1.ketika dewa memaksakan kehendaknya

150
KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA Prolog: Cerita wayang kontemporer berikut ini telah saya coba bangun kembali dalam beberapa bulan terakhir ini. Idenya datang saat saya mendengarkan kaset wayang berjilid dengan judul: Antasena Gugat, yang dimainkan oleh Ki Timbul Hadiprayitno. Untuk mereka yang telah menunggu-nunggu maupun bertanya, terutama Pak Irwan Boediharjo, Pak Harjanto Djunaidi, dan Astari, maka inilah hasilnya. Semoga anda bisa puas. KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (1) Buat: Anastasia Listiawan Siapa tak mengenal Bethara Guru? Raja para dewa ini bertahta di Jonggring Saloka, negeri para dewa dan dewi. Ia adalah sosok dewa yang pintar dan berwibawa. Ia dewa yang dermawan dan punya rasa humor yang tinggi, walau humornya bukan humor kelas abang becak. Siapa saja yang ada didekatnya bukan hanya senang dan terhibur, namun juga menaruh rasa hormat. Bethara Guru memiliki beberapa gelar, yang salah satunya adalah Sang Hyang Jagat Nata, artinya dewa yang memiliki kekuasaan dalam menata kehidupan dunia. Adapun dunia yang dikuasainya terdiri dari bagian: Jagat Inggil, dunia atas (dunia para dewa), Jagat Madya, dunia tengah (dunia mahkluk halus), dan Jagat Ngandap, dunia bawah (dunia para manusia).

Upload: hasto-suprayogo

Post on 23-Jun-2015

324 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA

Prolog: Cerita wayang kontemporer berikut ini telah saya coba bangun kembali dalam beberapa bulan terakhir ini. Idenya datang saat saya mendengarkan kaset wayang berjilid dengan judul: Antasena Gugat, yang dimainkan oleh Ki Timbul Hadiprayitno. Untuk mereka yang telah menunggu-nunggu maupun bertanya, terutama Pak Irwan Boediharjo, Pak Harjanto Djunaidi, dan Astari, maka inilah hasilnya. Semoga anda bisa puas. KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (1) Buat: Anastasia Listiawan Siapa tak mengenal Bethara Guru? Raja para dewa ini bertahta di Jonggring Saloka, negeri para dewa dan dewi. Ia adalah sosok dewa yang pintar dan berwibawa. Ia dewa yang dermawan dan punya rasa humor yang tinggi, walau humornya bukan humor kelas abang becak. Siapa saja yang ada didekatnya bukan hanya senang dan terhibur, namun juga menaruh rasa hormat. Bethara Guru memiliki beberapa gelar, yang salah satunya adalah Sang Hyang Jagat Nata, artinya dewa yang memiliki kekuasaan dalam menata kehidupan dunia. Adapun dunia yang dikuasainya terdiri dari bagian: Jagat Inggil, dunia atas (dunia para dewa), Jagat Madya, dunia tengah (dunia mahkluk halus), dan Jagat Ngandap, dunia bawah (dunia para manusia).

Page 2: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Sang Hyang Jagat Nata juga punya beberapa gelar lainnya, yaitu: Sang Hyang Jagat Pratingkah, Sang Hyang Udipati, Sang Hyang Milengis, Sang Hyang Manik Maya, Sang Hyang Catur Buja (karena memiliki empat bahu dan empat tangan), Sang Hyang Randu Wanda. Dengan berbagai macam gelar yang disandangnya itu, semakin sempurnalah keberadaan Bethara Guru. Ia selalu menjadi contoh dan cermin bagi para orang tua yang ingin anak-anaknya punya banyak gelar. Tidak peduli apakah gelar itu harus dibeli. Dengan berbagai gelar yang disandangnya itu pula Bethara Guru makin dihormati dan dikagumi dimana-mana. Karismanya semakin memancar. Dan dengan karisma dan penampilannya saja, ia seperti mampu memberikan rasa aman dan optimisme bagi para mahkluk yang kebetulan berada di sekelilingnya. Tentu saja keberadaan yang nyaris sempurna itu di dukung pula oleh penampilan yang menajubkan. Contohnya: kalau pas lagi berpergian, ia selalu menunggang kendaraan kesayangannya, yaitu seekor sapi sakti bernama Andini. Ia lebih suka naik sapinya yang tanpa ‘air-bag’ maupun ‘anti-lock brake system’ itu, dari pada naik mobil limosinnya yang anti peluru. Nasehat keluarganya yang kawatir kalau ia kecelakaaan karena naik sapi, apalagi tanpa sabuk pengaman (seat belt) tidak digubrisnya. Pernah di daerah Virginia ia kena tilang gara-gara tidak ‘bukle-up’. Di pagi yang cerah itu, Bethara Guru memanggil para dewa bawahannya. Nampaknya ada sesuatu urusan penting yang ingin ia bicarakan dengan para kawulanya itu.

Page 3: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Sudah sebulan ini negara Jonggring Saloka dilanda keresahan. Kawah Candradimuka, yang sering disebut manusia sebagai Neraka Jahanam, menggelegak dan laharnya menyembur-nyembur kian kemari. Bersama dengan itu, suasana tegang nampak terlihat dimana-mana. Dewa dan dewi yang ditemui dijalan selalu bermuka masam dan menampakkan sikap marah jika disapa. Gempa melanda seluruh negeri dan mengakibatkan kerusakan hebat di sebagian negeri. Suasana di dalam istanapun tak kalah kacaunya. Gempa bumi membuat rusak Tamansari, yaitu taman yang menjadi kebanggaan negara Jonggring Saloka karena keindahannya. Walau pembangunan kembali taman itu nantinya masih bisa dilakukan selama masih mampu ngutang kepada World Bank dan IMF, namun cukup membuat resah pemerintahan negara itu. Di negeri itu ternyata praktik korupsi, dan juga praktik kolusi serta nepotisme, masih ada dimana-mana, tapi mereka sekarang tak bisa melakukannya seenaknya seperti dulu. Maksudnya, mereka sekarang melakukannya dengan diam-diam dan ngumpet-ngumpet. Ketika tiba di Paseban Agung, tempat dimana raja biasa menerima para punggawanya, para dewa segera menghaturkan sembah ke singgasana. Setelah itu mengambil tempat menurut hirarki masing-masing. Dewa yang rendah pangkatnya, duduk dibelakang yang pangkatnya lebih tinggi, dan begitu seterusnya. Sudah empat jam ini Bethara Guru duduk termenung di singgasananya. Tidak ada satu katapun keluar dari mulutnya. Walau begitu para bawahannya tidak ada yang

Page 4: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

berani memulai berbicara. Mereka menunggu sabda raja. Begitulah peraturan protokoler kerajaan Jonggring Saloka yang diterapkan dengan ketat. Jika ada yang menyalahinya, konsekwensinya tidak langsung dirasakan pada saat itu juga. Paling-paling besoknya pangkatnya turun, atau jabatannya dicabut. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (2) Para dewa yang menghadap rajanya terpekur tanpa suara. Duduk di barisan depan adalah Bethara Narada, sang patih Jonggring Saloka. Walaupun sudah cukup tua umurnya, namun masih gesit tindakannya. Hal itu akibat jamu galian Sehat Lelaki yang tenggaknya tiap pagi. Juga jamu Pasak Bumi dan ramuan Jaran Goyang, tiap seminggu sekali. Sang Narada yang memiliki perawakan pendek itu bukan hanya sakti, namun juga bijaksana. Ia tak segan-segan memberi nasehat yang sejujurnya. Kritik dan saran membangun. Bahkan terhadap rajanya, Sang Hyang Bethara Guru, sekalipun. Dan sang raja telah hapal akan sifat patihnya. Selain Patih Narada nampak hadir pula masing-masing Dewa Masno dan Dewa Sriyono. Keduanya putra Bethara Guru sendiri. Di Jonggring Saloka siapa yang tak kenal Dewa Sriyono. Ia adalah Juru Catat kerajaan. Entah karena pekerjaannya atau karena sifatnya, putra Bethara Guru yang satu ini paling suka cari perhatian ayahnya. Tapi

Page 5: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

warga lain sering menyebutnya: cari muka. Ada sesuatu yang disembunyikannya. Mungkin ia minta pindah jabatan. Atau mungkin ia sangat berambisi diberi jabatan lain oleh ayahnya. Tak ada yang tahu persisnya. Tidak seperti Dewa Sriyono, Dewa Masno lebih pendiam. Ia jarang bercakap kalau tak perlu. Tapi biarpun pendiam, kesaktian dan keberaniannya telah terkenal diseantero Jonggring Saloka. Para dewa yang lebih tua sering memanggilnya: Si Rookie. Angin bertiup semilir. Hari ini udara di Jonggring Saloka nampak cerah. Kemarin ramalan cuaca di telivisi mengatakan bahwa tidak akan ada hujan. Para peramal cuaca di kerajaan ini tidak perlu menggunakan peralatan radar Doppler yang canggih untuk memantau keadaan cuaca. Karena mereka sendirilah pencipta cuaca itu. Mereka adalah para dewa yang memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap baik buruknya cuaca di jagat raya. Semilirnya angin memberi sedikit nafas kelegaan. Bersamaan dengan itu, sabda Bethara Guru pun mulai bergulir. Ia mulai menanyakan khabar patihnya. Kemudian anak-anaknya, serta para hadirin yang hadir di tempat itu. Akhirnya, semakin lengkaplah kesejukan suasana di pendopo Paseban Agung. Suasana yang tadinya terasa tegang dan sesak, kini sudah mulai mengendur. Ketika merasakan cairnya suasana itulah, pada gilirannya Bethara Narada bertanya sambil menyembah: "Kalo saya boleh tanya, ada apa Adi Guru memanggil saya?"

Page 6: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

"Kakang Narada. Sudah tiga bulan ini Jonggring Saloka dilanda keresahan. Kawah Candradimuka menggelegak. Laharnya menyembur-nyembur. Gempa bumi membuat terjadinya kerusakan dimana-mana. Jika keadaan ini tidak segera ditangani, tentu akan merusak bukan hanya negeri ini, namun juga seluruh jagat raya," kata Bethara Guru menampakkan keprihatinannya. Setelah hening beberapa saat, Bethara Guru melanjutkan ucapannya. Namun untuk kali ini cukup mengagetkan Patih Narada: "Apa kira-kira kakang Narada tahu penyebab keadaan ini?" "Mohon ampun, Adi Guru. Tapi apa itu namanya tidak keliru?" sanggah Patih Narada. Melihat rajanya bingung pada sanggahannya ia melanjutkan: "Maksud saya begini, paduka. Bukankah paduka penguasa seluruh Jagat Raya ini? "Nah, kalau saya kan cuma patih. Biarpun umur lebih tua dan juga punya kuasa untuk mengetahui keadaan, tapi bukankah saya tetap hanya seorang patih. Padukalah yang memiliki kekuasaan atas Jagat Raya ini. Karena itu, saya yakin tentu lebih mengetahui keadaan ketimbang saya. Apa bukan seharusnya sayalah yang bertanya pada paduka, tentang penyebab keadaan ini?" Jawaban Patih Narada yang 'to the point' itu cukup mengagetkan Bethara Guru. Walaupun pahit namun mengandung kebenaran dari analisa yang tajam. Tapi Bethara Guru masih berkelit sambil mencoba memberi gambaran yang membingungkan pada keadaan yang sebenarnya: "Kakang Narada ini patih dan saya adalah raja. Seorang patih harus mampu meraba jalan pikiran

Page 7: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

raja. Seorang raja harus minta pendapat patih jika ingin membuat keputusan penting. Semua itu untuk kebaikan jalannya pemerintahan. Nah, sekarang, apakah kakang Narada mampu membaca jalan pikiran saya?" "Ehemm, sebelumnya saya mohon beribu maaf, jika ucapan saya ini salah ataupun terlalu lancang. Jika saya boleh menjawab, adapun yang mengakibatkan terjadinya kekacauan di jagat raya ini, tak lain dari ulah Adi Guru sendiri," kata Patih Narada. Kalimatnya menggigit. Pedas. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (3) Jika raja lain, mendengar kalimat patihnya, kalimat yang mendekati tuduhan seperti itu, tentu akan sangat murka dan menghukumnya. Namun, tidak demikian halnya dengan Bethara Guru. Hubungannya dengan patihnya sudah seperti dua bersaudara. Apalagi kerajaan Jonggring Saloka tanpa Patih Narada, ibarat sayur lodeh tanpa santan. Tak bisa terbayangkan keadaannya. “Nahh, sekarang berhubung sudah semakin terbuka, kebetulan sekali. Saya malah ingin bertanya,” kata Patih Narada. “Sebenarnya apa yang Adi Guru telah lakukan hingga mengakibatkan bergolaknya Kawah Candradimuka? Karena tampaknya ada tindakan paduka tidak didiskusikan dengan para dewa lainnya. “Atau begini saja. Jika Adi Guru menginginkan jagat raya tenang kembali, silahkan Adi Guru ‘curhat’ sedang punya problem apa, nanti biar semua dewa para kawula ikut membantu menyelesaikannya. Tapi kalau Adi guru

Page 8: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

tak mau berterus terang, ya...jangan harap jagat raya akan tenang kembali seperti sedia kala.” Bethara Guru nampak berpikir sejenak. Tawaran itu pahit rasanya. Tapi apa yang dikatakan patihnya benar. Lagi pula ia tak punya banyak pilihan. Saat ini, ia benar-benar membutuhkan bantuan orang-orang kepercayaannya untuk menyelesaikan persoalan ini secepatnya. Agar keadaan jagat raya yang gonjang-ganjing tidak berlarut-larut. “Kakang Narada benar,” kata Bethara Guru. “Jagat Mercapada ini kacau dan Kawah Candradimuka bergolak karena ulah saya. Tanpa meminta pendapat dewa lainnya, saya telah menghukum mati kepada titah, kepada seorang manusia. Titah itu ialah Antasena. Padahal ia tak punya salah apa-apa....” “hmmm..” guman Patih Narada. Padahal dalam hati ia bersorak: Nah, bener kan gua bilang apa! Bethara Guru akhirnya mengakui juga, bahwa terguncangnya jagat raya adalah akibat tindakannya. Ia telah menghukum Antasena dengan menyeburkannya ke Kawah Candradimuka. Akibatnya, kini kawah itu menggelegak dan membuih. Dan gempa bumi dahsyat susul-menyusul. “Sebelumnya mohon maaf. Jika saya boleh tanya, apa sebenarnya yang menyebabkan paduka menghukum Antasena?” tanya Patih Narada dengan penasaran. Bethara Guru diam sejenak seperti sedang mencari-cari jawaban yang tepat dari pertanyaan patihnya. “Begini, kakang Narada. Sebenarnya ada tiga sebab mengapa saya

Page 9: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

menghukum Antasena.” “Tiga sebab? Antara lain?” tanya Patih Narada makin penasaran. Rasa penasaran itu terutama didorong oleh keingin-tahuannya pada alasan boss-nya sampai bisa menghukum orang yang tak bersalah. Karena tindakan itu sangat bertentangan dengan sifat-sifat bijaksana boss-nya sebagai pemimpin selama ini. “Pertama. Seperti kakang Narada ketahui, perang besar Baratha Yudha yang akan datang, antara keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa, sudah tak bisa dihindari lagi. Perang itu adalah perang yang menentukan eksistensi kedua belah pihak. Nah, jika Antasena pada akhirnya dijadikan Senapati (jendral yang memimpin peperangan) oleh pihak Pandawa, maka jalannya perang jadi tidak seimbang.” “lho, kenapa begitu, Adi Guru?” “Kakang Narada kan tahu, Antasena itu adalah kesatria yang sakti. Ia mahkluk yang tak mengenal rasa sakit, bahkan tak mudah untuk menemui kematian. Jika ia oleh pihak Pandawa sampai dijadikan Senapati, bisa jadi pihak Kurawa akan tumpas dan musnah seketika. Sedangkan di pihak Pandawa, yang seharusnya gugur di medan laga itu, akan tetap hidup. Itu berlawanan dengan kodrat.” “hmm..ya. Terus?” “Kedua. Antasena itu adalah satu-satunya titah yang tidak sopan. Ia tidak pernah mau hormat dan menyembah pada saya. Padahal saya ini seorang raja. Penguasa jagat raya. Sedangkan ia hanya manusia biasa. Apa itu

Page 10: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

namanya nggak kurang ajar. Nah, jika hal ini didiamkan, saya yakin nantinya akan banyak manusia lain yang mengikuti tingkah lakunya. Banyak manusia yang tidak menaruh hormat dan respek pada saya lagi.” “Lalu yang ketiga?” “Kakang Narada tahu sendiri bahwa anak saya, Dewa Serani, tergila-gila pada Jenokowati, sebelum Jenokowati dijodohkan dengan Antasena. Nah, jika Dewa Serani sampai tidak bisa mendapatkan Jenokowati, ia pernah mengancam akan bunuh diri nyemplung ke kali Ciliwung. Bahkan pernah di depan ibunya ia pernah ngancam mau minum obat nyamuk cair Baygon. Nah, supaya Dewa Serani tak berbuat nekat, dan supaya bisa lancar perjodohannya dengan Jenokowati, maka tidak ada pilihan lain kecuali saya turuti kemauannya. Untuk itu saya musnahkan Antasena terlebih dahulu.” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (4) Suasana di pendopo Paseban Agung kembali hening setelah Bethara Guru selesai bicara. Raja Jonggring Saloka itu telah mencoba mengungkapkan alasan- alasannya mengapa ia membunuh Antasena. Namun berbagai alasan yang diungkapkannya itu toh tetap terasa janggal, terutama bagi patihnya, Bethara Narada. Namun patihnya diam saja, walaupun dalam hati kurang menyukai tindakan rajanya. Begitu pula dengan kedua anak Bethara Guru. Mereka berdua diam saja. Namun masing-masing punya beda pandangan. Dewa Masno pandangannya tak beda jauh

Page 11: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

dengan Patih Narada. Sedangkan Dewa Sriyono bersikap masa bodoh. Ia tak peduli apakah tindakan ayahnya benar atau salah. Yang penting asal tidak merugikan dirinya. “Mohon maaf, Adi Guru,” kata Patih Narada tiba-tiba. “Jika Adi Guru mulai bertindak sewenang-wenang seperti itu, berarti mulai hilang pula sifat bijaksana Adi Guru. Ditambah jika Adi Guru sering bikin keputusan sendiri tanpa minta pendapat para dewa bawahan. Dengan begitu, berarti para bawahan itu sudah tidak diperlukan lagi. Sudah tidak ada gunanya lagi. “Nah, kalau memang para bawahan tidak diperlukan lagi, ya silahkan saja bikin keputusan sendiri dan menjalaninya sendiri. Tapi kalau Adi Guru masih mau mendengarkan para bawahan, termasuk saya, maka saya akan mencoba membantah argumentasi yang baru saja paduka ungkapkan.” “Maksud kakang Narada?” tanya Bethara Guru kurang mengerti.. “Maksud saya begini. Mungkin Adi Guru sendiri tahu, kodrat semua manusia sudah tertulis di Kitab Kejadian Jonggring Seloka. Begitu juga dengan kodrat Antasena. Dan kalau tidak salah, dalam kodratnya, Antasena itu telah sirna meninggalkan dunia jauh-jauh hari, sebelum perang Baratha Yudha dimulai. Nah, apa mungkin orang sudah mati kok bisa jadi Senapati di medan perang? “Kedua. Antasena itu anak kesayangan para dewa. Walaupun Antasena itu manusia yang nggak sopan dan tidak pernah memperlihatkan rasa hormat, tapi sebenarnya ia manusia yang baik. Ia manusia yang

Page 12: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

memiliki jiwa jujur dan suci. Ia bukan tipe orang yang dipermukaannya manis tapi di dalam busuk. Selain itu, ia pun suka menolong sesamanya tanpa pamrih. Dan bahkan, ia disukai oleh banyak orang yang telah mengenal sifat baiknya itu. “Saya yakin Adi Guru pun tahu, Antasena itu orang yang hormat pada para dewa. Tapi cara Antasena hormat dan menyembah dewa adalah dengan tindakkannya, bukan cuma pakai omongan saja. Antasena nyembah para dewa bukan dengan cara diperlihatkan ke orang-orang, supaya orang-orang tahu kalau dirinya suci. Tidak seperti banyak orang-orang yang hipokrit. “Orang hipokrit biasanya memang kelihatan berdoa kusyuk, tapi tahu-tahu kelakuannya rusak. Suka memfitnah dan menjelek-jelekkan orang lain. Atau kusyuk berdoa, tapi tahu-tahu main gasak atau menghancurkan milik orang lain. Itu semua bukan tipenya si Antasena.” Mendengar argumentasi patihnya, Bethara Guru tak mampu berkata-kata. Raja yang berkuasa di jagat raya itu tak bisa berkelit. Semua yang terkandung dalam argumentasi patihnya tak ada yang salah. Dan dalam hati ia pun membenarkan pula. Bethara Narada melanjutkan: “Kalau saya boleh jujur, saya kira tindakan Adi Guru itu cuma mau menuruti kemauannya Dewa Serani saja. Jadi kesalahan Antasena saya kira tak usah dicari-cari, kalau memang perkiraan saya itu benar.” Suasana paseban sepi. Bethara Guru terdesak. Walaupun egonya sebagai seorang raja yang sangat amat berkuasa

Page 13: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

cukup tinggi untuk direndahkan bawahan, tapi kali ini ia tak punya pilihan lain. Egonya kalah. Ia tahu semua ini adalah obat bagi penyelesaian kacaunya keadaan. “Betul, kakang Narada. Saya cuma ingin menuruti kemauannya Dewa Serani...” “Nahhh...gitu dong...semua kan bisa lega sekarang. Mengakui kesalahan itu memang sulit dilakukan, Adi Guru. Ngaku salah, apalagi terus minta maaf, bukanlah sebuah kekalahan. Itu ciri-ciri kebijaksanaan,” kata Bethara Narada mencoba memberi pengertian. Seolah-olah raja yang diajaknya bicara adalah anak kemarin sore. Sebenarnya Patih Narada tidak bermaksud memojokkan rajanya sendiri. Apalagi ia sangat menghormati rajanya. Tapi biar bagaimanapun bijaksananya seorang raja, kalau tidak mau belajar dari kesalahannya, sikap bijaksananya itu hanyalah kekosongan belaka. Balok kosong (kartu gaple): kartunya sama besarnya seperti yang lain tapi isinya nggak ada.. Dan patih Narada tidak ingin rajanya jadi raja “balok kosong” “Tapi, kakang Narada,” kata Bethara Guru tiba-tiba. “Apakah tindakan saya menuruti kemauan Dewa Serani itu salah? Bukankah Dewa Serani itu anak saya? Ada pribahasa: Anak bertindak, orang tua harus berani tanggung jawab.” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (5) Bethara Guru masih mencoba mendebat patihnya. Biar nggak dibilang bodoh sebagai pemimpin. Memang, sejak masih muda, ia terkenal tukang berdebat. Tapi debat

Page 14: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

kusir. Terkadang, caranya berdebat malah bikin orang tambah bingung. Bahkan hingga kinipun sikapnya itu belum berubah. Cuma patihnya saja yang tahu bagaimana cara mendebatnya. “Adi Guru benar. Anak berperilaku, orang tua harus berani bertanggung jawab,” kata Patih Narada. “Tapi ya dilihat dulu, perilaku si anak bener apa nggak. Kalau memang perilaku si anak benar, ia patut dipuji. Tapi kalau perilakunya nggak bener ya harus diberitahu supaya bisa jadi bener. Lha sekarang, kenapa Dewa Serani berperilaku nggak benar, kok Adi Guru malah berusaha membenarkannya? Malah berusaha mendukungnya? Apa itu sikap orang tua yang bijak? “Kalau Adi Guru ingin memberikan kejayaan dan kemuliaan kepada Dewa Serani itu silahkan. Tapi kejayaan dan kemuliaan itu ya terus jangan dicomot atau direbut dari orang lain. Contohnya seperti saat ini. Adi Guru berusaha memberikan kejayaan kepada Dewa Serani, tapi dengan jalan merebut Jenokowati. Lha, Jenokowati itu kan sudah berjodohan dengan Antasena. Sudah jadi miliknya Antasena. “Saya harap Adi Guru tidak lupa, bahwa kekuasaan yang Adi Guru miliki itu berfungsi untuk menata dan mengayomi. Dan bukannya untuk menguasai. Kalau seorang penguasa kerjanya cuma menguasai, bertindak semaunya, dan bikin susah rakyatnya, apakah ia masih layak diberi kekuasaan?” Bethara Guru, penguasa jagat raya itu diam mendengar argumentasi patihnya. Hatinya berkecamuk saling bertubrukan. Antara membenarkan kata-kata patihnya dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran

Page 15: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

tindakannya. Tapi saat ini, kadar egoisme dalam diri raja Jonggring Saloka ini memang pas lagi tinggi-tingginya. Karena rajanya masih diam, Bethara Narada kembali bertanya: “Coba, kalau Antasena itu benar-benar musnah, kalau keluarga Pandawa tidak terima terus bagaimana?” “..ya, kalau sudah kepepet, Pandawa kita musnahkan sekalian...” jawab Bethara Guru enteng. “Nah, kalau seluruh keluarga Pandawa dimusnahkan, lalu pelindungnya nggak terima?” “Pelindung Pandawa, siapa?” tanya Bethara Guru pura-pura. Namun sebenarnya ia sudah tahu siapa yang dimaksud patihnya. “Kakang Semar..” jawab Bethara Narada. “Lho, kakang Semar itu kan cuma pengasuh alias Baby Sitter. Apa kakang Narada lupa kalau saya ini raja? Sang Hyang Jagat Nata? Penguasa tiga jagat, termasuk jagatnya para dewa? Bukankah kakang Semar pun seharusnya tunduk pada saya?” kata Bethara Guru dengan nada yang benar-benar arogan. Tapi dalam hati sebenarnya ada juga rasa kawatir, jika memang harus berhadapan dengan Semar, yang tak lain adalah titisan Bethara Ismoyo. Dewa Ismoyo turun ke bumi dengan tugas mengasuh para kesatria yang berada di pihak yang benar. Patih Narada nampak tersenyum simpul setelah mendengar jawaban-jawaban rajanya. Katanya kemudian:“Betul! Adi

Page 16: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Guru itu rajanya para dewa. Dan memang dewa itu tempatnya di atas, sedangkan manusia di bawah. Tapi mohon Adi Guru tidak lupa, segala tingkah laku para dewa yang ada di atas itu diketahui dan dimonitor terus oleh manusia yang di bawah. Dan para manusia meniru segala sikap dan tindakan para dewa. “Nah, mungkin ada baiknya jika para dewa yang berada di atas itu bersikap dan bertindak yang bener. Bukannya seperti yang saya lihat sekarang ini. Manusia yang di bawah nggak pada macem-macem, kok malah dewanya yang pada kebanyakan tingkah. Udah gitu tingkahnya pada nggak becus lagi.” Ketika sedang terjadi perdebatan seru antara raja dan patihnya itu, tiba-tiba datang kepala pengawal istana sambil gopah-gopoh. Mukanya kelihatan stress, pertanda ada problem yang tak mampu dipecahkannya. Ketika sampai di tangga pendopo Paseban Agung, prajurit itu menjatuhkan diri. Lalu, sambil menyembah ke arah singgasana rajanya ia berkata: “Mohon ampun paduka. Ada dua kesatria datang berboncengan naik motor besar. Yang berbadan kekar memaksa masuk. Katanya ingin bertemu paduka. Tak ada penjaga yang kuasa menahannya.....” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (6) Belum sampai terdengar rekasi dari singgasana kepada prajurit pelapor, seorang kesatria nampak berjalan menuju pendopo Paseban Agung. Jalannya gagah dengan

Page 17: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

kepala mendongak. Sungguh kurang ajar. Ya, sungguh kurang ajar karena dianggap terlalu berani menginjak-injak etiket di lingkungan istana. Siapapun tahu, seseorang harus berjalan jongkok, atau paling tidak membungkuk, jika ingin menghadap raja. Namun ternyata laporan prajurit itu benar. Tamu yang baru datang berbadan kekar. Perawakannya tinggi besar. Gagah. Wajahnya mirip Arnold Shcwazernagger. Ia memakai jaket kulit buntung berwarna hitam. Di punggung belakang jaket itu tertulis: Harley Davidson. Sebuah bandana biru terikat di kepalanya. Sedangkan kaos yang dikenakannya, di bagian dada terbaca: “First War And Then Love.” Tanpa permisi terlebih dahulu, tamu itu langsung berjalan menuju ke singgasana sang raja. Para dewa hanya terbengong- bengong pada ketidaksopanannya. Ketika sang tamu telah berada di hadapan raja, ia segera duduk sebelum sebelumnya menghormat pada raja. Bethara Guru, yang tak kalah terkejutnya dari para dewa lain, masih belum mampu mengeluarkan sabda. Namun dalam hati ia kagum pada postur tubuh kesatria muda tamunya. Ingin sebenarnya ia memiliki postur tubuh seperti itu dari dulu. Tapi karena kesibukannya mengatur negeri hingga ia akhirnya sering lupa pergi ke Gym berolah raga. Ketika akhirnya Sang Jagat Nata sadar dari lamunannya, ia bertanya pada patihnya: “Tampaknya ada manusia naik ke Jonggring Saloka. Apa kakang Narada tahu siapakah dia?” “Wah, rasa-rasanya kok saya pernah kenal ya.

Page 18: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Tapi...mungkin ada baiknya jika Adi Guru saja yang meminta keterangan padanya,” jawab Patih Narada. Setelah berdiam beberapa saat, Bethara Guru mengikuti anjuran patihnya: “ Wahai manusia! Siapa namamu, nak? Dan dari mana asalmu?” “Sebelumnya gua mengucap sembah sujud ke hadapan elu, paduka dewa. Tapi sebelumnya gua mau tanya: apa elu raja dewa yang bertahta di khayangan dan yang berjuluk Sang Hyang Jagat Nata?” tanya kesatria itu. Walaupun kurang sopan, namun suaranya yang berat itu terdengar jelas. “Kamu benar. Sayalah Bethara Guru, raja penguasa semua mahluk jagat raya.” “Hmm...kalau elu memang raja segala mahluk jagat raya, gimana elu kagak bisa ngenalin rakyat elu sendiri. Gua kan rakyat elu. Bahkan, elu dan para dewa sekalian kan yang ngukir jiwa raga para manusia seperti gua eni?” tanya kesatria itu. Bethara Guru tersinggung. Dan ia berusaha menahan diri. Tapi dalam hati ia membenarkan ucapan manusia dihadapannya itu. Ia sendiri heran, bagaimana ia bisa tidak kenal manusia yang satu ini. Biasanya kalau ada yang menghadap, dengan segera ia akan mengenalinya. Maka, untuk menutupi rasa malunya, ia mencoba minta pendapat patihnya: “Bagaimana kakang Narada?” “Ya, memang bener juga sih dia,” kata Narada. “Memang sudah seharusnya kita, terutama sekali Adi Guru, mengenal semua rakyat. Tak terkecuali mereka itu para manusia biasa.”

