150111001 ainun musrifah tohir studi kasus_bab 2
TRANSCRIPT
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar DBD
2.1.1 Definisi DBD
Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan
melalui vector nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. DBD dapat menyerang
orang dewasa maupun anak-anak di bawah 15 tahun (Widyanto, Candra, 2013).
DHF adalah suatu infeksi arbovirus akut yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan
nyamuk spesies aides. Penyakit ini sering menyerang anak, remaja, dan dewasa yang
ditandai dengan demam, nyeri otot dan sendi. Demam Berdarah Dengue sering
disebut pula Dengue Haemorogic Fever (DHF) (Desmawati, 2013).
2.1.2 Etiologi
Penyebab DBD adalah virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus
grup family Togaviridae. Virus ini mempunyai ukuran diameter sebesar 30 nm dan
terdiri dari 4 serotip yaitu dengue (DEN) 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4. DBD
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Pada suhu 30
derajat celcius nyamuk memerlukan waktu selama 8-10 hari untuk menyelesaikan
masa inkubasi akstrinsik dari lambung sampai kelenjar ludah nyamuk. Sebelum
demam muncul pada penderita yang telah terinfeksi, virus sudah terlebih
dahuluberada dalam darah selama 1-2 hari. Selanjutnya selama 4-7 hari penderita
berada dalam kondisi viremia. Nyamuk Aedes aegypty memiliki kebiasaan hingggap
pada pakaian yang bergantungan di kamar dan menggigit dan menghisap darah pada
siang hari dengan waktu puncak gigitan pukul 16.00-17.00. Nyamuk jantan tidak
8
dapat menggigit dan menghisap darah, melainkan hidup dari sari bunga tumbuh-
tumbuhan (Widyanto, Candra, 2013).
2.1.3 Patofisiologi
Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes
aegpty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks
virus antibody, dalam sirkulasi akan mengativasi system complement. Akibat aktivasi
C3 dan C5 akan dilepas C3 dan C5a, dua peptide yang berdaya untuk melepaskan
histamine dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningginya permeabilitas
dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.
Terjadinya trombositopenia, menurunya fungsi trombosit dan menurunya faktor
koagulasi (protrombin, faktor V, VII, IX, X dan fibrinogen) merupakan faktor
penyebab terjadinya perdarahan hebat, trauma pendarahan hebat, terutama
pendarahan gastrointestinal pada DHF.
Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya premeabilitas dinding
pembuluh darah, menurunya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia
dan diathesis hemoragik. Renjatan terjadi secara akut.
Nilai hematocrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel
dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami
hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoksia jaringan, asidosis metabolik
dan kematian.
Perubahan patofisiologi pada DHF Antara lain:
1) Meningkatnya premeabilitas kapiler yang menyebabkan bocornya plasma
ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal
2) Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia,
koagulopati
9
3) Renjatan
4) Menurunnya fungsi agregrasi trombosit karena proses imunologis yang
dibuktikan dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah
5) Kelainan system koagulasi karena hati yang terganggu karena aktivitas
system koagulasi (Desmawati, 2013).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Menurut Desmawati (2013) Penyakit ini ditunjukan melalui munculnya
demam secara tiba-tiba, disertai kepala berat, sakit kepala sendi dan otot (myalgia dan
arthragia) dan ruam-ruam demam berdarah yang mempunya ciri-ciri merah terang,
petekia dan biasanya muncul dulu pada bagian bawah badan pada beberapa pasien, ia
menyebar hingga menyelimuti hamper seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa
juga muncul dengan kombinasi sakit diperut, rasa mual, muntah-muntah dan diare,
pilek ringan disertai batuk-batuk. Kondisi waspada ini perlu disikapi dengan
pengetahuan yang luas oleh penderita maupun keluarga yang harus segera berobat
apabila pasien atau penderita mengalami demam tinggi 3 hari berturut-turut. Banyak
penderita atau keluarga penderita mengalami kondisi fatal karena menganggap ringan
gejala-gejala tersebut.
Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak
demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Secara klinis, jumlah platelet
akan jatuh hingga pasien di anggap afebrile.
Sesudah masa tunas/inkubasi selama 3-15 hari orang yang tertular dapat
mengalami/menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut ini:
1) Bentuk abortif, penderita tidak merasakan suatu gejala apapun.
10
2) Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4-7 hari nyeri-
nyeri pada tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau bercak-
bercak perdarahan dibawah kulit.
