10.bab ii

Upload: muhammad-ilham-fariz

Post on 05-Nov-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

2

TRANSCRIPT

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Saraf Perifer

Sistem saraf perifer merupakan pasangan saraf yang keluar dari otak dan sumsum tulang belakang dan menghubungkan dengan reseptor dan efektor dalam tubuh. Satu-satunya badan sel saraf yang ada dalam sistem saraf perifer adalah neuron sensori yang mengelompok menjadi ganglion di dekat otak dan sumsum tulang belakang dan neuron motor tertentu dari saraf autonom. Pada tiap segmen tubuh vertebrata terdapat satu pasang saraf perifer. Pada sebagian besar saraf spinal, neuron aferen dan eferen terletak berdekatan, tetapi dekat sumsum tulang belakang saraf itu terbagi menjadi akar dorsal dan akar ventral dan neuronnya terpisah. Dalam akar dorsal terdapat terdapat neuron aferen dan mempunyai suatu pembesaran yaitu ganglion akar dorsal. Badan sel dari neuron aferen hampir selamanya terletak dalam ganglion pada saraf kranial dan saraf spinal. Neuron aferen masuk ke dalam sumsum tulang belakang dan berakhir pada sinaps dengan dendrit dari interneuron. Akar ventral mengnadung neuron eferen, badan selnya hampir selalu terletak di bagian ventral dari bagian kelabu (abu-abu) sumsum tulang belakng. Pada vertebrata akar-akar itu bergabung membentuk saraf spinal yang kemudian terbagi menjadi cabang ramus dorsal yang melayani kulit dan otot bagian dorsal tubuh. Dan cabang ramus ventral yang melayani lateroventral tubuh dan biasanya satu atau lebih cabang-cabang penghubung yang melayani alat viseral. Dalam tiap cabangnya terdapat neuron aferen dan eferen (Feriyati dan Lita, 2006).2.1.1 Perkembangan Komponen Motorik dan Sensorik pada Saraf

Akson akan menjadi serat motorik pada sraf cranial dan saraf spinal karena tumbuh dari neuroblas di dalam sistem saraf pusat. Badan sel pada serat motorik terdapat di dalam otak dewasa dan tulang belakang (cord). Serat lain yang tumbuh dari neuroblas pada piringan basal tumbuh keluar dari tabung neuron untuk membuat kontak dengan neuroblas dalam ganglion autonom. Semua saraf motorik memiliki badan sel pada tulang belakang (cord) atau otak dengan satu pengecualian ( saraf post ganglion pada sistem saraf autonom yang memiliki badan sel pada ganglion autonom) (Kaswoto dan Hadi, 1984). 2.1.2 Sel ganglion

Sel ganglion berasosiasi dengan beberapa saraf cranial yang merupakan derivat dari placode ectodermal karena sistem saraf cranial, spinal, dan placodes ektodermal memberikan jumlah yang besar badan sel sensorik yang muncul. Ini merupakan akibat dari pembengkakan ganglion sensorik dalam saraf yang dekat dengan tulang belakang atau otak. Serat saraf olfaktori tumbuh dari neuroblas (derivat dari ektodermal placodes) dalam epitel olfactory embrionik dengan proses yang lama tumbuh ke dalam bagian otak terdekat. Neuroblas memberikan serat sensorik pada saraf optik yang menucul berdiferensiasi dalam lapisan saraf pada retina embrionik. Badan sel pada serat prioseptif 9 serat sensorik yang memonitor aktivitas otot rangka) dalam saraf cranial (kecuali XI dan XII) nukan merupakan ganglion (Kent et al., 2001).

2.2 Cedera Saraf

Cedera saraf perifer akut umumnya terkait dengan trauma, seperti cedera pleksus brakialis, luka traumatis, patah tulang, dan luka menghancurkan. Cedera saraf perifer juga dapat terjadi iatrogenik, yang timbul dalam perjalanan ortopedi elektif rutin. Apapun penyebab cedera saraf perifer, ada beberapa generalisasi tentang sifat dan prognosis. Secara khusus, telah lama diketahui bahwa potensi pemulihan terkait dengan kedua pasien dan faktor cedera. Pemulihan dari yang paling ringan neuropraxias lebih handal daripada pemulihan setelah laserasi lengkap saraf, dan pasien lebih tua dengan konstitusi miskin memiliki prognosis terburuk (Sunderland,1991). Mekanisme cedera kronis pada saraf perifer, seperti dalam terowongan kubiti dan sindrom terowongan karpal. Cedera akut yang tidak mengakibatkan pemutusan lengkap epineurium tampaknya memiliki prognosis yang lebih baik, dan tingkat pemulihan dari cedera ini diyakini diatur oleh logistik transportasi aksonal. Akhirnya, pasien dengan saraf terkoyak kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan dari perbaikan yang mengarahkan serabut saraf terputus. Pertimbangan-pertimbangan ini, meskipun mendalam, tidak menjamin pemulihan dapat diandalkan pasien dengan cedera saraf perifer (Smith et al., 2003).2.2.1 Degenerasi dan Regenerasi Cedera Saraf Perifer

