1120025074-3-bab ii

Upload: herman-sutanto

Post on 28-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    1/29

    8

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Sumber Daya Manusia Kesehatan

    Sumber daya manusia merupakan aset RS yang penting dan merupakan sumber

    daya memiiki peran besar dalam pelayanan RS (Subarguna & Sumarni 2004). SDM

    adalah tenaga kerja, pekerja, karyawan, potensi manusiawi sebagai penggerak

    organisasi dalam mewujudkan eksistensinya, atau potensi yang merupakan aset dan

    berfungsi sebagai modal non material dalam organisasi bisnis, yang dapat

    diwujudkan menjadi potensi nyata secara fisik dan non fisik dalam mewujudkan

    eksistensi organisasi (Nawawi, 2008).

    Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014

    tentang tenaga kesehatan yang dimaksud SDM Kesehatan (Sumber Daya Manusia

    Kesehatan) terdiri tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan

    adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki

    pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang

    untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

    Asisten tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang

    kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan

    bidang kesehatan di bawah jenjang diploma tiga.

    SDM kesehatan harus diberikan pelatihan agar meningkat kemampuannya,

    perlu dikembangkan kondisi pekerjaan mulai alat hingga aturan agar saling

    mendukung bagi terciptanya pelayanan yang bermutu sehingga kepercayaan akan

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    2/29

    9

    meningkat yang merupakan dasar perkembangan bagi pelayanan kesehatan

    (Subarguna & Sumarni, 2004).

    Seluruh prosesnya tergambar dalam skema berikut ini :

    Gambar 2 1.Skema Peran SDM RS

    Sumber : Buku Sumber Daya Manusia RS Subarguna & Sumarni, 2004

    2.2 Manajemen Sumber Daya Kesehatan

    Pelayanan kesehatan seperti RS yang bermutu pasti menggunakan pendekatan

    manajemen sehingga pengelola pengelolahannya menjadi efektif, efisien, dan

    produktif (Muninjaya, 2012). Tercapainya mutu pelayanan di RS melalui kegiatan

    manajemen sumber daya manusia atau yang disebut juga manajemen ketenagaan di

    RS yang meliputi analisis kini dan mendatang tentang kebutuhan tenaga, penarikan,

    seleksi, penempatan yang sesuai penempatan, promosi, pensiun, pengembangan

    karier, pendidikan dan pelatihan (Aditama, 2004).

    Dimasa depan, manajemen SDM menjadi hal yang sangat potensial untuk

    diperhatikan oleh para pemimpin RS. Ketepatan dalam pemilihan, penerimaan,

    pengelolaan dan pengembangan SDM RS merupakan kunci sukses RS untuk dapat

    KEPERCAYAAN

    PELAYANAN

    BERMUTU

    KEMAMPUAN

    PETUGAS

    KONDISI

    KERJA

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    3/29

    10

    berkembangan dimasa depan (Ilyas, 2011). Kebutuhan SDM di RS setidaknya perlu

    mempertimbangkan standar pelayanan, beban kerja, dan jenis profesi (Sarbaguna &

    Sumarni, 2004).

    Manajemen Sumber Daya Manusia menurut Marwansyah (2010) dapat

    diartikan sebagai pendayagunaan sumber daya manusia di dalam organisasi, yang

    dilakukan melalui fungsi-fungsi perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen dan

    seleksi, pengembangan sumber daya manusia, perencanaan dan pengembangan karir,

    pemberian kompensasi dan kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja, dan

    hubungan industrial. Menurut Dessler (2011) manajemen sumber daya manusia

    adalah kebijakan dan praktik menentukan sumber daya manusia dalam posisi

    manajemen, termasuk merekrut, menyaring, melatih, memberi penghargaan, dan

    penilaian. Menurut Hasibuan (2012)MSDM sebagai ilmu dan seni yang mengatur

    hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien dalam penggunaan

    kemampuan manusia agar dapat mencapai tujuan di setiap perusahaan. Manajemen

    ketenagaan di RS meliputi kegiatan proses diantaranya penerimaan pegawai,

    penempatan pegawai, konpensasi pegawai, pengembangan mutu dan karier pegawai

    serta akhirnya pengehentian kerja di RS (Aditama, 2004).Dari beberapa teori diatas

    dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia kesehatan adalah segala

    usaha yang dilakukan untuk menambah nilai dari sumber daya manusia kesehatan

    tersebut dalam kaitannya dengan mencapai tujuan pelayanan kesehatan.

    2.3 Perencanaan Sumber Daya Manusia

    Proses perencanaan SDM (Human Resource Planning) berarti usaha untuk

    mengisi/menutup kekurangan tenaga kerja baik secara kuantitas maupun kualitas.

    Pemanfaatan sumber daya manusia akan lebih efsien dan optimal setelah ada

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    4/29

    11

    perencanaan yang cermat. Perencanaan SDM juga merupakan serangkaian kegiatan

    untuk menentukan jumlah dan jenis SDM yang diperlukan oleh suatu organisasi

    untuk masa yang akan datang (Sunyoto, 2012). Perencanaan sumber daya manusia

    adalah proses penetuan kebutuhan sumber daya manusia dalam suatu organisasi

    memiliki jumlah serta kualifikasi orang yang tepat (Hajar & Heru, 2010). Dari

    beberapa pengertian tadi, maka perencanaan SDM adalah serangkaian kegiatan atau

    aktivitas yang dilakukan secara sistematis dan strategis yang berkaitan dengan

    peramalan kebutuhan tenaga kerja dimasa yang akan datang dalam suatu organisasi

    dengan menggunakan sumber informasi yang tepat.

