta untuk Lu. Mereka mengantarnya bersama tongkat, pisau, serta barang bawaannya yang lain. Li Zhong menaiki kudanya. Kakek Liu berangkat dengan kereta yang lebih kecil. Saat itu hari sudah agak terang.

Setelah tiba di benteng, Lu dan kakek tua itu turun dari kereta dan Li Zhong turun dari kudanya. Ketua bandit itu lalu pergi ke ruang pertemuan dan mereka bertiga pun duduk.

Li Zhong memanggil Zhou Tong ke ruangan tersebut. Ketika Zhou Tong melihat pendeta itu dalam hati dia marah, “tak hanya kau tidak membalaskan dendamku, tapi juga kau mengundangnya ke sini dan memberinya kursi kehormatan!”

“Apa kau tahu siapa pendeta ini?” tanya Li Zhong.

“Kalau aku tahu siapa dia, mungkin aku takkan dipukuli!”

Li Zhong tertawa. “Ingat ketika aku bercerita padamu tentang seseorang yang membunuh si Penguasa dari Barat dengan tiga pukulan? Inilah dia orangnya!”

Zhou Tong menepuk dahinya, “Aiya!” teriaknya. Dia maju lalu berkowtow di depan Lu. Pendeta Lu mendekatinya, “tolong jangan sungkan terhadapku,” kata pendeta itu. Lalu mereka bertiga duduk namun pak tua Liu berdiri.

Page 73: 108 Pendekar Liang-Shan

Bab 5Karena Mabuk, Sang Raja Kecil Menyingkapkan Tirai KeemasanLu Sang Pendeta Bertato Membingungkan Desa PersikBagian 4

“Dengarkan aku saudara Zhou,” kata Lu. “Ada beberapa hal yang tidak kau ketahui tentang perjodohan ini dengan anak Kakek Liu. Dia adalah anak Kakek Liu satu-satunya. Dia membutuhkan putrinya untuk mengurusnya dan melanjutkan garis keluarga. Kalau kau membawanya dengan pernikahan, Kakek Liu tak punya lagi seorang anak pun. Dalam hatinya pasti dia tak ingin itu terjadi. Urungkanlah maksudmu menikahi putrinya demi diriku dan pilihlah gadis lain. Ini adalah emas dan sutra yang kau berikan sebagai mas kawin. Bagaimana menurutmu?”

“Karena kau yang memintanya Kakak, aku takkan pernah memasuki gerbang mereka lagi.”

“Seorang pria sejati tak pernah menarik ucapannya,” Pendeta Lu mengingatkannya.

Zhou Tong lalu mematahkan panah sebagai bukti. Kakek Liu lalu membungkuk sebagai rasa terima kasih, mengembalikan emas dan sutra mas kawin dari Zhou Tong, lalu kembali ke kediamannya.

Li Zhong dan Zhou Tong menyuruh menyembelih kerbau dan kuda lalu mengadakan jamuan. Mereka menyenangkan si pendeta selama beberapa hari, mengantarnya melihat pemandangan indah di gunung. Gunung Persik itu memang cukup indah. Terlihat agak liar, gunung ini memiliki tebing yang curam di seluruh sisi yang penuh dengan semak belukar dan puncaknya hanya bisa dicapai dari satu jalur saja.

“Tempat yang bagus untuk menjadi pertahanan,” kata Pendeta Lu.

Dalam beberapa hari dia menyadari bahwa Li Zhong dan Zhou Tong tidaklah begitu dermawan, bahkan mereka cukup pelit. Dia akhirnya memutuskan untuk pergi. Kedua orang itu mencoba sebisa mereka menahan dirinya, namun dia menolak untuk tinggal lebih lama lagi.

“Aku adalah pendeta,” jelasnya. “Aku tak bisa menjadi seorang bandit.”

“Kalau kau bersikeras untuk pergi, saudaraku,” kata Li Zhong, “kami berdua akan turun gunung besok.”