Setelah cedera saraf signaling melalui cedera yang disebabkan debit potensi aksonal, gangguan faktor sasaran yang diturunkan dan sinyal cedera retrograde diangkut dari situs cedera pada sel tubuh memungkinkan neuron untuk merespon trauma. Usulan cedera sinyal penting terdiri dari mikrotubulus tergantung aksonal transportasi mitogen-diaktifkan protein kinase (MAPK) termasuk Erk dan JNK, dan sitokin rilis lokal LIF, IL-6 dan CNTF menyebabkan aktivasi JAKSTAT. Axotomized neuron menanggapi dengan upregulation regenerasi terkait gen dalam hubungan konversi neuron dari pemancar ke keadaan pertumbuhan (Keith Fenrich dan Tessa Gordon, 2004). Transeksi saraf menghasilkan perubahan morfologi dalam perikarya saraf yang dikenal sebagai chromatolysis atau reaksi akson. Perubahan meliputi pembengkakan sel tubuh, nukleolus pembesaran, pemindahan inti ke pinggiran dan pembubaran badan Nissl. Chromatolysis dijelaskan sebagai perubahan dalam metabolisme neuron bertujuan potensi regeneratif meningkat tetapi juga dapat menjadi tanda trauma berat dengan hilangnya volume plasma ayang besar. Akson reaksi dapat mengakibatkan kelangsungan hidup baik dan regenerasi saraf atau kematian neuronal (Keith Fenrich dan Tessa Gordon, 2004). Penentu utama dari tingkat kematian neuronal setelah aksotomi tampaknya menjadi kehilangan target faktor neurotropik yang diturunkan. Selama bertahun-tahun diakui bahwa cedera saraf eksperimental mengakibatkan hilangnya neuron sensorik primer dan baru-baru ini telah dikonfirmasi oleh pengamatan langsungfragmentasi DNA invivo. Tingkat kerugian berkisar antara 7 menjadi 51%, tergantung pada model percobaan yang digunakan. Karena prasyarat pertama untuk regenerasi aksonal adalah kelangsungan hidup neuron yang mempengaruhi cedera, kemungkinan bahwa kematian sel neuron sangat penting untuk hasil regenerasi aksonal dan target organ reinnervation (Keith Fenrich dan Tessa Gordon,2004).

2.2.1.1 Degenerasi Akson

Bila sebuah akson dihancurkan atau diputuskan, degenerasi meluas sedikit proksimal dan pemulihan segera dimulai dengan tampaknya kuncup-kuncup akson baru. Namun ke distal, akson, selubung mielinnya, dan cabang-cabang terminalnya berdegenerasi total. Proses ini biasanya disebut degenerasi wallerian, diambil dari Augustus Waller, seorang dokter Inggris abad XIX. Dalam 24-48 jam mitokondria akson membengkak dan menggumpal, neurofilamen hancur, dan akson tampak berbintik-bintik. Bersamaan waktu selubung myelin hancur, mula-mula berupa kolom-kolom lamel konsentris, kemudian menjadi tetes-tetes lipid sekitar akson. Makrofag kemudian datang dan membersihkan debris (Bloom dan Fawcett, 2002).

Sel Schwann tetap utuh selama degenerasi akson, namun tak lama kemudian terjadi hipertrofi dan juga membelah, berderet sepanjang saraf sebagai rentetan sel panjang, masing-masing terpisah dari yang lain, namun dengan ujung yang saling meliputi, sehingga membentuk tabung yang mengandung cairan dan residu dari akson. Dengan menebalnya dinding tabung, lumennya mengecil dan akhirnya menutup berubah menjadi pita utuh (pita Bungner) yang dapat dikenali dari deretan inti sel Schwann sepanjangnya. Bersamaan dengan perubahan ini, plasmalema sel Schwann dan lamina basal berdekatan memisah dan lamina basal tambahan diletakkan konsentris sekitar pita. Ini berfungsi untuk menghasilkan banyak kompartemen tubuler di antara sel Schwann dan endoneurium, melalui mana kuncup akson tumbuh dari daerah akson yang tak cedera proksimal darinya atau dari akson berdekatan yag utuh. Pita demikian berbulan-bulan menanti tumbuhnya akson yang perlahan ke sasaran perifernya. Jika tidak terjadi regenerasi akson, pita berangsur mengecil oleh jaringan ikat endoneurium yang membungkusnya (Bloom dan Fawcett, 2002).

