document1
DESCRIPTION
fileTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Judul Penelitian
Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di Rumah Sakit Dr. Kariadi dan Rumah Sakit Umum Ketileng Semarang.
1.2. Bidang Ilmu
Ilmu kedokteran khususnya cabang Ilmu Penyakit Dalam bidang Tropik Infeksi.
1.3. Latar Belakang Penelitian
Leptospirosis adalah suatu penyakit yang digolongkan sebagai penyakit zoonosis karena
dapat menyerang manusia maupun hewan. Penyakit infeksi ini disebabkan oleh kuman
leptospira yang bersifat patogen. 1-4
Penyakit ini merupakan masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim
tropis dan subtropis, dengan kelembaban dan curah hujan tinggi. Di negara berkembang,
dimana kondisi kesehatan lingkungannya kurang mendapat perhatian terutama mengenai
pembuangan sampah, kuman leptospira mudah berkembang. International Leptospirosis
Society menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis tinggi dan peringkat tiga
di dunia untuk mortalitas. Di Indonesia, leptospirosis tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan
Timur dan Kalimantan Barat
1
Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah
menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious
diseases. 1
Manifestasi klinis leptospirosis sangat bervariasi, dapat berupa leptospirosis ringan pada
90 % kasus dan leptospirosis yang berat dengan berbagai macam kegagalan fungsi organ
yang dapat menyebabkan kematian. Gambaran klasik leptospirosis berat, disebut Weil’s
disease ditandai dengan ikterik, gagal ginjal akut dan perdarahan. Leptospirosis merupakan
suatu penyakit multisistem, dimana penyakit ini dapat menimbulkan berbagai macam
komplikasi pada organ tubuh. Komplikasi organ tubuh yang dapat ditemukan pada penderita
leptospirosis berat meliputi gagal ginjal akut, gangguan fungsi hati berat, gangguan fungsi
jantung, syok sepsis, perdarahan masif, gagal napas. 1,2,5,6
Semua kasus leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna. Pada kasus leptospirosis berat
didapatkan CFR sebesar 5-40 %. Prognosa pada kasus leptospirosis berat ditentukan oleh
berbagai faktor, misalnya virulensi kuman leptospira, kondisi fisik pasien, usia penderita,
adanya ikterik, gagal ginjal, gangguan fungsi hati yang berat. 1
Faktor-faktor sebagai indikator prognosis mortalitas meliputi : usia > 60 tahun, produksi
urin < 600 ml/hari, kadar kreatinin > 10 mg/dl, kadar ureum > 200 mg/dl, kadar albumin
serum < 3 g/dl, kadar bilirubin > 25 mg/dl, trombositopenia < 100.000/mm3, anemia < 12
gr/dl, adanya komplikasi, sesak napas, abnormalitas EKG, infiltrat alveolar pada pencitraan
paru. 1
Berdasarkan penelitian case control yang telah dilakukan oleh Soeharyo (1996)
mendapatkan hasil bahwa faktor-faktor yang berkaitan dengan mortalitas leptospirosis adalah
variabel komplikasi, albumin < 3 gr %, bilirubin tinggi, produksi urin rendah, titer positif dan
usia > 60 tahun. 7
2
Pada penelitian kohort prospektif oleh Panaphut T, adanya oliguri, hiperkalemia, ronkhi
pada pulmo, hipotensi pada saat penderita masuk rumah sakit merupakan resiko tinggi untuk
kematian. 8
Pada penelitian oleh Bautista secara retrospektif, adanya leukositosis, trombositopenia,
perdarahan, oliguria, lamanya sakit sebelum mendapat perawatan, gangguan fungsi hati
memberikan outcome yang buruk / kematian. 9
Penelitian oleh Esen S secara retrospektif, menunjukkan adanya perubahan tingkat
kesadaran dan hiperkalemia pada saat penderita masuk rumah sakit merupakan faktor risiko
yang tinggi untuk kematian. 10
Penelitian oleh Spichler dengan menggunakan metode case control secara retrospektif
mendapatkan prediktor kematian meliputi : usia > 40 tahun, oliguria, trombosit <
70.000/mmk, kreatinin > 3 mg/dl, gangguan paru.11
Penelitian oleh Covic A secara retrospektif mendapatkan penderita leptospirosis dengan
gagal ginjal akut merupakan kondisi yang berat, dapat menimbulkan gagal multi organ dan
menyebabkan kematian pada 1/3 kasus. 12
Penelitian oleh Nurmilawati secara cross sectional mendapatkan adanya abnormalitas
elektrokardiografi, ronkhi basah, leukositosis, hematemesis, merupakan faktor-faktor risiko
prognosis kematian pada penderita leptospirosis berat dengan prediksi probabilitas kematian
0,93. 13
1.4. Rumusan Masalah Penelitian
Apakah faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di Rumah Sakit Dr. Kariadi dan Rumah Sakit Umum Ketileng Semarang ?
3
1.5. Tujuan Penelitian
1.5.1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada
penderita leptopsirosis berat di Rumah Sakit Dr. Kariadi dan Rumah Sakit Umum Ketileng
Semarang.
1.5.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengaruh umur terhadap kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis
berat.
2. Mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat.
3. Mengetahui pengaruh lama sakit sebelum dirawat terhadap kejadian mortalitas pada
penderita leptopsirosis berat.
4. Mengetahui pengaruh terapi antibiotika sebelum dirawat terharap kejadian mortalitas
pada penderita leptospirosis berat.
5. Mengetahui pengaruh gejala klinis terhadap kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat.
6. Mengetahui pengaruh tanda klinis terhadap kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat.
7. Mengetahui pengaruh abnormalitas elektrokardiogram terhadap kejadian mortalitas
pada penderita leptospirosis berat.
