1d mpsa e. commerce
TRANSCRIPT
1
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF
(ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION) DALAM ELECTRONIC
COMMERCE
A. Latar Belakang
Perdagangan merupakan salah satu sektor jasa yang menunjang
kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Bagi
Indonesia dengan ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangat
vital bagi upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi sekaligus guna
memelihara kemantapan stabilitas nasional.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna merealisasikan
pertumbuhan ekonomi adalah melalui proses pengintegrasian antara
sistem perekonomian, termasuk perdagangan dengan perkembangan
teknologi informasi. Hal ini sejalan dengan apa yang tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN) 2004-2009
yang menyebutkan1: Sejalan dengan paradigma baru di era globalisasi
yaitu Tekno-Ekonomi (Techno-Economy Paradigm), teknologi menjadi
faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan kualitas
hidup suatu bangsa. Implikasi paradigma ini adalah terjadinya proses
transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya
(Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan
pengetahuan (Knowledge Based Economy/KBE). Pada KBE, kekuatan
bangsa diukur dari kemampuan IPTEK sebagai faktor primer ekonomi
menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing.
Pengembangan dan penerapan teknologi informasi di sektor
ekonomi dalam beberapa waktu belakangan ini berjalan dengan
kecepatan yang sangat tinggi. Pengembangan dan penerapan teknologi
1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN) 2004-2009, BAB 22 PENINGKATAN KEMAMPUAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
2
informasi telah mengakibatkan semakin mudahnya arus informasi diserap,
sekaligus memudahkan orang untuk melakukan komunikasi tanpa
terkendala batas ruang dan waktu.
Pada permulaan abad ke- 20, salah satu penemuan revolusioner di
bidang teknologi informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan
perekonomian adalah ditemukannya Internet (Interconnection
Networking), sebagai media komunikasi yang cepat dan handal. Sistem
perdagangan dengan memanfaatkan Internet telah mengubah wajah
dunia bisnis dari pola perdagangan tradisional kebentuk yang lebih
modern, yaitu secara virtual. Mengenai hal ini Alinafiah dan Prasetyo
menyatakan: E.commerce lahir selain disebabkan oleh adanya
perkembangan teknologi informasi, juga karena tuntutan masyarakat
terhadap pelayanan yang serba cepat, mudah, praktis, dan menghendaki
kualitas lebih yang baik.2
Seperti halnya dinegara-negara maju, perkembangan e. commerce
di Indonesia dari waktu ke waktu menunjukan peningkatan yang sangat
signifikan, sekalipun dibandingkan dengan negara-negara tetangga di
kawasan Asia Pasific, seperti Malaysia, Filipina, Singapura, Australia,
Taiwan, perkembangan penggunaan Internet di Indonesia masih jauh
tertinggal.
Teknologi Internet memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
perdagangan global dalam hal layanan (service). Kondisi ini disebabkan
oleh banyak faktor, antara lain:
1. Electronic commerce memiliki kemampuan untuk
menjangkau lebih banyak pelanggan dan setiap saat pelanggan
dapat mengakses seluruh informasi yang terus menerus;
2 Alinafiah dan Prasetyo, Kesiapan Infrastruktur dan Sistem Antaran Tepat Waktu dalam
Mendukung E-Commerce, makalah pada seminar “E. Commerce Revolusi Teknologi Informasi dan Pengaruhnya pada Peta Perdagangan Global yang” diselenggarakan oleh KM ITB Bandung, 15 April 2000
3
2. Electronic commerce dapat mendorong kreatifitas dari pihak
penjual secara cepat dan tepat dan pendistribusian informasi yang
disampaikan berlangsung secara periodik;
3. Electronic commerce dapat menciptakan efisiensi yang
tinggi, murah serta informatif;
4. Electronic commerce dapat meningkatkan kepuasan
pelanggan, dengan pelayanan yang cepat, mudah, aman dan
akurat.3
Transaksi perdagangan melalui internet sangat menguntungkan
banyak pihak, sehingga transaksi perdagangan ini sangat diminati, tidak
saja bagi produsen tetapi juga konsumen. Bagi konsumen electronic
commerce telah mengubah cara konsumen dalam memperoleh produk
yang diinginkan, sedangkan bagi produsen, electronic commerce telah
mempermudah proses pemasaran suatu produk.
Hal yang sama dikemukakan oleh Michael Pattison, sebagaimana
dikutip oleh Abu Bakar Munir yang menyatakan: There are several
features, which distinguish electronic commerce from business conducted
by traditional means. In particular:4
• Electronic commerce establishes a global market-place, where
traditional geographic boundaries are not only ignored, they are
quite simply irrelevant;
• Electronic commerce allows business to be conducted
anonymously; and
• Rather than direct selling between parties, electronic commerce
requires business to be conducted through the use of
3 Riyeke Ustadiyanto, , Framework e-Commerce, Andi, Yogyakarta, 2001, hlm. 138
4 Abu Bakar Munir: Cyber Law Policies and Challenges, Butterworths Asia, Malaysia, 1999: 205-206
4
intermediaries of unknown trustworthiness. This means that the
transactions are inherently insecure.
Sekalipun penggunaan internet dalam transaksi bisnis menjanjikan
berbagai kemudahan, hal ini tidak berarti e.commerce adalah suatu
sistem yang bebas dari permasalahan, karena bagaimanapun majunya
teknologi tetap akan menyisakan berbagai permasalahan, khususnya bagi
negara yang belum sepenuhnya mampu menguasai teknologi tersebut,
seperti halnya Indonesia.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga
internasional, telah banyak kasus yang merugikan konsumen sebagai
akibat dari penggunaan media internet dalam transaksi perdagangan,
sebagai contoh: satu dari setiap sepuluh kasus pengiriman barang dapat
dipastikan terlambat atau tidak sampai kepada konsumen, dua orang
pembeli (buyers) dari Hongkong dan Inggris menunggu sampai lima bulan
untuk mendapatkan refund (pembayaran kembali) dari barang yang dibeli
tapi tidak sesuai dengan pemesanan dan barangnya tidak dikirim, banyak
penjual (suppliers atau sellers) yang tidak mampu memberikan kuitansi
atau bukti transaksi dan lain-lain.5 Kondisi ini tentunya akan merugikan
baik bagi produsen terlebih konsumen yang memiliki posisi tawar
(bargaining position) lebih rendah.
Hal yang sama dikemukakan Riyeke Ustadiyanto saat
menyatakan:6 Besarnya nilai transaksi electronic commerce di dunia
masih dibayangi masalah “kurang amannya” (unsecure) transaksi online
ini. Internet telah menimbulkan berbagai masalah terutama yang berkaitan
dengan masalah kerahasiaan, keutuhan pesan (integrity), identitas para
pihak dan hukum yang mengatur transaksi tersebut.
5 Arsyad, M, Sanusi, Transaksi Bisnis dalam Elektronic Commerce (E. Commerce) Studi tentang
Permasalahan-permasalahn Hukum dan Solusinya, artikel dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 16 Vol. 8, 2001, hlm. 12-13
6 Ibid, hlm. 12
5
Apabila permasalahan-permasalahan di atas tidak segera
diselesaikan secara memadai tidak tertutup kemungkinan kepercayaan
masyarakat pada sistem e. commerce akan hilang, akibatnya
pertumbuhan ekonomi akan berjalan lambat.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh guna menyelesaikan
masalah-masalah di atas adalah dengan digunakannya mekanisme
penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, disertai biaya murah.
Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien serta
berbiaya murah merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi
realisasinya guna terwujudnya kepercayaan para pihak
(produsen/merchant dan konsumen) pada sistem electronic commerce.
Pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien,
dan berbiaya murah agar segera diterapkan, dilatarbelakangi kenyataan
bahwa transaksi electronic commerce sangat rentan terhadap lahirnya
berbagai sengketa/masalah diantara para pihak, sebagai akibat dari saling
berjauhannya domisili para pihak yang bertransaksi serta bahasa, budaya
dan sistem hukum yang berbeda.
Di samping itu, adanya keinginan untuk menyelesaikan setiap
sengketa melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (Alternative
Dispute Resolution), dilatarbelakangi masih banyaknya ditemukan
berbagai kelemahan dari penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan
(litigasi), seperti:
1. Litigasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim dan
memerlukan pembelaan (advocacy);
2. Litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara,
sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan
terhadap kelemahan-kelemahan pihak lainnya;
3. Proses litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya
yang mahal;
6
4. Hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian
suatu masalah hukum baru.7
Dari berbagai kelemahan di atas jelas bahwa penyelesaian melalui
jalur peradilan/litigasi sangat berlawanan dengan hakikat dari electronic
commerce sebagai suatu sistem perdagangan virtual (maya) yang
membutuhkan sistem yang efektif dan efisien.
Mekanisme penyelesaian sengketa (bisnis) yang sifatnya
konvensional/tradisional sangat dibatasi oleh letak geografis dan hukum
tempat aktivitas bisnis dilakukan. Penentuan mengenai hukum serta
pengadilan (yurisdiksi) manakah yang berwenang memeriksa/mengadili
suatu sengketa, sering menjadi masalah pada saat para pihak akan
membuat suatu kontrak, sekalipun akhirnya, dalam transaksi konvensional
penentuan hukum mana yang akan berlaku relatif lebih mudah ditentukan.
Kondisi di atas sangat berlainan pada saat transaksi perdagangan
terjadi di dunia maya (cyberspace), pertanyaan yang sering timbul adalah
hukum serta yurisdiksi manakah yang akan digunakan apabila dikemudian
hari muncul sengketa di antara para pihak, sedangkan dalam cyberspace
setiap interaksi tidak dibatasi oleh batas wilayah (borderless).
Oleh karena itu, adanya kebutuhan terhadap suatu lembaga yang
bertugas untuk menyelesaikan setiap sengketa bisnis (e. commerce)
merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi pelaksanaannya.