Page 19: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Merasa tersudut, Bethara Guru tak mau jatuh gengsinya. Ia tak mau disalahkan. Walaupun kenyataannya salah, sebagai raja, ia tak bisa disalahkan. Segala sepak terjang raja adalah kebenaran yang absolut yang tak bisa dibantah. “Seharusnya memang aku mengenalmu,” kata Bethara Guru memulai alasannya agar tidak kehilangan wibawa. “Tapi saat ini banyak yang sedang aku pikirkan: Perang Irak, Perang Palestina-Israel, SARS di Asia, penyakit AIDS di Afrika, dan lain-lain. Nah, saking banyaknya masalah yang sedang aku pikirkan, mungkin saja ada satu atau dua nama manusia yang belum sempat terbaca olehku. Maka itu hendaknya kamu mengerti.” “Baik kalo gitu,” kata kesatria itu. “Kalau memang paduka dewa pengen tahu siapa nama gua, gua ini bernama Kuncoro Manik. Adapun keperluan gua dateng kemari, pertama, gua pengen menghaturkan sembah sujud gua ke hadapan elu. Kedua, gua pengen tahu, siapa sih sebenernya bapak dan ibu gua?” Kembali tak mampu memberi jawaban langsung, Bethara Guru berpaling pada patihnya: “Bagaimana kakang Narada?” “Gimana ya? Hmm...menurut saya sih, silahkan Adi Guru menanyakan hal itu kepada sang putra Sriyono. Lha, dia itu kan juru catat kerajaan. Tentunya segala kejadian dibumi ada tertulis dalam buku Kitab Kejadian Jonggring Saloka yang jadi tanggung jawabnya.” (Bersambung)

Page 20: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (7) Dari singgasananya, Bethara Guru melambaikan tangan memanggil Dewa Sriyono. Anaknya itu telah dibebani tugas sebagai juru catat kerajaan. Pekerjaannya adalah mencatat segala kejadian yang terjadi di jagat raya, termasuk di dalamnya peristiwa kematian dan kehidupan. “Sriyono,” kata Bethara Guru setelah anak itu mendekat, “coba engkau periksa di Kitab Kejadian Jonggring Saloka, keturunan siapakah Kuncoro Manik. Kalau ia keturunan dewa, sebutkan saja namanya, biar aku yang berurusan dengannya.” Memang para dewa di khayangan terkadang masih suka kesengsem pada para wanita di bumi. Padahal di khayangan sudah tak terbilang banyaknya para dewi yang cantik rupawan. Tapi ternyata, kecantikan wanita bukan nilai utama bagi para dewa. Tubuh yang bahenol dan ginuk-ginuk, serta warna kulit yang memerah akibat terbakar mataharilah yang sering membuat mereka tergila-gila. Yang sering membuat mereka “lupa daratan”. “Baik, pak. Saya akan segera periksa, keturunan siapakah manusia ini,” jawab dewa Sriyono sigap karena merasa mendapat pekerjaan penting. Ia lalu mengambil buku Kitab Kejadian dari tas yang selalu dibawanya kemana-mana. Kitab Kejadian dibuka dan diteliti isinya. Satu per satu riwayat hidup para manusia dengan inisial K dicoba baca. Karena Kitab Kejadian itu adalah buku pusaka sakti, maka proses pengecekannya mirip analisa di data base komputer di Pentagon, yang memiliki

Page 21: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

kecepatan 3,06 Giga Byte. Dengan kecepatan analisa seperti itu, proses pencarian tidak berlangsung lama. Hingga akhirnya terdapat nama-nama antara lain: Kunarwoko, Kuncung, Kundun, Kunti, Kuntjoro-Jakti. Lima belas menit kemudian dewa Sriyono memberi laporan kepada ayahnya: “Sudah saya teliti, pak. Ternyata tidak ada nama dan sejarah Kuncoro Manik dalam Kitab Kejadian ini.” “Apa?!” Bethara Guru tersentak di singgasananya. “Lho, bagaimana bisa?” “Nama Kuncoro Manik tidak ada dalam buku Kitab Kejadian ini, pak.” ulang Dewa Sriyono yang nervous melihat reaksi bapaknya. “Yang ada nama Kuncoro-Jakti, tapi menurut keterangan di buku ini, dia menteri ekonomi sebuah negara yang lagi kusut sistim negaranya.” “Bagaimana kakang Narada? Kitab Kejadian kerajaan ternyata tidak memuat nama Kuncoro Manik,” tanya Sang Bethara Guru pada patih andalannya. “Wah, kacau dah. Lha, terus gimana, ya? Apa memang sudah di cek bener-bener? Apa sudah diteliti anak-anak yang lahir dari bayi-tabung dan kloning? Nah, kalo memang nggak ada, terus Kuncoro Manik itu lahir dari apa?” tanya balik patih Narada dengan penuh keheranan pula. “Lalu, mesti bagaimana ini kakang Narada?” tanya Bethara Guru seperti kehilangan akal. “Ya, saya kira, silahkan saja Adi Guru memutuskan permasalahan ini. Kalau memang Adi Guru masih

Page 22: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

menghargai saya sebagai seorang patih, kemarin-kemarin kalau ingin membuat sesuatu keputusan, kan nggak ada salahnya diskusi dulu dengan para bawahan. Tapi kalau semua maunya dijalani sendiri, ya beginilah akhirnya.” Mendengar komentar patihnya, Bethara Guru kini bertambah bimbang. Satu masalah belum selesai, sekarang malah sudah datang lagi masalah baru. Rasanya semakin banyak saja masalah yang harus diselesaikannya. Itu artinya ia harus menunda liburannya. Padahal bersama permaisurinya, ia sudah booking tiket liburan ke Bali. “Kuncoro Manik, ketahuilah. Para dewata saat ini sedang dalam keadaan sibuk. Jadi suasananya lagi kurang baik,” demikian sabda Sang Hyang Bethara Guru pada akhirnya. “Nah, pas engkau datang, suasana disini bukannya membaik tapi kok malah kelihatan tambah runyam. Sekarang pergilah engkau keluar, dan tunggulah di halaman istana. Barangkali setelah engkau di luar, pikiranku bisa jernih kembali. Atau mungkin malah bisa tahu siapa orang tuamu....” “Baik kalau itu perintah paduka dewa. Gua bakal nunggu di luar sampai ada panggilan,” kata Kuncoro Manik. Sebelum bangkit dari duduknya ia menghormat seadanya. Lalu permisi pergi menuju ke halaman. Tak lama sesudah Kuncoro Manik keluar dari paseban menuju ke halaman istana, Bethara Guru lagi-lagi bertanya pada patihnya: “Bagaimana kakang Narada? Kejadian buruk kok susul menyusul begini?” “Ya gimana ya,” jawab Bethara Narada. “Sekarang ini, sekali lagi saya justru ingin mengingatkan kembali

Page 23: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

kesalahan yang telah Adi Guru lakukan. Tapi sebelumnya saya mohon beribu maaf. Maksud saya begini Adi Guru. Adi Guru menceburkan Antasena ke Kawah Candradimuka itu saya anggap membunuh manusia tak berdosa. Nah, kejadian sekarang ini tentu dari akibat kesalahan yang paduka telah perbuat. Siapa menabur angin, ia akan menuai badai.” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (8) Persoalan yang kini muncul ternyata cukup menambah beban pikiran Bethara Guru. Selain itu juga membawa ancaman pada posisi kepemimpinan dan kewibawaannya sebagai penguasa. Oleh sebab itu ia tak mau persoalan ini menjadi berlarut-larut. Ia bertekad menyelesaikannya secepat mungkin, dan dengan caranya sendiri. “Sudah, sekarang begini saja,” kata Bethara Guru pada patihnya. “Kakang Narada temui Kuncoro Manik. Dan perintahkan kepadanya agar ia turun saja dulu ke bumi. Lain kali saja suruh datang kembali. Kalau dengan cara baik-baik ia tidak mau menuruti perintah, apa boleh buat, kita paksa saja ia turun. Dan kalau ia juga membangkang, kita musnahkan saja.” Sabda Pandita Ratu, sabda mutlak yang tak boleh dibantah. Perintah itu tak pernah dikeluarkan Bethara Guru sebelumnya. Para dewa kaget semua, termasuk Bathara Narada. Tapi tak ada yang berani komentar. Perintah raja adalah kebenaran yang tak bisa dibantah. Maka jawab patih Narada: “Siap! Segala perintah Adi Guru akan saya junjung tinggi dan laksakanan!”

Page 24: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Dengan iringan para bangsawan istana, Patih Narada segera menuju ke halaman istana. Walaupun sebenarnya perintah itu tidak sesuai dengan kata hatinya, namun harus tetap dijalankan. Pejabat yang dianggap tak mau menjalankan perintah atasan, akibatnya bisa dimutasi atau dipensiunkan secara dini. Bahkan yang paling sial, dipecat dengan tidak hormat. Ketika rombongan itu menuju ke halaman istana, di pintu luar sudah menunggu masing-masing Bethara Indra, Bethara Brahma, dan Bethara Yamadipati. Ketiga dewa itu agak gugup melihat wajah Bethara Narada yang keruh. Tak ada satupun yang berani mulai menyapa. Mereka tahu arti dibalik kekeruhan wajah patih kerajaan itu. Ketika dirasa waktunya sudah tepat, Dewa Indra memberanikan diri bertanya: “Paman Narada, apa ada perintah Sang Hyang Bethara Guru yang musti kita jalankan?” “Begini anak-anak sekalian,” kata Patih Narada sambil menghentikan langkahnya. Seketika itu juga rombongan ikut berhenti mendengarkan. “Nampaknya kita harus menanggung sebuah pekerjaan yang kurang menguntungkan. Padahal kerjaan itu boleh dibilang tidak ringan.” “Pekerjaan apa, paman Narada?” tanya mereka hampir serempak. “Dengarkan baik-baik semua,” kata Bethara Narada. “Sang Hyang Bethara Guru tadi memberitahu padaku bahwa ia telah membunuh seorang manusia. Saya tak perlu memberitahu kalian siapa yang telah dibunuhnya itu.

Page 25: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Nah, ketika sedang membicarakan masalah itu datang seorang kesatria yang ngaku bernama Kuncoro Manik. “Kuncoro Manik datang ke Jonggring Saloka ini sebenernya cuma mau tanya, dia itu anaknya siapa. Setelah diteliti di Kitab Kejadian kerajaan, ternyata nama Kuncoro Manik tidak ada. Hal itu aneh sekali karena semua nasib maupun kodrat manusia di bumi tak pernah luput dari catatan dalam kitab itu. “Kalau riwayat hidup Kuncoro Manik sampai nggak bisa ditemukan di kitab itu, maka turunlah wibawa buku itu. Dengan turunnya wibawa buku pusaka itu, turun pula wibawa para dewata. Karena para dewalah yang penulis kitab itu.” Mendengar keterangan Bathara Narada, semua dewa menatap kepada Dewa Sriyono. Yang ditatap hanya bisa mengangkat kedua bahunya, seolah-olah berkata: “Lho, mana gua tahu?” “Lha, terus gimana, paman Narada?” tanya Dewa Brahma. “Nah, akhirnya. Bethara Guru minta Kuncoro Manik menunggu di halaman istana. Begitu ia keluar, Bethara Guru memerintahkan kita untuk menyuruh Kuncoro Manik pulang kembali ke bumi. Karena kehadirannya saat ini dianggap malah bikin gelapnya suasana khayangan. Perintah selanjutnya, kalau Kuncoro Manik sampai tak mau pulang, kita diperintahkan untuk memaksanya. Dan kalau masih tetap membangkang, kita diperintahkan memusnahkannya.” Sementara yang lain kaget, Dewa Yamadipati yang punya kerjaan sebagai dewa pencabut nyawa, komentar: “Hmmm,

Page 26: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

jangan takut, man. Kalau dia nekat nggak mau pulang, biar nanti saya yang eksekusi. Biar tak cabut nyawanya.” “Kamu serius nih?” “Lho, emangnya tampang saya nggak serius apa, man?” Bethara Narada yang tahu tingkat keberanian Dewa Yamadipati cuman nyengir. Katanya: “Emang kamu berani sama Kuncoro Manik satu lawan satu?” “Ya jangan sendirian dong, man...” jawab Yamadipati yang tiba-tiba nampak ragu. “Susah senang kan kita tanggung rame-rame.....” “Alaaa, emang dasar nyalimu kecil,” kata Patih Narada. “Dengarkan semua! Kuncoro Manik berani datang kemari dan nanya ini-itu tentu dia punya modal kesaktian. Maka itu kita jangan meremehkannya. Sebaliknya, kita harus hati-hati. Jangan menyombongkan diri.” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (9) Sementara itu di halaman istana Kuncoro Manik telah berkumpul kembali dengan seseorang yang ditinggalkannya ketika ia tadi masuk ke dalam sendirian. Orang itu berpenampilan sederhana. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang Pendita, seorang rohaniwan. Tapi karena kesederhanaannya itu, orang yang tidak tahu bakal menyangkanya sebagai

Page 27: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Tukang Bakso. “Bagaimana jawaban mereka, anakku?” “Mereka nyuruh gua nunggu disini, paman. Pas tadi gua tanya, ternyata mereka nggak tahu siapa orang tua gua. Itu dewa-dewa udah pada gila ‘ngkali, ya. Katanya dewa-dewa itu maha tahu dan punya wawasan luas. Masak riwayat hidup orang bisa ilang begitu aja. Kalo kantor kelurahan sih mungkin masih masuk di akal,” jawab Kuncoro Manik penuh kekesalan. “Lalu apa rencanamu?” tanya sang Pendita lagi. “Kita tunggu aja dulu, paman. Mudah-mudahan sih mereka menepati janji. Kalau dewa kagak mampu ngasih tahu riwayat hidup gua, berarti mereka kagak becus menata jagat raya. Dan kalau gua sampai diusir, bakal gua obrak-abrik khayangan sini.” “Kalau memang begitu kehendakmu, nak. Aku hanya bisa bilang supaya engkau hati-hati.” “Tapi paman bakal ngebantu gua kan kalo ada apa-apa?” “Jangan takut, nak. Pamanmu tak akan tinggal diam, jika kamu memang dalam keadaan bahaya.” Tak lama Kemudian Bethara Narada datang sambil kipas-kipas. Sedangkan rombongannya mengamat-amati dari jauh. Patih Jonggring Saloka itu sudah memberitahu rombongannya bahwa ia akan bicara dengan Kuncoro Manik secara baik-baik. Kalau tujuan itu ternyata gagal, mereka akan menggunakan rencana yang kedua, yaitu mengusir tamunya secara paksa.

Page 28: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Aku Bethara Narada, nak. Patih Jonggring Saloka. Tujuanku kemari ingin menyampaikan sabda Sang Hyang Bethara Guru...” Tiba-tiba Patih Narada menghentikan kalimatnya. Perhatiannya tertuju pada sosok di samping Kuncoro Manik. Kecurigaannya muncul. “Hm, tapi mong-ngomong, siapakah yang berada disampingmu itu, nak?” “Saya Begawan Pulasara, paduka Narada. Saya pamannya Kuncoro Manik.” “Lho, kalau kamu pamannya, bagaimana sampai bisa nggak tahu orang tuanya Kuncoro Manik?” “Begini, paduka Narada,” jawab Begawan Pulasara memulai penjelasannya. “Kuncoro Manik saya temukan ketika ia telah menjelang dewasa. Selama ini sayalah yang membesarkannya, dan ia memanggil saya: paman. Karena akhir-akhir ini ia selalu menanyakan siapa ayah dan ibunya, maka saya bawa saja ia kemari. Menurut perkiraan saya, tentu para dewa, yang memiliki catatan tentang kodrat para manusia, pasti mengetahuinya.” Mendengar keterangan tamunya, Bethara Narada nampak sedikit kecewa. “Sudah begini saja, Kuncoro Manik. Tadi Bethara Guru bilang supaya engkau pulang saja dulu. Keadaan Jonggring Saloka saat ini sedang kusut. Ia anggap kedatanganmu cuman bikin suasana tambah ruwet. Nah, barangkali saja di lain waktu, saat keadaan sudah tenang, beliau berkenan mencarikan orang tuamu. Dan kalau memang udah ketemu, kamu pasti bakal ditilpun apa dikirimi e-mail.” “Huuhhh!!” dengus Kuncoro Manik. Ia berusaha menahan

Page 29: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

kegeramannya. “Dewa kok kata-katanya kagak ada yang bisa dipegang. Katanya para dewa itu bijak, nggak mencla-mencle. Tapi ternyata yang satu bilang A, yang lain bilang B. Tadi Bethara Guru nyuruh gua nunggu di halaman ini karena akan mencari tahu siapa orang tua gua. Eh, kok malah gua sekarang disuruh pulang. Pokoknya gua kagak terima! Gua tetep mau ketemu Bethara Guru!” “Eeiitt, entar dulu toh. Kamu ini mbok jangan ngambek kayak anak kecil gitu,” kata Narada mencoba meminta pengertian anak muda dihadapannya itu. “Gua kagak peduli. Dewa pada kagak bener semua. Punya pendapat beda-beda! Kagak ada yang bisa dipercaya!” “Inget lho, kita udah nyuruh pulang baik-baik. Apa kamu tetep mau nekat? Jangan sampai nanti kita suruh pulang secara paksa, ya? Apa kamu suka kalo di deportasi? Lihat itu disana. Para dewa dan prajurit Jonggring Saloka sudah bersiap-siap memaksamu pulang jika kamu tetep mbandel. Apa kamu nggak takut?” kata Patih Narada mencoba menggertak tamunya. Maksudnya agar tamunya itu berpikir dua kali jika menolak pengusiran secara halus ini. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (10) Para dewa dan prajurit Jonggring Saloka melangkah maju. Dari isyarat tangan yang diberikan Bethara Narada, mereka tahu bahwa negosiasi telah gagal. Karena rencana pertama gagal, tentu rencana kedua yang akan segera mereka jalankan, yaitu mengusir tamunya

Page 30: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

secara paksa. Senjata-senjata telah dipersiapkan. Semuanya runcing dan tajam. Melihat gerombolan Jonggring Saloka mendekat, Kuncoro Manik mencium gelagat kurang baik. Ia segera berdiri bertolak pinggang. Kali ini kesabarannya sudah hilang. Patih Narada mundur tiga langkah. Tubuh yang tua itu agak gentar melihat sosok tinggi dan kekar yang ada di hadapannya. Sementara itu, Begawan Pulasara masih duduk dengan tenang seperti tak terjadi apa-apa. Hanya mulutnya saja komat-kamit seperti sedang mengucap doa. Kuncoro Manik memaki dengan geram: “Emang elu kira gua anak kecil, takut sama senjata mainan kayak gitu? Jangankan yang begituan. Elu keluarin yang lebih runcing dan yang lebih tajem juga gua kagak bakalan mundur! Maju bareng sini elu semua biar gua gebuk bareng!” Para dewa dan prajurit kerajaan yang tadi sudah bergerak maju, kini menjadi ragu. Langkah-langkah berat terhenti. Mendengar gertakan lawan, keberanian mereka berubah menjadi kewaspadaan. Mereka tahu, gertakan itu tak sekedar main-main. “Hei, Kuncoro Manik. Kamu tahu kan siapa saya?” tanya Patih Narada kepada Kuncoro Manik. “Gua kagak peduli siapa elu! Elu mau pejabat kek, elu mau anggota DPR kek, gua kagak peduli! Terus mau lu apa?!” “Eeeiii.. ini anak malah nantang orang tua,” kata

Page 31: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Patih Narada. Namun toh dalam hati ia kagum juga pada nyali anak muda itu. “Dikira Narada ini nggak pernah berkelahi ya? Berani sama Bethara Narada berarti kamu udah bosan hidup, tahu? Minta dicabut nyawamu kayak aku nyabut uban?” “Kalau lu berani, nih elu cabut nyawa gua sekarang juga!” jawab Kuncoro manik sambil membusungkan dadanya. “Eeee..bener-bener nantang nih anak! Berani beneran kamu sama orang tua?” “Apa yang musti ditakutin. Apalagi sama orang tua yang kagak patut dihormatin macem elu!” “Busyet, bener-bener nantang nih anak,” kata patih Narada sambil memberi isyarat kepada dewa Sriyono untuk maju dan meringkus si Kuncoro Manik. Yang diberi isyarat rupanya salah paham hingga cuman bengong. Patih Narada membentak: “Hei memble! Jangan bengong disitu aja kamu! Ada orang tua mau berantem malah cuman memble doang!” “Lho, mohon maaf, paman Narada. Saya kira paman mau turun tangan sendirian...” kata Sriyono gugup. “Turun tangan sendirian? Orang tua disuruh berantem terus kalian pada asyik nonton, begitu? Enak aja. Sudah sana! Kamu bekuk sana!” Bethara Narada meninggalkan gelanggang menuju ke tepian. Ia malas turun tangan bukan karena takut, melainkan tahu kalo dalam posisi salah. Tindakannya sejauh ini dilakukan hanya karena tidak ingin menentang perintah atasan.

Page 32: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Merasa mendapat restu, Dewa Sriyono yang terkenal sok jagoan langsung maju ke depan. Tas kopernya dititipkan pada ajudannya. Jalannya tampak di gagah-gagahkan. Ia tak mau kelihatan penakut dan lemah di depan warga Jonggring Saloka yang mulai berdatangan. Apalagi diantara warga itu, tampak para dewi dan bethari yang juga mulai ikutan nonton. Dihampirinya manusia dihadapannya. Dengan sikap meremehkan ia bilang: “He, Kuncoro Manuk apa Kuncoro Manik. Siapa namamu terserahlah! Kamu kan udah dikasih tahu kalo harus pulang secara baik-baik. Seharusnya kamu merasa beruntung, tahu nggak. Sekarang aku peringatkan sekali lagi, pulang! Jangan sampai aku gunakan kekerasan.” “Heh, jangankan cuman elu sendirian, semuanya maju bareng juga gua kagak bakalan lari,” jawab Kuncoro Manik. Sambil berkata begitu ia mantapkan kuda-kudanya. Ia mempersiapkan diri dengan ilmu kuntow Bangau Putih yang dipelajarinya di Gonzaga selama ini. Gerakannya ringan tapi membutuhkan banyak energi. Makanya kalau habis latihan silat, ia sering mampir di Union Station nyari nasi rames di restoran Cina “Panda Express.” Dewa Sriyono mengeluarkan jurus Dewa Menggenggam Bumi. Jurus silat ini hadiah Kho Ping Ho buat para dewa di khayangan. Banyak dewa mempelajarinya karena merupakan jurus yang ampuh. Jika kena kibasan jurus ini, dewa maupun manusia, akan remuk tulangnya. Tak ada tukang urut patah tulang yang mampu menyembuhkannya. Sekalipun tukang urut itu berasal dari Cimande maupun Cikini.

Page 33: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Kurang ajar kau manusia bangsat! Nih terima pukulanku...” tangan kanan Dewa Sriyono menebas ke depan. Loncatannya membelah udara siang yang pengap. Benar-benar serangan mematikan. “Ciiaaatttt!!” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (11) Dewa Sriyono menyerang musuhnya bagaikan kucing menerkam tikus. Tangannya diayunkan ke arah dada lawan. Kalau hanya dewa atau manusia biasa, tanpa kesaktian, mungkin sudah tewas terkena pukulan jarak jauhnya. Tapi ia salah perhitungan, karena ternyata lawannya cukup tangguh. Dengan mudah sang lawan menghindar dari serangannya. Kuncoro Manik melihat pertahanan lawan yang tak terjaga. Dipatuknya punggung lawannya dengan jurus Bangau Menotok Kodok. “Hiyaaa!!” “Pletaakk!!” Lawannya terhuyung pusing kebelakang. Kini Dewa Sriyono tak berani menganggap enteng lagi lawannya. Konsentrasinya ditajamkan. Serangannya lebih terarah mencari bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Dengan tak sabar telah dikeluarkannya jurus baru yang tak kalah dahsyatnya, jurus Dewa Membelah Duren. Kuncoro Manik terdesak ke tepian sumur. Jalan keluar untuk menghindar nampaknya telah tiada. Namun ia tetap berusaha keras untuk menangkis serangan lawannya. Walau begitu sebuah pukulan akhirnya mendarat juga di dadanya. “Dezzz!!”

Page 34: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Para dewa dan prajurit khayangan berteriak girang. Sedangkan para dewi menjerit tak tega sambil menutup mata dengan jaritnya. Jarit itu tersingkap di bagian betis dan paha. Melihat pemandangan gratis itu, para penonton, terutama yang laki-laki, pada menelan ludah terpesona. Mereka sesaat lupa pada perkelahian yang sedang terjadi di tengah arena. Kuncoro Manik salto kebelakang dan hinggap ditepian sumur yang lain. Bagaikan seekor bangau yang hinggap di atas pematang sawah. Ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan Sinkang (ilmu tenaga dalam)-nya ternyata telah mencapai taraf sempurna. Pukulan lawan tidak dirasakannya sama sekali. Melihat hal itu, mau tak mau lawannya semakin waspada. “Hiyaaaatttt!!!!” Tanpa menunggu lebih lama lagi, Kuncoro Manik balas menyerang lawannya. Dikeluarkannya jurus Angin Puyuh Menggulung Samudra yang dipelajarinya selama ini di Parang Tritis. Tentunya tempat berlatih telah mendapat ijin Nyai Roro Kidul terlebih dahulu. Sekali lawannya menggebrak, Dewa Sriyono tak mampu menghindar. “Derr!!” Tubuh yang kurus itu bagaikan orang-orangan sawah kena seruduk kerbau yang sedang birahi. Mental. Nafasnya tersengal-sengal. Sesak. Menyesal ia kelewat banyak ngrokok selama ini. “Sréséég!!” Ketika sudah berhasil menguasai dirinya, Dewa Sriyono mengeluarkan golok pusakanya. Golok yang bernama si Gablek itu hadiah dari si Pitung. Baunya wangi karena tiap Jumat Kliwon selalu dimandikan dengan kembang tujuh rupa.

Page 35: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Melihat lawannya mencabut golok pusaka, Kuncoro Manik segera merapal mantra pemberian seorang kiai dari Jombang. Ketika golok tajam itu menyambar lehernya, Kuncoro Manik tak bergeming. Para dewi khayangan kembali menjerit ketakutan sambil menutup mata. Tapi kali ini tanpa menyingkapkan jaritnya. Para penonton lelaki pada kecewa. Harapan dapat tontonan gratis, amblas. “Crraangg!!” terdengar dua benda beradu. Golok yang mendarat tepat dileher itu mental kembali seperti habis membacok tiang baja. Ternyata Kuncoro Manik tak mempan dibacok. Rupa-rupanya ia tadi telah merapal mantra Ilmu Kekebalan Tubuh. Secepat kilat, di luar perhitungan, Kuncoro Manik berhasil menyambar tangan lawannya. Dengan sekali gentakan, golok berhasil direbutnya. Lalu dibuangnya. Saat belum lenyap rasa kaget sang lawan, ia jegal tubuh lawan itu hingga terbanting ke tanah. Jatuhnya nyaring: “Dabblugg!!” “Addaaaoooww!!” teriak Dewa Sriyono kesakitan. Sambil terseok-seok Dewa Sriyono merangkak ke pinggir gelanggang. Dan berhenti tepat di muka Dewa Masno yang sedang berkacak pinggang. “Makanya jadi dewa jangan sok ‘blagu,” kata Dewa Masno. “Itu hasilnya kalau jadi dewa sering menyombongkan diri. Sering sok sakti. Kemana-mana cari perhatian. Kalau nggak dapet perhatian teriak-teriak nyari perhatian. Maunya minta di nomor satukan karena merasa paling penting.” Mendengar kata-kata abangnya itu Dewa Sriyono cuma

Page 36: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

bisa meringis Tangan kanannya memegangi pinggangnya. Sedangkan tangan kiri mengelus-elus jidatnya yang memar. Katanya dengan terbata-bata: “Tapi Kun..co..ro Manik...ternyata ..me mang...sa sakti..kang Masno...” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (12) Dewa Sriyono masih meringis-ringis menahan sakit. Tampangnya yang memelas itu menandakan bahwa ia sudah kapok. Dan juga ngeri. Benjut di kepalanya semakin terlihat. Sedangkan gusinya perih karena tadi giginya copot dua biji. Padahal kemarin baru saja pasang gigi palsu. “Apa kira-kira kakang Masno bisa mengalahkan Kuncoro Manik?” tanya Dewa Sriyono pada kakaknya. “Kalau kakang Masno mampu mengalahkannya, mulai besok saya akan berguru kepada kakang.” Mendengar ucapan adiknya, Dewa Masno naik semangatnya. PD-nya menggelembung bagai balon yang ditiup. Di dalam angannya terbayang wajah adik-adiknya yang lain yang bakal ikutan berguru. Mereka tentu akan lebih hormat dan kagum padanya. Belum lagi para dewi dan bidadari, terutama mereka yang saat ini menonton di pinggir lapangan, mereka semua bakal terpesona. “Biar saktinya kayak apa, Kuncoro Manik itu kan cuman manusia,” kata Dewa Masno. “Kalau dewa bisa kalah sama manusia, berarti bukan manusianya yang sakti, tapi dewanya yang lagi apes. Sudah sana, minggir! Biar Kuncoro Manik aku jadikan abu!”

Page 37: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Dewa Masno segera berkonsentrasi memusatkan pikiran. Di kerajaan ini ia terkenal sebagai anak muda yang sedang naik daun. Kesaktian andalannya adalah kemampuannya mengeluarkan hawa panas dari mulutnya. Apapun yang terkena tiupan hawa panas itu bakal gosong. “Hei, Kuncoro Manik! Aku, Bethara Masno, yang bakal mengusirmu!” teriak Dewa Masno. “Jangankan cuma elu, semua maju bareng gua kagak bakal lari!” kata Kuncoro Manik. “Memang kurang ajar kamu ya! Nih, terima pukulan Badai Gurun Pasir! Huppss!!” Dewa Masno mulai mengatur pernafasannya. Kedua tangannya menggapai energi yang ada disekelilingnya. Badai Gurun Pasir adalah jurus kombinasi yang telah lama dipelajarinya. “Hiiaaaattt!!” “Dhéér!” Serangan jurus itu ternyata sungguh hebat. Lawan dibuat tak berdaya. Jalan keluarnya selalu tertutup oleh tiupan-tiupan hawa panas. Setiap gempurannya ampuh dan mematikan. Kalau lawan sedikit lengah pasti bakalan jadi areng. Kuncoro Manik cukup kerepotan. Ia terpaksa menghindari setiap serangan dengan hati-hati. Untung gerakannya lincah dan atletis. Semua itu berkat disiplin latihan yang dilakukannya seminggu tiga kali di Fitness Center. Jurus lawan diimbangi oleh Kuncoro Manik dengan jurus Janda Genit. Jurus yang lemah gemulai itu merupakan jurus kegemarannya. Dan yang lebih tinggi lagi

Page 38: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

tingkatannya dari jurus itu masih ada jurus Janda Gatel. Semua jurus itu merupakan kumpulan jurus-jurus ilmu silat Kecap Cap Bango yang dipelajarinya di perguruan Gonzaga. Serangan hawa panas Dewa Masno beberapa kali luput. Salah satu serangan yang luput mengenai pohon beringin pajangan istana: “Byaaarrrr!!” Pohon beringin itu rontok semua daunnya. Hangus jatuh ke tanah. Sedangkan dahan dan rantingnya menjadi kering. Gosong. Untung nggak ada anggota Partai Beringin disitu. Kalau ada, mungkin juga bakal hangus nggak sempet ikut pemilu. “Ciaattt!!” “Wozzz!!” “Hiyaaaattt!!” Perkelahian antara Dewa Masno dan Kuncoro Manik berlangsung seru. Ternyata dua kesatria itu merupakan lawan yang seimbang. Penonton pada berdecak kagum setiap melihat kelincahan gerakan mereka. Kecuali para dewi dan bethari. Mereka pada berteriak-teriak kawatir dan ketakutan. Dewa Masno memang sakti. Tapi sayang, seperti dewa lainnya, ia pun punya sikap tinggi hati. Lebih-lebih terhadap manusia. Mereka selalu menganggap remeh. Mentang-mentang para dewa ini rata-rata punya pendidikan luar negeri, lalu mereka anggap manusia lebih bodoh dari mereka. Selain itu mereka menganggap manusia selalu lebih rendah derajatnya. Akan tetapi di lain pihak, banyak juga manusia yang ingin memiliki kedudukan seperti para dewa. Biar bisa disanjung-sanjung, dihormati, dilayani, diikuti perintahnya, ditakuti, dan juga didewa-dewakan oleh sesamanya. Manusia-manusia macam ini adalah manusia-manusia munafik.

