1919 bab ii tinjauan pustaka a. konsep teori penyakitrepository.poltekkes-tjk.ac.id/1057/5/bab...
TRANSCRIPT
19 19 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori Penyakit
Haryono, (2013) menyatakan prostat adalah jaringan fibromuskuler dan
jaringan kelenjar yang terlihat persis di inferior dari kandung kemih. Berat
prostat normalnya ± 20 gr, di dalamnya berjalan uretra posterior ± 2,5 cm.
Benigna prostat hiperplasi (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan
berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinalus.
BPH adalah kondisi umum ketika terjadi pembesaran kelenjar prostat, kelenjar
ini bertumbuh pada usia remaja dan terus membesar seiring berjalannya usia.
Sebagian besar laki - laki usia 50 tahun mengalami pembesaran prostat tidak
bersifat ganas yang disebut benigna prostat hyperplasia (BPH). Karena
struktur dari prostat seperti donat yang mengelilingi uretra, BPH sering
berdampak pada aliran perkemihan. Bunker & Kowalski, (2017).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat
menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine/uretraclevo dan
Margareth, 2015)
B. Etiologi
Haryono, (2013) menyatakan penyebab pasti terjadinya benigna prostat
hyperplasia (BPH) sampai sekarang belum diketahui. Namun, kelenjar
prostat jelas sangat tergantung pada hormon endogen. Faktor lain yang erat
kaitannya dengan benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah proses penuaan.
Ada beberapa faktor yang kemungkinan menjadi penyebab antara lain :
7
1. Dihydrotestosteron ( DHT )
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen dan testosteron
Pada proses penuaan yang dialami pria terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi
stroma.
3. Interaksi stroma-epitel
Peningkatan epidermal growth faktor atau fibroblast growth faktor dan
penurunan transforming growth faktor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel .
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma
dan epitel dari kelenjar prostat .
Nursalam & Fransiska, (2008) menyatakan penyebab khusus hiperlasi prostat
belum diketahui secara pasti, beberapa hipotesis mengatakan bahwa
gangguan ini ada kaitannya dengan peningkatakan kadar DHT dan proses
penuaan. Hipotesis sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut.
2. Peran faktor pertumbuhan sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel sel prostat karena kekurangan sel mati.
4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi poliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.
8
C. Patofisiologi
Nursalam & Fransisca, (2008) menyatakan bahwa pembesaran prostat
menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat
aliran urine. Keadaan ini menyebabkan tekanan intraventrikel. Untuk dapat
mengeluarkan urine, buli – buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tahanan ini. Kontraksi secara terus menerus menyebabkan perubahan
anatomik dan buli buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan diventrikel buli-buli. Perubahan struktur pada
buli buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah atau lower urinary track symptom ( LUTS ) yang dulu dikenal dengan
gejala prostatimus. Tekanan intraventrikel yang tinggi akan diteruskan ke
seluruh bagian buli – buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan
pada kedua muara ini akan menimbulkan aliran balik urine dari buli - buli ke
ureter akan terjadi refluks vesiko ureter. Jika keadaan ini berlangsung lama
dapat mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal .
Wijaya & Putri, (2013) menyatakan bahwa pembesaran prostat terjadi secara
perlahan lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan lahan. Pada tahap awal
terjadi pembesaran prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan
kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal
dan penonjolan serat detrusor kedalam mukosa bulu buli akan terlihat sebagai
balok balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan
sitoskopi , mukosa vesika akan menerobos keluar di antara serat detrusor
sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan
apabila besar dinamakan diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase
kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya
akan mengalami dekompensasi yang tidak mampu lagi untuk kontraksi,
sehingga terjadi retensi urine total yang berlanjut pada hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas.
