1etika bisnis modul i ii
TRANSCRIPT
Modul Seri 1-2 : Ethic & Legal Aspect In Busines
DASAR – DASAR ETIKA BISNIS
Disusun Oleh :
Amyardi, SH, SE, MM.
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER AKUNTANSI - FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA 2011
I. Apa itu etika bisnis?
Kata “etika” dan “etis” tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan
karena itu pula “etika bisnis” bias berbeda artinya. Suatu uraian sistematis
tentang etika bisnis sebaiknya dimulai dengan menyelidiki dan
menjernihkan cara kata seperti “etika” dan “etis” dipakai. Perlu diakui, ada
beberapa kemungkinan yang tidak seratus persen sama (walupun
perbedaannya tidak seberapa) untuk menjalankan penyelidikan ini. Cara
yang kami pilih untuk menganalisis arti-arti “etika” adalah membedakan
antara “etika sebagai praktis” dan “etika sebagai refleksi”.
Etika sebagai praktis berarti: nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh
dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walupun seharusnya
dipraktekkan. Dapat dikatakan juga, etika sebagai praktis adalah apa yang
dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Lita
sering mendengar atau membaca kalimat-kalimat seperti ini: “Dalam dunia
modern, etika bisnis mulai menipis”, “Ada unsur tidak etis dalam akuisisi
internal”, “Semangkin terasa urgensi membangun etika bisnis”, Tegakkan
etika bisnis dengan Undang-Undang Anti Korupsi”, dan sebagainya.
Semua kalimat ini diambil dari surat kabar dan hampir setiap hari kita biasa
membaca kalimat-kalimat sejenis. Perlu kita perhatikan maksud kata “etika”
dan “etis” dalam contoh ini. Etika sebagai praksis sama arti dengan moral
atau moralitas: apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas
dilakukan, dan sebagainya.
Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai
refleksi kita berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa
yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi
berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil; praksis etis sebagai
obyeknya. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya
perilaku orang. Etika dalam arti ini dapat dijalankan pada taraf popular
maupun ilmiah. Dalam surat kabar atau majalah berita hamper setiap
haridapat kit abaca komentar tentang peristiwa-peristiwa yang berkonotasi
etis: perampokan, pembunuhan, kasus korupsi, dan banyak lain lagi. Dan
setiap hari ada banyak sekali orang yang membicarakan peristiwa-peristiwa
itu. Mereka semua melibatkan diri dalam etika sebagai refleksi pada taraf
popular. Tetapi etika sebagai fefleksi bias mencapai taraf ilmiah juga. Hal itu
terjadi, bila refleksi dijalankan dengan kritis, metodis, dan sistematis, karena
tiga cirri inilah membuat pemikiran mencapai traf ilmiah. Pemikiran ilmiah
selalu bersifat kritis, artinya tahu membedakan antara yang tahan uji, antara
yang emmpunyai dasar kukuh dan yang mempunyai dasar lemah. Pemikiran
ilmiah bersifat metodis pula, artinya tidak semeraut tetapi berjalan secara
teratur dengan mengikuti satu demi satu segala tahap yang telah
direncanakan sebelumnya.
Sebetulnya disisi praksis dan refleksi ini tidak menandai paham “etika”
saja. Dibidang lain pun terkadang bias kita bicara tentang praksis disamping
refleksi (ilmu). Contoh jelas adalah ekonomi. Dengan “ekonomi” kita
maksudkan kegiatan jual-beli; membelanjakan dan menerima uang ; untuk
produksi, distribusi, membeli barang. Arti itu kita maksudkan , bila kita
katakana umpamanya bahwa ekonomi di suatu daerah sedang lesu atau
bahwa suatu Negara dilanda resesi ekonomi. Mata pelajaran ekonomi
merupakan refleksi ilmiah atas kegiatan ekonomi dalam arti praktis. Ahli
ekonomi adalah ilmuan yang belum tentu secara langsung melibatkan diri
dalam ekonomi sebagai praksis. Ekonomi sebagai praktis dan ekonomi
sebagai ilmu jelas harus dibedakan, biarpun tentu ada hubungan erat.