Page 39: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Karena sikap merendahkan lawan, Dewa Masno menjadi ceroboh. Dengan tak sengaja telah ia buka pertahanannya. Ia menganggap lawannya tak akan mampu menyerang dalam posisi yang sulit. Ketika sadar akan kecerobohannya itu, ia telah terlambat. Sebuah pukulan mengenai pelipisnya: “Pleettaakk!!” “Aaacchhh!!” Ketika Dewa Masno masih terhuyung-huyung, Kuncoro Manik tak menyia-nyiakan kesempatan. Sebuah tendangan dikirimkan. Tepat mengenai rahang samping sebelah kanan lawan. Tendangan yang disertai tenaga dalam itu terasa seperti sepuluh kali lipat pukulan Mike Tyson. Lawannya terpental jauh. Kemudian jatuh berdebam. K.O. seketika. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (13) Kemarahan Dewa Brahma mencapai puncaknya. Terutama ketika dilihatnya Dewa Masno terkapar pingsan. Ia tak rela melihat rekan-rekannya dipermalukan. Apalagi hanya oleh seorang manusia. Sebagai seorang dewa, harga dirinya terasa direndahkan. Rata-rata para dewa, dan banyak juga para dewi, ogah belajar dari pengalaman. Mereka nggak mau introspeksi. Karena merasa punya wawasan luas, merasa sakti, dan merasa diri sudah bijaksana sehingga mereka menganggap diri mereka selalu benar dan selalu suci. Hal itu pula yang dialami Dewa Brahma saat ini. Ia anggap tindakannya mengusir tamunya sudah benar. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Dewa Brahma

Page 40: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

segera memusatkan pikirannya. Ia sebutkan sebuah mantra sakti peninggalan nenek moyangnya. Sesaat kemudian, kedua tapak tangannya nampak menghitam. Ia telah keluarkan jurus andalannya, yaitu jurus Lebur Bumi. Jurus ini menggunakan pukulan jarak jauh yang dahsyat. Jurus kejam yang cukup ditakuti di kerajaan Jonggring Saloka. Pukulan jurus ini mampu mengeluarkan gelombang api yang membara. Di pinggir lapangan, Begawan Pulasara yang duduk bersila komat-kamit mulutnya. Mirip seperti orang sedang berdoa. Rupanya pendita sakti itu tengah menghimpun tenaga dalam. Jari jemari tangan yang ada di atas dengkul menunjuk ke arah Kuncoro Manik. Tanpa menimbulkan kecurigaan orang, ia telah salurkan tenaga dalamnya dari jarak jauh. Melihat Dewa Brahma mempersiapkan jurus Lebur Bumi, semua dewa dan dewi, serta prajurit Jonggring Saloka pada lari terbirit-birit. Mereka tahu akan kedahsyatan jurus ini, sehingga memilih mencari tempat nonton yang lebih aman. Beramai-ramai mereka mengintip melalui lubang-lubang di pagar tembok istana. “Hei Kuncoro Bangsat! Siap-siap mampus kau kali ini!” teriak Dewa Brahma geram. “Jangankan cuman pukulan elu seorang. Elu pukul gua berame-reme gua kagak bakalan mundur, dewa-dewa geblek!” teriak Kuncoro Manik memanas-manasi lawannya. “Bangsat, lu! Hiaaaaaaa!!” “Jeeggeeerrrrr!!!” Bunyi pukulan Dewa Brahma bagaikan bunyi petir di siang

Page 41: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

bolong. Menggelegar memekakkan telinga. Para dewi dan bethari menjerit kaget. Terkena pukulan itu, lawannya terpental duapuluh meter ke belakang. Gulungan api membakar badannya. Dewa Brahma tertawa: “Hahahaha...ternyata cuma segitu aja kemampuanmu, bangsat!” Ketika para dewa dan prajurit istana sedang bersorak menyambut kemenangan mereka, Kuncoro Manik tiba-tiba bangkit. Penonton kaget bukan main. Belum pernah mereka saksikan pemandangan seperti yang terjadi saat ini. Mulut mereka menganga. Sementara itu, api masih membakar Kuncoro Manik. Tapi dengan tenang ia melangkah keluar dari kobaran api. Setelah terbebas, dikibaskannya debu yang menempel di jaketnya. Ternyata jaket Harley Davidson yang saat ini dipakainya memang ampuh. Jaket hadiah ulang tahun dari pamannya itu ternyata jaket tahan api. Melihat pemandangan di depannya, Dewa Brahma jadi gentar. Tapi ia berusaha menguasai dirinya. Ia tak ingin terlihat takut, apalagi hanya oleh seorang manusia. Kuncoro Manik kini membetulkan letak kuda-kudanya. Rupanya tadi waktu diserang, kuda-kudanya belun mantap. Ketidaksiapannya itulah yang membuatnya roboh kena terjang pukulan lawan. Beruntung sekali ia menggunakan jaket saktinya. Dan tentu saja bantuan tenaga dalam jarak jauh dari Begawan Pulasara. Tiba-tiba lawannya melayangkan pukulannya lagi: “Ciiiiaaaaatttt!!” Namun kali ini Kuncoro Manik telah

Page 42: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

siap. Bahkan diam-diam ia telah mempersiapkan jurus baru. Jurus Gunung Es Titanik. Cuma dikeluarkannya kalau menghadapi lawan yang menggunakan jurus-jurus panas. “Hiiyyaaattt!!” Kuncoro Manik segera menyambut pukulan lawan dengan pukulan balik. Pukulan jurus Gunung Es Titanik memang dahsyat. Suhu yang menyertai pukulan itu adalah minus 500 derajat Fahrenheit. Absolute zero. Pada suhu itu, bahkan sebuah partikel atom pun akan berhenti. Beku. “Buummm!!” Pertemuan dua kekuatan bagaikan bunyi rudal Patriot mengenai rudal Scud. Kali ini gantian Dewa Brahma yang terpental. Ia tak menyangka pukulan balik lawannya demikian hebatnya. Tulang-tulangnya terasa ngilu. Sementara sekujur badannya terasa meriang. Ia menggigil kedinginan seperti ayam kecemplung sumur. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (14) Melihat Dewa Brahma kalah, para dewa dan prajurit Jonggring Saloka segera keluar dari balik tembok istana. Muka mereka kelihatan sangar-sangar memancarkan kebencian. Kemarahan mereka telah mencapai puncaknya. Tapi mau bertindak pada takut, karena tahu akan kesaktian musuhnya. “Serbu!” teriak salah satu diantara mereka. Teriakan tak disengaja itu telah menjadi semacam aba-aba untuk

Page 43: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

menyerang. Tanpa menunggu aba-aba selanjutnya mereka telah berhamburan ke arah musuhnya. Senjata-senjata tajam dan mengkilat susul-menyusul keluar dari sarangnya. Dengan mengeroyok secara beramai-ramai, keragu-raguan dalam diri mereka masing-masing lenyap seketika. Tapi kali ini Kuncoro Manik tak mau ambil resiko. Ia tak mau gegabah karena tahu para penyerangnya memiliki kesaktian yang tak boleh dianggap remeh. Dengan tetap tenang diserapnya seluruh tenaga dalam yang dikirimkan Begawan Pulasara dari jarak jauh. Setelah itu disiapkannya jurus pamungkas miliknya: Pukulan Gelombang Tsunami. “Hiyaaaaattt! Ciaaattt! Heeaaa!” Terdengar teriakan-teriakan yang membahana dari sekeliling Kuncoro Manik. Serbuan itu disambutnya dengan tamparan, tabokan, gebukan, dan gebrakan. “Hiyaatt..Plak!..Adooww!” “Ciiaaat...Buukk!...Aduuh Mak!” “Heeyyaaa!..Bréééngg!...Aduuh Mas!” Tukang mie ték-ték yang kebetulan jualan disitu nggak sengaja kena gebuk. “Oh, maaf pak. Tolong jualannya minggir sedikit pak...” “Ya, mas...” Ternyata, bagi para dewa dan prajurit Jonggring Saloka, bermodal semangat saja tidaklah cukup. Dengan ginkang dan sinkang yang sempurna, Kuncoro Manik menguasai musuh-musuhnya. Satu per satu musuhnya tumbang di tangannya. Yang masih sehat pada lari pontang-panting. Namun yang laripun tak luput dari gebrakannya. Ia tiup bekas tapak-tapak kaki mereka: “Wuusss...Weesss..Wusss...Wuusss...”

Page 44: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Bethara Narada yang malas turun tangan, heran melihat Dewa Yamadipati, dewa pencabut nyawa, lari sambil membawa-bawa sapu menuju ke arahnya. “Hei, Yamadipati. Kamu itu dewa apa Dinas Kebersihan Jakarta?! Ada dewa berantem kok bawa-bawa sapu. Mau ngapain?!” “Wah..kacau man..ka..cau..man..haahh..” Dewa Yamadipati berhenti sambil ngos-ngosan nafasnya. Jidatnya kelihatan pada benjut. “Kuncoro Manik, man, ternyata memang...sakti..sekali...man....” “Iya, sakti sih sakti. Tapi kenapa kok berantem pakai sapu segala? Emangnya nggak ada senjata lain apa?” “Jangan salah sangka dulu, man. Paman Narada kan tahu Kuncoro Manik tadi itu ngamuk habis-habisan. Banyak dewa dan prajurit yang kena gampar. Beberapa bahkan sudah pada tergeletak pingsan. Nah, saya juga sempat kena gaplok tiga kali. Karena nggak tahan, makanya saya kabur. Yang lain juga saya lihat pada ikutan kabur satu per satu...” “Terus?” “Lha, pas saya nyoba lari, belum sampai sepuluh meter tiba-tiba saya jatuh. Pas saya nengok ke belakang, busyeeett....Saya jatuh itu lantaran Kuncoro Manik meniupi bekas tapak kaki saya. Pantes, yang lain juga pada berjatuhan. Nggak tahunya Kuncoro Manik meniup bekas tapak kaki mereka itu. Bener-bener ilmu gendeng, man. Baru pertama kali ini saya lihat ada ilmu kayak begitu.” “Ilmu gendeng, ilmu gendeng. Ya, kamu itu yang

Page 45: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

gemblung. Nah, terus itu sapu buat apa?” “Saya tadi punya akal, man. Saya cari aja sapu. Supaya tapak kaki saya nggak membekas di tanah, maka saya lari mundur sambil nyapu menghilangkan jejak tapak kaki saya itu. Pinter kan saya, man?” “Emang pinter, tapi tetep aja gemblung.” “Yang penting kan bisa selamet, man. Bukankah itu artinya saya bayak punya akal, man?” “Biar banyak akal tapi tetep aja pengecut. Dewa apaan kamu, ngelihat temen digebukin orang malah kabur nyari selamat sendiri. Sudah, sekarang ikut saya. Kita beri khabar Bethara Guru, bahwa keadaan tidak bisa lagi dikendalikan.” “Ya, man...” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (15) Oh, dewata mengapa tak kau sadari juga khilafnya sikapmu. Rupanya ego-mu yang setinggi gunung sudah tak mampu lagi menyadari tingginya batang-batang ilalang? Patih Narada, diiringi Dewa Yamadipati dan beberapa

Page 46: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

prajurit pengawal istana yang masih selamat dari amukan Kuncoro Manik, bergegas menuju ke bagian dalam istana. Mereka mau lapor pada Bethara Guru, raja khayangan Jonggring Saloka, tentang gagalnya tugas mengusir tamu mereka itu. Sepuluh menit kemudian, Bethara Guru keluar memakai piyama. Bobok siangnya terganggu. Di wajahnya tercermin kegusaran yang terpendam. Apalagi di dalam tadi, ia telah di ‘briefing’ oleh para pengawal pribadinya tentang kejadian di halaman istana. Sambil menyembah, Bethara Narada mengadu: “Wah, ketiwasan Adi Guru. Ternyata Kuncoro Manik sakti sekali. Tidak ada dewa yang mampu menandinginya. Bahkan mereka satu per satu roboh di tangannya. Dan ia tetap ngotot ingin bertemu paduka.” Bethara Guru nampak diam berpikir. Rupanya persoalan tidak semudah yang ia perkirakan semula. Kini ia sendirilah yang harus turun tangan menandingi kesaktian tamunya itu. Tiba-tiba raja Jonggring Saloka itu berkata: “Tunggu sebentar.” Lalu, ia masuk ke dalam. Tak lama kemudian ia keluar. Baju perang komplit telah disandangnya. Melihat penampilan sang raja, para kawulanya maklum. Nampaknya situasi kali ini sudah jadi serius. Dengan iringan para kawula, Bethara Guru keluar menuju ke halaman istana. Suasana terlihat berantakan. Tapi keadaan sudah mulai terkendali. Para dewa dan prajurit yang pingsan maupun luka-luka semua sudah dibawa mobil ambulan ke RSCM. Sebagian dibawa ke Rumah Sakit St. Carolus. Untung tidak ada yang meninggal. Rata-rata

Page 47: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

hanya pingsan terkena tamparan Kuncoro Manik. “Pendita yang dari tadi mengawasi Kuncoro Manik itu siapa, kakang Narada?” tanya Bethara Guru di pintu gerbang menuju halaman istana. Ada sedikit kecurigaan dalam benaknya. Ia seperti merasakan adanya kekuatan terpendam dari energi yang mengelilingi pandita itu. “Menurut keterangannya, ia bernama Begawan Pulasara,” demikian Patih Narada memberikan penjelasan kepada rajanya. “Dia mengaku pamannya Kuncoro Manik. Namun rupanya hanya paman angkat. Katanya, ia bertemu Kuncoro Manik setelah anak itu menanjak dewasa. Jadi diapun tidak tahu-menahu ayah ibunya Kuncoro Manik.” Bethara Guru menghampiri pendita itu. Begitu sudah dekat, energi itu tiba-tiba lenyap. Kecurigaannya sedikit demi sedikit pupus. Kini pendita di hadapannya itu nampak seperti rohaniwan biasa, tanpa kekuatan apa-apa. “Apa benar engkau pamannya Kuncoro Manik?” “Benar paduka, saya paman angkatnya Kuncoro Manik. Adapun nama saya: Begawan Pulasara.” “Hmm.. apa kamu benar-benar tidak tahu siapa orang tuanya si Kuncoro Manik?” “Ketika saya saya temukan dan angkat anak, Kuncoro Manik telah menjelang dewasa. Jadi saya tidak tahu siapa orang tuanya.” Kuncoro Manik yang dari tadi berusaha menahan emosinya, tiba-tiba angkat bicara: “Gimana nih Pak Guru? Gua tadi dateng kesini baek-baek cuman mau nanya siapa orang tua gua. Bukannya dapet jawaban bener,

Page 48: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

malah dikeroyok rame-reme. Sekarang gua kagak terima!” Bethara Guru nampak diam. Ia mencoba berpikir keras. Rupanya persoalan yang satu ini telah menjadi dilema. Kalau tidak ia selesaikan secepatnya tentu akan jadi berlarut-larut, dan lebih-lebih akan mengganggu ketenteraman negara. Kalo negara nggak tenteram perekonomian bakal berantakan. “Kakang Narada,” kata Bethara Guru tiba-tiba. “Daripada persoalan ini berlarut-larut, bagaimana kalau Kuncoro Manik saya angkat saja menjadi anak?” “Saya sih, setuju aja. Kebetulan Kuncoro Manik sakti mandraguna. Jadi malah bisa kita buat perisai negara Jonggring Saloka. Kemarin kita udah bagus-bagus punya Kopassus, eeeh sialnya mereka malah punya banyak masalah, wah jadi batal deh...” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (16) Bethara Guru, raja Jonggring Saloka, memutuskan untuk mengangkat Kuncoro Manik sebagai anaknya. Namun keputusan itu dibuat semata-mata hanya demi menghindar dari persoalan yang sebenarnya: supaya Kuncoro Manik melupakan tuntutannya untuk mencari orang tuanya. Selain itu ada dua keuntungan yang bisa di dapatkan Bethara Guru dengan mengangkat Kuncoro Manik sebagai anak. Pertama, dengan kesaktian yang dimilikinya, Kuncoro Manik bisa menjadi perisai negara, jika negara mendapat serangan dari luar. Kedua, kewibawaannya tidak jadi runtuh gara-gara tak mampu menemukan orang

Page 49: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

tua Kuncoro Manik. “Baiklah,” demikian Bethara Guru memulai sabdanya. “Kuncoro Manik, mulai saat ini engkau aku angkat sebagai anak.” Mendengar keputusan final itu, bahkan Kuncoro Manik sendiri kaget. Diangkat anak oleh dewa, apalagi dewa penguasa jagat raya, tentu membawa gengsi tersendiri. Tapi rupa-rupanya masih ada sesuatu yang mengganjal hati Kuncoro Manik. “Makasih banget, pak. Mudah-mudahan gua kagak salah sebut kalo mulai sekarang gua panggil elu bapak,” kata Kuncoro Manik. “Jadi bener nih mulai sekarang gua ini anak raja?” “Betul, nak. Mulai sekarang engkau adalah anak seorang raja. Dan terserah engkau ingin memanggilku bapak, atau ayah, atau papa, atau babe, atau daddy,” jawab Bethara Guru. “Oké, pak! Sebagai anak raja, gua ada satu permintaan. Kalau bapak kagak keberatan, gua juga pengen jadi raja.” “Kira-kira kerajaan mana yang kau inginkan, nak?” tanya Bethara Guru bingung. Ia masih belum mengerti maksud Kuncoro Manik. Kuncoro Manik diam sejenak. Sebetulnya tuntutannya itu hanya sekedar ingin memberi pelajaran kepada raja sombong, ayah angkatnya yang satu ini. Mentang-mentang punya kekuasaan terus mau bikin keputusan seenak jidatnya. Dan juga mau bertindak seenak perutnya.

Page 50: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Gua emang pengen jadi raja. Tapi kagak mau kalo pakai cara merebut kerajaan laen,” jawab Kuncoro Manik. “Kalau jadi raja pake cara begitu pasti bakal bikin ribut. Yang gua maksud adalah gua pengen jadi raja yang kekuasaannya bisa sama seperti kekuasaan elu, pak.” Gila!! Semua dewa berteriak dalam hati. Namun mulut mereka tetap terkunci rapat-rapat. Membisu. Dalam hati mereka terus memaki, benar-benar keterlaluan si Kuncoro Manik. Sudah dikasih hati, ngrogoh jantung. Sudah untung diangkat anak, sekarang malah minta jadi raja yang kekuasaannya sama seperti kekuasaan ayah angkatnya. “Kuncoro Manik, anakku,” kata Bethara Guru. Nadanya disabar-sabarkannya, walaupun mukanya nampak merah menahan amarah. “Jika memang begitu kehendakmu, itu artinya engkau ingin menjatuhkan kewibawaanku.” “Lho, jangan kesinggung dulu, pak. Gua bukannya pengen ngejatohin wibawa elu. Gua cuma minta supaya kalo gua berkuasa, kekuasaan gua bisa sebesar kekuasaan elu. Kalo itu elu anggep ngejatohin wibawa elu, ya terserah lach yaow....” Emosi Bethara Guru sudah mencapai puncaknya. Manusia di depannya ini benar-benar kurang ajar. Dan memang harus dihajar biar kapok. Kalo perlu dihajar sampai nggak bisa bangun lagi. Hanya ada satu cara menghajar manusia sakti macem begini: “Kuncoro Manik! Baik kalau itu kemauanmu. Tapi ada satu syaratannya.” “Oké. Apa syaratnya?” tanya Kuncoro Manik menantang.

Page 51: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Keinginanmu bisa tercapai asal kau kuat menahan pusaka Cis Jaludoro di tanganku ini. Kalau engkau memang mampu menahan gempuran pusakaku ini, aku bakal berhenti jadi raja. Kerajaan Jonggring Saloka akan kuserahkan padamu,” kata Bethara Guru geregetan. Para dewa dan prajurit istana kaget bukan main. Yang tadinya ngantuk langsung hilang ngantuknya karena kelewat kaget. Tapi ada juga yang bludreknya kambuh gara-gara kelewat kaget. Dan suasana paseban mulai gaduh. Perasaan ngeri menyelimuti para hadirin. Bukan ngeri karena kerajaan bakal jatuh ke tangan orang lain, tapi karena tahu apa itu Cis Jaludoro. Pusaka Cis Jaludoro adalah pusaka utama kerajaan Jonggring Saloka. Dikeluarkan hanya kalau negara dalam keadaan gawat darurat. Pusaka ini berbentuk keris. Sarungnya terbuat dari emas murni hasil galian Freeport McMoRan di Papua Barat. Dihiasi manik-manik intan berlian hadiah dari Afrika Selatan. Kekuatan senjata ini sungguh dahsyat. Sekali gempur sebuah gunung bisa rontok jadi gurun. Pusaka yang diwariskan secara turun temurun oleh penguasa Jonggring Saloka ini dulu pernah digunakan untuk menghancurkan kota Sodom dan Gomorah. Peristiwa itu terjadi pas masa pemerintahan dipegang oleh Partai Republik yang konservatif. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (17) Cis Jaludoro adalah pusaka andalan kerajaan khayangan

Page 52: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Jonggring Saloka. Pusaka itu merupakan benteng terakhir para dewa. Sudah beberapa kali digunakan untuk menangkis serangan-serangan musuh yang sakti. Dan selalu sukses. Tidak pernah ngadat alias mogok. “Oké, pak. Kalau itu emang mau lu, nih, gua serahin dada gua. Tapi, kali ini elu jangan sampai ingkar janji ya,” kata Kuncoro Manik tak menunjukkan kegentaran barang sedikitpun. “Paman Narada, elu pokoknya gua jadiin saksi ya?” “Ya..ya..iya nak. Aku saksikan dari sini...” jawab Bethara Narada. Ada nada kekawatiran dalam jawaban patih Jonggring Saloka itu. Bukan karena ia tahu apa itu Cis Jaludoro, tapi karena kesombongan sikap rajanya yang terlalu sesumbar dalam menggunakan senjata itu. “Bersiap-siaplah...,” kata Bethara Guru sambil mengeluarkan pusaka dari warangkanya, dari sarungnya. Begitu berada di luar warangkanya, warna pusaka itu berubah jadi cemerlang. Senjata itu bagaikan menyerap seluruh cahaya alam semesta. Kekuatannya membuat gemetar siapa saja yang berada di sekelilingnya, termasuk para dewa sendiri. “Gluduuukk...Gluuuddukk..Gedebuumm!!” Senjata itu ditusukkan tepat ke tengah-tengah dada Kuncoro Manik. Bunyinya menggelegar bagai petir menyambar-nyambar di siang bolong. Para dewi menjerit, bahkan ada yang menangis terisak-isak. Beberapa dewa memejamkan matanya karena tak tega. Berkali-kali Cis Jaludoro ditusukkan ke dada Kuncoro Manik. Hingga akhirnya Bethara Guru merasa letih

Page 53: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

sendiri. Sementara itu, dada Kuncoro Manik masih utuh. Tak ada satu goresanpun nampak disana. Bahkan merasa sakitpun tidak. Gila! pekik para dewa dalam hati. Benar-benar ilmu aneh. Semua dewa nampak tercengang. Rasa kagum mereka bercampur dengan rasa heran. “Adi Guru,” sapa Bethara Narada tiba-tiba. “Sudah, sudah. Adi Guru harus menerima kenyataan. Yang namanya pusaka itu, kalau dia memang ampuh, sekali ditusukkan akan kelihatan hasilnya. Tapi, kalau memang tidak ampuh ya sudah. Tidak usah ditusukan berkali-kali seperti itu. Apalagi malah buat ngiris-iris tangan segala. “Keampuhan pusaka itu tergantung dari sial atau tidak yang menggunakannya. Kalau si pengguna pusaka itu pas lagi sial, biar pusakanya super sakti, pasti nggak bakal mempan digunakan.” “Lalu, bagaimana kakang Narada? Apa memang hari ini saya lagi sial?” tanya Bethara Guru pada patihnya. Wajahnya nampak frustasi. “Ya, gimana. Saya kira sih, Adi Guru harus berani menerima kenyataan. Selain itu, janji harus ditepati. Kalau tidak, maka saya takut kewibawaan Adi Guru bakal terpuruk lagi.” “Ya, kakang Narada,” kata Bethara Guru. Lalu, ia menatap anak angkatnya sambil berkata sayu: “Anakku, Kuncoro Manik. Karena kamu sanggup menahan pusaka Cis Jaludoro maka aku akan menepati janjiku. Mulai saat ini aku akan mundur jadi raja. Dan kamulah sekarang

Page 54: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

yang bertahta di khayangan Jonggring Saloka.” “Busyeeet! Beneran nih? Apa gua kagak mimpi bisa jadi raja?” tanya Kuncoro Manik kaget. “Ya, nak. Engkau sekarang raja jagat raya.” “Hmm, makasih banget, pak. Tapi, kejadian ini bukan salah gua, lho. Ini terjadi karena bapak sendiri kan yang menginginkannya. Bapak sendiri yang mulai. Sebenernya, gua tadi cuma bilang bahwa gua ingin punya kekuasaan seperti yang bapak miliki. Jadi bukan berkuasa atas negara ini.” “Iya, nak. Itu betul.” “Nah, kalau sekarang gua jadi raja, berarti apa gelar gua sekarang?” “Ya, nak. Sekarang engkau bergelar Prabu. Prabu Kuncoro Manik.” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (18) Prabu Kuncoro Manik akhirnya menduduki tahta Jonggring Saloka menggantikan Bethara Guru. Untuk mencegah raja yang digantikannya itu terkena “Post Power Syndrome”, maka ia mengangkatnya sebagai penasehat kerajaan. Tugas penasehat adalah memberi saran dan masukan pada kebijaksanaan yang sedang dijalankan sang raja. Ada dua hal yang menyebabkan Prabu Kuncoro Manik masih memberi jabatan pada Bethara Guru. Pertama, ia tak mau

Page 55: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

ayah angkatnya itu kehilangan muka, karena telah dibuat malu. Kedua, supaya Bethara Guru, yang bekas penguasa dan tahu banyak mengenai situasi dan kondisi kerajaan, tidak merongrong kewibawaannya selama ia memerintah. “Lalu, Paman Begawan Pulasara gua jadiin Kepala Seksi Keamanan dan Politik. Sanggup kan, paman?” “Ya, nak. Aku sanggup,” jawab Begawan Pulasara. “Terus aku gimana dong? Masa aku cuman BéTé aja nih,” tanya Bethara Narada tiba-tiba. Biar bagaimanapun jiwa bekas patih kerajaan itu tetaplah jiwa seorang bangsawan. Dan bagi kaum bangsawan maupun priyayi, jabatan adalah penting sekali artinya. Melebihi kepentingan diri dan bahkan keluarganya sendiri. “Kakek Narada mau kan kalo tetap jadi patih kerajaan ini?” tanya Kuncoro Manik. “Wah, gimana ya. Tapi, oké déh. Sanggup deh,” jawab Dewa Narada berbasa-basi. “Terus aku gimana dong?” tanya Dewa Yamadipati sambil mengelus-elus jidatnya yang masih benjut. “Abang Yamadipati juga bakal pegang jabatan semula, yaitu Ketua Seksi Pencabutan Nyawa. Gimana? Sanggup?” “Oh yah. Bagus. Sanggup deh,” jawab Dewa Yamadipati lega. Dia memang sudah ahli dalam hal-hal nyabut nyawa. Kalau dia sampai dimutasi, apalagi ke Seksi Bendahara, tentu ia bakal pikir-pikir. Soalnya Seksi Bendahara kerjanya cuman ngitung keluar masuk duit

Page 56: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

doang. Udah gitu masih sering dimaki-maki orang, karena dikira pelit ngeluarin duit kerajaan. Padahal dia kagak punya kekuasaan untuk melakukan hal itu. Para dewa ini memang terkenal sembarangan kalo menggunakan uang. Mentang-mentang uang itu uang kerajaan, bukan uang pribadi, makanya suka cuèk. Kecenderungan mereka dalam memboroskan uang kerajaan kuat sekali. Mereka sanggup obral duit besar-besaran, apalagi buat nyari pujian, nama baik, dan sanjungan. Seminggu kemudian, dalam suasana udara nan sejuk karena habis hujan, dan langit yang cerah, para dewa dikumpulkan. Rata-rata mereka sudah boleh pulang dari rumah sakit. Sebagai penguasa baru, Prabu Kuncoro Manik nampaknya berkepentingan untuk memberitahukan jalan pikiran maupun kebijaksanaannya dalam memerintah kerajaan pada pertemuan itu. Untuk mencegah timbulnya keresahan, Prabu Kuncoro Manik memang sengaja tidak merubah jabatan maupun mengadakan mutasi besar-besaran di pemerintahan. Ia hanya memberikan kesempatan kepada para dewa yang memegang jabatan, untuk membenahi Departemennya maupun Seksinya masing-masing. Agar mereka bisa berkerja dengan lebih efektif dan efisien. Dalam ceramah itu pula, ia perlu memberitahu bahwa ia tidak ingin ada mis-komunikasi berkembang dalam pemerintahannya. Semua harus terbuka dan transparan. Danjuga ia ingin agar para bawahannya tidak bersikap masa bodoh dalam melakukan tugasnya. Para dewa harus punya kesadaran untuk selalu bertanggung jawab. Mendengar wejangan rajanya yang baru, para dewa dan

Page 57: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

penduduk Jonggring Saloka mengangguk-angguk seperti setuju. Namun dalam hati lain lagi bunyinya. Yah, mau apa lagi? Kebanyakan pada dewa memang bermental “Status Quo”. Jadi merupakan hal yang sulit untuk merubah sifat maupun sikap mereka itu. Sampai jagat kiamatpun barangkali belum tentu bisa. “Nah, sekarang gua ada satu pertanyaan. Apakah suatu hari nanti akan ada perang besar yang bernama: Bharata Yudha?” tanya Prabu Kuncoro Manik kepada Bethara Guru. “Betul, nak. Perang besar antara keturunan Pandawa dan keturunan Kurawa itu memang sudah menjadi kodratnya jagat raya,” jawab ayah angkat merangkap penasehatnya itu. “Apa memang kodrat itu tidak bisa digagalkan?” “Digagalkan? Tidak. Tidak bisa, nak. Karena kodrat manusia sudah tertulis dan harus dijalani.” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (19) Perang besar Baratha Yudha yang akan datang memang sudah jadi kodrat manusia yang harus dijalani. Namun, Prabu Kuncoro Manik, raja baru di Jonggring Saloka, yakin bahwa perang besar itu bisa digagalkan. Atau paling tidak dihindari. “Gimana kagak bisa dihindari? Kan yang ‘njalanin kodrat itu manusia sendiri?” demikian argumen Kuncoro Manik terhadap para dewa. “Perang kan bisa ngebikin malapetaka buat kemanusiaan. Nah, kalau manusianya

Page 58: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

sendiri punya keinginan buat menghindari terjadinya malapetaka, itu artinya perang masih bisa digagalkan.” Mendengar alasan yang cukup masuk akal dari orang yang menggantikannya sebagai raja itu, Bethara Guru cuma bisa membisu. Tapi sesaat kemudian: “Gimana kakang Narada?” “Ya, kalau saya bilang sih, itu kan haknya Kuncoro Manik sebagai raja. Mengenai bagaimana kelanjutannnya, ya nanti terserah kebijaksanaan Sang Hyang Widiwasa,” jawab Bethara Narada enteng. Sang Hyang Widiwasa, atau Sang Hyang Wenang, adalah dewanya para dewa. Orang Cina menyebutnya Thian. Orang bule menyebutnya God. Ia berkuasa atas semua mahkluk yang ada di jagat raya, baik dewa, manusia, dan juga para mahkluk halus. “Mong-ngomong, apa sih yang menyebabkan terjadinya perang Bharata Yudha itu?” tanya Prabu Kuncoro Manik. Ia cuma ingin meyakinkan dirinya kalo apa yang di dengarnya selama ini tidak salah. “Penyebabnya, saat ini keturunan Kurawa menguasai kerajaan Astina yang bukan haknya,” jawab Bethara Guru. “Padahal, kerajaan itu sebenarnya adalah milik keturunan Pandawa, saudara sepupu mereka. Nah, kembalinya kerajaan itu ke tangan keturunan Pandawa, hanya bisa dilakukan melalui perang besar itu.” “Lha, itu kan namanya para dewa kagak adil semua,” kata Prabu Kuncoro Manik kepada para dewa yang ada dihadapannya. Mendengar kritik itu, para dewa dalam hati dongkol. Tapi mau protes nggak ada yang berani.