Di Amerika Serikat, sebagai negara pertama yang
mengembangkan media Internet dalam aktivitas perdagangan, eksistensi
lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa secara on line banyak
bermunculan, sehingga bermunculan situs-situs seperti, Cybersettle.com,
e-Resolutions.com, iCourthouse, dan Online Mediators.
7 Imamulhadi, Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan secara Elektronik, artikel dalam
Cyberlaw Suatu Pengantar, ELIPS Project, Jakarta, 2001, hlm. 80
7
Bahkan, The American Arbitration Association, yang biasanya
menyediakan jasa arbitrase secara off line, telah mengumumkan bahwa
mereka menawarkan jasa mediasi dan arbitrase berkenaan dengan
aktivitas di Internet.
Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa pemilihan
Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternatif Dispute Resolution) dalam
transaksi electronic commerce bukan sekedar harapan tetapi lebih
merupakan suatu kebutuhan bagi para pelaku usaha dalam upaya
memperoleh jaminan kenyamanan dan keamanan dalam bertransaksi.
B. Permasalahan
Dengan mengacu pada latar belakang di atas, ada beberapa
permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu:
1. Faktor-faktor apakah yang mendorong para pihak untuk
memilih Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam transaksi
electronic commerce?
2. Bagaimanakah praktek penerapan Penyelesaian Sengketa
Alternatif dalam sengketa transaksi electronic commerce?
3. Bagaimanakah kekuatan mengikat dari putusan yang
dikeluarkan oleh lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif
dalam kaitannya dengan sengketa transaksi electronic
commerce?
C. Metode Penelitian
Penelitian tentang Penerapan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Alternatif dalam Electronic Commerce merupakan penelitian hukum
dengan mempergunakan cara pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini
8
dilakukan untuk mengetahui Faktor-faktor apakah yang mendorong para
pihak memilih Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam menyelesaikan
sengketa yang timbul dalam transaksi electronic commerce, bagaimana
praktek penerapan Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam sengketa
transaksi electronic commerce serta bagaimanakah kekuatan mengikat
dari putusan yang dikeluarkan oleh lembaga Penyelesaian Sengketa
Alternatif dalam kaitannya dengan sengketa transaksi electronic
commerce.
Penelitian ini dititikberatkan pada studi kepustakaan, sehingga data
sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan daripada data primer.
Namun, untuk menunjang dan melengkapi data yang telah diperoleh
melalui studi kepustakaan, penulis melakukan penelitian lapangan (field
research).
Hasil penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan mempergunakan
cara deskriptif analisis, karena dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
digambarkan secara menyeluruh dan sistematis tentang bagaimana
penerapan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam
Electronic Commerce, serta masalah-masalah hukum yang timbul dalam
penerapannya.
D. Tinjauan Pustaka
1. Peristilahan Electronic Commerce
Electronic commerce merupakan sistem yang relatif baru
dibandingkan dengan sistem perdagangan lainnya. Akibatnya, bagi
sebagian pihak masih belum jelas apa yang dimaksud dengan electronic
commerce.
Munculnya berbagai pengertian electronic commerce tidak akan
mengubah keberadaan electronic commerce sebagai suatu sistem
perdagangan yang sangat efektif dan efisien. Timbulnya berbagai
9
pengertian electronic commerce semata-mata lebih disebabkan adanya
perbedaan latar belakang keilmuan dari si pembuat definisi.
David Baum, dalam “Business Links”, Oracle Magazine, No. 3, Vol.
XIII, May/June, 1999, sebagaimana dikutip Onno W. Purbo dan Aang Aris
Wahyudi, mendefinisikan electronic commerce: a dynamic set of
technologies, applications, and business process that link enterprises,
consumers, and communities through electronic transactions and the
electronic exchange of goods, service, and information,8 sedangkan
Howard E. Abrams,9 menyatakan: electronic commerce sebenarnya
adalah: refers to the use of computer networks to facilitate transactions
involving the production, distribution, sale, and delivery of goods and
services in the market.
Sekalipun terdapat berbagai definisi dari electronic commerce,
tetapi pada dasarnya semua definisi memiliki kesamaan, yaitu:
1. adanya penawaran melalui Internet;
2. transaksi antara 2 belah pihak; (apabila terjadi kata sepakat)
3. adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;
4. Internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme
transaksi tersebut.
Dengan mengacu pada beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa electronic commerce merupakan suatu transaksi perdagangan
antara penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Jadi,
proses pemesanan barang, pembayaran transaksi sampai dengan
pengiriman barang dikomunikasikan melalui Internet.
8 Purbo, Onno, W. dan Wahyudi, Aang Arif, (2001), Mengenal E-Commerce, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2001, hlm. 2
9 Abrams, Howard E, dan Doenberg, Richard L, (1997), How Electronic Commerce Works, Tax Notes International, 1997, hlm. 1573
10
2. Keuntungan Penggunaan electronic commerce
Pada dasarnya, keuntungan penggunaan electronic commerce
dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian, yakni keuntungan bagi pedagang
(merchant) dan keuntungan bagi pembeli.
Menurut Joseph Luhukay (Presiden Director, Capital Market
Society), keuntungan bagi pedagang (merchant) antara lain 10:
1. Dapat digunakan sebagai lahan untuk menciptakan pendapatan
(revenue generation) yang sulit atau tidak dapat diperoleh melalui
cara konvensional, seperti memasarkan langsung produk atau jasa;
menjual informasi, iklan (baner), membuka cybermall, dan
sebagainya;
2. Menurunkan biaya operasional. Berhubungan langsung dengan
pelanggan melalui Internet dapat menghemat kertas dan biaya
telepon, tidak perlu menyiapkan tempat ruang pamer (outlet), staf
operasional yang banyak, gudang yang besar, dan sebagainya;
3. Memperpendek product cycle dan management supplier.
Perusahaan dapat memesan bahan baku atau produk ke supplier
langsung ketika ada pemesanan sehingga perputaran barang lebih
cepat dan tidak perlu gudang besar untuk menyimpan produk-
produk tersebut;
4. Melebarkan jangkauan (global reach). Pelanggan dapat
menghubungi perusahaan/penjual dari manapun di seluruh dunia;
5. Waktu operasi tidak terbatas. Bisnis melalui Internet dapat
dilakukan selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu;
6. Pelayanan ke pelanggan lebih baik. Melalui Internet pelanggan bisa
menyampaikan kebutuhan maupun keluhan secara langsung
sehingga perusahaan dapat meningkatkan pelayanannya.
10 Majalah Infokomputer edisi Oktober 1999
11
Keuntungan bagi pembeli, antara lain:
1. Home shopping. Pembeli dapat melakukan transaksi dari rumah
sehingga dapat menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan
menjangkau toko-toko yang jauh dari lokasi;
2. Mudah melakukan. Tidak perlu pelatihan khusus untuk bisa belanja
atau melakukan transaksi melalui Internet;
3. Pembeli memiliki pilihan yang sangat luas dan dapat
membandingkan produk maupun jasa yang ingin dibelinya;
4. Tidak dibatasi waktu. Pembeli dapat melakukan transaksi kapan
saja selama 24 Jam per hari, 7 hari per minggu;
5. Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau sulit
diperoleh di outlet-outlet/pasar tradisional.
Keuntungan-keuntungan di atas apabila dipergunakan dengan
sebaik-baiknya akan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap electronic commerce yang pada akhirnya dapat pula
meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.
4. Mekanisme Transaksi Electronic commerce dan Saat
Terjadinya Kontrak
Transaksi perdagangan melalui media internet atau electronic
commerce pada dasarnya memiliki kesamaan dengan mekanisme
perdagangan biasa (konvensional). Hanya saja, yang membedakan di
antara keduanya adalah dalam electronic commerce, sistem yang
digunakan dalam seluruh proses transaksi dilakukan secara on line, mulai
dari penawaran produk, pembelian, sampai dengan pembayaran,
sedangkan dalam transaksi biasa, seluruh proses transaksi dilakukan
secara manual (off line).
12
Seperti halnya dalam transaksi biasa (konvensional), transaksi
electronic commerce diawali dengan adanya penawaran oleh produsen
(merchant) kepada calon pembeli (consumer) melalui media Internet.
Selanjutnya apabila pembeli (costumer) berpendapat bahwa produk yang
ditawarkan dari segi kualitas, harga, jenis telah sesuai dengan
keinginannya, maka pembeli dapat langsung memesan (order) atas
barang yang dimaksud dengan cara mengisi formulir isian yang telah
ditampilkan pada layar monitor.
Formulir yang harus diisi umumnya memuat identitas pemesan,
seperti: nama, alamat, kantor, dan sebagainya. Formulir isian memuat
pula syarat- syarat transaksi yang harus disetujui oleh konsumen. Pada
tahap akhir setelah semua formulir isian diisi dan syarat-syarat transaksi
disetujui, pembeli tinggal menyatakan setuju dengan transaksi tersebut
dengan cara mengklik kolom OK/Sumbit.
Gambaran proses transaksi electronic commerce di atas adalah
proses yang umum dilakukan, mengingat dalam prakteknya proses
transaksi electronic commerce banyak jenisnya.
Salah satu permasalahan yang paling sering muncul dalam transaksi
electronic commerce adalah berkaitan dengan pertanyaan kapan suatu
transaksi (kontrak) dikatakan telah terjadi.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dikemukakan terlebih
dahulu beberapa bentuk kontrak electronic commerce yang selama ini
berkembang.