Hal itu tentu tidak berarti bahwa etika filosofi ingin memiliki monopoli
dalam membahas topik - topik moral. Banyak masalah etis dibicarakan para
taraf popular dan hal itu selalu akan terjadi. Ilmu lain juga bisa
menyinggung masalah-masalah etis, walaupun hanya sepintas lalu,
misalnya ilmu-ilmu sosial. Tetapi hanya etika filosofi, topik - topik moral
dibahas secra tuntas dengan metode dan sistematika khusus yang sesuai
dengan bidang moral. Masalah-masalah keadilan banyak sekali dibicarakan
dalam masyarakat dan bukan saja dibicarakan, tetapi sering menjadi juga
objek perjuangan dan aksi sosial.
Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya perilaku
manusia. Karena etika dalam arti ini sering disebut juga “filsafat praktis”.
Cabang-cabang filsafat lain membicarakan masalah yang tampaknya lebih
jauh dari kehidupan konkret. Namun demikian, pada kenyataan etika
filosofis pun tidak jarang dijalankan pada taraf sangat abstrak, tanpa
hubungan langsung dengan realitas sehari-hari. Sampai-sampai filsuf
Austria-Inggris, Ludwig Wittgenstein, pernah mengungkapkan
keheranannya, karena ada buku etika yang tidak menyebut satu pun problem
moral yang sesungguhnya. Perkembangan baru ini sering disebut “etika
terapan”. Mula-mula topic konkret itu menyangkut ilmu-ilmu biomedis,
karena di situ kemajuan ilmiah menimbulkan banyak masalah etis yang
baru. Tidak lama kemudian etika terapan memperluas perhatiannya ke topik
- topik actual lainnya, seperti lingkungan hidup, persenjataan nuklir,
pengunaan tenaga nuklir dalam pembangkit listrik tenaga nuklir, dan lain-
lain.
Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan
pada tiga taraf: taraf makro, meso dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan
tiga kemungkinan yang berbeda untuk menjalankan kegiatan ekonomi dan
bisnis. Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari
system ekonomi sebagai keseluruhan. Jadi, di sini masalah-masalah etika
disoroti pada skala.
Pada taraf meso (madya atau menengah), etika bisnis menyelidiki
masalah-masalah etis dibidang organisasi. Organisasi di sini terutama berarti
perusahan, tapi bisa juga serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan
profesi, dan lain-lain.
Pada taraf mikro, yang difokuskan ialah individu dalam hubungan
dengan ekonomi atau bisnis. Disini dipelajari tanggung jawab etis dari
karyawan dan majikan, bawahan dan manajer, produsen dan konsumen,
pemasok dan investor.
Georges Enderle memperlihatkan bahwa etika bisnis di semua Negara
tidak memberi perhatian yang sama kepad taraf-taraf tadi. Etika bisnis di
daratan eropa (nggris dan Irlandia tidak termasuk) terutama menaruh
perhatian untuk masalah taraf mikro. Di jepang perhatian etika bisnis
terutama terfokuskan pada masalah taraf meso. Sedangkan di Amerika Utara
(Ameriak Serikat dan Kanada) etika bisnis terutama menyibukkan diri
dengan masalah etis pada taraf mikro dan baru kemudian dengan masalah
taraf meso.
Akhirnya boleh ditambahkan catatan tentang nama “etika bisnis”. Di
Indonesia studi tentang masalah etis dalam bidang ekonomi dan bisnis sudah
biasa ditunjukkan dengan nama itu, sejalan dengan kebiasaan umum dalam
kawasan berbahasa inggris. Tetapi dalam bahasa lain terdapat banyak
variasi. Dalam bahasa Belanda pada umumnya dipakai nama bedriifsethiek
(etika perusahaan) dan bahasa Jerman unternehmensethik (etika usaha).
