130985106 case-anes
TRANSCRIPT
Homework Help https://www.homeworkping.com/
Research Paper helphttps://www.homeworkping.com/
Online Tutoringhttps://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sitesLAPORAN KASUS
Identitas
Nama : Tn. A
MR/REG : 377541/10012110
Umur : 68 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Palembang
MRS : 17 Mei 2010
Anamnesis
Keluhan Utama : Benjolan pada Leher Kiri
Riwayat Perjalanan Penyakit: Kurang lebih 4 bulan yang lalu pasien mengeluh
timbul benjolan pada leher kiri, awalnya sebesar kelereng, makin lama makin
membesar. Perubahan suara tidak ada.
Riwayat penyakit terdahulu;
Riwayat Asma, DM, Sakit Jantung, Penyakit hati, Sakit Ginjal disangkal
Riwayat Alkohol, alergi Obat dan makanan disangkal
0
Riwayat merokok (+), berhenti sejak 5 tahun yang lalu
Riwayat Hipertensi (+) sejak 1 tahun yang lalu, tekanan darah tertinggi 180/110
mmHg
Riwayat Operasi sebelumnya:
Riwayat operasi amandel dalam General Anestesi dan tidak ada masalah.
Pemeriksaan Fisik preop tanggal 19 Mei 2010
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : CM, Td 170/100 mmHg, HR 84x/mnt irreguler, RR 20x/mnt, T:
Afebris
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (+), terdapat benjolan sejak 4
bulan yang lalu dengan ukuran 6x5x4 cm
Thoraks : Cor = BJ murni, irreguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo = VBS kanan = kiri, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : datar , lemas, H/L tidak teraba, BU (+) N
Ekstremitas : edema -/-, akral hangat +/+
BB : 70 kg, TB : 175 cm
Pemeriksaan Penunjang tanggal 18 Mei 2010
Laboratorium : Hb: 14,2 g/dl, Ht: 42 %, Leukosit: 10100 LED: 67 Tr:
301.000, Ureum: 39, Kreatinin: 1,2, Albumin: 4,2 Globulin 4,2
BT: 2’ CT: 9’ Natrium: Kalium:
Thoraks foto : Bekas KP
EKG : Normal
Diagnosa Prabedah : Struma Nodusa Non Toxic (SNNT)
1
Assesment : Status Fisik ASA II
Saran :
Pada tanggal 20 Mei 2010 pasien didorong ke kamar operasi
Pasien lalu di baringkan di meja operasi, dipasang monitor tekanan darah noninvasif,
EKG, pulse oxymetry, dipasang infus RL dengan kateter vena ukuran 18.
Pemeriksaan Fisik preop tanggal 20 Mei 2010 preop jam 10.30
Status Generalis
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : CM, Td 180/110 mmHg, HR 95x/mnt irreguler, RR 21x/mnt, T:
Afebris
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (+), terdapat benjolan sejak 4
bulan yang lalu dengan ukuran 6x5x4 cm
Thoraks : Cor = BJ murni, irreguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo = VBS kanan = kiri, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : datar , lemas, H/L tidak teraba, BU (+) N
Ekstremitas : edema -/-, akral hangat +/+
Pasien lalu diinduksi dengan
Fentanyl 50 ug, Propofol 100 mg, Atrakurium 30 mg, kemudian diintubasi dengan
ETT No. 7,0 nonkingking lalu anestesi dipertahankan dengan Enflurane, N2O, dan O2.