8. Mengetahui pengaruh abnormalitas hasil laboratorium (darah rutin, fungsi renal,
fungsi hati) terhadap kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis berat.
9. Mengetahui pengaruh komplikasi organ tubuh terhadap kejadian mortalitas pada
penderita leptospirosis berat.
4
1.6. Manfaat Penelitian
Maanfaat penelitian ini adalah sebagai pengetahuan bagi para klinisi mengenai faktor-faktor
risiko yang berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis berat di
rumah sakit.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit infeksi zoonosa yang disebabkan oleh kuman
leptospira yang bersifat patogen, yang menyerang hewan dan manusia. Penyakit ini pertama
kali dilaporkan oleh Adolf Weil pada tahun 1886, dengan gambaran klinis demam,
pembesaran hati dan limpa, ikterus serta adanya tanda-tanda kerusakan pada ginjal. 1-6
2.2 Etiologi
Kuman leptospira termasuk dalam ordo Spirochaetales, famili Leptospiraceae, genus
Leptospira. Kuman ini mempunyai bentuk berpilin seperti spiral, tipis, lentur dengan panjang
10-20 mikron dan tebal 0,1 mikron serta memiliki 2 lapis membran. Kedua ujungnya
memiliki kait berupa flagellum periplasmik dan berputar pada sumbu panjangnya. Kuman
leptospira mempunyai sifat aerob obligat dan tumbuh optimal pada suhu 28-30 ° C, serta
menghasilkan katalase dan oksidase. 1,3 Saat ini, telah diidentifikasi lebih dari 200 serovar
yang dikelompokkan menjadi 24 serogrup. 3
2.3. Epidemiologi
Leptospirosis digolongkan sebagai zoonosis karena penyakit infeksi akut ini dapat
menyerang manusia maupun hewan. Hewan yang terinfeksi kuman leptospira dapat
menularkan penyakit leptospirosis pada manusia. Hewan penjamu kuman leptopsira yang
paling utama adalah roden. Hewan peliharaan yang dapat menjadi hewan penjamu kuman
leptospira adalah kucing, anjing, kambing, lembu, babi serta hewan golongan unggas. Hewan
liar juga dapat menjadi hewan penjamu kuman leptospira misalnya tikus, ular, bajing, dll.
6
Dalam tubuh hewan penjamu, kuman leptospira hidup di dalam ginjal hewan penjamu dan
dikeluarkan melalui urine. 1,3,5
2.4. Patogenesis
Patogenesis penyakit leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira
masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau
mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esophagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk
melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. 1,3,5
Kuman leptospira yang tidak virulen akan gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan
oleh sistem kekebalan tubuh. Kuman leptospira yang virulen mengalami multiplikasi di darah
dan jaringan. Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, dan menimbulkan
vaskulitis yang disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. 1,3
Patogenitas kuman leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel
dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) kuman leptospira memiliki aktivitas
endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu
stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi
trombosit disertai trombositopenia. 1
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal
kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus menyebabkan
nefritis interstitial dan nekrosis tubulus. Hipovolemia yang disebabkan oleh dehidrasi atau
gangguan permeabilitas dapat menimbulkan gagal ginjal. Pada hati, dapat ditemukan nekrosis
sentrilobulus dengan proliferasi sel Kupffer. Gangguan pada paru merupakan akibat adanya
perdarahan. Pada otot rangka, leptospira dapat menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dari
7
miofibrin dan nekrosis fokal. Pada leptospirosis yang berat, vaskulitis dapat mengganggu
mikrosirkulasi, menyebabkan kebocoran plasma dan hipovolemia. 1,3
Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva, selaput mukosa utuh
Multiplikasi kuman dan menyebar melalui aliran darah
Kerusakan endotel pembuluh darah kecil, ekstravasasi sel dan perdarahan
Gambar 1. Patogenesis leptospirosis 1
2.5. Manifestasi klinik
Masa inkubasi penyakit leptospirosis berkisar antara 7-12 hari dengan rerata 10 hari.