3) Dengue Haemorrhagic Fever (Demam berdarah dengue/DBD) gejalanya
sama dengan dengue klasik ditambah dengan perdarahan dari hidung
(epistaksis/mimisan), mulut, dubur dan sebagainya
4) Dengue Syok Sindrom, gejalanya sama dengan DBD ditambah dengan
syok presyok. Bentuk ini berujung dengan kematian.
Karena seringnya terjadi perdarahan dan syok maka pada penyakit ini angka
kematianya cukup tinggi, oleh karena itu setiap penderita yang diduga menderita
penyakit demam berdarah dalam tingkat yang manapun harus segera dibawah
kerumah sakit, mengingat sewaktu-waktu dapat mengalami syok atau kematian.
Penyebab demam berdarah menunjukkan demam yang lebih tinggi, perdarahan,
trombositopenia dan hemokonsentrasi. Sejumlah kasus kecil bisa menyebabkan
sindrom shock dengue yang mempunyai tingkat kematian tinggi.
Gejala utama demam berdarah:
1) Demam
Penyakit didahului oleh demam tinggi yang mendadak terus-menerus,
berlangsung 2-7 hari, naik turun tidak mempan dengan obat antiseptik.
1. Kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 40 derajat Celsius dan dapat terjadi
kejang demam
2. Saat fase demam mulai cenderung dank lien tampak seakan sembuh, tetapi
juga awal kejadian syok, biasanya pada hari ketiga dari demam
11
3. Hari ke 3, 4 dan 5 adalah fase kritis yang harus dicermati dan pada hari ke 6
dapat terjadi syok, kemungkinan terjadi perdarahan dan kadar trombosit
sangat rendah
2) Tanda-tanda Perdarahan
Penyebab perdarahan pada DBD adalah: trombositopenia dan gangguan
fungsi trombosit serta koagulasi intravaskuler yangt menyeluruh. Jenis perdarahan
terbanyak adalah perdarahan kulit seperti uji tourniquet positif, dan perdarahan
konjunctiva. Petechia merupakan tanda khas perdarahan yang sering ditemukan.
Tanda ini dapat ditemukan pada epistaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis
dan dapat perdarahan subkonjunctiva atau hematuria.
3) Hepatomegaly
Ditemukan pada permulaan penyatkit, bervariasi dan hanya sekedar dapat
diraba sampai 2 cm di bawah lengkungan iga kanan. Derajat pembesarah hati tidak
sejajar dengan beratnya penyakit, namanya nyeri tekan daerah tepi hati, berhubungan
dengan adanya perdarahan, pada sebagian kecil kasus dapat dijumpai ikterus.
4) Syok
Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang
setelah demam turu. Demam turun disertai dengan keringat, perubahan denyut nadi
dan tekanan darah, ujung ekstremitas teraba dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan
kulit memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi sebagai akibat dari perembesa plasma
beberapa saat setelah suhu turun antara hari ke-37 terdapat tanda kegagalan sirkulasi.
1. Kulit teraba kasar dan lembab terutama di ujung jari dan kaki
2. Sianosis di sekitar mulut
3. Klien menjadi gelisah
12
4. Nadi cepat, lemah kecil sampai tak teraba
5. Pada saat syok beberapa klien tampak sangat lemah, gelisah dan sakit perut
Syok dapat terjadi dalam waktu yang sangat singkat, klien dapat meninggal dalam
waktu 12-24 jam atau cepat setelah penggantian cairan. Apabila syok tidak dapat
diatasi akan terjadi komplikasi asidosis metabolik.
1. Perdarahan saluran cerba hebat
2. Kejang dan koma (pada klien dengan perdarahan intraserebar)
Gejala tambahan pada demam berdarah :
1) Perdarahan
2) Masa inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari
3) Peningkatan suhu secara tiba-tiba
4) Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada supra orbital dan
tetra orbital
5) Nyeri hebat pada otot dan tulang bila tendon dan otot perut ditekan
6) Mual dan muntah
7) Batuk ringan
8) Pada masa ditemukan pembengkakan, infeksi konjuctiva lakrimasi dan
fotofobia dan otot-otot sekitar mata terasa pegal
9) Eksontem muncul pada awal demam, terlihat pada muka dan dada
yang berlangsung pada beberapa jam kemudian muncul kembali pada
hari 3-6
10) Bercak di tangan dan kaki lalu seluruh tubuh
11) Pada hari ke 4 dan ke 5, nadi cepat kemudian normal/lebih lambat
12) Brekardi menetap pada masa penyembuhan
13) Lidah kotor dan konstipasi
13
14) Hari ke 3 dan ke 5 muncul petechial, purpura, ekomosis, hematemesis,
melena, dan epistaksis
15) Hati membesar dan nyeri tekan (+)
16) Gejala syok
17) Sianosis perifer terutama pada ujung hidung, jari-jari tangan dan kaki.