Intra Operasi
Operator : dr. Benny Kusuma Sp. B. (K) Onk
2
Lama Operasi : 150 menit
Cairan : Ringer Laktat 1500 cc
TD : 95-185 mmHg
HR : 45-95 x/menit
SpO2 : 99-100%
Perdarahan : + 300cc
MONITORING OPERASI
JamTD
(mmHg)
Nadi
(x/menit)
RR
(x/menit)
Saturasi
( %)
EKG
(x/menit)
Keterangan
10.30 180/110 95 2199 VES 16-
18
Ringer laktat
500cc,
Midazolam 1,5
mg
14.35 130/88 78 18 99 VES 16-
18
Induksi dengan
fentanil 50 ug,
propofol 100 mg,
atrakurium 30 mg
Intubasi dengan
ETT No. 7.0
nonkingking
Maintenance
dengan
Sevoflurane, N20,
O2
14.45 135/90 82 Dikontrol VES 20-
23,
Diberikan
amiodarone 10
3
100 terdapat
bigeminimg
14.50 120/70 75 Dikontrol100
VES 20-
23,
terdapat
bigemini
Diberikan
amiodarone 20
mg
14.55 115/70 70 Dikontrol100
VES 8-
10
Diberikan
amiodarone 15
mg/menit via
syringe pump
15.00 120/70 70 Dikontrol 99 VES 2-4
Amiodarone via
syringe pump
diteruskan
16.25 135/90 80 Dikontrol 100
VES 2-4 Operasi selesai
Amiodarone,
Sevoflurane, N2O
dihentikan,
diberikan
ketorolak 30 mg,
cendantrone 8 mg
16.35 140/90 100 22 100 VES 2-4 Dilakukan
ekstubasi
16.45 145/95 90 20 99 VES 4-5 Dipindahkan ke
ruang pemulihan
Post Operasi
4
Pasien di observasi di ruang pemulihan selama satu jam, kemudian dibawa ke
ruangan.
Tanda vital sebelum dipindahkan ke ruangan:
Kesadaran CM, TD 130/90 mmHg , HR 76x/mnt irreguler (VES 4-5 x/menit) , RR
20x/mnt T:afebris
Tanggal 7/10-2009 jam 23.20 pasien di EKG ulang dengan hasil
: VES 4 x/menit
Pemeriksaan Fisik tanggal 8 oktober 2009 jam 08.30
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : CM, Td 130/80 mmHg, HR 80x/mnt irreguler (VES 16-18 x/mnt),
RR 18x/mnt, T: Afebris
Kepala/Leher : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), JVP tdk meningkat
Thoraks : Cor = BJ murni, irreguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo = VBS kanan = kiri, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : datar , H/L tidak teraba, BU (+) N
Ekstremitas : edema -/-, akral hangat +/+
PEMBAHASAN
VENTRIKEL EXTRA SYSTOL
Patofisiologi
5
Sangat sedikit studi yang mengevaluasi patofisiologi VES pada manusia.
Kebanyakan informasi didapatkan dari studi pada hewan. Tiga mekanisme yang
mendasari VES, yaitu: (1) automaticity, (2) reentry, and (3) triggered activity:
Automaticity: Merupakan perkembangan dari sumber depolarisasi yang baru
pada jaringan ventrikel nonnodal yang dapat menimbulkan VES. Pada hewan,
mekanisme fokal tanpa bukti makro-reentry memainkan peranan utama
sebagai asal aritmia ventrikel yang berhubungan dengan kardiomiopati
iskemik. Peningkatan automaticity dapat berkenaan dengan abnormalitas
elektrolit atau iskemi miokard.
Reentry circuit: Reentry secara khas terjadi saat jaringan slow-conducting
(mis, jaringan yang mengalami infark) yang terdapat sering bersama dengan
jaringan normal. Jaringan slow-conducting dapat berhubungan dengan
miokard yang rusak, seperti pada kasus infark miokard yang mengalami
penyembuhan.
Triggered activity: Afterdepolarizations dicetuskan oleh impuls yang timbul
yang dapat mengakibatkan aktivasi premature jika ambang rangsang dicapai,
dan ini dapat menyebabkan VES. Afterdepolarization dapat terjadi baik
selama atau setelah selesainya repolarisasi. Awal afterdepolarization
umumnya bertanggung jawab terhadap bradikardia yang berhubungan dengan
VES, tetapi dapat juga muncul dengan dengan iskemia dan abnormalitas
elektrolit.