Degenerasi singkat dan terbatas dari ujung proksimal saraf tepi yang putus biasanya diikuti regenerasi akson. Konus pertumbuhan dan filopodia halus muncul pada ujung proksimal akson yang masih hidup dan mereka dengan perlahan merembet sepanjang permukaan luar kolom sel-sel Schwann dan dengan progresif dibungkus oleh mereka. Kecepatan memanjang akson adalah 3-4 mm per hari, namun jarak yang harus ditempuh mencapai 1 m atau lebih, tergantung tempat cedera awal. Banyaknya kuncup regeneratif dari akson bersangkutan dan kapasitas kolom untuk menampung dan mengarahkan ratusan akson, menjamin reinervasi yang sukses. Pemulihan fungsi tergantung keberhasilan pemulihan hubungan sensoris dan motoris yang sesuai di perifer. Dalam kasus otot yang putus sarafnya, ia pasti telah mengalami sedikit atrofi, dan pemulihan sempurna harus menunggu pemulihannya juga, selain pemulihan transmisi neuromuskuler efektif. Ujung tidak sesuai juga perlu dihilangkan dan remodeling sentral dari lengkung refleks. Fisioterapi intensif untuk mempertahankan dan menguatkan serat-serat otot yang tetap disarafi agaknya juga berperan penting dalam proses pemulihan, yang dapat menghabiskan waktu 2 tahun atau lebih (Bloom dan Fawcett, 2002).

Gambar 2.2.1. Langkah-langkah Regenerasi Akson

Perubahan dalam badan sel saraf setelah pemutusan akson dijelaskan oleh Nissl dalam 1982. Yang terpenting diantaranya adalah kromatolisis rektograd, yaitu hilangnya badan basofilik sitoplasma yang telah lama dikenal sebagai substansi Nissl. Kini diketahui bahwa ia terdiri atas deretan parallel sisterna reticulum endoplasma kasar. Dengan mikroskop cahaya, hancurnya bahan ini pertama kali tampak dekat hilok akson. Ia kemudian menjalar sekitar inti ke bagian lain badan sel. Selain itu, perikarion menarik air dan membengkak dan inti bergeser dari posisi sentralnya yang biasa ke tepian, menjauhi hilok akson. Mikrograf electron menunjukkan terurainya deretan sisterna dari reticulum endoplasma, berkurangnya jumlah ribosom, dan munculnya banyak neurofilamen. Proses ini dimulai kira-kira sehari setelah cederanya akson dan mencapai puncaknya dalam 2 minggu. Ia paling jelas pada neuron motoris namun juga terdapat dalam sel saraf lain dalam derajat bervariasi. Ahli neuroanatomi yang terbiasa dengan pola normal substansi Nissl dalam sel berbagai daerah SSP dapat memutuskan saraf atau jalur dan menetapkan lokasi awalnya dengan mencari neuron dengan kromatolisis. Sebelum adanya teknik untuk mengikuti transport akson ortograd dan retrograde, penelusuran kromatolisis dan degenerasi Waller yang memakan waktu begitu lama itu adalah satu-satunya metoda yang ada untuk mengetahui organisasi SSP (Bloom dan Fawcett, 2002).