Ada beberapa bentuk kontrak elektronik yang selama ini
berkembang, yaitu:11
1. Suatu kontrak yang dibentuk secara sah melalui e. mail.
Penawaran dan penerimaan dapat dipertukarkan melalui e. mail
11 Mieke Komar Kantaatmadja, Pengaturan Kontrak untuk Perdagangan Elektronik, artikel dalam
Cyberlaw Suatu Pengantar, ELIPS Project, Jakarta, 2002, hlm. 2
13
atau dikombinasikan dengan alat komunikasi elektronik lainnya,
dokumen tertulis, fax, dan lain-lain;
2. Suatu kontrak dapat juga dibentuk melalui web sites dan jasa on
line lain, yaitu suatu web site menawarkan penjualan
barang/jasa dan konsumen dapat menerima penawaran dengan
mengisi dan mengirimkan suatu formulir yang terpampang
pada layar monitor;
3. Bentuk kontrak lain adalah mencakup direct on line transfer dari
informasi dan jasa, web site digunakan sebagai medium of
communication dan sekaligus sebagai medium of exchange;
4. Kontrak yang berisi Electronic Data Interchange (EDI), suatu
pertukaran informasi bisnis secara elektronik dalam computer
processable format melalui komputer milik para mitra dagang
(trading partners);
5. Suatu cara berkontrak dalam Internet dapat bersifat perjanjian
lisensi click-wrap dan shrink-wrap. Software yang di download
dari Internet lajimnya dijual dengan suatu lisensi click-wrap.
Lisensi tersebut muncul pada monitor pembeli pada saat
pertama kali software akan dipasang (install) dan calon pembeli
ditanya apakah ia bersedia menerima persyaratan lisensi
tersebut sebelum menggunakan program tersebut. Pengguna
dapat click “ I accept” atau I don’t accept”. Apabila pembeli
menyetujui persyaratan lisensi, software tersebut dapat
dipasang (install).
Permasalahan kapan terjadinya suatu kontrak pada perdagangan
secara on line perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat hal ini
membawa akibat hukum pada penentuan lahirnya hak dan kewajiban
masing-masing pihak, peralihan kepemilikan, peralihan risiko, juga
14
yurisdiksi mana yang berkompeten untuk menyelesaikan sengketa jika
dikemudian hari muncul sengketa.
Penentuan saat terjadinya perjanjian (kontrak) berkaitan erat
dengan tempat dimana perjanjian itu dibuat, ada beberapa teori yang
menjelaskan tentang tempat terbentuknya perjanjian, yaitu;
1. Pada saat disampaikannya persetujuan (consent) oleh pihak
penerima penawaran (expedition theory);
2. Pada saat dikirimnya penerimaan tersebut oleh pihak
penerima penawaran (acceptors acceptance atau disebut
transmission theory);
3. Pada saat diterimanya penerimaan tersebut oleh pihak yang
menawarkan (offeror) atau disebut reception theory;
4. Pada saat pihak yang menawarkan mengetahui adanya
penerimaan (acceptance) tersebut atau disebut information
theory.
Menurut Julian Ding dalam bukunya Electronic Commerce, Law
and Practices, sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman12
disebutkan bahwa terjadinya kontrak dalam transaksi electronic
commerce adalah : a contract is struck when two or more persons agree
to a certain course of conduct, maksudnya bahwa sebagai suatu
pertemuan dimana dua atau lebih pihak setuju melakukan tindakan
tertentu, sehingga pada saat itulah kesepakatan tercapai.
Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa untuk menentukan
kapankah suatu kontrak terjadi, maka dapat dilihat dari syarat-syarat yang
harus dipenuhi, yaitu offer (penawaran), acceptance (penerimaan) dan
consideration. Suatu offer merupakan suatu invitation to enter into binding
12 Mariam Darus Badrulzaman, Mendambakan Kelahiran Hukum Saiber (cyber law) di Indonesia,
Pidato pada upacara Purna Bhakti sebagai Guru Besar tetap di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2001, hlm. 11
15
agreement, suatu offer adalah benar merupakan suatu tawaran jika pihak
lain memandangnya sebagai suatu penawaran, namun perlu diperhatikan
bahwa suatu offer haruslah benar merupakan suatu offer dalam hal mana
memang benar penawaran telah dilakukan dan ditujukan pada offeree.
Jika suatu offer sudah ditujukan pada offeree maka ia dapat choose
whether yes or not to accept it.
Suatu offer harus secara jelas dinyatakan dan dalam hal offer
disampaikan dengan mempergunakan e. mail harus disebutkan bahwa
jika terjadi suatu offer dari seorang offeror, harus terdapat suatu kepastian
berupa diterima atau tidaknya hal tersebut dengan kata-kata “I accept or I
reject and go fourth”.
Untuk menemukan offer and acceptance dalam cybersystem adalah
tergantung pada keadaan dari cybersystem itu sendiri. Seorang offeror
adalah bebas untuk menentukan suatu manner of acceptance, misalnya
offeror menentukan bahwa hal penjualan melalui web site atas barang
dagangannya maka penawaran ditujukan pada halaman dari e. mail
addressnya sehingga dalam hal ini acceptance dapat dalam bentuk e.
mail saja13
Jika offer pada web site secara umum mendapatkan acceptance
dari publik yang cukup banyak, sedangkan massage dalam offer di web
site tersebut hanya menawarkan sebuah barang saja maka dalam hal ini
dipakai prinsip “first come first serve”, maka yang paling awal dinyatakan
bahwa ia yang akan menerima tawaran itulah yang berhak. Peraturan ini
menyatakan bahwa suatu acceptance dari offer adalah efektif berlaku
pada saat pengiriman pos, dalam hal ini yaitu pada saat pengiriman
acceptance melalui pos tradisional melalui surat (dropping a place of
corespondence in to the mailbox).
Di dalam cyberspace, jika suatu pernyataan setuju dari offeree
telah dikirim dan benar telah diterima oleh offeror, maka dalam hal terjadi 13 Ibid, hlm. 14
16
keterlambatan atau tidak sampainya pesan adalah kewajiban dan risiko
dari offeror jika tidak ada klausul pembatasan hari dari offeror, namun
dalam hal acceptance berlangsung dalam suatu on line contract, maka
tidak akan terjadi keterlambatan sehingga mailbox rule tidak berlaku.
5. Jenis-jenis Transaksi electronic commerce
Pada dasarnya, perdagangan/transaksi electronic commerce dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian besar yaitu: transaksi Business to
Business (B to B), dan Business to Consumer (B to C).
Transaksi electronic commerce B to B, mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
1. Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara
mereka sudah terjalin hubungan yang berlangsung cukup lama.
Pertukaran informasi hanya berlangsung di antara mereka dan
karena sudah sangat mengenal, maka pertukaran informasi
tersebut dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepercayaan;
2. Pertukaran data dilakukan secara berulang-ulang dan berskala
dengan format data yang telah disepakati. Jadi, service yang
digunakan antara ke-2 sistem tersebut sama dan menggunakan
standar yang sama;
3. Salah satu pelaku tidak harus menunggu partner mereka
lainnya untuk mengirim data;
4. Model yang umum digunakan adalah pear to pear, dimana
processing intelegence dapat didistribusikan di kedua pelaku
bisnis.
Business to Consumer (B to C) merupakan transaksi jual-beli melalui
internet antara penjual barang dengan konsumen (end user). Business to
Consumer dalam electronic commerce relatif banyak ditemui
17
dibandingkan dengan Business to Business. Dalam transaksi electronic
commerce dengan jenis B to C hampir semua orang dapat melakukan
transaksi baik dengan nilai transaksi kecil maupun besar, begitu pula tidak
dibutuhkan persyaratan yang rumit.
Karakteristik transaksi electronic commerce Business to Consumer
adalah sebagai berikut:
1. Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan secara umum
pula;
2. Service yang dilakukan juga bersifat umum sehingga
mekanismenya dapat digunakan oleh banyak orang, contohnya
karena sistem web sudah umum dikalangan masyarakat, maka
sistem yang digunakan adalah sistem web pula;
3. Service yang diberikan berdasarkan permintaan, konsumen
berinisiatif sedangkan produsen harus siap memberikan respon
terhadap inisiatif konsumen;
4. Sering dilakukan pendekatan client-server, yang mana konsumen
di pihak klien menggunakan sistem yang minimal (berbasis web)
dan pihak penyedia barang atau jasa (business prosedure) berada
pada pihak server.
6. Pihak-pihak dalam Transaksi Electronic Commerce
Transaksi electronic commerce melibatkan beberapa pihak, baik
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung
kompleksitas transaksi yang dilakukan, artinya apakah semua proses
transaksi dilakukan secara on-line atau hanya beberapa tahap saja yang
dilakukan secara on-line.
18
Apabila seluruh transaksi electronic commerce dilakukan secara on-
line, mulai dari proses terjadinya transaksi sampai dengan pembayaran,
maka pihak-pihak yang terlibat terdiri dari:
1. Penjual (merchant), yaitu perusahaan/produsen yang menawarkan
produknya melalui internet. Untuk menjadi merchant, maka
seseorang harus mendaftarkan diri sebagai merchant account pada
sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan agar merchant dapat
menerima pembayaran dari customer dalam bentuk credit card.
2. Konsumen/card holder, yaitu orang-orang yang ingin memperoleh
produk (barang atau jasa) melalui pembelian secara on-line.
3. Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan
penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan
penerbit).
4. Issuer; perusahaan credit card yang menerbitkan kartu.
5. Certification Authorities; pihak ketiga yang netral yang memegang
hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada merchant, kepada
issuer dan dalam beberapa hal diberikan pula kepada card
holder.14
Apabila transaksi electronic commerce tidak sepenuhnya dilakukan
secara on-line, dengan kata lain hanya proses transaksinya saja yang on-
line, sementara pembayaran tetap dilakukan secara manual/cash, maka
pihak acquirer, issuer, dan certification authority tidak terlibat di dalamnya.
14 Certification Authorities dapat merupakan suatu lembaga pemerintah atau lembaga swasta.
Italia, dengan alasan kebijakan publik, menempatkan pemerintahannya sebagai pemilik kewenangan untuk menyelenggarakan pusat Certification Authorities. Sebaliknya, di Jerman, jasa sertifikasi terbuka untuk dikelola oleh sektor swasta untuk menciptakan iklim kompetisi yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas pelayanan jasa tersebut..
