document11

31
BAB II STATUS PASIEN INDETITAS PASIEN Nama : Tn. S Umur : tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Banjar Pekerjaan : Petani Pendidikan : SD Agama : Islam Status Marital : Sudah menikah ANAMNESIS (Anamnesis dilakukan pada tanggal 02 September 2013 Pukul 10.30 WIB) Keluhan utama: Bercak merah bersisik halus timbul di punggung tangan dan sela jari tangan kiri sejak 3 hari SMRS. Anamnesis khusus: Sejak 3 hari SMRS pasien mengeluh terdapat bercak merah yang timbul di daerah punggung dan sela jari tangan kiri. Bercak merah disertai sisik halus dan gatal. Gatal dirasakan meningkat ketika pasien berkeringat. Keluhan pertama kali dirasakan sejak 6 bulan yang lalu, berupa bercak kemerahan sebesar koin yang terdapat di kedua lipat paha, yang kemudian sekitar 3 bulan yang lalu, bercak meluas dan menyebar keperut 1

Upload: nikomangwindhiapuspitasari

Post on 20-Nov-2015

221 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tinea

TRANSCRIPT

BAB II

STATUS PASIENINDETITAS PASIEN

Nama

: Tn. SUmur

: tahun

Jenis Kelamin: Laki-laki

Alamat

: Banjar

Pekerjaan

: PetaniPendidikan

: SDAgama

: Islam

Status Marital: Sudah menikah

ANAMNESIS

(Anamnesis dilakukan pada tanggal 02 September 2013 Pukul 10.30 WIB)

Keluhan utama:

Bercak merah bersisik halus timbul di punggung tangan dan sela jari tangan kiri sejak 3 hari SMRS.

Anamnesis khusus:

Sejak 3 hari SMRS pasien mengeluh terdapat bercak merah yang timbul di daerah punggung dan sela jari tangan kiri. Bercak merah disertai sisik halus dan gatal. Gatal dirasakan meningkat ketika pasien berkeringat. Keluhan pertama kali dirasakan sejak 6 bulan yang lalu, berupa bercak kemerahan sebesar koin yang terdapat di kedua lipat paha, yang kemudian sekitar 3 bulan yang lalu, bercak meluas dan menyebar keperut bagian bawah, pinggang kanan dan kedua tungkai bawah. Penyebaran ini disertai dengan perubahan warna bercak menjadi kehitaman dan sisik kasar yang tebal terutama didaerah tungkai bawah. Keluhan tidak disertai dengan keluarnya nanah.

Keluhan ini pernah terjadi sekitar 2 tahun yang lalu, berupa bercak kehitaman yang gatal, pada kedua tungkai bawah dengan ukuran bervariasi. Bercak kehitaman disertai sisik kasar dan gatal. lalu pasien berobat kedokter umum dan diberi obat oles (pasien lupa nama obatnya). Kemudian keluhan sembuh. Untuk keluhan saat ini, pasien berobat ke dokter umum dan diberikan obat oles dan obat minum. Karena bercak menyebar di tempat lain dan keluhan tidak berkurang sehingga pasien datang ke poli kulit RSUD banjar.

Riwayat Penyakit Dahulu:

R. penyakit serupa

: disangkal

R. alergi obat dan makanan

: disangkal

R. mengkonsumsi obat jangka panjang: disangkal

R. sakit gula

: disangkal

R. atopik

: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

R. sakit serupa

: disangkal

R. Alergi obat dan makanan: disangkal

R. sakit gula

: disangkal

R. atopik

: disangkal

Riwayat Higiene :

- Pasien tidak pernah mencuci kakinya dan mengganti dengan sendal setelah bertani dan pasien juga jarang mencuci dan mengganti sepatunya.- Kesehariaanya sebagai Petani yang beraktifitas dengan memakai sepatu tertutup.PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum: tampak sakit ringan