    Griffith dalam buku The Well Managed Community Hospital (1987, dalam

    Aditama, 2004) bahwa kegiatan dalam perencanaan meliputi mengantisipasi jumlah

    dan jenis pekerjaan yang dibutuhkan, jadwal waktu untuk recruitment, retraining

    dan pemutusan hubungan kerja bila dibutuhkan, gaji dan kompensasi yang akan

    diberikan. Dengan terpenuhinya jumlah SDM yang sesuai dengan uraian pekerjaan

    di tiap-tiap unit kerja, maka pelayanan akan menjadi lebih maksimal. Oleh karena

    itu, diperlukan perencanaan untuk pengambilan keputusan kebutuhan tenaga kerja

    sesuai uraian pekerjaan yang ada agar pelayanan yang diberikan dapat berjalan

    secara maksimal.

    2.3.1 Tujuan Perencanaan SDM

    Dengan melakukan perencanaan SDM, maka terdapat beberapa tujuan yang

    didapatkan oleh organisasi. Menurut Hasibuan (2007) tujuan perencanaan SDM

    diantaranya :

    1.

    Untuk menentukan kualitas dan kuantitas karyawan yang mengisi jabatan .

    2. Tersedianya tenaga kerja masa kini dan masa depan.

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    5/29

    12

    3. Untuk menghindari missmanajemen dan tumpang tindih dalam pelaksanaan

    tugas.

    4.

    Sebagai kordinasi,integrasi dan sinkronisasi sehingga produktifitas meningkat

    5. Untuk menghindari kekurangan dan kelebihan karyawan.

    6. Menjadi pedoman dalam menentukan program penarikan,seleksi,

    pengembangan, konpensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, kedisplinan, dan

    pemberhentian karyawan.

    7. Menjadi dasar dalam penilaian kerja.

    Dengan kata lain, tujuan perencanaan SDM adalah untuk mempergunakan

    SDM seefektif mungkin agar memiliki sejumlah pekerja memenuhi

    persyaratan/kualifikasi dalam mengisi posisi yang kosong kapan pun dan apapun

    posisi tersebut.

    2.3.2 Manfaat Perencanaan SDM

    Perencanaan SDM disuatu lingkungan organisasi/institusi memberikan manfaat

    menurut Nawawi (2003) antara lain :

    1. Pendayagunaan SDM akan lebih efisien dan efektif karena perencaanaan

    SDM harus dimulai dengan kegiatan pengaturan kembali atau penempatan

    ulang SDM yang dimiliki. Hal ini yang dapat memberikan konstibusi

    maksimal pada pencapaian tujuan organisasi.

    2. Menyelaraskan aktifitas SDM berdasarkan potensi dengan tugas-tugas yang

    sasarannya berpengaruh pada peningkatan efisiensi dan efektifitas pencapaian

    tujuan organisasi.

    3. Menghemat pembiayaan dan tenaga dalam melaksanakan rekruitmen dan

    seleksi.

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    6/29

    13

    4. Perencanaan SDM yang profesional mendorong organisasi menciptakan

    sistem informasi SDM agar lebih akurat dan dapat digunakan untuk kegiatan

    manajemen SDM lainnya

    2.3.3 Faktor-Faktor Mempengaruhi Perencanaan SDM

    Perencanaan SDM dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari

    dalam organisasi atau internal, luar organisasi atau eksternal. Faktor-faktor yang

    dimaksud antara lain :

    1. Faktor Internal

    Faktor internal adalah berbagai kekuatan dan kelemahan yang dimiliki

    organisasi dan juga segala kendala permasalahan yang ada dalam organisasi. Adapun

    faktor internal menurut: rencana strategik, anggaran, estimasi, produksi dan

    penjualan, usaha atau kegiatan baru dan rancangan organisasi serat tugas pegawai.

    (Maimun, 2008)

    2.Faktor eksternal

    Faktor eksternal adalah segala sesuatu yang berada di luar organisasi yang

    bisa berpengaruh langsung maupun tidak langsung dalam pencapaian tujuan

    organisasi. Faktor eksternal menurut Siagian (2011) adalah situasi ekonomi, sosial,

    budaya, politik pertauran perundang-undangan, teknologi. Jika dibandingkan

    diantara keduanya maka pendapat Siagian membahas tentang adanya pesaing.

    Pesaing inilah mempngaruhi kelangsungan sebuah organisasi (Taufiq, 2005)

    2.4 Instalasi Farmasi Rumah Sakit

    Instalasi farmasi merupakan unit di RS yang mengadakan barang farmasi

    mengelola dan mendistribusikan kepada pasien bertaggung jawab atas semua barang

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    7/29

    14

    farmasi yang beredar di RS dan berperan dalam proses pengadaan dan menyajikan

    informasi obat yang siap pakai bagi semua unit RS baik petugas maupun pasien

    (Aditama, 2004).Instalasi Farmasi RS dapat didefinisikan sebagai suatu departemen

    atau unit atau bagian di suatu RS di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu

    oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-

    undangan yang berlaku dan kompeten secara professional, tempat atau fasilitas

    penyelenggaraan yang bertanggungjawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan

    kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup perencanaan,

    pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan farmasi,

    dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat tinggal dan rawat jalan,

    pengendalian mutu, pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh

    perbekalan kesehatan di rumah sakit, serta pelayanan farmasi klinik umum dan

    spesialis, mencakup pelayanan langsung pada penderita dan pelayanan klinik

    yang merupakan program RS secara keseluruhan (Siregar, 2004).

    2.4.1 Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit

    Pelayanan kefarmasian meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat

    manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

    habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung

    oleh sumber daya manusia, sarana, dan peralatan (Permenkes, 2014). Tugas IFRS,

    meliputi:

    1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh

    kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai

    prosedur dan etik profesi.

    2. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

    habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien.

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    8/29

    15

    3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi, alat

    kesehatan, dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek terapi dan

    keamanan serta meminimalkan risiko.