19
7. Latar Belakang Penyelesaian Sengketa Alternatif
Sengketa atau konflik umumnya bersumber dari adanya perbedaan
pendapat atau ketidaksesuaian di antara para pihak. Apabila pihak-pihak
tidak berhasil menemukan bentuk penyelesaian yang tepat, maka
perbedaan pendapat ini dapat berakibat buruk bagi kelangsungan
hubungan di antara keduanya. Oleh karena itu, setiap menghadapi
perbedaan pendapat (sengketa), para pihak selalu berupaya menemukan
cara-cara penyelesaian yang tepat.
Pada awalnya, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang
dipergunakan selalu berorientasi pada bagaimana supaya memperoleh
kemenangan (seperti peperangan, perkelahian bahkan lembaga
pengadilan). Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para
pihak cenderung berupaya mempergunakan berbagai cara untuk
mendapatkannya, sekalipun melalui cara-cara melawan hukum.
Akibatnya, apabila salah satu pihak memperoleh kemenangan tidak jarang
hubungan diantara pihak-pihak yang bersengketa menjadi buruk, bahkan
berubah menjadi permusuhan.
Dalam perkembangannya, bentuk-bentuk penyelesaian yang
berorientasi pada kemenangan tidak lagi menjadi pilihan utama, bahkan
sedapat mungkin dihindari. Pihak-pihak lebih mendahulukan kompromi
dalam setiap penyelesaian sengketa yang muncul di antara mereka,
dengan harapan melalui kompromi tidak ada pihak yang merasa
dikalahkan/dirugikan.
Upaya manusia untuk menemukan cara-cara penyelesaian yang
lebih mendahulukan kompromi, dimulai pada saat melihat bentuk-bentuk
penyelesaian yang dipergunakan pada saat itu (terutama lembaga
peradilan) menunjukkan berbagai kelemahan/kekurangan, seperti: biaya
tinggi, lamanya proses pemeriksaan, dan sebagainya. Akibat semakin
meningkatnya efek negatif dari lembaga pengadilan, maka pada
permulaan tahun 1970-an mulailah muncul suatu pergerakan dikalangan
20
pengamat hukum dan akademisi Amerika Serikat untuk mulai
memperhatikan bentuk-bentuk penyelesaian hukum lain.
Usaha-usaha untuk menemukan bentuk penyelesaian sengketa
alternatif terjadi pada saat Warren Burger (mantan Chief Justice) diundang
pada suatu konferensi yaitu Roscoe Pound Conference on the Causes of
Popular Dissatisfaction with the Administration of Justice (Pound
Conference) di Saint Paul, Minnesota. Para akademisi, pengamat hukum,
serta pengacara yang menaruh perhatian pada masalah sengketa/konflik
berkumpul bersama pada konferensi tersebut. Beberapa makalah yang
disampaikan pada saat konferensi, akhirnya disusun menjadi suatu
pengertian dasar (basic understanding) tentang penyelesaian sengketa
saat itu.15
Beberapa tahun berikutnya, penyelesaian sengketa alternatif
(Alternative Dispute Resolution) mulai diterapkan secara sistematis.
Hakim seringkali memerintahkan kepada para pihak untuk ikut
berpartisipasi dalam suatu persidangan. Peraturan di pengadilan
senantiasa mensyaratkan para pihak untuk menyelesaikan kasus-kasus
tertentu (seperti: malpraktek) diselesaikan melalui arbitrase, bahkan di
beberapa pengadilan, pihak-pihak disyaratkan untuk mencoba terlebih
dahulu menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui cara
mediasi sebelum menempuh jalur pengadilan.
8. Peristilahan Penyelesaian Sengketa Alternatif
Istilah Penyelesaian Sengketa Alternatif merupakan istilah yang
umum dipergunakan sebagai terjemahan dari Alternative Dispute
Resolution (ADR). Ada berbagai istilah yang dipakai untuk menunjuk
pada bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti:
15 Nolan-Haley, Jacqueline M, (1992), Alternative Dispute Resolution in a Nutshell, West Publishing
Co, St. Paul, Minnesota, USA 1992, hlm. 4-4
21
Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), Pilihan
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS) sebagaimana judul dari Undang-undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
dalam Pasal 30 bahkan tidak mempergunakan istilah khusus, tetapi hanya
menyebut Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan.
Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mendefinisikan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yaitu lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Christopher Kuner,16 tidak memberikan definisi tentang Alternative
Dispute Resolution, ia hanya menyatakan: The term ‘alternative dispute
resolution” can include a wide variety of dispute resolution mechanism
outside the court system, including arbitration, mediation, consumer
compalint systems, etc., so that it can be difficult to define exactly what is
meant by the term.
Sekalipun banyak pendapat yang berbeda tentang definisi
Penyelesaian Sengketa Alternatif, tetapi apabila memperhatikan unsur-
unsurnya terkandung beberapa persamaan yaitu: merupakan suatu suatu
lembaga penyelesaian sengketa serta proses penyelesaian sengketa
dilakukan di luar pengadilan (out of court).
16 Kuner, Christopher, Legal Obstacles to ADR in European Business-to-Consumer Electronic
Commerce (article), 2000, hlm. 1
22
9. Keuntungan Penggunaan Penyelesaian Sengketa Alternatif
Harus diakui, penggunaan lembaga peradilan untuk menyelesaikan
suatu sengketa menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, yang mana
kekurangan/kelemahan ini apabila dilihat dari aspek ekonomi/bisnis
secara umum merupakan salah satu komponen dengan biaya sangat
tinggi.
Kelemahan lembaga peradilan dalam menyelesaian suatu sengketa
sangat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa, kondisi ini semakin
meyakinkan perlunya ditemukan cara penyelesaian lain yang dapat
memuaskan para pihak yang bersengketa.
Oleh karena itu, untuk mengurangi sekaligus menghindari
kemungkinan timbulnya masalah berkaitan dengan penggunaan lembaga
peradilan, pelaku bisnis beralih pada penyelesaian sengketa alternatif
untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul dalam aktivitas bisnis
mereka.
Ada beberapa keuntungan yang diperoleh para pihak apabila
memilih penyelesaian sengketa alternatif sebagai lembaga yang akan
membantu menyelesaikan sengketa yang timbul di antara nereka, antara
lain:
a. Waktu, melalui Penyelesaian Sengketa Alternatif waktu yang
dipergunakan untuk menyelesaian suatu sengketa relatif
singkat;
b. Biaya, karena waktu dan mekanismenya relatif sederhana
sehingga membawa akibat biaya yang dikeluarkanpun lebih
murah;
c. Keahlian, pihak yang turut serta dalam membantu proses
penyelesaian sengketa berasal dari kalangan ahli di
bidangnya, sehingga keputusan yang diambil relatif dapat
dipertanggungjawabkan;
23
d. Kerahasiaan, karena mekanisme penyelesaian tidak
dipublikasikan, sehingga kerahasiaan dari masing-masing
pihak tetap terjaga. Seperti kita ketahui, masalah
kerahasiaan merupakan salah satu faktor yang sangat
penting bagi siapapun juga, tidak terkecuali bagi pelaku
usaha.
10. Macam-macam Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif
a. Arbitrase.
Istilah arbitrase berasal dari kata “arbitrare” (bahasa lain), yang
berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut
kebijaksanaan. Apabila memperhatikan pengertian di atas nampak jelas
bahwa lembaga arbitrase memang dimaksudkan menjadi suatu lembaga
yang berfungsi untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa tetapi
tidak mempergunakan suatu metode penyelesaian yang klasik, dalam hal
ini lembaga peradilan.
Pasal 1 angka 1 dari Undang-undang Nomor 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan
definisi arbitrasi, yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Pemilihan lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul di antara para pihak dilandasi oleh banyaknya keuntungan yang
diperoleh, antara lain:17
1) Keuntungan dari satu peradilan arbitrase sebagaimana
tersebut di atas ialah menang waktu, karena dapat dikontrol
17 Agnes M, Toar Uraian Singkat tentang Arbitrase Dagang di Indonesia, artikel dalam Arbitrase di
Indonesia, Ghalia, Jakarta, 1995, hlm. 44
24
oleh para pihak sehingga kelambatan dalam proses
peradilan pada umumnya dapat dihindari;
2) Di samping keuntungan tersebut, kerahasiaan proses
penyelesaian sengketa suatu hal yang sangat dibutuhkan
dalam dunia usaha dapat dikatakan lebih terjamin;
3) Macam-macam bukti dalam penyelesaian perselisihan yang
tidak terletak dalam bidang yuridis pun dapat digunakan,
sehingga tidak perlu terlambat karena ketentuan undang-
undang mengenai pembuktian yang bersangkutan;
4) Suatu putusan arbitrase pada umumnya terjamin, tidak
memihak, mantap, dan jitu karena diputuskan oleh (orang)
ahli yang pada umumnya menjaga nama dan martabatnya
oleh karena berprofesi dalam bidang tersebut;
5) Keuntungan yang lain ialah peradilan arbitrase potensial
menciptakan profesi yang lain, yaitu sebagai arbiter yang
merupakan faktor pendorong untuk para ahli lebih menekuni
bidangnya untuk mencapai tingkat paling atas secara
nasional.
b. Negosiasi
Kata negosiasi pada umumnya dipakai untuk suatu pembicaraan
atau perundingan dengan tujuan mencapai suatu kesepakatan antara
para peserta tentang hal yang dirundingkan. Hal yang sama dikemukakan
oleh C. Chatterjee18 pada saat menyatakan: To negotiate means to ‘hold
communication or conference for the purpose of arranging some matter by
mutual agreement, to discuss a matter with a view to some settlement or
compromise”.
18 Chatterjee C, (2000), Negotiations Techniques in International Commercial, Ashgate Publishing,
England, 2000, hlm. 1-2
25
Dari dua pengertian di atas dapat diketahui bahwa negosiasi
merupakan suatu proses pembicaraan atau perundingan mengenai suatu
hal tertentu untuk mencapai suatu kompromi atau kesepakatan di antara
para pihak yang melakukan negosiasi.