Kesadaran: composmentis

Tekanan darah110/70 mmHg

Nadi80 x/menit

Respirasi 20 x/menit

SuhuAfebris

Status Generalisata:

Kepala Rambut: alopecia (-)

Mata: conjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik

Hidung: sekret (-)

Mulut: hiperemis (-), mukosa buccal basah, erosi (-)

Gigi: karies (-), mikrolesi (-)

THT: tonsil T1/T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis

Leher KGB: tidak teraba membesar, massa (-)

Thoraks Bentuk dan gerak simetris

VBS ka=ki, sonor, wheezing (-), rhonchi (-)

BJ murni reguler, murmur (-)

Abdomen Datar, lembut, BU (+)

Ekstremitas Deformitas (-), udem (-), RCT < 2 dtk

Kulit: lihat status dermatologikus

Status Dermatologikus:

Distribusi Regional

A/R Punggung tangan kiri,lipatan paha, kedua tungkai bagian bawah

Lesi Multipel, sirkumskrip, ireguler, sebagian menimbul sebagian tidak menimbul, kering, ukuran terkecil 2x1cm sampai terbesar 6x3cm

Efluroesensi Makula eritema, Skuama , hiperpigmentasi

SHAPE \* MERGEFORMAT

SHAPE \* MERGEFORMAT

SHAPE \* MERGEFORMAT

SHAPE \* MERGEFORMAT

RESUMELaki-Laki 47 tahun denga pekerjaan sebagai petani, mengeluh terdapat plak eritem yang timbul di daerah punggung tangan dan sela jari tangan kiri sejak 3 hari SMRS. Keluhan disertai sisik halus dan gatal dirasakan meningkat ketika berkeringat. Keluhan pertama kali dirasakan sejak 6 bulan yang lalu, berupa bercak kemerahan sebesar koin yang terdapat di kedua lipat paha, yang kemudian sekitar 3 bulan yang lalu, bercak meluas dan menyebar keperut bagian bawah, pinggang kanan dan kedua tungkai bawah. Penyebaran ini disertai dengan perubahan warna bercak menjadi kehitaman dan sisik kasar yang tebal terutama didaerah tungkai bawah. Keluhan tidak disertai dengan keluarnya nanah.

Keluhan ini pernah terjadi sekitar 2 tahun yang lalu, berupa bercak kehitaman yang gatal, pada kedua tungkai bawah dengan ukuran bervariasi. Bercak kehitaman disertai sisik kasar dan gatal. lalu pasien berobat kedokter umum dan diberi obat oles (pasien lupa nama obatnya). Kemudian keluhan sembuh. Untuk keluhan saat ini, pasien berobat ke dokter umum dan diberikan obat oles dan obat minum. Karena bercak menyebar di tempat lain dan keluhan tidak berkurang sehingga pasien datang ke poli kulit RSUD banjar. Riwayat higine yang buruk (+).Status dermatoligis :

Distribusi Regional

A/R Punggung tangan kiri,lipatan paha, kedua tungkai bagian bawah

Lesi Multipel, sirkumskrip, ireguler, sebagian menimbul sebagian tidak menimbul, kering, ukuran terkecil 2x1cm sampai terbesar 6x3cm

Efluroesensi Makula eritema, Skuama , hiperpigmentasi

Pemeriksaan PenunjangDilakukan Kerokan kulit dengan KOH 20%+tinta parker black didapatkan hasil (+) dengan ditemukannya hifa

DIAGNOSA KERJA

Tinea Pedis et manus + Tinea Corporis et cruris

PENATALAKSANAAN

Umum:

1. Medikamentosaa. Sistemik: Griseofulvin 1x500 mg

b. Topikal: Miconazole cream, dioles 2 kali sehari2. Non medikamentosaa. Menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan

b. Mandi minimal 2x/hari dengan air bersih

c. Menjaga daerah lesi dari keringat atau keadaan yang lembab, misalnya mencuci kaki, mengeringkan dan mengganti alas kaki yang terbuka sehabis bertani. Juga memakai pakaian dari bahan yang dapat menyerap keringat dan longgar.

