15.djazuli herbnab alelopati 177-186p.pdf
DESCRIPTION
asTRANSCRIPT
POTENSI SENYAWA ALELOPATI SEBAGAI HERBISIDA NABATI ALTERNATIF PADA BUDIDAYA LADA ORGANIK
177
POTENSI SENYAWA ALELOPATI SEBAGAI HERBISIDA NABATI ALTERNATIF PADA BUDIDAYA LADA ORGANIK
Muhamad Djazuli Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
Jl. Tentara Pelajar 3 Bogor 16111 email : [email protected]
ABSTRAK
Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat melalui proses kehidupan kembali ke alam (back to nature), menyebabkan permintaan produk pertanian organik termasuk lada organik yang lebih sehat, aman, enak dan ramah lingkungan meningkat. Salah satu kendala pengembangan lada organik di Kab. Belitung Timur (Beltim) adalah dalam pengendalian gulma. Terbatasnya dan mahalnya tenaga buruh tani, belum dikembangkannya teknik pemanfaatan cover crops serta belum adanya herbisida nabati komersial, menyebabkan mahalnya biaya pengendalian gulma pada budidaya lada organik di daerah tersebut. Dijumpai dua jenis gulma yang dominan di perkebunan lada di Kab Beltim. Pertama, jenis gulma alang-alang yang dominan di perkebunan lada yang menggunakan tiang panjat mati dari kayu dengan intensitas cahayanya tinggi, dan kedua jenis gulma selain alang-alang yang tumbuh di bawah lada yang menggunakan tiang panjat hidup tanaman Glirisidia. Salah satu alternatif pengendalian gulma yang potensial untuk lada organik adalah penggunaan herbisida nabati dari senyawa alelopati. Telah dilaporkan bahwa tanaman alang-alang, akasia, pinus, dan jagung mengandung senyawa alelopati yang potensial dapat dikembangkan sebagai bahan baku herbisida nabati. Senyawa alelopati tersebut dilaporkan dapat menekan pertumbuhan gulma selain alang-alang. Sebagai tanaman C4 alang-alang peka terhadap naungan, sehingga untuk pengendalian gulma alang-alang di perkebunan lada organik perlu kombinasi antara aplikasi senyawa alelopati dan naungan. Informasi tentang herbisida nabati komersial untuk pengendalian gulma pada budidaya organik masih sangat terbatas, oleh karena itu, penelitian intensif untuk mendapatkan herbisida nabati yang efektif khususnya penggunaan senyawa alelopati sangat diperlukan.
Kata kunci : Lada organik, Belitung Timur, gulma, herbisida nabati, alelopati.
PENDAHULUAN
Meningkatnya kesadaran masyarakat dunia termasuk Indonesia untuk
hidup sehat melalui proses kehidupan yang lebih alami atau “Back to Nature”,
menyebabkan permintaan produk pertanian organik yang berkonotasi lebih sehat,
Djazuli, Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011
178
aman, enak dan ramah lingkungan semakin meningkat. Salah satu bagian dari
hidup ke alam, yaitu dengan mengkonsumsi produk organik yang bebas dari
penggunaan bahan kimia sintetik yang membahayakan kesehatan manusia serta
lingkungan.
Sejak tahun 2000 pemerintah telah mencanangkan program Go
Organic 2010 sebagai kebijakan nasional dalam mendukung pengembangan
pertanian organik di Indonesia. Target yang ingin dicapai adalah
“menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen organik terbesar dunia”.
Program tersebut disambut baik oleh masyarakat Indonesia khususnya para
pelaku agribisnis pelaku pertanian organik. Hampir semua komoditas pangan
organik dari berbagai daerah di Indonesia telah dipasarkan dan telah
mendapatkan sertifikat organik dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan
dengan harga pangan konvensional.
Ketatnya persyaratan SNI 6729-2020 pangan organik khususnya
dalam penggunaan bahan kimia dalam pengendalian gulma, menyebabkan
hanya satu petani lada yang berlokasi di Kabupaten Belitung Timur yang
dinyatakan lulus dan sudah berhasil mendapat sertifikat organik dan berhak
menggunakan logo Organik Indonesia. Keberhasilan untuk mendapatkan
sertifikat organik tersebut perlu diapresiasi dan didukung terutama dalam
pemasarannya baik untuk pasar di dalam maupun ekspor ke luar negeri.