2.1.5 Komplikasi
1. Perdarahan Luas
Inveksi virus dengue menyebabkan terbentuknya antigen-antibodi yang dapat
mengaktivasi sistem kompelem. Juga menyebabkan agregasi, trombosit dan
mengaktivasi sistem kongulasi melalui kerusakan sel endetel pembuluh darah. Kedua
faktor tersebut menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari porlekatan kompleks antigen-antibodi pada membrane trombosit
mengeluarkan ADT. Hal ini menyebabkan trombosit akan di hancurkan oleh RES,
sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran planet faktor III mengakibatkan koagulopati konsumitif , ditandai
dengan peningkatan FDT, sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Agregasi
trombosit ini juga mengakibatkankan gangguan fungsi trombosit sehingga walaupun
jumlah trombosit cukup banyak, namun tidak berfungsi dengan baik. Aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi
faktor Hagemen maka sistem kinin teraktivasi yang memicu peningkatan
premeabilitas kapiler yang mempercepat terjadinya syok. Jadi perdarahan pasif DBD
diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan, kelainan fungsi
trombosit dan kerusakan dinding endotel kapiler. Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) merupakan suatu perdarahan yang terjadi pada klien DBD terjadi
karena trombositopenia, menurunya fungsi trombosit dan menurunnya faktor
14
koagulasi (protombin, faktor V, VII, IX, X dan fibrinogen). Perdarahan hebat dapat
terjadi terutama pembekuan intravascular yang mengaktifkan mekanisme fibrinolitik ,
akibatnya ezim proteolitik yaitu plasmin aktif. Sebagai substrat untuk plasmin, fibrin
dipecah menjadi beberapa polipedita fibrin split product (FDP). Pada keadaan
fibrinolisis patologis terjadi pemecahan fibrinogen dan faktor beku lain, terutama
faktor V, VII dan fibrin. FDP merupakan antikoagulasi yang menghambat reaksi
thrombin fibrinogen. Gangguan pembekuan dapat terjadi antikoagulasi yang beredar
di daerah yang menyebabkan DIC (Desmawati, 2013).
2. Syok
Infeksi sekunder oleh virus dengue akan menyebabkan respon antibodi
amnestic yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfoit yang menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Di
samping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertranformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Kemudian terbentuklah sistem
komplemen, pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5, menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari
ruang intravaskuler ke ruang ekstra vaskuler. Pada klien dengan syok berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-28 jam.
Perembesan plasma ini terbukti terbukti adanya peningkatan kadar hematocrit,
penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam rongga srose (efusi pleura,
ascites).
Syok yang tidak ditanggulangi menyebabkan asidosis dan anoksia yang dapat
berakhir fatal yaitu kematian.
15
Sindrom Syok Dengue (SSD) seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue (DBD)
disertai kegagalan sirkulasi dengan menifestasi:
1) Nadi yang cepat dan lemah
2) Tekanan darah turun (≤ 20 mmHg)
3) Hipotensi (dibandingkan standar sesuai umur)
4) Kilit dingin dan lembab
5) Gelisah
Tatalaksana sindrom syok dengue sama dengan terapi DBD, yaitu pemberian cairan
ganti secara adekuat. Pada sebagian besar penderita, penggantian dini plasma secara
efektif dengan memberikan cairan yang mengandung elektrolit, ekspander plasma,
atau plasma, memberikan hasil yang baik. Nilai hematocrit dan trombosit harus
diperiksa setiap hari mulai hari ke-3 sakit sampai 1-2 hari setelah demam menjadi
normal. Pemeriksaan inilah yang menentukan perlu tidaknya penderita dirawat dan
atau mendapatkan cairan intarvena (Desmawati, 2013).
3. Ensefalopati dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak
disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau
perdarahan, dapatmenjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati
DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh thrombosis
pembuluh darah -otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi intravascular yang
menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah-otak.
Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut.
Kerusakan hati/pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan
penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat di raba (just palpable) sampai 2-4 cm di
16
bawah lengkungan iga kanan, derajat pembesaran hati, harus dilakukan perabaan
setiap hari. Nyeri tekan daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil
kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar
dan ini berhubungan adanya perdarahan.
Pada ensefalopi cenderung terjadi udem otak dan alkalosis, maka bila syok telah
teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- dan jumlah
cairan harus segera dikurangi (Desmawati, 2013).
4. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat
dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik
walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan
menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakak syok benar telah
teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah
dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1
ml/kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan
volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat
sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urine dan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin (Desmawati, 2013).
5. Oedema Paru
Oedema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga samapi
kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru
oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi
plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi
17
bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari
sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak
mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto rontgen dada. Komplikasi
demam berdarah biasanya berasoiasi dengan semakin beratnya bentuk demam
berdarah yang dialami, pendarahan, dan shock syndrome.
Komplikasi paling serius walaupun jarang terjadi adalah sebagai berikut:
1) Dehidrasi
2) Perdarahan
3) Jumlah platelet yang rendah
4) Bradikardi
Efusi Pleura disebabkan oleh infeksi virus dengue yang bisa memecahkan membrane
kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan yang kemudian
masuk ke dalam rongga pleura secara cepat dan akumulasi cairan ini disebut efusi
pleura (Desmawati, 2013).
6. Penurunan Kesadaran
Saat terjadi infeksi virus dengue kemudian mengalami replikasi maka
terbentuk kompleks virus antibodi yang menyebabkan efek salah satunya
permeabilitas kapiler yang mengikat sehingga terjadi penurunan transportasi O2 ke
otak, sehingga terjadi penurunan kesadaran (Desmawati, 2013).
2.1.6 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
Biasanya pada pemeriksaan darah lengkap pasien yang menderita DHF akan
menunjukan kelainan pada hematokrit (Ht naik 20% atau lebih) dan trombosit
mengalami penurunan (100.000/mm³) (Desmawati, 2013).
2. Pemeriksaan Dengue Blood (metode Repid)
18
Untuk melihat antibodi Ig G dan IG M. pemeriksaan IgG itu untuk melihat
infeksi pertama kalinya pasien terkena DHF. Pemeriksaan Ig M itu untuk melihat
infeksi kedua kalinya pasien terkena DHF.
Nilai normal : ( - ) negative (Desmawati, 2013).
3. Pemeriksaan NS 1
Untuk melihat antigen.
Nilai normal : ( - ) negative (Desmawati, 2013).
4. Tes Inhibisi hemaglutinasi (HI)
Adalah pemeriksaan yang sederhana, sensitif dan dapat ulang serta mempunyai
keuntungan karena dapat menggunakan reagen yang disiapkan secara local.
Kerugiannya adalah bahwa sample serum harus melalui pra-penanganan dahulu
dengan aseton atau kolin, untuk menghilangkan inhibitor non-spesifik hemaglutinasi,
dan kemudian diserap dengan sel-sel gander atau sel-sel darah manusia golongan O,
untuk menghilangkan aglutinin non-spesifik. Lebih jauh lagi, penggunaan optimal tes
HI memerlukan serum berpasangan. Serum berpasangan paling mudah didapatkan
saat penerimaan di rumah sakit (akut) dan saat pemulangan (konvalen): bila interval
Antara serum pertama dan kedua kurang dari 7 hari, tes HI mungkin tidak membantu
dalam diagnosis infeksi primer. Tes ini juga biasanya gagal untuk membedakan
Antara infeksi dengan flavirus yang sangat berkaitan, misalnya Antara virus dengue
dan ensefalitis jepang, atau virus dengue dan west nile.
Virus dengue mengaglutinasi eritrosit gander dan eritrosit dari spesies tertentu
lainnya juga sel-sel darah merah manusia golongan O yang diberikan tripsin. Tes HI
didasarkan pada kemampuan antibodi virus dengue untuk menghambat aglutinasi ini.
