150111001 ainun musrifah tohir studi kasus_bab 2

28
7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar DBD 2.1.1 Definisi DBD Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui vector nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. DBD dapat menyerang orang dewasa maupun anak-anak di bawah 15 tahun (Widyanto, Candra, 2013). DHF adalah suatu infeksi arbovirus akut yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk spesies aides. Penyakit ini sering menyerang anak, remaja, dan dewasa yang ditandai dengan demam, nyeri otot dan sendi. Demam Berdarah Dengue sering disebut pula Dengue Haemorogic Fever (DHF) (Desmawati, 2013). 2.1.2 Etiologi Penyebab DBD adalah virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus grup family Togaviridae. Virus ini mempunyai ukuran diameter sebesar 30 nm dan terdiri dari 4 serotip yaitu dengue (DEN) 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Pada suhu 30 derajat celcius nyamuk memerlukan waktu selama 8-10 hari untuk menyelesaikan masa inkubasi akstrinsik dari lambung sampai kelenjar ludah nyamuk. Sebelum demam muncul pada penderita yang telah terinfeksi, virus sudah terlebih dahuluberada dalam darah selama 1-2 hari. Selanjutnya selama 4-7 hari penderita berada dalam kondisi viremia. Nyamuk Aedes aegypty memiliki kebiasaan hingggap pada pakaian yang bergantungan di kamar dan menggigit dan menghisap darah pada siang hari dengan waktu puncak gigitan pukul 16.00-17.00. Nyamuk jantan tidak

Upload: dodit-mujiono

Post on 13-Jan-2017

17 views

Category:

Health & Medicine


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar DBD

2.1.1 Definisi DBD

Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)

merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan

melalui vector nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. DBD dapat menyerang

orang dewasa maupun anak-anak di bawah 15 tahun (Widyanto, Candra, 2013).

DHF adalah suatu infeksi arbovirus akut yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan

nyamuk spesies aides. Penyakit ini sering menyerang anak, remaja, dan dewasa yang

ditandai dengan demam, nyeri otot dan sendi. Demam Berdarah Dengue sering

disebut pula Dengue Haemorogic Fever (DHF) (Desmawati, 2013).

2.1.2 Etiologi

Penyebab DBD adalah virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus

grup family Togaviridae. Virus ini mempunyai ukuran diameter sebesar 30 nm dan

terdiri dari 4 serotip yaitu dengue (DEN) 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4. DBD

ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Pada suhu 30

derajat celcius nyamuk memerlukan waktu selama 8-10 hari untuk menyelesaikan

masa inkubasi akstrinsik dari lambung sampai kelenjar ludah nyamuk. Sebelum

demam muncul pada penderita yang telah terinfeksi, virus sudah terlebih

dahuluberada dalam darah selama 1-2 hari. Selanjutnya selama 4-7 hari penderita

berada dalam kondisi viremia. Nyamuk Aedes aegypty memiliki kebiasaan hingggap

pada pakaian yang bergantungan di kamar dan menggigit dan menghisap darah pada

siang hari dengan waktu puncak gigitan pukul 16.00-17.00. Nyamuk jantan tidak

8

dapat menggigit dan menghisap darah, melainkan hidup dari sari bunga tumbuh-

tumbuhan (Widyanto, Candra, 2013).

2.1.3 Patofisiologi

Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes

aegpty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks

virus antibody, dalam sirkulasi akan mengativasi system complement. Akibat aktivasi

C3 dan C5 akan dilepas C3 dan C5a, dua peptide yang berdaya untuk melepaskan

histamine dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningginya permeabilitas

dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.

Terjadinya trombositopenia, menurunya fungsi trombosit dan menurunya faktor

koagulasi (protrombin, faktor V, VII, IX, X dan fibrinogen) merupakan faktor

penyebab terjadinya perdarahan hebat, trauma pendarahan hebat, terutama

pendarahan gastrointestinal pada DHF.

Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya premeabilitas dinding

pembuluh darah, menurunya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia

dan diathesis hemoragik. Renjatan terjadi secara akut.

Nilai hematocrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel

dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami

hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoksia jaringan, asidosis metabolik

dan kematian.

Perubahan patofisiologi pada DHF Antara lain:

1) Meningkatnya premeabilitas kapiler yang menyebabkan bocornya plasma

ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal

2) Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia,

koagulopati

9

3) Renjatan

4) Menurunnya fungsi agregrasi trombosit karena proses imunologis yang

dibuktikan dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah

5) Kelainan system koagulasi karena hati yang terganggu karena aktivitas

system koagulasi (Desmawati, 2013).