Pada umumnya, makin banyak aksoplasma terlepas dari badan sel, makin banyak pula kromatolisisnya. Memotong akson dekat ujung distalnya hampir tidak menimbulkan respons apa-apa. Sebaliknya, jika kerusakan terjadi dekat badan selnya, sel itu mungkin mati, dengan reaksi kromatolisis itu berakibat lisis dari neuron itu. Jika terjadi regenerasi akson itu, perubahan dalam badan sel perlahan pulih, dengan terbentuknya substansi Nissl, kadang-kadang sedemikian rupa sampai kebanyakan. Kembali ke normal memakan waktu berbulan-bulan karena diperlukan usaha metabolik luar biasa untuk membuat jumlah aksoplasma yang mencapai 100-200 kali volume badan selnya. Tidak perlu heran bahwa setelah pemulihan, neuron dapat mati kemudian (Bloom dan Fawcett, 2002). 2.2.1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan AksonKeseimbangan antara pengambilan dan penyisipan membran plasma yang menentukan bentuk dan dimensi neuron harus diatur untuk memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan akson setelah cedera. Mekanisme yang mengatur penyisipan membran, dan bagaimana sejumlah besar bahan membran yang dibutuhkan untuk perpanjangan aksonal setelah trauma yang dipasok ke akson belum diketahui secara pasti. Penelitan terdahulu mengimplikasikan bahwa protein dan lipid disintesis dalam sel tubuh melalui retikulum endoplasma dan kompleks Golgi dan kemudian diangkut sepanjang mikrotubulus dalam bentuk vesikel untuk mencapai lokasi penyisipan membran. Selama 10 tahun terakhir, penelitian menunjukkan bahwa akson memiliki komponen retikulum endoplasma dan Golgi, sehingga mampu melakukan sintesis lipid dan protein sendiri (Tuck dan Cavalli, 2010).Biogenesis membran dalam regenerasi neuron berbeda dengan neuron yang pertumbuhannya tidak aktif. Perluasan retikulum endoplasma dalam badan sel yang terjadi setelah cedera mencerminkan peningkatan sintesis membran. Mekanisme yang mengatur biogenesis membran tidak sepenuhnya dipahami. Baru-baru ini, telah diusulkan bahwa faktor transkripsi memainkan peran non-genomik dalam mengatur regenerasi. Faktor transkripsi c-FOS memiliki, peranan aktivitas faktor transkripsi, untuk mengaktifkan biosintesis fosfolipid dan glikolip yang diperlukan untuk membran biogenesis (Tuck dan Cavalli, 2010).Selain protein, perpanjangan akson membutuhkan penggunaan lipid ke akson. Akson tidak perlu mendapatkan semua lipid dari badan sel karena akson memiliki kapasitas untuk mensintesis fosfolipid. Terpenting, sintesis fosfolipid dari aksonal diperlukan untuk pertumbuhan akson. Sebaliknya, kolesterol tidak dibuat dalam akson, tetapi secara eksklusif dalam badan sel. Dari penelitian didapatkan pasokan kolesterol endogen cukup untuk pertumbuhan akson. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa lipoprotein seperti apoE dapat berfungsi dalam daur ulang lipid dan digunakan kembali untuk membantu perakitan dan regenerasi membrane (Tuck dan Cavalli, 2010).2.2.1.3 Degenerasi Wallerian

Cajal's melakukan pemeriksaan histologis rinci untuk mengidentifikasi degenerasi aksonal, dimulai infiltrasi leukosit ke tunggul saraf distal, pembentukan ovoid sebagai fragmen sel Schwann selubung myelin, dan diferensiasi dari sel Schwann dari myelinating menjadi nonmyelinating. Proses degeneratif ini disebut sebagai degenerasi Wallerian (Keith Fenrich dan Tessa Gordon, 2004).

Degenerasi aksonal dimediasi oleh masuknya kalsium melalui pompa ion yang pada gilirannya, mengaktifkan protease aksonal. Disintegrasi dan degenerasi dari axolemma dan axoplasma terjadi dalam waktu 24 jam pada saraf kecil dan 48 jam di saraf besar. Dalam dua hari pasca cedera, regulasi gen sel Schwann diubah sejak sel-sel mulai meregulasi ulang gen yang menyalin protein mielin dan mulai mengekspresikan regenerasi gen terkait (Regeneration associated genes = RAGs). RAGs termasuk gen yang dapat menyalin protein-43 yang terkait pertumbuhan (GAP-43), faktor-faktor neurotropik dan reseptor terpotong mereka, faktor proliferatif sel Schwann, neuregulin, dan reseptor ERB-nya. Sel Schwann yang mengalami diferensiasi mengumpulkan sisa-sisa sel mielin, bentuk ovoid dari sisa-sisa mielin mereka sendiri, berproliferasi, dan membentuk pita Bungner. Pita ini menyokong akson yang beregenerasi dari tunggul saraf proksimal ke dan melalui tabung endoneurial dari tunggul saraf distal. Pelepasan faktor neurotropik prototipikal, faktor pertumbuhan saraf (NGF) dari fibroblas dan sel Schwann di tunggul saraf distal, mungkin memainkan peran penting dalam proliferasi dan migrasi sel Schwann di seluruh situs cedera, sehingga membantu dalam membimbing neurit tumbuh ke dalam saraf puntung distal (Keith Fenrich dan Tessa Gordon, 2004).