Tes ini menggambarkan pada kebanyakan virology manual. Respon terhadap infeksi
primer ditandai oleh evolusi lambat antibodi hemaglutinasi – inhibisi. Karena esei HI,
19
tidak dibedakan diantara isotope imunoglobulin, identifikasi respon antibodi primer
harus disimpulkan dari antibodi dengan kadar rendah atau tak terdeteksi pada serum
fase akut yang diambil sebelum hari kelima, juga dari kadar titer antibodi yang
timbul. Respon sekunder antibodi terhadap dengue ditandai oleh evolusi cepat
antibodi hemaglutinasi – inhibisi. Semua antibodi adalah reaktif-flavirus luas
sehingga diagnosis spesifik tidak memungkinkan hanya berdasarkan pada tes ini saja.
Pada tes positif terdapat terdapat peningkatan titer 4 kali lipat atau lebih Antara serum
akut dan kovalen, dengan titer puncak selalu melebihi 1 : 1280 pada respon sekunder,
dan secara umum turun dibawah rasio ini pada respon primer (Desmawati, 2013).
5. Tes netralisasi
Meskipun beberapa tes netralisasi telah diuraikan untuk virus dengue, metode
yang paling sensitif dan spesifik adalah pemelarutan serum, virus konstan, tes
reduksi-plaque. Setalah infeksi dengue primer, antibodi penetralisasi yang secara
relative spesifik terdeteksi pada konvalen awal. Setelah infeksi sekunder, antibodi
penetralisasi titer tinggi diproduksi terhadap sedikitnya dua dan biasanya keempat
serotype virus dengue, serta terhadap flavirus lainnya. Pada banyak kombinasi infeksi
sekuensial bila specimen dengan tepat waktu di uji, titer antibodi penetralisasi yang
paling tinggi pada serum konvalen diarahkan terhadap virus pada pasien yang
sebelumnya terinfeksi (biakan yang paling baru) (Desmawati, 2013).
6. Imunoesei dot-blot
Teknologi imunoesei dot-blot adalah tekhnik yang relative baru, dan reagen
serta prosedur tes terus berkembang. Sedikitnya satu imunoesei dot-blot untuk
antibodi dengue tersedia secara komersial. Karena makin besarnya minat yang
berkembang diantara pabrik komersial, imnoesei dot-blot lainnya kemungkinan
memasuki pasaran (Desmawati, 2013).
20
7. Tes fiksasi komplemen
Dapat juga digunakan pada diagnosis serologis, meskipun tes ini adalah esei
serologis paling kurang sensitive, dan esei lain secara umum telah menggantikan
metode ini. Antibodi pemiksasi komplemen secara khas timbul belakangan dibanding
antibodi Ig Matai HI dan biasanya lebih spesifik. Karenanya tes ini dapat bermanfaat
dalam memastikan infeksi dengue pada pasien dengan sample serum berpasangan
yang diambil pada akhir infeksi. Peningkatan empat kali lipat antibodi pemiksasi-
komplemen, dimana interval Antara serum akut dan konvalen kurang dari 2 minggu,
memperkuat pola serorespon sekunder (Desmawati, 2013).
8. Pemeriksaan rumple leed test (tourniquet test)
Rumple leed test adalah salah satu cara yang paling mudah dan cepat untuk
menentukan apakah terkena demam berdarah atau tidak. Rumple leed adalah
pemeriksaan bidang hematologi dengan melakukan pembendungan pada bagian
lengan atas selama 10 menit untuk uji diagnostik kerapuhan vaskuler dan fungsi
trombosit.
Prosedur pemeriksaan rumple leed test yaitu:
1) Pasang ikatan sfigmomanometer pada lengan atas dan pump sampai tekanan
100 mmHg (jika tekanan sistolik pesakit < 100 mmHg, pump sampai tekanan
ditengah-tengah nilai sistolik dan diastolik).
2) Biarkan tekanan itu selama 10 menit (jika test ini dilakukan sebagai lanjutan
dari test IVY, 5 menit sudah mencukupi).
3) Lepas ikatan dan tunggu sampai tanda-tanda statis darah hilang kembali.
Statis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan yang telah diberi tekanan yadi
21
kembali lagi seperti warna kulit sebelum diikat atau menyerupai warna kulit pada
lengan yang satu lagi (yang tidak diikat).
4) Cari dan hitung jumlah petechiae yang timbul dalam lingkaran bergaris tengah
5 cm kira-kira 4 cm distal dari fossa cubiti (Desmawati, 2013).
9. Rontgen toraks
Untuk melihat efusi pleura (Desmawati, 2013).
