135819341 tutorial metadon
DESCRIPTION
nlTRANSCRIPT
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa TutorialFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman / RSJD Atma Husada Mahakam
PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON
`
OlehM. TAUFIK ADHYATMA
HELSA ELDATARINAMONIKA RIA P.SURYA AZHARI
Pembimbingdr. Denny Jeffry Rotinsulu, Sp.KJ
LAB / SMF KESEHATAN JIWAFakultas Kedokteran
Universitas MulawarmanRSJD Atma Husada Mahakam
2013
1
Tutorial
PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON
Oleh:
M. TAUFIK ADHYATMAHELSA ELDATARINA
MONIKA RIA P.SURYA AZHARI
Dipresentasikan pada tanggal 21 Januari2013
Mengetahui,
Pembimbingdr.H.Jaya Mu’alimin, Sp.KJ
2
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah penyalahgunaan Napza di Indonesia bukanlah suatu persoalan yang
baru. Jenis zat utama yang disalahgunakan pun berubah seiring perjalanan waktu.
Pada kurun waktu 1970-1980 didominasi oleh zat jenis opiod (morfid/heroin),
kurun waktu 1980-1990 oleh zat benzodiazepin, ganja, dan alkohol, kurun waktu
1990-2000 oleh zat jenis heroin dan ekstasi, dan pada kurun waktu 2000 hingga
saat ini didominasi oleh zat jenis metamfetamin (shabu), ekstasi (MDMA), dan
heroin. Maraknya penggunaan heroin pada tahun 90an menggiring terjadinya
penggunaan heroin dengan cara suntik, dimana penggunanya disebut sebagai
“penasun” (pengguna Napza suntik). Pada pertengahan tahun 90an lah masalah
penyalahgunaan Napza disadari bukanlah semata-mata berkaitan dengan perilaku
adiksinya saja, melainkan juga berhubungan dengan konsekuensi medis akibat
penularan HIV/AIDS di kalangan penasun. Hingga tahun 2008, penularan melalui
pengunaan jarum suntik tidak steril adalah modus penularan utama HIV di
Indonesia.Sampai akhir Desember 2011 tercatat ada 28.757 kasus AIDS dengan
9.392 kasus IDU (Injecting Drug User) yang telah dilaporkan(1).
Pencegahan penyebaran HIV/AIDS dikalangan pengguna narkotik suntik
perlu dilakukan dengan upaya pengurangan dampak buruk (Harm
Reduction).Program HR memiliki tujuan untuk menjaga agar penyalahguna
narkoba tetap hidup dalam keadaan baik serta tetap produktif sampai mereka
berhenti menyalahgunakan narkoba dan pada akhirnya dapat bersatu kembali
dengan masyarakat.Sejak tahun 2009, UNAIDS bersama dengan WHO dan
UNODOC merumuskan program HR menjadi 9 langkah, guna meningkatkan
cakupan akses bagi program pencegahan, terapi, perawatan dan dukungan, yaitu :
1. Layanan jarum alat suntik
2. Terapi ketergantungan Napza
3. Testing dan konseling HIV
4. Terapi anti retroviral
5. Pencegahan dan terapi infeksi menular seksual
6. Program kondom bagi pengguna Napza suntik dan pasangan seksnya
3
7. Informasi, edukasi, dan komunikasi terarah bagi penasun dan pasangan
seksnya
8. Diagnosis dan terapi serta vaksinasi virus hepatitis
9. Pencegahan, diagnosis dan terapi TB paru
Program HR yang terbukti cukup efektif memudahkan pengguna kembali ke
aktivitas pekerjaan/fungsi dalam masyarakat yaitu terapi ketergantungan Napza,
melalui terapi subsitusi opiat yang mencakup metadon, levo-alpha-acetyl-
methadol (LAAM), buprenorfin, diacetylmorphine (heroin), dan naltrexone.
Terapi subtitusi opiat yang telah diterapkan di banyak bagian di dunia adalah
program terapi rumatan metadon (PTRM). Di indonesia sendiri tersedia 2
program yaitu PTRM dan PTRB (program terapi rumatan buprenorfin).