2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut Desmawati (2013) Penyakit ini ditunjukan melalui munculnya

demam secara tiba-tiba, disertai kepala berat, sakit kepala sendi dan otot (myalgia dan

arthragia) dan ruam-ruam demam berdarah yang mempunya ciri-ciri merah terang,

petekia dan biasanya muncul dulu pada bagian bawah badan pada beberapa pasien, ia

menyebar hingga menyelimuti hamper seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa

juga muncul dengan kombinasi sakit diperut, rasa mual, muntah-muntah dan diare,

pilek ringan disertai batuk-batuk. Kondisi waspada ini perlu disikapi dengan

pengetahuan yang luas oleh penderita maupun keluarga yang harus segera berobat

apabila pasien atau penderita mengalami demam tinggi 3 hari berturut-turut. Banyak

penderita atau keluarga penderita mengalami kondisi fatal karena menganggap ringan

gejala-gejala tersebut.

Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak

demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Secara klinis, jumlah platelet

akan jatuh hingga pasien di anggap afebrile.

Sesudah masa tunas/inkubasi selama 3-15 hari orang yang tertular dapat

mengalami/menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut ini:

1) Bentuk abortif, penderita tidak merasakan suatu gejala apapun.

10

2) Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4-7 hari nyeri-

nyeri pada tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau bercak-

bercak perdarahan dibawah kulit.

3) Dengue Haemorrhagic Fever (Demam berdarah dengue/DBD) gejalanya

sama dengan dengue klasik ditambah dengan perdarahan dari hidung

(epistaksis/mimisan), mulut, dubur dan sebagainya

4) Dengue Syok Sindrom, gejalanya sama dengan DBD ditambah dengan

syok presyok. Bentuk ini berujung dengan kematian.

Karena seringnya terjadi perdarahan dan syok maka pada penyakit ini angka

kematianya cukup tinggi, oleh karena itu setiap penderita yang diduga menderita

penyakit demam berdarah dalam tingkat yang manapun harus segera dibawah

kerumah sakit, mengingat sewaktu-waktu dapat mengalami syok atau kematian.

Penyebab demam berdarah menunjukkan demam yang lebih tinggi, perdarahan,

trombositopenia dan hemokonsentrasi. Sejumlah kasus kecil bisa menyebabkan

sindrom shock dengue yang mempunyai tingkat kematian tinggi.

Gejala utama demam berdarah:

1) Demam

Penyakit didahului oleh demam tinggi yang mendadak terus-menerus,

berlangsung 2-7 hari, naik turun tidak mempan dengan obat antiseptik.

1. Kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 40 derajat Celsius dan dapat terjadi

kejang demam

2. Saat fase demam mulai cenderung dank lien tampak seakan sembuh, tetapi

juga awal kejadian syok, biasanya pada hari ketiga dari demam

11

3. Hari ke 3, 4 dan 5 adalah fase kritis yang harus dicermati dan pada hari ke 6

dapat terjadi syok, kemungkinan terjadi perdarahan dan kadar trombosit

sangat rendah

2) Tanda-tanda Perdarahan

Penyebab perdarahan pada DBD adalah: trombositopenia dan gangguan

fungsi trombosit serta koagulasi intravaskuler yangt menyeluruh. Jenis perdarahan

terbanyak adalah perdarahan kulit seperti uji tourniquet positif, dan perdarahan

konjunctiva. Petechia merupakan tanda khas perdarahan yang sering ditemukan.

Tanda ini dapat ditemukan pada epistaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis

dan dapat perdarahan subkonjunctiva atau hematuria.

3) Hepatomegaly

Ditemukan pada permulaan penyatkit, bervariasi dan hanya sekedar dapat

diraba sampai 2 cm di bawah lengkungan iga kanan. Derajat pembesarah hati tidak

sejajar dengan beratnya penyakit, namanya nyeri tekan daerah tepi hati, berhubungan

dengan adanya perdarahan, pada sebagian kecil kasus dapat dijumpai ikterus.

4) Syok

Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang

setelah demam turu. Demam turun disertai dengan keringat, perubahan denyut nadi

dan tekanan darah, ujung ekstremitas teraba dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan

kulit memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi sebagai akibat dari perembesa plasma

beberapa saat setelah suhu turun antara hari ke-37 terdapat tanda kegagalan sirkulasi.

1. Kulit teraba kasar dan lembab terutama di ujung jari dan kaki

2. Sianosis di sekitar mulut

3. Klien menjadi gelisah

12

4. Nadi cepat, lemah kecil sampai tak teraba

5. Pada saat syok beberapa klien tampak sangat lemah, gelisah dan sakit perut

Syok dapat terjadi dalam waktu yang sangat singkat, klien dapat meninggal dalam

waktu 12-24 jam atau cepat setelah penggantian cairan. Apabila syok tidak dapat

diatasi akan terjadi komplikasi asidosis metabolik.