Menurut Howard Raiffia, sebagaimana dikutip oleh Suyud
Margono,19 ada beberapa tahapan negosiasi, yaitu:
1. Tahap persiapan, dalam mempersiapkan perundingan, hal pertama
yang dipersiapkan adalah apa yang kita butuhkan/inginkan.
Dengan kata lain, kenali dulu kepentingan kita sebelum mengenali
kepentingan orang lain. Tahap ini sering distilahkan know yourself.
Dalam tahap persiapan kita juga perlu menelusuri berbagai
alternatif lainnya apabila alternatif terbaik atau maksimal tidak
tercapai atau disebut BATNA (best alternative to a negotiated
agreement);
2. Tahap Tawaran Awal (Opening Gambit), dalam tahap ini biasanya
perunding mempersiapkan strategi tentang hal-hal yang berkaitan
dengan pertanyaan siapakah yang harus terlebih dahulu
menyampaikan tawaran. Apabila kita menyampaikan tawaran awal
dan perunding lawan tidak siap (ill prepared), terdapat
kemungkinan tawaran pembuka kita mempengaruhi persepsi
tentang reservation price dari perunding lawan.
3. Tahap Pemberian Konsesi (The Negotiated Dance), konsesi yang
harus dikemukakan tergantung pada konteks negosiasi dan
konsesi yang diberikan oleh perunding lawan. Dalam tahap ini
seorang perunding harus dengan tepat melakukan kalkulasi
tentang agresifitas serta harus bersikap manipulatif.
19 Margono, Suyud, (2000), ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 52
26
4. Tahap Akhir (End Play), Tahap akhir permainan adalah pembuatan
komitmen atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan
sebelumnya.
Lebih lanjut Howard Raiffia menyatakan, agar suatu negosiasi
dapat berlangsung secara efektif dan mencapai kesepakatan yang bersifat
stabil, ada beberapa kondisi yang mempengaruhinya, yaitu:
1. Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan
kesadaran penuh (willingness);
2. Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness);
3. Mempunyai wewenang mengambil keputusan (authoritative);
4. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat
menciptakan saling ketergantungan (relative equal bargaining
power);
5. Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah.
c. Mediasi
Mediasi adalah proses pemecahan masalah di mana pihak luar
yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang
bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan
perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter,
mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara
para pihak, namun dalam hal ini para pihak menguasakan kepada
mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan di
antara mereka. 20
Menurut Kovact, sebagaimana dikutip oleh Suyud Margono
mediasi yaitu: facilitated negotiation. It process by which a neutral third
20 Goodpaster, Gary, (1995), Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, artikel dalam Arbitrase di
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 11
27
party, the mediator, assist disputing parties in reaching a mutually
satisfaction solution”.21
Dari rumusan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa
pengertian mediasi mengandung unsur-unsursebagai berikut:
1. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa berdasarkan
perundingan;
2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di
dalam perundingan;
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk
mencari penyelesaian;
4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan
selama perundingan berlangsung;
5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan
kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa
guna mengakhiri sengketa.
D. Konsiliasi
Seperti halnya mediasi, konsiliasi (conciliation) juga merupakan
suatu proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak.
Biasanya konsiliasi mengacu pada suatu proses yang mana pihak
ketiga bertindak sebagai pihakyang mengirimkan suatu penawaran
penyelesaian antara para pihak tetapi perannya lebih sedikit dalam proses
negosiasi dibandingkan seorang mediator.
Seperti juga mediator, tugas dari konsiliasi hanyalah sebagai pihak
fasilitator untuk melakukan komunikasi di antara pihak sehingga dapat
diketemukan solusi oleh para pihak sendiri. Dengan demikian pihak
konsiliator hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu
21 Suyud Margono, op cit, hlm. 59
28
dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek pembicaraan,
membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut
tidak mungkin disampaikan langsung atau tidak mau bertemu muka
langsung, dan lain-lain.22
E. Pembahasan
1. Faktor Pendorong dipilihnya Penyelesaian Sengketa Alternatif
(ADR) dalam penyelesaian sengketa electronic commerce
Dipilihnya Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute
Resolution) sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa memang
bukanlah tanpa sebab, banyak faktor yang menjadi penyebab para pihak
memililih mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute
Resolution).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan para pihak memilih
lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute
Resolution) untuk menyelesaian sengketa yang timbul dalam transaksi
electronic commerce, yaitu:
a. Murah, transaksi yang dilakukan oleh para pihak tujuannya tidak
lain adalah untuk memperoleh uang (investasi), sehingga dalam
penentuan cara penyelesaian sengketa pun, faktor ekonomi, dalam
hal ini murahnya biaya yang dikeluarkan, menjadi bahan
pertimbangan yang utama. Kenyataan membuktikan, penyelesaian
sengketa melalui lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR)
relatif lebih murah dibandingkan penyelesaian melalui lembaga
pengadilan (litigasi). Murahnya biaya yang dikeluarkan dalam
setiap penyelesaian sengketa melalui mekanisme ini tidak terlepas
dari cepatnya proses pengambilan keputusan yang dihasilkan.
22 Munirm Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 200, hlm. 52
29
Pada saat penyelesaian sengketa berlangsung, para pihak tetap
dapat melanjutkan aktivitasnya masing-masing tanpa takut
terganggu oleh proses pemeriksaan sengketa, hal yang mustahil
terjadi apabila sengketa diselesaikan melalui proses pengadilan.
Perlu ditambahkan, dengan dipergunakannya lembaga peradilan
dalam penyelesaian suatu sengketa, memungkinkan para pihak
untuk menempuh upaya hukum lain (banding, kasasi, atau
peninjauan kembali) apabila salah satu pihak tidak puas dengan
keputusan yang dihasilkan. Akibatnya, proses penyelesaian
sengketa menjadi semakin lama dan tentunya membutuhkan
penambahan biaya.
b. Cepat, dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur pengadilan
(litigasi) tentunya Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) relatif
lebih cepat dan tidak bertele-tele. Lamanya proses penyelesaian
sengketa melalui pengadilan terjadi mulai saat menunggu
kepastian kapan sengketa akan diperiksa/disidangkan hingga
eksekusi putusan, yang seringkali memerlukan waktu yang sangat
lama. Di samping itu, adanya beberapa upaya hukum (Banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali) yang menjadi hak dari para pihak
yang bersengketa, terlebih apabila hak tersebut dipergunakan,
semakin menambah lamanya proses penyelesaian sengketa.
Kondisi ini tentunya dapat menjadi penghambat bagi para pihak
dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Oleh karena itu, dengan
dipergunakannya mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif
(ADR) diharapkan lamanya waktu pemeriksaan sengketa dapat
dikurangi, karena prosedur pemeriksaan sengketa ditentukan
sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak
ketiga.
c. Dalam dunia bisnis, hubungan baik (good relationships) di antara
para pihak merupakan hal yang paling utama sekaligus pondasi
30
(dasar) bagi berkembangnya suatu hubungan kerjasama. Begitu
pula halnya dalam penyelesaian sengketa, sedapat mungkin
diselesaikan melalui cara-cara yang dapat menjaga hubungan di
antara para pihak agar tetap harmonis. Keinginan tersebut dapat
dicapai apabila sengketa diselesaikan melalui mekanisme
penyelesaian sengketa alternatif (ADR), karena melalui
penyelesaian sengketa alternatif (ADR) tujuan yang hendak dicapai
adalah win-win solution, yaitu kedua belah pihak akan memperoleh
penyelesaian yang memuaskan, tanpa ada yang merasa dirugikan.
Hal ini berbeda dengan lembaga pengadilan (litigasi), pada
umumnya hanya satu pihak saja yang menang, sementara yang
lainnya berada di pihak yang kalah (win and lose solution);
d. Kerahasiaan (confidentiality) bagi siapapun, terlebih bagi pihak-
pihak yang bergerak dalam aktivitas bisnis, merupakan hal yang
sangat vital. Oleh karena itu, dalam mekanisme penyelesaian
sengketa melalui Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) masalah
kerahasiaan relatif lebih dapat dijaga dibandingkan dengan
penyelesaian melalui cara konvensional (pengadilan). Kerahasiaan
sangat penting untuk tetap dijaga, khususnya apabila sengketa
muncul berkaitan dengan lemahnya/tidak berfungsinya sistem
keamanan yang dimiliki oleh satu perusahaan (dalam transaksi
electronic commerce masalah kelemahan sistem keamanan sering
terjadi). Banyak perusahaan tidak menginginkan masalah ini
dipublikasikan pada pihak luar, karena dengan dipublikasikannya
kelemahan perusahaan, kepercayaan konsumen terhadap
perusahaan akan memudar;
e. Penyelesaian sengketa melalui lembaga Penyelesaian Sengketa
Alternatif (ADR) dilakukan oleh para ahli (expert) di bidangnya,
sehingga hal ini akan berdampak pada kualitas putusan. Keahlian
para pihak yang akan menyelesaikan sengketa sangat
31
mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan
lembaga ini, terlebih electronic commerce merupakan sistem yang
relatif kompleks dibandingkan cara- cara konvensional.
f. Tidak berpihak (Impartiality), untuk memperoleh suatu proses
penyelesaian sengketa yang menjunjung tinggi prinsip fairness,
maka dalam setiap bentuk penyelesaian sengketa baik melalui
lembaga pengadilan (litigasi) maupun lembaga di luar pengadilan
(non-litigasi), diperlukan adanya jaminan bahwa pihak ketiga yang
akan memutus atau menengahi sengketa adalah mereka yang
berkedudukan bebas dan tidak berpihak pada pihak manapun.
