192815318-resusitasi-jantung-paru
DESCRIPTION
rjpTRANSCRIPT
Resusitasi Jantung Paru
Abstrak
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory
arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana fungsi tersebut
gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya
bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali.1-2 Resusitasi jantung paru terdiri dari
tiga fase yaitu bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut, dan bantuan hidup
jangka panjang.2
Sistem RJP yang gunakan merupakan adaptasi dan pembaharuan dari
pedoman yang telah diperkenalkan oleh Peter Safar dan kemudiannya diadaptasi
oleh American Heart Association (AHA). AHA merevisi pedoman RJP pada
tahun 2010 dimana salah satunya terdapat perubahan urutan langkah Bantuan
Hidup Dasar dari ABC menjadi CAB.
Abstract
Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) is a procedure performed in an
effort to restore the respiratory and circulation function in cases of respiratory
arrest and cardiac arrest in patients where those functions fail by a cause that is
possible to be restored. CPR consists of three phases namely basic life support,
advanced life support, and prolonged life support.
The CPR procedure is an adaptation of the guidelines created by Peter
Safar but then renewed and revised by the American Heart Association (AHA)
and it is now applied as the common guidelines in performing CPR. In 2010, AHA
released the Association’s newest set of guidelines for CPR. Changes for 2010
include changing the initial sequence of steps from ABC to CAB.
Pendahuluan
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory
arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana fungsi tersebut
gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya
bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali.1-2
Pada saat awal terjadi henti nafas, jantung masih berdenyut dan pemberian
O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Namun
apabila henti napas tidak segera mendapat pertolongan maka akan berakibat henti
jantung.3 Henti jantung mengakibatkan menurunnya curah jantung dan
pengiriman O2 ke otak dan organ vital lainnya. Iskemi yang melebih 3-4 menit
akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, karena itu apabila keadaan henti
jantung ditatalaksana dengan tepat dan cepat dapat mengembalikan keadaan
seperti semula.3,4
Resusitasi jantung paru otak dibagi dalam tiga fase: bantuan hidup dasar,
bantuan hidup lanjut, bantuan hidup jangka lama.2 Bantuan hidup dasar atau RJP
boleh dilakukan oleh orang awam ataupun orang yang terlatih dalam bidang
kesehatan.2
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk lebih memahami mengenai
resusitasi jantung paru dan memberi informasi yang lengkap tentang pembaharuan
untuk RJP pada tahun 2010 dibandingkan dengan pada tahun 2005 berdasarkan
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care, sehingga dapat memberikan pembelajaran yang
efektif bagi tenaga medis, khususnya dokter muda yang ingin lebih memahami
mengenai resusitasi jantung paru. Pada kepustakaan ini akan dibahas definisi,
indikasi, fase-fase RJP, langkah-langkah bantuan hidup dasar, algoritma bantuan
hidup dasar berdasarkan guidelines AHA 2010, bantuan hidup lanjut, dan bantuan
hidup jangka panjang.
2
1. Definisi
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan
henti nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah
kematian biologis.5 Kematian klinis ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis
dan arteri femoralis, terhentinya denyut jantung dan pembuluh darah atau
pernafasan dan terjadinya penurunan atau kehilangan kesadaran. Kematian
biologis dimana kerusakan otak tak dapat diperbaiki lagi, dapat terjadi dalam 4
menit setelah kematian klinis. Oleh karena itu berhasil atau tidaknya tindakan RJP
tergantung cepatnya dilakukan tindakan dan tepatnya teknik yang dilakukan.3,4,5
2. Indikasi RJP
a.Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh
banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik,
tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik
(suffocation), trauma dan lain-lainnya.5
Pada awal henti nafas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah
untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke
otak dan organ vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan
resusitasi, ini sangat bermanfaat pada korban.5,6
b. Henti Jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti
sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan cepat menyebabkan otak dan organ vital
kekurangan oksigen. Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan
terjadinya henti jantung. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak
teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan atau pucat sekali,
pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tak bereaksi terhadap
rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Bantuan hidup dasar merupakan
bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan untuk:5,6
Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.6
3
Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari
korban yang mengalami henti jantung atau henti jantung melalui
resusitasi jantung paru (RJP).6
3. Fase-fase RJP
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya:5
a. Dalam fase I ini terdiri dari langkah yang di A (airway), B (breathing),
C (circulation).