Manifestasi klinik penyakit ini sangat bervariasi, dapat berupa leptospirosis ringan hingga
leptospirosis berat dengan berbagai macam kegagalan fungsi organ. Beberapa ahli membagi
penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik. 1,5
8
Perubahan patologi di organ/jaringan
Ginjal : nefritis interstitial sampai nekrosis tubulus, perdarahan
Hati : gambaran non spesifik sampai nekrosis sentrilobular disertai hipertrofi dan
hyperplasia sel Kupffer
Paru : inflamasi interstitial sampai perdarahan paru
Otot lurik : nekrosis fokal
Jantung : petekie, endokarditis akut, miokarditis toksik
Mata : dilatasi pembuluh darah, uveitis, iritis, iridosiklitis
Perjalanan penyakit leptospirosis anikterik maupun ikterik umumnya bifasik,
mempunyai 2 fase/stadium yaitu fase leptospiremia/fase septikemia dan fase imun, yang
dipisahkan oleh periode asimtomatik. Ada juga yang membagi menjadi 3 fase, dimana fase
fase penyembuhan dianggap sebagai fase tersendiri. 1,5
Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas
atau tumpang tindih dengan fase septikemia. Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis
serovar dan jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien
dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat. 1
Gambar 2. Fase leptospiremia dan fase imun pada leptospirosis 5
2.5.a. Leptospirosis anikterik
Leptospirosis anikterik merupakan manifestasi sebagian besar penyakit ini. Gejala
klinis yang dapat dijumpai pada leptospirosis anikterik meliputi : demam ringan atau tinggi
yang bersifat remiten, sakit kepala dapat bersifat ringan atau berat, nyeri retro-orbita disertai
9
fotopobia, menggigil, mual dan muntah, selera makan menurun/anoreksia, nyeri otot/mialgia
terutama di daerah otot betis sehingga pasien sulit berjalan, nyeri otot di punggung dan paha
conjunctival suffusion, kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis. Meskipun jarang, dapat
dijumpai limfadenopati, splenomegali dan ruam makulopapular. Akibat adanya kerusakan
otot, dapat ditemukan peningkatan kreatinin fosfokinase. 1,5
2.5.b. Leptospirosis ikterik
Gagal ginjal akut, ikterus, dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik
khas penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun
menjadi tidak jelas atau tampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase
imun dipengaruhi oleh jenis serovar, jumlah kuman, status nutrisi dan imunologik pasien,
serta kecepatan memperoleh terapi. 5,14
Leptospirosis berat dapat menimbulkan komplikasi multi organ. Hal ini menunjukkan
bahwa leptospirosis merupakan suatu penyakit multisistem. Walaupun ikterik, penderita
biasanya tidak mengalami kerusakan hepatoseluler, dan fungsi hati akan pulih setelah
penderita sembuh. 14
Gagal ginjal akut merupakan komplikasi yang sering terjadi. Azotemia, oliguria atau
anuria biasanya terjadi dalam minggu ke dua tetapi dapat ditemukan pada hari ke tiga setelah
onset. 14
Keterlibatan paru-paru dapat berupa batuk, nyeri dada, hemoptisis. Pada kasus yang
berat dapat ditemukan edema paru, perdarahan paru, ARDS. 14
Manifestasi klinik kardiovaskular dapat berupa miokarditis, gagal jantung kongestif,
serta gangguan irama jantung. Kelainan gambaran elektrokardiografi adalah blok
atrioventrikuler derajat I dan fibrilasi atrium. 5,14
10
Tabel 1. Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik 1
Sindroma, fase Gambaran klinik Spesimen laboratorium
Leptospirosis anikterik
Fase leptospiremia (3-7 hari)
Fase imun (3-30 hari)
Demam tinggi, nyeri kepala,
mialgia, nyeri perut, mual,
muntah, conjunctival suffusion
Demam ringan, nyeri kepala,
muntah, meningitis aseptik
Darah, cairan serebrospinal
Urin
Leptospirosis ikterik
Fase leptospiremia dan fase
imun (sering menjadi satu atau
tumpang tindih)
Demam, nyeri kepala, mialgia,
ikterik, gagal ginjal, hipotensi,
manifestasi perdarahan,
pneumonitis hemoragik,
leukositosis
Darah, cairan serebrospinal
(mgg I)
Urin (mgg II)
2.6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditemukan pada leptospirosis berat yaitu :
2.6.1. Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut merupakan salah satu komplikasi berat leptospirosis berat. Dapat
ditemukan nekrosis tubular akut, yang ditandai dengan kadar natrium urin > 40 mEg/L, rasio
kreatinin urin dan plasma < 20, indeks gagal ginjal > 1. 1
Gagal ginjal akut pada leptospirosis berat dapat berupa tipe oliguria dan tipe non
oliguri. Tipe oliguri mempunyai prognosis lebih jelek, terutama bila fase oliguri berlangsung
lama dan kurang respon terhadap pemberian diuretik, peningkatan rasio ureum urine : darah,
dan menetapnya kadar ureum/kreatinin darah. 1,15,16
11
Azotemia prarenal dan renal lebih sering ditemukan pada leptospirosis ikterik
dibanding yang anikterik. Azotemia, oliguria atau anuria biasanya terjadi dalam minggu ke
dua tetapi dapat juga ditemukan pada hari ke tiga perjalanan penyakit. 1
Gagal ginjal akut, dilaporkan bervariasi antara 16 - 40 % kasus, merupakan faktor
resiko untuk mortalitas. Kadar ureum darah dapat dipakai sebagai salah satu faktor
prognostik, makin tinggi kadarnya makin jelek prognosa. 1 Gangguan ginjal pada pasien
Weil’s disease ditemukan proteinuria serta azotemia, dan dapat terjadi nekrosis tubulus akut.
Oliguria terjadi akibat dehidrasi dan hipotensi.
Gagal ginjal akut pada leptospirosis ditandai dengan nefritis tubulo-interstitial dan
disfungsi tubulus. Pada penelitian oleh Yang CW, Wu MS dan Pan MJ mendapatkan bahwa
pemberian ekstrak protein membran luar (outer membrane protein) dari leptospira yang
patogen pada sel tubulus secara in vitro akan mengaktivasi ikatan NFκB dan menstimulasi
iNOS, monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α). 17
2.6.2. Perdarahan paru
Kelainan paru pada leptospirosis berkisar antara 20-70%. Biasanya ringan berupa
batuk, nyeri dada, hemoptisis. Komplikasi paru yang berat seperti edema paru, perdarahan,
ARDS sering berhubungan dengan gagal ginjal. Hemoptisis, merupakan gejala adanya
perdarahan paru, dapat tidak muncul hingga dilakukan intubasi pada penderita. 5,18
Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru dapat dijumpai pada hari 3
sampai 9 perjalanan penyakit. Abnormalitas yang sering ditemukan adalah patchy alveolar
pattern yang berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai efusi pleura.