Page 59: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Biar begitu, Prabu Kuncoro Manik sudah tahu. Ia tahu, walaupun ia kini sudah resmi diangkat jadi raja para dewa, namun sebagai manusia, ia yakin dirinya tetaplah dipandang rendah. Wejangannya cuma masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Dewa tetaplah dewa. Mereka selalu merasa bahwa derajatnya berada setingkat di atas manusia. Serba merasa tahu. Serba benar. Selain itu ada alasan lain mengapa para dewa ini ngotot sekali tidak ingin melihat gagalnya perang Baratha Yudha. Alasannya itu: karena perang ini merupakan sebuah tontonan besar bagi para dewa sendiri. “The Show of The Century”. Ibarat pertandingan tinju antara Muhammad Ali melawan Joe Fraizer. Mike Tyson lawan Evander Hollyfield. Atau ibarat piala dunia sepak bola antara kesebelasan Brasil lawan Jerman. Dalam perang Baratha Yudha nanti akan ditampilkan pertandingan adu kekuatan dan kesaktian, baik dari pihak Pandawa maupun pihak Kurawa. Buat nonton pertandingan itu, banyak diantara para dewa yang sudah memesan tempat duduk jauh-jauh hari sebelumnya. Baik melalui agen-agen maupun calo-calo. Bahkan ada yang berani membayar mahal supaya bisa dapet tempat paling depan. Yang enak yang punya jabatan. Mereka ini, terutama para anggota Dewan Perwakilan Dewa, terkadang tinggal angkat tilpun minta disediakan tempat duduk yang baik oleh pihak panitia. Dan pihak panitia mau nggak mau terpaksa menurutinya. Karena kalo nggak, bakalan bisa berabe. Saat ini, para anggota Dewan Perwakilan Dewa itu ibarat raja-raja kecil yang harus selalu dituruti

Page 60: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

keinginannya. Padahal mereka ngakunya wakil rakyat. “Kalau memang para dewa semua adil, Prabu Duryudana yang sekarang berkuasa di kerajaan Astina, harus dipaksa mengembalikan kerajaan itu pada pihak Pandawa. Kalau dia kagak mau berarti memang dia ini biang keladinya. Dan perlu dimusnahkan. Kalau biang keladinya dimusnahkan, kan perang kagak bakalan jadi. “Yang namanya perang, biar bagaimanapun bentuknya bakal menimbulkan korban yang kagak sedikit. Terutama sekali di pihak rakyat kecil. Banyak istri-istri yang bakal menjadi janda karena kehilangan suaminya, begitu juga suami kehilangan istri, anak kehilangan orang tua, dan seterusnya. Itu sebabnya kenapa gua pengen menggagalkan perang Bharata Yudha.” Pada dewa tetap diam. Mereka mendengarkan dengan serius sambil manggut-manggut. Namun hati masing-masing rusuh: memprotes, menentang, cuek, bahkan mencibir. Ada manusia kok berani ngajari dewa, huh! (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (20) Keinginan Prabu Kuncoro Manik, raja Jonggring Saloka, untuk menggagalkan perang Baratha Yudha sudah tidak bisa dibendung lagi. Dan tak ada dewa yang berani menentang tindakannya itu. Dalam hukum kerajaan, seorang bawahan harus menuruti perintah raja. Kalau tidak, akibatnya bisa macam-macam. Mulai dari mutasi dan pemecatan, sampai dengan pengucilan, dan bahkan penjara maupun eksekusi.

Page 61: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Bethara Guru yang nampak bimbang bertanya pada Kuncoro Manik: “Lalu, apa rencanamu, nak?” “Rencana gua gini. Paman Begawan Pulasara gua mau utus ke negara Astina untuk ngeboyong Dewi Banowati. Berhubung Prabu Duryudana kalau sama permaisurinya itu cintanya setengah modar, pasti ia bakal menyusul kemari kalo tahu Banowati ada disini. Nah, kalau Duryudana udah sampai disini, biar gua suruh dia supaya nyerahin kerajaannya ke pihak Pandawa. Dengan begitu perang Baratha Yudha bakal bisa dihindari. Tapi kalau dia nolak, biar tahu rasa dia. Gimana paman? Setuju kan?” “Ya, nak. Aku akan melaksanakan perintahmu. Mohon pamit, sekarang juga aku berangkat,” kata Begawan Pulasara singkat tanpa basa-basi. Setelah menyembah, dan mendapat restu dari raja, ia segera mengundurkan diri. Waktu mau berangkat, bagian protokol istana menawarinya menggunakan mobil Mercy terbaru keluaran tahun 2004. Tapi dia menolak. Ia lebih memilih naik mobil Toyota Corrola bekas yang ada di gudang istana. Tak lama kemudian Prabu Kuncoro Manik memberi perintah patihnya: “Nah, Paman Narada. Elu gua utus turun ke bumi buat manggil Prabu Kresna, raja Dwarawati. Kresna sebagai pelindung dan penasehat keluarga Pandawa, mau gua minta juga supaya menggagalkan perang Baratha Yudha. Buat jaga-jaga, Paman Narada boleh bawa semua dewa dan prajurit pilihan Jonggring Saloka.” “Wah, aku sih siap, nak. Tapi kalau Prabu Kresna nggak mau diajak kemari,” tanya Patih Narada ragu.

Page 62: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Ya, kalau sampai tugas itu gagal, Paman Narada yang bakal gua cemplungin sekalian ke Kawah Candradimuka,” kata Kuncoro Manik dingin, tapi dalam hati tersenyum. Ancaman kosongnya ternyata berhasil. “Waduuhhh! Modar aku!” kata Narada. “Hei Yamadipati, gimana ini? Jangan bengong aja kamu! Ada orang tua lagi kesusahan kok malah ngelamun!” Bethara Narada nervous mendengar ancaman Kuncoro Manik. “Ya, turutin aja, man. Paman Narada dapet iringan pengawalan para dewa dan prajurit pilihan, kenapa takut? Masa kalo rombongan kita banyak, kita nggak bisa maksa Kresna sih,” jawab Dewa Yamadipati, dewa pencabut nyawa. Walaupun jawaban itu cukup membesarkan rasa percaya diri, tapi Bethara Narada kurang bisa diyakinkan. Ia tahu siapa Kresna. Setelah rencananya mulai kelihatan jalan, Prabu Kuncoro Manik segera memanggil kepala bagian protokoler istana. Ia mau pergi ke panti pijat, karena badannya terasa pegal-pegal. Oleh protokol istana ia ditawari kereta kencana kerajaan, yang gemerlapan warnanya, melebihi gemerlapnya kereta kerajaan Inggris Raya. Tapi ia menolak, dan minta naik mobil Volvo model lama. Ketika ditawari pengawalan Secret Service, sekali lagi dia menolak. Alasannya dia mau santai, tak mau kaku. Tak lama kemudian, mobil beserta sopirnya tiba. Prabu Kuncoro Manik segera naik ke dalamnya. Begitu berada di dalam ia kaget. Ternyata sopirnya sudah tua sekali. Rambutnya putih beruban tanpa tersisa sedikitpun hitamnya. Walaupun sopir tua itu kelihatan sehat, tapi

Page 63: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

badannya nampak kurus kering. Wajahnya letih. “Nama bapak siapa?” tanya Kuncoro Manik. “Saya Dewa Paijo. Tapi panggil saya Paijo saja, paduka,” kata sopirnya merendah. “Ngomong-ngomong paduka mau ke panti pijat yang mana?” “Yang paling bagus di negri ini, panti pijat mana, pak?” tanya Prabu Kuncoro Manik, yang akhirnya manggil ‘pak’ kepada sopirnya untuk menghormatinya. “Kebanyakan mereka yang seneng pijet, terutama para pejabat, pasti nyari yang satu itu. Namanya Panti Pijat ‘Sekar Asmara’. Pemiliknya istri pensiunan pejabat. Tukang pijitnya para bidadari yang masih muda, cantik dan bahenol. Rata-rata anak kuliahan. Tapi walaupun muda, pijitannya siiip, kata mereka yang pernah kesana.” “Baik. Kalau gitu kita kesana.” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (21) Mobil Volvo dan penumpangnya meluncur menuju panti pijat “Sekar Asmara”. Panti pijat paling nge-top di seluruh kerajaan Jonggring Saloka itu terletak di perumahan elit kerajaan. Pemilik sekaligus pengelolanya adalah seorang istri pensiunan pejabat. Dulu waktu masih bertugas, pejabat itu cukup disegani kawan maupun lawan. Hingga kinipun masih begitu. Karenanya, usaha panti pijat itu tak ada yang pernah

Page 64: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

berani mengusik-usik. Padahal menurut khabar burung, kegiatan di dalamnya termasuk “Full Body-part Massage”. “Ngomong-ngomong, umur Pak Paijo berapa? Kok kelihatannya masih kuat kerja?” tanya Prabu Kuncoro Manik pada sopirnya. “Umur saya enampuluh delapan tahun, paduka,” jawab Dewa Paijo. “Sebenarnya saya sudah beberapa kali minta pensiun. Tapi tidak diijinkan. Alasan mereka: kerjaan saya belum ada yang bisa menggantikan. Ya, apa mau dikata? Memang kebanyakan anak-anak muda belum banyak tahu jalan seperti saya. Tapi saya pikir, mereka kan bisa belajar. Kalau tidak diberi kesempatan, apalagi kesempatan untuk berbuat salah, bagaimana mereka bakal maju?...” “Hmmm ya, ya masuk akal,” kata Kuncoro Manik. Dari nada bicaranya, nampaknya dewa yang satu ini ingin ‘curhat’, pikir Kuncoro Manik. Suatu kebetulan, karena iapun ingin tahu lebih jauh situasi dan kondisi negara ini. Biasanya rakyat kecil lebih jujur dalam menerangkan keadaan sekitarnya. Maka ia pancing dengan pertanyaan: “Apa menurut bapak regenerasi di kerajaan ini kurang berjalan lancar?” “Menurut saya sih, memang kurang. Gimana mau lancar kalau golongan tua masih terus ingin menguasai semua lahan? Nggak mau pensiun-pensiun. Nah, golongan mudanya cuma bisa nunggu terus sambil bengong. Yang beruntung, biasanya yang mau tunduk dan bisa ‘njilat, memang mendapat posisi jabatan. Tapi tetaplah cuma bawahan dengan semboyan ‘yes, sir’ atau ‘yes, madam’.

Page 65: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Situasi seperti itu makin parah dengan keadaan perekonomian yang lemah akibat krisis berkepanjangan, ‘rule and law’ yang tidak bener aturan mainnya, dan KKN yang masih subur. Belum lagi adanya masalah-masalah seperti separatisme, konflik antar etnik, pemboman, premanisme, dan lain sebagainya. Makanya kemajuan negara jadi terhambat.” Mendengar cerita langsung dari sosok rakyat jelata itu, Prabu Kuncoro Manik makin mendapat gambaran yang luas tentang keadaan negara yang dipimpinnya. Rupanya sistim negara banyak yang harus diperbaiki. Selain itu disiplin harus diterapkan secara keras. Tapi apa ia mampu melakukan semua itu, kalo mental rakyatnya yang pada ‘sakit’ sudah demikian akut? Dengan penasaran ia bertanya: “Pak Paijo dulu lulusan mana?” Jawab Dewa Paijo merendah: “Oh, saya cuma lulusan UGM, paduka. Dan sempat beberapa tahun di Cornell...” “Ooooh...” desah Prabu Kuncoro Manik, yang ‘Drop Out’ dari STF Driyarkara itu. Sepeninggal Prabu Kuncoro Manik dari istana, datanglah Dewa Serani. Anak Bethara Guru yang jiwanya borjuis ini nakal dan paling susah diatur. Kerjanya kelayapan dengan mobil Porche hadiah ulang tahun dari ayahnya. Dengan modal tampang, yang memang cukup lumayan, Dewa Serani kencan kesana-kemari. Ceweknya ganti-ganti. Mulai anak pejabat, turis bule, sampai pèrèk kelas teri. Untung selalu pakai kondom, jadi sampai sekarang selalu terhindar dari AIDS. Dan kalau lagi nggak pacaran, kerjanya nongkrong atau pesta dengan anak-anak pajabat dan bangsawan lain.

Page 66: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Rupanya Dewa Serani nggak sadar kalau bapaknya tiap hari kerja mati-matian ‘mark-up’ proyek untuk bisa membuat keluarganya hidup di atas garis kekayaan. Iapun nggak sadar kalau bapaknya harus bersusah payah memanipulasi keuangan negara supaya ia bisa sekolah ke luar negri, ibunya bisa jalan-jalan ke Amrik atau Eropa, dan sekeluarga bisa secara rutin belanja ke Singapura. Dan saat ini, Dewa Serani sedang naksir berat seorang cewek, namanya Dewi Jenokowati. Cewek itu anak Raden Janoko atau Raden Arjuna, salah seorang dari lima bersaudara keluarga Pandawa. Dewa Serani telah berhasil meyakinkan orang tuanya bahwa ia ingin berkeluarga. Tapi ia cuma mau berkeluarga dengan Dewi Jenokowati. Orang tuanya cukup senang dan mendukung rencana itu. Mereka memang selalu berharap, barangkali saja kalau anaknya sudah berkeluarga kelakuannya akan berubah menjadi lebih baik. Namun rupanya lain yang tersirat dalam kodrat. Dewi Jenokowati sudah jodohnya Raden Antasena. Bahkan sudah menikah dan baru saja pulang ‘honeymoon’ dari kepulauan Lombok. Antasena sendiri adalah anak bungsu dari Bimasena, juga keturunan Pandawa. “Sembah saya pada ayahnda. Semoga ayahnda tidak kekurangan suatu apapun. Semoga kerajaan ini tetap jaya dan sentosa ditangan ayahnda,” kata Dewa Serani. Ia belum tahu kalau ayahnya sudah turun tahta. Nampaknya ayahnya juga tidak mau memberitahukan kondisi yang sebenarnya. Malu. Dan takut anaknya

Page 67: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

kecewa. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (22) Langit mendung kelabu. Udara lembab tak berangin. Di paseban istana, Bethara Guru menatap anak kesayangannya. Ia senang dengan kedatangan anak itu. Wajahnya mirip permaisuri yang dikasihinya. Anak yang cerdas, dan selalu menurut perintah orang tua. “Kenapa engkau nampak resah, nak?” tanya Bethara Guru. “Sudah beberapa minggu ini saya tak bisa tidur, ayah,” kata Dewa Serani memulai pengaduannya. “Mau makan juga kurang enak rasanya. Perasaan saya tidak bisa tenang. Semua itu karena bayangan Dewi Jenokowati yang selalu muncul dalam angan-angan.” “Ya, aku tahu itu, nak. Tapi aku minta engkau tidak usah melarikan diri kepada hal-hal yang negatif. Karena aku dengar engkau sekarang banyak memakai sabu-sabu dan ecstasy.” “Saatnya nanti, saya akan berhenti, ayah. Tapi hidup saya hampa tanpa Dewi Jenokowati. Kalau ayahnda tak mampu menjodohkan saya dengan dia, saya gantung diri saja.” Dewa Serani nampak sedih dihadapan ayahnya. Anak nakal yang manja itu memang semakin hari semakin kelihatan kurus. Hasratnya untuk mendapatkan Dewi Jenokowati, tidak bisa dibendung lagi. Ia tahu, ayahnya, apalagi ibunya, bakal iba melihat keadaannya. Keadaan yang

Page 68: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

seolah-olah tragis karena ditambah dengan ratapan palsu. “Anakku,” demikian sabda Bethara Guru. “Apa yang jadi kemauanmu itu telah aku pikirkan sejak lama. Ketahuilah nak, Antasena saat ini sudah mati.” “Apakah itu benar, ayah? Antasena sudah mati?” tanya Dewa Serani. Matanya langsung tampak berbinar-binar. Ingin rasanya ia bersorak dan melonjak girang sampai ke langit ke tujuh mendengar berita itu. “Benar, nak. Jasad Antasena sudah kucemplungkan ke Kawah Candradimuka. Tapi aku minta engkau jangan bilang siapa-siapa. Karena aku tidak mau rencanaku ini diketahui siapapun, kecuali orang-orang yang bisa kupercaya.” Semangat Dewa Serani langsung menyala. Tubuh yang tadinya lesu sekarang kelihatan segar. Ia kini lega setelah mendengar salah satu penghalang, bagi bersatunya antara dirinya dengan Dewi Jenokowati, telah tersingkirkan. “Terima kasih, ayah. Lalu, apa yang musti saya kerjakan sekarang?” “Nah, sekarang turunlah engkau ke bumi. Temuilah Arjuna. Kalau bapaknya Jenokowati itu merelakan anaknya engkau lamar, maka berilah segala apa yang dia mau: Pangkat? Jabatan? Kedudukan? Kekayaan? Atau apapun yang dia mau. Tapi kalau Arjuna tidak rela menyerahkan Jenokowati, engkau bereskan saja dia sekalian,” kata Bethara Guru dingin. Mendengar sabda ayahnya, hati Dewa Serani kembali melambung tinggi. Kini ia telah benar-benar mendapat

Page 69: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

restu dari ayahnya. Maka ia yakin tak akan ada lagi yang mampu menghalangi niatnya. Sambil menyembah Dewa Serani berkata: “Ayah, saya akan pergi sekarang. Mohon doa restu!” Dewa Serani kemudian berangkat. Karena terlalu percaya diri, ia tidak membawa pasukan untuk melaksanakan niatnya. Ia cuma mengajak pembantunya, Togog. Mereka berdua menuju ke kerajaan Madukara, tempat Arjuna memerintah. Tak lama setelah Dewa Serani pergi, Patih Narada yang dari tadi terkantuk-katuk di pojokan segera beringsut mendekat kepada Bethara Guru. Ia tadi sempat tersentak mendengar sabda bekas rajanya itu pada anaknya. “Adi Guru! Urusan dengan Dewa Serani itu tadi bagaimana?” tanya Patih Narada kawatir. “Saya suruh dia menemui Arjuna untuk meminang Jenokowati. Sekaligus untuk memberi khabar kalau Antasena telah meninggal dunia. Dengan pemberitaan itu, tentu Arjuna akan rela melepas anaknya untuk berjodohan dengan Dewa Serani,” jawab Bethara Guru ringan. “Kalau Arjuna nggak rela melepas anaknya, terus bagaimana?” “Kakang Narada tak usah kawatir. Saya telah perintahkan Dewa Serani untuk memusnahkan Arjuna sekalian.” “Holly Crap!!!” teriak Bethara Narada.

Page 70: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

(Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (23) “For what is man profited, if he shall gain the whole world, and lose his own soul?” ---Matthew 16:26 Bethara Narada kaget bukan main mendengar keterangan Bethara Guru. Tindakan bekas rajanya memberi restu kepada Dewa Serani, untuk menghabisi Arjuna bukan saja membahayakan, namun juga mengkawatirkan. Besar sekali perubahan yang terjadi pada diri Bethara Guru, pikir Patih Narada. Dulu, ketika baru pertama kali terpilih sebagai raja, seluruh rakyat Jonggring Saloka mengelu-elukannya. Ia disambut dengan optimisme. Menjadi harapan akan terjadinya perubahan pada segala bidang di kerajaan itu. Perubahan seperti itu memang benar terjadi, tapi ternyata cuma sesaat. Dan sekarang, bukan saja keputusan-keputusannya mengandung semangat negatif, bahkan terkadang kontroversial. Dan itu biasanya dilakukan tanpa berembuk dulu dengan para rekan maupun bawahannya. Dari sikap itu saja sudah terlihat bahwa Bethara Guru semakin menjadi individu yang arogan. “Wah, beribu maaf Adi Guru,” kata Patih Narada. “Tapi saya kira tindakan yang Adi Guru lakukan tadi itu

Page 71: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

salah. Ingat, Adi Guru sekarang ini sudah bukan raja disini lagi. Bukankah sekarang ini Adi Guru hanya berkedudukan sebagai penasehat?” Mendengar kritik itu, Bethara Guru seperti tersentak sadar. Namun kesadaran yang terlambat: “Jadi, apa tindakan saya kali ini keliru lagi, kakang Narada?” “Ya, keliru lach yauuuwww......” kata Patih Narada kesel. “Wah, kalau Kuncoro Manik tahu, belum tentu ia akan setuju dengan tidakan Adi Guru barusan tadi. Boleh jadi malah marah.” “Lalu, saya musti bagaimana, kakang Narada?” tanya Bethara Guru. “Ya, silahkan saja ditindak lanjuti. Pokoknya saya nggak ikut-ikutan lah,” kata Patih Narada dongkol. Ia sendiri sedang puyeng memikirkan tugas yang dibebankan padanya oleh Prabu Kuncoro Manik. Penguasa baru itu telah memerintahkannya untuk memanggil Prabu Bethara Kresna ke khayangan. Walaupun kedengarannya mudah, namun ia tahu kenyataannya bakal berlainan. Prabu Kresna bukan orang sembarangan. Ia titisan Dewa Wisnu, dewa kebahagiaan, yang amat disegani oleh para dewa sendiri karena kebijaksanaannya. Raja Dwarawati itu dijuluki Andeng-Andeng Jagat alias Tahi Lalat Jagat. Kesaktiannya benar-benar tiada tandingan. Senjata pusakanya banyak. Yang terkenal diantaranya Kembang Wijaya Kusuma. Setangkai kembang yang mampu menghidupkan orang mati. Selain itu masih ada Cakra, panah tanpa busur. Panah sakti itu mampu merontokkan sukma lawannya. Selama ini tak ada yang

Page 72: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

kuat menahan gempuran senjata itu, bahkan para dewa sekalipun. “Wah, urusan saya sendiri gampang-gampang susah,” kata Patih Narada. “Entar kalau udah sampai Dwarawati saya yakin urusannya kan bakalan kusut....” “Sudah, kakang Narada tak usah terlalu kawatir dengan tugas yang terbeban saat ini. Apapun hasilnya saya akan ikut bertanggung jawab.” Bethara Guru mencoba meyakinkan. Tapi yang diyakinkan nampak ragu. “Yah udah, gini aja deh,” kata Patih Narada. “Adi Guru silahkan tinggal di istana saja. Biar saya dan para dewa, serta pasukan khayangan turun ke bumi. Berhasil tidaknya tugas saya, itu urusan nanti.” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (24) Pagi itu cerah. Mentari sedang memanja bumi dengan sinarnya. Langit biru tak berawan menjadi latar belakang warna Astinapura, ibukota kerajaan Astina. Di istana sedang terjadi kesibukan. Walaupun hari itu bukan ‘hari pasowanan’ (hari-hari yang telah ditentukan bagi para bangsawan untuk menghadap raja), namun para pejabat diharuskan menghadap. Astina adalah negri yang kaya dan sering disebut orang: sorga di dunia. Tanahnya subur hasil muntahan lahar dan abu gunung berapi. Pepohonan rimbun menghijau dengan aneka ragam buah-buahan. Kembang-kembang berbagai warna memancar menyongsong

Page 73: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

fajar. Meniupkan aroma bahagianya kehidupan. Segalanya melimpah di negeri katulistiwa itu. Termasuk air yang memancar dari tanah tak ada habisnya. Air itu bening dan manis rasanya. Mampu mengobati bukan hanya dahaganya raga, namun juga jiwa. Fauna berbagai jenis, baik yang liar maupun yang dipelihara, hidup sehat dan gemuk. Sedangkan di lautan ikan melimpah ruah sampai tak muat dijala. Namun sayang, kekayaan alam Astina yang melimpah itu tidak mampu dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh penduduknya. Hanya para elit kekuasaan, orang kaya yang punya koneksi dan kaum bangsawanlah yang berkenan menikmatinya. Rakyat yang bodoh, tak memiliki sarana untuk mengembangkan hartanya, bukannya ditolong tapi malah makin dibodohi. Kreativitas mereka terhambat, atau bahkan terkadang sengaja dihambat oleh tangan-tangan jahil para oknum penindas. Di negeri yang kaya itu, para pemimpin hanya pintar berteriak-teriak untuk kepentingan posisi, baik diri sendiri maupun kelompoknya. Mereka tak mampu memberi contoh yang baik. Sehingga yang muncul adalah rakyat yang mencontoh pemimpinnya sebagai koruptor, oportunis dan hipokrit. Agama dikedepankan, tapi relegiositas mengalami kemunduran besar. Para elit kekuasaan di negeri Astina berkuasa untuk kepentingan pribadi masing-masing. Rakyat hanya dijadikan obyek, yang kalau sudah tidak berguna, diabaikan. Bagaikan tebu, habis manis sepah dibuang.

Page 74: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Para penguasa dan wakil rakyat, yang seharusnya merupakan abdi masyarakat, malah menjadi majikan masyarakat. Buat mereka, rakyat hanyalah buruh, budak dan bedinde. Yang tenaga dan jiwanya bisa seenaknya mereka hisap untuk melanggengkan kekuasaan. Pendidikan nasional, yang seharusnya mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin masa depan, akhirnya hanya berhasil mencetak kaum robot. Mesin tanpa rasa iba. Dunia pendidikan ini bahkan masih sering digunakan sebagai tempat menggarap kepentingan pribadi maupun kelompok. Dari hasil garapan ini, munculah perubahan diri menjadi manusia-manusia bermental preman. Yang lebih senang mengandalkan kekerasan dan tawuran ketimbang menggunakan otak. Adapun raja yang berkuasa di negeri Astina, saat ini adalah Prabu Duryudana. Yang berjuluk pula Prabu Joko Pitono, atau Prabu Gendariputra. Anak Prabu Destarata dan Dewi Gendari. Ia anak pertama dari seratus bersaudara. Mereka ini disebut wangsa Kurawa. Ketika semua pejabat dan bangsawan telah berkumpul di paseban, tak berapa lama kemudian, Prabu Duryudana berkenan keluar. Pakaian kebesarannya dari kain sutera keemasan, berkilauan tertimpa cahaya siang. Ia dikawal prajurit-prajurit wanita pilihan yang cantik-cantik mempesona. Mereka ini bertugas menjaga keselamatan sang raja. Setelah duduk di singgasananya, sang raja kembali tenggelam dalam lamunannya. Diam seribu basa. Seperti

Page 75: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

ada sesuatu permasalahan pelih yang tak mudah di pecahkannya. Melihat pemandangan itu, para kawula hanya mampu duduk menunggu dan berdiam pula. Karena pantang bagi mereka untuk bicara sebelum sang raja berkenan terlebih dahulu bicara. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (25) Suasana di Paseban Agung istana kerajaan Astina masih sepi seperti di kuburan. Suara-suara lalat yang berterbangan sungguh terdengar dengan nyata. Binatang sampah itu mencari bau-bau aneh di sekitar mereka. Bau keringat para bangsawan yang belum mandi karena takut terlambat menghadiri pertemuan. Bau tengik keringat manusia katulistiwa yang bercampur dengan parfum-parfum mahal bikinan Paris. Para bangsawan masih duduk terpekur menunggu sabda rajanya. Jangankan bersuara, bahkan bergerakpun tak ada yang berani. Tidak patut menurut etika istana. Sehingga jidat mereka yang basah berkeringat segera jadi tempat bermain dan berpacaran lalat-lalat kurang ajar. Ada nama-nama besar yang saat ini sedang duduk di hadapan Prabu Duryudana, maharaja kerajaan Astina. Mereka, para pejabat dan bangsawan terpandang ini, diantaranya: Patih Sengkuni, Begawan Drona, Prabu Karna, dan Raden Kartomarmo. Mereka adalah orang-orang terdekat dan kepercayaan raja.