Ada pola yang sangat mencolok pada pelepasan sitokin pro dan anti inflamasi dari sel Schwann setempat, fibroblas dan penarikan makrofag selama degenerasi Wallerian di sistem saraf perifer. Contoh sitokin pro inflamasi adalah TNF- yang diekspresikan dalam makrofag dan sel Schwann seperti pada fibroblas dan sel endotel dalam cedera saraf perifer. Sitokin anti inflamasi termasuk IL-10. Pola pelepasan sitokin pada saraf perifer yang cedera secara erat mengikuti pola pelepasan sitokin yang sama pada luka yang menginduksi inflamasi dari jaringan nonneural, yang mengatur produksi sitokin yang berfungsi untuk memprovokasi inflamasi respon yang terbatas waktu. Respon inflamasi yang terbatas waktu efektif dalam menghilangkan sisa mielin di sistem saraf perifer yang cedera, dimana efek ini kontras dengan pemusnahan sisa-sisa mielin dalam SSP yang cedera oleh populasi makrofag mikroglia (Keith Fenrich dan Tessa Gordon, 2004). 2.2.2 Penyebab Cedera Saraf SciaticaUmumnya menyebabkan nyeri punggung bawah dan nyeri pada kaki. Sciatica ini kebanyakan terjadi oleh karena tekanan pada saraf scitic dari herniasi diskus pad tulang belakang. Sciatica kebanyakan terjadi pada usia 30-50 tahun dan dapat terjadi pada siapa saja. Sciatica umumnya hanya mengenai pada satu sisi dari anggota ekstremitas bawah, dan nyeri akan disalurkan dari punggung bawah dan ke bawah sampai area belakang kaki sesuai dengan alur perjalanan saraf tersebut. Tergantung dari saraf sciatic yang teriritasi atau meradang, nyeri yang timbul juga tersalurkan dari kaki ke tumit. Untuk alasan inilah, jika anda mengalami gejala sciatica, lakukanlah pengecekan pada dokter yang atau physiotherapist untuk memastikan dugaan tersebut (Alharaby dan Shaleh, 2009).

Menurut Alharaby dan Shaleh pada tahun 2009, ada banyak alasan yang dapat menimbulkan sciatica, penyebab paling umum yang dapat menimbulkan sciatica:1. Herniasi DiskusSciatica dapat terjadi ketika salahsatu diskus dari punggung bawah mengalami prostusi (keluar dari tempat semula) dan menekan akar syaraf sciatic. Tekanan dari diskus ini menyebabkan iritasi pada syaraf dan menyebabkan peradangan dan akibatnya timbul nyeri pada sepanjang perjalanan saraf sciatic.2.Lumbal Spinal StenosisLumbal spinal stenosis atau penyempitan lumbal spinalis berarti terjadi penyempitan pada saluran spinalis pada daerah punggung bawah. Ketika saluran spinalis menyempit pada area punggung bawah, penyempitan tersebut dapat menekan syaraf yang merupakan gabungan dari saraf sciatic.3.Piriformis Syndrome.

Otot piriformis adalah otot yang kecil yang letaknyadalam tertutup oleh otot daerah pantat. Otot ini membantu gerakan abduksi atau mengangkat hip kesamping dan eksternal rotasi sendi hip. Perjalanan syaraf sciatic melewati otot ini dan sebagian syaraf ini tertutup juga oleh otot piriformis. Hasilnya ketika otot piriformis menegang akan berpengaruh juga pada syaraf sciatic, sehingga ketegangan otot tersebut dapat menekan syaraf sciatic dan menyebabkan iritasi serta peradangan.2.3 Citicoline2.3.1 PendahuluanCiticoline adalah suatu molekul organik kompleks yang merupakan molekul pengantara dalam biosintesis phosphatidylcholin, suatu komponen utama membran sel saraf. Percobaan pemberian citicoline eksogen pada hewan dan pada percobaan klinis pada manusia menunjukkan bahwa citicoline dapat memberikan efek kolinergik dan neuroprotektif. Sebagai suatu suplemen makanan, citicoline menunjukkan kegunaan untuk meingkatkan intregitas struktural dan fungsional membran sel saraf dan membantu perbaikan membran sel. Beberapa percobaan klinis pada hewan dan manusia mengindikasikan bahwa potensi ini dapat membantu pemulihan difisiensi kognitif, rehabilitasi stroke, pemulihan dari lesi pada otakdan sumsum tulang belakang, penyakit neurologis, dan beberapa kondisi mata (Anonim, 2008).Citicoline telah dipelajari secara ekstensif dalam lebih dari 11 000 sukarelawan dan pasien dengan berbagai neurologis conditions. Uji klinis pertama yang dirancang dengan baik pada pasien stroke akut menunjukkan hasil positif, tetapi ukuran sampel studi ini small. Pada 1990-an, pengembangan klinis citicoline untuk pengobatan stroke iskemik akut dimulai di Amerika States. Tahap pertama AS II hingga III trial dilakukan untuk mengevaluasi efek 3 dosis (500, 1000, dan 2000 mg/d) dari citicoline dibandingkan dengan plasebo. Pengobatan citicoline pada 500 dan 2000 mg/d menunjukkan peningkatan yang signifikan dari neurologis (National Institutes of Health Stroke Scale [NIHSS]), (Indeks Barthel [BI]) fungsional, dan global (Skala Rankin dimodifikasi [MRS]) hasil dibandingkan dengan plasebo 12 minggu setelah onset stroke (Anonim, 2008).