Mortalitas / Morbiditas
Prognosis tergantung pada frekuensi dan karakteristik VPCs dan pada jenis
dan beratnya yang berhubungan dengan penyakit jantung structural. VPCs
dihubungkan dengan peningkatan resiko kematian, khususnya saat didiagnosa PJK,
6
tetapi hubungan antara frekuensi VPCs dan mortalitas, bahkan pada kelompok ini,
tidak kuat dan tidak menguntungkan untuk menekan VPCs untuk memperbaiki
survival pada populasi yang manapun.
Pada pasien-pasien yang asimtomatik, ektopik ventricular yang sering
( didefinisikan sebagai depolarisasi ventricular prematur yang berurutan yang
terjadi dua kali atau lebih atau dengan depolarisasi ventrikel premature yang
terdiri dari >10% dari seluruh depolarisasi ventricular pada seluruh
penyadapan EKG dengan subjek dalam keadaan istirahat, selama exercise,
atau selama pemulihan) direkam selama exercise dihubungkan dengan
peningkatan resiko kematian kardiovaskuler 2,5 kali lipat. VPCs yang lebih
jarang tidak meningkatkan resiko.
Secara umum, VPCs multimorfik mengandung arti prognosis yang lebih berat
daripada yang uniform. Pada pasien post-MI, VPCs yang sering (>10x/jam)
dihubungkan dengan peningkatan mortalitas pada era pretrombolitik, tetapi
hubungannya lemah pada pasien yang menerima trombolisis.
Pada studi yang baru, VPCs yang sering (didefinisikan sebagai terdapatnya
7x/menit atau lebih VPCs selama stadium apa saja, ventricular bigemini,
trigemini, couplets, triplets, ventricular takikardi yang tidak berlanjut atau
yang berlanjut, ventricular flutter, torsade de pointes, atau ventrikel fibrilasi)
selama pemulihan dari exercise merupakan predictor kematian yang
independent. Namun, VPCs yang sering hanya selama exercise tidak secara
independent memprediksi suatu peningkatan resiko.
VPCs yang sering, khususnya saat terjadi pola yang bigemini, dapat
mencetuskan takikardi yang diinduksi kardiomiopati yang dapat dikembalikan
dengan menghilangkan VPCs melalui ablasi kateter.
Tanda dan Gejala
7
Ventrikel Extra Systol (VES) atau Premature Ventrikular Beats (PVCs) atau
Ventrikular Ectopy dapat terjadi sebagai episode singkat dengan penghentian spontan
atau sebagai periode berkelanjutan bigemini atau trigemini. Terjadinya yang lebih
dari tiga kali VES yang berturutan dipertimbangkan sebagai ventricular takikardia.
Gejala yang paling umum yang dihubungkan dengan ventricular ektopi adalah
palpitasi, hampir sinkop dan sinkop. Umumnya semakin lama episode ektopi semakin
berat gejalanya. Volume darah yang diinjeksikan oleh premature beat lebih kecil dari
normal, sebaliknya stroke volume dari beat yang mengikuti jeda kompensasi lebih
besar dari normal.
Diagnosis
PVCs muncul dari sumber tunggal (unifokal) atau multiple yang berlokasi di
bawah AV node. Karakteristik temuan ekg termasuk kompleks yang premature dan
lebar, tanpa didahului gelombang P, segmen ST dan defleksi gelombang T
berlawanan dengan defleksi QRS dan jeda kompensasi sebelum beat sinus
berikutnya. “Vulnerable period” yang merupakan periode refractory relatif potensial
aksi jantung, terjadi kira-kira sepertiga tengah gelombang T. PVCs yang terjadi
selama waktu ini dapat menginisiasi beat yang berulang termasuk takikardia ventrikel
atau fibrilasi ventrikel. Situasi klinis ini dikenal sebagai fenomena R-on-T.