Abnormalitas pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru bagian bawah. 1,5
12
2.6.3. Gangguan kardiovaskular
Manifestasi gangguan kardiovaskular dapat berupa miokarditis, gagal jantung
kongestif dan gangguan irama jantung. Kelainan gambaran EKG ditemukan > 50 % pasien
leptopsirosis dalam 24 jam pertama perawatan di rumah sakit. Gambaran EKG yang tersering
adalah blok atrioventrikular derajat I dan fibrilasi atrium. 1,5
Pada pasien masuk rumah sakit sering dijumpai adanya hipotensi. Penderita dengan
hipotensi akan mengalami gangguan fungsi ginjal. 1
2.6.4. Gangguan fungsi hepar
Bila tidak ada gejala ikterik, fungsi hati umumnya normal. Ikterik disebabkan karena
bilirubin direk yang meningkat.. Gangguan fungsi hepar ditandai dengan meningkatnya
serum transaminase (SGOT dan SGPT). Peningkatan kadar seum transaminase dapat
mencapai 2-3 kali nilai normal. Berbeda dengan hepatitis virus, dimana peningkatan serum
transaminase menunjukkan nilai yang bermakna. Pada leptospirosis berat dapat ditemukan
peningkatan kadar kreatinin fosfokinase yang diakibatkan kerusakan jaringan otot. Pada
hepatitis virus tidak didapatkan peningkatan kadar kreatinin fosfokinase. 1,5
2.6.5. Koagulasi Intravaskular Diseminata 6,19,20,21
Salah satu komplikasi sepsis adalah terjadinya disfungsi multi organ dan perdarahan
yang disebabkan DIC. Gejala klinis DIC ditandai dengan adanya pembentukan trombosis
mikrovaskular yang menyeluruh dan terjadinya perdarahan di berbagai tempat.
Deposit fibrin menyeluruh sebagai akibat aktivasi koagulasi pada sepsis akan
menyebabkan pembentukan trombus di pembuluh darah kecil dan sedang, sehingga terjadi
trombosis mikrovaskular yang mengakibatkan disfungsi multi organ. Proses koagulasi yang
13
berlangsung terus akan menyebabkan terpakainya faktor koagulasi serta trombosit. Konsumsi
faktor koagulasi dan trombosit mengakibatkan defisiensi dan menimbulkan perdarahan.
Sepsis
Aktivasi faktor koagulasi
Deposisi fibrin menyeluruh Konsumsi faktor pembekuan
dan trombosit
Trombosis mikrovaskular Perdarahan
Gambar 3. Patogenesis terjadinya trombosis mikrovaskular dan perdarahan pada sepsis. 19
Mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), Interleukin-1 (IL-1) dan
Interleukin-6 (IL-6), akan mengakibatkan terjadinya aktivasi faktor koagulasi terutama
melalui faktor jaringan, penghambatan jalur antikoagulan alamiah, dan penekanan fibrinolisis
melalui peningkatan penghambat aktivator plasminogen tipe 1 (PAI-1). Hal ini akan
menimbulkan peningkatan pembentukan fibrin dan ketidakmampuan untuk memecah fibrin.
Penelitian menunjukkan bahwa jalur ekstrinsik memegang peran utama dalam
terjadinya aktivasi faktor koagulasi pada sepsis. Proses ini tergantung pada terdapatnya faktor
jaringan (tissue factor). Faktor jaringan akan mengikat faktor VIIa membentuk kompleks
faktor jaringan-faktor VIIa yang kemudian mengubah faktor X menjadi Xa.
14
Sepsis
Mediator inflamasi / sitokin
(TNF, IL-1, IL-6)
Aktivasi koagulasi Penghambatan jalur antikoagulan Penekanan sistem fibrino-
Melalui faktor jaringan alamiah / AT III, Protein C, TFPI lisis. Peningkatan PAI-1
Gambar 4. Skema gangguan koagulasi pada sepsis 19
Gambar 5. Kaskade koagulasi 20
Sistem koagulasi mempunyai beberapa sistem penghambat yang juga mempunyai
peran penting pada sepsis. Pada sepsis dijumpai penurunan aktivitas sistem penghambat atau
antikoagulan. Beberapa antikoagulan tersebut diantaranya antitrombin III (AT III), protein C,
protein S, dan penghambat jalur faktor jaringan (tissue factor pathway inhibitor TFPI).
Antitrombin III bekerja menghambat trombin dan faktor koagulasi lain (IIa, IXa, XIa dan
XIIa) dan juga mempunyai efek anti-infalamasi. Protein C yang diaktifkan oleh kompleks
15
trombin-trombomodulin akan menginaktivasi faktor Va, VIIIa, dan PAI-1 dan diduga
mempunyai peran dalam proses inflamasi. TFPI berperan dalam menginaktivasi faktor Xa
dan kompleks VIIa-faktor jaringan.
Sistem fibrinolitik merupakan proses sekunder aktivasi sistem koagulasi. Mediator
inflamasi sendiri mempunyai kemampuan menekan fibrinolisis pada sel endotel dengan cara
stimulasi dan pelepasan PAI-1. Ketidakseimbangan antara sistem koagulasi dan fibrinolisis
ini memacu pembentukan trrombus, mengakibatkan disfungsi organ sehingga dapat
menyebabkan kematian.
Interaksi Inflamasi dan Koagulasi pada Sepsis
Penelitian menunjukkan terdapat interaksi antara inflamasi dan proses koagulasi pada
penderita dengan sepsis. Beberapa faktor koagulasi mempunyai efek proinflamasi, contoh
faktor Xa dan thrombin dapat meningkatkan produksi mediator atau sitokin proinflamasi
seperti IL-6 dan IL-8. Dan beberapa antikoagulan alamiah misal AT III dan protein C
berperan dalam proses inlflamasi pada sepsis.