Page 76: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Para bangsawan ini masing-masing punya keahlian maupun kesaktian. Mereka cukup disegani oleh rakyat Astina. Tapi sayang, sifat-sifat mereka yang buruk sudah terkenal pula di manca negara. Sehingga orang segan, dan bahkan takut berurusan, karena setiap kata yang meluncur dari mulut mereka itu, ibarat semburan berancun seekor ulah kobra. Ada pula diantara orang-orang pilihan raja ini yang memiliki kharisma. Namun kharisma itu akhirnya hanya digunakan untuk kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya. Dengan kharisma itu mereka menjual idealisme dan cita-cita semu. Dengan kharismanya itu mereka ingin tetap berkuasa. Karena dengan berkuasa seseorang bisa punya ‘privelege’, disanjung-sanjung dan dipuja-puja. Duduk paling depan adalah patih kerajaan Astina, Patih Sengkuni. Waktu masih muda panggilannya Raden Haryo Suman. Ia adik Dewi Gendari. Sehingga dengan demikian ia adalah paman kandung Prabu Duryudana sendiri. Patih Sengkuni berasal dari kerajaan kecil Peloso Jenar. Ia tipe bangsawan yang hipokrit. Mampu bersikap ramah pada siapa saja sehingga orang akan senang kepadanya. Namun, sikap ramahnya itu bagaikan sarang laba-laba. Orang yang sudah merasa lekat sulit untuk melepaskan diri, sebelum akhirnya dimangsa. Selain itu, Patih Sengkuni tak segan-segan menghancurkan reputasi siapapun, bahkan mereka yang dekat dengannya sekalipun. Memang kesaktiannya tidak seberapa, namun kata-katanya tajam beracun. Dengan kata-katanya, ia mampu merubah karakter seseorang yang memiliki sifat malaikat, menjadi seperti bersifat

Page 77: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

setan. Ia manipulator yang tangguh. “Paman, Paman Haryo. Aku lihat para perisai kerajaan Astina, sudah pada datang,” kata Prabu Duryudana tiba-tiba tersadar dari lamunannya. “Yyy..ya bagaimana? Em..ya Anakprabu?” jawab Patih Sengkuni agak terkejut. Kemudian segera membetulkan letak duduknya. Setelah itu dengan iringan sembah yang kelihatan sekali menjilat berkata: “Apakah Anakprabu sudah berkenan bersabda? Kalau sudah, silahkan Anakprabu berkenan menyapa mereka.” Prabu Duryudana segera menyapa satu per satu. Dimulai dari gurunya, Begawan Drona, seorang pendita sakti. Rohaniwan yang cukup disegani dimana-mana dan telah lama mengabdi pada keluarga Astina. Ia bukan saja guru para wangsa Kurawa, namun juga wangsa Pandawa sebelum mereka terbuang dalam pengasingan. Ilmunya banyak, baik ilmu perang, perkelahian, maupun ilmu kanuragan. Wawasannya yang luas cukup disegani kawan maupun lawan. Dan ia bangga karena punya titel sekolahan dari berbagai mancanegara. Namun sayang, Begawan Drona lebih cenderung suka pada hal-hal yang menyangkut keduniawian. Karena itu, ia lebih sering terlihat berada di lingkungan kekuasaan, ketimbang di padepokan, sanggar tempat ia mengajar. Dan iapun lebih menghormati orang yang punya jabatan, pangkat, kekayaan dan titel, ketimbang rakyat jelata maupun para umat pengikutnya. Setelah itu Prabu Duryudana menyapa Adipati Karna. Raja kerajaan Awangga ini telah lama mengabdi pada

Page 78: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

keluarga Kurawa. Dan karena loyalitasnya yang tinggi, serta kesaktiannya yang mumpuni, maka ia mendapat jabatan penting di kerajaan Astina. Sayang kesatria yang tangguh dan juara dunia memanah ini punya sifat buruk. Ia seorang yang temperamental, emosian. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (26) Melihat kedatangan orang-orang dekatnya, Prabu Duryudana nampak lega. Walau terkadang masalah yang sulit sering dipecahkannya sendiri, namun kali ini ia perlu minta bantuan orang lain. “Mungkin Bapa Begawan Dorna bertanya dalam hati, kenapa saya panggil sekarang ini. Untuk itu saya minta maaf.” “Ooo, tidak perlu paduka minta maaf pada saya,” kata Dorna penuh hormat. “Justru saya berterima kasih karena paduka sudi memanggil saya. Orang tua ini, telah siap menerima perintah baginda. Mohon ampun. Kiranya ada persoalan apa hingga paduka memanggil saya? “Apa saat ini paduka ingin memperdalam ilmu-ilmu lahir maupun batin? Apa paduka ingin belajar ilmu-ilmu spiritualitas, kerohanian, maupun ilmu kanuragan? Atau paduka ingin belajar ilmu hitam seperti: santèt? pèlèt? babi ngèpèt? sihir? belut putih? jaran goyang? Atau paduka ingin menambah susuk di badan supaya para cèwèk makin tergila-gila?” “Bapa Dorna, bukan itu yang saya inginkan...” “Hm, bukan itu? Kalau begitu apa baginda ingin

Page 79: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

memperdalam ilmu peperangan? Ingin mempelajari stategi perang Sun Tzu? Genghis Khan? Sudirman? Tommy Frank? Atau ingin memperdalam ilmu perkelahian?” “Bukan, Bapa Drona. Mungkin lain kali saja saya minta pelajaran ilmu-ilmu itu.” “Oh, silahkan. Pokoknya kapan saja paduka membutuhkan, saya siap sedia membimbing. Paduka tinggal memanggil saya, ” kata Begawan Drona. Pendita elit itu memang selalu ingin tampil sebagai seorang rohaniwan yang sakti, cerdas, dan punya wawasan luas dalam berbagai hal. Setelah diam beberapa saat, Prabu Duryudana berkata: “Begini, Bapa Begawan. Saya bingung mengurai arti mimpi, yang saya dapat beberapa waktu lalu. Saya sudah berusaha mengurai arti mimpi itu dengan menggunakan berbagai macam buku primbon, bikinan dalam maupun luar negri. Tapi tetap nggak ketemu...” “Ooo, cuma persoalan mimpi toh. Tak perlu kawatir,” kata Drona dengan sombong. “Bagaimana jalan cerita mimpi paduka itu? Coba, nanti biar saya uraikan artinya.” Prabu Duryudana mulai menceritakan kisah dalam mimpi itu: Saat itu Prabu Duryudana dan permaisurinya, Dewi Banowati, dengan iringan seluruh keluarga besar Kurawa sedang piknik ke pantai Ancol. Tiba-tiba datang ombak besar menuju arah mereka. Warna ombak lautan yang biru itu tiba-tiba berubah menjadi merah, serupa warna darah. Ketika sudah dekat, ombak darah itu muncrat seperti

Page 80: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

ingin melunturkan kecantikan dan keelokan Dewi Banowati. Melihat kejadian itu, Prabu Duryudana tertegun dengan perasaan marah dan kesal. Namun tak mampu berbuat apapun. Sehingga yang timbul hanyalah rasa sesal yang mendalam. Tak lama kemudian, air darah itu berubah menjadi air yang bening. Di dalam air itu muncul bayangan wajah dua orang keluarga Pandawa, yaitu Arjuna dan Bima. “Ohhh, begitu toh. Mimpi bagus itu. Mimpi siiipp..” kata Begawan Dorna dengan mimik meyakinkan. Ia tahu, sebagai seorang rohaniwan yang disegani, dan sebagai penasehat spiritual yang mumpuni, kata-katanya di dengar oleh semua orang di Astina, termasuk oleh sang raja. Biarpun begitu, dalam hati kecilnya ada sedikit keraguan akan ucapannya sendiri kali ini. “..hmm..jadi...arti mimpi baik, Bapa Begawan?” tanya Prabu Duryudana. “Siip..eh, baik, paduka. Jangan kawatir. Begini: Ombak itu melambangkan kejadian. Darah itu merah, dan merah itu artinya suka atau senang. Jadi akan ada kejadian yang mampu memberikan rasa senang atau suka pada diri paduka. “Sedangkan Dewi Banowati terkena ombak artinya, ia akan menjadi sumber kegembiraan dan kesukaan paduka. Ia akan melahirkan anak-anak, pangeran-pangeran dan putri-putri yang akan menjadi generasi penerus tahta Astina. Dan arti mimpi terakhir, air keruh menjadi air bening, artinya kerajaan Astina, akan memancar dan jaya di bawah kekuasaan Prabu Duryudana.” “Lalu, para saudara Pandawa yang muncul dalam air

Page 81: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

bening itu? Arjuna? Bima?” tanya Prabu Duryudana penasaran. “Alaaahhh, Arjuna dan Bima itu kan cuma pada iri hati aja. Mereka sirik. Nggak boleh lihat saudaranya berkuasa, bawaannya ngintip-ngintip kesenangan orang aja. Pokoknya paduka nggak usah kawatir. Kita punya banyak kesatria yang bisa diandalkan, kalau memang ada yang mencoba mengancam negara ini. Kita juga punya banyak sekutu yang siap membela,” kata Drona bangga. Terlalu percaya diri. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (27) Tiba-tiba Adipati Karna menyembah kepada Prabu Duryudana. Lalu, ia berkata dengan gagah: “Hamba harap paduka tak perlu merasa kawatir. Jika memang ada musuh yang mengancam negeri ini, biarlah mereka berhadapan dengan saya!” “Hmmm, terima kasih kakakku Karna,” jawab Prabu Duryudana, senang melihat loyalitas senapatinya. Saat suasana paseban kembali hening, datanglah kepala pengawal istana dengan tergopoh-gopoh. Ia menyembah hingga mukanya mencium tanah. Setelah itu melapor: “Ampun paduka. Seorang pandita kampung nekat ingin bertemu dengan paduka....” Belum sampai selesai pengawal itu melapor, tiba-tiba muncul seorang pandita berpakaian sederhana. Namun pada sosok yang sederhana itu seperti terpancar kekuatan dahsyat yang tersembunyi. Hanya orang-orang

Page 82: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

yang berilmu tinggi yang dapat merasakannya. Ketika sampai di hadapan Prabu Duryudana, sang pandita segera menghaturkan sembah sebagaimana layaknya seorang kawula menyembah pada raja. Baru kemudian ia duduk dengan tenang. Pada wajahnya tak ada tergambar kegentaran sedikitpun. Suasana di paseban tiba-tiba diselubungi kegelisahan. Wajah-wajah mangkel campur marah mewarnai wajah-wajah para bangsawan maupun pejabat kerajaan. Tapi belum ada yang berani berkata sepatahpun mendahului rajanya. Mereka cuma bungkan, sambil sesekali melirikkan mata curiga dan sengit kepada tamunya. “Ampun paduka. Tadi tamu ini di pintu gerbang kerajaan....” Belum sampai kepala pengawal itu menyelesaikan kalimatnya, ia telah mendapat lambaian tangan sang raja. Pertanda ia harus segera meninggalkan tempat itu. Maka, sambil mengangkat sembah berkali-kali, pengawal itu mengundurkan dirinya. Hilang kebalik gerbang. “Kalau tidak salah penglihatanku, dihadapanku ini ada seorang pandita. Engkau ini siapa dan dari mana asalmu?” tanya Prabu Duryudana keheranan. “Paduka yang mulia, saya mengucapkan sembah ke hadapan paduka. Kedatangan saya ke Astina untuk mengabarkan bahwa di khayangan Jonggring Saloka telah ada penguasa baru, bernama Prabu Kuncoro Manik. Adapun Sang Hyang Bethara Guru, saat ini telah turun tahta, dan kedudukannya hanyalah sebagai penasehat kerajaan.” “Hmmm...lalu engkau ini siapa?” tanya Prabu Duryudana

Page 83: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

semakin bingung. “Saya adalah pandita utusan khayangan. Nama saya Begawan Pulasara.” “Hmm, ya..Begawan Pulasara. Lalu, ada keperluan apa engkau datang kemari?” “Mohon ampun paduka, jika ada kata-kata saya nanti yang mungkin salah. Pertama, saya ingin menyampaikan salam Prabu Kuncoro Manik kepada paduka. Kedua, adapun maksud kedatangan saya sebenarnya ke negeri Astina ini, karena diutus untuk memboyong permaisuri paduka, Dewi Banowati. Alasannya, karena Dewi Banowati ingin dijadikan bidadari di khayangan.” Seketika itu pula suasana di paseban ribut. Bagai lebah mendengung, para pejabat dan bangsawan istana berguman satu dengan yang lain menyatakan kekagetan dan keheranannya. Sementara itu Prabu Duryudana merah padam mukanya menahan amarah. Tiba-tiba Adipati Karna menyembah rajanya sambil berteriak: “Pancèn édan (memang gila)! Mohon maaf paduka. Boleh atau tidak boleh, saya ingin minta ijin paduka. Saya yang akan menjawab permintaan pandita ini!” “Ya, silahkan kakakku Karna...” kata Prabu Duryudana yang sudah mengetahui temperamen senapatinya. “Begawan Pulasara! Ketahuilah, aku Adipati Karna, senapati negara ini,” kata Karna sambil mengepalkan tinju di dadanya.

Page 84: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Ya, bagaimana tuan Adipati?” tanya Begawan Pulasara tenang. “Nah, ketahuilah juga, bahwa baik buruknya keadaan negara ini menjadi tanggung jawabku. Karena permintaanmu untuk memboyong permaisuri Dewi Banowati berhubungan dengan baik buruknya keadaan negara ini, maka tanggung jawabku jugalah yang akan memutuskan permintaanmu itu. “Lalu, keputusan tuan Adipati?” “Saat ini aku belum bisa memutuskan. Keluarlah! Tuggu aku di luar! Akan aku beritahukan keputusanku nanti di luar!” “Baik jika demikian tuan Adipati. Saya akan menunggu tuan di halaman luar.” Lalu, Begawan Pulasara menyembah pada Prabu Duryudana. “Hamba mohon pamit dulu, paduka.” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (28) Ketika tamunya sudah keluar, suasana paseban kembali gaduh. Dengung suara bagai seribu lebah yang sedang marah. Tapi begitu tangan Prabu Duryudana terangkat keatas baru suasana menjadi tenang. “Mohon ampun, paduka,” kata Adipati Karna sambil mengangkat sembah. “Saya telah ceroboh mendahului paduka, karena tak mampu menahan emosi. Keinginan pendita tadi untuk memboyong permaisuri Dewi Banowati, saya anggap sebagai sebuah penghinaan. Bukan hanya

Page 85: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

penghinaan terhadap paduka, tapi juga bagi seluruh penduduk Astina.” Prabu Duryudana nampak limbung: “Bagaimana pendapat Bapa Begawan Dorna?” “Apa yang dikatakan ‘nak Adipati Karna betul, paduka. Saya kira kalau tadi didiamkan, bukan cuma sampai disitu saja permintaannya. Bahkan kewibawaan paduka bisa ikut diinjak-injak,” jawab Drona mantap. Ia diam-diam masih memendam rasa kesal terhadap tingkah laku pendita kampung tadi. Sebagai seorang pendita jet-set, ia tersinggung karena tidak dipandang sebelah mata sedikitpun. “Kalau begitu, apa rencana kita selanjutnya?” Kali ini raja Astina itu benar-benar seperti kehabisan akal. “Mohon maaf, paduka,” kata Adipati Karna sambil menyembah. Kali ini ia seperti merasa mendapat lampu hijau. “Pandita itu nanti akan saya suruh pulang. Jika tidak mau, maka akan saya paksa. Mohon Bapa Begawan Dorna ikut mengamat-amati tindakan saya dari jauh.” “Oh, jangan kawatir ‘nak Adipati. Saya akan ikut amat-amati,” jawab Dorna penuh keyakinan. Walau tidak begitu kawatir, ia tetap merasa perlu waspada. Dengan iringan sembah, Prabu Duryudana beranjak dari singgasananya. Setelah raja agung yang kurang punya pendirian itu masuk ke dalam, terjadi kesibukan di paseban. Para bangsawan dan pejabat Astina mulai mempersiapkan strategi untuk mengusir tamunya. Begitu ada kata sepakat, mereka beramai-ramai segera menuju ke halaman istana.

Page 86: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Adipati Karna maju sendirian meninggalkan rombongan, ketika mereka tiba di pintu gerbang. Yang lainnya menunggu sambil mengamati-amati dari jauh. “Adipati Karna, kamu memang memiliki sikap kesatria. Tidak lama aku menunggu, rupanya kamu segera keluar,” kata Begawan Pulasara pada kesatria di hadapannya. “Kurang ajar. Rupanya sekarang hilang sopan santunmu, ya,” kata Adipati Karna yang merasa disepelekan. Padahal di dalam tadi, pendita ini begitu menghormatinya. “Orang yang minta selalu dihormati itu biasanya orang yang gila hormat. Orang yang minta selalu disanjung-sanjung itu biasanya orang ambisius yang gila sanjungan. Nah, sekarang pokoknya terserah kamu deh. Aku tunggu jawabanmu.” “Hei, rohaniwan tengik! Kamu nggak usah berlagak jagoan. Karena sebentar lagi kamu bakalan tahu akibatnya. Ketahuilah, aku akan serahkan permaisuri Dewi Banowati kalau kamu sanggup melangkahi mayatku.” “Adipati Karna,” kata Begawan Pulasara sambil tersenyum. “Kamu bakal menyesal berkata begitu.” “Bangsat! Sini tak injek-ijek jadi tempe kamu. Hiyyaaatttt!!” Adipati Karna meloncat menerkam lawannya. Seluruh tenaganya dihimpunnya dalam pukulan dahsyat yang terarah pada musuhnya. Angin pukulan itu menderu. Begawan Pulasara yang kecil perawakannya, masih

Page 87: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

berdiri dengan tenang. Kuda-kudanya ia mantapkan. Tangan kirinya ditariknya kesamping dengan telapak yang mengepal. Sedangkan tapak tangan kanannya yang terbuka dimajukannya menyambut pukulan musuh. “Brakkk!!” Bunyi pukulan yang bertemu itu mirip tukang es nabrak tong sampah. Adipati Karna mental terkena pukulan balik lawan. Badan yang terpental itu salto beberapa saat di udara, sebelum akhirnya mendarat bagaikan seekor elang hinggap di pucuk pepohonan. Walaupun demikian dadanya terasa sesak. Begawan Pulasara membetulkan kembali letak kuda-kudanya. Ketika beradu pukul tadi badannya sempat bergeser sedikit kebelakang. Namun tidak terpancar rasa sakit sedikitpun pada wajahnya. Ia cuma tersenyum. “Kurang ajar! Ciiiaaattt!!” Adipati Karna kembali meloncat menerkam musuhnya. Ia kini tidak mau mengambil resiko mengadu tenaga dalam lagi. Ia keluarkan jurus baru, Ombak Tangkubanprahu. “Ciatt!!” (Bersambung) 

Page 88: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (29) Jurus Ombak Tangkubanprahu yang dimainkan Adipati Karna memang hebat. Jurus itu telah dipelajarinya selama puluhan tahun. Pukulan jarak dekatnya membahayakan. Dan setiap sabetan tapak tangannya bagaikan sabetan dayung yang memecah air. Begawan Pulasara mencoba bertahan. Namun ia nampak kurang lincah. Di tengah-tengah serangan musuhnya, tubuhnya bagaikan seekor kecebong yang terombang-ambing di air comberan. Sementara lawannya terus mendesak membabi-buta. “Aduhhh!!” Tiba-tiba Adipati Karna memekik sambil meloncat mundur dari gelanggang. Sekujur tubuhnya terasa kesemutan seperti baru saja mendapat tagihan dari PLN. Wajahnya berubah pucat. Maka, secepatnya ia bersemadi untuk menguasai diri kembali. Patih Sengkuni mendekatinya: “Lho, ‘nak Adipati, sampeyan kok mundur kenapa?” “Wah, paman Sengkuni. Ternyata pendita itu memang sakti. Pukulan saya tidak dirasakannya. Malahan begitu dia tiup tengkuk saya, nggak tahu gimana, tubuh saya langsung meriang...” “Lha, terus gimana dong? Di pihak Kurawa, ya cuma sampeyan yang bisa jadi andelan. Nggak ada lagi,” kata Patih Sengkuni agak kawatir. Tapi akalnya segera jalan. “Kalau sampeyan nyerah, berarti permaisuri Dewi Banowati bakal kena boyong. Lha, apa nggak sedih Prabu Duryudana nanti?” Ternyata kipasan kata-kata itu manjur. Adipati Karna mulai mengeluarkan senjata pusaka andalannya. Sebuah panah sakti. Made in Jonggring Saloka, bukan made in China. Kabar burung bilang bahwa pusaka sakti itu hasil curian dari gudang senjata para Dewa. Apakah ada permainan dengan petugas? Tak ada yang tahu juga. “Sudah, paman nggak perlu kawatir. Sebentar lagi pendita itu bakal jadi bubur.” Patih Sengkuni mundur beberapa langkah. Ia memang belum pernah melihat Adipati Karna menggunakan senjata pusakanya. Tapi dari cerita mulut ke mulut, ia dengar

Page 89: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

bahwa senjata yang dinamai Konta itu sangat ampuh. Tak pernah ada satu mahklukpun yang mampu lolos hidup-hidup ketika jadi sasarannya. Bahkan kutu di kepala. Adipati Karna, juara panah Olympic, membidikkan Konta tepat ke dada lawan. “Woozzzz!!” Senjata sakti lepas dari busurnya. Bunyinya terdengar mirip peluru kendali Stinger. “Zduuueerr!!” Bunyi senjata tepat mengenai sasarannya. Ledakannya memekakkan telinga. Warga Astina bersorak gembira di pinggir lapangan, termasuk Patih Sengkuni menyunggingkan senyum kemenangan. Kumisnya yang tipis mirip pisau yang hendak mengiris bawang. Baru kali ini ia melihat dengan mata kepala sendiri keganasan senjata Konta. Beberapa saat kemudian, kegembiraan para penonton lenyap. Berubah jadi kengerian. Ternyata musuhnya masih hidup. Bahkan terlukapun tidak. Cuma menggaruk-garuk dadanya seperti habis tertabrak kecoak. “Hah? Lo, sampeyan kenapa ‘nak Adipati?” tanya Patih Sengkuni kembali menghampiri Karna. Begawan Dorna ikut dibelakangnya. Mereka berdua nampak heran melihat Senapati Astina jatuh terduduk lemes tanpa daya. “Maafkan saya, paman. Tenaga dan kesaktian saya tiba-tiba seperti lenyap,” kata Adipati Karna sambil mencoba bangkit. Tapi kemudian oleng dan kembali jatuh. “Seperti ada kekuatan yang menyedot tenaga dan kesaktian saya, paman.” “Wah, kacau nih kalau begini.” kata Patih Sengkuni. Lalu, pada Begawan Dorna ia bilang: “Gimana nih, kakang Dorna. Kalau ‘nak Adipati kalah, mau nggak amu, sampeyan andalan terakhir. Saya pengen lihat apa memang pengakuan sampeyan di depan Anakprabu Duryudana sebagai pendita serba bisa tadi bener. Kalo nggak bener, mendingan mutasi aja ke padepokan di pelosok terpencil.” Sesungguhnya bukan karena ancaman Patih Sengkuni yang menyebabkan Begawan Dorna ingin segera meringkus lawannya. Tapi karena ia ingin menunjukkan, bahwa tidak sia-sialah selama ini Prabu Duryudana memilihnya sebagai rohaniwan andalan kerajaan. Pendita yang

Page 90: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

didengar setiap katanya. Bahkan fatwa-fatwanya dituruti orang. Ia tidak ingin prestise-nya turun. “Begawan Pulasara!” teriak Dorna. “Kamu tahu kan siapa saya? Lebih baik pulanglah sekarang. Kalau rajamu yang bernama Kuncoro Manik marah, biar nanti aku yang turun tangan.” “Dorna, Dorna...bukan cuma namamu, tapi kelakuanmu juga aku sudah tahu,” kata Begawan Pulasara. “Kurang ajar!” kata Begawan Dorna marah. Ia tersinggung berat disepelekan pendita kampung yang ada dihadapannya. Maka dengan sombong, dikeluarkannya pusakanya yang bernama Cundomanik. Katanya sambil menggertak: “Kalo kamu sudah tahu siapa aku, berarti kamu juga tahu apa yang ada ditanganku ini kan?” “Jangan kamu kira aku takut sama senjata mainanmu itu. Aku bukan maling yang bisa ditakut-takuti pisau dapur begituan.” “Dasar Asu!” pekik Begawan Dorna yang keluar sifat aslinya. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (30) Seketika itu juga darah Begawan Dorna mendidih. Tensinya naik. Buru-buru ia menenangkan diri dengan bersemadi karena takut kena stroke. Ketika dirasa sudah dapat mengendalikan diri kembali, ia mulai mainkan jurus-jurus dengan memakai senjata pusaka Cundomanik. Penghinaan yang baru saja diterimanya nampaknya sudah tak ada lagi obatnya. “Bersiaplah untuk mampus, kau bangsat!” kata Begawan Dorna. Matanya mendelik memancarkan kebengisan. Napasnya terengah-engah. Jenggotnya yang tertiup angin mirip kambing Bandot yang betinanya ingin direbut pejantan lain. “Jangan lari kowé ya!” “Heyaaa!!” “Wuusss!!” Cundomanik ternyata memang senjata sakti. Angin kibasannya saja bagaikan dorongan angin sebuah truk gandengan ketika menyalip sebuah becak. Beberapa prajurit yang ilmu tenaga dalamnya rendah nampak terpental.

Page 91: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Namun pertempuran tidak berlangsung lama. Malah boleh dikatakan terlalu singkat karena Begawan Pulasara nampaknya tidak ingin mengulur-ulur waktu. Ketika senjata lawan ditusukkan ke arahnya, Begawan Pulasara nampak berkelit. Gerakkannya yang terlalu cepat tak mudah diduga. Ketika membalikkan badan, tahu-tahu tangan kanannya telah berhasil merebut senjata lawan. Sedangkan tangannya yang lain digunakannya untuk menampar pipi kanan lawannya: “Plaakk!!”. “Adduuooohh!!” teriak Begawan Dorna. Tamparan musuh bagaikan serudukan seekor kerbo liar. Perih dan panas. Karena menggunakan tenaga dalam yang tak main-main. Dua gigi gerahamnya copot, padahal kemarin habis di tambal. Rohaniwan elit itu terhuyung-huyung mundur, dan jatuh terduduk tak jauh dari Adipati Karna. Badannya meriang. Seiring dengan K.O.-nya Dorna, Patih Sengkuni memberi aba-aba kepada gerombolan Astina: “Serbuuuu!! Hancurkann!!” Mendengar aba-aba itu berhamburanlah mereka bagai air bendungan yang bobol. Senjata-senjata berbagai bentuk nampak diacung-acungkan. Dan bagi yang tidak sempat membawa senjata, apa saja mereka raih. Bahkan pohon-pohon yang baru tumbuhpun mereka cabuti. Wajah-wajah beringas nampak sudah mulai kesetanan: “Bunuh!” “Rajam!” “Cincang!” “Bakar!” Begawan Pulasara masih berdiri tenang. Kain sarung yang tadi tergantung di lehernya kini ia pegang sebagai senjata. Ketika jarak para pengeroyok sudah berada dalam jangkauan, ia kibaskan kain itu. Satu per satu mental. Bahkan banyak diantara mereka yang langsung roboh, pingsan. Patih Sengkuni yang lari belakangan, menyerang membabi buta. Patih kerajaan Astina itu kesaktiannya cuma tanggung karena yang dipikirkan hal-hal duniawi melulu. Ketika serangannya mengenai ruang hampa, lawannya cuma meniup kupingnya. Iapun roboh. Tubuhnya yang nampak menggigil itu meringkuk kedinginan. Pertempuran usai dalam tiga puluh menit. Seratus orang bergelimpangan disana-sini. Banyak yang masih mengerang-erang kesakitan, dan juga minta ampun.

Page 92: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Pakaian mahal keluaran butik-butik terkenal yang mereka kenakan nampak compang-camping. Sementara itu, Begawan Pulasara sudah mengalungkan sarungnya kembali. Kemudian dengan tenang berjalan menghampiri Dorna. Di tangannya ada senjata Konta dan Cundomanik yang barusan ia pungut. “Dorna, Sengkuni, dan juga Karna,” kata Begawan Pulasara. “Aku datang kemari itu bukan untuk mencari keributan, apalagi merebut senjata Konta dan Cundomanik. Nih, senjata-senjata kalian aku kembalikan. Males aku punya senjata kayak gituan....” Dilemparkannya dua senjata itu di depan mereka masing-masing. “Ketahuilah sekali lagi, hai orang-orang Astina. Aku datang kesini ingin memboyong permaisuri, Dewi Banowati. Tapi lihat, berhubung yang akan aku boyong ini adalah manusia, bukannya barang, maka semua keputusan ada pada manusia itu. Aku akan ajak permaisuri secara baik-baik. Dan kalau ia tidak mau, aku tak akan memaksa.” “Lalu, apakah Begawan Pulasara ingin masuk ke istana?” tanya Begawan Dorna memelas. Ia takut Prabu Duryudana tahu kalo ia telah kalah. Ia takut pamornya bakal jatuh di mata rajanya. Begitulah sifat Pendita Dorna. Biar dalam keadaan kepepet sekalipun ia tetap berusaha menjaga reputasinya. Reputasi yang telah ia bangun puluhan tahun lamanya. Baik dengan cara halal maupun tak halal. Tapi memang orang-orang Astina sendiri terkenal memiliki “jiwa pemaaf”. Hingga terkadang sikap mereka terlalu membabi buta dalam menutup mata terhadap tindakan yang dilakukan para tokoh masyarakat seperti Dorna ini. “Ooo, nggak perlu. Aku nggak perlu masuk lagi ke dalam istana,” kata Begawan Pulasara. “Permaisuri Dewi Banowati yang bakal datang sendiri kemari.” Setelah berkata begitu, pendita sakti itu mulai merapal mantra. Mulutnya komat-kamit. (Bersambung)

Page 93: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (31) Begawan Pulasara mulai memejamkan matanya. Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. Ia pusatkan pikirannya. Mulutnya komat-kamit merapal mantra, Mantra Pemanggil Jiwa: “Jopa-japu pinjal tumaning asu Ono sapi ayu ‘mlaku kabotan susu Susuné simbah kèwèr-kèwèr Moro-o nèng pangkuanku yo nggèr Tul jaénak jaé jatul jaé ji Kuntul jaré banyak ndok-é bajur karèk siji. ” Saat mantra itu bekerja, tiba-tiba angin bertiup kencang. Serangga enggan bernyanyi. Para kucing jantan mengejar kucing betina terkena panah birahi. Dijalanan, lampu lalu lintas banyak yang kedap-kedip bagai seseorang lelaki genit. Dan semua radio serta telivisi di Astina mengalami gangguan frekwensi. Para kakek dan nenek kembali bergairah, seperti baru saja menelan pil Viagra. Mantra itu memang ampuh, karena tak berapa lama kemudian, permaisuri Dewi Banowati terlihat muncul di pintu gerbang istana. Matanya sayu tertuju lurus ke depan. Jalannya pelan namun mantap. Bagai ada kekuatan dahsyat yang menuntunnya. Dewi Banowati, permaisuri kerajaan Astina memang cantik. Wajahnya adalah perpaduan kecantikan bintang-bintang film terkenal dari Holywood dan Bolywood. Alisnya melengkung bagaikan pelangi yang muncul di akhir hujan. Matanya mirip warna batu akik blue safir muda. Hidungnya mancung. Bibirnya yang sexy mirip bibir Angelina Jolie. Dan rambutnya yang ikal, hitam legam tanpa Hi-Light. Dadanya bidang terbuka. Buah dadanya bagaikan bulan purnama kembar. Tangan serasi dan lembut, dengan jari-jari tangan yang lentik. Sedangkan pinggulnya yang langsing mirip alat musik Cello yang biasa digesek pemusik Cello kenamaan: Yo-Yo Ma. Pantatnya berisi bagai dua buah semangka dibelah. Ketika berjalan, goyangannya adalah perpaduan goyang Inul Daratista dan Jenifer Lopez. Kaki dan betisnya panjang dan indah. Begitu Dewi Banowati tersadar dari pengaruh mantra, ia

Page 94: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

telah berada di hadapan Begawan Pulasara. Ia kaget bukan kepalang melihat keadaan sekelilingnya. Sementara itu semua prajurit dan bangsawan telah menyembah kepadanya. Yang terluka memaksakan diri menyembah, walau sebetulnya hanya sekedar ingin menengok kecantikan sang permaisuri. Melihat wanita dihadapannya nampak tertegun, Begawan Pulasara mencoba tersenyum ramah padanya: “Banowati. Namaku, Begawan Pulasara.” “Oh, maafkan saya Bapa Begawan. Saya sedang bingung kenapa tiba-tiba bisa berada di depan anda,” kata Banowati sembari menyembah. Kaum brahmana, dimana saja memang selalu dihormati. Hal itu wajar, karena kasta mereka paling tinggi. Namun banyak juga oknum brahmana yang menggunakan pengaruh kastanya untuk mendapatkan kekayaan, kedudukan, pujian dan kemuliaan duniawi. Padahal tugas kaum brahmana yang sebenarnya adalah sebagai penghubung antara kawula dan gusti, manusia dan Tuhan. “Saya ingat, tadi sedang berada sendirian di tamansari istana. Saya ikuti keelokan seekor kupu-kupu yang terbang diantara bunga-bunga. Namun tiba-tiba segalanya gelap. Ketika sadar, tahu-tahu sudah barada di hadapan Bapa Begawan,” kata Dewi Banowati. “Ya, memang. Sesungguhnya akulah yang menyebabkan semua itu. Tadi itu kamu telah terkena mantra saktiku. Hal itu terpaksa aku lakukan, karena aku tak mau membuat keributan di dalam seperti yang telah terjadi disini tadi.” “Ampun Bapa Begawan. Lalu, apa kesalahan saya sehingga bapa begawan memerlukan memanggil saya?” “Oh, kesalahanmu tidak ada,” jawab Begawan Pulasara. “Hanya saja, karena tugasku ada menyangkut dirimu, maka terpaksa aku gunakan cara itu. Ketahuilah, aku datang kemari sebagai utusan raja khayangan Jonggring Saloka yang bernama Prabu Kuncoro Manik. Saat ini yang berkuasa di khayangan sudah bukan Bethara Guru lagi. Ia sudah mengundurkan diri. “Prabu Kuncoro Manik mengutusku supaya memboyongmu. Nah, setuju atau tidaknya engkau diboyong ke khayangan adalah keputusanmu sendiri. Aku tidak akan memaksa. Kalau kamu nggak mau, kamu akan saya tinggalkan

Page 95: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

sekarang. Tapi kalau kamu mau, maka sekarang juga kita berangkat.” Banowati masih bingung: “Nantinya, apa yang harus saya lakukan di khayangan?” “Engkau akan diajar tata cara kehidupan khayangan. Setelah lancar bersikap dan bergaul dengan tata cara hidup di khayangan, maka akan mendapat ‘green card’, kartu ijin menetap sementara. Dan kalau kamu betah, maka pada akhirnya diperbolehkan menjadi penduduk tetap khayangan. Setelah jadi penduduk tetap itu, baru engkau bisa dilantik jadi bidadari.” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (32) Rupanya tawaran Begawan Pulasara cukup menarik bagi Dewi Banowati. Menjadi bidadari khayangan adalah idaman setiap wanita bumi. Banyak orang berlomba-lomba untuk bisa diterima. Dan jarang ada tawaran gratis seperti sekarang ini. Biasanya orang harus punya sponsor, atau paling tidak, dapet lotre tahunan. Menjadi bidadari khususnya, dan warga khayangan umumnya, bukan saja menyenangkan, namun juga mengasyikkan. Di khayangan orang tak usah terlalu berat bekerja. Segalanya ada dan tersedia. Makanan berlimpah ruah. Barang siapa ingin minum tinggal menjulurkan lidahnya di bawah dedaunan, karena minuman itu menetes seperti embun yang terjatuh di pagi hari. Udara di khayangan ada empat musim. Dan tingkat polusinya minim. Karena semua kendaraan tiap tahun harus di tes emisi dan knalpotnya. Jadi boleh dikata penduduknya rata-rata sehat. Walaupun tidak semuanya. Karena yang namanya virus, kuman dan bakteri, nggak peduli dia dewa atau manusia akan dihantamnya tanpa ampun. Biar begitu Jonggring Saloka masih jauh lebih baik dibandingkan Astina. Di Astina, polusi mencapai titik tertinggi. Karena peraturan tidak diterapkan secara tegas dan keras. Peraturan dibuat seolah-olah untuk dilanggar, dan bukan turuti. Disiplin individu kurang membudaya. Ditambah aparat pembuat dan juga pelaksana peraturan gampang dibeli maupun disuap.