1. Perdarahan saluran cerba hebat

2. Kejang dan koma (pada klien dengan perdarahan intraserebar)

Gejala tambahan pada demam berdarah :

1) Perdarahan

2) Masa inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari

3) Peningkatan suhu secara tiba-tiba

4) Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada supra orbital dan

tetra orbital

5) Nyeri hebat pada otot dan tulang bila tendon dan otot perut ditekan

6) Mual dan muntah

7) Batuk ringan

8) Pada masa ditemukan pembengkakan, infeksi konjuctiva lakrimasi dan

fotofobia dan otot-otot sekitar mata terasa pegal

9) Eksontem muncul pada awal demam, terlihat pada muka dan dada

yang berlangsung pada beberapa jam kemudian muncul kembali pada

hari 3-6

10) Bercak di tangan dan kaki lalu seluruh tubuh

11) Pada hari ke 4 dan ke 5, nadi cepat kemudian normal/lebih lambat

12) Brekardi menetap pada masa penyembuhan

13) Lidah kotor dan konstipasi

13

14) Hari ke 3 dan ke 5 muncul petechial, purpura, ekomosis, hematemesis,

melena, dan epistaksis

15) Hati membesar dan nyeri tekan (+)

16) Gejala syok

17) Sianosis perifer terutama pada ujung hidung, jari-jari tangan dan kaki.

2.1.5 Komplikasi

1. Perdarahan Luas

Inveksi virus dengue menyebabkan terbentuknya antigen-antibodi yang dapat

mengaktivasi sistem kompelem. Juga menyebabkan agregasi, trombosit dan

mengaktivasi sistem kongulasi melalui kerusakan sel endetel pembuluh darah. Kedua

faktor tersebut menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi

sebagai akibat dari porlekatan kompleks antigen-antibodi pada membrane trombosit

mengeluarkan ADT. Hal ini menyebabkan trombosit akan di hancurkan oleh RES,

sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan

pengeluaran planet faktor III mengakibatkan koagulopati konsumitif , ditandai

dengan peningkatan FDT, sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Agregasi

trombosit ini juga mengakibatkankan gangguan fungsi trombosit sehingga walaupun

jumlah trombosit cukup banyak, namun tidak berfungsi dengan baik. Aktivasi

koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi

faktor Hagemen maka sistem kinin teraktivasi yang memicu peningkatan

premeabilitas kapiler yang mempercepat terjadinya syok. Jadi perdarahan pasif DBD

diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan, kelainan fungsi

trombosit dan kerusakan dinding endotel kapiler. Disseminated Intravascular

Coagulation (DIC) merupakan suatu perdarahan yang terjadi pada klien DBD terjadi

karena trombositopenia, menurunya fungsi trombosit dan menurunnya faktor

14

koagulasi (protombin, faktor V, VII, IX, X dan fibrinogen). Perdarahan hebat dapat

terjadi terutama pembekuan intravascular yang mengaktifkan mekanisme fibrinolitik ,

akibatnya ezim proteolitik yaitu plasmin aktif. Sebagai substrat untuk plasmin, fibrin

dipecah menjadi beberapa polipedita fibrin split product (FDP). Pada keadaan

fibrinolisis patologis terjadi pemecahan fibrinogen dan faktor beku lain, terutama

faktor V, VII dan fibrin. FDP merupakan antikoagulasi yang menghambat reaksi

thrombin fibrinogen. Gangguan pembekuan dapat terjadi antikoagulasi yang beredar

di daerah yang menyebabkan DIC (Desmawati, 2013).

2. Syok

Infeksi sekunder oleh virus dengue akan menyebabkan respon antibodi

amnestic yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan

transformasi limfoit yang menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Di

samping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertranformasi

dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Kemudian terbentuklah sistem

komplemen, pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5, menyebabkan

peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari

ruang intravaskuler ke ruang ekstra vaskuler. Pada klien dengan syok berat, volume

plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-28 jam.

Perembesan plasma ini terbukti terbukti adanya peningkatan kadar hematocrit,

penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam rongga srose (efusi pleura,

ascites).

Syok yang tidak ditanggulangi menyebabkan asidosis dan anoksia yang dapat

berakhir fatal yaitu kematian.