d. Pakaian yang basah karena keringat, segera diganti dengan yang bersih dan kering.e. Menyarankan kepada pasien agar tidak menggaruk lesi.f. Meminum dan menggunakan obat dengan teratur dan sesuai petunjuk, jika keluhan hilang tetap kontrol ke dokter hingga dinyatakan sembuh.

g. Mengganti pakaian dalam dengan teratur minimal 2 kali sehari.

h.. Menghindari pemakaian handuk dan pakaian bersama-sama.

PROGNOSIS

Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam: ad bonam

Quo ad sanationam: dubia ad bonamBAB II

ANALISA MASALAH PADA KASUS

Bagaimana dengan penatalaksanaan pada kasus ini?

UMUM :

1. Menerangkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh jamur2. Menerangkan supaya daerah lesi selalu kering dengan memakai celana yang menyerap keringat. Selalu mencuci kaki setelah bertani, mengeringkannya dan mengganti alas kaki dengan sendal.3. Cara pengobatan

KHUSUS :

1. Obat anti jamur topikal

Obat anti jamur topikal ideal bersifat fungisidal, spektrum luas, keratinofilik, non-iritan, hipoalergenik, tidak diabsorbsi secara sistemik, aktif pada konsentrasi sangat rendah, mempunyai formula beragam dan spesifik, efek samping minimal/tidak ada, dengan manfaat tambahan untuk kelainan yang biasa menyertai infeksi jamur dan harganya murah.

Cara penggunaan obat anti jamur topikal :

- Daerah terinfeksi dibersihkan dengan air dan sabun, kemudian keringkan

- Obat dioleskan tipis-tipis di atas lesi dan meluas hingga 3cm di luar lesi

- Obat digunakan 2 kali sehari, pagi dan sore hari.

- Hasil maksimal diperoleh bila lesi dijaga agar tetap bersih dan kering

Contoh obat anti jamur topikal yang biasa digunakan adalah :

1. Derivat imidazole : klotrimazole 1%, mikonazole 1%, ketokonazole 2%, ekonazole 1%, tiokonazole 1%, bufonazole 1%, isokonazole 1% serta konazole 2%. Derivat ini bekerja dengan menghambat enzim 14--demetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur.

2. Golongan allilamin : naftifin 1%, butenafin 1% dan terbinafin 1%; yang mampu bertahan hingga 7 hari setelah pemakaian selama 7 hari berturut-turut. Golongan ini bekerja menghambat enzim epoksidase skualen pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur.

2. Obat anti jamur sistemik1,2- Indikasi terapi ini adalah jika lesi luas atau gagal dengan pengobatan topikal. Obat oral yang

- Untuk pengobatan sistemik dalam mengeradikasi dermatofit, obat-obatan oral yang digunakan, antara lain:

Flukonazol: orang dewasa 150200 mg/minggu selama 46 minggu, sedangkan anak-anak 6 mg/kg/minggu selama 46 minggu. Sediaan fluconazole tablet 100, 150, 200 mg; suspense oral (10 or 40 mg/ml); dan intravena 400 mg.

Griseofulvin: Orang dewasa 5001000 mg/hari (atau lebih) selama 4 minggu, sedangkan anak-anak 1520 mg/kg/hari selama 4 minggu. Micronized: 250 atau 500 mg tablet; 125 mg/sendok teh suspensi. Ultramicronized: 165 atau 330 mg tablet. Aktif hanya melawan dermatofit, kurang efektif daripada Triazoles. Efek samping yang dapat ditimbulkan, antara lain: nyeri kepala, mual/muntah, fotosensitivitas. Infeksi T. rubrum dan T. tonsurans dapat kurang berespon. Sebaiknya diminum dengan makanan berlemak untuk memaksimalkan penyerapan.