    4. Melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) serta memberikan

    rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien.

    5.

    Berperan aktif dalam tim farmasi dan terapi.

    6.

    Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan

    kefarmasian.

    7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan

    formularium RS.

    2.4.2 Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

    1. Memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai

    berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang

    berlaku.

    2. Memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai

    untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di RS.

    3. Menerima sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai

    sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku.

    4.

    Menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai

    sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian.

    5. Mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

    pakai ke unit-unit pelayanan di RS.

    6. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu.

    7. Melaksanakan pelayanan obat/dosis sehari.

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    9/29

    16

    8. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

    bahan medis habis pakai.

    9.

    Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan

    sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.

    10. Melakukan pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

    bahan medis habis pakai yang sudah tidak dapat digunakan.

    11.

    Mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

    habis pakai.

    12. Melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

    bahan medis habis pakai (Permenkes, 2014).

    2.4.3 Manfaat Instalasi Farmasi Bagi Rumah Sakit

    Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelayanan pada pasien meliputi

    pelayanan yang cepat, ramah, dan jaminan obat tersedia dalam kualitas baik, harga

    yang kompetitif, adanya kerjasama dengan unsur lain di RS, seperti dokter dan

    perawat, lokasi apotek, kenyamanan dan keragaman komoditi (Aditama, 2004).

    Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun

    2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di RS, instalasi farmasi sebagai satu-

    satunya penyelenggara pelayanan kefarmasian, sehingga RS akan mendapatkan

    manfaat dalam hal :

    1. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan sediaan farmasi, alat

    kesehatan, dan bahan medis habis pakai .

    2. Standarisasi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BHP.

    3. Penjaminan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BHP.

    4. Pengendalian harga sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BHP.

    5. Pemantauan terapi obat.

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    10/29

    17

    6. Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan sediaan farmasi, alat

    kesehatan, dan BHP.

    7.

    Kemudahan akses data sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

    habis pakai yang akurat.

    8. Peningkatan mutu pelayanan RS dan citra RS.

    9.

    Peningkatan pendapatan RS dan peningkatan kesejahteraan pegawai.

    2.5 Definisi, Peran dan Fungsi Apoteker dan Tenaga teknis kefarmasian bagian

    2.5.1 Definisi Apoteker

    Dalam meningkatkan kualitas pelayanan farmasi dibutuhkan tenaga apoteker

    yang profesional. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker

    dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Permenkes, 2014). Definisi

    apoteker menurut Putra (2013) adalah sarjana lulusan farmasi.

    2.5.2 Peran Apoteker

    Peran apoteker atau farmasis dalam pelayanan kesehatan menurut WHO

    mengistilahkan dengan 7 kriteria yaitu :

    1. Care-Giver

    Apoteker/farmasis harus mengintegrasikan pelayanan pada sistem pelayanan

    kesehatan secara berkesimbungan dan pelayanan farmasi yang dihasilkan dasar

    dalam menentukan pendidikan dan pelatihan.

    2. Decision-Maker

    Apoteker/farmasis menjalani pekerjaan berdasarkan pada kecukupan serta

    keefekifan dan keefiesienan penggunaan sumber daya manusia, obat, bahan kimia,

    peralatan, prosedur dan pelayanan. Kemampuan apoteker/farmasis harus diukur dan

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    11/29

    18

    hasilnya dijadikan dasar dalam menentukan pendidikan dan pelatihan yang

    diperlukan.

    3.

    Communicatory

    Apoteker/farmasis harus menjalin hubungan dengan pasien atau profesi

    kesehatan lainnya. Dimana apoteker memiliki kemampuan berkomunikasi yang

    cukup baik. Meliputi komunikasi verbal dan non verbal, mendengar, serta

    kemampuan menulis dengan menggunakan bahasa yang baik.

    4. Leader

    Apoteker/farmasis dituntut memliki kemampuan menjadi pemimpin karena

    harus dapat mengambil keputusan yang efektif, kemampuan untuk

    mengomunikasikan serta kemampuan mengelola hasil keputusan.

    5. Manager

    Apoteker/farmasis harus efektif dalam mengelola sumber daya informasi yang

    ada. Didalam tim kesehatan seorang apoteker harus bisa bekerjasama dimana dapat

    dipimpin maupun jadi pemimpin.

    6. LifeLong Learner

    Apoteker/farmasis harus selalu menggali ilmu sedalam-dalamnya. Hal ini untuk

    meningkatkan keahlian dan keterampilan.

    7.

    Teacher

    Apoteker/farmasis memiliki tanggung jawab mendidik dan melatih generasi

    selanjutnya. Partisipasi tidak hanya berbagi pengetahuan namun juga berbagi

    pengalaman (Putra ,2013).

    Sedangkan menurut PP No 51 tahun 2009 ada dua peran penting apoteker.

    Pertama, melaksanakan fungsi pengadaan obat dan perbekalan kesehatan lainnya

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    12/29

    19

    sesuai dengan ketentuan dan sarana yang dimiliki. Kedua, melakukan penyimpanan

    obat dan perbekalan kesehatan dengan baik sesuai dengan sifat bahan.

    2.5.3 Fungsi Apoteker

    Fungsi apoteker di RS berdasarkan Kepmenkes 1197/Menkes/SK/X/2004

    yaitu sebagai pengelola perbekalan farmasi dan pelayanan kefarmasian dalam

    penggunaan obat dan alat kesehatan. Berikut penjelasan lengkapnya :

    1. Fungsi Pengelolahan Perbekalan Farmasi

    a.

    Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan RS merencanakan

    kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal. Contoh kegiatan fungsi

    apoteker sebagai pengelolahan Farmasi antara lain :

    1) Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan

    kesehatan di RS menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi

    dan ketentuan yang berlaku.

    2)

    Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan

    persyaratan kefarmasian.