2.7. Pemeriksaan penunjang 3,14
Pada leptospirosis yang ringan dapat ditemukan proteinuria yang ringan dan adanya
sedimen urin berupa leukosit, eritrosit dan granula hyalin. Pada leptospirosis yang berat dapat
dijumpai gagal ginjal dan azotemia.
Laju endapan darah biasanya meningkat. Pada leptospirosis anikterik, hitung lekosit
berkisar antara 3000-26.000 dengan pergeseran ke kiri. Pada leptospirosis yang berat,
leukositosis menjadi lebih nyata. Trombositopenia dapat dijumpai pada 50 % penderita dan
hal ini berkaitan dengan gagal ginjal.
16
Berbeda dengan penderita hepatitis akut, penderita dengan leptospirosis mempunyai
peningkatan serum bilirubin dan alkali fosfatase. Waktu protrombin dapat memanjang, tetapi
dapat dikoreksi dengan vitamin K. Peningkatan kreatin fosfokinase dapat untuk membedakan
leptospirosis dengan hepatitis virus.
Bila terjadi reaksi meningen, pada cairan serebrospinal dapat dijumpai dominasi sel
PMN saat awal penyakit dan sel MN pada fase lanjut. Konsentrasi protein pada cairan
serebrospinal dapat meningkat, sedangkan kadar glukosa tetap normal.
Pada leptospirosis berat, gambaran foto toraks dapat berupa bercak-bercak alveolar
yang menandakan adanya perdarahan paru, dengan lokasi pada lobus bawah paru.
Pemeriksaan serologik yang sering digunakan adalah microscopic agglutination test
(MAT), enzyme linked immune sorbent assay (ELISA) dan immune-fluorescent antibody test.
Pemeriksaan MAT merupakan tes referensi utama, mempunyai sensitivitas yang tinggi dan
digunakan sebagai baku emas dalam mengevaluasi tes diagnostik leptospirosis yang baru. Tes
MAT dapat mendeteksi antibodi pada tingkat serovar. Pemeriksaan MAT dikatakan positif
bila terjadi serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau lebih
antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non-endemik leptospirosis
Tes diagnostik yang cepat dan mudah meliputi pemeriksaan dipstick assay, lateral
flow assay, dan latex based agglutination test. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi
Leptospira-specific Imunoglobulin M.
2.8. Penatalaksanaan leptospirosis 3,22
Penatalaksanaan pada leptospirosis meliputi tindakan suportif seperti pemberian
cairan dan nutrisi yang adekuat. Penderita leptospirosis berat dapat memerlukan perawatan di
intensive care unit. Bila terjadi gagal napas, maka perlu ditunjang dengan ventilator.
Penderita dengan gagal ginjal mungkin memerlukan dialisis.
17
Tabel 2. Pemberian antibiotika pada penderita leptospirosis 3
Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg per hari, oral atau
Ampisilin 4 x 500-750 mg per hari, oral atau
Amoksisilin 4 x 500 mg per hari, oral
Leptospirosis berat Penisilin G 4 x 1,5 juta unit per hari, IV atau
Ampisilin 4 x 1 gr per hari, IV atau
Amoksisilin 4 x 1 gr per hari, IV atau
Eritromisin 4 x 500 mg per hari
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg per minggu oral
Pada kasus leptospirosis yang ringan dapat diberikan antibiotik secara oral sedangkan
pada kasus leptospirosis yang berat pemberian antibiotik sebaiknya secara intavena.
Antibiotika dapat diberikan selama 7 hari. Antibiotik golongan sefalosporin juga dapat
digunakan dalam mengobati kasus leptospirosis. Meskipun jarang terjadi, perlu diwaspadai
terjadinya reaksi Jarisch-Herxheimer yang timbul dalam beberapa jam setelah pemberian
antibiotik dimulai.
18
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Teori
19
Kuman leptospira virulen
Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva, mukosa utuh
Multiplikasi di darah dan jaringan
Sel endotel dan sel monosit
Sepsis
Syok sepsis
Inflamasi
Disfungsi multi organ :Ginjal, kardiovaskular, hepar, paru, dll
Faktor jaringan dan sitokin proinflamasi
Antikoagulan ↓ Fibrinolisis ↓
PAI ↑
Koagulasi ↑
DIC
Usia lanjut
Imunitas ↓
Meninggal
Eliminasi kuman ↓
Jenis kelamin
Lama sakit sebelum dirawat
Antibiotika
3.2 KerangkaKonsep
Variabel bebas Variabel tergantung
3.3 Hipotesis
3.3.1. Mayor :
Umur, jenis kelamin, lama sakit sebelum dirawat, terapi antibiotik sebelum dirawat, gejala
dan tanda klinis, abnormalitas ekg dan laboratorium, komplikasi berpengaruh terhadap
kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis berat di Rumah Sakit Dr. Kariadi dan Rumah
Sakit Umum Ketileng Semarang
3.3.2. Minor :
1. Bertambahnya umur meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis
berat di rumah sakit.
20
Umur
Jenis kelamin
Lama sakit sebelum dirawat
Gejala klinis
Tanda klinis
Abnormalitas laboratorium
Abnormalitas EKG
Komplikasi
Penderita leptospirosis berat yang meninggal
Penderita leptospirosis berat yang hidup
Terapi antibiotika sebelum dirawat
2. Perbedaan jenis kelamin berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
3. Lama sakit sebelum dirawat meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
4. Terapi antibiotika sebelum dirawat menurunkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
5. Adanya gejala klinis meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis
berat di rumah sakit.
6. Adanya tanda klinis meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis
berat di rumah sakit.
7. Abnormalitas elektrokardiografi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
8. Kadar hemoglobin yang rendah meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
9. Kadar lekosit yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
10. Kadar trombosit yang rendah meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
11. Kadar ureum yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
12. Kadar kreatinin yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
13. Gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida) meningkatkan kejadian
mortalitas pada penderita leptospirosis berat di rumah sakit.