2.1.7 Penatalaksanaan
Menurut Desmawati (2013) Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus
dengue :
1. Panas 1-2 hari disertai dehidrasi (karena panas, muntah, masukan kurang) atau
kejang-kejang.
2. Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati, uji tourniquet
positif/negative, kesan sakit keras (tidak mau bermain), Hb dan PCV meningkat.
3. Panas disertai perdarahan.
4. Panas disertai renjatan (syok).
Sebelum atau tanpa renjatan :
1) Grade I dan II
1) Oral atau
2) Infus cairan Ringer Laktat dengan dosis 75 ml/kg BB/hari untuk anak dengan
BB < 10 kg atau 50 ml/Kg BB/hari untuk anak dengan BB < 10 kg bersama-sama
diberikan minuman oralit, air buah atau susu secukupnya.
Untuk kasus yang menunjukkan gejala dehidrasi disarankan minum sebanyak-
banyaknya dan sesering mungkin.
22
Apabila anak tidak suka minum sama sekali sebaiknya jumlah cairan infus yang harus
diberikan sesuai dengan kebutuhan cairan penderita dalam kurun waktu 24 jam yang
diestimasikan sebagai berikut :
1) 100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB < 25 Kg
2) 75 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB 26-30 Kg
3) 60 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB 31-40 Kg
4) 50 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB 41-50 Kg
5) Obat-obatan lain : antibiotika apabila ada infeksi lain, antipiretik untuk anti
panas, darah 15 cc/kg BB/hari perdarahan hebat.
2) Grade III
1. Berikan infus RL 20 ml/Kg BB/1 jam
Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan nadi
teraba dengan frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan dengan RL
10 ml/Kg BB/1 jam. Jika nadi dan tensi stabil lanjutkan infus tersebut dengan jumlah
cairan dihitung berdasarkan kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam dikurangi
cairan yang sudah masuk dibagi dengan sisa waktu (24 jam dikurangi waktu yang
dipakai untuk mengatasi renjatan). Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jam
diperhitungkan sebagai berikut:
1) 100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB < 25 Kg
2) 75 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB 26-30 Kg
3) 60 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB 31-40 Kg
4) 50 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB 41-50 Kg
2. Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 ml/Kg BB/1 jam keadaan
tensi masih terukur kurang dari 80 mmHg dan nadi cepat lemah, akral dingin maka
penderita tersebut memperoleh plasma ekspander (dextran L atau yang lainnya)
23
sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam dan dapat diulang maksimal 30 ml/Kg BB dalam kurun
waktu 24 jam. Jika keadaan umum membaik dilanjutkan cairan RL sebanyak
kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa
waktu setelah dapat mengatasi renjatan.
3. Apabila satu jam setelah pemberian cairan RL 10 mL/Kg BB/1 jam keadaan
tensi menurun lagi, tetapi masih terukur kurang 80 mmHg dan nadi cepat lemah,
akral dingin maka penderita tersebut harus memperoleh plasma atau plasma
ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam. Dan dapat diulang
maksimal 30 mg/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam.
2.2 Konsep Dasar Masalah Keperawatan syok
2.2.1 Pengertian syok
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak
adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang
adekuat tergantung pada 3 faktor utama yaitu curah jantung, volume darah, dan tonus
vasomotor perifer. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain
tidak dapat melakukan kompensasi, maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah
arteri normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika
syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokonstriksi perifer meningkat. Jika
hipotensi menetap dan vasokonstruksi berlanjut, hipoperfusi mengakibatkan asidosis
laktat, oliguria, dan ileus. Jika tekanan arteri cukup rendah, terjadi disfungsi otak dan
otot jantung (Mansjoer, 2011).
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan fungsi akut fungsi sirkulasi yang
menyebabkan ketidakckupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat
mekanisme homeostatis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang
fisiologi keadaan syok dan homeostatis, syok adalah keadaan tidak cukupnya
24
pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan
terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi
intensif (Ashadi, 2011).