Penatalaksanaan
Pada yang tidak terdapat penyakit jantung, VPCs asimtomatik terisolasi, tanpa
memperhatikan konfigurasi dan frekuensi, tidak membutuhkan penanganan. Saat
aritmia simtomatik, simtom sebaiknya pertama kali ditangani dengan menghilangkan
kecemasan pasien, atau jika tidak berhasil, mengurangi frekuensi VPCs dengan obat
antiaritmia. Penyekat adrenergic mungkin berhasil dalam menangani VPC yang
terjadi terutama pada siang hari atau dibawah situasi stress dan pada keadaan khusus
seperti prolaps katup mitral dan tirotoksikosis. Sementara obat antiaritmia lain yang
mungkin dapat dicoba tidak berhasil, resikonya mungkin melebihi keuntungannya.
8
Pada pasien dengan penyakit jantung, VPCs yang sering, dihubungkan dengan
peningkatan resiko kematian jantung yang tiba-tiba dan yang bukan, dan banyak
dokter telah mencoba untuk menghilangkan atau mengurangi frekuensi VPCs sebagai
usaha untuk mengurangi resiko ini. Namun, hubungan sebab akibat VPCs menjadi
kejadian fatal belum ditegakkan. Kemampuan terapi farmakologi antiaritmia yang
dituntun oleh monitoring EKG yang kontinyu untuk mengurangi resiko kematian
tiba-tiba pada pasien post MI dengan VPCs yang sering (6 permenit) telah diuji oleh
the Cardiac Arrhythmia Suppression Trial (CAST).
PVCs sebaiknya di terapi bila sering, polymorfik, terjadi banyaknya tiga atau
lebih, atau berada pada vulnerable period karena karakteristik ini dihubungkan
dengan peningkatan insiden takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel. Langkah
pertama pada penanganan PVCs yaitu menghilangkan atau memperbaiki penyebab
yang mendasarinya. (table 1). Penghentian obat yang menyebabkan dysritmia atau
obat-obat yang memperpanjang interval QT dan mengeliminasi iritasi mekanik
jantung iatrogenic seperti pada sutau kateter intrakardial dapat menurunkan insidens
dysritmia ventricular. Defibrilator sebaiknya cepat didapatkan bila klinis yang
memburuk menjadi terjadinya dysritmia yang mengancam jiwa.
Dengan pengecualian β-bloker, obat antidysritmia yang saat ini tersedia tidak
menunjukkan efektivitas pada trial klinis yang diacak terutama pada penatalaksanaan
dysritmia ventrikel. Banyak obat-obat antidysritmik memiliki efek prodysritmik
dan/atau memperpanjang interval QT. Pada kenyataannya, pemanjangan depolarisasi
(panjang QT) dapat mencetuskan dan meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya
dysritmia. Amiodaron, lidokain, dan antidysritmia yang lain tidak diindikasikan
kecuali PVCs berkembang menjadi takikardi ventrikel atau cukup sering untuk
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik. Therapi obat sama sekali tidak efektif
untuk menekan dysritmia ventricular dikarenakan iritasi mekanik jantung.
Table.1 Conditions and Factors Associated with Development of Ventricular
9
Premature
Normal heart
Arterial Hypoxemia
Myocardial ischemia
Myocarditis
Sympathetic nervous system activation
Hypokalemia
Hypomagnesemia
Digitalis toxicity
Caffeine
Cocaine
Alkohol
Mechanical irritation (central venous or
pulmonary artery catheter)
Prognosis
Secara khas, PVCs benign terjadi pada saat istirahat dan hilang dengan
exercise. Suatu peningkatan frekuensi PVCs dengan exercise mungkin suatu indikasi
penyakit jantung yang mendasarinya. Makna prognosis ektopi ventrikel tergantung
pada ada dan beratnya penyakit struktur jantung. Insidens PVCs pada populasi yang
sehat berkisar antara 0,5% pada yang berusia lebih muda dari 20 tahun hingga 2,2%
pada yang lebih tua dari 50 tahun. Pada yang tidak terdapat penyakit struktur jantung,
ektopi ventrikel asimtomatik merupakan benign dengan resiko sudden death yang
tidak dapat dibuktikan bahkan pada yang terdapat takikardi ventrikuler.