Ketokonazol: Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik, termasuk golongan imidazol. Dosisnya 200 mg per hari selama 10 hari 2 minggu pada pagi hari setelah makan Itrakonazol: untuk dewasa 400 mg/hari selama 1 minggu dan untuk anak-anak 5 mg/kg/hari selama 1 minggu. Sediaannya 100 mg dalam kapsul; solusio oral (10 mg/ml) dalam intravena. Untuk Triazole, kerjanya membutuhkan pH asam pada lambung agar kapsulnya larut. Dapat menimbulkan aritmia ventrikular bila dikonsumsi bersama terfenadine/astemizole, meskipun jarang. Golongan azole lainnya, yaitu ketokonazole juga memiliki potensial interaksi dengan obat lain, seperti agen hipoglikemik oral, kalsium antagonis, fenitoin, dan lain-lain.

Terbinafin: dosis untuk dewasa adalah 250 mg/hari selama 2 minggu, dan dosis anak-anak adalah 62,5 mg/hari (40 kg) selama 2 minggu. Sediaannya 250 mg dalam tablet. Dapat menyebabkan mual, dispepsia, nyeri perut, kehilangan pengecapan.

Pengobatan topikal dinilai memiliki respon yang baik terhadap infeksi yang terjadi, apalagi bila tidak terjadi folikulitis.3.Edukasi15,17Diperlukan pula perawatan diri di rumah (home care), seperti: menghindari menggaruk daerah lesi, karena hal tersebut dapat membuat infeksi bertambah parah. Menjaga kulit tetap kering dan bersih dengan menghindari aktivitas yang dapat mengeluarkan keringat. Mandi minimal sekali sehari dan ingat untuk mengeringkan tubuh seluruhnya. Aplikasi krim topikal anti jamur, seperti: krim Klotrimazol (Lotrimin), Terbinafin (Lamisil), Tolnaftat (Tinactin). Beberapa agen oral yang dapat digunakan untuk mengobati gatal yang timbul, antara lain: Difenhidramin (Benadryl), Klorfeniramin, Loratadin (Claritin), dan Setirizin (Zyrtec), sesuai dengan medikasi yang diberikan. Dan mengingatkan penderita untuk memperhatikan bila ada efek samping yang terjadi maupun tanda-tanda makin parahnya lesi setelah berobat (muncul pus, nyeri, demam, tidak adanya perbaikan sama sekali setelah 2 minggu terapi).

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA1. PENDAHULUAN

Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.(1,2,3) Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan yang hidup.(1,4) Metabolisme dari jamur dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis. (1)Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada iklim yang panas (tropis dan subtropis).(5,6) Ada beberapa macam variasi klinis dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur.(5) II. EPIDEMIOLOGI

Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai didaerah yang panas, Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum diseluruh dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. Tricophyton tonsuran merupakan dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis, dan orang dengan infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea korporis.. Walaupun prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan Tricophyton tonsuran, Microsporum canis merupakan organisme ketiga sekitar 14 % menyebabkan tinea korporis.(7)

Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi manusia atau hewan melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi T.rubrum di kaki. Anak-anak lebih sering kontak pada zoofilik patogen seperti M.canis pada kucing atau anjing. Pakaian ketat dan cuaca panas dihubungkan dengan banyaknya frekuensi dan beratnya erupsi. (2)Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi mereka bisa berpengaruh besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis prevalensinya sama antara pria dan wanita. Tinea korporis mengenai semua orang dari semua tingkatan usia tapi prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea korporis yang berasal dari binatang umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak.(7,8) Secara geografi lebih sering pada daerah tropis daripada subtropis.(8)

Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai antropofilik (manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah). Dermatofit yang antropofilik paling sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di identifikasi (jika mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia.(9)