2.2.2 Etiologi Peningkatan Suhu Tubuh gejala syok
1. Syok Hipovolemik
1) Kehilangan darah/syok hemoragik
2) Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal
3) Hemoragik internal : hematoma, hematoraks/himoperitoneum
4) Kehilangan plasma
5) Luka bakar
6) Dermatitis eksfoliatif
7) Kehilangan cairan dan elektrolit
8) Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebihan
9) Internal : pankreatitis, asites, obstruksi usus
2. Syok Kardiogenik
1) Disritmia
2) Kegagalan pompa jantung
3) Disfungsi katup akut
4) Ruptur septum ventrikel
3. Syok Obstruktif
1) Tension pneumothorax
2) Penyakit pericardium
3) Penyakit pembuluh darah paru
4) Tumor jantung (miksoma atrial)
5) Trombus mural atrium kiri
25
6) . Penyakit katup obstruktif
7) Syok Distributif
8) Syok septik
9) Syok anafilaktik
10) Syok neurogenik
11) Obat-obatan vasodilator
12) . Insufiensi adrenal akut
2.2.3 Penyebab gejala syok
1. Patofisiologi
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu (Komite Medik,
2009):
1). Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga
timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan
seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan
aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat
yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan
menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk
mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase
kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk
menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi
alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara
regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan
darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.
2). Fase Progresif
26
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi
kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak
lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan
darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,
gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan
akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu
berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun.
Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat
kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga
dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular
Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat
vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia
dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan
(histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan
memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan
integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi
bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul
sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas
mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan
metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,
terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
3). Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi
kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak
lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan
27
darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,
gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan
akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu
berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun.
Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat
kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga
dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular
Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat
vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia
dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan
(histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan
memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan
integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi
bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul
sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas
mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan
metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,
terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
2.2.4 Mekanisme syok
1. Manifestasi Klinik
Menurut (Mansjoer, 2011) :
1) Tekanan darah sistemik dan takikardi; puncak tekanan darah sistolik
<100mmHg atau lebih dari 10% di bawah tekanan darah yang telah
diketahui.
2) Hipoperfusi perifer, vasokonstriksi; kulit dingin, lembab, dan sianosis.
28
3) Status mental terganggu; kebingungan, agitasi, koma.
4) Oliguria atau anuria; <0,5 ml/kgBB/jam.
5) Asidosis metabolik.
6) Pemantauan hemodinamik :
1. Tekanan darah arteri
2. Tekanan vena sentral
3. Tekanan arteri pulmonal, dimonitor dengan kateter Swan-Ganz
untuk pengukuran Pulmonary Catheter Wedge Presure (PCWP).
. Pengukuran tambahan. Pemantauan sensorium, jumlah urine, dan suhu kulit.
2. Penatalaksanaan
Menurut (Mansjoer, 2011) :
Pasien diletakkan dalam posisi Trendelenburg atau telentang dengan kaki ditinggikan.
Untuk syok yang tidak terdiagnosis :
1) Bebaskan jalan napas dan yakinkan ventilasi yang adekuat
2) Pasang akses ke intravena
3) Mengembalikan cairan
4) Pertahankan produksi urine >0,5 ml/kgBB/jam
3. Derajat Syok
1) Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit,
lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan
perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible).
Kesadaran tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun,
asidosis metabolik tidak ada atau ringan.
2) Syok Sedang
29
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal).
Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada
lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5
mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.
3) Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok
beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut
terjadi vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis
berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal,
curah jantung menurun).
2.3. Konsep Asuhan Keparawatan DHF dengan masalah syok
Proses keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu : pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
1) Identitas penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status 2)
Keluhan utama
Pasien mengeluh badan lemas,keluar keringat dingin,mual, mata berkunang-kunang
3) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan sekarang ditanyakan berapa hari terjadinya panas, nyeri
otot, pegal seluruh tubuh, sakit pada waktu menelan, lemah, keluar keringat dingin,
mual, dan nafsu makan menurun).
4) Riwayat penyakit keluarga
30
Riwayat adanya penyakit DHF pada anggota keluarga yang lain sangat
menentukan, karena penyakit DHF adalah penyakit yang bisa ditularkan melalui
gigitan nyamuk aides aigepty.
5) Riwayat kesehatan lingkungan
Biasanya lingkungan kurang bersih, banyak genangan air bersih seperti kaleng
bekas, ban bekas, tempat air minum yang jarang diganti airnya, bak mandi jarang
dibersihkan.
6) Riwayat Psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami penderita
sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit
penderita.
7) Pemeriksaan fisik
1.Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan
dan tanda – tanda vital.
2.Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga
kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, ludah menjadi lebih
kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan
kabur / ganda, lensa mata keruh.