- A (airway ) : menjaga jalan nafas tetap terbuka
- B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
- C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru
b. Fase II : Advance Life Support (ALS), yaitu BLS ditambah dengan D
(drug) dan E (EKG)
- D ( drugs ) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
- E ( EKG ) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin
untuk mengetahuis fibrilasi ventrikel.
c. Fase III : Prolonged Life Support (PLS), yaitu penambahan dari BLS
dan ALS, G (gauge), H (head), I (Intensive care).
- G ( gauge ) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring
penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan
kemudian mengobatinya.
- H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistem saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti
jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya neurologic yang
permanen.
4
- I (Intensive Care ) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan
ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus,
sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan dan
tunjangan sirkulasi mengedalikan jika terjadinya kejang.2,5
4. Langkah-langkah Bantuan Hidup Dasar
Jika diagnosis henti jantung telah ditegakkan, maka resusitasi harus segera
dimulai. Resusitasi jantung paru berarti menjaga jalan napas tetap paten (A),
membuat napas buatan (B) dan membuat sirkulasi buatan dengan pijatan jantung
(C). Tindakan ini dilakukan tanpa alat atau dengan alat yang sederhana dan harus
dilakukan dengan cepat dalam waktu kurang dari 4 menit pada suhu normal secara
baik dan terarah.5 Berikut langkah-langkah melakukan RJP:3,5
a. Memastikan keamanan lingkungan
Aman bagi penolong maupun aman bagi pasien/korban itu sendiri.
b. Memastikan kesadaran pasien/korban
Dalam memastikan pasien/korban dapat dilakukan dengan
menyentuh atau menggoyangkan bahu pasien/korban dengan lembut dan
mantap, sambil memanggil namanya.
c. Meminta pertolongan
Bila diyakini pasien/korban tidak sadar atau tidak ada respon
segera minta pertolongan dengan cara : berteriak ”tolong !!!!” beritahukan
posisi dimana, pergunakan alat komunikasi yang ada, atau aktifkan
bel/sistem emergency yang ada (bel emergency di rumah sakit).
d. Memperbaiki posisi pasien/korban
Tindakan BHD yang efektif bila pasien/korban dalam posisi
telentang, berada pada permukaaan yang rata/keras dan kering. Bila
ditemukan pasien/korban miring atau telungkup pasien/korban harus
5
ditelentangkan dulu dengan membalikkan sebagai satu kesatuan yang utuh
untuk mencegah cedera/komplikasi.
e. Mengatur posisi penolong
Posisi penolong berlutut sejajar dengan bahu pasien/korban agar
pada ssat memberikan batuan nafas dan bantuan sirkulasi penolong tidak
perlu banyak pergerakan.
f. Airway
Nilai Airway Control dengan Look, Listen and Feel dalam waktu
kurang dari 10 detik. Pastikan korban bernafas spontan dan normal. Jika
tidak ada nafas spontan buka jalan nafas penderita.1,3 Sumbatan jalan nafas
oleh lidah yang menutupi dinding posterior faring merupakan persoalan
yang sering timbul pada pasien tidak sadar yang terlentang.1 Ada cara yang
dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka, yaitu:
1. Parasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift
maneuver)
Parasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan
penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain
mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap
keatas dan epiglottis terbuka, sniffing position, posisi cium, posisi hirup.3
Gambar 1. Metode Head Tilt dan Chin Lift (dikutip dari kepustakaan 2)
6
2. Perasat dorong rahang bawah (jaw-thrust maneuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat
didorongkedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher.