Page 96: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Saya dengar di khayangan banyak bidadari-bidadari yang jadi istri dan pacar-pacarnya kangmas Arjuna. Apa itu betul, Bapa Begawan?” tanya Dewi Banowati. Sampai sekarangpun Banowati masih tetap naksir berat Arjuna. Hanya kedudukan dan kewajiban sebagai permaisuri saja yang membuatnya sukar untuk melakukan ‘affair’ semaunya. Dan ia sangat menjaga prestise dan harga dirinya. Selain itu, Prabu Duryudana, sang raja Astina, sangat tergila-gila kepadanya. Jadi segala yang diminta bisa didapatnya. “Hmmm, ya. Itu betul,” jawab Begawan Pulasara . “Dan aku kira Arjuna pun pasti datang sewaktu-waktu kesana. Jadi bagaimana? Apa engkau berminat pergi ke khayangan?” Rupanya pertanyaan sang begawan yang terakhir itu, dan tanpa adanya tekanan pemaksaan, membuyarkan keragu-raguan Dewi Banowati. Walaupun selama ini di Astina segala keinginannya terpenuhi, tapi lama-kelamaan ia meraja jenuh juga. Sekali-kali plesir pasti nggak ada salahnya. “Kalau begitu saya ikut, Bapa Begawan. Tapi saya ingin melihat-lihat dulu keadaan khayangan sebelum saya memutuskan jadi bidadari.” “Oh, itu semua terserah kamu,” kata Begawan Pulasara. Kemudian ia menghadap pada warga Astina yang masih bergelimpangan, “nah, dengar. Dorna, Sengkuni, Karna, dan semuanya. Dewi Banowati setuju ikut aku ke khayangan. Semua itu atas kehendaknya sendiri. Aku tidak memaksa.” Tak berapa lama kemudian datang pesawat ruang angkasa Rusia, Soyuz, dengan pilotnya, Vladimir Putin. Rupanya Begawan Pulasara sudah mencarter pesawat itu jauh-jauh hari sebelumnya. Walaupun birokrasi di Rusia masih cukup rumit, namun tidaklah sukar untuk menyewa pesawat ruang angkasa. Uang berbicara. Kemarin sebenarnya ia sudah mencoba menghubungi Amerika buat menyewa pesawat mereka. Tapi malah dapat jawaban arogan: mereka tak butuh uang dan pesawat ruang angkasa mereka tak bisa disewa-sewakan karena dapat membahayakan sekuriti nasional. Akhirnya Begawan Pulasara mundur tanpa argumen. Biarpun ia tahu bahwa Amerika sekarang ini sedang mengalami defisit pada anggaran belanjanya.

Page 97: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Ketika pesawat mendarat, Begawan Pulasara dan Dewi Banowati segera masuk ke dalamnya. Setelah itu pesawat ruang angkasa take-off menembus awan menuju khayangan. “Wah, kok jadi begini, nih,” kata Patih Sengkuni memecah keheningan. Kini ia berniat melepas tanggung jawab. “Mimpi keponakan saya itu tadi yang meramal sampeyan lho, kakang Dorna. Sampeyan tadi bilang bahwa akan ada kejadian yang baik dan menyenangkan hati Anakprabu Duryudana. Nah, sekarang lihat kenyataannya. Kok jadi hancur-hancuran begini?” Begawan Dorna tahu, Sengkuni sedang mencari kambing hitam. Dan nampaknya dirinyalah yang akan dijadikan kambing hitam. Tapi ia tak bisa mengelak dari dakwaan itu. Soalnya tadi waktu disuruh meramal mimpinya Prabu Duryudana, ia memang ngeramal sembarangan. Karena sebenarnya nggak begitu ngerti arti mimpi itu. Semua ia lakukan gara-gara takut kehilangan wibawa sebagai orang yang dihormati. Sebagai orang yang serba bisa dan serba mengerti dimata raja dan semua penduduk Astina. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (33) Dorna tidak ingin jatuh dari kedudukannya. Baginya kedudukan atau jabatan adalah segalanya. Kalau sampai jatuh, tentu harga diri dan kewibawaannya ikut jatuh pula. Maka ia berusaha waspada terhadap ancaman Patih Sengkuni. “Udahlah, tenang dik Haryo. Ini cuma persoalan kecil. Dan saya sudah punya akal. Saya akan adukan masalah ini pada murid saya, Arjuna.” “Maksud sampeyan, kang Dorna?” tanya Patih Sengkuni kurang begitu paham. “Maksud saya begini,” kata Begawan Dorna. “Arjuna nanti kita tipu. Biar saya bilang padanya, bahwa Prabu Duryudana bakal menyerahkan sebagian tanah Astina kepada keluarga Pandawa, kalo ia mampu membawa kembali Dewi Banowati kemari.” “Rencana itu nampaknya oké, kang. Dan saya tahu si Arjuna sakti. Tapi apa dia bakal mampu merebut Dewi

Page 98: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Banowati dari tangan Begawan Pulasara. Sampeyan tahu kan pendita itu kesaktiannya nggak main-main?” “Iya tahu. Tapi jangan khawatir. Saya denger kesaktian Arjuna kini sudah mulai nambah. Apalagi sejak dia lulus Phd dari luar negri.” Akhirnya mereka semua setuju. Maka, dengan iringan pasukan yang besar, disertai persenjataan komplit, berangkatlah rombongan Astina yang dipimpin Dorna. Patih Sengkuni ikut dalam rombongan itu. Ia memaksa ikut karena takut kena damprat keponakannya. Untuk memimpin keamanan kerajaan selama Dorna dan Sengkuni pergi, beban diserahkan pada Adipati Karna. Sementara itu jauh di bumi utara terletak hutan Boroneyo. Nampak seorang kesatria, dengan iringan para punakawan, tengah berjalan dipinggirannya. Mereka merencanakan masuk ke dalam hutan itu. Hutan Boroneyo termasuk hutan yang masih perawan. Ratusan ribu pepohonan besar yang berumur puluhan, bahkan ratusan tahun, tegak berdiri dengan gagahnya. Pepohonan itulah yang banyak menghasilkan kayu gelondongan untuk kebutuhan dalam maupun luar negeri. Banyak pengusaha yang memiliki HPH (Hak Pengusahaan Hutan) menjadi kaya karena usaha penebangan hutan itu. Terkadang para pemegang HPH ini melakukan penebangan melebihi kuota yang telah ditentukan. Untuk dapat melakukan hal itu, mereka banyak bekerja sama, baik dengan aparat pusat maupun aparat setempat. Kesatria yang tengah berjalan menuju ke jantung hutan itu tak lain daripada Raden Arjuna. Ia diiringi Semar beserta ketiga anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong. Sudah dua jam ini mereka berjalan semenjak istirahat yang terakhir. Kini mereka kembali merasa letih, dan memutuskan untuk kembali istirahat. Arjuna berjalan mencari tempat yang sunyi. Ia ingin bersemadi, memulihkan kembali semangatnya dan juga tenaganya yang telah terkuras dalam perjalanan. Sementara itu para punakawan menyiapkan perkemahan dan makan siang. Kecuali Semar yang minta ijin pergi mencari buah-buahan. “Gua heran deh, Truk,” kata Bagong tiba-tiba. “Juragan

Page 99: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

kita, Raden Arjuna, itu kok ya masih suka keluar masuk hutan buat bersemadi. Padahal apa sih kekurangannya? Istana punya. Rumahnya banyak, termasuk rumah kontrakan. Mobilnya juga banyak, termasuk yang disewakan untuk Angkot. Istrinya cantik. Anak-anaknya pada sukses semua. Mau nyari apa lagi sih dia?..” “Huss! Jangan kenceng-kenceng kalo ngomong. Entar kedengeran juragan,” potong Petruk. “Juragan kita emang lain dari pada yang lain kok,” kata Gareng menengahi. “Banyak memang, orang kalo udah kaya terus lupa ama latar belakang dirinya. Bahkan terkadang lupa ama yang di atas. Nah, kalo juragan kita kagak. Biar dia udah punya segalanya, tapi dia nggak lupa ngucapin terima kasih kepada para dewa, dan Sang Hyang Widiwasa, atas apa yang udah dia dapetin.” Gareng mulai bercerita: tadi ketika mereka mau berangkat, Arjuna memanggil Semar. Kebetulan disitu ada dirinya, maka sekalian aja diajak rembukan. Mereka diberitahu agar mempersiapkan perjalanan masuk ke hutan Boroneyo. Arjuna ingin bersemadi. Bertanya pada dewata, kemana gerangan hilangnya menantunya, Antasena. Tangis anak perempuannya, Dewi Jenokowati, yang tengah kehilangan suaminya, ikut membuatnya sedih. Karena itu ia memutuskan mencari si Antasena. Ia tak mau besannya, Bimasena, tahu. Ia takut besannya itu bakal marah besar jika tahu kalau anaknya hilang. Karena kalo sang besan sampai marah, akan sukar dikendalikan. Dan malah bikin situasi tambah runyem. “Oh, gitu toh ceritanya,” kata Bagong. Saat mereka bertiga sedang melanjutkan masak, dari jauh tampak dua sosok yang gemerlapan. Benar-benar pemandangan mengagumkan. Dalam hati mereka mencoba menebak-nebak, siapa gerangan yang datang itu? (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (34) Dua sosok berjalan menuju perkemahan Raden Arjuna. Pakaian mereka yang tertimpa cahaya mentari nampak berkilauan dari jauh.

Page 100: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Ketika sudah dekat, baru sosok mereka bisa dikenali. Yang gagah dan tampan ternyata Dewa Serani. Sedangkan pengiringnya tak lain adalah Togog. Jika Ki Lurah Semar adalah dewa yang memiliki tugas mengasuh para kesatria di jalan kebenaran. Togog adalah dewa pengasuh para kesatria yang berada di jalan yang salah. Begitu tiba di perkemahan, Bagong dengan cuèk menyapa duluan: “Eh, Selamat datang Waser.” “Hussss!!” bentak Togog. “Waser, waser, emangnya ambeiyen!” “Oh, maaf ‘wak Togog. Maksud saya Tuanku Dewa Serani. Apa khabar, Tuan?” “Heh, biasa aja,” jawab Dewa Serani tersenyum sinis. “Gimana khabarmu?” “Kami bertiga baik-baik saja, tuan. Maaf atas kelancangan Bagong,” jawab Gareng. Ia sengaja menyambar pertanyaan tamunya sebelum mulut Bagong yang lancang dan nggak tahu aturan menjawabnya. “Wah, kaget juga bisa ketemu sama tuan Dewa Serani di tengah-tengah hutan. Mau kemana, tuan?” “Aku sedang mencari majikanmu. Kemana dia?” “Tadi beliau bilang mau bersemadi melepaskan lelah, tuan,” jawab Petruk. “Hmmm. Coba panggilkan sana. Beritahu dia, bahwa Dewa Serani ingin bertemu.” “Baik, tuan,” jawab Petruk sambil menunduk-nunduk pergi. Belum sampai duaratus meter berjalan, Petruk melihat majikannya turun dari perbukitan. Wajahnya nampak cerah. Pertanda bahwa kekuatannya telah pulih kembali. Melihat hal itu Petruk jadi lega. Tak ada yang perlu dikawatirkan lagi. Bahaya yang membayang, menyusul kedatangan kedua tamunya, sedikit demi sedikit sirna. Lalu, dengan berlari-lari kecil, ia hampiri juragannya. “Tampaknya ada tamu ya, Truk?” tanya Arjuna lebih dahulu. “Hmm, Dewa Serani?”

Page 101: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Betul, tuan. Tapi...hati-hati lho, tuan,” kata Petruk setengah berbisik. “Si Trouble Maker. Perasaan saya kok nggak enak kalau ketemu dia.” “Hmm, nggak apa-apa. Tenang aja,” kata Arjuna seraya bergegas. Petruk pun ikut mempercepat langkahnya. Langit masih cerah. Udara tak begitu panas karena angin bertiup sepoi-sepoi. Pepohonan bergoyang-goyang seperti penari Serimpi yang kompak. Ketika pepohonan mengayun agak keras, para serangga yang tadi selalu berbunyi, berdiam sebentar. Setelah itu berbunyi lagi seperti penyanyi koor gereja. Bunyi nyanyian itu datang dari serangga-serangga Tonggeret dan Garengpung yang menggesek-gesekkan sayap mereka. Setelah sampai di perkemahan, Arjuna memberikan sembah kepada tamunya. Hal itu memang sudah jadi kebiasaan di jagat raya ini. Walaupun Arjuna dan Dewa Serani sama-sama kesatria, namun derajat mereka berbeda. Dewa Serani adalah seorang dewa, sedangkan Arjuna hanyalah manusia biasa. Derajat dewa lebih tinggi dibandingkan derajat manusia, sekalipun manusia itu memiliki kedudukan sebagai seorang raja. “Apa khabar, kakang (kakak) Arjuna?” sapa Dewa Serani pada kesatria di hadapannya. “Khabar baik dimas (adik). Bagaimana khabarmu sendiri? Dan tumben, tidak biasa-biasanya kita bertemu di jalan. Apalagi di pinggiran hutan seperti sekarang ini,” jawab Arjuna. “Silahkan dimas dan paman Togog minum-minum dulu. Tentunya haus setelah perjalanan jauh.” “Ah, tidak usah. Kami masih kenyang,” kata Dewa Serani sambil geregetan melihat Togog. Mata pembantunya itu nampak mengincar ikan asin yang tengah dipersiapkan Gareng. “Ya, kan paman Togog?!” “Ha? Oh ya, ya. Kami tadi sempat mampir di Lembur Kuring. Hehehe...jadi masih kenyuuangg,” jawab Togog meringis. “Sebenarnya bukan kebetulan kita bertemu disini.” Dewa Serani menyingkapkan selendangnya. Sekilas nampak senjata pusakanya yang mengkilat terselip di pinggang. “Kami tadi sempat mencari ke rumahmu, ke Madukoro.

Page 102: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Namun kami mendapat jawaban, bahwa kamu dalam perjalanan semadi ke Hutan Boroneyo. Jadi kami menyusul kemari.” “Hmm, nampaknya ada keperluan penting apakah hingga dimas mencari-cari saya?” tanya Arjuna. Ia telah merasakan datangnya bahaya. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (35) Burung alap-alap terbang diangkasa. Sayapnya yang lebar terentang, seolah bayangan maut yang siap memayungi korbannya. Pada ketinggian seperti itu, tatapannya yang tajam mengincar calon korbannya. Bagi calon korban yang waspada, mereka memiliki dua pilihan, menghindari atau melawan dengan segenap kekuatannya. Namun bagi yang lengah, tamatlah riwayatnya. “Kakang Arjuna. Aku ingin bicara langsung saja pada pokok permasalahannya,” kata Dewa Serani dengan nada serius. “Ketahuilah. Saat ini menantumu, Antasena, sudah mati. Karena itu aku ingin melamar anakmu, Dewi Jenokowati. Dan aku kira, kurang baik buat anakmu kalau ia terlalu lama menjanda.” Panas hati Arjuna seperti terpanggang di atas tungku. Emosinya menggelegak bagai kawah gunung berapi yang siap meledak. Ingin rasannya ia segera merobek-robek mulut dewa yang ada di hadapannya ini. Namun nalurinya menyuruhnya menahan diri. “Kakang Arjuna, engkau tak usah kawatir. Kalau Jenokowati mau jadi istriku, ia akan aku jadikan permaisuri. Ia tak akan aku jadikan selir. Dan mengenai emas kawinnya, silahkan kakang Arjuna sebutkan apa yang kakang inginkan. Mau rumah bertingkat di Pondok Indah? Mau Lamborgini? Atau Roll Royce? Atau perhiasan satu ton beratnya? Semuanya akan aku penuhi. Oh ya, jangan lupa. Tindakanku ini telah mendapat restu ayahku, Sang Hyang Jagat Nata Bethara Guru.” Suasana kembali hening. Suara anjing hutan yang melolong-lolong terdengar sayup-sayup di kejauhan. “Dimas Dewa Serani,” kata Arjuna tenang. “Sebetulnya

Page 103: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

salah satu tujuan kepergian kamipun dari Madukara, adalah mencari kemana hilangnya Antasena. Ia tiba-tiba saja bisa lenyap dari muka bumi. Namun kini aku heran setelah mendengar berita darimu bahwa Antasena sudah mati. Bagaimana dimas bisa tahu perihal kematian Antasena? Sedangkan khabar burung tentang kematiannya saja kami tak pernah dengar?” Seketika itu juga Dewa Serani menjadi gugup. Ia ingat pesan ayahnya supaya tidak menceritakan perihal pembunuhan Antasena kepada siapapun. Salah tingkahnya itu ditutupinya dengan perkataan yang malah membuat lawan bicaranya makin curiga: “Ah, sudahlah. Hal itu tak usah kita persoalkan...kita lanjutkan saja pembicaraan mengenai rencana lamaranku pada Dewi Jenokowati.” Awan-awan kelabu bergerombol memenuhi angkasa. Awan yang menyembunyikan mentari membawa suasana sejuk. Namun toh kesejukan itu tak terasa dihati dua kesatria yang kini tengah berhadapan. “Dimas Dewa Serani belum menjawab pertanyaanku,” desak Arjuna. “Darimana dimas tahu kalau Antasena sudah tiada?” Dewa Serani tersenyum, namun mukanya kentara sekali memerah. Kegugupannya semakin menjadi-jadi. Ia nampak berusaha menekan perasaannya: “Alaahh, itu tidak penting. Yang penting, sekarang kakang Arjuna mengijinkan apa tidak, Jenokowati aku ambil istri?” Arjuna kini bukan saja tersinggung, malah semakin mencurigai anak dewa yang kurang ajar ini. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikannya. “Cuma ada satu jawabanku,” kata Arjuna tenang. “Langkahi dulu mayatku jika kau ingin mengambil anakku sebagai istrimu.” “Bullshit!!” teriak Dewa Serani. “Kalau itu yang kau mau, bersiap-siaplah jadi bangkai!” Bersamaan dengan teriakan itu, Dewa Serani menyingkapkan selendang suteranya. Pada selendang itu tersulam kata-kata yang terbuat dari benang emas: “Love or Perish”. Lalu, sarung suteranya yang berkilauan, diikatnya kuat-kuat di badannya. Setelah itu, ia memasang kuda-kuda. Sebuah tattoo bergambar

Page 104: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Mickey Mouse menyembul di betisnya. Arjuna dengan tenang mundur selangkah membetulkan letak kuda-kudanya. Baru kali ini ia berhadapan dengan Dewa Serani. Walaupun ia sering mendengar tentang kesaktiannya, namun ia tidak merasa gentar. “Hiaattt!!” Dengan sebuah teriakan yang melengking, Dewa Serani menerjang lawannya. Ia keluarkan jurus ‘Dewa Maut Mencengkeram Jagat Raya’. Jurus dahsyat pemberian orang tuanya itu diwariskan secara turun temurun. Setiap pukulan dari serangannya ditujukan pada bagian-bagian yang membahayakan. “Chiaatt!!” “Hiyaa!!” Angin dari pukulan jurus andalan Dewa Serani benar-benar menggetarkan. Udara sekitarnya panas bagai terkena lambaian sebuah gada yang membara. Daun-daun di pepohonan rontok satu per satu. Sementara, rerumputan dan semak-semak layu seketika. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (36) Pertempuran antara Raden Arjuna dan Dewa Serani sungguh dahsyat. Hutan yang tadinya sepi kini menjadi hingar-bingar. Membuat binatang maupun serangga yang ada di sekitar situ lari tunggang langgang. Semetara itu beberapa pohon telah rubuh terkena terjangan pukulan yang luput. Dewa Serani ternyata salah perhitungan. Ia pikir, hanya dalam beberapa jurus saja musuhnya akan binasa ditangannya. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Bahkan ia sendirilah kini yang harus mempertahankan diri dari serangan-serangan balasan musuhnya. “Kakang Arjuna!” teriak Dewa Serani setelah meloncat mundur. Napasnya ngos-ngosan. Dalam keadaan seperti itu, ia baru ingat bahwa ia harus mengurangi kebiasaannya merokok kretek. “Kini terimalah ajalmu! Bersiap-siaplah menjadi abu!” Dengan geram Dewa Serani mengeluarkan jurus barunya. Jurus Tapak Geni adalah pemberian Dewa Brahma. Apapun yang terkena pukulan jurus itu akan terbakar habis jadi abu. “Ciaaaaattt!!” “Buumm!!”

Page 105: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Arjuna yang tak menyadari akan datangnya serangan, tak punya kesempatan untuk mengelak. Gumpalan api yang datang bersama pukulan musuh menerjang tubuhnya. Dalam sekejap, tubuhnya sudah terlalap api yang berkobar-kobar. Melihat pemandangan mengerikan itu, para pembantunya berteriak ketakutan. Petruk yang pertama keluar dari persembunyian, disusul Bagong. Lalu, Gareng datang terpincang-pincang. Para punakawan yang panik hanya bisa berteriak-teriak. Tapi mereka takut mendekat. Kobaran api demikian besarnya. Karena frustasi, akhirnya Petruk dan Gareng cuma bisa menangisi tubuh juragannya yang terbakar. Sementara itu Bagong lari menuju ke sungai mencari air. Tiba-tiba terdengar suara Arjuna dari dalam api: “sudah, sudah stop, jangan nangis kayak anak kecil begitu. Aku tidak apa-apa. Aku masih hidup.” Kedua punakawan itu segera menghentikan tangisnya. Mereka berdiri heran setengah tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Petruk yang memberanikan bertanya: “Lho, tuan. Kalau masih hidup kok masih enak-enakan ada di dalam api?” “Aku sengaja lama-lama disini karena baru mencuci jaket ini. Kata penjualnya, jaket ini harus sering-sering dicuci dengan api peperangan kalau ingin bertambah kesaktiannya,” tutur Arjuna. Rupanya tadi sebelum bertempur, Arjuna telah memakai jaket jeans andalannya. Jaket tanpa lengan itu dibelinya seminggu yang lalu, waktu iseng jalan-jalan ke Pasar Loak Taman Puring, di daerah Kebayoran Baru. Kata tukang loak yang menjualnya, pemilik jaket itu adalah dewa yang tidak mau disebutkan namanya. Sang dewa terpaksa menjual jaket saktinya karena lagi butuh uang untuk bisa datang ke reuni SMA-nya. Tak lama kemudian Arjuna keluar dari api tanpa luka bakar secuilpun. Wajah kedua pembantunya berubah cerah. Tapi pandangan mereka lebih ditujukan pada jaket majikannya. Dalam benak masing-masing sudah tersusun rencana untuk pergi ke Pasar Loak Taman Puring nanti, jika tugas telah selesai. Mereka memang sering dengar, bahwa di Taman Puring sering dijual barang-barang bermerek yang sudah bekas dengan harga miring.

Page 106: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Terus gimana, tuan?” tanya Petruk kepada Arjuna. “Tolong ambilkan busur panahku,” kata Arjuna. “Dan bawa kesini anak panah yang tumpul. Biar aku kirim si brengsek Dewa Serani ke Nusakambangan.” Ketika senjata sudah ada di tangan, Arjuna membidikkannya pada Dewa Serani. “Wuuzzz!!” “Zgeerrr!!” Panah sakti mengenai sasarannya. Begitu terkena, tubuh itu lenyap seketika. Bagaikan seekor semut terkena sentilan jari manusia. “Wah, hebat!” teriak Petruk kegirangan. “Apa Dewa Serani itu tadi langsung masuk penjara di Nusakambangan, tuan?” “Iya, Truk. Biar aja, untuk sementara kok,” jawab Arjuna. “Apa senjata itu juga bisa digunakan untuk memanah dewa-dewa yang pada korupsi milyaran rupiah, biar sekalian bisa pada masuk ke Nusakambangan, tuan?” “Bisa aja sih, Truk. Tapi nampaknya iklim politik belum mengijinkan...” Petruk mengerti maksud majikannya. Jaman sekarang memang masih susah memenjarakan para dewa yang pada korupsi. Apalagi kekuasaan dan pengaruh mereka itu luar biasa besarnya, susah disentuh. Ditambah aparat penegak hukum yang juga belum bersih. Akhirnya semuanya cuma bisa menunggu-nunggu datangnya jaman baru. Tapi sampai kapan? (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (37) Hutan Boroneyo kembali tenang. Mendung di angkasa tersapu angin, hingga terbukalah celah bagi sinar sang mentari. Burung-burung terbang kembali ke sarangnya. Demikian rindunya mereka pada anak-anak yang tak sempat dibawanya ketika harus mengungsi tadi. Pertemuan antar keluarga, teman dan handai taulan bangsa unggas itu menghasilkan kicau yang berisik. Begitu Togog pergi, sambil terus-menerus minta ampun, dan terus menerus melirik ke arah ikan asin, Arjuna

Page 107: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

dan para pembantunya kembali berbenah. Walaupun kemah porak poranda akibat perkelahian tadi, namun beruntung makanan masih utuh. Maka, selesai berbenah, mereka segera makan siang. “Tuan, apa Dewa Serani itu bisa sadar sama kesalahan-kesalahannya?” tanya Gareng pada Arjuna, ketika mereka sedang menikmati makan siang. “Hmm, nggak tahu aku, Reng. Kalau dia nggak bisa sadar sendiri, paling-paling nanti kan akan ada yang membuatnya sadar.” Selesai makan, Arjuna memerintahkan Bagong, yang sudah balik dari sungai, untuk mencari Semar. Waktu Bagong baru berjalan seratus depa, ia berhenti melangkah. Sambil berdiri tertegun ditatapnya iring-iringan besar prajurit yang nampak di kejauhan. Iring-iringan itu menuju ke perkemahan mereka. Ia segera kembali ke perkemahan sambil melaporkan apa yang dilihatnya pada majikannya. Iring-iringan itu nampak mendekat. Di barisan paling depan ada dua gajah dikawal puluhan prajurit berkuda di sampingnya. Di belakangnya ada dua kompi prajurit bersenjata lengkap. Tidak ketinggalan pula beberapa mobil jip Hummer dengan senapan mesin menyembul di atasnya. “Hmm, Paman Sengkuni dan Kakek Begawan Dorna,” guman Arjuna ketika tahu siapa yang duduk di atas gajah-gajah itu. Petruk yang kurang awas karena matanya sudah minus, terperanjat mendengar kata-kata boss-nya. Dari mulutnya keluar peringatan: “Wah, hati-hati, tuan. Orang-orang berbahaya.” Rombongan besar dari kerajaan Astina itu sampai. Dua gajah dan kuda-kuda tunggangan dibawa ke sungai untuk di beri minum. Kepala rombongan terdiri dari Patih Sengkuni, Begawan Dorna, beberapa bangsawan, dan para jendral serta kolonel. Lalu, dibelakangnya dengan muka yang sangar-sangar para prajurit bawahan, dipimpin oleh mayor, kapten dan letnan-letnan mereka. Tiga regu prajurit diperintahkan menjaga dan mengawasi daerah itu. Pemandangan yang terlihat adalah tipikal pemandangan

Page 108: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

bala tentara kerajaan Astina. Mereka yang berpangkat kolonel dan jendral kelihatan gemuk-gemuk, sedangkan yang berpangkat mayor kebawah terlihat kurus-kurus. Prajurit di Astina gajinya kecil-kecil. Cuma yang beruntung bisa ngobyek (menjadi beking perjudian, tempat hiburan, dan toko-toko) saja yang kelihatan punya daging. Arjuna dan para pembantunya segera memberi hormat, ketika Sengkuni dan Dorna datang. Bagi Arjuna, Patih Sengkuni masih terbilang pamannya, walaupun paman tiri. Sedangkan Begawan Dorna adalah bekas gurunya. “Saya benar-benar terkejut bisa bertemu dengan paman Sengkuni dan Bapa Begawan Dorna di dalam hutan ini. Kalau saya boleh tahu, sesungguhnya paman Sengkuni dan Bapa Begawan Dorna ini ingin melakukan perjalanan kemana?” tanya Arjuna penuh hormat. “Begini Juna,” kata Sengkuni. “Sebenarnya aku cuman ngikut rombongannya kakang Dorna saja. Biar kakang Dorna sendiri yang menerangkan keperluan kita.” “Betul, Juna,” sambar Dorna. “Rombongan ini adalah rombonganku. Adapun keperluanku melakukan perjalanan ini adalah untuk menemuimu. Kami sudah cari engkau ke rumahmu di Madukara. Katanya engkau sedang melakukan perjalanan untuk semadi ke pusat hutan Boroneyo. Lalu, kamipun menyusulmu hingga bertemu engkau disini, nak.” Gaya bahasa Begawan Dorna dibuat sedemikian rupa sehingga membikin lawan bicaranya penting. Padahal perasaan hatinya bertolak belakang. Pada permukaannya saja ia kelihatan memiliki perhatian besar pada bekas muridnya itu. Tapi dalam hati ia ingin supaya tujuannya lekas tercapai. Begawan Dorna seorang pandita yang sudah lupa pada kaul kemiskinan. Ia lebih mementingkan kesukaan duniawi ketimbang menjunjung tinggi ajaran-ajaran surga. Ia lebih suka lingkungan istana, lingkungan birokrasi yang mewah, yang memuja-muja dan menyanjung-nyanjung dirinya. Ia telah melupakan ajaran utama kependitaan, yaitu kejujuran, kebenaran dan kerendahan hati. (Bersambung)

Page 109: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (38) Begawan Dorna menceritakan peristiwa penculikan Dewi Banowati pada Arjuna. Lalu, dengan berterus terang ia minta bantuan pada Arjuna untuk merebut kembali Dewi Banowati dari tangan penguasa khayangan, Prabu Kuncoro Manik. “Hanya engkau yang mampu merebut kembali Dewi Banowati dari tangan Prabu Kuncoro Manik, Juna,” kata Begawan Dorna. “Kalau engkau mampu membawa kembali Dewi Banowati ke Astina, maka akan ada imbalannya, nak. Yaitu: bukan cuma sebagian tanah kerajaan Astina, namun seluruhnya dikembalikan kepada keluarga Pandawa oleh pihak Kurawa.” Arjuna agak ragu mendengar kata-kata bekas gurunya itu. Sudah beberapa kali ia kena kibul. Juga kakak-kakak dan adik-adiknya. Ia sudah tahu sifat bekas gurunya itu. Namun suara hatinya sebagai seorang kesatria begitu menguasai dirinya. “Kakang Dorna benar, nak,” kata Patih Sengkuni tiba-tiba. Ia seperti bisa meraba kebimbangan Arjuna. “Saat ini kakakmu Duryudana sedang kesusahan. Biar bagaimana keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa masih bersaudara. Kalau bukan pada keluarga sendiri, siapa lagi yang musti dimintai tolong?” Tiba-tiba saja Patih Sengkuni mampu bersikap seperti anak kecil yang merengek-rengek minta dibelikan balon ayahnya. Wajahnya demikian memelas. Penampilan dan sikapnya itu memang telah benar-benar direncanakannya masak-masak. “Dan apa yang dikatakan kakang Dorna tidaklah salah, nak. Kerajaan Astina bakal diserahkan kembali kepada keluarga Pandawa. Sebetulnya tanpa ada kejadian inipun pihak Kurawa telah merencanakan mengembalikan kerajaan itu pada pihak Pandawa. Begitu kan kang Dorna?” “Iya, ya, ya betul. Memang begitu itu rencananya. Sayangnya kok ya ada kejadian seperti ini. Hingga semua rencana buyar,” kata Dorna. “Jadi bagaimana nak, apa engkau akan menolong kami?” “Jika demikian keinginan Paman Sengkuni dan Kakek Begawan Dorna, saya akan berusaha menolong sebisa saya,” kata Arjuna. “Saya mohon doa restu Paman dan