9
D. Pathway
Diagram 2.1
patofisiologi benigna hiperplasia prostat
Mutaqqin & Sari (2011)
Hiperplasia prostat
Penyempitan lumen
uretra
Respon obstruksi :
1. Pancaran urine
lemah
2. Intermitensi
3. Hesistensi
4. Miksi tidak puas
5. Menetes setelah
miksi
Peningkatan
tekanan
intravesika
Respon iritasi :
1. frekuensi
meningkat
2. nokturia
3. urgensi
4. disuria
Gangguan pemenuhan eliminasi
urine
Perubahan pola
pemenuhan eliminasi
urine : Nyeri miksi
Respon perubahan pada kandung
kemih
1. hipertrofi otot destrusor
2. trabekulasi
3. Selula
4. Divertikel kandung kemih
Respon vesiko-ureter
1. refluks vesiko
ureter
2. Hidroureter
3. Hidronefrosis
4. Pielonefritis
5. Gagal ginjal
Tindakan pembedahan
Respons psikologis :
koping maladaptif
Kecemasan
Asuhan
keperawatan
perioperatif
kecemasan Gangguan konsep diri
(gambaran diri)
10
E. Manifestasi klinis
Haryono, (2013) menyatakan gejala – gejala pembesaran prostat jinak dikenal
sebagai LUTS, yang dibedakan menjadi :
1. Gejala obstruktif, yaitu :
a. Hesistensi, yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali
disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh otot detrusor buli-
buli memerlukan waktu beberapa lama untuk meningkatkan
tekanan intravesikal guna mengatasi tekanan dalam uretra
prostatika.
b. Intermitency, yaitu terputus putusnya aliran urine yang disebabkan
oleh ketidakmampuan otot detrusor dalam mempertahankan
tekanan intravesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling, yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
detrusor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di
uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa
belum puas.
2. Gejala iritasi, yaitu :
a. Urgensi yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan .
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat
terjadi pada malam hari (nokturia) dan pada siang hari .
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Rendi & Margareth (2015) menyatakan tanda dan gejala dari pasien BPH
adalah :
a. Frekuensi berkemih bertambah
b. Berkemih pada malam hari
c. Kesulitan dalam memulai dan menghentikan berkemih
d. Air kemih masih tetap menetes setelah selesai berkemih
e. Rasa nyeri pada saat berkemih
11
f. Kadang kadang tanpa sebab yang diketahui, penderita sama sekali
tidakdapat berkemih sehingg harus dikeluarkan dengan keteter
g. Selain gejala gejala di atas karena air kemih selalu terasa dalam
kandung kemih , maka mudah sekali terjadi cystitis dan selanjutnya
kerusakan ginjal yaitu hydroneprosis, pyelonefritis.
Wijaya & Putri, (2013) menyatakan manifestasi klinis dari BPH adalah :
a. lower urinary tract symptom (LUTS)
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine,
buli buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus menyebabkan perubahan anatomik
buli buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula dan difertikel buli buli. Perubahan struktur pada buli
buli tersebut , olehpasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau LUTS.
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot
buli buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh kedalam
fase dekompensasi yang diwujud dalam bentuk retensi urine akut.
Adapun tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan benigna
prostat hiperplasia (BPH):
1) Retensi urine
2) Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing
3) Miksi yang tidak puas
4) Frekuensi kencing bertambah pada malam hari
5) Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi
6) Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi
12
F. Pemeriksaan diagnostik
1. Sedimen urine di periksa untuk mencari kemungkinan adanya proses
infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. pemeriksaan kultur urine
berguna untuk mengetahui kuman penyebab infeksi dan sensivitas
kuman tehadap beberapa antimikroba yang di ujikan. (Nursalam &
Fransisca, 2008 )
2. Pemeriksaan faal ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyulit yang mengenai saluran kemih atas. (Nursalam & Fransisca,
2008).
3. Pemeriksaan kadar gula darah untuk mengidentifikasi kemungkinan
adanya penyakit diabetes melitus yang dapat menimbulkan kelainan
syaraf pada buli - buli. (Nursalam & Fransisca, 2008).