15

Sindrom Syok Dengue (SSD) seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue (DBD)

disertai kegagalan sirkulasi dengan menifestasi:

1) Nadi yang cepat dan lemah

2) Tekanan darah turun (≤ 20 mmHg)

3) Hipotensi (dibandingkan standar sesuai umur)

4) Kilit dingin dan lembab

5) Gelisah

Tatalaksana sindrom syok dengue sama dengan terapi DBD, yaitu pemberian cairan

ganti secara adekuat. Pada sebagian besar penderita, penggantian dini plasma secara

efektif dengan memberikan cairan yang mengandung elektrolit, ekspander plasma,

atau plasma, memberikan hasil yang baik. Nilai hematocrit dan trombosit harus

diperiksa setiap hari mulai hari ke-3 sakit sampai 1-2 hari setelah demam menjadi

normal. Pemeriksaan inilah yang menentukan perlu tidaknya penderita dirawat dan

atau mendapatkan cairan intarvena (Desmawati, 2013).

3. Ensefalopati dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang

berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak

disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau

perdarahan, dapatmenjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati

DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh thrombosis

pembuluh darah -otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi intravascular yang

menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah-otak.

Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut.

Kerusakan hati/pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan

penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat di raba (just palpable) sampai 2-4 cm di

16

bawah lengkungan iga kanan, derajat pembesaran hati, harus dilakukan perabaan

setiap hari. Nyeri tekan daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil

kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar

dan ini berhubungan adanya perdarahan.

Pada ensefalopi cenderung terjadi udem otak dan alkalosis, maka bila syok telah

teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- dan jumlah

cairan harus segera dikurangi (Desmawati, 2013).

4. Kelainan Ginjal

Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat

dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik

walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan

menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakak syok benar telah

teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah

dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1

ml/kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan

volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat

sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urine dan

peningkatan kadar ureum dan kreatinin (Desmawati, 2013).

5. Oedema Paru

Oedema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat

pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga samapi

kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru

oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi

plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi

17

bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari

sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak

mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto rontgen dada. Komplikasi

demam berdarah biasanya berasoiasi dengan semakin beratnya bentuk demam

berdarah yang dialami, pendarahan, dan shock syndrome.

Komplikasi paling serius walaupun jarang terjadi adalah sebagai berikut:

1) Dehidrasi

2) Perdarahan

3) Jumlah platelet yang rendah

4) Bradikardi

Efusi Pleura disebabkan oleh infeksi virus dengue yang bisa memecahkan membrane

kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan yang kemudian

masuk ke dalam rongga pleura secara cepat dan akumulasi cairan ini disebut efusi

pleura (Desmawati, 2013).

6. Penurunan Kesadaran

Saat terjadi infeksi virus dengue kemudian mengalami replikasi maka

terbentuk kompleks virus antibodi yang menyebabkan efek salah satunya

permeabilitas kapiler yang mengikat sehingga terjadi penurunan transportasi O2 ke

otak, sehingga terjadi penurunan kesadaran (Desmawati, 2013).

2.1.6 Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan darah lengkap

Biasanya pada pemeriksaan darah lengkap pasien yang menderita DHF akan

menunjukan kelainan pada hematokrit (Ht naik 20% atau lebih) dan trombosit

mengalami penurunan (100.000/mm³) (Desmawati, 2013).

2. Pemeriksaan Dengue Blood (metode Repid)

18

Untuk melihat antibodi Ig G dan IG M. pemeriksaan IgG itu untuk melihat

infeksi pertama kalinya pasien terkena DHF. Pemeriksaan Ig M itu untuk melihat

infeksi kedua kalinya pasien terkena DHF.

Nilai normal : ( - ) negative (Desmawati, 2013).

3. Pemeriksaan NS 1

Untuk melihat antigen.

Nilai normal : ( - ) negative (Desmawati, 2013).

4. Tes Inhibisi hemaglutinasi (HI)

Adalah pemeriksaan yang sederhana, sensitif dan dapat ulang serta mempunyai

keuntungan karena dapat menggunakan reagen yang disiapkan secara local.

Kerugiannya adalah bahwa sample serum harus melalui pra-penanganan dahulu

dengan aseton atau kolin, untuk menghilangkan inhibitor non-spesifik hemaglutinasi,

dan kemudian diserap dengan sel-sel gander atau sel-sel darah manusia golongan O,

untuk menghilangkan aglutinin non-spesifik. Lebih jauh lagi, penggunaan optimal tes

HI memerlukan serum berpasangan. Serum berpasangan paling mudah didapatkan

saat penerimaan di rumah sakit (akut) dan saat pemulangan (konvalen): bila interval

Antara serum pertama dan kedua kurang dari 7 hari, tes HI mungkin tidak membantu

dalam diagnosis infeksi primer. Tes ini juga biasanya gagal untuk membedakan

Antara infeksi dengan flavirus yang sangat berkaitan, misalnya Antara virus dengue

dan ensefalitis jepang, atau virus dengue dan west nile.