Dalam bahasa Inggris dipakai corporate ethics (etika korporasi). Namun
demikian, pada dasarnya semua nama ini menunjuk kepada studi tentang
aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis.
II. Aspek – Aspek / Dimensi pokok dari bisnis
Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak factor
turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Anatar lain ada factor
organisatoris-manajerial, ilmiah-teknologis, dan politik-sosial-kultural.
Kompleksitas bisnis itu berkaitan langsung dengan kompleksitas masyarakat
modern sekarang. Sebagai kegiatan social, bisnis dengan banyak cara terjalin
dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Guna menjelaskan
menjelaskan kekhususan efek etis ini, dalam suatu pendekatan pertama kita
membandingkannya dulu dengan aspek-aspek lain, terutama aspek ekonomi
dan hokum. Sebab, bisnis sebagai kegiatan social bias disoroti sekurang-
kurangnya dari tiga sudut pandang ekonomi, hokum, dan etika.
a. Sudut pandang ekonomis
Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah
tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-
memperkerjakan, dan interaksi manusiawi lainnya, dengan maksud
memperoleh keuntungan . mungkin bisnis dapat dilukiskan sebagai
kegiatan ekonomis yang kurang lebih terstruktur atau terorganisasi untuk
menghasilkan untung. Yang penting ialah kegiatan antar-manusia ini
bertujuan mencari untung dank arena itu menjadi kegiatan ekonomi.
Tetapi perlu segera ditambahkan, pencarian keuntungan dalam bisnis
tidak bersifat sepihak, tetapi diadakan dalam interaksi. Bisnis
berlangsung sebagai komunikasi social yang menguntungkan untuk
kedua belah pihak yang melibatkan diri. Bisnis bukanlah karya amal.
Karena itu bias timbul salah paham, jika kita mengatakan, bisnis
merupakan suatu aktivitas social. Kata “social” di sini tidak dimaksudkan
dalam arti “suka membantu orang lain”, sebagaimana sering dimengerti
dalam bahasa Indonesia, khususnya dalam konteks popular. Bisnis justru
tidak mempunyai sifat membantu orang dengan sepihak, tanpa
mengharapkan sesuatu kembali. Bisnis selalu bertujuan mendapatkan
keuntungan dan perusahaan dapat disebut organisasi yang didirikan
dengan tujuan meraih keuntungan.
Teori ekonomi menjelaskan bagaimana dalam system ekonomi pasar
bebas para pengusaha dengan memanfaatkan sumber daya yang langka
menghasilkan barang dan jasa yang berguna untuk masyarakat. Para
pemiliki perusahaan mengharapkan laba yang bias dipakai untuk
ekspansi perusahaan atau tujuan lain. Jika kompetisi pada pasar bebas
berfungsi dengan semestinya, akan menyusul efisiensi ekonomis, artinya
hasil masksimal akan dicapai dengan pengeluaran minimal. Hal itu akan
tampak dalam harga produk atau jasa yang paling menarik untuk public.
Dipandang dari sudut ekonomi, bisnis yang baik adalah bisnis yang
membawa banyak untung. Orang bisnis akan selalu berusaha membuat
bisis yang baik. Perusahaan harus bersaing dengan perusahaan lainnya.
Jika produktivitas menurun, biaya produksi akan bertambah, sehingga
harga produknya perlu di naikkan. Tetapi dengan demikian harga
produknya bisa menjadi terlalu tinggi, dibandingkan dengan harga yang
ditetapkan oleh pesaing. Akibat tingkat produksi cenderung menurun,
perusahaan bias memasuki daerah “angka merah”, fenomena yang sangat
ditakuti setiap manajer.
b. Sudut pandang moral
Dengan tetap mengakui peran sentral dari sudut pandang ekonomis
bisnis, perlu segera ditambahkan adanya sudut pandang lain bagi yang
tidak boleh diabaikan, yaitu sudut pandang moral. Dalam sejarah industri
modern sudah terlalu banyak terjadi kecelakaan yang sebenarnya bias
dihindarkan. Para manajer pabrik memikul tanggung jawab besar, bila
terjadi kecelakaan yang menewaskan para pekerja, merugikan kesehatan
pekerja dan masyarakat di sekitar pabrik atau merusak lingkungan.
