140025691 fortifikasi garam beryodium sebagai alternatif penanggulangan masalah gaky di indonesia...

24
GIZI MASYARAKAT: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA ESSAY disusun untuk memenuhi penugasan blok Kesehatan Masyarakat dan Pengaruh Lingkungan Oleh : Qonitatun Nahdliyyah 08711075 Kelompok Tutorial 17 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 1

Upload: husni-bayu-andika

Post on 01-Dec-2015

170 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

GIZI MASYARAKAT: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA

ESSAY

disusun untuk memenuhi penugasan blok Kesehatan Masyarakat dan Pengaruh Lingkungan

Oleh :Qonitatun Nahdliyyah08711075Kelompok Tutorial 17

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ISLAM INDONESIAYOGYAKARTA2011

1. PENDAHULUANKesehatan merupakan modal utama dalam kehidupan setiap orang, dimanapun dan siapapun pasti membutukan badan yang sehat, baik jasmani maupun rohani guna menopang aktifitas kehidupan sehari-hari. Begitu pentingnya nilai kesehatan ini, sehingga seseorang yang menginginkan agar dirinya tetap sehat harus melakukan berbagai macam cara untuk meningkatkan derajat kesehatannya, seperti melakukan penerapan pola hidup sehat dan pola makan yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari (Mubarak, 2009).Sebagai negara yang sedang berkembang dan sedang membangun, bangsa Indonesia masih memiliki beberapa ketertinggalan dan kekurangan apabila dibandingkan dengan negara lain yang sudah lebih maju (Hadi, 2005). Pada saat ini, dalam bidang kesehatan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, dan adanya daerah miskin gizi (iodium). Sebaliknya masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan kesehatan (Almatsier, 2004).Penanganan masalah gizi memerlukan upaya komprehensif dan terkoordinasi, mulai proses produksi pangan beragam, pengolahan, distribusi hingga konsumsi yang cukup nilai gizinya dan aman dikonsumsi. Oleh karena itu kerja sama lintas bidang dan lintas program terutama pertanian, perdagangan, perindustrian, transportasi, pendidikan, agama, perlindungan anak, ekonomi, kesehatan, pengawasan pangan dan budaya sangat penting dalam rangka sinkronisasi dan integrasi kebijakan perbaikan status gizi masyarakat (Bappenas, 2009).Tolok ukur yang dapat mencerminkan status gizi masyarakat adalah status gizi pada anak balita yang diukur dengan berat badan dan tinggi badan menurut umur dan dibandingkan dengan standar baku rujukan WHO (2005). Selain itu keadaan gizi masyarakat juga dapat diketahui dari besarnya masalah kekurangan gizi mikro pada kelompok rentan, yaitu GAKY, AGB, dan KVA (Bappenas, 2009).Defisiensi yodium merupakan salah satu masalah gizi kurang yang masih dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Defisiensi gizi ini dapat diderita orang pada setiap tahap kehidupan, mulai dari masa perinatal sampai lansia. Akibat yang ditimbulkan karena kekurangan yodium sangat luas sehingga defisiensi yodium kemudian dikenal dengan gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY). Berdasarkan konsep UNICEF (1988) penyebab langsung GAKY adalah defisiensi zat gizi yodium. Ketidakcukupan asupan yodium disebabkan oleh kandungan yodium dalam bahan makanan yang rendah dan atau konsumsi garam beryodium yang rendah. Masih banyak masyarakat yang kurang mengetahui manfaat dari garam beryodium merupakan salah satu penyebab rendahnya konsumsi garam yang beryodium. Berbagai alasan dikemukakan sehubungan dengan hal tersebut, antara lain garam beryodium mahal, rasanya pahit, rasanya kurang asin dibandingkan dengan garam yang tidak beryodium. Hal yang mendasar dari penyebab GAKY adalah kandungan yodium dalam tanah yang rendah dan kondisi ini bersifat menetap. Semua tumbuhan yang berasal dari daerah endemis GAKY akan mengandung yodium yang rendah sehingga sangat diperlukan adanya garam beryodium atau bahan makanan dari luar daerah yang nonendemis (Syafiq dkk., 2007).2. KEBIJAKAN PEMERINTAHDalam mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia sesuai Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setia[ orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud (Depkes, 2009).Visi Kementrian Kesehatan adalah Masyarakat Sehat yang mandiri dan berkeadilan. Sedangkan misinya adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Salah satu strateginya adalah Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif. Untuk itu diperlukan data kesehatan dasar yang dapat dikumpulkan secara