Virus dengue mengaglutinasi eritrosit gander dan eritrosit dari spesies tertentu

lainnya juga sel-sel darah merah manusia golongan O yang diberikan tripsin. Tes HI

didasarkan pada kemampuan antibodi virus dengue untuk menghambat aglutinasi ini.

Tes ini menggambarkan pada kebanyakan virology manual. Respon terhadap infeksi

primer ditandai oleh evolusi lambat antibodi hemaglutinasi – inhibisi. Karena esei HI,

19

tidak dibedakan diantara isotope imunoglobulin, identifikasi respon antibodi primer

harus disimpulkan dari antibodi dengan kadar rendah atau tak terdeteksi pada serum

fase akut yang diambil sebelum hari kelima, juga dari kadar titer antibodi yang

timbul. Respon sekunder antibodi terhadap dengue ditandai oleh evolusi cepat

antibodi hemaglutinasi – inhibisi. Semua antibodi adalah reaktif-flavirus luas

sehingga diagnosis spesifik tidak memungkinkan hanya berdasarkan pada tes ini saja.

Pada tes positif terdapat terdapat peningkatan titer 4 kali lipat atau lebih Antara serum

akut dan kovalen, dengan titer puncak selalu melebihi 1 : 1280 pada respon sekunder,

dan secara umum turun dibawah rasio ini pada respon primer (Desmawati, 2013).

5. Tes netralisasi

Meskipun beberapa tes netralisasi telah diuraikan untuk virus dengue, metode

yang paling sensitif dan spesifik adalah pemelarutan serum, virus konstan, tes

reduksi-plaque. Setalah infeksi dengue primer, antibodi penetralisasi yang secara

relative spesifik terdeteksi pada konvalen awal. Setelah infeksi sekunder, antibodi

penetralisasi titer tinggi diproduksi terhadap sedikitnya dua dan biasanya keempat

serotype virus dengue, serta terhadap flavirus lainnya. Pada banyak kombinasi infeksi

sekuensial bila specimen dengan tepat waktu di uji, titer antibodi penetralisasi yang

paling tinggi pada serum konvalen diarahkan terhadap virus pada pasien yang

sebelumnya terinfeksi (biakan yang paling baru) (Desmawati, 2013).

6. Imunoesei dot-blot

Teknologi imunoesei dot-blot adalah tekhnik yang relative baru, dan reagen

serta prosedur tes terus berkembang. Sedikitnya satu imunoesei dot-blot untuk

antibodi dengue tersedia secara komersial. Karena makin besarnya minat yang

berkembang diantara pabrik komersial, imnoesei dot-blot lainnya kemungkinan

memasuki pasaran (Desmawati, 2013).

20

7. Tes fiksasi komplemen

Dapat juga digunakan pada diagnosis serologis, meskipun tes ini adalah esei

serologis paling kurang sensitive, dan esei lain secara umum telah menggantikan

metode ini. Antibodi pemiksasi komplemen secara khas timbul belakangan dibanding

antibodi Ig Matai HI dan biasanya lebih spesifik. Karenanya tes ini dapat bermanfaat

dalam memastikan infeksi dengue pada pasien dengan sample serum berpasangan

yang diambil pada akhir infeksi. Peningkatan empat kali lipat antibodi pemiksasi-

komplemen, dimana interval Antara serum akut dan konvalen kurang dari 2 minggu,

memperkuat pola serorespon sekunder (Desmawati, 2013).

8. Pemeriksaan rumple leed test (tourniquet test)

Rumple leed test adalah salah satu cara yang paling mudah dan cepat untuk

menentukan apakah terkena demam berdarah atau tidak. Rumple leed adalah

pemeriksaan bidang hematologi dengan melakukan pembendungan pada bagian

lengan atas selama 10 menit untuk uji diagnostik kerapuhan vaskuler dan fungsi

trombosit.

Prosedur pemeriksaan rumple leed test yaitu:

1) Pasang ikatan sfigmomanometer pada lengan atas dan pump sampai tekanan

100 mmHg (jika tekanan sistolik pesakit < 100 mmHg, pump sampai tekanan

ditengah-tengah nilai sistolik dan diastolik).

2) Biarkan tekanan itu selama 10 menit (jika test ini dilakukan sebagai lanjutan

dari test IVY, 5 menit sudah mencukupi).

3) Lepas ikatan dan tunggu sampai tanda-tanda statis darah hilang kembali.