Page 110: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Kakek Begawan.” Dua rombongan itu akhirnya berpisah. Rombongan besar kerajaan Astina, kembali ke kerajaan mereka setelah puas berhasil “menggarap” korbannya. Sedangkan Arjuna dan para pembantunya bersiap-siap pergi ke khayangan. Tak lama setelah rombongan Astina berangkat lebih dahulu, Semar datang dari arah barat. Dalam kantung yang dibawanya hanya ada tiga buah mangga. Ketika ditanya, kenapa metik mangga tiga biji aja kok lama banget? Jawabnya seperti biasa: ketiduran. “Wah, kok setuju begitu aja sih, tuan?” tanya Petruk. Ia menyesali sikap lemah majikannya saat berhadapan dengan Dorna dan Sengkuni. Padalah siapapun sudah tahu bahwa kedua petinggi Astina itu terkenal sebagai orang-orang munafik. “Iya, padahal mereka itu tadi keliatan banget menipu, tuan,” tambah Gareng. “Saya sih tahu banget dah tipuan mereka.” “Hus, sudah pada diem!” bentak Semar pada anak-anaknya. “Majikan kalian tentu tahu mana yang baik dan mana yang buruk.” Waktu semua sudah siap, tiba-tiba datang pesawat ruang angkasa Rusia, Soyuz. Pesawat itu mendarat tak jauh dari perkemahan. Rupanya pesawat itu sudah dipersiapkan oleh pihak Kurawa untuk mereka. Yang mereka tidak ketahui, pesawat itu disewa bukan dengan uang, namun dengan cara ditukar minyak kelapa sawit. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (39) Negeri Darawati adalah negeri yang indah. Tanahnya subur karena merupakan tanah lava, yang berasal dari sebuah gunung berapi yang tinggi menjulang. Letak gunung itu agak jauh dari pusat kerajaan. Sungai-sungainya ada beberapa yang membelah ibukota. Disamping sungai-sungai itu, menghindari banjir lahar maupun banjir lumpur akibat meletusnya gunung berapi, dibuatlah kanal-kanal besar oleh penduduk. Selain pintar, penduduk negeri Darawati terkenal disiplin. Tiap penduduk tidak pernah mementingkan

Page 111: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

dirinya sendiri. Mereka lebih mementingkan kepentingan bersama. Dengan kesadaran tinggi, penduduk selalu menuruti hukum dan peraturan, yang diterapkan tanpa pandang bulu. Raja Darawati dan para pemimpinnya yang bijaksana, bukan saja dihormati oleh rakyatnya. Para pemimpin ini sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat. Mereka bukan tipe pemimpin yang mengandalkan kekejaman, kelicikan dan kelaliman. Maupun tipe pemimpin yang hanya pandai bicara, banyak berpropaganda, dan pandai menipu untuk kepentingan diri sendiri ataupun kelompoknya. Para pemimpin yang bijaksana dituruti perintahnya oleh rakyat dengan perasaan hormat. Sedangkan pemimpin yang kejam, lalim dan licik akan dituruti perintahnya oleh rakyat karena perasaan takut. Rasa hormat akan menumbuhkan rasa percaya diri. Sedangkan perasaan takut akan menghancurkannya. Hancurnya rasa percaya diri, pada akhirnya akan mematikan kreatifitas, yang bisa mengakibatkan mundurnya budaya sebuah bangsa. Pada siang yang cerah itu, Prabu Bethara Kresna, raja Darawati, sedang duduk termenung di singgasananya. Ada sesuatu yang amat merisaukan pikirannya, sehingga ia belum berkenan bersabda. Para pejabat dan bangsawan istana ikut diam terpekur di hadapannya. Tampak di bagian terdepan barisan, patih kerajaan, yaitu Patih Udawa. Lalu disusul dengan panglima perang kerajaan yang gagah berani, Setyaki. Tiba-tiba kepala prajurit pengawal istana datang tergopoh-gopoh memberi laporan kepada rajanya: “Paduka, tuan Bimasena bersama rombongannya sudah datang.” Mendengar khabar dari kepala prajurit istana itu, Kresna tersadar dari lamunannya. Wajahnya kembali cerah, bagai menerima khabar gembira. Diperintahkannya seluruh warga Darawati melakukan penyambutan selayaknya terhadap Bimasena. “Ada apa abang Kresna manggil gua kemari?” tanya Bima, ketika suasana hiruk pikuk penyambutan telah mereda. “Maafkan kakakmu ini, kalau membuatmu kaget akibat panggilan itu. Tapi memang ada sesuatu hal yang penting yang musti aku bicarakan denganmu.” Kresna

Page 112: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

membetulkan letak duduknya. Ia berdeham, seperti tidak mau ada kata-katanya yang tidak terdengar pembicaranya. Para pejabat dan bangsawan istana yang ada di balairung semuanya berusaha menajamkan pendengaran mereka. Semua nafas agak tertahan karena takut bunyi nafas mereka sendiri akan menghalangi pendengaran mereka. “Aku memiliki visi, bahwa penguasa di khayangan Jonggring Saloka, sekarang ini bukan lagi Sang Hyang Jagat Nata Bethara Guru, melainkan seseorang yang bernama Prabu Kuncoro Manik,” kata Kresna. Sebagai titisan Dewa Wisnu, dewa kebahagiaan, ia memiliki kesaktian mampu melihat kejadian yang akan terjadi dimasa datang. “Dan rupanya penguasa baru khayangan ini ingin menggagalkan perang besar Baratha Yudha...” “Hmmm...” suara dari kerongkongan Bima bagaikan bunyi sebuah mobil truk yang distater. “Seperti engkau tahu, adikku Bima. Baratha Yudha sudah menjadi kodratnya jaman. Perang itu bukan saja menjadi alat kembalinya kerajaan Astina ke pihak Pandawa dari tangan pihak Kurawa, namun juga menjadi sarana kemenangan para kesatria yang berjalan di pihak yang benar. Itulah sebabnya arti perang besar itu penting bagi mereka yang ada di pihak Pandawa. “Tapi walaupun begitu, keputusan untuk tetap perang atau tidak ada di pihak keluarga Pandawa. Dan saat ini yang mewakili mereka disini kebetulan adalah engkau. Kalau memang engkau tidak menginginkan terjadinya perang Baratha Yudha, akupun akan ikut.” Sampai disitu pembicaraan Kresna berhenti sebentar. Ia ingin melihat reaksi Bima terhadap persoalan yang baru saja diutarakannya. Sebagai penasehat, ia sangat dihormati oleh pihak Pandawa. Karena selain memiliki visi yang tajam, iapun amat bijaksana dan tak pernah menodai kepercayaan yang diberikan padanya. Bimasenapun tahu, sebagai penasehat keluarga Pandawa, Kresna selalu memberikan bimbingan yang terbaik bagi keluarga itu. Ia tak pernah membimbing kearah yang salah, apalagi sampai membuat pecahnya maupun

Page 113: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

kemarahan di pihak yang dibimbingnya. Ia selalu berusaha bersikap rendah hati, dan tidak pernah memaksakan aturan pribadi terhadap keluarga yang dibimbingnya. Kresna tak pernah menginginkan sanjungan dan puji-pujian jika pekerjaannya berhasil. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (40) Suasana di balairung istana kerajaan Darawati hening. Masing-masing yang hadir bagaikan ikut menimbang-nimbang persoalan yang diutarakan Prabu Kresna terhadap Bimasena, satria Pandawa. Dalam hati mereka berharap agar Bimasena tidak menggagalkan perang Baratha Yudha. Menggagalkan perang itu berarti menyalahi kodratnya jaman, dan membiarkan pihak yang jahat terus merajalela memuaskan tindak kejahatannya. “Abang Kresna, sebenernya dari pertama gua udah tahu keputusan apa yang musti gua ambil. Gua ngerti kalau elu adalah seorang penasihat yang baik. Kagak pernah berkianat. Maka dari itu, gua sependapat sama elu, perang Baratha Yudha musti jadi. Perang itu kagak boleh gagal,” kata Bima mantap. Kemantapan keputusan Bimasena itu ikut membawa semangat baru bagi Kresna. Maka selanjutnya raja Darawati berkata: “Dimas Bima, jika demikian keputusanmu, selain aku nurut, akupun akan mendukung bagi kemenangan pihak Pandawa kelak. Nah, saat ini, kerajaan akan kedatangan tamu dari Jonggring Saloka. “Rupanya penguasa Jonggring Saloka menganggapku sebagai orang penting yang mampu menggagalkan perang Baratha Yudha. Untuk itu mereka akan memanggil dan membawaku ke khayangan, secara baik-baik maupun secara paksa. Maka dari itu, sebelum mereka menginjakkan kaki, atau bahkan membawa kerusakan bagi kerajaan ini, mari sambut kedatangan mereka...” Ketika Bima dan juga mereka yang hadir di balairung kerajaan menyadari arti kata-kata Kresna, kepala pengawal istana datang tergopoh-gopoh sambil menyembah. Ia membawa khabar mengejutkan: “Tuanku, mohon ampun. Menurut mata-mata kerajaan, puluhan ribu tentara dengan persenjataan lengkap dan panji-panji serta bendera perang dari khayangan Jonggring Saloka tengah mendekati tapal batas kerajaan kita...”

Page 114: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Seketika itu juga balairung geger. Semuanya gaduh. Terdengar dengung percakapan para pemimpin seperti sekumpulan lebah yang sadar bahwa sarangnya terusik bahaya. Bima berteriak menggelegar bagaikan bunyi kereta api ‘Senja Ekonomi’: “Abang Kresna! Biar gua yang hantam musuh kita itu!” Akhirnya diputuskan rombongan Bima disertai Setyaki dan dua divisi pasukan lengkap kerajaan Darawati menyongsong kedatangan musuh di tapal batas kerajaan. Sementara Kresna akan menyusul mereka nantinya. Sedangkan Patih Udawa diperintahkan untuk menjaga pusat kerajaan dengan sisa-sisa pasukan yang ada. Mendengar negaranya ingin diserang, rakyat Darawati langsung mempersiapkan diri. Setiap orang laki-laki, tua maupun muda, berbondong-bondong pergi ke tempat pendaftaran Wamil (Wajib Militer) di kelurahan-kelurahan. Gadis-gadis berbondong-bondong pergi ke rumah sakit untuk mendaftar jadi perawat. Sedangkan ibu-ibu yang sering kumpul-kumpul arisan langsung membentuk dapur umum. Anak-anak mereka sibuk membuat ketapel. Perjalanan kelompok Darawati ke tapal batas kerajaan singkat saja, karena kerajaan itu hanyalah sebuah kerajaan kecil. Tapi mereka sungguh terkejut begitu sampai di tempat yang dituju. Musuh yang ada dihadapan mereka demikian besar jumlahnya. Ternyata mata-mata kerajaan tidaklah salah. Musuh datang bagai airbah yang bobol dari bendungan. Kemungkinan tiga kali lipat jumlah pasukan Darawati. Selain itu, persenjataan mereka lengkap dan terbaru. Bagi Bima dan rombongan Darawati ada sesuatu yang mengganjal keberanian mereka. Bukan jumlah pasukan musuh yang mereka takuti, namun suatu keengganan jika harus berhadapan dengan pemimpinnya, yaitu Bethara Narada. Patih Jonggring Saloka ini terkenal bijaksana dan jarang bertindak kasar. Dalam hati Bima dan rombongan bertanya-tanya: apa yang menyebabkan Dewa Narada sampai tega mengerahkan pasukan yang demikian besar jumlahnya itu? (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (41)

Page 115: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Kini dua kelompok telah berhadapan: Prajurit khayangan Jonggring Saloka dan Prajurit Darawati. Wajah para prajurit Darawati nampak tak gentar, biar jumlah mereka lebih sedikit. Sebaliknya, wajah para prajurit Jonggring Saloka nampak bimbang begitu tahu Bimasena dan Setyaki ada barisan terdepan lawan. Nyali mereka menciut. Tak lama kemudian, Bima dan Setyaki meninggalkan barisannya menuju ke arah pihak Jonggring Saloka. Begitu sampai di hadapan Bethara Narada, keduanya memberikan sembah. Hormat pada para dewa adalah kebiasaan manusia turun-temurun dimulai entah kapan. Biar bagaimanapun wujud dan kesaktian para dewa itu, namun kasta mereka masih tetap lebih tinggi dari pada manusia. Para dewa adalah keturunan pilihan. Mereka tak pernah mengenal kerja keras dibandingkan manusia. Makanan merekapun lebih bergizi. Selain itu, mereka lebih mampu mengenyam pendidikan dan memiliki titel-titel luar negri, sehingga mampu menjadikan hidup mereka yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Dan juga tidur mereka cukup dan buang airpun selalu lancar. “Hei Bima. Dari mana mau kemana engkau, nak?” tanya Narada. “Engkong Narada, gua ini tamu di negara ini. Dan tuan rumah minta gua supaya nyambut kedatangan elu dan rombongan. Nah, elu sendiri ama rombongan mau kemana?” “Busyettt, nih anak, wong ditanya malah balik nanya,” kata Narada. “ Hmm..tapi emang hebat Prabu Bethara Kresna. Visinya memang bener-bener tajem. Oke deh, begini Bima anakku. Aku memang diutus oleh penguasa baru kerajaan khayangan Jonggring Saloka, Prabu Kuncoro Manik, untuk memanggil Prabu Kresna. Ia mau diajak rembukan untuk menggagalkan perang Baratha Yudha.” Setengah menggeram, Bima bilang: “Kalau itu emang tujuan elu datang kemari, sorry-sorry aja kalo gua mesti halangi. Apalagi kalau elu pengen ngegagalin perang Baratha Yudha. Nah, sebelum terjadi keributan, gua minta secara baik-baik para dewa dan prajurit khayangan supaya balik. Nanti biar gua yang berurusan sama si Kuncoro Manik.”

Page 116: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Wah, gimana nih Yamadipati. Kamu tahu kan apa yang terjadi jika kita pulang dengan tangan kosong?” kata Narada setengah berbisik pada Bethara Yamadipati, dewa pencabut nyawa, yang ada disampingnya. “Wah ya gimana dong, man. Paman Narada kan tahu, kalo kita gagal, kita bakalan dihukum sama Kuncoro Manik. Apa paman mau mandi sauna di neraka?” bisik Yamadipati bercanda. “Huss! Jangan sembarangan kamu ya. Ini persoalan nggak maen-maen tahu.” “Udahlah, man. Biar saya yang turun tangan,” kata Yamadipati. “Hei, Bima! Kamu dan gerombolanmulah yang musti mundur. Mau pilih mundur atau aku cabut nyawamu dan rombonganmu satu per satu. Hayo, bubar sekarang juga!” Bima dan Setyaki masih tetap berdiri di tempatnya. Mereka tetap tak mengundurkan langkah barang sejengkalpun. Walau mereka tahu tugas Dewa Yamadipati adalah mencabut nyawa, namun tak takut terhadap gertakannya. Tiba-tiba terdengar suara Bimasena yang meledak marah bagaikan halilintar di tengah-tengah mendung: “Hmmm, jangan cuman satu dewa aja, tapi semuanya maju sini! Biar gua injek-injek semua jadi témpé!” “Sesumbar kamu ya anak kemarin sore! Heaaatttt!!” Yamadipati menyerang Bima. Bagai mendapat aba-aba, bersamaan dengan itu pihak Jonggring Saloka yang tiga kali lipat jumlahnya ikut menyerang pihak Darawati: “Serbu!!” “Ganyang!!” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (42) Bima mengamuk seperti gajah yang marah. Kuku di dua jempol tangannya menusuk kesana kemari bagai gading mencari sasaran. Dewa Yamadipati kewalahan menghadapinya. Ia minta bantuan teman-temannya. Tanpa menunggu aba-aba, mereka langsung mengeroyok rame-rame. Bukan cuma manusia, dewapun terkadang kalo kepepet suka main keroyokan.

Page 117: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Setyaki juga mengamuk tak kalah hebatnya. Gada Wesi Kuning dikibas-kibaskannya kesana kemari. Senjata itu mirip stik baseball. Terbuat dari besi kuning. Ayunannya kuat. Musuh yang terkena hantaman senjata itu masih beruntung nasibnya kalo cuma benjol kepalanya. Tak lama kemudian Prabu Kresna datang dengan pasukannya. Melihat kedatangan rekan-rekannya, pasukan Darawati makin naik semangat tempurnya. Sementara itu di pihak pasukan Jonggring Saloka terlihat tanda-tanda desersi. Semangat mereka satu per satu amblas. Jurus-jurus yang diajarkan di Bangau Putih Gonzaga tak banyak gunanya. Apalagi yang diajarkan keseringan jurus yang itu-itu juga, yaitu: Jurus Janda Genit. Prabu Kresna segera menuju ke tempat Bethara Narada, yang sedang menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ulah para dewa yang melakukan pengeroyokan. Beberapa diantaranya sudah nampak babak belur dihajar oleh Bima. “Mohon ampun atas keterlambatan saya, tuanku Bethara Narada,” kata Kresna sambil menghaturkan sembah. “Kamu ini memang pinter, Kresna,” kata Narada. “Kamu tidak mau mengotori tanganmu sendiri. Lihat tuh, para dewa dan pasukanku dihajar babak belur sama Bima dan Setyaki. Aku kan datang kemari cuma sebagai utusan Jonggring Saloka. Aku kira engkau sendiri sudah tahu kan tugas apa yang aku emban?” “Ya, saya sudah tahu, tuan Narada. Tapi bukankah perang Baratha Yudha yang ingin digagalkan oleh penguasa Jonggring Saloka itu sudah menjadi kodrat jaman? Dan apakah Sang Hyang Wenang sudah tahu tentang rencana Kuncoro Manik itu?” “Wah, gini aja deh. Aku ini cuma utusan. Makanya aku harus nurut perintah atasan. Kamu tahu kan konsekwensinya seorang pegawai negri kalau nggak nurut atasan? Kalo cuman dipensiunkan, dimutasi, atau dipecat sih masih bagus lah. Tapi kalo sampai dicemplungkan ke kawah Candradimuka karena tugas gagal, terus gimana dong? Udahlah, kasihan sama aku barang sedikit ya, Kresna?” Sementara itu prajurit Jonggring Saloka mulai nampak

Page 118: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

terdesak. Sebagian dari mereka sudah kelihatan kabur. Yang masih bertahan dan bertempur moralnya makin merosot ketika melihat para dewa pemimpin mereka banyak yang dibawa ambulan ke Rumah Sakit Fatmawati. “Saja kira begini saja, tuan Narada. Sekarang tuan Narada dan rombongan pulang saja ke khayangan terlebih dahulu. Nanti saya menyusul,” kata Kresna tiba-tiba. “Lho, kenapa nggak bareng aja sih? Soalnya kalao saya pulang nggak bawa kamu, aku bakal langsung kena semprot nih.” “Begini, tuan Narada. Saya ingin tahu sampai dimana kesaktian Prabu Kuncoro Manik. Tapi itu nanti. Nah, sekarang kalau saya pergi bareng dengan tuan, artinya saya menyerah kalah. Padahal saya tidak mau dianggap kalah, karena kalau ketahuan kalah ataupun lemah, pasti bakalan disepelekan. Saya ingin mereka tahu bahwa kedatangan saya ke khayangan adalah dengan sukarela.” Dewa Narada garuk-garuk kepala. Ia kelihatan bimbang. Kalau ia balik tanpa Kresna, ia bakalan diceburkan ke Candradimuka. Tapi kalau ia tetap memaksa Kresna, iapun merasa tak mampu. Apalagi setelah ia menengok melihat kondisi pasukannya yang berantakan. “Tapi kamu bener-bener bakal nyusul ke khayangan kan, Kresna?” tanya Dewa Narada ragu. “Saya tidak akan berbohong. Pasti saya bakal nyusuh,” jawab Kresna mantap. “Bener, nih. Bareng aja kenapa sih? Nanti biar aku yang carter mobil limosin lengkap dengan sopirnya deh. Kalau perlu sopirnya cewek blondie. Mau kan?” Biar terus dirayu, Kresna nampak sudah pada ketetapannya. Akhirnya Bethara Narada yang menyerah. Ia perintahkan pasukan Jonggring Saloka untuk menarik diri. Semuanya nampak lega. Banyak diantaranya yang terkilir maupun patah tulang pada minta ijin meneruskan perjalanan ke Cikini maupun di Cimande mendatangi tukang urut. Prabu Kresna sendiri segera mengkonsolidasikan kekuatannya. Ia memberi wejangan kepada rakyat yang akan ditinggalkannya untuk sementara. Ia serahkan

Page 119: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

tanggung jawab keamanan dan kelangsungan pemerintahan kerajaan Darawati kepada Setyaki dan Patih Udawa. Sebelum Kresna berangkat menuju khayangan, Bima telah mendahuluinya. Kesatria Pandawa itu sangat penasaran ingin mencoba kesaktian Prabu Kuncoro Manik. Selain itu ia ingin tahu apa maksud perintah-perintah aneh yang telah dikeluarkan oleh penguasa baru itu. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (43) Sebelum berangkat ke khayangan, Kresna membelokan arah perjalanannya menuju ke Jakarta. Di dalam visinya, ia melihat cahaya kemenangan datang dari seorang yang berada di kota itu. Orang itulah yang nantinya sanggup melawan kesaktian Prabu Kuncoro Manik. Kota Jakarta adalah ibukota Indonesia. Sebuah sosok ibukota yang tengah dilanda keprihatinan panjang. Para pemimpin dan elit kekuasaan yang tengah berkuasa, menggunakan uang, propaganda, dan tekanan untuk mempertahankan kekuasaannya. Tak peduli mereka dari golongan kanan, kiri, maupun tengah. Akhirnya selalu saja rakyat yang jadi korban. Walaupun sebagian rakyat semakin pintar dalam memilih siapa pemimpin yang mampu membawa kemakmuran, sebagian lagi masih suka tertipu oleh para demagog-demagog bermulut manis. Mereka ini para srigala berbulu domba. Prabu Kresna tidak mau ikut campur urusan dalam negri rakyat Indonesia. Ia datang ke negeri ini hanya untuk mencari seseorang. Supaya tidak dikenal dan menimbulkan kegegeran, ia sengaja datang dengan berpura-pura sebagai seorang businessmen. Walaupun begitu, ternyata proses pencarian tidaklah mudah. Sosok yang dicari Prabu Kresna adalah seseorang yang sedang “Tapa Ngrame”, yaitu bertapa mirip seorang yang sinting (gila). Tapi ternyata orang yang gila, baik yang betulan maupun berpura-pura, banyak. Belum lagi yang gila harta maupun kekuasaan. Orang yang gila harta maupun kekuasaan ini terutama muncul pada masa-masa pemilihan umum seperti sekarang ini. Prabu Kresna sadar bahwa misi yang diembannya tidak

Page 120: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

mudah. Namun ia tidak putus asa, karena tahu semua ini dilakukan demi kemanusiaan. Kalau sampai gagal, maka masalah kekusutan jagat raya akan terus berlangsung. Ia datangi sebuah Bajaj. Sopirnya baru saja selesai makan di Warung Tegal. Setelah bernegosiasi, sopir itu setuju dirinya dan kendaraannya disewa jam-jaman. Sedangkan bensinnya, menurut perjanjian, ditanggung oleh penumpangnya. Kendaraan penumpang roda tiga ini memang benar-benar unik. Getarannya bagaikan getaran mesin untuk terapi tulang bagi mereka yang baru saja mengalami kecelakaan. Bunyi mesinnya memekakkan telinga, hingga terkadang harus berteriak jika ingin bicara dengan sopirnya. Setelah dua jam dibawa berkeliling kota, akhirnya Prabu Kresna tahu latar belakang kehidupan sang sopir. Sopir itu bercerita bahwa namanya: Georgio Sasimi Waluyo. Ia kelahiran Atlanta, di negara bagian Georgia, di Amerika Serikat sebelah timur. Bapak dan ibunya adalah perantauan dari Indonesia yang ketemu saat mereka kerja di restoran Jepang. Waktu ada NSEERS, bapaknya mendaftarkan diri ke INS (Immigration Naturalization Services). Padahal sudah diperingatkan teman-temannya supaya nggak usah ndaftar. Banyak teman-temannya yang ‘go underground’. NSEERS adalah program yang dilakukan oleh pemerintah Amrik untuk mendaftar pada pendatang dari beberapa negara. Karena kurang populer dan dianggap rasis, akhirnya program ini dirubah menjadi pendaftaran sidik jari di airport. Akhirnya bapaknya ditahan oleh INS karena ketahuan sebagai pendatang ilegal. Pada waktu bapaknya berada di tahanan INS itulah Georgio lahir. Beberapa bulan kemudian bapaknya dideportasi. Sebelum dideportasi, bapaknya mewanti-wanti ibunya agar bertahan di Amrik. Pertama, karena wanita tidak masuk dalam program NSEERS. Kedua, ibunya disuruh mengumpulkan uang banyak-banyak supaya bisa dijadikan modal kalo pulang nanti. Dua tahun kemudian Georgio dan ibunya pulang ke Indo. Tapi bapaknya ternyata sudah ngabur dengan wanita lain. Akhirnya, Georgio kecil dititipkan pada neneknya, di Mojokerto. Sedangkan ibunya kawin lagi

Page 121: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

dengan pegawai asing World Bank yang kebetulan sedang mengadakan studi pengairan sawah di daerah Jawa Timur. Baik ibu maupun bapaknya tak terdengar lagi kabar beritanya sampai kini. Ketika sedang asyik mendengarkan cerita tentang masa lalu Georgio, di daerah Salemba, Prabu Kresna melihat sebuah cahaya dari arah Pasar Senen. Ia minta Georgio untuk membawanya kesana. Benar saja. Di perempatan Kwitang, seorang gila sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Orang yang lalu lalang bersikap acuh tak acuh terhadap orang gila itu. Setelah membayar ongkos Bajaj, ia datangi orang gila itu. Pakaiannya rombeng dan dekil. Jelas yang ini bukan orang yang gila kekuasaan. Apalagi baunya seperti bau sampah di Cilincing. Sedangkan orang yang gila kekuasaan, baunya pasti Christian Dior. Ketika Prabu Kresna mendekati orang gila, banyak orang yang mula-mula heran dan memperhatikannya. Namun kemudian orang-orang itu kembali tak acuh. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (44) Orang gila itu terbangun dari tidurnya. Waktu bergerak, lalat-lalat yang tadi sempat berpesta di atas tubuh pada berterbangan. Ia tatap tamunya dengan padang curiga. Tetapi tiba-tiba keluar tawa yang berderai: “Huahahahahhahahaha...hehehehe...hohohoho....hahahaha.....” Bethara Kresna membiarkan orang gila itu tertawa sepuasnya. Mendengar tawa nyaring, orang-orang yang lalu lalang berhenti seketika. Mereka cukup heran karena ada orang berpakaian necis sedang ditertawai oleh seorang gembel gila. Pada raut wajah mereka seakan bertanya curiga: Ini siapa yang gila? Apa jangan-jangan dua-duanya gila? Tapi ketika terlihat tak ada kejadian istimewa, orang-orang itu kembali pada kegiatannya. Dalam benak mereka telah terpatri ucapan penghakiman: aku baru saja ngelihat dua orang gila, yang satu pakai pakaian necis (mungkin pejabat yang lagi stress), yang satunya lagi gembel abis.

Page 122: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Wahahahahaha...seorang raja berpura-pura menjadi kawula..hehehe...jaman edan...hoho...memang jaman edan...raja edan..kawula gendeng...hehehehe...” kata orang gila itu terbahak-bahak. Prabu Kresna tahu penyamarannya telah diketahui. Ia kini semakin yakin bahwa gembel gila di hadapannya ini adalah benar orang yang dicarinya. Setelah situasi sekeliling tempat itu agak sepi, maka mulailah ia bicara: “Benar, bung. Saya Kresna dari Darawati. Siapa nama panggilan, bung?” “Hehehehehohoho...raja mau coba berpura-pura...hehehehe...Tanya nama? Namaku George Busss..percaya nggak? Lho, nggak percaya? Oke deh, Sadam Ngusèn...hayo percaya nggak? Lho nggak percaya lagi...oke deh Joyo Lelono Mangku Rondo Sedoso...hehehe yang ini asli-sli..hehe” “Bung Joyo Lelono, aku datang jauh-jauh bukan hanya sekedar lewat. Aku ingin minta bantuanmu. Di khayangan saat ini bertahta seseorang yang bernama Prabu Kuncoro Manik. Aku minta tolong supaya engkau mengalahkannya. Dalam visiku, cuma engkaulah yang mampu. Dan kalau engkau bisa mengalahkannya, apapun yang kau minta akan aku penuhi...” “Hahahihihi...ada raja kepèpèt...hohoho..ada raja dèsperet hehe...tapi mong-ngomong boleh juga deh tawarannya...semua permintaan dipenuhi...ah jadi Presiden ah..hehehe..” Akhirnya Kresna mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Ia ceritakan bahwa jagat raya saat ini sedang dilanda kekusutan. Sedangkan untuk mengurai kekusutan itu, salah satunya adalah menggulingkan tahta Prabu Kuncoro Manik. Walaupun nampak main-main dan selalu cengingisan, tapi rupanya orang gila itu mendengarkan keluhan Prabu Kresna dengan serius. “Hohohhoho..akur...hehe..cocok...kalau gitu aku berangkat sekarang juga. Hei, Prabu Kuncoro Manuk eh Manik! Duduk yang nikmat kau di singgasanamu. Aku melihat, aku datang, aku menang...hohoho...” Dengan sempoyongan orang gila itu tiba-tiba berdiri. Tanpa menunggu aba-aba ia terbang melesat ke angkasa.