Dengan prospek pemasaran lada organik yang baik dan harga yang cukup
tinggi diharapkan akan diikuti oleh petani lada lainnya di Kabupaten Belitung
Timur (Beltim) pada khususnya dan petani lada di seluruh Indonesia pada
umumnya.
KENDALA PENGEMBANGAN LADA ORGANIK DI BELITUNG TIMUR
Rendahnya produktivitas lada hasil budidaya organik dan belum
tersosialisasinya akan pasar lada organik dunia menyebabkan para petani
lada di Indonesia pada umumnya dan Kabupaten Belitung Timur (Beltim)
pada khususnya enggan untuk mengembangkan sistem budidaya lada
organik. Beberapa kendala penyebab rendahnya produktivitas lada organik
tersebut antara lain terbatasnya in put pemupukan dan belum intensifnya
pengendalian gulma.
POTENSI SENYAWA ALELOPATI SEBAGAI HERBISIDA NABATI ALTERNATIF PADA BUDIDAYA LADA ORGANIK
179
Berdasarkan hasil survei lapang yang dilakukan di petani lada di
Kabupaten Beltim, mengindikasikan bahwa dengan terbatasnya jumlah
tenaga kerja yang ada dan mahalnya biaya tenaga kerja di Kabupaten
Beltim, menyebabkan petani lada lebih memilih menggunakan herbisida
kimia untuk pengendalian gulma dibandingkan secara mekanis atau
penyiangan. Selain menurunkan mutu dan munculnya pencemaran
lingkungan, penggunaan herbisida kimiawi khususnya yang berbahan aktif
paraquat, sulfosat, dan glifosat berpengaruh negatif terhadap
perkembangan mikroba tanah terutama mikoriza (Trisilawati et al. 2001).
Mahalnya biaya tenaga kerja di Kabupaten Beltim disebabkan
dengan bersaingnya tenaga buruh tani dengan tenaga buruh tambang timah
yang mampu membayar upah harian yang lebih tinggi. Sebagai
konsekuensinya, pertumbuhan gulma pada kebun lada organik cukup
intensif dan menyebabkan terjadinya kompetisi dalam memperebutkan
nutrisi di dalam tanah dan sebagai akibatnya, produktivitas lada organik
menjadi jauh lebih rendah dibandingkan lada konvensional.
Untuk mengatasi masalah gulma pada sistem pertanian lada organik
sekaligus terbatasnya tenaga buruh tani pada sentra pengembangan lada di
Propinsi Bangka Belitung, penggunaan herbisida nabati yang efektif dan
pemanfaatan cover crops sangat diharapkan dapat mengatasi kendala
pengendalian gulma pada perkebunan lada. Salah satu herbisida nabati
alternatif yang cukup prospektif untuk pengendalian gulma adalah
penggunaan bahan baku senyawa alelopati.
PROSPEK PENGGUNAAN SENYAWA ALELOPATI
Senyawa alelopati merupakan senyawa yang bersifat toksik yang
dihasilkan oleh suatu tanaman. Senyawa alelopati yang pertama ditemukan
pada tahun 1928 oleh Davis pada larutan hasil “leaching” serasah kering
Black Walnut (Kenari hitam) mampu menekan perkecambahan dan
pertumbuhan benih tanaman yang ada dibawah pohon kenari hitam
tersebut. Sebelumnya Condolle pada tahun 1832 menyatakan bahwa
eksudat tanaman bisa menyebabkan terjadinya tanah yang marginal akibat
adanya ekskresi atau eksudasi akar tanaman sebelumnya (Wilis 1985).
Djazuli, Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011
180
Selanjutnya pada tahun 1996 the International Allelopathy Society
mendefinisikan alelopati sebagai proses yang melibatkan metabolik sekunder
yang dihasilkan oleh tanaman, algae, bakteri dan fungi yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan sistem pertanian dan biologi
(Roger et al. 2006).