    3) Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di RS.

    b. Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah

    dibuat sesuai ketentuan yang berlaku.

    2.

    Fungsi Pelayanan Kefarmasian Dalam Pengelolahan Obat dan Alat Kesehatan

    Fungsi pelayanan kefarmasian diantaranya :

    a. Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien contohnya melakukan

    pencampuran obat suntik, penyiapan nutrisi parenteral, penanganan obat

    kanker, penentuan kadar obat dalam darah, melakukan pencatatan setiap

    kegiatan.

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    13/29

    20

    b. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat

    kesehatan.

    c.

    Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan

    d. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga contohnya

    melaporkan kegiatan.

    3.

    Fungsi Pelayanan Klinik

    Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014

    Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di RS pelayanan farmasi klinik yaitu

    pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka

    meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping

    karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas

    hidup pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan klinik diantaranya :

    a. Pengkajian dan Pelayanan Resep

    Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,

    pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

    pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian

    informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan

    terjadinya kesalahan pemberian obat.

    Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan

    masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker

    harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan

    farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.

    b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat

    Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan

    informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    14/29

    21

    digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam

    medik/pencatatan penggunaan obat pasien.

    c. Rekonsiliasi Obat

    Rekonsiliasi obat adalah proses membandingkan instruksi pengobatan dengan

    obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya

    kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan

    dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat (medication error) dapat terjadi pada

    pemindahan pasien dari satu RS ke RS lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien

    yang keluar dari RS ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.

    d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

    Pelayanan informasi obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian

    informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan

    komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat,

    profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar RS.

    e. Konseling

    Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait

    terapi obat dari apoteker kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk

    pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan

    atas inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya.

    Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau

    keluarga terhadap apoteker.

    6. Visite

    Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan

    apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi

    klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    15/29

    22

    obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional,

    dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan

    lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar RS baik atas

    permintaan pasien maupun sesuai dengan program RS yang biasa disebut dengan

    pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care).

    7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

    Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup

    kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.

    8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

    Monitoring efek samping obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap

    respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang

    digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping

    obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja

    farmakologi.

    9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

    Merupakan program evaluasi penggunaan obat mendapatkan gambaran

    keadaan saat ini atas pola penggunaan obat.

    10. DispensingSediaan Steril

    Dispensing sediaan steril harus dilakukan di IFRS untuk menjamin sterilitas

    dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta

    menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.

    11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)

    Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil

    pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena

    indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari apoteker kepada dokter.

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    16/29

    23

    2.5.4 Definisi Tenaga teknis kefarmasian

    Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam

    menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya

    farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah, farmasi/tenaga teknis kefarmasian

    bagian (Permenkes, 2014).

    2.5.5 Peran Tenaga Teknis Kefarmasian

    Peran tenaga teknis kefarmasian yang telah mengucapkan sumpah, memiliki

    ijasah dan mendapat surat ijin kerja yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan

    Republik Indonesia dalam menjalankan pekerjaannya dan standar profesinya harus

    di bawah pengawasan apoteker merupakan ujung tombak dari pelayanan di instalasi

    farmasi, memberikan pelayanan kepada pasien serta memberikan informasi tentang

    obat dan perbekalan kesehatan yang ditulis dokter dalam resepnya (Permenkes,

    2014).

    2.5.6 Fungsi Tenaga Teknis Kefarmasian

    Dalam penelitian Karina (2012) tenaga teknis kefarmasian bagian memiliki

    dua fungsi yaitu tugas fungsional dan tugas administrasi yang dikerjakan di bawah

    pengawasan apoteker. Berikut penjabarannya :

    1. Tugas fungsional

    a. Memberikan pelayanan resep baik rawat jalan dan rawat inap meliputi

    penerimaan resep, penghargaan, pelabelan, peracikan obat, penyerahan

    sampai pengemasan, dan memberikan edukasi kepada pasien tentang cara

    pemakaian obat.

    b.

    Menjaga komunikasi dengan perawat dan dokter.

    c.

    Mengatur perbekalan farmasi.

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    17/29

    24

    d. Melayani return obat dari ruang perawatan.

    e. Menginformasi stok obat harian.

    2.

    Tugas administrasi

    a. Mencatat segala sesuatu di dalam buku operan jika melakukan

    perpindahan kerja.

    b.

    Pencatatan stok obat dan bahan habis pakai didalam buku permintaan

    barang gudang.

    c. Mencatat pengeluaran obat dan BHP.

    d. Mencatat pengembalian dan pembelian obat/BHP .

    2.6 Perencanaan Kebutuhan Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian

    Salah satu data pendukung yang menurut peneliti perlu dijadikan bagian

    tersendiri adalah penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang

    sedang dibahas dalam penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti melakukan langkah

    kajian terhadap beberapa hasil penelitian terdahulu. Berdasarkan penelitian Syukraa

    (2012) metode yang dapat digunakan untuk penyusunan kebutuhan SDM antara lain :

    1. Metode Kebutuhan (Health Need Method)

    Kebutuhan tenaga SDM RS dihitung menggunakan metode kebutuhan

    berdasarkan penghitungan jumlah dan jenis tenaga judgment dari pakar yang

    memahami masalah dan perencanaan SDM Kesehatan. Biasanya dibutuhkan data

    data epidemilogi penyakit diantaranya data tentang prevalensi dan jenis penyakit,

    standar pelayanan kesehatan, jenis tenaga kesehatan untuk setiap pelayanan di RS,

    penghitungan beban waktu kerja untuk setiap jenis pelayanan kesehatan RS. Dengan

    menggunakan data tersebut RS mengetahui pelayanan yang dibutuhkan dan

    perkiraan jumlah pasien sehingga didapatkan jumlah beban kerja dalam menentukan

    SDM kesehatan yang dibutuhkan (Ilyas, 2011). Menggunakan perhitungan ini ada

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    18/29

    25

    kekurangan dan kelebihannya. Berikut penjabaran kelebihan menggunakan metode

    kebutuhan :

    a.