Dalam studi kedua, pengobatan dengan citicoline 7 500 mg menunjukkan manfaat yang signifikan dalam subkelompok pasien dengan stroke sedang sampai berat (dasar NIHSS 8) dalam hal pemulihan fungsional (BI 95) dibandingkan dengan plasebo. Para trial terakhir ini dirancang untuk mengkonfirmasi efek citicoline 2000 mg / d pada hasil neurologis dan fungsional pasien dengan moderat untuk stroke iskemik akut. Penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada titik akhir primer ( 7-poin perbaikan dalam skor NIHSS). Namun, analisis posthoc menunjukkan potensi manfaat citicoline dalam penilaian klinis seperti MRS. Dalam penilaian radiologi, itu menunjukkan bahwa citicoline mampu menginduksi penurunan volume infark pada beberapa patients. Dalam semua studi ini, keamanan keseluruhan citicoline adalah mirip dengan plasebo (Anonim, 2008).

2.3.2 Biokimia CiticolineCiticoline tergolong dalam kelompok vitamin B. Molekul ini dapat melayani 3 jalur yang berbeda dalam metabolismenya dalam tubuh, yaitu sintesa membran sel fosfolopid melalui pembentukan phosphatidylcholine(1), sintesa asetilkolin(2), dan oksidasi menjadi betaine, yang berfungsi sebagai donor metil(3) (Anonim, 2008).

Pada proses sintesa membran sel fosfolipid, pembentukan citicoline dari choline adalah rate limiting step. Artinya seluruh sintesa membran sel akan segera terhambat apabila proses ini lambat atau terhenti. Citicoline yang diabsorbsi dalam pencernaan akan diserap dalam bentuk cholinedan cystidine.Choline yang diserap akan menjadi cadangan choline oleh tubuh untuk mempertahankan membran sel dan juga untuk mencegah disintegrasinya (Anonim, 2008).

2.3.3 Farmakokinetik

Biovaibilitas citicoline oral lebih dari 90%. Studi pada farmakokinetik citicoline menunjukkan pada orang dewasa yang sehat, citicoline diserap secara cepat dan tidak lebih dari 1% yang ditemukan dalam feses. Kadar citicoline dalam darah akan meningkat dengan karakteristik bifasik, yakni 1 jam setelah ingesti secara oral dan 24 jam setelah dosis tersebut diberikan (Gray T et al., 1983).

Citicoline dihidrolisis dalam usus dan hati. Produk hasil hidrolisis pada dinding usus berupa choline dan cystidine. Didalam tubuh kedua senyawa ini terdistribusi dalam jaringan, termasuk susunan saraf pusat dan mengalami resitensis menjadi citicoline olh enzim cytidine-triphosphate-posphocholine cytidylyl transferase. Pemeriksaan kinetik citicoline radioaktif menujukkan bahwa 0,5% radioaktivitas total ditemukan dalam SSP. Asupan SSP meningkat hingga ~ 2% bila citicoline diberikan secara intravena. Pemberian dalam liposom meningkatkan transport citicoline kedalam SSP (Anonim, 2008).