PTRM akan mengurangi atau menghilangkan penggunaan heroin,
mengurangi angka kematian dan mengurangi angka kriminalitas yang
berhubungan dengan pemakaian heroin, berpotensi untuk mengurangi paparan
berbagai macam infeksi yang disebabkan karena pemakaian jarum suntik
bergantian. Prinsip utama PTRM adalah untuk meniadakan keadaan sakau (putus
obat), meminimalkan gejala-gejala putus obat dan menghilangkan efek euphoria
yang disebabkan heroin.
Permasalahan utama dari terapi penyembuhan penyalahgunaan narkoba dan
penyakit HIV/AIDS yaitu sebagian besar pasien berhenti mengikuti suatu
program sebelum mereka merasakan efek terapeutik dari program tersebut.Jadi
bisa dikatakan agar dapat sukses dan mempunyai efektifitas yang tinggi dalam
suatu program terapi maka pasien harus patuh pada program yang sedang
dijalankannya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metadon
Metadon adalah di-4,4-difenil-6-dimetil-amino-3-heptanon. Struktur kimianya
adalah :
Metadon adalah opiat (narkotik) sintetis yang kuat seperti heroin (putaw) atau
morfin, tetapi tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat.Metadon merupakan obat
yang digolongkan dalam golongan 2 dalam UU RI no.35 tahun 2009 tentang
narkotika. Metadon digunakan untuk pengobatan medik spesifik sebagai bagian
untuk terapi ketergantungan opioid dan dalam pengawasan kuat, biasanya
disediakan pada Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), yaitu program yang
mengalihkan pengguna heroin pada obat lain yang lebih aman.
Metadon bukan penyembuh untuk ketergantungan opiat, selama memakai
metadon, penggunanya tetap tergantung pada opiat secara fisik.Tetapi metadon
menawarkan kesempatan pada penggunanya untuk mengubah hidup menjadi lebih
stabil dan mengurangi risiko terkait dengan penggunaan narkoba suntikan, dan
juga mengurangi kejahatan yang sering terkait dengan kecanduan. Penggunaan
metadon dengan di minum mengurangi penggunaan jarum suntik bergantian
sebagai faktor perilaku yang sangat berisiko penularan HIV dan virus lain.
2.1.1 Farmakologi
Metadon (4,4-diphenyl-6dimethylamino-3-hepatone) adalah suatu agonis
opioid sintetik, bukan zat alami seperti yang berasal dari bunga poppy.
5
Farmakodinamik
SUSUNAN SARAF PUSAT
Efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan efek 10mg
morfin. Dalam dosis tunggal, metadon tidak menimbulkan hypnosis sekuat
morfin. Setelah pemberian metadon berulang kali timbul efek sedasi yang
jelas, mungkin karena adanya kumulasi. Dosis ekuianalgetik menimbulkan
depresi napas yang sama kuat seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari 24r
jam setelah dosis tunggal. Seperti morfin, metadon berefek antitusif,
menimbulkan hiperglikemia, hiportemia dan penglepasan ADH.
OTOT POLOS
Seperti meperidin, metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus dan
menghambat efek spasmogenik asetilkolin atau histamine. Efek konstipasi
metadon lebih lemah dari pada morfin. Seperti morfin dan meperidin, metadon
menimbulkan spasme saluran empedu pada manusia dan hewan coba. Ureter
mengalami relaksasi, mungkin karena telah terjadi antidiuresis. Uterus
manusia a terme tidak banyak dipengaruhi metadon. Miosis yang ditimbulkan
metadon lebih lama daripada miosis oleh morfin. Pada pecandu metadon
timbul toleransi efek miosis yang cukup kuat.
SISTEM KARDIOVASKULAR
Metadon menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat
menimbulkan hipotensi ortostatik. Pemberian metadon tidak mengubah
gambaran EKG tetapi kadang-kadang timbul sinus bradikardi. Obat ini
merendahkan kepekaan tubuh terhadap CO2 sehingga timbul retensi CO2 yang
dapat menimbulkan dilatasi pembuluh darah cerebral dan kenaikan tekanan
cairan otak.