    Ilmiah dan konsisten dengan etika medis kesehatan.

    b. Mendorong usaha pengukuran produktifitas, dan pemanfaatan personal.

    c. Mendorong ke arah peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.

    d.

    Meningkatkan pelayanan kesehatan lebih cost effective.

    e.

    Menilai manfaat dan biaya teknologi kesehatan.

    Kekurangan dalam penggunaan metode ini antara lain :

    a. Sulit, mahal dan membutuhkan data luas serta rinci.

    b. Standarisasi pelayanan sulit dicapai komitmen.

    c. Standarisasi membutuhkan pelayanan dan komperehensif melebihi sumber

    dana yang tersedia.

    d. Didasari pertimbangan kaidah-kaidah kedokteran.

    2. Metode Target (Health Service Targets Method)

    Metode target kebutuhan tenaga kesehatan direncanakan berdasarkan perkiraan

    proporsi orang sakit yang berobat di RS. Kemudian ditentukan target, jenis, dan

    jumlah pelayanan kesehatan yang harus disediakan RS. Berapa perkiraan pasien

    untuk setiap pelayanan kesehatan yang harus disediakan RS (Ilyas, 2011).

    3. MetodeDemand(Health Service Demand Method)

    Penentuan SDM kesehatan dengan pendekatan demand yaitu menghitung

    kebutuhan SDM kesehatan berdasarkan pelayanan kesehatan yang dikonsumsi

    masyarakat. Kemudian pelayanan yang dibutuhkan dihitung beban kerjanya,

    diterjemahkan dengan jenis dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Contohnya

    penghitungan jumlah tenaga kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan rata-rata lama

    hari rawat pasien (Ilyas, 2011).

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    19/29

    26

    4. Metode Rasio (Rasio Method)

    Dalam menentukan tenaga kesehatan menggunakan metode ini ditentukan

    terlebih dahulu jumlah penduduk, tempat tidur RS, puskesmas dll. Perkiraan

    kebutuhan jumlah dan jenis tenaga kesehatan diperoleh dari membagi nilai yang di

    proyeksikan termasuk rasio. Pendekatan menggunakan jumlah tempat tidur sebagai

    denominator SDM kesehatan yang diperlukan. Metode ini mudah dan sederhana.

    Hasil yang didapatkan jumlah personal secara total, tetapi tidak dapat mengetahui

    produktivitas SDM, situasi demand dan supplay SDM RS dan kapan tenaga kerja

    tersebut dibutuhkan setiap unit atau bagian RS (Ilyas, 2011).

    Penghitungan kebutuhan apoteker pada pelayanan kefarmasian di rawat inap

    berdasarkan kegiatan pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik

    yaitu pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,

    pemantauan terapi obat, pemberian informasi obat, konseling, edukasi dan visite,

    idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien.

    Kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat

    jalan yang meliputi pelayanan farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik

    dengan aktivitas pengkajian resep, penyerahan obat, pencatatan penggunaan obat

    (PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga apotek dengan rasio satu apoteker

    untuk 50 pasien. Selain kebutuhan apoteker untuk pelayanan kefarmasian di rawat

    inap dan rawat jalan, diperlukan juga masing-masing satu orang apoteker untuk

    kegiatan pelayanan kefarmasian di ruang tertentu, yaitu: unit gawat darurat,Intensive

    Care Unit (ICU), Intensive Cardiac Care Unit (ICCU), Neonatus Intensive Care

    Unit (NICU), Pediatric Intensive Care Unit (PICU), pelayanan informasi obat

    (Permenkes, 2014).

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    20/29

    27

    Selain metode di atas ada metode WISN yang dapat digunakan untuk

    menghitung kebutuhan tenaga kesehatan. WISN merupakan metode perhitungan

    kebutuhan SDM kesehatan berdasarkan beban pekerjaan nyata yang dilaksanakan

    oleh tiap kategori tiap unit kerja di fasilitas pelayanan kesehatan.

    Pada penelitian Syukraa (2012) memiliki tujuan penelitian diketahuinya berapa

    besar beban kerja dan jumlah tenaga yang dibutuhkan pada Unit Farmasi Rawat

    Jalan Krakatau Medika Hospital Cilegon dengan teknik work sampling yang

    selanjutnya digunakan untuk menghitung jumlah kebutuhan tenaga dengan metode

    WISN serta menentukan bagaimana pola pengaturan jadwal tenaga tenaga teknis

    kefarmasian bagian saat peak hours. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif

    dengan melakukan observasi, wawancara mendalam, dan telaah dokumen. Hasil

    penelitian yang didapatkan penggunaan waktu kerja tenaga teknis kefarmasian

    bagian untuk aktifitas produktif rata-rata 68,41%, hampir mendekati nilai optimal

    80%. Apabila waktu yang dipertimbangkan untuk pelayanan utama pada pagi dan

    siang, waktu untuk aktifitas produktif 80,17% sudah melebihi nilai optimal.

    Berdasarkan perhitungan WISNjumlah asisten 34 orang masih kekurangan 10 tenaga

    diataranya 8 tenaga teknis kefarmasian dan 2 dokter.

    Penelitian menggunakan metode WISN juga dilakukan oleh Krisna (2012)

    dengan judul Analisis Beban Kerja Dan Kebutuhan Tenaga Di IFRS Jiwa Provinsi

    Lampung Tahun 2012. Tujuan penelitan ini adalah menganalisis beban kerja dengan

    metode work sampling dan mengukur kebutuhan tenaga berdasarkan beban kerja

    menggunakan metode WISN.Hasilnya kemudian digunakan sebagai pokok bahasan

    dalam in depth-interview dengan beberapa informan. Hasil studi ini menunjukkan

    bahwa tenaga farmasi yang menggunakan waktu kerjanya 90,3% dengan produktif.