Batish et al. (2001) melaporkan 56 spesies tanaman semusim
bersifat alelopati terhadap tanaman yang lain, 56 spesies tanaman semusim
bersifat alelopati terhadap gulma, dan 31 spesies tanaman semusim bersifat
autotoxic.
Informasi tentang alelopati di Indonesia khususnya pada komoditas
perkebunan masih sangat terbatas. Wiroatmodjo (1992) telah melaporkan
adanya senyawa alelopati pada tanaman jahe. Selanjutnya pada tahun 1999
telah dilaporkan adanya indikasi adanya senyawa alelopati pada tanaman nilam
yang bersifat auto toksik atau meracuni tanaman nilam itu sendiri (Djazuli dan
Moko 1999). Lebih lanjut dilaporkan pula bahwa akar nilam mengeluarkan
senyawa asam-asam organik yang bersifat toksik dari proses alelopati yang bisa
menghambat pertumbuhan nilam itu sendiri. (Djazuli 2002).
PEMANFAATAN SENYAWA ALELOPATI
Saat ini kebutuhan dan penggunaan herbisida kimia sintetis untuk
tanaman perkebunan sangat tinggi. Dalam rangka mendukung gerakan pertanian
organik di Indonesia, diperlukan herbisida organik yang efektif berskala komersial
yang dapat menekan pertumbuhan gulma terutama pada tanaman perkebunan
lada.
Ada tiga jenis rumput yaitu masing-masing Dicanthium annulatum Stapf.,
Cenchruspennisetiformis Hochest and Sorghum halepense Pers., yang bersifat
alelopatik dan mampu berperan dan potensial sebagai bioherbisida (Javaid dan
Anjum 2006). Dilaporkan pula bahwa ekstrak terna dan akar dengan air dari
ketiga jenis rumput tadi mampu menekan perkecambahan gulma Parthenium
hysterophorus L. Selanjutnya ditambahkan pula bahwa ekstrak terna dari rumput
D. annulatum Stapf., dan C. pennisetiformis Hochest mempunyai daya bunuh
yang lebih kuat terhadap gulma P. hysteriporus dibandingkan dengan S.
halepense.
POTENSI SENYAWA ALELOPATI SEBAGAI HERBISIDA NABATI ALTERNATIF PADA BUDIDAYA LADA ORGANIK
181
Beberapa jenis senyawa alelopati yang cukup potensial antara lain
berasal dari ekstrak tumbuhan alang-alang (Imperata cylindrica), akasia
(Acacia mangium), jagung (Zea mays) dan pinus (Pinus merkussi).
Penggunaan senyawa alelopati dari keempat tumbuhan cukup prospektif
karena relatif mudah didapat, murah dan dengan jumlah biomas yang cukup
memadai.
Ekstrak ini bisa didapat dari semua bagian alang-alang mulai dari
akar, batang dan bagian lainnya. Namun menurut penelitian, allelopathy
paling banyak ditemukan pada bagian akarnya dan ekstrak tersebut akan
banyak jumlahnya jika akar yang digunakan banyak pula
(http://www.pemanfaatan-allelopathy -alang-alang.html 19 September
2011)
a. Alang-alang
Tumbuhan alang-alang merupakan gulma yang sangat merugikan
petani lada di Kabupaten Beltim. Namun demikian, alang-alang juga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku bioherbisida yang cukup efektif dan
potensial.
Ekstrak Rhizome alang-alang dan daun akasia mampu menekan
panjang tunas jagung (http://4m3one.wordpress.com. 21 desember 2010) .
Lebih lanjut dilaporkan pula bahwa eksudat rhizome alang-alang sangat
efektif untuk menghambat pertumbuhan gulma daun lebar. Namun
demikian, penggunaan ekstrak rhizome alang-alang perlu dibatasi
mengingat ekstrak alang-alang tersebut juga dapat menghambat
pertumbuhan tanaman semusim (http://hasanuzzaman.
weebly.com/allelopathy. pdf. 5 Juni 2011).
b. Akasia
Telah dilaporkan bahwa dari hasil penelitian menunjukan bahwa
ekstrak alelopati dari daun, kulit batang dan akar dari akasia (Acacia
mangium Wild) berpengaruh negatif terhadap perkecambahan benih kacang
hijau (Phaseolus radiatus L) dan benih jagung (Zea mays). Selanjutnya
ditambahkan pula bahwa daya hambat senyawa alelopati yang ada di Acacia
mangium Wild pada benih jagung lebih tinggi dibanding pada benih kacang
Djazuli, Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011
182
hijau (Febian Tetelay 2003 dalam http://www.irwantoshut.com . 21
September 2011).