2. Penerapan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif
(ADR) dalam Sengketa Transaksi Electronic Commerce
Di Indonesia, proses pemeriksaan sengketa secara online melalui
lembaga arbitrase belum dilaksanakan secara menyeluruh. Suatu proses
pemeriksaan dikatakan menyeluruh apabila seluruh proses dilakukan
secara online, mulai dari pemilihan lembaga yang khusus menyediakan
jasa online Alternative Dispute Resolution, perjanjian arbitrase, prosedur
beracara, hingga penyampaian putusan dilakukan secara online pula.
Sekalipun demikian, Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan
kemungkinan dipergunakannya e.mail dalam proses penyelesaian
sengketa, sekalipun baru dalam tahap penyampaian surat. Hal ini dapat
dilihat pada Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:
“Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi
dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram,
faksimil, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi kainnya, wajib
32
disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.” (huruf miring
dari penulis).
Pemilihan lembaga Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif
(ADR) baik yang sifatnya offline maupun online untuk menjadi lembaga
yang akan menyelesaikan setiap masalah yang timbul dalam transaksi
electronic commerce, didasarkan pada adanya perjanjian (clausule) di
antara para pihak (baik sebelum maupun setelah terjadinya sengketa)
yang intinya menyatakan akan membawa sengketa kepada lembaga
Penyelesaian Sengketa Alternatif atau Arbitrase, apapun alat (means)
yang dipergunakan untuk menyatakan perjanjian tersebut.
Dalam kaitan dengan penyelesaian sengketa alternatif yang
sifatnya offline, khususnya melalui lembaga Arbitrase, adanya perjanjian
yang mendasari dipilihnya lembaga tersebut untuk menyelesaikan
sengketa (arbitration clause) dengan jelas dapat dilihat pada Pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyebutkan: Arbitrase adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. (huruf miring dari penulis), sedangkan perjanjian
yang menjadi dasar dipilihnya lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif
untuk menyelesaikan sengketa dapat dilihat dalam Pasal 2 Undang-
undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan: Undang-undang ini mengatur
penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu
hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase
yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda
pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum
tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif
penyelesaian sengketa.
33
Dalam penelitian yang dilakukan penulis, ditemukan satu contoh
perjanjian yang memuat pemilihan lembaga Penyelesaian Sengketa
Alternatif (ADR) dalam penyelesaian sengketa electronic commerce yang
disusun oleh Amboi.com, suatu perusahaan electronic commerce yang
bergerak di bidang lelang online. Ketentuan yang dimaksud selengkapnya
menyatakan: “Anggota menyadari dan setuju bahwa perselisihan yang
terjadi antara anggota dan Amboi.com harus diselesaikan melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila musyawarah tidak dapat
mencapai mufakat, anggota sepakat untuk membawa kasus mereka ke
lembaga arbitrase dan melepaskan haknya untuk menyelesaikan
sengketa melalui pengadilan (Pasal 58 dari Amboi.com), selanjutnya
Pasal 59 dari Ketentuan Amboi.com menyatakan: Setiap Perselisihan
yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah akan diserahkan
kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) untuk diselesaikan.
Dengan dipilihnya upaya penyelesaian sengketa melalui Alternative
Dispute Resolution, sebenarnya para pihak yang bersengketa harus
mengacu pada kontraknya sendiri (jika ada) yaitu pada klausul kontrak
yang menunjuk pada penggunaan pihak ketiga untuk membantu dalam
penyelesaian sengketa (mediasi, negosiasi, konsiliasi atau arbitrase).
Pembahasan penerapan Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam
tulisan ini, akan difokuskan pada penerapan praktek penyelesaian
sengketa alternatif yang umum dilakukan, yaitu melalui cara mediasi,
negosiasi, konsiliasi dan arbitrase, khususnya dalam kaitannya dengan
sengketa electronic commerce.
Sengketa yang muncul dalam transaksi electronic commerce
tentunya diharapkan dapat diselesaikan secara baik tanpa menyebabkan
hubungan yang semula harmonis di antara para pihak menjadi buruk.
Oleh karena itu, para pihak (yang bersengketa) sedapat mungkin
menghindarkan cara-cara penyelesaian yang lebih berorientasi pada
mengejar kemenangan, seperti halnya melalui lembaga peradilan. Di
34
samping itu, dengan dihindarinya penggunaan lembaga peradilan dalam
penyelesaian sengketa electronic commerce, diharapkan rantai hubungan
yang saling menguntungkan (mutually) di antara para pihak tetap terjaga.
Apabila terjadi sengketa antara penjual (merchant) dan konsumen,
biasanya cara pertama yang ditempuh adalah para pihak akan mencari
jalan penyelesaian secara damai yang memungkinkan untuk ditempuh,
baik dilakukan oleh mereka sendiri maupun dengan bantuan pihak lain.
Dalam sengketa electronic commerce, mediasi menjadi salah satu
bentuk penyelesaian yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa.
Melalui mediasi pihak ketiga yang netral akan duduk bersama-sama
dengan para pihak yang bersengketa dan secara aktif akan membantu
para pihak dalam upaya menemukan kesepakatan yang adil dan
memuaskan bagi keduanya. Dalam proses mediasi, seorang mediator
hanya berperan sebagai fasilitator saja.
Oleh karena itu, mediator tidak mempunyai kewenangan untuk
membuat suatu keputusan yang mengikat para pihak. Seorang mediator
akan membantu para pihak yang bersengketa untuk mengidentifikasi
persoalan-persoalan yang menjadi pokok sengketa, memfasilitasi
komunikasi di antara kedua belah pihak, serta berupaya menemukan
informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan apa yang menjadi
kepentingan dan keinginan masing-masing pihak yang bersengketa.
Informasi ini biasanya dapat diketahui pada saat mediator melakukan
interview secara pribadi (private session) dengan masing-masing pihak.
Mediasi dipergunakan dalam penyelesaian sengketa electronic
commerce dikarenakan mediasi tidak membatasi jenis sengketa yang
diajukan kehadapannya, mulai dari sengketa yang sederhana hingga yang
kompleks, sengketa dengan jumlah uang yang besar maupun kecil, begitu
pula pihak yang bersengketa bisa perorangan ataupun kelompok.
35
Secara garis besar, proses beracara dalam suatu mediasi dibagi
dalan 2 (dua) bagian (sessions), yaitu: pertemuan pendahuluan
(preliminary conference) dan proses mediasi itu sendiri (mediation
session). Tujuan dari pertemuan pendahuluan di antaranya adalah untuk
memberikan gambaran pada kedua belah pihak yang bersengketa
mengenai jalannya proses mediasi, penandatanganan kesepakatan untuk
mempergunakan mediasi dalam penyelesaian sengketa, merumuskan
tahapan pendahuluan apa yang akan dilakukan sebelum dilakukan proses
mediasi. Selanjutnya dalam proses mediasi (mediation session) para
pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan-
pandangannya mengenai masalah yang menjadi pokok sengketa. Peran
mediator dalam tahap ini adalah mendorong para pihak agar dapat
mengkomunikasikan secara langsung apa yang menjadi keinginan dan
kepentingannya, sehingga dapat diketahui secara jelas posisi satu sama
lain guna memperoleh suatu kondisi saling pengertian. Selama proses
berjalan para pihak diharapkan turut berpartisipasi (dalam pengawasan
mediator), bahkan para pihak dapat menyampaikan atau mendiskusikan
secara pribadi (private session) dengan mediator perihal informasi yang
sifatnya rahasia menyangkut kepentingannya yang tidak mungkin
diberitahukan pada pihak lawannya..
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak memiliki
kedudukan yang sederajat dan tidak saling berlawanan, sehingga selama
proses berjalan sampai dicapainya kata sepakat hubungan bisnis yang
telah berjalan dengan baik tidak akan menjadi rusak.
Setelah kesepakatan di antara kedua belah pihak tercapai melalui
proses mediasi, pokok-pokok kesepakatan dituangkan dalam suatu
perjanjian tertulis (terms of settlement) yang ditandatangani oleh kedua
belah pihak yang bersengketa serta pihak ketiga yang bertindak sebagai
mediator.
36
Untuk menjamin dilaksanakannya kesepakatan yang telah dicapai,
maka dalam perjanjian/kesepakatan tersebut dapat dimuat pula
ketentuan yang menyatakan: apabila salah satu pihak tidak melaksanakan
kesepakatan yang dimaksud, maka pengadilan dapat memaksakan
pelaksanaannya secara hukum.
Bentuk Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) lainnya yang paling
sederhana adalah negosiasi, yaitu suatu proses yang mana para pihak
berupaya untuk menyelesaikan sengketa yang timbul secara informal,
dengan atau tanpa pihak lain mewakilinya.
Konsep negosiasi, pada dasarnya telah pula diterapkan pada saat
para pihak mengajukan sengketa melalui lembaga pengadilan (litigasi).
Biasanya, penasihat hukum kedua belah pihak melakukan beberapa kali
pertemuan secara informal untuk menemukan kesepakatan yang dapat
memuaskan masing-masing pihak, dan apabila kesepakatan yang
dimaksud tidak tercapai maka sengketa diselesaikan melalui proses
peradilan.
Dalam transaksi electronic commerce, sengketa yang paling
banyak terjadi berkaitan dengan masalah harga, kualitas barang, dan
jangka waktu pengiriman. Apabila produk yang menjadi obyek sengketa
jumlahnya (harga maupun kuantitas) relatif kecil, umumnya para pihak
tidak memerlukan bantuan pihak ketiga untuk penyelesaiannya. Hal ini
wajar, mengingat biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar jasa
pihak ketiga akan lebih besar daripada obyek sengketa.
Terhadap sengketa yang nilainya relatif kecil (dari segi harga
maupun kuantitas), proses negosiasi dilakukan secara langsung (direct)
antara penjual (merchant) dan pembeli (consumer), baik melalui
pertemuan secara fisik (face to face) apabila domisili keduanya saling
berdekatan maupun melalui surat-menyurat (e.mail) jika kedua pihak
berjauhan. Tidak menutup kemungkinan proses negosiasi dilakukan
secara kombinasi, artinya di samping para pihak bernegosiasi melalui e.