4. Colok dubur, yaitu pemeriksaan keadaan tonus sfingter anus, mukosa
rektum, kelainan dari benjolan dalam rektum dan prostat. Pada
perabaan melalui colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat,
adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat
diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan
jumlah sisa urine setelah miksi spontan. Sisa miksi ditentukan dengan
mengukur urine yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa
urine dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung
kemih setelah miksi. ( Haryono, 2013 ).
5. Ultrasonografi (USG) bertujuan untuk memeriksa konsistensi, volume,
besar prostat, dan keadaan buli-buli termasuk residu urine. ( Purwanto,
2016 )
6. Pemeriksaan IVP (Pyelografi intravena) digunakan untuk melihat
fungsi eksresi ginjal dan adanya hidronefrosis ( Purwanto, 2016 )
7. Pemeriksaan Panendoskop bertujuan untuk mengetahui keadaan uretra
dan buli buli. ( Purwanto, 2016 )
13
G. Penatalaksanaan
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan, saran yang
diberikan yaitu mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi nokturia, mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol supaya tidak terlalu sering miksi. Setiap
3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing dan pemeriksaan
colok dubur.
2. Terapi medikamentosa Wijaya & Putri , (2013)
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk :
a. Mengurangi retensio otot polos prostate sebagai komponen
dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat obatan
penghambat andrenalgik alfa.
b. Mengurangi volume prostate sebagai komponen static dengan cara
menurunkan kadar hormon testosteron atau dihidrotestosteron
(DHT) melalui penghambat 5 a-reduktase.
1) Penghambat enzim, obat yang dipakai adalah finasteride
dengan dosis 1x5 mg/hari, obat golongan ini dapat
menghambat pembentukan dehate sehingga prostate dapat
membesar akan mengecil. Tetapi obat ini bekerja lebih lambat
daripada golongan blocker dan manfaatnya hanya jelas pada
prostate yang sangat besar. Salah satu efek samping obat ini
adalah melemahkan libido.
2) Filoterapi, pengobatan filoterapi yang ada di Indonesia adalah
Eviprostat. Efeknya diharapkan terjadi pemberian selama 1-2
bulan.
3) Terapi bedah, waktu penanganan untuk tiap pasien tergantung
beratnya gejala dan komplikasi, indikasi untuk terapi bedah
yaitu retensi urine berulang, hematuria, tanda penurunan fungsi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, ada batu saluran kemih.
14
Karena pembedahan tidak mengobati penyebab benigna prostat
hiperplasia (BPH), maka biasanya penyakit ini akan timbul
kembali 8-10 tahun kemudian.
H. Wijaya & Putri, (2013) Komplikasi dilakukan pembedahan BPH adalah :
1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, gagal ginjal.
2. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu
miksi
3. Hernia/hemoroid
4. Karena selalu terdapat sisa urine sehingga menyebabkan batu kencing
5. Hematuria
6. Sistitis dan Pielonefritis.
I. Pengobatan
Pengobatan yang dapat dberikan untuk penderita BPH adalah sebagai
berikut:
1. Suportif : pengobatan ditujukan terhadap perubahan pola kebiasaan
terutama mengenai frekuensi berkemih, nyeri saat berkemih.
2. Farmakologis : beberapa terapi obat yang diberikan misalnya
antibiotik, antiemetik, dan antifibrinolitik.
B. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
Manusia mempunyai kebutuhan yang harus di penuhi secara memuaskan
melalui proses homeostatis, baik fisiologis maupun psikologis. tahun 1950,
Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika mengembangkan teori
tentang kebutuhan dasar manusia yang lebih dikenal dengan istilah Hierarki
Kebutuhan Dasar Manusia Maslow. Hierarki tersebut meliputi lima kategori
kebutuhan dasar ( Mubarak & Chayatin 2008), yaitu :
15
Diagram 2.2
Kebutuhan Dasar Manusia Menurut Abraham Maslow
Mubarak dan Chayatin, (2008) menyatakan pada pasien post op BPH
kebutuhan dasar manusia yang terganggu adalah Kebutuhan keselamatan dan
Rasa aman yang tepatnya adalah nyeri. Nyeri adalah perasaan yang tidak
nyaman yang sangat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat
menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut.