Mengejar keuntungan merupakan hal yang wajar, asalkan tidak tercapai
dengan merugikan pihak lain. Jadi, ada batasannya juga dalam
mewujudkan tujuan perusahaan.
c. Sudut Pandang Hukum
Terdapat kaitan erat antara hokum dan etika. “ Quid Leges Sine Moribus
“ yaitu apa artinya undang – undang kalau tidak disertai moralitas “.
Etika selalu harus menjiwai hukum baik dalam proses terbentuknya
undang – undang maupun dalam pelaksanaan peraturan hukum , etika
atau moralitas memegng peranan penting.
Walaupun terdapat hubungan erat antara norma hokum dan norma etika,
namun dua macam norma itu tidak sama. Disamping sudut pandang
hokum, kita tetp membutuhkan sudut pandang moral. Untuk itu dapat
dikemungkakan beberapa alas an :
1. Banyak yang bersifat tidak etis , sedangkan menurut hokum tidak
dilarang.
Contoh : Maneger tidak boleh mengambil keputusan yang
membahayakan karyawan atau lingkungan hidup, atau memindahkan
perusahaan dari suatu Negara ke Negara lain, dimana bahaya akan
kerusakan lingkungan dilarang di Negara asal, tetapi terhadap bahaya
tersebut tidak dilarang di negra yang dituju.
2. Untuk perlunya sudut pandang moral di samping sudut pandang
hukum adalah bahwa proses terbentuknya undang – undang atau
peraturan – peraturan hukum lainya memakan waktu yang lama ,
sehingga masalah – masalah baru tidak segera diatur bias diatur
secara hukum.
Contoh : Telah terjadi kerusakan lingkungan yang cukup parah , baru
muncul hukum yang mengatur tentang bahaya kerusakan lingkungan.
3. Hukum itu sendiri sering kali bias disalahkangunakan. Hal ini
disebabkan perumusan hukum tidak pernah sempurna, sehingga orang
yang tidak beritikad buruk bias memamfaatkan celah – celah dalam
hukum ( the loopholes of the law ).
4. Bisa terjadi, memang hukum dirumuskn dengan baik , tetapi Karena
suatu alasan yang sulit untuk dilaksanakan, misalnya, karena sulit
dijalankan kontol yang efektif. Tidak bisa diharpkan , praturan hukum
yang tidak ditegakkan akan ditaati juga.
5. Sudut pandang moral di smping sudut pandang hukum adalah bahwa
hukum kerap kali memnpergunakan pengertian yang dalam konteks
hukum itu sendiri tidak di defenisikan dengan jelas dan sebenarnya
diambil dari konteks moral.
d. Sudut Sosial.
Kegiatan suatu perusahan dalam menciptakan barang dan jasa idak akan
terlepas dari hubungan dengan berbagai elemen, unsure, orang, dan
jaringan yang saling terhubung ( interconnected ), saling berinteraksi (
interacted ) , saling bergantung ( interdepended), dan saling
berkepentingan. Disamping itu keberadaan perusahaan juga dipengaruhi
oleh :
1. Faktor Internal .
Sumberdaya manusia ( tenaga kerja, manajer, eksekutif ).
Sumberdaya non- manusia ( uang , peralatan, bangunan , dan
sebagainya )
2. Faktor eksternal
Faktor manusia ( pemasok , pelanggan penanam modal,
pemerintah, dan masyarakat ).