21
14. Kadar bilirubin yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
15. Kadar SGOT yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
16. Kadar SGPT yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
17. Kadar alkali fosfatase yang tinggi meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
18. Kadar albumin yang rendah meningkatkan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat di rumah sakit.
19. Komplikasi (gagal ginjal akut, sepsis, syok sepsis, ARDS) meningkatkan kejadian
mortalitas pada penderita leptospirosis berat di rumah sakit.
22
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Rancangan yang dipergunakan adalah penelitian observasional analitik dengan
pendekatan kohort retrospektif. Pengambilan data berasal dari Case Report Form (CRF)
Leptospirosis pada penelitian SEALS (Semarang Amsterdam Leptospirosis Study)
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat: Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi Ketileng
Semarang
Waktu : Januari 2010- Juni 2012
4.3. Estimasi Besar Sampel
n = seluruh pasien dengan diagnosis leptospirosis
4.4. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi bagi penderita yang ikut serta dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Laki-laki / wanita > 14 tahun yang dirawat di rumah sakit dengan klinis
leptospirosis
Hasil yang positif pada pemeriksaan LeptoTek Dri-Dot dan Micro Aglutinin
Test
4.5. Cara kerja
Penelitian ini merupakan kelanjutan penelitian sebelumnya dengan prosedur sebagai berikut :
23
1. Penderita yang dirawat inap di rumah sakit di Semarang dan memenuhi kriteria
inklusi, dipilih sebagai calon subyek penelitian
2. Sebelum penelitian dimulai dijelaskan kepada penderita tentang tujuan penelitian,
prosedur pemeriksaan dan manfaat yang akan diperoleh
3. Penderita yang setuju dilakukan penelitian diminta bukti persetujuannya secara
tertulis dengan membubuhkan tanda tangan atau cap jempol
4. Penderita dicatat nama, umur, jenis kelamin, lama menderita sakit, obat yang
diminum sebelum dirawat, alamat, anamnesa yang diperlukan untuk kepentingan
penelitian baik kepada pasien maupun keluarga.
5. Dilakukan pemeriksaan fisik untuk mencari tanda klinis leptospirosis berat yang ada
pada penderita.
6. Pengambilan sampel dilakukan pada hari pertama penderita masuk rumah sakit,
selanjutnya dilakukan centrifuge. Setelah didapatkan serum diambil 10 μ, dilakukan
pemeriksaan Dri-Dot dengan cara meneteskan serum tersebut disamping reagen yang
sudah terfixir pada kertas serta dilakukan pencampuran dengan stik sekali pakai dan
dibaca dalam waktu 10 detik. Bila terjadi aglutinasi maka dinyatakan positif, bila
tidak terjadi aglutinasi maka dinyatakan negatif.
7. Pada hari yang bersamaan dilakukan pemeriksaan EKG dan pengambilan sampel
untuk pemeriksaan laboratorium (hematologi, tes fungsi ginjal, tes fungsi liver) yang
dilakukan di laboratorium Patologi Klinik RS Dr. Kariadi.
8. Pada hari pertama dan ke 7 juga dilakukan pengambilan serum untuk pemeriksaan
MAT yang dikirim ke Laboratorium Bioteknologi FK Undip untuk disimpan pada
suhu – 80 ° C. Pemeriksaan MAT dilakukan di laboratorium Bagian Mikrobiologi RS
Dr. Kariadi.
24
9. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti, dibantu oleh dokter dan perawat di
bangsal.
10. Hasil penelitian dicatat pada formulir penelitian dan dilakukan analisis.
4.7. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas dibagi dalam 4 kelompok, yairu:
a. Demografi
1) Umur
2) Jenis Kelamin
3) Lokasi, yaitu pedesaan atau perkotaan
b. Gejala
1) Riwayat lama demam sebelumnya
2) Pemberian antibiotik sebelumnya
3) Demam
4) Artralgia
5) Malaise
6) Riwayat lama demam sebelumnya
7) Pemberian antibiotik sebelumnya
8) Demam
9) Artralgia
10) Malaise
11) Nyeri kepala
12) Sesak nafas
13) Batuk
14) Hemoptisis
15) Muntah
16) Nyeri perut
17) Hematemesis
18) Diare
19) Urine kuning
20) Ikterik
21) Epistaksis
22) Nyeri otot gastrocnemius
c. Tanda
1) Perdarahan konjungtiva
2) Hematuri
3) Oligouria
4) Poliuria
5) Tekanan darah sistole kurang dari
8) Suhu
9) Neuro
10) Ronkhi
11) Pembesaran Hepar/ Lien
25
100 mmHg
6) Frekuensi denyut jantung
7) Frekuensi pernafasan
12) Ikterik
13) Hepato Renal
14) Pulmonal
d. Hasil laboratorium
1) Hemoglobin
2) Hematokrit
3) Leukosit
4) Trombosit
5) PT
6) aPTT
7) Fibrinogen
8) Bilirubin total
9) Bilirubin direk
10) SGOT
11) SGPT
12) Alkali fosfatase
13) Gama GT
14) Total protein
15) Albumin
16) Natrium
17) Kalium
18) Klorida
19) Ureum
20) Creatinin
21) IgM leptospirosis
2. Variabel terikat yaitu pasien leptospirosis ringan dan leptospirosis berat
3. Variabel perancu yaitu penyakit penyerta
4.8. Definisi Operasional
1. Umur : dinyatakan dalam tahun, dan didasarkan pada tanda pengenal yang ada.
2. Jenis kelamin : dibedakan laki-laki dan perempuan sesuai tanda pengenal yang ada
3. Lokasi : dibedakan pedesaan dan perkotaan berdasarkan tempat tinggal
4. Riwayat lama demam sebelumnya: dinyatakan dalam hari, dihitung dari mulai muncul
demam hingga hari pemeriksaan
5. Athralgia : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu nyeri pada sendi-sendi tubuh yang
tidak disebabkan oleh penyakit sendi sebelumnya
26
6. Malaise : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu perasaan lemah pada tubuh
7. Pemberian antibiotik sebelumnya : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu pemberian
antibiotik jenis apapun kepada pasien, didasarkan pada surat rujukan serta obat
sebelumnya yang ditunjukan pasien
8. Demam : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu suhu tubuh lebih dari 37,50 C per
aksiler
9. Nyeri kepala : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu suatu sensasi nyeri di daerah
kepala
10. Sesak nafas : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu perasaan sesak dan kesulitan
dalam bernafas
11. Batuk : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu ekspulsi udara yang tiba-tiba dari paru-
paru sambil mengeluarkan suara
12. Hempotisis : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu keluarnya darah yang bercampur
dengan dahak saat batuk
13. Muntah : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu pengeluaran isi lambung melalui
mulut
14. Nyeri perut : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu nyeri pada daerah perut
15. Hematemesis : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu pengeluaran isi lambung yang
terdapat darah
16. Diare : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu buang air besar lebih dari 3 kali sehari
dan disertai perubahan konsistensi menjadi lembek atau cair
17. Epistaksis : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu perdarahan dari rongga hidung
18. Nyeri otot gastroknemius : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu perasaan nyeri pada
otot gastroknemius
27
19. Perdarahan konjungtiva : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu perdarahan pada
konjungtiva dan tidak disebabkan oleh trauma
20. Hematuri : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu terdapatnya darah dalam urin
sehingga menyebabkan kemerahan pada urin yang dapat dilihat oleh mata.
21. Oligouri : dinyatakan dengan ya atau tidak, yaitu suatu kondisi dimana urin yang
keluar dibawah 0,5ml/kgBB atau
22. Pengobatan sebelum dirawat : obat antibiotika yang diminum penderita sebelum
dirawat di rumah sakit
23. Demam : peningkatan suhu tubuh lebih dari 38 ° C yang diukur dengan termometer
secara rektal
24. Conjunctival suffusion : kemerahan pada konjungtiva bulbi disertai pelebaran
pembuluh darah
25. Nyeri otot (mialgia) : nyeri bila dilakukan perabaan atau pemijatan terutama pada otot
betis (m. gastrocnemius)
26. Ikterik : warna kekuningan pada sclera mata
27. Anemia : penurunan kadar Hb < 12 gr % pada perempuan dan Hb < 13 gr % pada
laki-laki
28. Lekositosis : peningkatan hitung lekosit > 10.000 / mm3
29. Trombositopenia : penurunan hitung trombosit < 150.000 / mm3
30. Azotemia : peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah (ureum > 40 mg % dan
kreatinin > 1,8 mg %)
31. Hipoalbuminemia : penurunan kadar albumin < 3 gr %
32. Hiperbilirubinemia : peningkatan kadar bilirubin total > 1 mg %
33. Kenaikan SGOT/SGPT : peningkatan kadar SGOT/SGPT > 2 kali batas atas normal
34. Kenaikan alkali fosfatase : peningkatan alkali fosfatase > 170 IU/L
28
35. Anuria : didapatkan produksi urine < 100 cc / 24 jam
36. Oliguria : didapatkan produksi urine 100 - 400 cc / 24 jam
37. Poliuria : didapatkan produksi urine > 3000 cc / 24 jam
38. Dri-Dot : Dri-Dot positif bila didapatkan gumpalan / aglutinasi pada pemeriksaan
39. Kelainan EKG : gangguan hantaran / irama dari rekaman potensial listrik yang
ditimbulkan sebagai aktivitas listrik.
40. Komplikasi : komplikasi yang didapatkan selama perawatan yang disebabkan oleh
penyakit leptospirosis.
41. Penderita hidup : adalah penderita yang dinyatakan sembuh dari leptospirosis pada
akhir perawatan
42. Penderita meninggal : adalah penderita yang dinyatakan meninggal oleh dokter
selama perawatan di rumah sakit.
4.9. Alur Penelitian
29
Penderita leptospirosis berat yang memenuhi kriteria inklusi
Demografi
Gejala klinis
Tanda klinis
Elektrokardiografi
Laboratorium
Komplikasi
organ tubuh
Hidup atau Mati
4.10. Pengolahan Data
Entry data dilakukan setelah proses cleaning, editing dan coding. Data yang telah
dikumpulkan dilakukan cleaning sebelum pengolahan guna menghindari data yang tidak
diperlukan. Kemudian dilakukan proses editing yang ditujukan untuk meneliti kelengkapan,
kesinambungan dan keseragaman data sehingga validitas data lebih terjamin. Selanjutnya
dilakukan coding untuk memudahkan pengolahan dan pemberian skor
4.11. Analisa Data
1. Analisis univariat
Uji deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan distribusi frekuensi faktor risiko
yang berpengaruh terhadap kejadian mortalitas pada penderita leptospirosis berat.