Karena lidah melekat pada rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan
jalan napas terbuka.3
Gambar 2. Metode Jaw Thrust (dikutip dari kepustakaan 2)
Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit: letakan pasien dalam
posisi terlentang, lakukan ‘manuever triple airway’ (kepala tengadah,
rahang didorong kedepan, mulut dibuka) dan jika mulut ada cairan, lender
atau benda asing lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan napas
buatan.3
g. Breathing
Pasien dengan henti napas, tidurkan dalam posisi terlentang. Napas
buatan tanpa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (the kiss of
life, mouth-to-mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma
trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup muka. 3
1. Mulut ke mulut (mouth-to-mouth)
Merupakan cara yang cepat dan efektif. Pada saat memberikan
penolong tarik nafas dan mulut penolong menutup seluruhnya mulut
pasien/korban dan hidung pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk
7
dan ibu jari penolong.Volume udara yang berlebihan dapat
menyebabkan udara masuk ke lambung. 3
2. mulut ke hidung (mouth-to-nose),
Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak
memungkinkan,misalnya pasien/korban mengalami trismus atau luka
berat.Penolong sebaiknya menutup mulut pasien/korban pada saat
memberikan bantuan nafas. 3
3. mulut ke stoma trakheostomi
Dilakukan pada pasien/korban yang terpasang trakheostomi atau
mengalami laringotomi.3
h. Circulation
Terdiri dari 2 tahap, yaitu:
1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban
Ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher
pasien/korban dengan cara dua atau tiga jari penolong meraba
pertengahan leher sehingga teraba trakea, kemudian digeser ke arah
penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan lembut selam 5 – 10 detik.
Bila teraba penolong harus memeriksa pernafasan, bila tidak ada nafas
berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila ada nafas pertahankan
airway pasien/korban.7
2. Memberikan bantuan sirkulasi
Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan
sirkulasi atau kompresi jantung luar dengan cara:
- Tiga jari penolong ( telunjuk,tengan dan manis) menelusuri tulang
iga pasien/korban yang dekat dengan sisi penolong sehingga bertemu
tulang dada (sternum).
8
- Dari tulang dada (sternum) diukur 2- 3 jari ke atas. Daerah tersebut
merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong.
- Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk
satu telapak tangan diatas telapak tangan yang lain.Hindari jari-jari
menyentuh didnding dada pasien/korban.
- Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada
pasien/korban dengan tenaga dari berat badannya secara teratur
sebanyak 30 kali dengan kedalaman penekanan 1,5 – 2 inchi ( 3,8 – 5
cm).
- Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan
mengembang kembali ke posisi semula setiap kali kompresi.Waktu
penekanan dan melepaskan kompresi harus sama ( 50% duty cycle).
- Tangan tidak boleh berubah posisi.
- Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30 : 2 baik oleh satu
penolong maupun dua penolng.Kecepatan kompresi adalah 100 kali
permenit. Dilakukan selama 4 siklus.
Tindakan kompresi yang benar akan menghasilkan tekanan sistolik
60 – 80 mmHg dan diastolik yang sangat rendah.Selang waktu mulai
dari menemukan pasien/korban sampai dilakukan tindakan bantuan
sirkulasi tidak lebih dari 30 detik.7
5. Algoritma Bantuan Hidup Dasar menurut AHA 2010
Terdapat beberapa pembaharuan pada BLS 2010, berbanding dengan
2005. Beberapa perubahan yang telah dilakukan adalah seperti berikut:2,8,9,10
1. Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon dan
pernafasan. (ie korban tidak bernafas)
2. “Look,listen and feel” tidak digunakan dalam algortima BLS
3. Hands-only chest compression CPR digalakkan pada sesiapa yang tidak
9
terlatih
4. Urutan ABC diubah ke urutan CAB, chest compression sebelum breathing.
5. Health care providers memberi chest compression yang efektif sehingga
terdapat sirkulasi spontan.
6. Lebih terfokus kepada kualiti CPR.
7. Kurangkan penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care providers.
8. Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan.
9. Rekomendasi untuk mempunyai pasukan yang serentak mengandali chest
compression, airway management,rescue breathing, rhythm detection dan
shock.
Untuk mengenali terjadinya SCA (sudden cardiac arrest) adalah hal
yang tidak mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan untuk bertindak
dan memulakan CPR, ini akan mengurangi survival rate korban tersebut.
Chest compression merupakan antara tindakan yang sangat penting dalam CPR
kerana perfusi tergantung kepada kompresi. Oleh kerana itu, chest compression
merupakan tindakan yang terpenting jika terdapat korban yang mempunyai
SCA. 2,8,9,10
Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai harapan hidup
(chain of survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi
jalur chain of survival. Jalur ini meliputi: 2,8,9,10
Pengenalan segera akan henti jantung dan aktivasi sistem respons darurat
(emergency response system)
RJP dini dengan penekanan pada kompresi dada
Defibrilasi cepat
Advance life support yang efektif
Post-cardiac arrest care (perawatan pasca henti jantung) yang terintegrasi’
Sistem gawat darurat yang secara efektif menerapkan jalur ini dapat
meningkatkan harapan hidup pasien dengan henti jantung VF (ventricle
fibrillation) hingga 50%. Pada sebagian besar sistem gawat darurat angkanya
masih lebih rendah, menandakan bahwa masih ada ruang untuk perbaikan dengan
evaluasi ulang dari jalur ini. 2,8,9,10
10
Penyelamat dapat memiliki berbagai pengalaman, pelatihan dan
kemampuan. Begitu pula dengan status korban dan keadaan sekitar kejadian.
Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan RJP yang lebih dini dan lebih
efektif bagi setiap korban. 2,8,9,10
Kerangka kerja RJP: interaksi antara penyelamat dan korban
RJP secara tradisional menggabungkan antara kompresi dada dan nafas buatan
dengan tujuan untuk meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik
penyelamat dan korban dapat mempengaruhi penerapannya.
Penyelamat
Setiap orang dapat menjadi penyelamat bagi korban henti jantung.
Kemampuan RJP dan penerapannya tergantung dari hasil pelatihan,
pengalaman dan kepercayaan diri si penyelamat.
Kompresi dada adalah dasar RJP. Setiap penyelamat, tanpa memandang hasil
pelatihan, harus melakukan kompresi dada pada semua korban henti jantung.
Karena pentingnya, kompresi dada harus menjadi tindakan RJP yang pertama
kali dilakukan terhadap semua korban tanpa memandang usianya. Penyelamat
yang memiliki kemampuan sebaiknya juga melakukan ventilasi. Beberapa
penyelamat yang sangat terlatih harus saling berkoordinasi dan melakukan
kompresi dada serta nafas buatan secara tim. 2,8,9,10
Terdapat 3 pola strategi RJP yang dapat diterapkan pada penolong
sesuai dengan keadaannya, yaitu: untuk penolong non petugas kesehatan yang
tidak terlatih, mereka dapat melakukan strategi “Hands only CPR” (hanya
kompresi dada). Kompresi dada sebaiknya dilakukan hingga petugas
kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia. 2,8,9,10
Kedua, untuk penolong non petugas kesehatan yang terlatih, mereka
dapat melakukan strategi RJP kompresi dada dan dilanjutkan dengan ventilasi
dengan perbandingan 30 : 2. RJP sebaiknya dilakukan hingga petugas
kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia. Ketiga, untuk petugas
kesehatan, lakukan RJP kompresi dada sebanyak satu siklus yang dilanjutkan
dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2.
11
Korban
Sebagian besar henti jantung dialami orang dewasa secara tiba-tiba
setelah suatu sebab primer; karenanya sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi
dada menjadi yang terpenting. Sebaliknya, henti jantung pada anak-anak
sebagian besar karena asfiksia yang memerlukan baik ventilasi dan kompresi
untuk hasil yang optimal. Karenanya, bantuan nafas lebih penting bagi anak-
anak dibandingkan orang dewasa. 8,9,10
AHA 2010 dalam panduannya memberikan 2 jenis algoritma BLS bagi
korban dewasa yaitu algoritma sederhana untuk penolong non petugas kesehatan dan
khusus untuk petugas kesehatan sebagai berikut: 8,9,10
Simple Algorithma
Gambar 3. Algoritma RJP sederhana (dikutip dari kepustakaan 9)
12
Ketika menemui korban henti jantung dewasa yang bersifat
mendadak, seorang penolong pertama kali harus mengenali henti jantung itu
dari unresponsiveness dan tidak adanya pernafasan normal. Setelah
mengenali, penolong harus segera mengaktifkan sistem respons gawat
darurat, mengambil defibrilator/AED, jika ada, dan memulai RJP dengan
kompresi dada. Jika AED tidak tersedia, penolong harus memulai RJP
langsung. Jika ada penolong lain, penolong pertama harus memerintahkan dia
untuk mengaktifkan sistem respons gawat darurat dan mengambil
AED/defibrilator sambil dia langsung memulai RJP. 8,9,10
Ketika AED/defibrilator datang, pasang pad, jika memungkinkan,
tanpa memotong kompresi dada yang sedang dilakukan, dan nyalakan AED.