Farmakokinetik
Setelah suntikan metadon subkutan,metadon ditemukan kadar dalam plasma
yang tinggi selama 10 menit pertama. Sekitar 90% metadon terikat
proteinplasma.Metadon diabsorbsi secara baik oleh usus dan dapat ditemukan
dalam plasma setelah 30 menit pemberian secara oral; kadar puncak dicapai
setelah 4 jam. Metadon yang diberikan secara intravena mempunyai potensi sama
6
dengan morfin. Bioavaibilitas oralnya mencapai 80-90%, diabsorbsi secara
perlahan, dan pada 30 menit kemudian berefek pada tubuh. Pencapaian kadar
puncak dalam cairan tubuh adalah 2-4 jam setelah masuk dalam tubuh.
Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru, hati, ginjal dan
limpa, hanya sebagian kecil yang masuk otak. Kadar maksimal metadon dalam
otak dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian parenteral dan kadar ini sejajar
dengan intensitas dan lama analgesia. Metadon banyak diikat oleh protein plasma
dalam jaringan seluruh tubuh.Konsentrasi metadon dalam jaringan tersebut lebih
tinggi daripada dalam darah.Ikatan ini menyebabkan terjadinya akumulasi
metadon dalam tubuh cukup lama bila seseorang berhenti menggunakan metadon.
Biotransformasi metadon terutama terjadi di hati, metabolitnya bersifat inaktif.
Salah satu reaksi yang paling penting adalah dengan cara N-demetilasi.
Sebagiandieksresi lewat urin sebagai bentuk metadon (kurang dari 10%) dan tinja
sebagai hasil biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin. Sebagian besar diekskresi
bersama empedu.Waktu paruh pada dosis berulang adalah 24-36 jam, tetapi
sangat bervariasi dari orang ke orang. Metadon mencapai kadar tetap dalam tubuh
setelah penggunaan 3-10 hari. Setelah stabilisasi dicapai, variasi konsentrasi
metadon dalam darah tidak terlalu besar dan supresi gejala putus obat lebih mudah
dicapai(5).
2.1.2 Indikasi
Indikasi metadon yaitu(5):
1. Analgesia
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri yang
dapat dipengaruhi morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah
pemberian parenteral atau 30-60 menit oral metadon. Masa kerja metadon dosis
tunggal kira-kira sama dengan masa kerja morfin. Pada pemberian berulang
terjadi efek akumulasi, sehingga dapat diberikan dosis lebih kecil atau interval
dosis dapat lebih lama.
2. Antitusif
Efek antitusif 1,5-2 mg per oral sesuai dengan 15-20 mg codein, tetapi
kemungkinan timbulnya adiksi pada metadon jauh lebih besar dari codein. Oleh
7
karenanya dewasa ini penggunaannya sebagai antitusif tidak dianjurkan atau telah
ditinggalkan.
2.1.3 Sediaan dan Dosis
Metadon dapat diberikan secara oral maupun suntikan, tetapi suntikan
subkutan menimbulkan iritasi total. Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 dan
10 mg serta sediaan suntikan dalam ampul atau vial dengan kadar 10 mg/ml.
Dosis analgetik metadon oral untuk dewasa berkisar antara 2,5-10 mg.
Dosis optimal dikatakan tidak mutlak, pada umumnya sekitar 60-120 mg
(Beberapa pasien/klien dengan dosis 350 mg, dengan kombinasi ARV). Ada
individu yang memerlukan dosis rendah dan beberapa memerlukan dosis tinggi.
Jika melampaui level lebih tinggi dari 150-200 mg/ml, perlu dilakukan
pemeriksaan medic menyeluruh. Bila pasien tidak tahan dengan dosis tunggal,
maka dapat dilakukan dosis terbagi, diberikan pada kasus tertentu seperti mereka
yang membutuhkan dosis tinggi.Pemberian dosis kedua dari bagian dosis terbagi
sebaiknya tetap dilakukan di klinik agar tidak diselewengkan.Dosis letal atau
mematikan adalah 17 mg/kgBB perhari(8).
2.1.4 Efek samping
Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, pusing, kantuk,
fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual dan muntah.Seperti pada
morfin dan meperidin, efek samping ini lebih sering timbul pada pemberian oral
daripada pemberian parenteral dan lebih sering timbul pada pasien berobat
jalan.Efek samping yang jarang timbul adalah delirium, halusinasi dan urtikaria
hemoragik.Kepekaan seseorang terhadap metadon dipengaruhi oleh faktor yang
mempengaruhi kepekaan terhadap morfin. Terapi intoksikasi akut metadon sama
dengan terapi intoksikasi akut morfin(5).