berkesinambungan (Riskesdas, 2010).Sesuai dengan Rencana Strategis Kementrian Kesehatan tahun 2009-2014, terdapat 8 sasaran keluaran Pembinaan Gizi Masyarakat yaitu sebagai berikut: 100% gizi buruk yang mendapat perawatan 80% bayi 0-6 bulan yang mendapat ASI Ekslusif 90% rumah tangga mengonsumsi garam beryodium 85% balita usia 6-59 bulan mendapat Kapsul Vitamin A 85% ibu hamil yang mendapat 90 tablet besi 100% kabupaten/kota yang melaksanakan surveilan gizi 85% balita yang ditimbang berat badannya (D/S) 100% penyediaan buffer stock MP-ASI untuk daerah bencanaMengacu pada kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam PBB dalam sidang tahun 2010 mengenai pencapaian tujuan MDGs, maka dirumuskan kebijakan dan strategi pangan dan gizi nasional untuk periode 2011-2015. Kebijakan tersebut adalah peningkatan status gizi masyarakat terutama ibu dan anak melalui ketersediaan, akses, konsumsi dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan sehat termasuk sadar gizi, sejalan dengan penguatan mekanisme koordinasi lintas bidang dan lintas program serta kemitraan (Bappenas, 2009).Kebijakan atau program yang diambil menggunakan strategi yang akan dijalankan, strategi tersebut antara lain:1. Perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu prahamil, ibu hamil adan anak melalui peningkatan ketersediaan dan jangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu prahamil, ibu hamil, bayi, dan anak baduta.2. Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam melalui peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang difokuskan pada keluarga rawan pangan dan miskin.3. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan melalui peningkatan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produkl industri rumah tangga (PIRT) tersertifikasi.4. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui peningkatan pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal serta non formal terutama dalam perubahan perilaku atau budaya konsumsi pangan yang difokuskan pada penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, perilaku hidup bersih dan sehat, serta merevitalisasi posyandu.5. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui penguatan kelembagaan pangan dan gizi di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten dan kota yang mempunyai kewenangan merumuskan kebijakan dan program bidang pangan dan gizi, termasuk sumber daya serta penelitian dan pengembangan.Program perbaikan gizi masyarakat secara umum ditujukan untuk meningkatkan kemampuan, kesadaran dan keinginan masyarakat dalam mewujudkan kesehatan yang optimal khususnya pada bidang gizi, terutama bagi golongan rawan dan masyarakat yang berpenghasilan rendah baik di desa maupun di kota. Kegiatan pokok Departemen Kesehatan dalam menginplementasikan Perbaikan Gizi Masyarakat meliputi, peningkatan pendidikan gizi, penanggulangan Kurang Energi Protein (KEP), anemia gizi besi, Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY), kurang Vitamin A, dan kekurangan zat gizi lebih, peningkatan surveillance gizi, dan pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi (Maas, 2003).Undang-undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1996 tentang Pangan secara tegas menyatakan bahwa Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat indonesia harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, begizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.Masalah kekurangan zat gizi mikro merupakan fenomena yang sangat jelas menunjukkan rendahnya asupan zat gizi dari menu sehari-hari. Untuk itu, intervensi gizi yang mampu menjamin konsumsi makanan masyarakat mengandung cukup zat gizi mikro perlu dilakukan. Selain itu, peranan zat gizi mikro secara lengkap perlu dikembangkan untuk daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat. Atas dasar itulah maka perlu dilakukan terobaosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata, diterima oleh msyarakat dan berkelanjutan. Diantara berbagai solusi perbaikan gizi, fortifikasi merupakan slaah satu upaya yang dapat dilakukan. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) dapat diatasi dengan mudah melalui garam yang telah difortifikasi yodium sesuai standar. Cara inilah yang kemudian diadopsi pemerintah sebagai salah satu program perbaikan gizi masyarakat. Dalam rangka mencapai sasaran 90% rumah tangga mengonsumsi garam beryodium, pemerintah mencanangkan program fortifikasi garam beryodium (Syafiq, 2007). Penanggulangan GAKY sebagai bagian dari urusan pemerintah bidang kesehatan sebagai urusan pemerintahan yang bersifat wajib serta diarahkan untuk peningkatan indeks pembangunan manusia. Berdasarkan pertimbangan tersebut ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.63 tahun 2010 tentang Pedoman Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium di Daerah (Mendagri, 2010).3. DATA STATISTIKPertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat pesat dalam 4 dekade terakhir ditandai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun kondisi kelompok rentan ibu dan anak masih mengalami berbagai masalah kesehatan dan gizi, yang ditandai dengan masih tingginya angka kematian ibu dan angka kematian neonatal, prevalensi gizi kurang (BB/U) dan pendek (TB/U) pada anak balita, prevalensi anemia gizi kurang zat besi pada ibu hamil, gangguan akibat kurang yodium pada ibu hamil dan bayi serta kurang vitamin A pada anak balita. Pada tahun 2007 prevalensi anak balita yang mengalami gizi kurang dan pendek masing-masing 18,4% dan 36,8% sehingga Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90% kontribusi masalah gizi dunia (UN-SC on Nutrition, 2008). Walaupun pada taun 2010 prevalensi gizi kurang dan pendek menurun menjadi masing-masing 17,9% dan 35,6%, tetapi masih terjadi disparitas antarprovinsi yang perlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan (Bappenas, 2009).Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, yaitu sebuah survey yang pada anak balita telah menurun secara signifikan menjadi 18,4%. Dengan demikian dalam kurun waktu dua tahun, sejak 2005, kekurangan gizi menurun hampir 10%. Dengan angka ini, maka tujuan RPJM sebesar 20% pada tahun 2009 dan target MDGs sebesar 18,7% pada tahun 2015 telah tercapai. Walaupun terjadi penurunan kekurangan gizi (berat badan menurut umur) secara signifikan, kekurangan gizi kronis masih terlihat cukup tinggi yaitu dilihat dari 36,8% balita yang mengalami stunting (pendek dan sangat pendek, diukur dengan tinggi badan menurut umur). Indikator ini menunjukkan terjadinya kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lebih panjang atau kronis. Jika dilihat secara spesifik menurut tingkat propinsi dan kabupaten/kota, maka terlihat bahwa kekurangan gizi yang cukup parah masih banyak terjadi. Misalnya, 7 provinsi mempunyai rata-rata prevalensi kekurangan gizi lebih dari 25% dan 10 propinsi dengan rata-rata gizi buruk lebih dari 8%. Bahkan 10 kabupaten/kota mempunyai prevalensi gizi buruk mencapai 40% (Minarto, 2010)).Permasalahan gizi lain yang dianggap cukup besar dihadapi di Indonesia adalah kekurangan gizi mikro yaitu kekurangan vitamin A, gangguan akibat kekurangan yodium dan anemia gizi besi. Akhir-akhir ini permasalahan gizi lebih (kegemukan dan obesitas) juga terus meningkat. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga Indonesia (SKRT) 2001, sebanyak 1,3% laki-laki dan 4,6% wanita mengalami obesitas. Pada tahun 2007, obesitas (diukur dengan indeks masa tubuh) pada penduduk usia di atas 15 tahun menjadi 13,9% pada laki-laki dan 23,8% pada perempuan. Obesitas menjadi risiko bagi timbulnya penyakit kronis seperti kanker, diabetes dan hipertensi yang saat ini juga semakin banyak menjadi penyebab kematian di Indonesia (Bappenas, 2009).Khusus untuk GAKY, pada tahun 1980 dilakukan survey nasional dan diketahui prevalensi GAKY pada anak usia sekolah adalah 2,7%. Prevalensi ini menurun menjadi 9,8% pada tahun 1998. Walaupun terjadi perubahan yang berarti, GAKY masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena secara umum prevalensi masih di atas 5%. Prevalensi tersebut bervariasi antar kecamatan dan masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30% (daerah endemik berat). Dilaporkan dalam hasil survey pemetaan gondok 1998 yang telah dipublikasikan WHO tahun 2000, bahwa 18,8% penduduk hidup di daerah endemik ringan, 4,2% penduduk hidup di daerah endemik sedang, dan 4,5% penduduk hidup di daerah endemik berat. Diperkirakan pula sekitar 18,2 juta penduduk hidup di wilayah endemik sedang dan berat, dan 39,2 juta penduduk hidup di wilayah endemik ringan. Menurut jumlah kabupaten di Indonesia, maka diklasifikasikan 40,2% kabupaten termasuk endemik ringan, 13,5% kabupaten endemik sedang, dan 5,1% kabupaten endemik berat. Kemudian survey nasional selanjutnya dilakukan pada tahun 2003 yang dibiayai melalui proyek IP-GAKY untuk mengetahui dampak dari intervensi program penanggulangan GAKY (Minarto, 2010).