Selanjutnya dilaporkan pula bahwa allelokimia yang berasal dari
ekstrak Imperata cylindrica dan A. mangium mungkin bekerja mengganggu
proses fotosintesis atau proses pembelahan sel. Penekanan pertumbuhan
dan perkembangan karena ekstrak alang-alang dan akasia ditandai dengan
penurunan tinggi tanaman, penurunan panjang akar, perubahan warna daun
(Dari hijau normal menjadi kekuning-kuningan) serta bengkaknya akar
(http://id.wikipedia.allelopati/wiki/2009).
c. Jagung (Zea mays )
Informasi mengenai daya hambat pertumbuhan yang disebabkan
oleh senyawa alelopati yang ada di jagung masih sangat terbatas. . Dalam
sebuah laporan dinyatakan bahwa ekstrak akar jagung dapat digunakan
untuk menghambat gulma melalui peningkatan aktivitas enzim katalase dan
peroksidase. Dilaporkan pula bahwa sisa tanaman jagung mengandung lima
jenis senyawa asam fenolat penyebab alelopati yaitu asam verulat, as p-
koumarat, asam siringat, asam vanilat, dan asam hidroksibenzoat potensial
untuk menekan gulma (Guenzi dan Mc Calla 1966).
d. Pinus
Dari beberapa kajian ekologis pada daerah pertumbuhan pohon
pinus menunjukkan tidak ada pertumbuhan tanaman herba, hal tersebut
diduga karena serasah daun pinus yang terdapat pada tanah mengeluarkan
zat alelopati yang menghambat pertumbuhan herba. Hal tersebut diperkuat
dengan hasil uji efektivitas ektrak daun pinus menunjukkan bahwa senyawa
alelopati yang terdapat dalam ekstrak daun pinus dapat menghambat
perkecambahan benih Amaranthus viridis
(http://digilib.upi.edu/pasca/available. 29 September 2011). Lebih lanjut
Noguchi et al. 2009 melaporkan pula bahwa ektrak metanol daun pinus
merah dapat menghambat pertumbuha akar dan batang tanaman seledri
(Lepidium sativum), selada (Lactuca sativa), alfalfa (Medicago sativa), dan
gandum hitam (Lolium multiforum), Hal tersebut menunjukkan bahwa
kandungan senyawa pada daun pinus merkusii mempunyai potensi sebagai
bahan bioherbisida untuk mengkontrol pertumbuhan gulma yang dapat
menganggu pertumbuhan produksi tanaman pangan antara lain tanaman
POTENSI SENYAWA ALELOPATI SEBAGAI HERBISIDA NABATI ALTERNATIF PADA BUDIDAYA LADA ORGANIK
183
padi. Salah satu gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman padi
adalah Echinochloa colonum dan Amaranthus viridis.
Pinus merkusii memiliki saluran resin yang dapat menghasilkan suatu
metabolit sekunder bersifat alelopati. Alelokimia pada resin tersebut termasuk
pada kelompok senyawa terpenoid, yaitu monoterpen α-pinene dan β-pinene dan
senyawa tersebut diketahui bersifat toksik baik terhadap serangga maupun
tumbuhan (Taiz dan Zeiger, 1991).. Selain itu, senyawa tersebut merupakan
bahan utama pada pembuatan terpentin. Monoterpen (C–10) merupakan minyak
tumbuh-tumbuhan yang terpenting yang juga bersifat racun (Sastroutomo 1990).