“Semua hasil yang kami dapat, akan kami berikan untukmu untuk biaya perjalanan.”

Hari berikutnya babi dan kambing disembelih dan di benteng itu diadakan pesta perpisahan. Ketika semua telah siap, banyak cawan-cawan arak dari emas dan perak disimpan di atas meja.

Ketika makanan hendak dihidangkan, seorang bandit datang dan melapor. “Ada rombongan dengan dua kereta besar dan sekitar selusin orang lewat di kaki gunung.”

Li Zhong dan Zhou Tong saat itu juga menyiapkan orang-orang mereka, meninggalkan dua bandit untuk menemani Pendeta Lu dan memberinya arak. “Saudaraku,” kata kepala bandit, “silakan minum arak tanpa kami. Kami akan turun gunung untuk menjarah beberapa orang kaya. Kami akan menemanimu setelah selesai.” Kemudian mereka memberi beberapa perintah pada bandit-bandit yang tinggal bersama pendeta Lu

Page 74: 108 Pendekar Liang-Shan

lalu turun gunung bersama orang-orang mereka.“Dasar pelit,” pikir Pendeta Lu. “Mereka tidak memberiku sedikitpun emas dan perak yang ada di sini, tapi malah menunggu untuk merampok terlebih dahulu dan memberiku hasil rampokannya! Itu tak membuat mereka kehilangan apapun. Hanya rombongan pejalan itu yang harus menderita. Aku akan memberi pelajaran pada orang-orang bodoh itu!”

Dia menyuruh dua orang bandit yang menemaninya untuk memberinya arak, lalu dia menegak dua cawan arak. Tiba-tiba, dia melompat bangkit dan memukul rubuh mereka dengan pukulan tepat di muka bandit-bandit itu. Dia lalu mengikat mereka dengan tali. Dia mengosongkan tasnya kecuali hal-hal yang sangat penting, lalu mengambil semua emas dan perak yang ada di atas meja, menginjak-nginjak emas dan perak itu hingga rata lalu memasukannya ke dalam tasnya. Dia memasukan surat dari kepala pendeta dalam sebuah tas kecil berisi sertifikat pendetanya yang dia kenakan di dadanya. Dia menggantungkan pisaunya di pinggangnya, mengambil tongkatnya lalu meninggalkan benteng itu dengan tas penuh jarahannya di atas kepala.

Di pinggir gunung dia melihat ke bawah. Sangat curam dan tak ada jalan untuk turun. “Tapi kalau aku turun melalui jalan depan,” pikirnya, “aku pasti akan bertemu dengan orang-orang itu. Aku lebih baik turun melalui daerah yang rumputnya tebal.”

Dia mengikat hasil jarahan dan pisaunya, kemudian melemparnya ke bawah lalu melemparkan tongkatnya kemudian. Lalu dia pun menuruni tebing, berhasil dengan selamat tiba di bawah tanpa cedera yang berarti. Dia kemudian bangkit dan menemukan tasnya yang terikat bersama pisau, lalu mengambil tongkatnya. Dia memilih sebuah jalan dan menuju Ibukota Timur.

Kembali ke Li Zhong dan Zhou Tong. Di pinggir gunung mereka bertemu dengan sekitar selusin orang. Semuanya memegang senjata. Kepala bandit lalu mengangkat tombaknya dan semua anak buahnya maju. “Kalau kau memiliki akal sehat,” teriak para bandit, “tinggalkan barang kalian dan kalian pun bebas pergi!”

Seseorang dalam rombongan itu, membawa tombak berkampak menyerang Li Zhong. Mereka berkelahi lebih dari sepuluh ronde, sesekali maju, sesekali mundur. Tak ada yang berhasil mengalahkan satu sama lain. Zhou Tong yang marah, berteriak dan menyerang diikuti oleh bandit-bandit lainnya. Rombongan pejalan itu tidak bisa melawan begitu banyak orang. Mereka pun melarikan diri. Beberapa orang terlalu lambat dan sekitar tujuh-delapan orang dibunuh para bandit. Para bandit itu mengambil kereta dan barang berharga yang ditinggalkan lalu kembali ke puncak gunung sembari menyanyikan lagu kemenangan.