Eliminasi citicoline terutama lewat pernapasan (CO2) dan urin, waktu paruh eliminasi 56 jam untuk CO2 dan 71 jam untuk urin. Citicoline endogen berperan sebagai intermediate dalam biosintesis fosfolipid. Pemberian citicoline pada tikus meningkatkan kadar fosfatidilkolin, fosfatidiletanolamin dan fosfatidilserin dalam otak (Anonim, 2008).

2.3.4 Mekanisme Aksi CiticolineMekanisme dari peranan citicoline sebagai prekursor membran sel telah banyak dipelajari dalam percobaan dengan hewan . Otak menggunakan citicoline lebih banyak untuk sintesa asetilkolin dari pada pembentukan phosphatidylcholine. Bahkan dalam keadaan tingkat choline yang rendah di otak, phosphatidylcholine dapat dihidrolisa untuk dapat mendapatkan tambahan choline. Tambahan choline eksogen dapat melindungi struktur dan integritas membran sel (Anonim, 2008).

Citicoline telah banyak diteliti sebagai terapi untuk pasien stroke. Terdapat 3 teori yang dipostulatkan mengenai bagaimana citicoline dapat membantu penderita stroke, yaitu perbaikan membran sel saraf melalui peningkatan sintesis phosphatidylcholine(1), perbaikan neuron kolinergik yang rusak melalui potensiasi dari produksi asetilkolin(2), dan pengurangan dari penumpukan asam lemak bebas pada fokus-fokus kerusakan akibat stroke(3)(Anonim, 2008).2.3.5 Aktivitas Afferent Spontan Post InjuriSebuah teori yang sudah diuji dan diakui sebagai salah satu teori pada nyeri adalah bahwa pada suatu kerusakan akut pada saraf akan terjadi peningkatan aktivitas afferent spontan. Berdasarkan teori tersebut Xie dkk melakukan sebuah eksperimen menggunakan dua kelompok tikus model untuk penelitian nyeri neuropatik yaitu model CCI dan SNI. Didapatkan hasil bahwa block lokal temporer terhadap aktivitas afferent akan menghambat secara permanen berkembangnya hiperalgesia termal dan alodinia mekanikal. Pada penelitian ini waktu dilakukannya blockade terhadap saraf yang mengalami injuri adalah hal yang paling penting dan harus dilakukan minimal 3-5 hari post injuri, Lebih efektif lagi jika dilakukan segera setelah injuri. Tindakan ini tidak akan efektif jika dilakukan setelah 10 hari post injuri pada saat nyeri neuropatik sudah muncul secara klinis. Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas afferent spontan pada serabut saraf post injuri merupakan kunci pemicu bagi berkembangnya prilaku nyeri (Chung et al., 2004).Dalam penelitian ini blok terhadap saraf yang mengalami injuri menggunakan anastesi local yaitu bupivacaine yang merupakan suatu membrane stabilizer. Penulis berasumsi bahwa bila suatu zat yang bersifat membrane stabilizer yang menghambat terjadinya aktivitas afferent spontan ternyata dapat berefek mencegah terjadinya neuropatik pain, maka ada kemungkinan sebuah intervensi yang dilakukan untuk membantu sintesis dan perbaikan membrane post injuri juga dapat berperan untuk mencegah terjadinya nyeri neuropatik. Karena dengan perbaikan membrane, aktivitas ektopik afferent yang terjadi akibat kerusakan membrane dapat dihambat. Salah satu cara untuk memperbaiki membrane sel saraf adalah dengan memberikan zat neuroprotektor seperti citicoline (Chung et al., 2004).2.3.6 Toksikologi

Letal Dosis 50 (LD50) citicoline IV adalah 4.600 mg/kgBB (mencit) dan 4.150 mg/kgBB (tikus). LD50 oral tidak dapat ditentukan karena tidak ada kematian pada dosis maksimum yang dapat dicoba (Gray T et al, 1983).

Pada pemeriksaan toksisitas subkronik 30 hari, citicoline per oral dosis 100-150 mg/kgBB tidak menghasilkan kelainan parameter biokimia, histologi dan urinalisis. Pemberian oral citicoline 1.5 g/kgBB secara kronik selama 6 bulan pada anjing tidak menyebabkan kelainan fisiologi, biokimia, neurologi dan morfologi. Pada manusia sukarelawan sehat yang mendapat 600 mg, 1000 mg dan plasebo selama 5 hari berturut-turut dalam studi silang, nyeri kepala sementara didapatkan pada 4 individu yang mendapat 600 mg, 5 individu yang mendapat 1000 mg dan 1 pada plasebo. Tidak tampak kelainan hematologi, biokimia klinik dan uji neurologi. Uji keamanan klinis atas 281 pasien usia 60-80 tahun dengan insufisiensi vaskular otak menunjukkan 5% mengalami efek samping sementara berupa sakit perut dan diare. Sebagian kecil berupa hipotensi, takikardia, bradikardia dan demam (Gray T et al., 1983).2.4 Hewan Coba