Factor non - manusia
Dari factor diatas , yang sangat dominan adalah manusianya yang
memiliki kepentingan ( interst ) dan kekuatan atau kekuasan (
force/power ) untuk mendukung atau menghambat keberadaan dan
pertumbuhan perusahaan. Perusahaan akan mampu hidup ( exist ) bila
kepentingan semua fihak ini- tidak semata – mata kepentingan
pemilik / pemegang saham – dapat diakomodasi. Bila ini dapat
dilakukan , maka perusahan berfungsi melayani masyarakat dan
keberadaanya diperlukan oleh masyarakat baik yang ada dalam
perusahaan maupun yang ada diluar perusahan tersebut. Oleh karena
itu , bila perusahaan dilihat dari sudut demensi sosial, tujuan
pokok keberadaan perusahaan adalah untuk menciptakan barang
dan jasa yang diperlukan oleh masyrakat, sedangka keuntungan
akan dating dengan sedirinya bila perusahaan mampu melayani
kebutuhan masyarakat, pelanggan ini selanjutnya akan
melahirkan pradigma dan konsep “ stakeholders “ dalam
mengelola perusahaan.
e. Sudut Spritual
Kegiatan bisnis dalam pandangan barat tidak pernah dikaitkan dengan
agama. Padahal kalau ditelusuri dalam agama – agama besar , ada
ketentuan yang sangat jelas tentang kegiatan bisnis ini. Dalam agama
islam dijumpai suatu ajaran bahwa menjalankan kegiatan bisnis itu
merupakan bagian dari ibadah , asalkan kegiatan bisnis ( ekonomi ) diatur
berdasarkan whyu yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Suanah Rasul
( Dawam Rahardjo, 1990 ).
Selanjutnya Dawam Rahardjo mengatakan bahwa ada tiga doktrin dalam
Islam , yaitu :
a. Ibadah,
b. Akhirat,
c. Amal saleh
Dengan bisnis secara spiritual, atau kegiatan bisnis tercerahkan .
Kegiatan bisnis yang spiritual tumbuh berdasarkan paradigm sebagai
berikut :
Pengelola dan pemangku kepentingan ( stakeholders ) menyadari
bahwa kegiatan bisnis adalah bagian dari ibadah.
Tujuan bisnis adalah untuk memajukan kesejateraan semua
pemangku kepentingan atau masyarakat ( prosperous society ).
Dalam menjalankan aktivitas bisnis, pengelola mampu menjamin
kelestarian alam ( planet conservation )
III. Tolak Ukur Untuk Tiga sudut pandang Ini :
1. Hati Nurani
Suatu perbuatn adalah baik , jika dilakukan sesuia dengan hati nurani,
dan suatu perbuatan lain adalah buruk, jika dilakukan bertentangan
dengan suara hati nurani. Dalam bertindak bertentangan dengan hati
nurani , kita menghancurkan integritas pribadi , karena kita
menyimpang dari keyakinan kita yang terdalam . Hati nurani kita
mengikat kita dalam arti, kita HARUS melakukan apa yang apa yang
diperintahkan hati nurani dan TIDAK BOLEH melakukan apa yang
berlawanan dengan suara hati nurani, termasuk juga orang yang tidak
beragama. Jadi keputusan yang diambil berdasarkan moral dan hati
nurani, keputusan yang diambil “ dihadapan Tuhan “.
2. Kaidah Emas.
Cara yang lebih objektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral
adalah mengukurnya dengan Kaidah Emas yang berbunyi “ hendaklah
memperlkukan orang lain sebagimana Anda sendiri ingin
diperlakukan.
Bila dirumuskan secara negatif : kaidah emas berbunyi “ Janganlah
melakukan terhadap orang lain, apa yang anda sendiri tidak ingin akan
dilakukan terhadap diri anda “.
3. Penilaian Umum.
Menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini
disebut juga “ audit social “. Sebagimana melalui “ audit “ dalam arti
biasa sehat atau tidak sehatnya keadaan finasial suatu perusahan
dipastikan, demikian juga kualitas “ etis “ suatu suatu perbuatan
ditentukan oleh penilaian masyarakat umum.
IV. Kritik Atas Etika Bisnis
1. Etika Bisnis Mendiskriminasi
Peter Drucker “ Etika bisnis menjalakan semacam diskriminasi.