Ketika mereka tiba di benteng mereka, mereka menemukan kedua teman mereka terikat. Cawan-cawan emas dan perak yang ada di atas meja hilang. Zhou Tong melepaskan ikatan kedua bandit itu dan bertanya, “di mana Pendeta Lu?”

“Dia memukul dan memikat kami,” jawab mereka. “lalu dia mengambil semua cawan emas dan perak!”

“Maling gendut kurang ajar,” kata Zhou Tong. “Dia mengelabui kita! Ke arah mana kita mencarinya?”

Mereka mencari hingga mereka menemukan jejaknya menuju pinggir gunung. Mereka pun melihat rumput-rumput yang rebah bekas Lu Da.

“Dia adalah penjahat berpengalaman, si keledai gendut itu,” kata Zhou Tong. “Menuruni tebing yang curam dengan cara seperti ini!”

Page 75: 108 Pendekar Liang-Shan

“Ayo kita susul dan tanyai dia,” saran Li Zhong. “kita akan mempermalukan orang ini!”

“Lupakan saja,” kata Zhou Tong. “Tak ada gunanya menutup pintu setelah malingnya pergi. Kemana kita akan mencarinya? Bahkan kalau kita menanyainya, kita takan bisa mengambil barang-barang kita kembali. Aku dan kau tak bisa mengalahkannya dalam berdebat, dan hanya akan membuat kita menjadi tidak enak bila kita bertemu lagi dengannya. Lebih baik kita biarkan hal ini. Di masa depan bila kita bertemu lagi dengannya kita bisa berpura-pura tak ada yang terjadi. Mari kita buka peti-peti di kereta tadi. Kita akan membagi emas, perak dan sutra menjadi tiga bagian. Kau dan aku akan mendapat sebagian, dan sebagian lagi kita bagikan ke anak buah kita.”

“Dia mengambil banyak barang yang merupakan milikmu,” kata Li Zhong. “Karena aku yang membawanya ke sini, kau sebaiknya membawa bagianku juga.”

“Kakak,” kata Zhou Tong, “kita akan selalu bersama-sama, hidup atau mati. Tak perlu memperhitungkan hal-hal kecil antara kita berdua.”

Para pembaca, ingatlah ini: Dari sarang mereka di Gunung Persik, Li Zhong dan Zhou Tong merampok dan menjarah!

Sedangkan Lu, setelah meninggalkan benteng para bandit itu dia berjalan dari pagi hingga sore sejauh lima puluh hingga enam puluh li. Dia kelaparan, tapi tak ada kedai di sepanjang jalan.

“Aku segera pergi tanpa memikirkan hal lain selain pergi dengan cepat,” pikirnya. “Aku tidak punya apapun untuk dimakan. Dimana aku bisa mencari makanan?”

Dia memandang sekeliling. Kemudian dia mendengar di kejauhan suara lonceng. “Bagus,” pikirnya. “Kalau bukan wihara Budha, pasti kuil Tao. Lonceng-lonceng itu tergantung di atap dan angin membuatnya berdenting. Itulah tempat untukku.”

Kalau saja Pendeta Lu tidak pergi ke sana, lebih dari sepuluh nyawa tidak akan melayang malam itu dan sebuah bangunan kuno di gunung suci tidak harus terbakar habis. Tapi apa yang terjadi adalah: api berkobar di ruangan-ruangan keemasan, asap hitam membumbung dari kuil-kuil giok hijau.

Ke bangunan suci manakah Pendeta Lu pergi? Nantikan chapter berikutnya bila kalian ingin tau.