PENGENDALIAN GULMA TANAMAN LADA DI
KABUPATEN BELITUNG TIMUR
Pada umumnya jenis gulma pada kebun lada sangat beragam,
tergantung dari kondisi mikroklimatnya. Pada sistem budidaya lada di
Kabupaten Beltim yang menggunakan tiang panjat mati (kayu), gulma yang
dominan adalah alang-alang, sedangkan sistem budaya lada yang
menggunakan tiang panjat hidup terlihat beberapa jenis rumput dan gulma
berdaun lebar terlihat lebih dominan.
Terbatas jumlah dan mahalnya tenaga buruh tani, belum
dikembangkannya penggunaan tanaman penutup tanah, serta belum
tersedianya herbisida alami yang efektif menyebabkan sebagian besar
petani lada di Kabupaten Beltim masih tetap menggunakan herbisida kimia
yang dilarang dalam sistem pertanian organik.
Telah dilaporkan bahwa alang-alang sangat peka terhadap naungan,
sehingga pengendalian gulma alang-alang dengan naungan menjadi lebih
efektif dan mendukung sistem budidaya lada organik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa alang-alang dapat dikendalikan dengan naungan 50%
selama empat bulan. Telah dilaporkan bahwa penggunaan pohon gamal
(Gliricidia sepium) mampu menekan pertumbuhan dan perkembangan
alang-alang lebih baik dibandingkan jenis tanaman petaian (Peltophorum
dasyrrachis).
Khusus pada sentra lada yang intensitas sinar mataharinya cukup
tinggi terutama yang menggunakan tajar mati terutama di desa terlihat
gulma alang-alang terlihat lebih dominan. Meningat akan sifat tanaman
alang-alang yang juga sebagai penghasil senyawa alelopati, maka
Djazuli, Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011
184
berdasarkan referensi yang ada, maka pengendalian alang-alang dengan
senyawa alelopati menjadi agak susah. Oleh karenanya, untuk sistem
budidaya organik, tindakan awal untuk pengendalian alang-alang harus
dimulai dengan merubah sistem penggunaan tiang panjat dari tiang panjat
mati yang menggunakan kayu ke tiang panjat hidup khususnya dari
tanaman glirisida. Telah dilaporkan bahwa alang-alang merupakan jenis
tanaman yang berjalur fotosintesis C4 yang tidak tahan terhadap naungan
(Sukman dan Yakup, 1995 dalam http://www.ojimori.com/2010/11/07/
pengaruh-allelopati-tumbuhan-terhadap-jagung-zea-mays). Tidak ber-
kembang dan matinya alang-alang pada lahan yang ternaungi tersebut
selanjutnya akan diganti dengan gulma lain yang lebih tahan dengan
naungan. Selanjutnya gulma baru non alang-alang akan nisa dikendalikan
dengan senaywa alelopati yang dihasilkan oleh tanaman penghasil senyawa
alelopati potensial khususnya ketiga jenis tanaman seperti yasng dibahas
sebelumnya
Untuk memenuhi persyaratan SNI 6729-2010, pengembangan lada
organik memerlukan herbisida nabati yang mampu menekan jenis gulma yang
terdapat pada kebun lada. Walaupun belum diproduksi secara komersial dan
besar-besaran, beberapa peneliti telah mendapatkan beberapa tanaman yang
menghasilkan senyawa alelopati yang potensial dapat digunakan sebagai
herbisida nabati untuk pengendalian gulma pada tanaman perkebunan khususnya
lada organik yang sehat dan berwawasan lingkungan.
Informasi tentang herbisida alami yang efektif dan bersifat komersial
sampai saat ini masih sangat terbatas, maka untuk mendukung pengembangan
lada organik sekaligus mendukung program Go Organik Indonesia 2010,
diperlukan penelitian intensif untuk mendapatkan herbisida nabati yang efektif
terutama penggunaan senyawa alelopati untuk pengendalian gulma yang sesuai
dengan SNI 6729-2110.
KESIMPULAN DAN SARAN
Senyawa alelopati bersifat toksik dan dapat dimanfaatkan sebagai
bioherbisida pada sistem pertanian oganik lada pada khususnya dan
komoditas lain pada umumya.