III. ETIOLOGI

Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya dapat ditemukan berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu.(1,6) Namun demikian yang lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T.rubrum, T.mentagrophytes, dan M.canis.(1)

IV. PATOGENESIS

Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofit kemanusia dapat melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal. Karena dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan khas hanya menginvasi bagian luar stratum korneum dari kulit.(3)

Types Of Dermatophytes Based On Mode Of Transmission

CategoryMode of transmissionTypical clinical features

Antropofilik Zoofilik GeofilikManusia ke manusia Hewan ke manusia Tanah ke manusia atau hewanRingan, tanpa inflamasi, kronik Inflamasi hebat (mungkin pustula dan vesikel), akut. Inflamasi sedang

Lingkungan kulit yang sesuai merupakan faktor penting dalam perkembangan klinis dermatofitosis. Infeksi alami disebabkan oleh deposisi langsung spora atau hifa pada permukaan kulit yang mudah dimasuki dan umumnya tinggal di stratum korneum, dengan bantuan panas, kelembaban dan kondisi lain yang mendukung seperti trauma, keringat yang berlebih dan maserasi juga berpengaruh.(4,7,10)

Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan keringat sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak keratinosit. (7,10)

Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu respon jaringan terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm, yang menginvasi bagian perifer kulit. Respon terhadap infeksi, dimana bagian aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian tepi aktif untuk berkembang dan bagian pusat akan bersih. Eliminasi dermatofit dilakukan oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas) seluler.(7,10) Pada masa inkubasi, dermatofit tumbuh dalam stratum korneum, kadang-kadang disertai tanda klinis yang minimal. Pada carier, dermatofit pada kulit yang normal dapat diketahui dengan pemeriksaan KOH atau kultur.(10) V. GAMBARAN KLINIK

Tinea korporis bisa mengenai bagian tubuh manapun meskipun lebih sering terjadi pada bagian yang terpapar. Pada penyebab antropofilik biasanya terdapat di daerah yang tertutup atau oklusif atau daerah trauma.(6)

Keluhan berupa rasa gatal. Pada kasus yang tipikal didapatkan lesi bulla yang berbatas tegas, pada tepi lesi tampak tanda radang lebih aktif dan bagian tengah cenderung menyembuh. Lesi yang berdekatan dapat membentuk pola gyrate atau polisiklik. Derajat inflamasi bervariasi, dengan morfologi dari eritema sampai pustula, bergantung pada spesies penyebab dan status imun pasien. Pada penyebab zoofilik umumnya didapatkan tanda inflamasi akut. Pada keadaan imunosupresif, lesi sering menjadi lebih luas.(6)

Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan membesar, selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang anular akan mengalami resolusi, dan bentuk lesi menjadi anular.(1,5,7,10,11) berupa skuama, krusta, vesikel, dan papul sering berkembang, khususnya pada bagian tepinya. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada umumnya merupakan bercak terpisah satu dengan yang lainnya.(10)

Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea korporis dan kruris.(12)

Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris. (7)

Infeksi dermatofit secara zoofilik atau geofilik lebih sering menyebabkan respon inflamasi daripada yang disebabkan oleh mikroba antropofilik. Umumnya, pasien HIV-positif atau imunokompromise bisa terlihat dengan abses yang dalam dan meluas. (7)

Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan. Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu.(13)

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada kasus ini dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk membantu dalam menegakan diagnosis, antara lain: 3,9,10,12,13,14

a. Pemeriksaan KOH (Kalium hidroksida)Tujuan: menemukan hifa sehingga dapat memastikan diagnosis bahwa telah terjadi infeksi dermatofit.

Prosedur: ambil kerokan kulit dari tepi lesi yang aktif dengan menggunakan scalpel. Sebelumnya, kita bersihkan lebih dahulu dengan kapas alkohol, pada bagian yang akan dikerok. Pindahkan kerokan kulit tersebut pada kaca objek dan teteskan KOH 10% (jika sampel berasal dari rambut), 20% (jika sampel berasal dari kulit), 30% (jika sampel berasal dari kuku). Tutup dengan menggunakan penutup kaca objek kemudian lihat di bawah mikroskop.