Statis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan yang telah diberi tekanan yadi

21

kembali lagi seperti warna kulit sebelum diikat atau menyerupai warna kulit pada

lengan yang satu lagi (yang tidak diikat).

4) Cari dan hitung jumlah petechiae yang timbul dalam lingkaran bergaris tengah

5 cm kira-kira 4 cm distal dari fossa cubiti (Desmawati, 2013).

9. Rontgen toraks

Untuk melihat efusi pleura (Desmawati, 2013).

2.1.7 Penatalaksanaan

Menurut Desmawati (2013) Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus

dengue :

1. Panas 1-2 hari disertai dehidrasi (karena panas, muntah, masukan kurang) atau

kejang-kejang.

2. Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati, uji tourniquet

positif/negative, kesan sakit keras (tidak mau bermain), Hb dan PCV meningkat.

3. Panas disertai perdarahan.

4. Panas disertai renjatan (syok).

Sebelum atau tanpa renjatan :

1) Grade I dan II

1) Oral atau

2) Infus cairan Ringer Laktat dengan dosis 75 ml/kg BB/hari untuk anak dengan

BB < 10 kg atau 50 ml/Kg BB/hari untuk anak dengan BB < 10 kg bersama-sama

diberikan minuman oralit, air buah atau susu secukupnya.

Untuk kasus yang menunjukkan gejala dehidrasi disarankan minum sebanyak-

banyaknya dan sesering mungkin.

22

Apabila anak tidak suka minum sama sekali sebaiknya jumlah cairan infus yang harus

diberikan sesuai dengan kebutuhan cairan penderita dalam kurun waktu 24 jam yang

diestimasikan sebagai berikut :

1) 100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB < 25 Kg

2) 75 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB 26-30 Kg

3) 60 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB 31-40 Kg

4) 50 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB 41-50 Kg

5) Obat-obatan lain : antibiotika apabila ada infeksi lain, antipiretik untuk anti

panas, darah 15 cc/kg BB/hari perdarahan hebat.

2) Grade III

1. Berikan infus RL 20 ml/Kg BB/1 jam

Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan nadi

teraba dengan frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan dengan RL

10 ml/Kg BB/1 jam. Jika nadi dan tensi stabil lanjutkan infus tersebut dengan jumlah

cairan dihitung berdasarkan kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam dikurangi

cairan yang sudah masuk dibagi dengan sisa waktu (24 jam dikurangi waktu yang

dipakai untuk mengatasi renjatan). Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jam

diperhitungkan sebagai berikut:

1) 100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB < 25 Kg

2) 75 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB 26-30 Kg

3) 60 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB 31-40 Kg

4) 50 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB 41-50 Kg

2. Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 ml/Kg BB/1 jam keadaan

tensi masih terukur kurang dari 80 mmHg dan nadi cepat lemah, akral dingin maka

penderita tersebut memperoleh plasma ekspander (dextran L atau yang lainnya)

23

sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam dan dapat diulang maksimal 30 ml/Kg BB dalam kurun

waktu 24 jam. Jika keadaan umum membaik dilanjutkan cairan RL sebanyak

kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa

waktu setelah dapat mengatasi renjatan.

3. Apabila satu jam setelah pemberian cairan RL 10 mL/Kg BB/1 jam keadaan

tensi menurun lagi, tetapi masih terukur kurang 80 mmHg dan nadi cepat lemah,

akral dingin maka penderita tersebut harus memperoleh plasma atau plasma

ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam. Dan dapat diulang

maksimal 30 mg/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam.

2.2 Konsep Dasar Masalah Keperawatan syok

2.2.1 Pengertian syok

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak

adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang

adekuat tergantung pada 3 faktor utama yaitu curah jantung, volume darah, dan tonus

vasomotor perifer. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain

tidak dapat melakukan kompensasi, maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah

arteri normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika

syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokonstriksi perifer meningkat. Jika

hipotensi menetap dan vasokonstruksi berlanjut, hipoperfusi mengakibatkan asidosis

laktat, oliguria, dan ileus. Jika tekanan arteri cukup rendah, terjadi disfungsi otak dan

otot jantung (Mansjoer, 2011).

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan fungsi akut fungsi sirkulasi yang

menyebabkan ketidakckupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat

mekanisme homeostatis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang

fisiologi keadaan syok dan homeostatis, syok adalah keadaan tidak cukupnya

24

pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan

terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi

intensif (Ashadi, 2011).