Mengapa dunia bisnis harus dibebankan secara khusus dengan
etika ?. Hanya ada suatu etika yang berlaku untuk perbuatan semua
orang “ Penguasa atau rakyat jelata, kaya atau miskin, yang kuat
atau yang lemah”.
Kritikan ini ditantang oleh Hoffman dan Jennifer Moore” bahwa
pengkritik tidak mempelajari denga serius literature tentang etika
bisnis. Bisnis harus diperlakukan seperti semua kegiatan manusia
lainnya.
2. Etika Bisnis Itu Kontradiktif.
Dari sekelompok skepsis, mereka bertanya : MASA mau
memikirkan etika dalam menjalankan bisnis ?. Etika bisnis
mengandung suatu kontradiksi. Dunia bisnis itu ibarat rimba raya ,
dimana tidak ada tempat untuk etika , tidak ada contoh lebih jelas
dari pada justru bisnis.
3. Etika bisnis Tidak Praktis
Keberatan bahwa etika bisnis ( sebagai ilmu ) , dalam pandangan
kapitalisme neoliberalistis dimana kewajiban yang terpenting
adalah menghasilkan laba paling besar untuk pemegang saham ,
dalam etika tidak melayani tujuan itu.
4. Etikawan Tidak Bisa Mengambil Alih Tanggungjawab.
Setiap manusia merupakan pelaku moral yang bertanggungjawab
atas perbuatannya sendiri ( hal ini salah ). Denga etika bisnis bisa
membantu untuk mengambil keputusan moral yang dapat
dipertanggungjawabkan , tapi tidak berniat mengganti tempat dari
para pelaku moral dalam perusahaan. Oleh Karena itu, etika bisnis
bisa memberikan sumbangsih dalam meningkatkan kesadaran
moral di bidang bisnis. Etika bisnis bisa membuka mata pebisnis
untuk segi – segi etis dari usahannya.. Etika bisnis dapat member
informasi yang berharaga sebelum pebisnis megambil keputusan
moral yang diangggap sulit.
V. Konsep dasar etika Bisnis
1. Etika.
Sebagai prinsip – prinsip tentang tingkah laku yang benar atau
yang baik. Etika juga berarti system prinsip atau nilai – nilai moral,
sedangkan ethics ialah ketentuan – ketentuan atau ukuran yang
mengatur tingkah laku para anggota profesi.
2. Moral.
a. Sesuatu yang menyangkut penilaian atau pengajaran tetntang
kebaikan atau keburukan watak atau kelakuan.
b. Sesuatu yang bersetujuan dengan ukuran – ukuran mampan
tentang kelakuan yang baik.
c. Sesuatu yang timbul dari hati nurani.
d. Hal yang mempunyai dampak kejiwan bukan keragaan.
e. Hal yang didasarkan kelayakan dari pada bukti.
f. Prinsip yang diajarkan. ( atau disimpulkan ) lewt sebuah cerita
atau kejadian.
g. Morals ( inggris ), aturan – aturan atau kebiasaan ingkah laku,
khususnya tingkah laku seksual.
3. Moralitas.
Sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik
sebagai manusia. Moralitas member aturan atau petunjuk konkrit
tentang bagaimana ia hidup, bagaimana ia hidup, bagaimana ia
harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dan
bagimana kita hidup secara baik, dan bagimana menghindari
prilaku yang tidak baik.
4. Nilai Moral
Nilai moral, berakibat bahwa seseorang bersalah atau tidak
bersalah , karena ia mempunyai tanggungjawab. Nilai moral
berkaitan dengan :
a. Tanggung jawab.
b. Terkait dengan hati nurani.
c. Terkait dengan kewajiban.
d. Bersifat formal
5. Norma Moral
Untuk menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk, benar
atau salah, ada standar tertentu, yang kita kenal dengan norma
moral. Dengan alas an yang kuat , maka norma moral dan etika
sangat penting :
a. Umat manusia dalam mengambil berbagai keputusan , disitu
ada cara benar atau salah dalam berbuat sesuatu , sedang etika
adalah prilaku manusia untuk menentukan apakah tindakan
tersebut benar atau salah.