    Dari kegiatan produktif sebanyak 42,6% waktu produktif langsung, dan sisanya

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    21/29

    28

    waktu produktif tidak langsung. Sebanyak 24,1% merupakan kegiatan produktif

    tidak langsung yaitu kegiatan administratif. Dari penelitian ini didapatkan kegiatan

    non produktif dan kegiatan pribadi sebanyak 9,7%. Berdasarkan hasil work sampling

    dengan WISN ternyata jumlah tenaga yang ada saat ini lebih kecil dibandingkan

    kebutuhan tenaga untuk menyelesaikan tugas dan fungsi di IFRS Jiwa Provinsi

    Lampung.

    Penelitian dari Astiena dan Darwin (2011) yang menggunakan metode WISN

    yaitu dengan judul Analisis Kebutuhan Tenaga Berdasarkan Beban Kerja Di IFRS

    Umum Daerah Pasaman Barat Tahun 2011. Tujuan penelitian ini mengetahui jumlah

    optimal kebutuhan tenaga di IFRS Umum Daerah Pasaman Barat tahun 2011.

    Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan melakukan observasi, indepth

    interview, dan telaah dokumen. Observasi menggunakan metode work sampling

    untuk mengetahui pola penggunaan waktu kerja dan WISN untuk penghitungan

    kebutuhan tenaga. Hasil penelitian didapatkan penggunaan waktu kerja apoteker

    untuk kegiatan produktif dalam satu hari kerja sebesar 77,315% sudah mendekati

    nilai optimal 80%, sedangkan penggunaan waktu kerja tenaga teknis kefarmasian

    bagian untuk kegiatan produktif dalam satu hari kerja sebesar 33,09%, masih sangat

    rendah dibanding nilai optimal 80%. Hasil perhitungan kebutuhan tenaga dengan

    WISN didapatkan kebutuhan apoteker sebanyak empat orang dan tenaga teknis

    kefarmasian sebanyak sembilan orang, sehingga tenaga apoteker yang ada sekarang

    sudah sesuai dengan kebutuhan dan terdapat kelebihan tenaga teknis kefarmasian.

    Penelitian Sihombing dkk dengan judul Analisis Kebutuhan Tenaga Apoteker

    Berdasarkan Beban Kerja Di Farmasi Klinik RS RK. Charitas Palembang Tahun

    2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Analisis penggunaan waktu

    setiap pola aktivitas apoteker menggunakan metode time and motion study. Sampel

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    22/29

    29

    penelitian adalah seluruh apoteker di bagian Farmasi Klinik yang berjumlah tiga

    orang. Analisis kebutuhan apoteker menggunakan metode WISN. Hasil penelitian ini

    adalah total waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kegiatan produktif lebih

    dari 80% yaitu sebesar 91,15% (termasuk tinggi), kegiatan tidak produktif sebesar

    4,48% dan kegiatan pribadi adalah sebesar 4,37%. Hasil yang diperoleh berdasarkan

    perhitungan dengan metode WISN, kebutuhan apoteker di bagian Farmasi Klinik

    sebanyak 18 orang.

    Ada beberapa kelebihan dah kekurangan menggunakan metode WISN.

    Penggunaan mengukur beban kerja menggunakan metode WISN memiliki kelebihan

    menurut (Indriana, 2009) diantaranya mudah dilaksanakan karena menggunakan data

    yang dikumpulkan dari laporan kegiatan setiap unit. Mudah dalam penggunaan,

    sehingga dapat dgunakan semua manager kesehatan di semua tingkatan untuk

    membuat perencanaan tenaga kerja, hasil perhitungan cepat dan dapat segera

    diketahui, metode ini dapat digunakan di semua instansi tidak hanya instansi

    kesehatan, hasil perhitungan realistis sehingga memberikan kemudahan dalam

    menyusun perencanaan anggaran dan alokasi sumber daya lainnya. Kekurangan

    metode WISN untuk menghitung beban kerja diantaranya input data yang diperlukan

    bagi prosedur perhitungan berasal dari hasil rekapitulasi kegiatan rutin satuan kerja

    atau unit dimana tenaga itu bekerja, maka kelengkapan pencatatan data dan kerapian

    penyimpanan data harus dilakukan untuk mendapatkan keakuratan hasil perhitungan

    jumlah tenaga secara maksimal (Depkes, 2004).

    Berikut metode WISN yang dikutip dari WHO (2010) dalam melakukan

    perhitungan kebutuhan SDM terdiri dari beberapa langkah antara lain :

    1. Menetapkan Unit Kerja dan Kategori SDM

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    23/29

    30

    Perhitungan dengan metode WISN yang pertama harus ditentukan unit kerja

    dan kategori SDM perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat permasalahan sehingga

    dapat di tentukan pada unit kerja dan kategori SDM yang bertanggung jawab

    menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan.

    2. Menetapkan Waktu Kerja Tersedia/Available Working Time (AWT)

    Waktu kerja tersedia atau dapat disingkat AWT (Available Working Time)

    adalah satuan waktu ditujukkan dalam hari/tahun atau jam/tahun. Tujuan

    menentukan AWT adalah untuk diperolehnya waktu kerja tersedia masing-masing

    kategori SDM yang bekerja selama kurun waktu satu tahun yang disuatu unit atau

    instansi. Dalam menentukkan AWT data yang diperlukan antara adalah sebagai

    berikut :

    a. Hari Kerja (A)

    Hari kerja adalah hari kerja sesuai ketentuan yang berlaku di institusi/organisasi

    selama kurun waktu satu tahun.

    b. Libur Nasional (B)

    Keputusan bersama menteri agama, menteri tenaga kerja dan transmigrasi, dan

    menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi republik indonesia

    tentang hari libur nasional.

    c.