Terjadinya enam kali PVCs per menit atau lebih dan pengulangan atau bentuk
yang multifokal ektopi ventrikuler, bahkan jika asimtomatik, mengindikasikan suatu
peningkatan resiko berkembangnya takidysritmia ventrikular yang mengancam jiwa.
Kondisi patologis yang paling umum berhubungan dengan ini yaitu iskemia miokard,
penyakit katup jantung, kardiomiopati, pemanjangan interval QT, dan terdapatnya
abnormalitas elektrolit, khususnya hipokalemia dan hipomagnesemia.
Manajemen Anaestesi
Selama suatu anastesi, jika seorang pasien menunjukkan enam kali per menit
PVCs atau lebih dan pengulangan atau bentuk multifokal ektopi ventrikuler, terdapat
10
suatu resiko peningkatan berkembangnya suatu dysritmia yang mengancam jiwa.
Penanganan sebaiknya memasukkan suatu differensial diagnosis kemungkinan
penyebabnya seperti asidosis, gangguan elektrolit, obat-obat prodysritmik, atau
stimulasi mekanik oleh kateter intrakardiak. Sementara penanganan atau eliminasi
faktor-faktor tersebut sedang berjalan, ketersediaan segera defibrilator sebaiknya
dikonfirmasikan.
β-bloker merupakan obat yang paling berhasil menekan ektopi ventrikuler dan
dysritmia. Amiodaron, lidokain, dan dysritmik yang lain diindikasikan hanya jika
PVCs berkembang menjadi takikardi ventrikuler atau cukup sering untuk
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik.
Amiodarone (Cordarone, Pacerone) Class III antiarrhythmic memiliki efek
yang tumpang tindih seluruh kelas Vaughn-Williams antiarrhythmic. Mungkin
menghambat konduksi A-V dan fungsi sinus node. Memperpanjang potensial aksi
periode refraktori pada miokardium dan menghambat stimulasi adrenergik.
Merupakan obat yang terbukti mengurangi insidens dan resiko kematian mendadak
jantung, dengan atau tanpa obstruksi outflow ke LV. Sangat efektif dalam
mengkonversi atrial fibrilasi dan flutter menjadi sinus ritme dan menekan rekuren
aritmia ini. Mempunyai resiko yang rendah terjadinya proaritmia, dan menghambat
reaksi proaritmia apa saja. Digunakan pada pasien dengan penyakit jantung
struktural. Kebanyakan klinisi nyaman dengan dosis awal 400 mg per oral tiga kali
sehari selama seminggu karena efek proaritmia yang rendah, tetapi harus dimonitor
terjadinya bradiaritmia. Dosis iv 150 mg (10 mL) pada 10 menit pertama dilanjutkan
dengan 360 mg (200 mg) untuk 6 jam selanjutnya, 540 mg untuk 18 jam berikutnya.
Lidokain merupakan antiaritmia kelas II, mempunyai toksisitas yang rendah
dan sangat efektif pada aritmia yang berhubungan dengan infark miokard. Hanya
digunakan melalui iv. Lidokain memblok sodium channel aktif dan tidak aktif dengan
11
rapid kinetik. Kardiotoksik paling kecil dibandingkan sodium channel bloker yang
ada saat ini. Terdapat efek proaritmia termasuk nodus sinoatrial arrest, memperburuk
konduksi yang terganggu, dan aritmia ventrikuler namun jarang. Pada dosis yang
besar khususnya pada pasien dengan terdapat gagal jantung dapat menyebabkan
hipotensi terutama dengan menekan kontraktilitas miokard. Toksisitas ektrakardiak
yang paling umum yaitu neurolgis: tremor, mual sentral, kepala terasa melayang,
gangguan pendengaran, gangguan berbicara, konvulsi. Pada dewasa losis awal 150-
200 mg diberikan dalam 15 menit dan harus diikuti dengan infus rumatan 2-4
mg/menit.