AED akan menganalisis ritme dan menunjukkan apakah akan melakukan
kejutan (defibrilasi) atau melanjutkan RJP. 8,9,10 Jika AED/defibrilator tidak
tersedia, lanjutkan RJP tanpa interupsi hingga ditangani oleh penolong yang
lebih berpengalaman/ahli.
Pengenalan dan aktivasi respons gawat darurat
Seorang korban henti jantung biasanya tidak bereaksi. Tidak bernafas
atau bernafas tetapi tidak normal. Deteksi nadi saja biasanya tidak dapat
diandalkan, walaupun dilakukan oleh penolong yang terlatih, dan
membutuhkan waktu tambahan. Karenanya, penolong harus memulai RJP
segera setelah mendapati bahwa korban tidak bereaksi dan tidak bernafas atau
bernafas secara tidak normal (terengah-engah). Petunjuk “look, listen and feel
for breathing” tidak lagi direkomendasikan. Petugas evakuasi harus
membantu assessment dan memulai RJP. 8,9,10
Kompresi dada
Memulai dengan segera kompresi dada adalah aspek mendasar dalam
resusitasi. RJP memperbaiki kesempatan korban untuk hidup dengan
menyediakan sirkulasi bagi jantung dan otak. Penolong harus melakukan
kompresi dada untuk semua korban henti jantung, tanpa memandang tingkat
13
kemampuannya, karakteristik korban dan lingkungan sekitar. Penolong harus
fokus pada memberikan RJP yang berkualitas baik: 8,9,10
Melakukan kompresi dada dalam kecepatan yang cukup (setidaknya
100/menit)
Melakukakan kompresi dada pada kedalaman yang cukup (dewasa:
setidaknya 2 inchi/5 cm, bayi dan anak-anak: setidaknya sepertiga diameter
anteroposterior (AP) dada atau sekitar 1,5 inchi/4 cm pada bayi dan sekitar 2
inchi/5 cm pada anak-anak).
Menunggu dada mengembang sempurna setelah setiap kompresi
Meminimalisir interupsi selama kompresi
Menghindari ventilasi yang berlebihan.
Jika ada lebih dari satu penolong, mereka harus bergantian melakukan
kompresi setiap 2 menit.
Jalan nafas (airway) dan ventilasi
Membuka jalan nafas (dengan head tilt, chin lift atau jaw thrust) yang
diikuti nafas bantuan dapat meningkatkan oksigenasi dan ventilasi. Tetapi
manuver ini dapat menjadi sulit dan mengakibatkan tertundanya kompresi
dada, terutama pada penolong yang sendirian dan tidak terlatih. Karenanya,
penolong yang sendirian dan tidak terlatih hanya melakukan kompresi dada
saja tanpa ventilasi. Ventilasi harus diberikan jika korban cenderung
disebabkan oleh asfiksia (contohnya pada bayi, anak-anak atau korban
tenggelam). 8,9,10
Begitu alat bantu nafas tersedia, penolong harus memberikan ventilasi
dalam kecepatan yang tetap 1 nafas setiap 6-8 detik (8-10 nafas/menit) dan
kompresi dada tetap diberikan tanpa terputus. 8,9,10
Defibrilasi
Kesempatan korban untuk selamat menurun seiring jeda waktu antara
henti jantung dan defibrilasi. Karenanya defibrilasi tetap menjadi dasar
tatalaksana untuk fibrilasi ventrikel (VF ventricular fibrillation) dan pulseless
14
ventricular tachycardia. Strategi bersama antara masyarakat dan rumah sakit
harus ditujukan untuk mengurangi jeda waktu ini. 8,9,10
Satu penentu defibrilasi yang berhasil adalah efektifitas kompresi dada.
Defiibrilasi lebih berhasil jika interupsi pada kompresi dada sedikit.