37
mail (biasanya dilakukan pada tahap permulaan negosiasi), juga
dilakukan melalui pertemuan secara langsung (face to face), biasanya
dengan tujuan untuk memperoleh kejelasan mengenai hasil negosiasi
yang diharapkan. Pertemuan ini dapat dilakukan ditempat kediaman,
penjual, pembeli, atau di tempat lain di luar tempat kediaman para pihak
sesuai dengan kesepakatan bersama.
Dalam sengketa electronic commerce dengan obyek sengketa
relatif besar (jumlah maupun harga), bisa saja salah satu pihak
mengajukan gugatan ke pengadilan, tetapi dengan risiko proses
pemeriksaan membutuhkan waktu yang lama serta biaya yang harus
dikeluarkan besar pula. Akibatnya, cara penyelesaian yang akan ditempuh
para pihak melalui cara negosiasi.
Proses negosiasi di awali dengan tukar menukar informasi
(exhange information), antara merchant dan konsumen. Dalam tahap ini
konsumen akan mengajuan keluhan (complaint) kepada penjual
(merchant) berkaitan dengan produk yang diterimanya. Keluhan ini dapat
disampaikan melalui surat, telephone, e.mail atau cara lain. Dalam proses
ini, pembeli atau konsumen harus dapat memberikan rincian pokok
permasalahan yang menjadi keluhannya, apakah mengenai kualitas
barang, kuantitas barang, waktu pengiriman, dan sebagainya.
Setelah dipelajari letak permasalahannya (dalam perusahaan besar
biasanya diadakan pertemuan khusus untuk membahas complaint dari
konsumen yang melibatkan divisi/bagian yang berkaitan dengan proses
pengiriman barang) dan ternyata kesalahan terletak pada pihak penjual
(merchant), maka merchant akan mengajukan beberapa upaya
penyelesaian yang dapat ditempuh, antara lain:
1) mengganti produk (jika kerugian diakibatkan adanya cacad pada
barang atau barang yang dipesan tidak sesuai dengan jenis/tipe
yang dipesan). Pada umumnya tindakan ini dilakukan untuk
pesanan barang dalam jumlah besar, serta untuk menjaga agar
38
hubungan kemitraan antara merchant dan consumer tetap terjaga
dengan baik.
2) mengganti barang tetapi dengan harga yang telah di discount;
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah timbulnya kerugian yang
lebih besar dari perusahaan apabila barang itu dikembalikan ke
Indonesia.
3) mengembalikan biaya pembelian tanpa atau ditambah ganti
kerugian;
4) apabila terjadi kelambatan, diberikan ganti kerugian dalam jumlah
tertentu.
Apabila upaya penyelesaian yang diajukan oleh merchant kepada
konsumen diterima dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah
merealisasikan kesepakatan-kesepakatan tersebut. Apabila di antara
merchant dan konsumen telah terjalin suatu hubungan kemitraan yang
baik, maka kesepakatan yang dimaksud tidak perlu dituangkan dalam
suatu perjanjian tertulis. Sebaliknya, apabila salah satu pihak
menghendaki adanya jaminan kepastian bahwa kesepakatan yang
dicapai akan terealisasi, maka kesepakatan tersebut sebaiknya
dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis.
Mekanisme Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi (conciliation)
juga merupakan suatu proses penyelesaian sengketa yang melibatkan
pihak ketiga yang netral dan tidak memihak.
Seperti juga pada tugas seorang mediator, tugas dari konsiliator
hanyalah sebagai fasilitator untuk melakukan komunikasi di antara para
pihak sehingga pada akhirnya solusi akan dihasilkan oleh para pihak itu
sendiri. Dalam proses konsiliasi, pihak ketiga yang akan membantu, telah
membawa usulan penyelesaian sehingga berperan lebih aktif dalam
mengarahkan para pihak untuk sampai pada kesimpulan penyelesaian
sengketa yang dapat disepakati para pihak.
39
Seorang konsiliator akan melakukan tugas, antara lain: mengatur
waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek
pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika
pesan tersebut tidak mungkin disampaikan secara langsung atau karena
berbagai pertimbangan para pihak tidak mau bertemu muka. Dari hal-hal
tersebut di atas tampak jelas bahwa dalam melakukan proses konsiliasi,
seorang konsiliator harus mampu mengetahui situasi dan kondisi kasus
tersebut, mengetahui apa yang menjadi keinginan para pihak yang
bersengketa serta mengetahui kebutuhan para pihak agar sengketa dapat
diselesaikan secara cepat.
Dari beberapa lembaga penyelesaian sengketa alternatif (ADR)
yang ada, lembaga Arbitrase merupakan yang paling populer
dipergunakan dibandingkan dengan lembaga penyelesaian lainnya. Ciri
khas yang paling menonjol dari lembaga arbitrase dibandingkan dengan
lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya antara lain: proses
beracaranya lebih formal, bahkan memiliki kemiripan dengan lembaga
peradilan, kekuatan putusannya bersifat final and binding, sehingga
memiliki jaminan kepastian pelaksanaan dari putusan yang dihasilkan,
adanya keterikatan dengan hukum yang berlaku, dan sebagainya.
Pasal 1 angka 1 dari Undang-undang Nomor 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan
definisi Arbitrase, yaitu: cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Oleh karena para pihak
telah sepakat untuk menyelesaikan masalah yang timbul melalui lembaga
arbitrase, maka pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk
memeriksanya, sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 11 ayat (1)
Undang-undang Nomor 30 tahun 1999: Adanya suatu perjanjian arbitrase
tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke
40
Pengadilan Negeri. Selanjutnya ayat (2) menyebutkan: Pengadilan Negeri
wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Apabila terjadi sengketa dalam suatu transaksi electronic
commerce dan para pihak telah memilih penyelesaiannya melalui
lembaga arbitrase (pemilihan lembaga arbitrase untuk menyelesaikan
suatu sengketa dapat dilakukan sebelum atau sesudah munculnya
sengketa), maka pihak pemohon haruslah terlebih dahulu mengajukan
suatu pemberitahuan kepada pihak lawannya.
Pemilihan lembaga arbitrase untuk membantu para pihak dalam
upaya menyelesaikan sengketa, biasanya ditempuh setelah cara
penyelesaian melalui lembaga penyelesaian sengketa alternatif (mediasi,
negosiasi, atau konsiliasi) tidak menghasilkan suatu kesepakatan.
Dipilihnya arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lain, (setelah mediasi, negosiasi dan konsiliasi) untuk membantu
penyelesaian sengketa electronic commerce, disebabkan antara lain:
prosedur beracara arbitrase lebih formal serta kekuatan putusan
arbitrase bersifat final and binding, sehingga mengikat para pihak dan
apabila para pihak tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela,
putusan dapat dilaksanakan atas perintah pengadilan.
Kondisi di atas dengan jelas dapat diperhatikan dalam ketentuan
Pasal 6 ayat (9) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan:
Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai
dengan ayat (6) tidak dapat dicapai (usaha perdamaian yang dimaksud
adalah: pertemuan langsung para pihak, penunjukan dan penyelesaian
oleh penasihat ahli atau mediator oleh para pihak, penunjukan mediator
oleh lembaga arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa), maka para
pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha
penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.
41
Prosedur beracara dari Arbitrase telah diatur secara rinci dalam
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, sehingga apabila sengketa electronic commerce
terjadi dan para pihak telah memilih arbitrase sebagai lembaga yang akan
menyelesaikannya, maka para pihak dapat dengan mudah mengikutinya.
3. Kekuatan Mengikat dari Putusan yang Dihasilkan Lembaga
Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) dalam kaitannya dengan
Sengketa Transaksi Electronic Commerce
Konsep penyelesaian sengketa dengan mempergunakan
mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute
Resolution), pada dasarnya bersumber pada upaya mengaktualisasikan
ketentuan tentang kebebasan berkontrak, sehingga putusan akhirnya
berupa perdamaian (apabila ini tercapai) tidak lain merupakan hasil upaya
yang dilakukan oleh pihak-pihak itu sendiri maupun pihak ketiga (jika
mempergunakan bantuan pihak ketiga).
Dalam penyelesaian sengketa melalui mekanisme Penyelesaian
Sengketa Alternatif (di luar lembaga arbitrase) diperolehnya suatu
putusan atas sengketa yang terjadi bukan merupakan suatu keharusan,
dengan kata lain dipilihnya lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif
tidak selalu melahirkan suatu putusan final.
Pemikiran dasar dipilihnya mekanisme penyelesaian sengketa
alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul dikemudian
hari adalah para pihak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui
suatu lembaga di luar pengadilan (out of court), yang mana berdasarkan
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa terdiri dari konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli.
42
Jadi, yang menjadi pokok kesepakatan dari para pihak adalah
dipilihnya suatu lembaga yang akan membantu menyelesaian sengketa di
antara para pihak, dalam hal ini lembaga penyelesaian sengketa alternatif
(Alternative Dispute Resolution).
Kenyataan di atas dipertegas dengan ketentuan Pasal 2 dari
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, yang mana dalam pasal tersebut penekanannya
hanya pada dipilihnya lembaga yang akan menyelesaikan sengketa,
bukan pada diperolehnya suatu putusan atas sengketa yang timbul.
Sebagaimana diketahui, apabila sengketa diselesaikan melalui
lembaga arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa berarti sengketa
yang dimaksud diselesaikan melalui bantuan pihak ketiga yang netral.
Dengan melihat pada peran pihak ketiga yang hanya bertindak
sebagai penengah atau fasilitator, khususnya dalam proses negosiasi,
mediasi, dan konsiliasi, maka keputusan akhir yang diharapkan tercapai,
tetap diserahkan kepada para pihak yang bersengketa, sehingga tidak
jarang hasil akhir dari penyelesaian tersebut menjadi buntu (deadlock)
tanpa menghasilkan keputusan apa-apa.