    Cuti Tahunan (C)

    Cuti tahunan ditentukan sesuai yang berlaku bagi tenaga kerja di

    institusi/organisasi selama kurun waktu satu tahun.

    d.

    Sakit (D)

    Tenaga kerja tidak dapat hadir untuk bekerja karena alasan sakit selama kurun

    waktu satu tahun.

    e. Ketidakhadiran Kerja (E)

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    24/29

    31

    = *A (B + C + D + E) X F

    Menetukan ketidakhadiran kerja lainnya dihitung berdasarkan dari rata-rata

    ketidakhadiran kerja, seperti pendidikan dan pelatihan yang dilakukan, ijin, maupun

    tanpa keterangan selama kurun waktu satu tahun.

    f. Waktu Kerja (F)

    Waktu kerja yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di RS atau

    peraturan daerah. Umumnya waktu kerja dalam satu hari adalah 8 jam. Setelah data-

    data didapatkan kemudian perhitungan untuk menetapkan waktu kerja tersedia

    menggunakan rumus berikut :

    3. Menetapkan Komponen Beban Kerja

    Komponen beban kerja adalah kuantitas beban kerja pegawai selama 1 tahun.

    Komponen-komponen beban kerja dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :

    a. Aktivitas pelayanan kesehatan utama adalah aktivitas yang dilakukan oleh

    semua anggota kategori tenaga kerja tersebut. Ada catatan data sekunder

    untuk kegiatan yang termasuk aktivitas pelayanan kesehatan utama.

    b. Aktivitas penunjang adalah aktivitas yang dilakukan oleh semua anggota

    kategori tenaga kerja namun tidak ada catatan data sekunder untuk aktivitas

    ini.

    c. Aktivitas tambahan lain adalah aktivitas yang tidak dilakukan oleh anggota

    dalam kategori tenaga kerja tersebut dan tidak ada catatan statistik untuk

    aktivitas ini.

    4. Menyusun Standar Kegiatan

    Standar kegiatan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh seorang

    tenaga kerja yang terlatih, terampil dan memiliki motivasi dalam bekerja sesuai

    standar profesional pada kondisi tempat kerja. Standar kegiatan terdiri dari dua jenis

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    25/29

    32

    SW=

    unit waktu untuk kegiatan tertentu

    SW = AWTx kecepatan kerja

    kegiatan, yaitu standar pelayanan dan standar kelonggaran. Standar pelayanan

    merupakan standar kegiatan yang di catat dalam statistik tahunan. Standar pelayanan

    adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan seorang tenaga kerja untuk menyelesaikan

    sebuah kegiatan. Standar kelonggaran adalah kegiatan yang tidak dilakukan

    pencatatan statistik tahunan secara teratur. Standar kelonggaran terdiri dari dua jenis

    yaitu aktifitas yang dilakukan semua staff dalam suatu kategori atau Category

    Allowance Standar (CAS) dinyatakan dalam persentase waktu kerja dan Individu

    Allowance Standar (IAS) dimana dinyatakan dalam waktu kerja aktual standar

    kelonggaran individu untuk aktifitas yang tidak dilakukan semua tenaga kerja. Untuk

    pengamatan standar kelonggaran dapat dilakukan melalui wawancara pada setiap

    unit kategori tenaga kerja. Wawancara dapat dilakukan tentang kegiatan yang tidak

    terkait langsung dengan pelayanan pada pasien, frekuensi kegiatan dalam satu

    hari/minggu/bulan, dan waktu kegiatan untuk menyelesaikan kegiatan.

    5. Menyusun Standar Beban Kerja/Standard Workload (SW)

    Standar beban kerja (SW) adalah banyaknya pekerjaan dalam satu kegiatan

    pelayanan utama yang diselesaikan oleh seorang tenaga kesehatan dalam setahun.

    Rumus untuk menghitung standar beban kerja suatu kegiatan pelayanan berdasarkan

    waktu bagi standar pelayanan dinyatakan sebagai unit waktu atau kecepatan kerja.

    Untuk rumus standar beban kerja terdiri dari 2 rumus.

    Rumus yang pertama digunakan apabila standar pelayanan dinyatakan dalam

    unit waktu :

    Rumus yang digunakan apabila standar pelayanan dinyatakan dalam kecepatan

    kerja :

    6. Menghitung Faktor Kelonggaran /Allowance Factor

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    26/29

    33

    Langkah selanjutnya, menghitung faktor kelonggaran berfungsi untuk

    mendapatkan faktor kelonggaran tiap apoteker dan tenaga teknis kefarmasian

    meliputi jenis kegiatan dan kebutuhan waktu untuk menyelesaikan suatu kegiatan

    yang tidak terkait langsung atau dipengaruhi tinggi rendahnya jumlah kegiatan

    pelayanan. Standar kelonggaran kemudian diubah menjadi faktor-faktor kelonggaran

    kategori atau individu. Faktor-faktor ini akan digunakan untuk menghitung jumlah

    keseluruhan tenaga kesehatan yang dibutuhkan dalam langkah berikutnya dari

    metodologi WISN.

    Selanjutnya dikembangkan standar kelonggaran untuk dua kelompok kegiatan.