b. Agar bisa menikmati kehidupan sosial yang teratur, manusia
memerlukan kespakatan pemahaman, prinsip dan berbagai
ketentuan prosedur yang menyangkut pola perilaku, etika
mencari prinsip yang kokoh kuat dalam berperilaku, karena
dengan demiian hidup lebih bermakna.
c. Dalam kehidupan yang modern sekarang ini perlu meninjau
ulang kembali norma – norma yang berlaku, dan etika yang ada
atau yng diwarisi, apakah perlu analis dan ditinjau kembali dan
adakalanya diinternalisasi dalam berbagai bentuk , seperti rasa
tanggunjawab, hati nurani individu, budaya malu dan
penyesalan.
VI. Tingkat Kesadaran , Teori Etika , dan Paradigma Pengelolaan
Perusahaan:
Tingakat kesadaran
Teori etika Paradigma Perusahaan Sasaran Perusahaan
Kesadaran Hewani Teori egoism Teori Hak
Pradigma Kepemilikan
Paradigma Pemegang Saham
.
Memperoleh kekayaan keuntungan optimal bagi pengelola yang sekaligus merangkap sebagai pemilik perusahaan
Pengelola ( manajemen ) sudah terpisah dari para pemegang selku pemilik perusahaan
Sasaran perusahaan adalah memperoleh keuntungan optimal bagi para pemegang
saham
Kesadaran Manusiawi
Teori utilitarianisme
Teori keadilan ( fairness theory
Teori kewajiban ( deontologi )
Paradigm ekuitas ( equity paradigm )
Paradigma Perusahaan ( enterprise paradigm )
Sasaran pengelolaan perusahaan untuk meningkatkan kekayaan dan keuntungan para investor ( pemegang saham dan kreditur ).
Sasaran pengelolaan perusahaan adalah untuk kesejahteraan seluruh masyarakat ( semua pemangku kepentingan/ stakeholders ).
Kesadaran transdental
Teori teonom Pradigma perusahaan tercerahkan (enlightened company ).
Tujuan pengelolaan perusahaan adalah sebagai bagian dari ibadah kepada tuhan melalui pengabdian yang tulus untuk kemakmuran bersama dan menjaga kelestarian alam.
VII. Pentingnya Standar Etika global
Salah satu tantangan yang dihadapi masyarakat demokratis di zaman
informasi modern sekrang ini ialah bagaimana merek dapat menjaga
social order ( tata tertib masyarakat ) menghadapi perubahan
teknologi dan perubahan kehidupan ekonomi . masalah ialah aturan
hidup siapa dan bagimana agar aturan hidup tersebut dapat berlaku ?
Di mana masyrakat barat yang telah maju , bebas dan beraneka ragam
budaya, etnis dan kepentingan, ternya memiliki budaya tertentu yang
terkait dengan konsep hidup mereka . budaya merupakan pilihan orang
untuk menciptakan apa yang menjadi suara hatinya. Oleh karena itu
tidak ada aturan moral yang lebih baik dibandingkan aturan moral
dibandingkan aturan moral yang lain yang kedudukannya semacam
subset / bagian dari perangkat norma, dan merupakan bahagian dari
social capital ( Francis Fukuyama , 2000:10 dan 15 ).
Namun perlu disadari, selain norma hidup yang bersumber pada
budaya mupun hasil teori manusia, masih ada sumber – sumber norma
yang lain, yaitu yang bersumber pada keyakinan agama yang dianut
serta hati nurani manusia, yang akan memberikan jawaban terakhir
pilihan norma yang mana yang akn menjadi landasan moral dikala
menghadapi berbagai alternative apa yang akan dilakukan.
Kalau kemudian budaya masyarkat barat yang lebih kuat dalam arti
politik, ekonomi maupun teknologi bertemu dengan masyarakat non –
barat di arena trasaksi bis global, siapa yang menjadi penentu etika
bisnisnya ?