Kemungkinan tidak diperolehnya hasil akhir berupa kesepakatan
penyelesaian (settlement) di antara para pihak yang bersengketa,
sekalipun telah mempergunakan lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa, juga terlihat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (4) Undang-undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang menyatakan: Apabila para pihak tersebut dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih
penasihat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai
kata sepakat, atau mediator tadi tidak berhasil mempertemukan kedua
belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang
mediator.
43
Dalam setiap bentuk penyelesaian sengketa, baik yang dilakukan
melalui lembaga pengadilan (court) maupun di luar pengadilan (out of
court), masalah yang paling utama dipertanyakan adalah apakah putusan
yang akan dihasilkan itu mengikat atau tidak (binding or non-binding),
dengan perkataan lain apakah putusan tersebut dapat langsung
dilaksanakan (enforceable) atau tidak.
Apabila dibandingkan dengan penyelesaian sengketa perdata
melalui proses beracara di pengadilan (litigasi), permasalahan kekuatan
mengikat dari suatu putusan pengadilan sangat jelas kedudukannya.
Undang-undang memberikan hak kepada seseorang atau badan hukum
dalam keadaan-keadaan tertentu untuk melawan putusan hakim (dengan
mengajukan upaya hukum lain). Apabila terhadap putusan hakim tersebut
tidak ada upaya hukum yang diajukan, maka putusan tersebut telah
mengikat para pihak dan eksekusi dapat segera dilaksanakan.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kekuatan mengikat dari
putusan yang dihasilkan oleh lembaga Arbitrase dan Penyelesaian
Sengketa Alternatif dalam transaksi electronic commerce, juga memiliki
kesamaan dalam hal kekuatan mengikatnya, dengan putusan yang
diambil oleh lembaga peradilan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa alasan yang
dapat dikemukakan:
Pertama, hendaknya diperhatikan pemikiran dasar yang melatarbelakangi
munculnya lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute
Resolution). Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pertama dari
tulisan ini bahwa salah satu alasan dipilihnya lembaga Penyelesaian
Sengketa Alternatif untuk menyelesaikan sengketa bisnis adalah Proses
litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya yang mahal
karena pemeriksaan harus melewati beberapa tahapan pemeriksaan yang
sangat prosedural serta dimungkinkannya para pihak untuk mengajukan
44
upaya hukum lain terhadap suatu putusan yang telah diputuskan oleh
majelis hakim, yaitu banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Oleh karena itu, merupakan suatu penyimpangan dari pikiran dasar
(ide) dibentuknya lembaga arbitrase, apabila terhadap putusan lembaga
tersebut dimungkinkan adanya upaya hukum lain untuk menolaknya.
Kekuatan mengikat dari putusan yang diambil oleh lembaga
Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution),
khususnya lembaga arbitrase telah diatur dalam Pasal 60 Undang-
undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang menyebutkan: Putusan arbitrase bersifat
final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Selanjutnya Penjelasan Pasal 60 menyatakan: Putusan arbitrase
merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan
banding, kasasi atau peninjauan kembali.
Kedua, dipilihnya lembaga arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa
untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul di antara para pihak
pada dasarnya merupakan hasil kesepakatan dari para pihak yang
dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Oleh karena itu, pelaksanaan
dari keputusan/kesepakatan yang dihasilkan, tentunya sangat tergantung
dari kesediaan para pihak untuk menaatinya (khususnya untuk keputusan
yang dihasilkan oleh lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar
arbitrase).
Apabila putusan/kesepakatan yang dihasilkan telah memuaskan
para pihak, dan dianggap telah sesuai dengan apa yang diharapkan
tentunya putusan/kesepakatan mudah untuk dilaksanakan. Namun,
apabila putusan/kesepakatan yang dihasilkan tidak memuaskan salah
satu pihak atau kedua belah pihak, tentunya para pihak akan mencari
penyelesaian lain seperti melalui lembaga arbitrase atau pengadilan.
45
Apabila terhadap putusan yang diperoleh melalui lembaga
penyelesaian sengketa alternatif lainnya, seperti negosiasi, mediasi, dan
konsiliasi, para pihak telah sepakat dengan penyelesaian (settlement)
yang dihasilkan, biasanya kesepakatan tersebut akan dituangkan dalam
suatu agreement dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang
bersengketa serta pihak ketiga yang membantu penyelesaian, guna
menjamin kepastian pelaksanaan dari kesepakatan tersebut.
Dalam agreement tersebut akan dimuat pula ketentuan yang
menyatakan “apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan
yang telah dicapai, maka pihak lainnya dapat meminta pengadilan untuk
memaksa (enforce) dilaksanakannya kesepakatan tersebut (judicial
proceeding).
F. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian serta analisis yang telah penulis uraikan
pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang mendorong para pihak untuk memilih
Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam menyelesaikan sengketa
yang timbul dalam transaksi electronic commerce adalah: prosedur
penyelesaian sengketa dapat berjalan dengan cepat, biaya murah,
terjaganya hubungan baik di antara para pihak yang bersengketa,
kerahasiaan dari masing-masing pihak tetap terjamin
(confidentiality), pihak yang akan membantu dalam penyelesaian
sengketa tidak berpihak (impartiality) serta adanya jaminan bahwa
pihak ke tiga yang akan membantu dalam penyelesaian sengketa
memiliki keahlian (expert) dalam menyelesaikan sengketa;
2. Terdapat perbedaan mekanisme penyelesaian sengketa
dalam sengketa electronic commerce, antara lembaga Arbitrase
46
dan Penyelesaian Sengketa Alternatif lainnya, seperti melalui
Mediasi, Negosiasi, dan Konsiliasi. Mekanisme penyelesaian
sengketa melalui Arbitrase telah tersusun secara formal dan
sistematis, sehingga para pihak tidak memiliki keleluasaan untuk
membuat proses beracara sendiri. Proses beracara pada lembaga
Arbitrase di Indonesia (BANI) telah diatur dalam Undang-undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, sedangkan proses beracara melalui mediasi, negosiasi,
dan konsiliasi, mekanisme pelaksanaannya diserahkan pada
kesepakatan para pihak yang bersengketa, dengan dibantu oleh
pihak ketiga yang netral, sebagai penengah atau fasilitator;
3. Kekuatan mengikat dari putusan yang dihasilkan melalui
lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Disputes
Resolution) dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian, terhadap putusan
lembaga Arbitrase, berdasarkan Pasal 60 Undang-undang Nomor
30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, sifatnya final dan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan mengikat para pihak, sedangkan terhadap
putusan/kesepakatan yang dihasilkan melalui lembaga Negosiasi,
Mediasi dan Konsiliasi, pelaksanaannya diserahkan pada itikad
baik dari para pihak, dan untuk menjamin dilaksanakannya hasil
kesepakatan, para pihak dapat meminta pengadilan untuk
memaksa dilaksanakannya keputusan tersebut.
47
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, Howard E, dan Doenberg, Richard L, (1997), How Electronic
Commerce Works, Tax Notes International
Alinafiah dan Prasetyo, (2000), Kesiapan Infrastruktur dan Sistem Antaran
Tepat Waktu dalam Mendukung E-Commerce, makalah pada
seminar “E. Commerce Revolusi Teknologi Informasi dan
Pengaruhnya pada Peta Perdagangan Global yang”
diselenggarakan oleh KM ITB Bandung, 15 April 2000
Budhijanto, Danrivanto, (2002), Aspek Hukum “Digital Signature” dan
“Certification Authorities” dalam Transaksi E-Commerce, artikel
dalam Cyberlaw Suatu Pengantar, ELIPS Project, Jakarta
Badrulzaman, Mariam Darus, (2001), Mendambakan Kelahiran Hukum
Saiber (cyber law) di Indonesia, Pidato pada upacara Purna Bhakti
sebagai Guru Besar tetap di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Medan
Chatterjee C, (2000), Negotiations Techniques in International
Commercial, Ashgate Publishing, England
Diana, Anastasia, (2001), Mengenal E-Business, Andi, Yogyakarta
Fuady, Munir, (2000), Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian
Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bhakti, Bandung
Goodpaster, Gary, (1995), Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa,
artikel dalam Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta
Harahap, Yahya. M et al. (1991), Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta
Imamulhadi, (2002), Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan secara
Elektronik, artikel dalam Cyberlaw Suatu Pengantar, ELIPS Project,
Jakarta
48
Kuner, Christopher, (2000), Legal Obstacles to ADR in European
Business-to-Consumer Electronic Commerce (article)
Kantaatmadja, Komar, (2001), Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR
di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung
Kantaatmadja, Mieke Komar, (2002), Pengaturan Kontrak untuk
Perdagangan Elektronik, artikel dalam Cyberlaw Suatu Pengantar,
ELIPS Project, Jakarta
Margono, Suyud, (2000), ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan
Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta
Munir, Abu Bakar, (1999), Cyber Law Policies and Challenges,
Butterworths Asia, Malaysia
Nolan-Haley, Jacqueline M, (1992), Alternative Dispute Resolution in a
Nutshell, West Publishing Co, St. Paul, Minnesota, USA
Purbo, Onno, W. dan Wahyudi, Aang Arif, (2001), Mengenal E-
Commerce, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta
Sanusi, Arsyad, M, (2001), Transaksi Bisnis dalam Elektronic Commerce
(E. Commerce) Studi tentang Permasalahan-permasalahn Hukum
dan Solusinya, artikel dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 16
Vol. 8, 2001
Toar, Agnes M, (1995), Uraian Singkat tentang Arbitrase Dagang di
Indonesia, artikel dalam Arbitrase di Indonesia, Ghalia, Jakarta
Ustadiyanto, Riyeke, (2001), Framework e-Commerce, Andi, Yogyakarta
Williams, Amy-Lyne, (2001), Dispute Resolution and Arbitration for
Electronic Commerce
49