Bentuk nyeri terbagi atas :
1. Nyeri akut, nyeri ini biasanya berlangsung tidak lebih dari enam bulan.
gejalanya mendadak, dan biasanya penyebab serta lokasi nyeri sudah
diketahui. nyeri akut di tandai dengan peningkatan tegangan otot dan
kecemasan yang keduanya meningkatkan presepsi nyeri .
2. Nyeri kronis, nyeri ini berlangsung lebih dari 6 bulan. sumber nyeri
bisa diketahui atau tidak. nyeri cenderung hilang timbul dan biasanya
tidak dapat disembuhkan. selain itu, penginderaan nyeri menjadi lebih
dalam sehingga penderita sukar untuk menentukan lokasinya. dampak
dari nyeri ini antara lain penderita menjadi kurang perhatian, sering
mengalami insomnia.
16
C. Asuhan Keperawatan
Data asuhan keperawatan menurut (Wijaya & Putri 2013) :
1. Data biografi, meliputi :
a. Identitas pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, agama, suku atau
bangsa, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggal
masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, catatan kedatangan.
b. Keluarga terdekat yang dapat dihubungi yaitu nama, umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan sumber informasi,
beserta nomor telepon.
2. Riwayat kesehatan atau perawatan, meliputi :
a. Keluhan utama, alasan masuk rumah sakit, biasanya pasien
mengeluh nyeri pada saat miksi, pasien juga mengeluh sering bak
pada malam hari, perasaan ingin miksi pada malam hari, perasaan
ingin miksi yang sangat mendesak, kalau ingin miksi harus
menunggu lama, harus mengejan, kencing terputus putus.
b. Riwayat kesehatan sekarang :
1) Pasien mengeluh sakit saat miksi dan harus menunggu lama,
dan harus mengedan
2) Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual
3) Pasien mengatakan Bak tidak terasa dan berulang
c. Riwayat kesehatan dulu
Apakah pasien pernah menderita BPH sebelumnya dan apakah
pasien pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Mungkin diantara keluarga pasien sebelumnya ada yang menderita
penyakit yang sama dengan penyakit pasien sekarang.
3. Pola fungsi kesehatan, meliputi :
Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan, pola nutrisi dan
metabolisme, pola eliminasi, pola aktivitas dan latihan, pola istirahat
dan latihan, pola istirahat dan tidur, pola kognitif dan persepsi,
17
persepsi diri dan konsep diri, pola peran hubungan, pola seksual dan
reproduksi, pola koping dan toleransi stress, keyakinan dan
kepercayaan.
4. Pemeriksaan fisik
Pada waktu melakukan inspeks keadaan umum pasien mengalami
tanda - tanda penurunan mental seperti neuropati perifer. Pada waktu
palpasi adanya nyeri tekan pada pada kandung kemih.
a. Data dasar pengkajian
1) Sirkulasi, tanda peningkatan tekanan darah (efek pembesaran
ginjal)
2) Eliminasi, gejala : penurunan kekuatan/dorongan aliran tetes
urine, keragu raguan pada berkemih awal, ketidakmampuan
untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap
dorongan dan frekwensi berkemih, nokturia disuria hematuria,
duduk untuk berkemih, infeksi saluran kemih berulang. Tanda :
masa padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung kemih),
nyeri tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemoroid
(mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang
memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan)
3) Makanan/ cairan, gejala : anoreksia, mual, muntah, penurunan
berat badan
4) Nyeri/kenyamanan, gejala : nyeri suprapubik, panggul,
punggung, nyeri punggung bawah
5) Keamanan, gejala : demam
6) Seksualitas, gejala : masalah tentang efek kondisi/penyakit
kemampuan seksual, takut inkontinensia/menetes selama
hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi
7) Penyuluhan dan pembelajaran, gejala: riwayat keluarga kanker,
hipertensi, penyakit ginjal.