Apakah Negara – Negara non – barat yang akan mengikuti budaya
mereka termasuk norma dan nilai hidup dibidag bisnis atau adakah
nilai – nilai dan norma bisnis yang bisa disepakati bersama, atau
hanya ditentukan secara unilateral oleh Negara di mana kegiatan bisnis
itu berlansung? Itulah yang akn dicoba menjawabnya, dengan
mengemungkakan berbagai alternative norma yang ditawarkan.
Jhon Dalla Costa menambahkan setidaknya ada dua hal yang
menyebabkan pentingnya landasan yang sama tentang etika bisnis
dalam transaksi global :
1. Kebutuhan materi bagi dunia yang sedang berkembang dan
pencapaian materi bagi dunia yang sudah maju yang juga ingin
semangkin kaya , menyebabkan kapasitas sumber daya alam di
dunia yang sudah hamper habis terpakai bahkan sudah mendekati
kerusakan total. Demikian juga permintaan ( D ) dan penawaran
( S ) yang dijadikan input dalam model ekonomi kita , dalam situasi
yang tegang sekarang ini perlu menjadikan moral sebagai
komponen dalam trasaksi pasar global.
2. Keterkaitan yang tidak pernah berakhir / bersifat abadi di mana
keamanan, kebebasan, hak dan kewajiban, saling terkait secara erat
dalam masyarakat. Hal tersebut saling terkait satu dengan yang
lainnya . Keberadaan hak hak , membuat kewajiban dan tanggung
jawab tidak dapat dihindari . Peristiwa – peristiwa dunia berpegaruh
bagi nilai – nilai pribadi dan sebaliknya pilihan – pilihan individu
mempengaruhi relita global. Problem global juga menjadi problem
kita. Menurut Juliet B.Schor kita dalam situasi buah simalkama . Di
suatu sisi prioritas pertumbuhan tanpa piker panjang sedang
mengarah pada penghancuran ekologi, sedangkan disisi yang lain
krisis ekologi disaat terjadi jurang perbedaan penduduk dunia yang
maju dan kurang makan, tanpa penjagan kesehatan yang memadai,
problem perumahan, pengangguran dan sebagainya . sehingga ada
pasangan isu moral yang saling terkait; bertanggung jawab
mengelola keterbatasan lingkungan, dan mengelola ketidak adilan
( Costa, 1998: 34-35 ).
VIII. Aspek – aspek Etis dari Korporasi Multinasional
Korporasi mltinasional ( multinasional corporations- MMC ). Adalah
perusahaan yang mempunyai investasi lansung dalam dua Negara atau
lebih . Jadi, perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan
beberapa negara, dan perusahaan tersebut meiliki kekuatan ekonomi
yang sangat besar, apabila beroperasi dinegara- Negara yang
mempunyai kekuatan yang setaraf, hal tersebut mudah diatasi, akan
tetapi apabila beroperasi dinegara yang berkembang sering terjadi
penyalah gunaan yang tidak etis.
Sebagai perbandingan , untuk menilai etis atau tidak etisnya kegiatan
MMC , ( De George ):
1. Korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan
kerugian lansung. biasanya tidak memperdulikan rakyatnya.
2. Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak mamfaat
dari pada kerugian di man mereka beroperasi.
3. Dengan kegitannya korporasi multinasional itu harus member
kontribusi pada pembangunan Negara di mana ia beroperasi.
4. Korporasi multinasional harus menhormati Hak Azazi Manusia.
5. Korporasi multinasional harus menghormati kebudayaan likal.
6. Korporasi multinasional harus membayar pajak yang “ Fair “.
7. Korporasi multinasional harus bekerja dengan pemerintah setempat.
8. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus
memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan
perusahaan tersebut.
9. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang
berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan
dioperasikan dengan aman.
10.Sebelum mengalihkan teknoli tinggi, maka korporasi multinasional
harus merancang dengan aman sebelum teknologi itu diserahkan
kepada Negara yang belum berpengalaman tersebut.
Summaries by Notulen:
Bisnis – ibadah
Bisnis—akhirat
Bisnis amal shaleh