    Kelompok pertama merupakan kegiatan penunjang yang penting dikerjakan oleh

    semua tenaga kesehatan dalam kategori tenaga kerja WISN yang sedang diukur

    namun tidak ada pengukuran catatan statistik tahunannya. Kelompok kedua

    merupakan kegiatan tambahan yang hanya dikerjakan oleh beberapa anggota dalam

    kategori tenaga kerja ini. Faktor-faktor kelonggaran harus dihitung tersendiri bagi

    setiap kelompok. Faktor pada kelompok pertama disebut Faktor Kelonggaran

    Kategori atau Category Allowance Factor disingkat CAF. Pada kelompok kedua

    disebut. Faktor Kelonggaran Individu atau Individual Allowance Factor yang

    disingkatIAF. Cara perhitungan kedua faktor kelonggaran, berbeda dan manfaatnya

    berbeda untuk menentukan jumlah keseluruhan tenaga kesehatan yang dibutuhkan

    menurut WISN Category Allowance Factor digunakan sebagai pengali dalam

    penentuan jumlah keseluruhan tenaga kesehatan yang dibutuhkan. Menentukan CAF

    dengan cara berikut:

    a. Mengubah CAS dari setiap kegiatan penunjang yang penting menjadi

    persentase waktu kerja

    b. Menjumlahkan semua CAS

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    27/29

    34

    c. Berikut rumus menghitung CAF

    Individual Allowance Factor digunakan untuk waktu kerja beberapa SDM

    dalam kategori tenaga kerja WISN untuk kegiatan tambahan. Individual Allowance

    Factor bertujuan menghitung jumlah petugas yang dibutuhkan untuk melakukan

    kegiatan dengan waktu yang sama (whole time equivalent, WTE). Individual

    Allowance Factor kemudian ditambah pada perhitungan akhir dari keseluruhan

    kebutuhan tenaga kerja. Untuk cara perhitungannya sebagi berikut :

    a. Mengalikan masing-masing IAS dengan jumlah orang yang melakukan

    kegiatan tersebut.

    b. Menjumlahkan semua hasil yang diperoleh.

    c. Membagi hasil tersebut denganAWT.

    7. Menentukan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan WISN

    Hasil didapatkan berapa kebutuhan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian

    sesuai perhitungan WISN. Akan diketahui jumlah kebutuhan apoteker dan tenaga

    teknis kefarmasian berdasarkan metode WISN. Perhitungan tersebut berdasarkan 3

    kegiatan yang berbeda dijelaskan sebagai berikut :

    a. Kegiatan Pelayanan Utama (A): adalah beban kerja setahun dari setiap

    kegiatan dibagi dengan standar beban kerja sehingga didapatkan jumlah

    tenaga kesehatan yang dibutuhkan. Kemudian dijumlahkan semua kebutuhan

    bagi setiap kegiatan. Hasil adalah jumlah total kebutuhan tenaga apoteker dan

    tenaga teknis kefarmasian untuk semua kegiatan pelayanan utama.

    b. Kegiatan penunjang penting yang dilakukan setiap orang (B): Mengalikan

    kebutuhan tenaga kerja bagi kegiatan pelayanan utama dengan CAF. Hasil

    CAF= 1 / [1 (Total CAS / 100)]

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    28/29

    35

    yang yaitu jumlah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang dibutuhkan

    bagi semua kegiatan pelayanan utama dan penunjang penting.

    c.

    Kegiatan tambahan beberapa anggota tenaga kerja (C): Menambahkan IAF

    kepada kebutuhan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian diatas. Sehingga

    akan diperoleh jumlah total kebutuhan apoteker dan tenaga teknis

    kefarmasian berdasarkan WISN. Disini telah ikut diperhitungkan keseluruhan

    tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan ketiga jenis kegiatan.

    Berdasarkan langkah diatas maka dapat digunakan rumus akhir:

    Hasil perhitungan jumlah kebutuhan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian

    yang didapatkan kemungkinan besar merupakan angka pecahan sehingga diperlukan

    pembulatan. Untuk pembulatan jumlah tenaga apoteker dan tenaga teknis

    kefarmasian berdasarkan metode WISNyaitu sebagai berikut :

    a.

    1.1 dibulatkan kebawah menjadi 1 dan >1.1 1.9 dibulatkan keatas menjadi

    2

    b. 2.0 2.2 dibulatkan kebawah menjadi 2 dan >2.2 2.9 dibulatkan keatas

    menjadi 3

    c. 3.0 3.3 dibulatkan kebawah menjadi 3 dan >3.3 3.9 dibulatkan ke atas

    menjadi 4

    d. 4.0 4.4 dibulatkan kebawah menjadi 4 dan >4.4 4.9 dibulatkan ke atas

    menjadi 5

    e.

    5.0 5.5 dibulatkan kebawah menjadi 5 dan >5.5 5.9 dibulatkan ke atas

    menjadi 6

    Dalam buku User Manual WISN (WHO, 2010) langkah terakhir dalam

    perhitungan WISN berhubungan dengan pengambilan keputusan rasio. Setelah itu

    Total Kebutuhan Tenaga Kerja yang Dibutuhkan = A X B + C

  • 7/25/2019 1120025074-3-BAB II

    29/29

    36

    hasilnya dibandingkan dengan jumlah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian saat

    ini di Instalasi farmasi. Hasilnya akan diketahui rasio beban kerja yang ada di suatu

    unit kerja. Rumus untuk mengetahui perbedaan jumlah dan rasio beban kerja sebagai

    berikut :

    Keterangan :

    a = Jumlah apoteker/tenaga teknis kefarmasian yang ada

    b = Jumlah apoteker/tenaga teknis kefarmasian berdasarkan metode WISN

    Rasio antara perbandingan antara kenyataan dan kebutuhan, ratio inilah yang disebut

    WISN dengan ketentuan

    1. Jika rasio WISNbernilai =1

    Menunjukkan bahwa jumlah tenaga dan beban apoteker dan tenaga teknis

    kefarmasian di instalasi farmasi cukup berdasarkan kebutuhan.

    2. Jika rasio WISN 1

    Rasio WISN yang besar membuktikan adanya kelebihan tenaga kerja apabila

    dibandingkan terhadap beban kerja.

    =