Gambar contoh beberapa jenis ventrikel ekstra sistol
12
Analisa KasusPada kasus ini pasien wanita umur 50 tahun tanpa riwayat penyakit
jantung, tanpa gejala yang jelas dan riwayat gangguan hemodinamik pada pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi jantung yang irreguler dengan VES
16-18 x/menit. Dari pemeriksaan penunjang tidak didapatkan gangguan elektrolit,
terdapat kardiomegali, EKG VES 16-18 x/menit.
Penanganan pasien dimulai dari preop dengan menghilangkan
kecemasan yang mungkinan menjadi penyebab VES yang sudah diberikan oleh
dokter Penyakit Dalam yaitu Clobazam 1x10 mg. Saat di kamar operasi pasien
diinjeksi dengan midazolam 1,5 mg namun VES tidak berkurang. Induksi dengan
opioid, propofol, dan atrakurium. Lalu diintubasi dengan ETT yang sesuai
ukurannya. Setelah induksi dan intubasi VES tidak berkurang bahkan setelah 10
menit pasca intubasi VES meningkat ( 20-23x/menit ) sehingga diberikan obat
antiaritmia. Dipilih amiodarone karena efektif mengatasi VES dan tanpa efek
samping neurologis disamping dibutuhkan dosis yang lebih kecil dibanding
lidokain.
Post op, hemodinamik pasien dalam keadaan baik dan dengan VES
yang jarang. Sehari setelah operasi hemodinamik pasien tetap baik tapi VES
kembali menjadi lebih sering walaupun sudah di terapi oral dengan amiodarone .
Keadaan ini menimbulkan suatu dugaan adanya suatu kelainan struktural jantung,
yang ditandai oleh kardiomegali dan adanya kelainan lain tidak dapat
disingkirkan karena tidak adanya pemeriksaan jantung yang lebih lanjut.
Kepustakaan
1. Watson KT. Abnormalities of cardiac conduction and cardiac rhythm. In: Hines RL, Marschall, editors. Stoelting’s anesthesia and co-existing disease. 5th ed. Philadelphia: Churchill Livivingstone; 2008. p. 61-86
13
2. Luck JC. Arrhythmia, rhythm management devices, and catheter and surgical ablation. In: Hensley FA, Martin DE, Gravlee GP, editors. A practical approach to cardiac anesthesia. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p. 464-477
3. Trankina MF. Class I antiarrhythmic drugs: ventricular proarrhythmia. In: Atlee JL, editor. Complications in anesthesia. 2nd ed. Philadelphia: Saunder Elsevier; 2007. p. 36-39
4. Hume JR, Grant AO. Agent used in cardiac arrhythmias. In: Katzung BG, editor. Basic & clinical pharmacology. 9th ed. Singapore: The McGraw-Hill Companies.; 2004. p. 216-239
5. Homework Help 6. https://www.homeworkping.com/ 7. Math homework help 8. https://www.homeworkping.com/ 9. Research Paper help 10. https://www.homeworkping.com/ 11. Algebra Help 12. https://www.homeworkping.com/ 13. Calculus Help 14. https://www.homeworkping.com/ 15. Accounting help 16. https://www.homeworkping.com/ 17. Paper Help 18. https://www.homeworkping.com/ 19. Writing Help 20. https://www.homeworkping.com/ 21. Online Tutor 22. https://www.homeworkping.com/ 23. Online Tutoring 24. https://www.homeworkping.com/ 25.
14