2.1.5 Toleransi dan Kemungkinan Adiksi
Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgetik, mual, anoreksia,
miotik, sedasi, depresi napas dan efek kardiovaskuler, tetapi tidak timbul terhadap
konstipasi.Toleransi ini lebih lambat daripada toleransi terhadap morfin.
8
Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara kronik
dapat dibuktikan dengan cara menghentikan obat atau dengan memberikan
nalorfin. Kemungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil daripada bahaya adiksi
morfin(5).
2.1.6 Sedian dan Posologi
Metadon dapat diberikan secara oral maupun suntikan, tetapi suntikan
subkutan menimbulkan iritasi local. Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 mg
dan 10 mg serta sediaan suntikan dalam ampul atau vial dengan kadar 10 mg/dl.
Dosis analgetik metadon oral untuk dewasa berkisar antara 2,5-15 mg, tergantung
dari hebatnya nyeri dan respon pasien, sedangkan dosis parenteral ialah 2,5-10
mg(5).
2.1.7 Interaksi Obat
Walaupun tidak terdapat kontraindikasi absolut pemberian suatu obat bersama
metadon, beberapa jenis obat harus dihindarkan bila pasien mengkonsumsi
metadon. Antagonis opiat harus dihindari. (5)
Barbiturat, efavirenz, estrogen, fenitoin, karbamazepin, nevirapin, rifampisin,
spironolakton, dan verapamil akan menurunkan kadar metadon dalam darah. Pada
keadaan ini mulailah dengan dosis 30 mg.
Sebaliknya, ketokonazol, SSRI terutama flufoksamin, eritromisisn,
antiretroviral HIV : ritonavir,amitriptilin, flukonazol, flufoksamin, dan simetidin
akan meningkatkan kadar metadon dalam darah. Etanol secara akut akan
meningkatkan efek metadon dan metadon akan menunda eliminasi etanol.Pada
keadaan ini dosis awal metadon dapat 20 mg.
Obat yang mempunyai aksi potensial dengan metadon adalah benzodiazepin,
alkohol, antidepresan trisiklik.(5)
2.1.8 Kontraindikasi
semua obat yang merupakan kontraindikasi pada penggunaan opioid,
yakni abdomen akut, trauma kepala, penyakit paru lanjut.
9
hepar yang dekompensasi sehingga menimbulkan gejala kuning, asites,
ensephalopati pada keadaan ini kurangi dosis jika ketergantungan
metadon
asma akut, alkohol akut, kolitis ulseratif (megakolon toksik, spasme
empedu dan ureter.
2.1.9 Perhatian khusus
Pemberian metadon amat sangat perlu pertimbangan pada keadaan sebagai
berikut :
gangguan psikiatri, stabilkan dulu gangguan psikiatrinya sampai pasien dapat
menerima dengan jelas informasi tentang diri dan pengobatan metadon dan
dapat menandatangai informed consent
reaksi alergi jarang, kadang atropati dengan efusi sendi, sakit, disabilitas.
gunakan terapi lain, jangan metadon
penggunaan zat multipel
tidur apneu karena sumbatan
Segera mulai terapi rumatan metadon pada pasien dalam keadaan :
hamil, karena putus heroin akan mengancam aborsi spontan, penekanan janin,
kematian janin dalam rahim, metadon terapi pilihan dalam keadaan ini
penyakit medik akut pada mana putus zat akan memperparah penyakit
2.2 Program Terapi Rumatan Metadon
Program Terapi Rumatan Metadon menyediakan dan memberikan obat legal
yang dikonsumsi secara oral (dengan diminum) sebagai pengganti obat
ilegal/Napza yang dikonsumsi dengan cara menyuntik. Keikutsertaan dalam
Program Rumatan Metadon telah dikaitkan dengan manfaat ganda yang meliputi
turunnya angka kematian, morbiditas, infeksi HIV dan angka kriminalitas serta
mengembalikan kemampuan sosial Pengguna Napza Suntik (Penasun) (2).