Data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
2. Analisis bivariat
Analisa ini bertujuan untuk mengetahui besar hubungan masing-masing variabel
bebas terhadap kejadian mortalitas. Uji bivariat dilakukan dengan menggunakan uji
Chi Square, dengan kriteria bila p value ≤ 0,05 maka terdapat hubungan bermakna
antara kedua variable, dan bila p value > 0,05 maka tidak ada hubungan antara kedua
variabel
3. Analisis multivariat
Menggunakan uji regresi logistik ganda, untuk mengetahui besar pengaruh variabel
bebas yang diduga berhubungan bermakna dengan kejadian mortalitas pada penderita
leptospirosis berat. Pemilihan variabel bebas yang akan digunakan dalam analisa
multivariat berdasarkan hasil uji bivariat yang mempunyai p value < 0,25. Setelah
dilakukan analisa multivariat, variabel bebas dengan hasil p value ≤ 0,05 berarti
variabel bebas tersebut ada pengaruh bermakna terhadap kejadian mortalitas.
30
Sedangkan variabel bebas dengan p value > 0,05 berarti variabel tersebut tidak ada
pengaruh terhadap kejadian mortalitas.
4. Skor prognostik dan probabilitas kematian
Pemilihan variabel bebas yang akan digunakan dalam analisa skor prognostik dan
probabilitas kematian berdasarkan hasil uji multivariat yang mempunyai p value ≤
0,05. Analisa tersebut bertujuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya kematian
pada penderita leptospirosis berat. Semakin mendekati nilai 1 maka kemungkinan
terjadinya kematian pada penderita leptospirosis berat semakin besar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman tatalaksana kasus dan pemeriksaan laboratorium leptospirosis di rumah
sakit. Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. DR. Sulianti Saroso. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Departemen
Kesehatan RI. 2003
2. World Health Organization / International Leptospirosis Society : Human
Leptospirosis : Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control. Geneva, World
Health Organization, 2003
3. Speelman P. Leptospirosis. Dalam Fauci AS, editor. Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 16 th edition. Volume 1. Mc Graw Hill Companies Inc, New York, 2005 :
988-991
4. Widarso HS, Wilfried P. Kebijaksanaan Departemen Kesehatan Dalam
Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Dalam : Riyanto B, Gasem MH, Sofro M
AU editor. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis. Cetakan pertama.
Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002 : 1-16
5. Levett PN. Leptospirosis. Clinical Micobiology Review 2001; 14 : 296-326
31
6. Wagenaar JFP. What role do coagulation disorders play in the pathogenesis of
leptospirosis ? Trop Med Int Health 2007; 12 (1) : 111-22
7. Hadisaputro S. Faktor risiko Leptospirosis. Dalam : Riyanto B, Gasem MH, Sofro M
AU editor. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis. Cetakan pertama.
Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002 : 32-45
8. Panaphut T, Domrongkitchairporn S, Thinkamrop B. Prognostic factors of death in
leptospirosis : a prospective cohort study in Khon Kaen, Thailand. Int J Infect Dis
2002;6:52-59
9. Orpilla-Bautista ICL, Panaligan MM. Predictors of mortality among patients with
Leptospirosis admitted at the JRRMMC. Phil J Microbiol Infect Dis 2002;31(4):145-
149
10. Esen S, Sunbul M, Leblebicioglu H, et all. Impact of clinical and laboratory findings
on prognosis in leptospirosis. Swiss Med Wkly 2004;134:347-352
11. Spichler AS, Vilaça PJ, Athanazio DA et all. Predictors of Lethality in Severe
Leptospirosis in Urban Brazil. Am. J. Trop. Med. Hyg 2008;79(6): 911–914
12. Covic A, Goldsmith DJA, Tatomir PG. A retrospective 5-year study in Moldova of
acute renal failure due to leptospirosis: 58 cases and a review of the literature..
Nephrol Dial Transplant 2003;18: 1128–1134
13. Nurmilawati. Faktor-faktor risiko kematian pada penderita Leptospirosis berat di
rumah sakit se-kota Semarang. Karya akhir Bagian Penyakit Dalam FK UNDIP-
RSUP Dr Kariadi Semarang. 2005
14. Gasem MH. Gambaran klinik dan Diagnosis Leptospirosis pada manusia. Dalam :
Riyanto B, Gasem MH, Sofro M AU editor. Kumpulan Makalah Simposium
Leptospirosis. Cetakan pertama. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro;
2002 : 17-31
32
15. Lestariningsih. Gagal Ginjal Akut pada Leptospirosis. Dalam : Riyanto B, Gasem
MH, Sofro M AU editor. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis. Cetakan
pertama. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002 : 47-53
16. Daher E, Zanetta DMT, Cavalcante MB, Abdulkader RCRM. Risk factors for death
and changing patterns in leptospirosis acute renal failure. Int J Trop Med Hyg 1999;
61(4):630-634
17. Yang CW, Wu MS, Pan MJ. Leptospirosis renal disease. Nephrol Dial Transplant
2001;16(5):73-77
18. Wagenaar JFP. Leptospirosis with pulmonary hemorrhage, caused by a new strain of
serovar Lai : Langkawi. J Travel Med 2004; 11 (6) : 379-81
19. Konsensus Nasional Tatalaksana Koagulasi Intravaskular Diseminata pada Sepsis.
Cetakan pertama. Editor : Tambunan KL, Sudoyo AW, Mustafa I, dkk. 2001
20. Van Gorp ECM, Suharti C, ten Cate H, et all. Review: Infectious Diseases and
Coagulation Disorders. The Journal of Infectious Diseases 1999;180:176–86
21. Wagenaar JFP. Coagulation disorders in patients with severe leptospirosis are
associated with severe bleeding and mortality. Trop Med Int Health 2010 ; 15 (2) :
152-59
22. Riyanto B. Manajemen Leptospirosis. Dalam : Riyanto B, Gasem MH, Sofro M AU
editor. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis. Cetakan pertama. Semarang :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002 : 54-59
33