2.2.2 Etiologi Peningkatan Suhu Tubuh gejala syok

1. Syok Hipovolemik

1) Kehilangan darah/syok hemoragik

2) Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal

3) Hemoragik internal : hematoma, hematoraks/himoperitoneum

4) Kehilangan plasma

5) Luka bakar

6) Dermatitis eksfoliatif

7) Kehilangan cairan dan elektrolit

8) Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebihan

9) Internal : pankreatitis, asites, obstruksi usus

2. Syok Kardiogenik

1) Disritmia

2) Kegagalan pompa jantung

3) Disfungsi katup akut

4) Ruptur septum ventrikel

3. Syok Obstruktif

1) Tension pneumothorax

2) Penyakit pericardium

3) Penyakit pembuluh darah paru

4) Tumor jantung (miksoma atrial)

5) Trombus mural atrium kiri

25

6) . Penyakit katup obstruktif

7) Syok Distributif

8) Syok septik

9) Syok anafilaktik

10) Syok neurogenik

11) Obat-obatan vasodilator

12) . Insufiensi adrenal akut

2.2.3 Penyebab gejala syok

1. Patofisiologi

Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu (Komite Medik,

2009):

1). Fase Kompensasi

Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga

timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan

seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan

aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat

yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan

menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk

mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase

kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk

menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi

alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara

regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan

darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.

2). Fase Progresif

26

Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi

kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak

lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan

darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,

gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan

akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu

berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun.

Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat

kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga

dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular

Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat

vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia

dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan

(histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan

memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan

integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi

bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul

sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas

mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan

metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,

terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.

3). Fase Progresif

Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi

kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak

lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan

27

darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,

gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan

akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu

berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun.

Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat

kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga

dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular

Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat

vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia

dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan

(histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan

memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan

integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi

bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul

sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas

mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan

metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,

terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.

2.2.4 Mekanisme syok

1. Manifestasi Klinik

Menurut (Mansjoer, 2011) :

1) Tekanan darah sistemik dan takikardi; puncak tekanan darah sistolik

<100mmHg atau lebih dari 10% di bawah tekanan darah yang telah

diketahui.

2) Hipoperfusi perifer, vasokonstriksi; kulit dingin, lembab, dan sianosis.

28

3) Status mental terganggu; kebingungan, agitasi, koma.

4) Oliguria atau anuria; <0,5 ml/kgBB/jam.

5) Asidosis metabolik.

6) Pemantauan hemodinamik :

1. Tekanan darah arteri

2. Tekanan vena sentral

3. Tekanan arteri pulmonal, dimonitor dengan kateter Swan-Ganz

untuk pengukuran Pulmonary Catheter Wedge Presure (PCWP).

. Pengukuran tambahan. Pemantauan sensorium, jumlah urine, dan suhu kulit.

2. Penatalaksanaan

Menurut (Mansjoer, 2011) :

Pasien diletakkan dalam posisi Trendelenburg atau telentang dengan kaki ditinggikan.

Untuk syok yang tidak terdiagnosis :

1) Bebaskan jalan napas dan yakinkan ventilasi yang adekuat

2) Pasang akses ke intravena

3) Mengembalikan cairan

4) Pertahankan produksi urine >0,5 ml/kgBB/jam

3. Derajat Syok

1) Syok Ringan

Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit,

lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan

perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible).

Kesadaran tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun,

asidosis metabolik tidak ada atau ringan.

2) Syok Sedang

29

Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal).

Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada

lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5

mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.

3) Syok Berat

Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok

beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut

terjadi vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis

berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal,

curah jantung menurun).

2.3. Konsep Asuhan Keparawatan DHF dengan masalah syok

Proses keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu : pengkajian, diagnosa

keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

1. Pengkajian

1) Identitas penderita

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status 2)

Keluhan utama

Pasien mengeluh badan lemas,keluar keringat dingin,mual, mata berkunang-kunang

3) Riwayat penyakit sekarang

Riwayat kesehatan sekarang ditanyakan berapa hari terjadinya panas, nyeri

otot, pegal seluruh tubuh, sakit pada waktu menelan, lemah, keluar keringat dingin,

mual, dan nafsu makan menurun).

4) Riwayat penyakit keluarga

30

Riwayat adanya penyakit DHF pada anggota keluarga yang lain sangat

menentukan, karena penyakit DHF adalah penyakit yang bisa ditularkan melalui

gigitan nyamuk aides aigepty.

5) Riwayat kesehatan lingkungan

Biasanya lingkungan kurang bersih, banyak genangan air bersih seperti kaleng

bekas, ban bekas, tempat air minum yang jarang diganti airnya, bak mandi jarang

dibersihkan.

6) Riwayat Psikososial

Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami penderita

sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit

penderita.

7) Pemeriksaan fisik

1.Status kesehatan umum

Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan

dan tanda – tanda vital.