Hasil Survei Nasional tahun 2003 dapat dilihat pada peta berikut:

Hasil Studi Intensifikasi Penanggulangan GAKY (IP-GAKY) tahun 2003, dan hasil Riskesdas 2007 mendapatkan hasil yang konsisten, bahwa rata-rata EYU sudah tinggi, dan proporsi EYU30ppm) di rumah tangga adalah hanya 62,3% , antara lain karena belum optimalnya penggerakan masyarakat, kurangnya kampanye konsumsi garam beryodium, dan dukungan regulasi yang belum memadai. Masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan garam beryodium di masyarakat (Bappenas, 2009).Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi wanita terhadap gondok pada umumnya keliru. Anggapan yang ada pada mereka, gondok bukanlah suatu penyakit, karena tidak mengganggu dan mematikan. Perspesi yang keliru tersebut menyebabkan mereka untuk tidak melakukan tindakan pencegahan agar dapat mengantisipasi kekurangan iodium pada mereka. Pada umumnya mereka mengkonsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik, dan rendah mengkonsumsi pangan yang bergizi serta kaya kandungan ioditunnya. Perilaku konsumsi garam mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian gondok (Soeharyo, 1997).

7. FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM DI NEGARA LAINDi seluruh dunia, kekurangan yodium mengenai 2 milyar oarng dan merupakan penyebab utama keterbelakangan mental. Di Kazakhstan, sebuah negara di Asia Tengah di mana persedian makanan lokal jarang mengandung yodium yang cukup, telah secara drastis mengurangi kekurangan yodium melalui program iodisasi garam. Kampanye oleh pemerintah dan perusahaan terkait untuk mendidik masyarakat tentang manfaat garam beryodium mulai pada pertengahan tahun 1990, dan iodisasi garam dalam makanan menjadi wajib pada tahun 2002. Di Amerika Serikat, pada awal abad 20, gondok terutama terjadi di wilayah sekitar Great Lakes dan Pasifik Barat. Pada tanggal 1 Mei 1924 garam beryodium mulai dijual secara komersial di Michigan. Soekirman (2006) menyatakan bahwa fortifikasi terbukti telah berjasa mengatasi masalah kekurangan gizi mikro di Eropa, Amerika Utara, dan di Amerika Latin. Amerika Serikat merupakan negara pertama yang melaksanakan fortifikasi, yaitu pada tahun 1920 dengan dikeluarkannya peraturan tentang fortifikasi garam dengan zat yodium. Program fortifikasi tersebut bertujuan untuk menanggulangi maslah GAKY. Di Afrika Selatan, pemerintahnya menginstruksikan bahwa semua garam yang dijual harus mengandung yodium setelah 1 Desember 1995 (Wikipedia, 2011).