Sebagai salah satu dari modalitas terapi, PTRM telah banyak dikaji dengan
sangat mendalam. Pelaksanaan program yang disertai dengan pengkajian secara
intensif dan sistematis pertama kali dilakukan oleh Vincent Dole dan Marie
Nyswander di klinik kota New York pada tahun 60an. Program mereka didasari
10
oleh keyakinan bahwa pecandu heroin kronis menderita apa yang disebut sebagai
“narcotic hunger”, fenomena yang membuat pecandu menjadi sibuk untuk mecari
heroin lepas dari berbagai konsekuensi yang ditimbulkannya. Program pertama
PTRM ini tidak hanya menggunakan metadon sebagai pengganti heroin tetapi
juga memberikan berbagai pelayanan psikososial lain. Puluhan tahunsetelah
percobaan yang pertama ini, implentasi PTRM dan berbagai regulasinya di
berbagai belahan dunia menjadi beragam. Saat ini, tujuan utamadari program ini
tidak ditujukan semata-mata untuk mengatasi ketagihan heroin dan
mengembangkan hubungan yang terapeutik, melainkan juga mencegah penularan
HIV di kalangan penasun.
PTRM menunjukkan hasil yang relatif efektif karena biayanya relatif lebih
murah dibandingkan rehabilitasi rawat inap, sehingga mengakomodasi lebih
banyak pecandu heroin, maupun juga karena kemampuannya mempertahankan
pecandu heroin lebih lama berada dalam program. Penelitian di negara barat
menunjukkan bahwa PTRM dapat menahan hingga 60% pasien utuk 1 tahun.
PTRM juga dapat merubah perilaku berisiko pecandu. Jika dosis stabil telah
dicapai, program ini dapat mencegah pecandu dari gejala nagih (suges), sehingga
dapat mengurangi kecenderungan penggunaan heroin ketika mengikuti program.
PTRM juga mengurangi perilaku berisiko terkait penularan HIV seperti berbagi
perlatan suntik. PTRM juga efektif menurunkan angka keterlibatan pada tindak
kriminalitas. Tidak hanya menurunkan perilaku berisiko, peserta metadon juga
merasa lebih sehat dan memiliki gaya hidup yang lebih produktif. Hasil yang
menunjukkan perbaikan kualitas hidup ini menjadi alasan mendasar kebijakan
pengembangan program terapi rumatan metadon di Indonesia sejak tahun 2006.
2.2.1 Tujuan PTRM
PTRM sering mempunyai dua tujuan pilihan.Tujuan pertama adalah untuk
membantu pengguna berhenti penggunaan heroin, diganti dengan takaran metadon
yang dikurangi tahap-demi-tahap selama jangka waktu tertentu.Tujuan kedua
adalah untuk mengurangi beberapa dampak buruk akibat penggunaan heroin
secara suntikan.Pilihan ini menyediakan terapi rumatan, dengan pemberian
11
metadon pada pengguna secara terus-menerus dengan takaran yang disesuaikan
agar pengguna tidak mengalami gejala putus zat (sakaw)(3).
2.2.2 Kriteria keberhasilan PTRM
Kriteria keberhasilan program terapi rumatan metadon adalah(4):
1. Jumlah pasien yang drop-out pada tahun pertama kurang dari 45%.
2. Jumlah hasil tes air seni sewaktu-waktu terhadap opiat yang menunjukkan
hasil positif kurang dari atau sama dengan 30%.
3. Jumlah pasien yang bekerja, sekolah, atau mempunyai kegiatan yang tetap
lebih dari 30%.
4. Kondisi kesehatan pasien yang lebih baik menurut hasil pemeriksaan medis
dokter PTRM.
2.2.3 Memulai terapi metadon
Kriteria inklusi :
Harus memenuhi kriteria ICD-X untuk ketergantungan opioid.
Usia yang direkomendasikan : 18 tahun atau lebih. Mereka yang berusia < 18
tahun harus mendapat second opinion dari professional medis lain.
Ketergantungan opioid (dalam jangka 12 bulan terakhir).
Sudah pernah mencoba berhenti menggunakan opioid minimal satu kali.
Kriteria eksklusi :
Pasien/klien dengan penyakit fisik berat. Hal tersebut perlu pertimbangan
khusus; hal tersebut akan dilakukan dengan meminta opini kedua profesi
medic terkait.