Hewan coba atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan yang khusus diternakkan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan labboratorium tersebut digunakan sebagai model untuk peneltian pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia. Beberapa jenis hewn dari yang ukurannya terkecil dan sederhana ke ukuran yang besar dan lebih kompleks digunakan untuk keperluan penelitian ini, yaitu: Mencit, tikus, kelinci, dan kera (Tirta dan Nyoman, 1999).Konsumsi pakan per hari

Konsumsi air minum per hari

Ekskresi urine per hari

Lama hidup

Bobot badan dewasa

Jantan

Betina

Bobot lahir

Dewasa kelamin (jantan=betina)

Siklus estrus (menstruasi)

Umur sapih

Mulai makan pakan kering

Rasio kawinJumlah kromosomLaju respirasi

Denyut jantungPengambilan darah maksimum

Kadar Haemoglobin5 g/100 g bb

8-11 ml/100 g bb

5,5 ml/100 g bb

2,5- 3 tahun

300-400 g

250-300 g

5-6 g

50+10 hari

5 hari (polyestrus)

21 hari, 40-50 g

12 hari

1 jantan 3 atau 4 betina4285 x/mn

300 500 x/mn5,5 ml/kg

15,6 gr/dl

2.4.1 Data Biologik

(Smith dan Mangkuwidjojo, 1988)2.4.2 Cara HandlingPertama, ekor dipegang sampai pangkal ekor. Kemudian telapak tangan menggenggam melalui bagian belakang tubuh dengan jari telunjuk dan jempol secara perlahan diletakkan disamping kiri dan kanan leher. Tangan yang satu lagi membantu dengan menyangga di bawahnya, atau tangan lainnya dapat digunakan untuk menyuntik (Smith dan Mangkuwidjojo, 1988).

Gambar 2.4.2. Cara memegang tikus untuk dilakukan injeksi ip.

Gambar 2.4.2. Cara memegang tikus2.4.3 Penandaan (Identifikasi) Hewan Laboratorium.

Beberapa cara penandaan hewan laboratorium dilakukan untuk mengetahui kelompok hewan yang diperlakukan berbeda dengan kelompok lain. Penandaan ini dapat dilakukan secara permanen untuk penelitian jangka panjang (kronis), sehingga tanda tersebut tidak mudah hilang, yaitu dengan ear tag (anting bernomor), tatoo pada ekor, melubangi daun telinga dan elektronik transponder (Smith dan Mangkuwidjojo, 1988).

2.5 Analisis Walking Track

Analisis Walking Track pertama kali dijelaskan oleh de Medinaceli et al. pada tahun 1982. Pendekatan yang mereka lakukan ini semakin digunakan oleh para peneliti yang berhubungan dengan saraf. Ini menggabungkan kiprah analisis dan hubungan temporal dan spasial satu jejak yang lain selama berjalan. Analisis data mereka memerlukan rumus matematika yang sangat rumit yang diperoleh secara empiris, membandingkan empat pengukuran antara eksperimental dan normal sisi. Nilai numerik dari rumus disebut indeks fungsi skiatik (SFI). Indeks ini mengukur pemulihan fungsional yang telah digunakan oleh para peneliti dengan hasil yang konsisten (Medinaceli et al., 1982).Penggunaan analisis walking track merupakan salah satu metode yang noninvasif untuk menilai status fungsional dari saraf siatik selama proses regenerasi. Karena berjalan yang tepat membutuhkan fungsi terkoordinasi melibatkan masukan sensorik, respon motorik, dan integrasi kortikal, SFI karena itu mungkin lebih baik dari hanya menggunakan elektrofisiologi dasar dan histomorphometry pertumbuhan akson dan reinnervation otot, jika fokus penelitian kekhawatiran hasil fungsional (Medinaceli et al., 1982).2.6 Kerangka Teori

Cedera saraf perifer

Degenerasi akson

Regenerasi akson

Protein lipid kolesterol

citicoline eksternaMembantu pertumbuhan akson mencapai target

Neuroma tidak terbentuk

Perbaikan Status Fungsional2.7 Kerangka Konsep

Citicoline

Perbaikan Staus Fungsional

Cedera saraf

4