2.Kepala dan leher

Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga

kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, ludah menjadi lebih

kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan

kabur / ganda, lensa mata keruh.

1) Sistem pernafasan

Sesak, perdarahan melalui hidung, pernafasan dangkal, epitaksis, pergerakan

dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, krakles.

2) Sistem persyarafan

31

Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada

grade IV dapat terjadi DSS.

3) Sistem kardiovaskuler

Pada grade I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif,

trombositipeni, pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi cepat,

lemah, hipotensi, sianosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari, pada grade IV nadi

tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

4) Sistem pencernaan

Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastric,

pembesaran limpa, pembesaran hati, abdomen teregang, penurunan nafsu makan,

mual, muntah, nyeri saat menelan, dapat hematemesis, melena.

5) Sistem perkemihan

Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan

mengungkapkan nyeri saat kencing, kencing berwarna merah.

6) Sistem integument

Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat positif

pada uji tourniquet, terjadi pethike, pada grade III dapat terjadi spontan pada

kulit. (Desmawati, 2013).

2.3.2 Diagnosa keperawatan

Menurut NANDA, 2015

1) Perubahan perfusi jaringan/Syok (serebral, kardiopulmonal, perifer) berhu

bungan dengan penurunan curah jantung

2) Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan proses infeksi virus dengue

2.3.3 Intervensi keperawatan

32

Tabel : Menurut NANDA,2015

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan kriteria Hasil Intervensi

1. Syok

Definisi:

Perfusi jaringan yang

adekuat tergantung pada 3

faktor utama yaitu curah

jantung, volume darah,

dan tonus vasomotor

perifer.

Batasan karasteristik :

1. Perubahan tekanan

darah

2. Mngekpresikan

wajah dan perilaku

dalam mengatasi

masalahnya

3. Masker wajah

(terlihat mata sayu)

4. Sikap melindungi

tubuh

Keefektifan pompa

jantung : tingkat

pemompaan darah dari

ventrikel kiri per menit

untuk mendukung

tekanan perfusi sistemik.

b. Status Sirkulasi :

\tingkat pengaliran darah

tanpa terhambat, satu

arah, dan pada tekanan

yang sesuai melalui vena-

vena besar dari aliran

sistemik dan pulmonal.

c. Perfusi Jaringan :

Organ Abdomen : tingkat

pengaliran darah dari

vena-vena kecil dari

visera abdomen dan

mempertahankan fungsi

organ.

d. Perfusi Jaringan :

Perifer : tingkat

a. Perawatan

Jantung

:pembatasan

komplikasi yang

diakibatkan dari

ketidakseimbangan

antara suplai

oksigen dan

kebutuhan pasien.

b. Regulasi

Hemodinamik :

optimalisasi

denyut jantung.

Preload, afterload,

dan kontraktilitas.

c. Penatalaksanaan

Syok : Jantung :

peningkatan

keadekuatan

perfusi jaringan

untk pasien dengan

gangguan fungsi

33

pengaliran darah melalui

vena-vena kecil dari

ekstremitas dan

mempertahankan fungsi

jaringan.

e. Status tanda vital :

suhu, nadi, respirasi, dan

tekanan darah dalam

rentang yang diharapkan

dari individu.

pompa jantung

yang berat.

Aktivitas

2.3.4 Implementasi

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status

kesehatan yang baik yang menggambarkan criteria hasil yang diharapkan. Ukuran

implementasi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan,

pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien untuk

mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari.

Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai dengan

rencana keperawatan, perawat harus mempunyai kemampuan kognitif(intelektual),

kemampuan dalam hubungan interpersonal dan keterampilan dalam melakukan

tindakan.

34

Proses pelaksanaan implmentasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-

faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi

keperawatan dan kegiatan komunikasi.(Nurhasanah,2013)

2.3.5 Evaluasi

Evaluasi adalah suatu proses menilai diagnose keperawatan yang teratasi sebagian

atau timbul masalah baru. Melalui kegiatan evaluasi, kita dapat menilai pencapaian

tujuan yang diharapkan dan tujuan yang telah dicapai oleh klien. Bila tercapai

sebagian atau muncul masalah baru, kita perlu melakukan pengkajian lebih lanjut,

memodifikasi rencana, atau mengganti dengan rencana yang sesuai dengan

kemampuan klien.

Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana:

S : ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subyektif oleh klien

setelah diberikan implementasi keperawatan.

O : keadaan obyektif yang dapat diindentifikasi oleh perawat menggunakan

mengamatan obyektif.

A : merupakan analisis perawat setelah mengetahui respon subyektif dan obyektif.

P : perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.