8) Aktivitas dan istirahat : riwayat pekerjaan, lamanya istirahat,
aktivitas sehari hari, pengaruh penyakit terhadap aktivitas,
pengaruh penyakit terhadap istiahat
18
9) Hygiene : penampilan umum, aktivitas sehari hari, kebersihan
tubuh, frekwensi mandi
10) Integritas ego, pengaruh penyakit terhadap stress, gaya hidup,
masalah finansial
11) Neurosensori, apakah ada sakit kepala, status mental,
ketajaman penglihatan
12) Pernapasan, apakah ada sesak napas, riwayat merokok,
frekwensi napas, bentuk dada, auskultasi pernapasan
13) Interaksi sosial, status perkawinan, hubungan dalam
masyarakat, pola interaksi keluarga, komunikasi verbal/non
verbal
D. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu fungsi keperawatan yang mandiri, suatu
evaluasi dari respon pasien terhadap pengalaman kemanusiaan selama siklus
kehidupan, perkembangannya atau pada masa masa darurat, masa sakit, masa
menderita atau stress lainnya. (Suarni & Apriyani, 2017).
Menurut (Purwanto, 2016) menyatakan diagnosa keperawatan yang muncul
untuk pasien post op BPH adalah :
1. Nyeri akut b.d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
TURP
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan efek nyeri/ pembedahan
3. Risiko tinggi cidera : perdarahan berhubungan dengan tindakan
pembedahan.
4. Risiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan
impoten akibat dari TURP
5. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih .
6. Cemas berhubungan dengan ikontinensia urine, disfungsis seksual
19 19 19 E. Perencanaan Asuhan Keperawatan
Perencanaan merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi keperawatan untuk menyelesaikan masalah yang dialami pasien,
masalah yang dirumuskan dalam diagnosa. (Purwanto, 2016)
Tabel 2.1
Rencana asuhan keperawatan di Ruang Bedah RSU Handayani
No Diagnosa keperawatan NOC (Nursing Outcome Care ) NIC (Nursing Intervention Care)
1 2 3
1 Nyeri akut b.d spasmus kandung
kemih dan insisi sekunder pada
TURP
Tingkat Nyeri (2102)
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
1. Pasien mengatakan nyeri berkurang atau hilang
2. Ekspresi wajah pasien tenang
3. Pasien akan menunjukkan keterampilan
relaksasi
4. Pasien akan tidur dan istirahat dengan tepat
5. Tanda- tanda vital batas normal
Kateterisasi urin (0580)
1. Jelaskan pada pasien tentang gejala
dini spasmus kandung kemih
Rasional: pasien dapat mendeteksi
gejala dini spasmu kandung kemih
20
1 2 3
2. Pemantauan pasien pada interval
yang teratur selama 48 jam, untuk
mengenal gejala gejala dini dari
spasmus kandung kemih
Rasional: menentukan terdapatnya
spasmus sehingga obat obatan bisa
diberikan
3. Jelaskan pada pasien bahwa
intensitas dan frekuensi akan
berkurang dalam 24 sampai 48 jam
Rasional: memberitahu pasien
bahwa ketidaknymanan hanya
temporer
4. Anjurkan pasien untuk tidak
duduk dalam waktu yang lama
sesudah tindakan pembedahan
21
1 2 3
Rasional: mengurangi tekanan
pada luka insisi
5. Ajarkan penggunaan teknik
relaksasi, termasuk latihan nafas
dalam
Rasional : menurunkan tegangan
otot, memfokuskan kembali
perhatian dan dapat
meningkatkan koping
6. Jagalah selang drainase urine
tetap aman di paha untuk
mencegah peningkatan tekanan
pada kandung kemih.