Pada kasus-kasus dengan risiko infeksi tinea yang tinggi dan hasil pemeriksaan KOH negatif, perlu dilakukan pemeriksaan kultur.

Gambar 5. Preparat KOH yang diambil dari seseorang dengan dermatofitosis epidermal. Tampak struktur hifa dan formasi spora (dikutip dari kepustakaan 15)

Gambar 6. Kiri: pemeriksaan KOH positif (dikutip dari kepustakaan 16) - Kanan: dalam chlorazol black stain, gambar dermatofit Trichophyton tonsurans (dikutip dari kepustakaan 2)b. Pemeriksaan lampu Wood (sinar ultraviolet)Pemeriksaan lampu Wood ditemukan oleh Margarot dan Deveze pada tahun 1925. Beberapa spesies dermatofit tertentu yang berasal dari genus Microsporum menghasilkan substansi yang dapat membuat lesi menjadi warna hijau ketika disinari lampu Wood dalam ruangan yang gelap. Dermatofit yang lain, seperti T. schoenleinii memproduksi warna hijau pucat. Ketika hasilnya positif, ini akan sangat berguna. Namun sayangnya, pemeriksaan ini kadang tidak terlalu bermanfaat sebab beberapa dermatofit yang hidup di daerah Amerika Serikat, tidak dapat terfluoresensi.

c. Pemeriksaan kulturPemeriksaan ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal, tetapi pemeriksaan ini sangat berguna ketika pemeriksaan yang lain meragukan. Spesimen dibiakkan pada Saborauds dextrose agar dan penambahan obat sikloheksimid atau kloramfenikol untuk mencegah bakteri lain tumbuh. Dibutuhkan waktu 7-21 hari untuk membiakkannya.d. Biopsi kulitPemeriksaan ini seringkali tidak dibutuhkan. Dapat dilakukan jika diagnosis sulit ditegakkan atau infeksi tidak respon pada pengobatan yang diberikan.VII. DIAGNOSIS

Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau pemeriksaan sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk melihat elemen jamur dermatofit. Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi spesies jamur penyebab yang lebih akurat.(10)

Diagnosis pasti digunakan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui infeksi dermatofit. Infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini diidentifikasi dari hasil positif kerokan oleh kultur jamur. (14)VIII. DIAGNOSIS BANDING

Bergantung variasi gambaran klinis, tinea korporis kadang sulit dibedakan dengan beberapa kelainan kulit yang lainnya. Antara lain dermatitis kontak, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, ptiriasis rosea,(6,12) dan psoriasis.(6,7,12) Untuk alasan ini, tes laboraturium sebaiknya dilakukan pada kasus dengan lesi kulit yang tidak jelas penyebabnya. (6)

Kelainan kulit pada dermatitis seboroik selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya dikulit kepala, lipatan-lipatan kulit, misanya belakang telinga, daerah nasolabial dan sebagainya. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit dari tempat predileksi, yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan lekukan pada kuku dapat pula menolong untuk menentukan diagnosis. (12)

Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas, tubuh dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa heral patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya. (12)IX. PENATALAKSANAAN

Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan daerah lesi selalu kering dan memakai baju yang menyerap keringat.

A.Terapi topikal

Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi.(7)

Berikut obat yang sering digunakan :

1.Topical azol terdiri atas :

a.Econazol 1 %

b.Ketoconazol 2 %

c.Clotrinazol 1%

d.Miconazol 2% dll.

Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur. (7,15)

2.Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur.(10) yaitu aftifine 1 %, butenafin 1% Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut.(7,15)3.Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum luas.(7)4.Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan pada regimen anti jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi steroid hanya diberikan pada beberapa hari pertama dari terapi. (5,7)

B.Terapi sistemik

Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal. (15) Untuk pengobatan sistemik dalam mengeradikasi dermatofit, obat-obatan oral yang digunakan, antara lain:

Flukonazol: orang dewasa 150200 mg/minggu selama 46 minggu, sedangkan anak-anak 6 mg/kg/minggu selama 46 minggu. Sediaan fluconazole tablet 100, 150, 200 mg; suspense oral (10 or 40 mg/ml); dan intravena 400 mg.

Griseofulvin: Orang dewasa 5001000 mg/hari (atau lebih) selama 4 minggu, sedangkan anak-anak 1520 mg/kg/hari selama 4 minggu. Micronized: 250 atau 500 mg tablet; 125 mg/sendok teh suspensi. Ultramicronized: 165 atau 330 mg tablet. Aktif hanya melawan dermatofit, kurang efektif daripada Triazoles. Efek samping yang dapat ditimbulkan, antara lain: nyeri kepala, mual/muntah, fotosensitivitas. Infeksi T. rubrum dan T. tonsurans dapat kurang berespon. Sebaiknya diminum dengan makanan berlemak untuk memaksimalkan penyerapan.

Ketokonazol: Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik, termasuk golongan imidazol. Dosisnya 200 mg per hari selama 10 hari 2 minggu pada pagi hari setelah makan Itrakonazol: untuk dewasa 400 mg/hari selama 1 minggu dan untuk anak-anak 5 mg/kg/hari selama 1 minggu. Sediaannya 100 mg dalam kapsul; solusio oral (10 mg/ml) dalam intravena. Untuk Triazole, kerjanya membutuhkan pH asam pada lambung agar kapsulnya larut. Dapat menimbulkan aritmia ventrikular bila dikonsumsi bersama terfenadine/astemizole, meskipun jarang. Golongan azole lainnya, yaitu ketokonazole juga memiliki potensial interaksi dengan obat lain, seperti agen hipoglikemik oral, kalsium antagonis, fenitoin, dan lain-lain.

Terbinafin: dosis untuk dewasa adalah 250 mg/hari selama 2 minggu, dan dosis anak-anak adalah 62,5 mg/hari (40 kg) selama 2 minggu. Sediaannya 250 mg dalam tablet. Dapat menyebabkan mual, dispepsia, nyeri perut, kehilangan pengecapan.

Pengobatan topikal dinilai memiliki respon yang baik terhadap infeksi yang terjadi, apalagi bila tidak terjadi folikulitis.C. Edukasi15,17Diperlukan pula perawatan diri di rumah (home care), seperti: menghindari menggaruk daerah lesi, karena hal tersebut dapat membuat infeksi bertambah parah. Menjaga kulit tetap kering dan bersih dengan menghindari aktivitas yang dapat mengeluarkan keringat. Mandi minimal sekali sehari dan ingat untuk mengeringkan tubuh seluruhnya. Aplikasi krim topikal anti jamur, seperti: krim Klotrimazol (Lotrimin), Terbinafin (Lamisil), Tolnaftat (Tinactin). Beberapa agen oral yang dapat digunakan untuk mengobati gatal yang timbul, antara lain: Difenhidramin (Benadryl), Klorfeniramin, Loratadin (Claritin), dan Setirizin (Zyrtec), sesuai dengan medikasi yang diberikan. Dan mengingatkan penderita untuk memperhatikan bila ada efek samping yang terjadi maupun tanda-tanda makin parahnya lesi setelah berobat (muncul pus, nyeri, demam, tidak adanya perbaikan sama sekali setelah 2 minggu terapi).X. PROGNOSIS

Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan menggunakan anti jamur sistemik. (7)

XI. KESIMPULAN

Dermatofitosis adalah setiap infeksi fungal superfisial yang disebabkan oleh dermatofit dan mengenai stratum korneum kulit, rambut dan kuku, termasuk onikomikosis dan berbagai macam bentuk tinea.

