15307036-lukman-hakim.pdf
TRANSCRIPT
1
STUDI MENGENAI PARTISIPASI MASYARAKAT
PADA PENGELOLAAN SAMPAH
(STUDI KASUS: RW 13 DAN RW 14 KELURAHAN TAMANSARI,
KECAMATAN BANDUNG WETAN, KOTA BANDUNG)
Lukman Hakim1 dan Enri Damanhuri2
Program Studi Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung,
Jalan Ganesha 10 Bandung 40132 [email protected] dan [email protected]
PENDAHULUAN
Teknik operasional pengelolaan sampah
perkotaan yang terdiri atas kegiatan pewadahan
sampai dengan pembuangan akhir sampah harus
bersifat terpadu dengan melakukan pemilahan sejak
dari sumbernya (Damanhuri, 2008). Pemilahan
sampah di sumber membutuhkan komitmen dan
partisipasi dari masyarakat (Meen-Chee dan
Narayanan, 2006 dalam Budak, 2008).
Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung
Wetan, Kota Bandung, dipilih sebagai daerah
penelitian dengan Rukun Warga (RW) 13 dan 14
sebagai daerah representatif karena melebihi angka
kepadatan penduduk ideal dan mewakili sebagian
besar wilayah Indonesia yang berekonomi
menengah ke bawah, serta bermukim di wilayah
yang padat.
METODOLOGI
“Studi Mengenai Partisipasi Masyarakat pada
Pengelolaan Sampah” merupakan penelitian yang
berusaha mengungkap faktor yang mempengaruhi
partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah di
daerah tinggalnya. Faktor tersebut diungkap
dengan membandingkan dua daerah tempat tinggal
yang secara visual dapat dikatakan pengelolaan
sampahnya berbeda, baik dan buruk.
Studi yang dilakukan dibagi menjadi beberapa
tahap, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Skema penelitian
Tahap penelitian berusaha mengungkap
kondisi eksisting pengelolaan persampahan di
objek penelitian dari sudut pandang warga sebagai
objek dari sistem pengelolaan tersebut. Data dari
tahapan tersebut didapatkan dari metode sampling
dengan alat berupa kuesioner. Jumlah sampel
minimum yang diambil adalah 30 warga untuk
setiap RW.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi existing wilayah sampel dan
pengelolaan sampahnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kondisi existing wilayah sampel
Variabel RW 13 RW 14
Jumlah RT (buah) 7 5
Jumlah penduduk (jiwa) 1.249 615
Jumlah Kepala Keluarga (KK) 387 182
Jumlah petugas (orang) 7 4
Waktu kerja petugas kebersihan (hari) 6 7
Waktu pengambilan sampah > 18.00 15.00 sampai 17.00
Biaya retribusi pengelolaan sampah (Rp/bulan) 8000 2500
Bak sampah besar Ada Ada
Lama bak sampah terisi (hari) 1 sampai 2 3
Dokumentasi profil RW Tidak ada Ada
Teknologi dalam pengelolaan sampah Tidak ada Ada
Pencerdasan mengenai pengelolaan sampah Tidak pernah Pernah
Lomba pengelolaan lingkungan hidup/kebersihan Tidak pernah Pernah
Hasil segmentasi penilaian responden pada
pengelolaan sampah pada aspek kelembagaan,
peraturan, dan pembiayaan yang ditunjukkan
padaTabel 2bertujuanuntuk membandingkan sudut
pandang pengurus dan warga.
Tabel 2 Variabel penilaian responden pada
pengelolaan sampah
Variabel Segmentasi
1 Frekuensi Pengurus RT/RW Mengajak Melakukan Kegiatan Kebersihan
2 Frekuensi Pengurus RT/RW Mengajak Berdiskusi Masalah Persampahan
3 Frekuensi Pengurus RT/RW Memberi Penyuluhan Kebersihan dan Persampahan
4 Frekuensi Pengurus RT/RW Mensosialisasikan Peraturan Kebersihan yang Berlaku
5 Frekuensi Pengurus RT/RW Memberi Dana Intensif Sebagai Upaya Penghargaan
6 Tingkat Persetujuan Warga terhadap Biaya Retribusi
7 Frekuensi Petugas Kebersihan Mengangkut Sampah
• Wawancara
• Observasi Langsung
Studi Pendahuluan
• Perancangan Kuesioner
• Pengumpulan Kuesioner
• Pengolahan Kuesioner
Penelitian• Analisis
• Kesimpulan
Analisis
2
Hasilpenilaian responden pada pengelolaan
sampahmenunjukkanbahwa sistem pengelolaan
sampah RW 14 lebih baik daripada RW
13.Pengurus RW 14 terbukti memang secara rutin
mengadakan kegiatan kebersihan seperti kerja
bakti, sedangkan RW 13 tidak. Pengurus RW 14
lebih aktif dibandingkan dengan RW 13 karena
mereka secara inisiatif mencari ahli sebagai
narasumber yang dapat mencerdaskan
warganya.Media publikasi dari hasil rapat atau
komando dari pengurus RW 14 lebih beragam dan
rutin dilakukan. Tingkat kesetujuan warga dengan
biaya retribusi RW 14 lebih tinggi dibandingkan
dengan RW 13 karena warga dinilai puas dengan
pelayanan yang diberikan pengurus. Biaya retribusi
RW 13 lebih tinggi 31,25% dari RW 14, dengan
pelayanan yang jauh lebih rendah dibandingkan
RW 14.