Untuk penolong yang terlatih atau petugas kesehatan
Lakukan RJP kompresi dada sebanyak satu siklus yang dilanjutkan
dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. Lakukan hal tersebut hingga
advanced airway tersedia, kemudian lakukan kompresi dada tanpa terputus
sebanyak 100 kali/menit dan ventilasi setiap 6-8 detik/kali (8-10
nafas/menit). Untuk petugas kesehatan penting untuk mengadaptasi
urutan langkah sesuai dengan penyebab paling mungkin yang terjadi pada
saat itu. Contohnya, jika melihat seseorang yang tiba-tiba jatuh, maka
petugas kesehatan dapat berasumsi bahwa korban mengalami fibrilasi
ventrikel, setelah petugas kesehatan mengkonfirmasi bahwa korban tidak
merespon dan tidak bernapas atau hanya sesak terengah-engah, maka
petugas sebaiknya mengaktifasi sistem respon darurat untuk memanggil
bantuan, mencari dan menggunakan AED (Automated External
Defibrilator), dan melakukan RJP. Namun jika petugas menemukan korban
tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP
konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum
mengaktivasi sistem respon darurat. Sama halnya dalam bayi baru lahir,
penyebab arrestkebanyakan adalah pada sistem pernafasan maka RJP
sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab
jantung yang diketahui. , Berikut algoritmanya: 8,9,10
15
Gambar 4. Algoritma RJP khusus (dikutip dari kepustakaan 9)
Prinsip dasar langkah-langkah algoritma ini tetap sama dengan yang
sederhana, yaitu: 8,9,10
Pengenalan dini
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive
maka petugas kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan
memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama
korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah.
Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan.
Korban yang tidak responsif serta tidak ada nafas atau hanya terengah-
16
engah maka petugas kesehatan dapat mengasumsi bahwa korban
mengalami henti jantung.
Aktivasi sistem darurat
Petugas sebaiknya mengaktivasi sistem respon darurat yang dalam
hal ini berarti menghubungi institusi yang mempunyai fasilitas/layanan
gawat darurat, contohnya menghubungi rumah sakit, polisi, atau instansi
terkait.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pada AHA 2010 ini ada dua hal
yang tidak dianjurkan setelah memeriksa korban tidak responsif yaitu: 8,9,10
Memeriksa ada tidaknya nafas pada korban dengan “look, feel,
listen”. Sulitnya menilai nafas yang adekuat pada korban merupakan
alasan dasar hal tersebut tidak dianjurkan. Nafas yang terengah dapat
disalah artikan sebagai nafas yang adekuat oleh professional maupun
bukan. Contohnya pada korban dengan sindroma koroner akut sering kali
terdapat nafas terengah yang dapat disalah artikan sebagai pernafasan yang
adekuat. Maka tidak dianjurkan memeriksa pernafasan dengan “look, feel,
listen” dan direkomendasikan untuk menganggap pernafasan terengah
sebagai tidak ada pernafasan.
Memeriksa denyut nadi pasien. Untuk petugas kesehatan,
pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih dari 10 detik jika lebih dari
waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi yang definitive maka petugas
sebaiknya memulai RJP.
Kedua hal tersebut tidak lagi dianjurkan bertujuan untuk meminimalisir
waktu untuk memulai RJP.
Resusitasi Jantung Paru dini
Seperti yang telah disebutkan, mulai RJP dengan algoritma “C-A-
B” . Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik).
Kriteria penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah: 8,9,10
17
• Frekuensi kompresi setidaknya 100 kali/menit.
• Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm),
sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior
dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm).
• Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri
disamping korban jika korban berada di tempat tidur (bila perlu dengan
bantuan ganjalan kaki untuk mencapai tinggi yang diinginkan sehingga
dan papan kayu untuk mendapatkan kompresi yang efektif selama tidak
memakan waktu).
• Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi.
• Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi.
• Menghindari ventilasi berlebihan.
Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap
2 menit.
Airway dan Breathing
Kriteria penting pada Airway dan Breathing adalah: 8,9,10
• Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang
belakang maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Namun
jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas
melalui jaw thrust.
• Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi
dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban
untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat.
Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut :
• Pastikan hidung korban terpencet rapat
18
• Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
• Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
• Berikan satu ventilasi tiap satu detik
• Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua
selama satu detik.
Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut
korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban. Untuk
pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask dewasa
dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang memenuhi
volume tidal sekitar 600 ml. Setelah terpasang advance airway maka
ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10
nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan
bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar
10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit.
Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2,
setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan terus menerus dengan
kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8 detik/kali.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien
bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas
kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk
pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.
Alat defibrilasi otomatis
Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat
tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang
telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika
iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit
dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut
19
lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus
langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support )
datang, atau korban mulai bergerak. 8,9,10
Posisi mantap
Lebih dikenal dengan recovery posisition, dipergunakan pada
korban tidak responsive yang memiliki pernafasan dan sirkulasi yang baik.