Insidensi Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur, sehingga dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna MS, insidensi penyakit jamur yang terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi umum.

Klasifikasi yang sering dipakai oleh para specialis kulit yaitu berdasarkan lokasi:

a. Tinea kapitis, tinea pada kulit dan rambut kepala

b. Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jengggot.

c. Tinea kruris, dermatofita pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.

d. Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.

e. Tinea unguium, tinea pada kuku kaki dan tangan.

f. Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk 5 bentuk tinea diatas.

Umumnya dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas yaitu bercak bercak yang berbatas tegas disertai efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga memberikan kelainan-kelainan yang polimorf, dengan bagian tepi yang aktif serta berbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang. Gejala objektif ini selalu disertai dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini digaruk maka papula-papula atau vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan daerah yang erosit dan bila mengering jadi krusta dan skuama. Kadang-kadang bentuknya menyerupai dermatitis (ekzema marginatum), tetapi kadang-kadang hanya berupa makula yang berpigmentasi saja (Tinea korporis) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai gejala-gejala pioderma (impetigenisasi).

Pengobatan dermatophytosis sering tergantung pada klinis. Sebagai contoh lesi tunggal pada kulit dapat diterapi secara adekuat dengan antijamur topikal. Walaupun pengobatan topikal pada kulit kepala dan kuku sering tidak efektif dan biasanya membutuhkan terapi sistemik untuk sembuh. Pilihan terapi oral yaitu grisiofulfin atau itrakonazol atau ketokonazol bila terdapat resistensi terhadap griseofulvin. Lama penggunaan juga disesuaikan dengan keadaan klinis.

DAFTAR PUSTAKA1.Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. Superficial mycoses and dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical dermatology. China: Elsenvier inc, 2006. p.185-92.

2.Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Fungal disease with cutaneus involvement. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks: Dermatology in general medicine. 6th ed. New York: Mc graw hill, 2004.p:1908-2001.

3.Sobera JO, Elewski BE. Fungal disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini RP, editors. Dermatology. Spain : Elsevier Science; 2003. p.1174-83.

4.Rook, Willkinson, Ebling. Mycology. In : Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, editors. Text book of dermatology. 5th ed. London : Blackwell scientific publication,1992. p.1148-9.

5.Habif TP. Clinacal dermatology. 4th ed. Edinburgh: Mosby, 2004

6.Goedadi MH, Suwito PS. Tinea korporis dan tinea kruris. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.31-4

7.Rushing ME. Tinea corporis. Online journal. 2006 June 29; available from; http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page type=Article.htm8.Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Colour atlas and synopsis of clinical dermatology. Athed New York: Mc graw hill.1999.

9.Noble SL, Forbes RC, Stamm PL. Diagnosis and management of common tinea infections. 1998 July 1, available from: 10.Amiruddin MD. Ilmu penyakit kulit. Makassar: Percetakan LKiS, 2003.

11.Allen Hb, Rippon JW. Superficial and deep mycoses. In : Moschella SL, Hurley HJ. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Sauders company, 1992. p.739-75

12.Budimulja U. Mikosis. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 3rd ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2002.p.92-3.

13.Arndt KA, Bowers KE. Manual of dermatology therapeutics with essential of diagnostic. 6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & willkins.2002.

14.Nugroho SA. Pemeriksaan penunjang diagnosis dermatomikosis superfisialis. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.99-106.

15.Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.108-16.

16. Wolff K, Goldsmith L, Katz SI, et al. Disorders of the sebaceous glands. In: Fitzpatricks dermatology in general medicine 7th ed. United States: McGraw Hill; 2008. p. 692-4, 704-6.

17. James WD, Berger TG, Elston DM. Disease resulting from fungi and yeasts. In: Andrews disease of the skin: clinical dermatology 10th ed. Canada: Saunders Elsevier; 2006. p. 301-2.

1