22
1 2 3
Rasional : sumbatan pada selang
kateter oleh bekuan darah dapat
menyebabkan distensi kandung
kemih dengan peningkatakan
spasme
7. Observasi tanda tanda vital
Rasional : mengetahui
perkembangan lebih lanjut
8. Kolaborasi dengan dokter untuk
memberi obat obatan (analgesik
atau anti spasmodik)
23
1 2 3
2 Gangguan pola tidur b.d efek
nyeri/ pembedahan
Tidur (0004)
Tujuan : kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi
Kriteria hasil :
1. pasien mampu beristirahat/tidur dalam
batas waktu yang cukup
2. pasien mengungkapkan sudah bisa tidur
3. pasien mampu menjelaskan faktor
penghambat tidur
Peningkatan tidur ( 1850)
1. Jelaskan pada pasien dan
keluarga penyebab gangguan
tidur dan kemungkinan cara
untuk menghindari
Rasional: meningkatkan
pengetahuan pasien sehingga
mau kooperatif dalam tindakan
keperawatan
2. Ciptakan suasana yang
mendukung, suasana tenang
dalam mengurangi kebisingan
Rasional : suasana tenang akan
mendukung istirahat
24
1 2 3
3. Beri kesempatan pasien untuk
mengungkapkan penyebab
gangguan tidur
Rasional: menentukan rencana
mengatasi gangguan
4. Kolaborasi dengan dokter
untuk pemberian obat yang
tepat untuk mengurangi nyeri
(analgesik)
Rasional : mengurangi nyeri
sehingga pasien bisa tidur
istirahat dengan cukup
25
1 2 3
3 Risiko tinggi cidera : perdarahan
b.d tindakan pembedahan .
Keparahan cedera fisik (1913)
Tujuan: tidak terjadi perdarahan
Kriteria hasil :
1. pasien tidak menunjukkan tanda tanda
perdarahan
2. tanda tanda vital dalam batas normal
urine lancar lewat kateter
Pencegahan jatuh (6490)
1. Jelaskan pada pasien tentang
perdarahan setelah
pembedahan dan tanda tanda
perdarahan
Rasional: menurunkan
kecemasan pasien dan
mengetahui tanda tanda
perdarahan
2. Irigasi aliran kateter jika
terdeteksi gumpalan dalam
saluran keteter
26
1 2 3
Rasional : gumpalan dapat
menyumbatan kateter,
menyebabkan peregangan dan
perdarahan kandung kemih
3. Sediakan diet tinggi serat dan
memberi obat untuk
mmudahkan defekasi
Rasional : dengan
peningkatakan tekanan pada
fosa prostatik yang akan
mengendapkan perdaarahan
27
1 2 3
4. Mencegah pemakaian
termometer rektal,
pemeriksaan rektal atau
huknah, untuk sekurang
kurangnya satu minggu
Rasional : dapat menimbulkan
perdarahan prostat
5. Pantau traksi keteter: catat
waktu trasi dipasang dan kapan
traksi dilepas
Rasional : traksi kateter
menyebabkan pengembangan
balon ke sisi fosa prostatik,
menurunkan perdarahan.
Umumnya dilepas 3 sampai 6
jam setelh pembedahan
.