Tidak ada posisi baku yang menjadi standar, namun posisi yang stabil dan
hamper lateral menjadi prinsip ditambah menaruh tangan yang berada
lebih bawah ke kepala sembari mengarahkan kepala menuju tangan dan
menekuk kedua kaki menunjukan banyak manfaat. 8,9,10
Tabel 1. Ringkasan komponen bantuan hidup dasar bagi dewasa, anak-anak dan bayi
Komponen Dewasa Anak-Anak Bayi
20
Pengenalan Tidak responsif, tidak bernafas atau tersedak (gasping)
Tidak responsif, tidak bernafas atau tersedak (gasping)
Tidak responsif, tidak bernafas atau tersedak (gasping)
Nadi tidak teraba dalam 10 detik
Nadi tidak teraba dalam 10 detik
Nadi tidak teraba dalam 10 detik
Urutan RJP CAB CAB CABKecepatan kompresi
100/menit 100/menit 100/menit
Kedalaman kompresi
2 inchi (5cm) 1/3 AP, sekitar 2 inchi (5cm)
1/3 AP, sekitar 1,5 inchi (4 cm)
Interupsi kompresi
Minimalisir interupsi hingga < 10 detik
Minimalisir interupsi hingga < 10 detik
Minimalisir interupsi hingga < 10 detik
Jalan nafas Head tilt-chin lift-jaw thrust
Head tilt-chin lift-jaw thrust
Head tilt-chin lift-jaw thrust
Rasion kompresi:ventilasi
30:2 (1 atau 2 penyelamat)
30:2 (satu), 15:2 (2 penyelamat)
30:2 (satu), 15:2 (dua penyelamat)
penyelamat tidak terlatih
Kompresi saja Kompresi saja Kompresi saja
Ventilasi jika mungkin
1 nafas setiap 6-8 detik, tanpa menyesuaikan dengan kompresi, 1 detik setiap nafas, hingga dada mengembang
1 nafas setiap 6-8 detik, tanpa menyesuaikan dengan kompresi, 1 detik setiap nafas, hingga dada mengembang
1 nafas setiap 6-8 detik, tanpa menyesuaikan dengan kompresi, 1 detik setiap nafas, hingga dada mengembang
Defibrilasi Gunakan AED sesegera mungkin, minimalisir interupsi kompresi, lanjutkan kompresi setelah setiap kejutan
Gunakan AED sesegera mungkin, minimalisir interupsi kompresi, lanjutkan kompresi setelah setiap kejutan
Gunakan AED sesegera mungkin, minimalisir interupsi kompresi, lanjutkan kompresi setelah setiap kejutan
6. Bantuan Hidup Lanjut
Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik untuk memperbaiki
ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi gangguan irama
utama selama henti jantung.1 Bantuan hidup kardiovaskular lanjut meliputi
intervensi untuk mencegah henti jantung, menangani henti jantung, dan
21
meningkatkan luaran pasien yang mencapai kembalinya sirkulasi yang spontan
setelah henti jantung.5 Setelah dilakukan CAB RJP dan belum timbul denyut
jantung spontan, maka resusitasi diteruskan seperti langkah berikut:1
a. Disability
Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat, yang dinilai adalah tingkat kesadaran serta ukuran
dan reaksi pupil. Satu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah
metode AVPU.9
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
Cara lain yang digunakan sebagai pengganti AVPU yaitu GCS (Glasgow
Coma Scale) yang merupakan sistem scoring yang sederhana yang dapat
meramal kesudahan atau outcome penderita.5
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan atau
penurunan perfusi ke otak atau disebabkan trauma langsung pada otak.
Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan
oksigenasi ventilasi dan perfusi.5
Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita.