Psikosis yang jelas, perlu pertimbangan psikiater untuk menentukan langkah
terapi
Retardasi mental yang jelas, perlu pertimbangan psikiater untuk menentukan
langkah terapi
PTRM tidak diberikan kepada pasien dalam keadaan overdosis atau
intoksikasi opioid. Penilaian terhadap pasien dapat dilakukan sesudah pasien
tidak berada dalam keadaan overdosis atau intoksikasi.
12
Pemberian Dosis Awal Metadon
Dosis awal yang dianjurkan adalah 15-30 mg untuk tiga hari pertama.
Kematian sering terjadi bila menggunakan dosis awal yang melebihi 40 mg.
Kadar metadon dalam darah akan terus naik selama lima hari pertama setelah
pemberian dosis awal. Kematian akan terjadi akibat dari akumulasi dosis yang
mencapai kadar toksik akibat kenaikan dosis sebelum efek lengkap dari dosis saat
ini diketahui.
Dosis Kondisi
15 s/d 20 Kondisi medis yang parah
Level neuroadaption yang rendah atau tidak pasti
Resiko tinggi polydrug use
20 s/d 25 mg Level neuroadaption sedang atau dengan beberapa resiko
25 s/d 30 mg Level neuroadaption tinggi/pasien dikenal oleh dokter/sering
menggunakan metadon sebelumnya.
Pasien menggunakan RV atau OAT
Pasien harus diobservasi 45 menit setelah pemberian dosis awal untuk
memantau tanda-tanda toksisitas atau gejala putus obat. Jika terdapat intoksikasi
atau gejala putus obat berat, maka dosis akan dimodifikasi sesuai dengan
keadaan(5).
Tidak ada hubungan yang jelas antara besarnya jumlah dosis opiate yang
dikonsumsi seorang pengguna opioid suntik dengan dosis metadon yang
dibutuhkannya pada PTRM.
Estimasi yang terlalu tinggi tentang toleransi pasien terhadap opiate dapat
membawa pasien kepada risiko toksik akibat dosis tunggal. Dan juga pasti
meningkatkan risiko yang lebih sering terjadi yaitu keadaan toksik akibat
akumulasi metadon sebab metadon yang mempunyai waktu paruh lambat
dieliminasi secara lambat.
Estimasi toleransi pasien terhadap metadon yang terlalu rendah menyebabkan
risiko pasien untuk menggunakan opiate yang illegal bertambah besar akibat
kadar metadon dalam darah kurang, dan akan memperpanjang gejala putus zat
maupun periode stabilisasi.
13
Metadon harus diberikan dalam bentuk cair dan diencerkan sampai menjadi
100 cc untuk dosis metadon di atas 25 mg dan diencerkan sampai 50 cc untuk
dosis kurang dari 25 mg. semakin besar dosis, sebaiknya pengenceran semakin
banyak.Pengenceran dilakukan setelah penakaran.Dosis harian metadon yang
diberikan yang diberikan ke pasien harus diencerkan dan diberikan campuran
sirup untuk mencegah disuntikkan dan didiversi oleh pasien. Karena rasanya yang
pahit, maka metadon perlu diberi perasa manis (sirup). Demikian pula juga
dengan dosis yang akan dibawa pulang (THD=take home dose).
Jika pasien muntah setelah minum metadonnya, penggantian dosis muntah
akan dilakukan jika proses muntah disaksikan oleh petugas. Jika proses muntah
tidak dilakuakn namun terdapat bukti bahwa pasien muntah maka diperlukan
penilaian oleh dokter untuk memastikan bahwa terdapat klinis yang menunjang.
Penggantian dosis berdasarkan ketentuan berikut:
- Muntah terjadi < 10 menit sesudah dikonsumsi, ganti dosis hari itu
sepenuhnya.
- Muntah 10-30 menit sesudah dikonsumsi, ganti 50% dosis hari itu.
- Muntah 30-45 menit sesudah dikonsumsi, ganti 25% dosis hari itu.
- Muntah > 45 menit, tak ada penggantian.