Penerapan sistem mencakup teknologi yang
diusung oleh pengurus seharusnya diikuti oleh
warga. Maka hasil penilaian berikutnya adalah
frekuensi responden pada teknik operasional dan
partisipasi warga dalam menangani sampah yang
ditunjukkanpadaTabel 3, untuk melihat keterkaitan
pandangan responden dengan perilaku
kesehariannya pada pengelolaan sampah yang
diusung pengurus.
Tabel 3 Variabel frekuensi responden dalam teknis
operasional dan partisipasi masyarakat
Variabel Segmentasi
8 Persentase Frekuensi Warga Memilah Sampah
9 Persentase Frekuensi Warga Memindahkan Sampah dari Dalam ke Luar Rumah
10 Persentase Frekuensi Warga Membuang Sampah ke Sungai
11 Persentase Frekuensi Warga Membakar Sampah
12 Persentase Frekuensi Warga Menimbun/Mengubur Sampah
13 Persentase Frekuensi Warga Mengolah Sampah Menjadi Kompos
14 Persentase Frekuensi Warga Menyapu Jalan di Depan Rumah
15 Persentase Frekuensi Warga Mengikuti Kegiatan Kebersihan
16 Persentase Frekuensi Warga Mengikuti Organisasi yang Mendaur Ulang Sampah
17 Persentase Frekuensi Warga Memberikan Saran/Kritik kepada Pengurus RT/RW
18 Persentase Frekuensi Warga Mengikuti Penyuluhan Persampahan di Lingkungannya
19 Persentase Frekuensi Warga Menaati Peraturan Kebersihan di Lingkungannya
20 Persentase Frekuensi Warga Membayar Biaya Retribusi Untuk Pelaksanaan Kebersihan
Hasilnya menunjukkan bahwa sangat jelas
terjadi perbedaan antara RW 13 dan 14 dari
frekuensi pemilahan sampah. RW 13 didominasi
dengan responden yang tidak pernah mengolah
sampah menjadi kompos, sedangkan RW 14 dari
66,67% yang memilah terdapat 40% yang
mengolah sampahnya menjadi kompos. Frekuensi
warga untuk membuang sampah ke sungai,
membakar sampah, dan menimbun sampah sangat
rendah karena latar belakang kedua wilayah yang
telah mengerti dan menjalani peraturan untuk
menjaga Sungai Cikapundung dan dipengaruhi oleh
lahan daerah tempat bermukim yang padat.
Antusias warga RW 14 lebih tinggi dari RW 13
untuk ikut serta pada kegiatan kebersihan.
Kebijakan pengelolaan sampah yang dibuat
pengurus RW 14 lebih tegas diberlakukan daripada
RW 13.
Kesadaran kelompok pembentuk tingkat
kawasan di RW 14 telah berhasil menstimulasi
warga untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
sampah. Sistem pengelolaan sampah RW 14 lebih
baik daripada RW 13 menyangkut dari aspek
kelembagaan, pembiayaan, dan peraturan. Tingkat
pelayanan kebersihan RW 13 tidak memuaskan
warganya seperti warga RW 14.
Pengurus RW 14 berhasil mengupayakan
partisipasi masyarakat untuk menjalankan sistem
yang dibuatnya dan berguna untuk mengurangi
timbulan sampah. Warga sudah mau memilah
sampah secara inisiatif karena sistem yang berjalan
baik dan dilengkapi fasilitas untuk berkegiatan.
Tindak lanjut dan sosialisasi yang terus dilakukan
pengurus RW 14 terhadap warganya membuktikan
bahwa pada aspek operasional dan partisipasi
masyarkat pun RW 14 lebih baik dari RW 13.
KESIMPULAN
Dari perbandingan kedua wilayah ini
maka dapat disimpulkan bahwa peran pengurus
RW atau kelompok pembentuk tingkat kawasan
sangat berpengaruh pada partisipasi masyarakat.
Sistem yang diberlakukan perlu menyesuaikan
dengan latar belakang warga seperti budaya dan
agama. Seorang pengurus yang telah tinggal lama
di daerahnya akan berhasil memahami norma dan
budaya yang berlaku. Dengan komunikasi yang
berkelanjutan pengurus RW 14 berhasil
menanamkan kepercayaan warga untuk
menerapkan teknologi penanganan sampah
domestik.
DAFTAR PUSTAKA Budak, Fuat and Burcu Oguz (2008). Household
Participation in Recycling Programs: A Case Study
from Turkey. Journal of Environmental Biology.
29(6): 923-927
Damanhuri, Enri dan Tri Padmi (2008). Pengelolaan
Sampah, Diktat Kuliah Program Studi Teknik
Lingkungan ITB. Bandung: Penerbit ITB.
Gjoka, Konalsi andLjiljana Rodic-Wiersma (2007).
Potential for Waste Segregation at Source in
Tirana. ISWA/NVRD World Congress 2007
Proceeding.
Subash, A. (2000). Community Participation in Solid
Waste Management.
USAID (2006). Comparative Assessment Community
Based Solid Waste Management (CBSWM) Medan,
Bandung, Subang, and Surabaya.