1) Sistem pernafasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernafasan dangkal, epitaksis, pergerakan
dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, krakles.
2) Sistem persyarafan
31
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada
grade IV dapat terjadi DSS.
3) Sistem kardiovaskuler
Pada grade I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif,
trombositipeni, pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi cepat,
lemah, hipotensi, sianosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari, pada grade IV nadi
tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
4) Sistem pencernaan
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastric,
pembesaran limpa, pembesaran hati, abdomen teregang, penurunan nafsu makan,
mual, muntah, nyeri saat menelan, dapat hematemesis, melena.
5) Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan
mengungkapkan nyeri saat kencing, kencing berwarna merah.
6) Sistem integument
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat positif
pada uji tourniquet, terjadi pethike, pada grade III dapat terjadi spontan pada
kulit. (Desmawati, 2013).
2.3.2 Diagnosa keperawatan
Menurut NANDA, 2015
1) Perubahan perfusi jaringan/Syok (serebral, kardiopulmonal, perifer) berhu
bungan dengan penurunan curah jantung
2) Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan proses infeksi virus dengue
2.3.3 Intervensi keperawatan
32
Tabel : Menurut NANDA,2015
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan kriteria Hasil Intervensi
1. Syok
Definisi:
Perfusi jaringan yang
adekuat tergantung pada 3
faktor utama yaitu curah
jantung, volume darah,
dan tonus vasomotor
perifer.
Batasan karasteristik :
1. Perubahan tekanan
darah
2. Mngekpresikan
wajah dan perilaku
dalam mengatasi
masalahnya
3. Masker wajah
(terlihat mata sayu)
4. Sikap melindungi
tubuh
Keefektifan pompa
jantung : tingkat
pemompaan darah dari
ventrikel kiri per menit
untuk mendukung
tekanan perfusi sistemik.
b. Status Sirkulasi :
\tingkat pengaliran darah
tanpa terhambat, satu
arah, dan pada tekanan
yang sesuai melalui vena-
vena besar dari aliran
sistemik dan pulmonal.
c. Perfusi Jaringan :
Organ Abdomen : tingkat
pengaliran darah dari
vena-vena kecil dari
visera abdomen dan
mempertahankan fungsi
organ.
d. Perfusi Jaringan :
Perifer : tingkat
a. Perawatan
Jantung
:pembatasan
komplikasi yang
diakibatkan dari
ketidakseimbangan
antara suplai
oksigen dan
kebutuhan pasien.
b. Regulasi
Hemodinamik :
optimalisasi
denyut jantung.
Preload, afterload,
dan kontraktilitas.
c. Penatalaksanaan
Syok : Jantung :
peningkatan
keadekuatan
perfusi jaringan
untk pasien dengan
gangguan fungsi
33
pengaliran darah melalui
vena-vena kecil dari
ekstremitas dan
mempertahankan fungsi
jaringan.
e. Status tanda vital :
suhu, nadi, respirasi, dan
tekanan darah dalam
rentang yang diharapkan
dari individu.
pompa jantung
yang berat.
Aktivitas
2.3.4 Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang baik yang menggambarkan criteria hasil yang diharapkan. Ukuran
implementasi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan,
pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien untuk
mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari.
Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai dengan
rencana keperawatan, perawat harus mempunyai kemampuan kognitif(intelektual),
kemampuan dalam hubungan interpersonal dan keterampilan dalam melakukan
tindakan.
34
Proses pelaksanaan implmentasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-
faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi
keperawatan dan kegiatan komunikasi.(Nurhasanah,2013)
2.3.5 Evaluasi
Evaluasi adalah suatu proses menilai diagnose keperawatan yang teratasi sebagian
atau timbul masalah baru. Melalui kegiatan evaluasi, kita dapat menilai pencapaian
tujuan yang diharapkan dan tujuan yang telah dicapai oleh klien. Bila tercapai
sebagian atau muncul masalah baru, kita perlu melakukan pengkajian lebih lanjut,
memodifikasi rencana, atau mengganti dengan rencana yang sesuai dengan
kemampuan klien.
Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana:
S : ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subyektif oleh klien
setelah diberikan implementasi keperawatan.
O : keadaan obyektif yang dapat diindentifikasi oleh perawat menggunakan
mengamatan obyektif.
A : merupakan analisis perawat setelah mengetahui respon subyektif dan obyektif.
P : perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.