Walaupun demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia atau
hipovolemia sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma capitis
dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran dan bukan alkoholisme
sampai terbukti sebaliknya.5
b. Exposure (kontrol lingkungan)
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan cara
menggunting guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian
dibuka, penting agar penderita tidak kedinginan (mencegah hipotermi), harus
dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan
intravena yang sudah dihangatkan.5
22
7. Bantuan Hidup Jangka Panjang
Bantuan hidup jangka lama merupakan pengelolaan pasca resusitasi yang
terdiri dari:1,5
a. Gauging
Gauging merupakan cara untuk menentukan dan memberi terapi penyebab
kematian dan menilai sampai sejauh mana pasien dapat diselamatkan.1,5
b. Human Mentation
Sistem saraf pusat diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi otak yang
baru.1
c. Intensive care
Intensive care merupakan resusitasi jangka panjang. Jenis pengelolaan
yang diperlukan pasien yang telah mendapat resusitasi bergantung kepada
hasil resusitasi. Pasien yang tidak mempunyai defisit neurologis dan tekanan
darah terpelihara normal tanpa aritmia hanya memerlukan pantauan intensif
dan observasi terus-menerus terhadap sirkulasi, pernafasan, fungsi otak, ginjal
dan hati. Pasien yang mempunyai kegagalan satu atau lebih dari satu sistem,
memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialisis dan
resusitasi otak. 1,5
Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemia dan iskemik
selama henti jantung adalah otak. Bila pasien tetap tidak sadar hendaknya
dilakukan upaya untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak. Tindakan-
tindakan ini meliputi penggunaan agen vasoaktif untuk memelihara tekanan
darah sistemik yang normal, penggunaan steroid untuk mengurangi sebab otak
dan penggunaan diuretik untuk menurunkan tekanan intra kranial. Oksigen
tambahan hendaknya diberikan dan hiperventilasi derajat sedang juga
membantu (Pa CO2 = 25-30 mmHg). 1,5
23
Kesimpulan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan
henti nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah
kematian biologis.5 Resusitasi jantung paru dilakukan atas indikasi henti napas
dan henti jantung dan harus segera dilakukan agar kedua fungsi tersebut dapat
bekerja kembali. Prosedur resusitasi jantung paru dapat diterapkan pada bayi,
anak dan dewasa. Resusitasi jantung paru terdiri dari tiga fase yaitu bantuan hidup
dasar, bantuan hidup lanjut, dan bantuan hidup jangka panjang.5
Sistem RJP yang digunakan sekarang merupakan adaptasi dan
pembaharuan dari pedoman yang telah diperkenalkan oleh Peter Safar dan
kemudiannya diadaptasi oleh American Heart Association. Amerikan Heart
Assosiation merevisi pedoman RJP setiap lima tahun, dengan revisi terbaru pada
tahun 2010 dimana terdapat perubahan urutan langkah Bantuan Hidup Dasar dari
ABC menjadi CAB, melakukan kompresi dengan kedalaman sedikitnya 2 inchi,
dan kompresi dilakukan sebanyak 30 kali dengan 2 kali ventilasi.5,8.9
24
Daftar Pustaka
1. Muhiman M, et all. Anestesiologi. Jakarta: Staf Pengajar Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, 2004.
2. Field JM. Part 1: Executive Summary: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. 2010. [cited September 19,2013]. Available from:
http://www.heart.org/HEARTORG/CPRandECC//Science/2010-AHA-
Guidelines-for-CPR-ECC_UCM_317311_SubHomePage.jsp/
3. Latief S, Suryadi K, Dachlan R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, 2007.
4. Hazinski M, et all. 2010 Hand book of emergency cardiovaskular care for
healthcare provider. Chicago: American Heart Association, 2010.
5. Alkatiri J. Resusitasi Kardio Pulmoner in: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007.
6. Siahaan OSM. Resusitasi Jantung Paru dan Otak. Jakarta: Cermin Dunia
Kedokteran, 1992.
7. Safar P. The ABC of Resuscitation. [cited September 19,2013]. Available
from: http://en.wikipedia.org/wiki/ABC_(medicine)
8. Sayre MR, et all. Highlights of the 2010 American Heart Association
Guidelines for CPR and ECC. 2010. [cited September 19,2013]. Available
from: http://www.heart.org/HEARTORG/CPRandECC//Science/2010-
AHA-Guidelines-for-CPR-ECC_UCM_317311_SubHomePage.jsp/
9. Robert A. Berg, et all. Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. 2010. [cited September 19,2013].
Available from:
http://www.heart.org/HEARTORG/CPRandECC//Science/2010-AHA-
Guidelines-for-CPR-ECC_UCM_317311_SubHomePage.jsp/
25
10. Andrew H. Travers, et all. Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. 2010. [cited September 19,2013].
Available from:
http://www.heart.org/HEARTORG/CPRandECC//Science/2010-AHA-
Guidelines-for-CPR-ECC_UCM_317311_SubHomePage.jsp/
26