28
1 2 3
6. Observasi: tanda tanda vital
tiap 4 jam,masukkan dan
haluaran dan warna urine
Rasional: deteksi awal
terhadap komplikasi, dengan
intervensi yang tepat
mencegah kerusakan jaringan
yang permanen
4 Risiko tinggi disfungsi seksual b.d
ketakutan akan impoten akibat
dari TURP
Fungsi sesksual (0119)
Tujuan : fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
1. pasien tampak rileks dan melaporkan
kecemasan menurun
2. pasien menyatakan pemahaman
situasional individual
3. pasien menunjukkan keterampilan
pemecahan masalah
Konseling seksual (5248)
1. Beri kesempatan pasien untuk
memperbincangkan tentang
pengaruh TURP pada seksual
Rasional: untuk mengetahui
masalah pasien
29
1 2 3
4. pasien mengerti tentang pengaruh TURP
pada seksual
2. Jelaskan tentang: kemungkinan
kembali ketingkat tinggi
seperti semula dan kejadian
ejakulasi retrograd (air kemih
seperti air susu )
Rasional: kurang pengetahuan
dapat membangkitkan cemas
dan berdampak disfungsi
seksual
3. Mencegah hubungan seksual 3
sampai 4 minggu setelah
operasi
Rasional : bisa
terjadiperdrahan dan
ketidaknyamanan
30
1 2 3
4. Dorong pasien untuk
menanyakan kedokter selama
dirawat di rumah sakit dan
kunjungan lanjutan Rasional :
untuk mengklarifikasi
kekhawatiran dan memberikan
akses kepada penjelasan yang
spesifik
5. Kurang pengetahuan tentang
TURP berhubungan dengan
kurang informasi
Rasional : pasien dapat
menguraikan pantangan
kegiatan serta kebutuhan
berobat lanjutan
31
1 2 3
5 Risiko tinggi infeksi b.d prosedur
invasif, alat selama pembedahan,
kateter, irigasi kandung kemih .
Keparahan infeksi (0703)
Tujuan : pasien tidak menunjukkan tanda tanda
infeksi
Kriteria hasil:
1. pasien tidak mengalami infeksi
2. pasien dapat mencapai waktu
penyembuhan
3. tanda tanda vital dalam batas normal dan
tidak ada tanda tanda syok
Perawatan selang : perkemihan (1876)
1. Pertahankan sistem kateter
steril, berikan perawatan
kateter dengan steril
Rasional: mencegah bakteri
dan infeksi
2. Anjurkan intake cairan yang
cukup (2500 sampai 3000 ml)
sehingga dapat
mempertahankan fungsi ginjal
Rasional: meningkatkan
output urine sehingga resiko
terjadi infeksi saluran kemih
(ISK) dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal
32
1 2 3
3. Pertahankan posisi urobag
dibawah
Rasional : menghindari refleks
balik urine yang dapat
memasukkan bakteri kedalam
kandung kemih
4. Observasi tanda tanda vital,
laporkan tanda tanda syok dan
demam
Rasional : mencegah sebelum
terjadi syok
5. Observasi urine : warna,
jumlah dan bau
Rasional : mengidentifikasi
adanya infeksi
33
1 2 3
6. Kolaborasi dengan dokter
untuk memberi obat antibiotik
Rasional : untuk mencegah
infeksi dan membantu proses
penyembuhan .
6 Cemas b.d ikontinensia urine,
disfungsis seksual
Tingkat kecemasan (1211)
Tujuan : mengurangi dan menghilangkan
kecemasan
Kriteria hasil:
1. Cemas pasien berkurang
2. Pasien menjadi lebih tenang
3. Pasien menjadi koopratif
Pengurangan kecemasan (5820)
1. Beritahukan pasien untuk
menghindari berhubungan
badan, mengatur bab, tidak
mengangkat benda berat, tidak
duduk terlalu lama selama 6
sampai 8 minggu sesudah
pembedahan
Anjurkan untuk selalu kontrol
setelah pengobatan, sebab
striktur uretra dapat terjadi dan
pertumbuhan kembali prostat
34
1 2 3
2. Jika pasien kembali kerumah
dengan keteter, kateter akan
dilepas sekitar tiga minggu
setika sistogram menunjukkan
kesembuhan
3. Nasihatilah bahwa
inkontinensia dapat terjadi
ketika terjadi peningkatan
tekanan abdominal, batuk,
tertawa.
4. Bantu pasien untuk
mengungkapkan ketakutan dan
kecemasan berhubungan
dengan potensial kehilangan
fungsi seksual dan diskusikan
dengan pasangan