2.2.4 Fase Stabilisasi Terapi Substitusi Metadon
Fase stabilisasi bertujuan untuk menaikkan perlahan-lahan dosis dari dosis
awal, sehingga memasuki fase rumatan. Dosis yang direkomendasikan adalah
dosis awal dinaikkan 5-10 mg tiap 3-5 hari. Hal ini bertujuan untuk melihat efek
dari dosis yang sedang diberikan. Total kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh
lebih 30 mg. Apabila pasien masih menggunakan heroin maka dosis metadon
perlu ditingkatkan. Kadar metadon dalam darah akan terus meningkat selama 5
hari setelah dosis awal atau penambahan dosis. Waktu paruh metadon cukup
panjang yaitu 24 jam, sehingga bila dilakukan penambahan dosis setiap hari akan
berbahaya akibat akumulasi dosis. Oleh karena itu, penambahan dosis dilakukan
setiap 3-5 hari (5).
Selama minggu pertama fase stabilisasi, pasien harus datang setiap hari di
klinik atau dirawat di rumah sakit untuk diamati secara cermat oleh profesional
14
medis terhadap efek metadon untuk memperkecil kemungkinan terjadinya
overdosis dan penilaian selanjutnya.
2.2.5 Fase Rumatan Terapi Substitusi Metadon
Dosis rumatan rata-rata adalah 60-120 mg per hari. Dosis rumatan harus
dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur tergantung dari keadaan pasien.
Selain itu banyak pengaruh sosial lainnya yang menjadi pertimbangan
penyesuaian dosis. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku
stabil, baik dalam bidang pekerjaan, emosi dan kehidupan sosial(5).
2.2.6 Fase Penghentian Metadon
Metadon dapat dihentikan secara bertahap perlahan (tappering off).
Penghentian metadon dapat dilakukan pada keadaan berikut(5):
a. Pasien sudah dalam keadaan stabil.
b. Minimal 6 bulan pasien dalam keadaan bebas heroin.
c. Pasien dalam kondisi yang stabil untuk bekerja dan dalam lingkungan rumah
(stable working dan housing).
Penurunan dosis maksimal sebanyak 10%.Penurunan dosis yang
direkomendasikan adalah setiap 2 minggu.Ketika dosis mencapai 20-30 mg, dosis
dapat dikurangi 2,5 mg perminggu, atau tetap pada dosis yang sama untuk waktu
yang lebih lama dari seminggu, baru kemudian diturunkan lagi. Kebanyakan
pasien dapat mentoleransi penurunan dosis sebagai berikut :
- > 50 mg : penurunan 5 mg setiap 2 minggu
- 30-50 mg : penurunan 2,5 mg setiap 2 minggu
- < 30 mg : selanjutnya reduksi diperlambat, lebih efektif 1-2 mg/2 minggu
dengan masa seling istirahat
Jika terdapat kesulitan dalam penurunan dosis, tunda penurunan dosis atau
beri penambahan dosis kembali. Sebaliknya tetap diberikan konseling selama
proses penurunan dosis. Pemantauan perkembangan psikologis pasien harus
diperhatikan.Jika ada emosi tidak stabil, dosis dapat dinaikkan kembali.
Peringatkan pasien mengenai risiko tinggi relaps setelah abstinensia. Tidak lupa
15
memberitahukan pasien, bahwa mereka dapat kembali ke PTRM jika relaps
kembali.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2011, Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia,
1-3, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
16
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 567/Menkes/SK/VIII/2006, 2006,
Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika
dan Zat Adiktif (Napza), 2-3, 4-6, 13-15, 39, Jakarta.
3. Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007, Farmakologi dan Terapi,
Edisi 5, 223-224, Universitas Indonesia, Jakarta.
4. Kaplan, Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri. Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis
Edisi 10. Alih bahasa: Widjaja Kusuma. Jawa Barat: Binarupa Aksara
5. Modul Pelatihan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Kementerian
Kesehatan RI.
6. Drug Policy Aliance, 2006. About Methadone. Drug Polyce Aliance United
States Of America.
7. Edward, S.H, et al, 2003. Clinical Guidelines and Procedures for the use of
Methadone in the Maintenance Treatment of Opioid Dependence.
Commonwealth of Australia.
8. Verseter, A. 2000. Methadone Guideline Euro. European Commission,
Directorate General V, Netherland.
17