POTENSI SENYAWA ALELOPATI SEBAGAI HERBISIDA NABATI ALTERNATIF PADA BUDIDAYA LADA ORGANIK
185
Tanaman alang-alang, akasia, pinus, dan jagung mengandung
senyawa alelopati potensial yang dapat digunakan sebagai bahan baku
herbisida nabati. Selain mudah dan murah, ketersediaan bahan baku
keempat tanaman tersebut cukup memadai.
Senyawa alelopati mampu mengendalikan gulma non alang-alang.
Sedangkan untuk pengendalian alang-alang pada sistem budidaya organik
diperlukan kombinasi perlakuan naungan dan aplikasi senyawa alelopati
Diperlukan penelitian intensif untuk mendapatkan herbisida nabati
yang efektif berskala komersial terutama yang menggunakan senyawa
alelopati untuk pengendalian gulma pada budidaya organik.
DAFTAR PUSTAKA
Batish, D.R., H.P. Singh, R.K. Kohli and S. Kaur . 2001. Crop allelopathy and its role in ecological agriculture. J. Crop Prod 4:121-161.
Djazuli, M. dan H. Moko. 1999. Studi alelopati pada tanaman nilam. Laporan Penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat TA 1999. (unpublished).
Djazuli, M., 2002. Alelopati pada tanaman nilam (Pogostemon cablin L.). Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku. 8:163-172.
Febian Tetelay, 2003. Pengaruh allelopathy Acacia mangium Wild terhadap
perkecambahan benih kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) dan jagung (Zea mays). http://www.irwantoshut.com . 21 September 2011.
Guenzi, W.D., and T.M. Mc. Calla. 1966. Phenolic acids in oat, wheat, sorghum, and corn residues and their phytotoxicity. Agronomy Journal, Madison, v. 58: 303-304 p.
Hasanuzzaman, M. 1996. Alelopathy. http://www.hasanuzzaman. weebly.com/ allelopathy.pdf. 5Juni2011
http://www.ojimori.com/2010/11/07/pengaruh-allelopati-tumbuhan-terhadap-
jagung-zea-mays. 12 Nov 2011
http://www.allelopathy-journal.com/allelopathy.aspx.2Juli2011
http://www.ojimori.com/2010/11/07/pengaruh-allelopati-tumbuhan-terhadap-jagung-zea-mays. 12 Nov 2011
http://www.pemanfaatan-allelopathy-alang-alang.html 19 September 2011
Djazuli, Semnas Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011
186
http://www.worldagroforestrycentre.org.PDF. 21Septembr 2011
http://id.wikipedia.allelopati/wiki/2009. 13 Maret 2010
http://4m3one.wordpress.com. 21 Desember 2010
Javaid, A. dan T. Anjum. 2006. Control of Parthenium hysterophorus l., by aqueous extracts of allelopathic grasses. Pak. J. Bot., 38: 139-145.
Kato-Nogochi, H., Y. Fushimi, dan H.Shigemori. 2009. J. Plant Physiology.
166:442-446.
Novianti. I. 2006. Uji efektivitas ekyrak daun pinus (Pinus merkusii) terhadap perkecambahan Echinochloa colonum dan Amaranthus viridis. http://digilib.upi.edu/pasca/available. 29 September 2011.
Purnomosidhi, P dan S. Rahayu. 2002. Pengendalian alang-alang dengan pola agroforestri. http://www.worldagroforestry.org. 3 November
2011
Sastroutomo, S. 1990. Ekologi gulma. Gramedia.Pustaka Utama. Jakarta.
Taiz, L. dan E.Zeiger. 1991. Plant Physiology. The Benjamin/Cummings
Publishing Company. Inc. California.
Trisilawati, O. A. Sudiman, dan N. Maslahah. 2001. Pengaruh beberapa jenis herbisida pengendali alang-alang terhadap produksi singkong dan
perekmbangan mikoriza. Prosiding Konferensi nasional XV Himpunan Ilmu Gulma Indonesia, Surakarta 17-19 Juli 2002. 732-738.
Willis, R.J. 1985. The historical bases of the concept of allelopathy. Journal of the History of Biology 18:71-102.
Wiroatmodjo, J. 1992. Alelopati pada tanaman jahe. Buletin Agronomi. 20: 1-6.