Page 123: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Prabu Kresna kaget bukan main. Ia tak menyangka kalo orang gila itu bisa terbang. Terpaksa ia buru-buru ke pangkalan udara Halim Perdana Kusuma. Disana ia menyewa pesawat Sukhoi. Setelah tawar menawar, akhirnya harga disetujui bersama. Tujuan Prabu Kresna hanyalah satu: menyusul Joyo Lelono ke khayangan. Tapi begitu sampai di langit ke empat, pesawat Sukhoi yang disewanya ternyata sudah mulai batuk-batuk. Prabu Kresna bertanya pada pilotnya, ada apa dengan pesawat yang mereka tumpangi. Dengan santai dijawab, bahwa harga bensin saat ini kebetulan naik, jadi tadi ngisinya pas-pasan. Selain itu, lama ditunggu-tunggu, onderdil pesawat ini belum datang juga. Padahal minyak kelapa sawit sudah terlanjur dikapalkan untuk membayarnya. Karena kawatir, Prabu Kresna minta diturunkan saja di langit ke lima. Kebetulan sekali disitu banyak ojek. Setelah diamat-amati ternyata para supir ojeknya adalah para dewa yang lagi pada ngobyek. Rupanya jaman memang bener-bener lagi susah, hingga para dewapun terpaksa ngojek. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (45) Ternyata tidak mudah mengatur khayangan. Birokrasi dan KKN di kerajaan para dewa itu sudah mendarah daging di tubuh. Dan juga telah membudaya, sulit untuk dihapuskan. Hingga penduduk disitu menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. Malahan jika ada dewa yang berlaku idealis, jujur, atau bersih dalam tindakannya, dianggap sebagai dewa yang aneh, dewa yang bodoh, atau dewa yang tak tahu memanfaatkan kesempatan. Cara para dewa ber-KKN juga macam-macam. Ada yang dengan cara kasar, ada pula yang bercara halus, sehingga hampir tidak kentara. Selain itu, segala sesuatunya, bahkan bantuan kepada pihak yang lain sekalipun, diperhitungkan. Bantuan selalu dihubungkan dengan pamrih, dihubungkan dengan maksud-maksud tertentu. Bantuan adalah hutang yang tersamar. Namun pemimpin khayangan yang baru, Prabu Kuncoro Manik, adalah sosok yang tegar. Karena kesaktiannya ditakuti, maka segala perintahnya dituruti. Ia memang bukan tipe seorang pemimpin yang penuh kharisma. Tapi

Page 124: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

paling tidak dia punya pendirian. Jadi tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain. Raja baru itu juga telah mulai memperbaiki pemerintahannya. Para dewa pembantunya semuanya didudukkan sama rata. Semuanya diberi perhatian yang sama. Tidak ada yang diberi perhatian lebih. Tak ada yang dimanja. Ia tahu, kemanjaan hanya akan melahirkan kemalasan. Di paseban agung itu, Prabu Kuncoro Manik duduk terdiam di singgasananya. Dalam benaknya penuh dengan rencana-rencana yang belum diwujudkannya. Karena raja belum berkenan bersabda, para kawulanyapun masih pada ikut termangu-mangu. Tiba-tiba nampak mobil butut Toyota Corolla tahun 1988 datang dan parkir di halaman istana. Dari dalam mobil keluar Begawan Pulasara. Begitu keluar dari mobil, sang begawan langsung menuju ke istana. Ia mengendarai mobil itu sendirian. Selama ini ia memang ditawari sopir, tapi selalu menjawab bahwa ia lebih senang nyetir sendiri. Lima belas menit kemudian menyusul rombongan mobil-mobil keren. Paling depan nampak mobil Mercedes

Benz merek terbaru warna hitam. Di dekat lampu samping nampak bendera berpanji-panji Jonggring Saloka. Mereka yang miskin tentu akan terkagum-kagum melihat pemandangan megah dan mewah itu. Dari dalam mobil keluar Dewa Narada, disusul Dewa Yamadipati yang meringis kesakitan. Mukanya bengep dan tangan kanannya kelihatan di gibs. Merekapun langsung menuju ke paseban agung. Prabu Kuncoro Manik menerima mereka semua dengan muka cerah. Ia memang sedang menantikan para pemuka kerajaan ini kembali dari tugasnya masing-masing. Tapi kecerahan wajahnya seketika lenyap dan berubah menjadi keheranan. Dihadapannya nampak Dewa Yamadipati yang babak belur nggak karuan. Selain itu ia lihat wajah Bethara Narada nampak muram. “Bagaimana khabar Paman Pulasara? Apakah tugas yang paman laksanakan berhasil?” tanya Kuncoro Manik. “Sesuai seperti rencana kita, nak. Aku berhasil

Page 125: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

memboyong Dewi Banowati ke khayangan. Saat ini ia ada di keputren,” jawab Begawan Pulasara tenang, mantap. Keputren adalah tempat yang dikhususkan untuk para wanita, termasuk permaisuri dan selir, di dalam komplek istana. “Hmmm, bagus. Selamat,” ucap Prabu Kuncoro Manik. Lalu, ia tatap Bethara Narada dan Yamadipati secara bergantian. “Terus gimana dengan Prabu Kresna? Apa tugas sudah dilaksanakan dengan berhasil?” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (46) Bethara Narada nampak gelisah. Pertanyaan Prabu Kuncoro Manik terasa menohok ulu hatinya. Napas tuanya tersengal-sengal. Sudah terbayang di angannya Kawah Candradimuka yang panas menggelegak. Semua ini gara-gara tugasnya gagal. Memang tidak gagal total, tapi memang tidak sesuai dengan kemauan rajanya. Dan itu artinya sama saja dengan gagal. “Begini, nak,” kata Narada mencoba mencari alasan. “Kresna akan datang sendirian kemari. Kami sudah berusaha membujuknya, tapi dia nggak mau. Katanya, takut dibilang menyerahkan diri. Kalo kami paksakan lagi, kami takut hasilnya malah nihil. Atau keadaannya tambah parah. Soalnya belum ketemu Bethara Kresna saja kita sudah dihadang Bima dan Setyaki. Kalo nggak percaya lihat saja tuh hasilnya. Yamadipati sampai babak belur kayak gitu.” Prabu Kuncoro Manik dalam hati tersenyum melihat Dewa Yamadipati. Dewa yang satu itu memang terkadang terlalu sombong. Mentang-mentang tugasnya mencabut nyawa orang, terus mau bertindak seenak perutnya. Nah, sekarang rupanya dia kena batunya. Dia merasakan lagi bahwa dewa nggak selamanya sakti terus. Apalagi kalau kesaktian itu dipergunakan untuk pamer-pameran, untuk menyombongkan diri. Kalau dia lagi sial, dia tetap bakal kena sial. “Oke deh. Kali ini gua maafkan. Tapi besok-besok gua nggak tahu dah....” Belum sampai Prabu Kuncoro Manik mengakhiri kalimatnya, tiba-tiba datang dayang kerajaan dari arah keputren. Begitu sampai di depan raja, ia segera menjatuhkan diri dan menyembah. Nafas

Page 126: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

terengah-engah seperti habis dikejar setan. Suasana paseban goncang. Beberapa petinggi kerajaan sudah pada memegang senjatanya masing-masing. Prabu Kuncoro Manik sendiri kaget: “Eh, kenapa nih? Bocah emban, elu kok lari-lari gitu emangnya ada apa?” “Ampun gusti...mohon ampun paduka...mau...lapor,” kata dayang istana sambil berusaha mengatur nafasnya. Rambutnya yang panjang dibiarkannya tegerai. “Ampun gusti. Ada tamu-tamu tidak diundang masuk ke keputren.” Kembali semua yang ada di paseban agung, termasuk Kuncoro Manik, kaget bukan main. “Siapakah mereka?” Belum sempat pertanyaan itu terjawab, datang pula kepala pengawal istana dengan tergopoh-gopoh. Sambil menyembah ia berkata: “Gusti, di depan kerajaan tengah mengamuk seorang kesatria yang mengaku bernama Bimasena. Sampai sekarang belum ada yang mampu menangkapnya.” Rupanya dua musuh datang sekaligus. Yang satu berhasil masuk dari belakang komplek istana, langsung ke keputren. Yang lainnya sedang berusaha masuk melalui gerbang depan. “Udah sekarang gini aja. Paman Begawan Pulasara dan Ayahnda Bethara Guru tangkap tamu yang di keputren, biar gua hadapi Bimasena di gerbang istana. Yang lainnya berjaga-jaga di dalam,” titah Prabu Kuncoro Manik. Maka pertemuan di paseban agung itu bubar. Di tengah jalan menuju ke keputren Begawan Pulasara dan Bethara Guru memisahkan diri untuk mengepung musuh. Yang satu lewat gerbang sebelah barat, yang lain lewat sebelah timur. Ketika Bethara Guru sampai di pintu gerbang timur keputren, ia bertemu Ki Lurah Semar. Terkaget-kaget ia bertanya: “Lho, kakang Semar kok ada disini?” “Memang dari tadi saya disini kok. Lha, sampeyan mau kemana, kok bawa-bawa golok segala?” tanya Semar. “Aku ingin menangkap tamu tak diundang,” jawab Bethara Guru nampak terburu-buru sambil terus nengok kiri dan kanan. “Katanya ia sedang bersembunyi di keputren,

Page 127: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

kang. Apa kang Semar lihat? Nggak lihat? Oke, kalo gitu permisi dulu, kang,” jawab Bethara Guru. “Eeeeiitt, entar dulu. Main permisi-permisi aja. Tahu nggak, tamu tak diundang yang ada di dalam yang sampeyan maksud itu adalah boss saya sendiri, Arjuna. Sampeyan tak boleh masuk kesana, karena dia sedang ada urusan penting,” kata Semar. “Kang, aku dapat perintah menangkap tamu tak diundang itu. Aku tak ada urusan denganmu. Nah, sekarang permisi aku mau lewat, kang.” “Siapa bilang nggak ada urusan sama saya. Kalau sampeyan mau menangkap boss saya berarti mau berurusan dengan saya juga dong,” kata Semar acuh. Semar, yang tak lain adalah Bethara Ismoyo, sebenarnya sedang siaga dan mengambil ancang-ancang. Ia tahu bahwa bekas penguasa Jonggring Saloka yang ada di depannya inilah yang menyebabkan kekusutan dunia saat ini. Dan sekarang ia sedang stress. Orang stress biasanya tindakannya nekat. Maka ia berjaga-jaga. Tak lupa perutnya dia tekan-tekan supaya mules. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (47) Muka Bethara Guru memerah karena marah. Bekas penguasa Jonggring Saloka itu merasa disepelekan. Ia tak bisa menerima hal itu. Egonya sebagai seseorang yang pernah memegang jabatan yang tinggi ternyata masih tetap tinggi. Ia masih menginginkan orang lain menghormati dan menuruti segala perintahnya. “Sekali lagi aku bilang. Kalau engkau masih mau aku hormati, menyingkirlah. Aku tidak ada urusan denganmu,” kata Bethara Guru kepada Semar. Nada suaranya kini meninggi. Ketara sekali ia mulai jengkel. Emosinya sudah mencapai unyeng-unyeng yang tiga biji jumlahnya. “Ya, terserah. Nggak dipanggil kakang juga nggak rugi kok,” kata Semar enteng. “Orang kok nggak pernah mau introspeksi. Wibawa sudah hancur kok nggak juga sadar.” Perkataan terakhir Semar itu benar-benar membuat

Page 128: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Bethara Guru geram. Emosinya meluap: “Kalau itu memang kemauanmu terserah! Terimalah Cis Jaludara yang ada ditanganku ini! Hiyaaaaaaattt!” Bethara Guru menyerang sambil berusaha menebas leher Semar. Semar mengelak kesamping. Serangan lawan mengenai tempat yang kosong. Walaupun badan Semar gemuk dan pendek ternyata ia cukup lincah. Banyak yang tidak tahu kalau ia selama setahun ini rajin latihan kebugaran tubuh di Bally’s Fitness Center, gara-gara dokternya memperingatkan bahwa kolesterolnya mulai naik. Selain latihan kebugaran, ia juga sering latihan senam Taebo melalui kaset video yang dibelinya di toko loak. “Ciaaaaaattt!!” Dua orang dewa bertempur dengan dahsyat. Kesaktian masing-masing sudah mencapai taraf yang sempurna. Bethara Guru mengayunkan senjatanya, mirip seorang guru sekolah di Indonesia yang sedang berusaha menghajar muridnya yang bebal. Sedangkan Semar, Sang Bethara Ismoyo yang menyamar menjadi manusia, terus meloncat-loncar dengan lincah bagai kodok bangkong. Ketika Semar balas menyerang, dalam beberapa gebrakan saja lawannya sudah nampak kewalahan. Napasnya mulai kelihatan ngos-ngosan. Fisik lawan yang kelihatan segar itu ternyata bervitalitas rendah. Rupanya semenjak tidak memangku jabatan tinggi, kerjanya cuman makan enak dan tidur. “Hiaaattt...Pleettakk!” Ketika ada ruang pertahanan musuh yang kosong, Semar melemparkan jitakannya. Jari tengahnya yang memakai batu cincin kecubung sebesar biji salak mendarat tepat di jidat musuh. Jitakan itu demikian keras dan bertenaga dalam besar, sehingga membuat lawannya terhuyung-huyung sebelum jatuh terjengkang. Semar mendekati lawan yang masih pening dan sedang berusaha untuk duduk itu. Lalu, tanpa pikir panjang ia membalikkan diri dan kentut dengan sekeras-kerasnya. Itulah senjata Semar paling mutakhir. Kentut itu bukan sembarang kentut. Kentut itu mengandung gas Mustard berbahaya seperti milik tentara Jepang pada perang dunia ke dua, yang masih ditemukan di sebuah desa di negeri Cina baru-baru ini. Melihat bahaya sedang mengancam, Bethara Guru langsung ngabur. Cis Jaludara, dan bahkan sepatunya yang tadi

Page 129: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

mental dari tapak kakinya, ditinggalkannya begitu saja. Kaburnya norak, seperti maling ABG yang ketahuan habis nyengget celana Levis seorang hansip yang sedang dijemur. “Hei, lari kemana kamu, Bethara Guru?! Hayo, sini, kok malah kabur?!” teriak Semar sambil terpontang-panting berusaha mengejar musuhnya. Kalo urusan lari, tentu ia kalah sama musuhnya. Makanya jarak antara dirinya dan musuhnya makin terlihat jauh. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (48) Sementara itu di dalam keputren, Arjuna tengah berusaha untuk meyakinkan Dewi Banowati supaya mau kembali ke Astina. Tapi tampaknya Dewi Banowati merajuk. Ia kesal Arjuna tak pernah datang menengoknya. “Cinta bukan berarti harus memiliki, mbak,” demikian Arjuna pernah berkata kepada Banowati suatu kali ketika mereka sedang berdua saja. Waktu mengungkapkan hal itu, Arjuna sedang berada di Astina dengan alasan ingin menghadap Prabu Duryudana. Kata Arjuna selanjutnya: “Biarlah cinta yang bersemi diantara kita, menjadi pupuk bagi kehidupan kita masing-masing. Dan tentunya kita mengharap bahwa pupuk itu adalah pupuk yang baik. Karena, pupuk yang baik tentu akan menyuburkan.” Ungkapan Arjuna itu meneteskan air di mata Dewi Banowati. Permaisuri Astina itu nampak kecewa. Rupanya rasa cinta telah tumbuh antara keduanya sejak dahulu kala, ketika mereka masing-masing belum kawin. Namun kodrat nampaknya lebih berjaya. Arjuna selanjutnya menikah dengan Dewi Subadra dan Dewi Srikandi. Dewi Subadra satu halus budi bahasanya dan juga bijaksana. Sedangkan Srikandi, selain tomboy, juga jujur dan pemberani. Kalau ia ikutan “Gay Parade” pasti bakal ditaksir berat sama lesbian-lesbian. Lain lagi ceritanya Dewi Banowati. Perikahannya dengan Prabu Duryudana, kurang membahagiakan.

Page 130: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

“Jadi pulanglah, mbak,” kata Arjuna penuh kesabaran. “Prabu Duryudana membutuhkanmu. Kerajaan Astina membutuhkanmu.” “Ah, itu bohong!” pekik Dewi Banowati. “Prabu Duryudana memang memanjakan diriku dan menuruti segala apa yang aku minta. Tapi kan bukan cuma kemewahan dan keenakan hidup yang aku harapkan. Aku terutama sekali mengharapkan pengertian dan rasa saling menghormati. Kedua hal itu tak bisa aku dapatkan. “Aku cuma jadi burung dalam sangkar emas. Prabu Duryudana lebih suka mendengarkan omongan ibunya, Dewi Gendari, daripada omonganku. Kalau ibunya yang ngomong dan memerintah, langsung ia kerjakan. Tapi kalau aku? Boro-boro dikerjakan, didengarkanpun tidak. Lalu apa fungsiku? Cuma sebagai pajangan?” Arjuna tahu bahwa Dewi Banowati sedang berusaha menumpahkan segala beban yang ada dalam hatinya. Maka ia mencoba mendengarkan sebaik-baiknya. Di buku yang pernah dibacanya, ia tahu, jika seorang wanita sedang “curhat” sebaiknya didengarkan tanpa dikomentari. Wanita biasanya akan merasa “ringan” kalau telah berhasil melepaskan semua unek-uneknya. Kata Dewi Banowati lagi: “Lalu kau bilang kerajaan Astina membutuhkan aku? Membutuhkan apa? Sedangkan pendidikan anak-anakkupun aku tak punya hak untuk ikut campur. Semuanya ditangani oleh suamiku, tentu dengan nasehat mertuaku. Nah, hasilnya engkau tahu sendiri kan? Anak-anakku pada jadi anak manja dan bandelnya minta ampun. Kerjanya bolos sekolah, nge-club dan mabuk-mabukan seperti bapaknya. Sedang yang perempuan kerjanya cuma pada belanja melulu. “Anak-anak itu, karena juga belajar dari lingkungan sekeliling bapaknya, menjadi anak-anak yang penjilat, hipokrit, dan juga mata duitan. Kentara sekali bakalan pada jadi koruptor kayak bapaknya. Apa jadinya mereka nanti setelah besar? Bagaimana jadinya nanti kerajaan ini jika sudah diwariskan pada mereka?” Arjuna diam saja tidak berkomentar. Ia tidak ingin menambah ruwet suasana. Sebenarnya ia ingin mengingatkan, bahwa kerajaan Astina yang sekarang dikangkangi keluarga Kurawa itu sebenarnya adalah milik Pandawa. Tapi ia diam saja.

Page 131: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Selain itu Arjuna agak gerah juga ketika melihat kancing di dada Banowati yang terbuka tak sengaja di bagian dada. Walaupun tak pernah operasi plastik, dada ratu Astina itu memang tak kalah sama dadanya Pamela Anderson. Pemain filem serial “Baywatch”. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (49) Waktu Arjuna masih berusaha menyakinkan Dewi Banowati untuk kembali ke Astina, dari arah pintu gerbang keputren muncul Begawan Pulasara. Sikapnya nampak biasa seperti tidak terjadi apa-apa. Lalu, ia hampiri orang yang dicarinya : “Arjuna, menyerahlah. Aku mau menangkapmu.” “Lho, dari mana engkau tahu namaku? Kamu ini siapa ya?” tanya Arjuna terheran-heran. Rasa-rasanya, ia baru pertama kali ini bertemu dengan rohaniwan sederhana ini. “Jangankan namamu, latar belakangmu maupun sikapmupun aku sudah tahu. Ketahuilah, namaku Begawan Pulasara.” Arjuna kini menjadi semakin waspada. Ia dapat merasakan bahwa pendita dihadapannya ini bukan orang sembarangan. “Baik, silahkan saja menangkapku asal mampu melangkahi mayatku dulu.” “Hiyyaaatt!!” Arjuna menyerang dengan jurus “Janda Kembang”. Ia dapatkan jurus itu dari seorang guru silat di daerah Depok. Jurus ampuh itu kebanyakan dipelajari oleh wanita. Tapi karena potongan badan dan sikap kesatria Pandawa itu lemah gemulai, maka jurus itu cocok dipelajarinya. Pertempuran itu berlangsung dahsyat dan membuat keputren porak poranda. Bedak dan gincu tercecer dimana-mana. Tak ketinggalan beha-beha dan segitiga pengaman wanita yang sedang dijemur tersangkut sekenanya. Dengan sebuah gerakan yang kasat mata, Begawan Pulasara berhasil membekuk Arjuna. Kedua tangannya ia borgol kebelakang. “Bapa Begawan, kakang Arjuna jangan diapa-apakan!”

Page 132: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

teriak Dewi Banowati tiba-tiba. Wajahnya penuh kekawatiran. Begawan Pulasara mula-mula kaget akan sikap Banowati, tapi kemudian ia mengerti. Ia tahu akan arti sikap itu. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Permaisuri Astina itu naksir berat Arjuna. Angin berhembus lembut. Memainkan umbul-umbul keputren yang compang-camping. Kibarannya yang lemah bagaikan lambaian tangan bidadari yang tengah menari Serimpi. Empat tiang-tiang penyangga keputren patah-patah. Suasana keputren kini benar-benar terlihat menyedihkan. Lebih mirip daerah kaki lima yang habis diacak-acak polisi pamong praja, ketimbang tempat tinggal para dewi dan bethari. Suara gemericik air pancuran di kolam kecil terdengar menyejukkan. Di tempat itu, kini tinggal mereka betiga saja. Para dewi dan bethari serta dayang-dayang sudah pada bubar entah kemana. Sedangkan para pengawal tempat itu semua ditarik ke gerbang istana untuk menghadapi rombongan Bimasena. “Banowati,” kata Begawan Pulasara. “Sudah sepatutnya seorang yang masuk tanpa ijin ke dalam sebuah rumah harus ditangkap. Ia bisa dikategorikan maling. Dan maling ini harus diserahkan kepada pemilik rumah itu untuk ditanya apa keperluannya.” “Saya mengerti hal itu. Tapi kedatangan kakang Arjuna adalah untuk menyelamatkan saya. Karena mungkin dia kira kepergian saya bukan karena kehendak saya. Ia mengira, saya dalam keadaan bahaya, Bapa Begawan,” desah suara rintihan Dewi Banowati. “Ya, tapi Arjuna harus tetap dihadapkan dulu pada Prabu Kunco Manik.” “Kalo begitu biar saya ikut serta. Karena kesalahan kakang Arjuna sebagian menjadi tanggung jawab saya. Kakang Arjuna tidak mungkin kemari kalau bukan karena saya berada disini,” kata Banowati sambil menyerahkan kedua tangannya. “Baik kalo itu permintaanmu.” Setelah memborgol juga tangan Dewi Banowati, Begawan Pulasara membawa segera membawa kedua orang itu untuk diserahkan pada rajanya.

Page 133: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

(Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (50) Bima datang dengan rombongannya. Tidak banyak, hanya sepuluh orang. Di tengah-tengah perjalanan tadi ia sempat bertemu Bethara Guru. Napas dewa itu terengah-engah sedangkan jidatnya kelihatan benjol. Setelah menyembah, sebagaimana harusnya seorang manusia menyembah pada dewa manapun, Bima bertanya: “Lho, kakek Guru kok lari-lari kayak dikejar hansip emangnya ada apa?” “Oh, nggak apa-apa kok. Aku lagi jogging, soalnya kata dokter kolesterolku naik. Jidatku memar karena tadi kesandung dan jatuh dekat gapura,” kata Bethara Guru mencoba menutupi peristiwa yang sebenarnya. “Kamu sama rombonganmu mau kemana, nak?” “Gua mau ke istana elu. Apa benar yang berkuasa sekarang namanya Kuncoro Manik?” “Ya..ya..benar nak. Ia memang yang sekarang bertahta disana....” “Hmm, katanya dia juga yang mau menggagalkan perang Baratha Yudha. Kalo gitu biar gua usir dia. Enak aja bikin perintah yang kagak-kagak, bikin keputusan yang aneh. Mentang-mentang baru dapet kekuasaan. Apa dia kagak sadar kalo bakal nyalahin kodrat?” Bima menampakkan kegeramannya. “Kalau dia kagak mau turun tahta, biar entar gua tendang dari kursinya...” Mendengar rencana Bima itu, wajah Bethara Guru yang tadi lesu berubah menjadi cerah. Rupanya telah datang seorang kesatria yang akan mengembalikan kekuasaannya. Benar-benar sebuah keberuntungan yang tak bisa ditampik. “Wah, anakku Bima. Engkau memang kesatria yang berbudi luhur, karena itu aku percaya pada sikap dan sifatmu. Kalau engkau mampu mengalahkan Kuncoro Manik, aku bakal memberimu hadiah. Nantinya engkau akan aku berikan tempat tersendiri di langit ke tujuh. Kalo perlu engkau bakal tak beri jabatan. Dan juga senjata-senjata yang sakti milik kahyangan bakal aku wariskan kepadamu,” kata Bethara Guru mencoba meyakinkan.

Page 134: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Untuk kesatria yang suka jabatan, kedudukan dan hadiah, ucapan Bethara Guru itu tentu akan memberikan rangsangan tersendiri. Namun tidaklah demikian dengan Bima. Ia bukan tipe kesatria seperti itu. Seorang kesatria sejati biasanya tahu dan berhati-hati, bahwa dibalik sanjungan dan hadiah, biasanya ada makian dan tuntutan balas budi. Tipu muslihat. Rupanya Prabu Kuncoro Manik sudah menunggu Bima dan rombongan di pintu gerbang istananya. Ia berdiri paling depan dengan tangan bertolak pinggang. Kainnya berkibar dimainkan angin yang bertiup ringan. Gagah. Percaya Diri. Tak ada terlintas keraguan pada wajahnya. “Hei, stop dulu disini!” teriak Prabu Kuncoro Manik mengankat tangan kanannya. “Kok mirip orang pada mau nggrebek perjudian. Elu-elu ini pada mau kemana, bung!” Dengan wajah mrengut Bima berteriak bergemuruh: “Gua mau mencari penguasa baru negeri ini yang namanya Kuncoro Manik! Suruh dia turun tahta, kalo nggak mau gua tebalikin entar!” “Hehehe gua udah tahu elu bakal cari gua. Nih, gua Kuncoro Manik. Enak aja elu mau tebalikin orang sembarangan. Nah, gini aja. Gua saranin mendingan elu sama rombongan balik aja deh. Disini lagi banyak masalah.” “Kurang ajal, lu! Kalo gitu, terima nih bogem mentah gua! Heeaaaattt!!” Beriring dengan teriakan itu, Bima melabrak musuhnya. Ia memakai jurus Kuku Bima. Serangannya bagaikan amukan seekor badak yang marah karena betinanya ada yang membawa pergi. Mengetahui lawannya menyerang tanpa ampun, Prabu Kuncoro Manik tidak tinggal diam. Ia keluarkan semua ilmu andalannya, termasuk yang telah diajarkan oleh pamannya, Bagawan Pulasara. Dan jurus-jurus yang dimiliki penguasa kahyangan itu memang dahsyat. Lawannya kelihatan terdesak biar bentuk fisiknya jauh lebih besar dibandingkan dirinya. “Hiyaaaa!!” “Dezzz!!” Dengan sebuah gebrakan Prabu Kuncoro Manik berhasil menjatuhkan dan membekuk lawannya. Bersama jatuhnya kepala rombongan, para anak

Page 135: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

buahnya satu per satu jatuh pula ke tangan para pengawal Jonggring Saloka. Jumlah mereka kalah jauh. Prabu Kuncoro Manik segera memerintahkan anak buahnya agar membawa tawanan mereka ke rumah tahanan Salemba. Setelah semua beres ia segera kembali ke istana. Ketika penguasa Jonggring Saloka itu berbalik, tiba-tiba angin kencang bertiup dari belakang. Angin aneh yang entah dari mana datangnya itu dibarengi dengan suara tawa yang menggelegar: “Huehehe... huaahaha... ada raja baru..hehehe..baru jadi raja sudah banyak tingkah...hehehe!!!” Seorang gelandangan tampak bersender santai pada gapura pintu gerbang istana. Suaranya terdengar nyaring, pertanda ia punya tenaga dalam yang telah sempurna. Gelandangan itu nampak menggaruk-garuk rambutnya yang kotor. Seperti ada segerombolan kutu di kepala yang nekat tak mau minggat dari tempatnya. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (51) Prabu Kuncoro Manik berbalik menghampiri gelandangan yang nampak acuh di pintu gerbang istana. Perasaannya mengatakan bawa gelandangan itu bukan sembarang gelandangan. Keberaniannya datang sendirian ke Jonggring Saloka dan tak terdeteksi telah membuktikan bahwa ia seorang kesatria sakti. “Hai, bung!” sapa Prabu Kuncoro Manik. “Kalau elu haus, atau lapar pengen makan, masuk aja ke dalem. Entar tinggal gua bilang ama yang di dalem bahwa elu tamu gua....” “Hohohehe...haus? Malu ah? Haus kekuasaan baru malu-maluin namanya..haha...” jawab gelandangan itu cek bebek. Sikapnya sungguh menyebalkan. “Atau elu mau istirahat? Mau ganti pakaian? Silahkan masuk aja ke dalem. Minta saja ke dalam. Beri tahu mereka, bahwa itu atas perintah Prabu Kuncoro Manik.” “Ganti pakaian? Istirahat di sofa empuk? Hahaha pasti asyiiikk? Enak ya kalau lagi berkuasa...hehehe..tinggal ngomong semua orang nurut..hehe.. kalau udah gitu bisa lupa

Page 136: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

diri..asyiiikk..hehehe...” Prabu Kuncoro Manik semakin tak mengerti omongan ngaco tamu yang tak diundang itu. Namun makna kata-kata gelandangan itu jelas-jelas menyindir dirinya sebagai raja yang sedang berkuasa. Biarpun gayanya dibikin gendeng. Jaman sekarang memang lagi banyak orang gendeng yang gaya bicaranya waras. Tapi tak sedikit juga orang yang waras tapi gaya bicaranya kayak orang gendeng. Sambil garuk-garuk betis, gelandangan itu mulai ngoceh lagi: “Hahaha...orang berkuasa biasanya bukan cuma gampang ngelupa’in sesama, tapi juga lupa diri...hehehe...orang punya pengaruh biasanya suka maksa’in kehendaknya... hehehehe...” “Ah, udahlah gua kagak ngarti maksud elu apa,” kata Prabu Kuncoro Manik. “Sebenernya elu ini siapa, dan punya keperluan apa ke kahyangan sini?” “Hehehe...asyiiikk marah nih yééé... oke, gua lagi cari orang yang namanya Prabu Kuncoro Manik...elu tahu nggak dia dimana...” “Kebetulan sekali, karena orang yang lagi elu cari ada di depan elu. Nih, gua Prabu Kuncoro Manik..” “Hahaha...untung...hehe..ini namanya jodoh,” kata gelandangan sambil bangkit sempoyongan. Namun wajahnya kini nampak kegirangan. “Berhubung elu udah ngaku siapa diri lu, nih kenalin gua. Nama gua, Begawan Joyo Lelono. Gua utusannya Prabu Bathara Kresna. Gua kemari untuk nendang elu dari tahta...mau nggak? Nggak mau? Nggak mau ya udah, soalnya terpaksa harus mau sih...hahahaha....” Kini Kuncoro Manik samar-samar mulai bisa menebak maksud kedatangan gelandangan ini: “Hmm, memang gua kemarin ngirim utusan buat manggil Prabu Kresna. Kata mereka, Raja Darawati itu mau datang sendiri kemari. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba dia nyuruh elu kemari? Ini yang bikin gua heran. Udah gitu malah nyuruh gua turun tahta segala? Kenapa? Apa gara-gara perintah-perintah gua? Semua perintah dan keputusan yang gua bikin itu udah final...” “Ya kan..hehe..mau maksa’in kehendak. Emang tipikal

Page 137: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

penguasa, kayak buah petai lupa lanjaran. Udah kagak usah banyak ngomong lu!” kata Begawan Joyo Lelono. Kini wajahnya berubah jadi serius. Menyeramkan. “Sekarang tinggal memilih: mau turun tahta apa kagak. Kalau kagak mau ya terpaksa gua turunin. Dan biasanya kalo nurunin tahta orang, gua kagak biasa pake demontrasi dulu lho...hahaha....” Mendengar omongan ngaco gelandangan kesasar itu, Prabu Kuncoro Manik semakin gemas. Ia sudah tak mampu lagi membendung amarahnya. Gelandangan yang ngaku seorang begawan ini benar-benar tidak punya sopan santun dan meremehkannya. Karena itu nampaknya harus dihajar biar sedikit punya etiket. “Hmm, jadi elu pembunuh bayaran, ya? Datang kemari cuma mau cari ribut? Oke, bilang sama Prabu Kresna, gua nggak mau turun tahta. Sana pergi! Sebelum rasa kemanusiaan gua habis...” “Hahaha....hohoho...hehe...ngusir kucing sih gampang. Tapi jangan elu kira segampang itu ngusir macan...jangan elu kira segampang itu ngusir Begawan Joyo Lelono....hohohoho..” “Emang cari mampus lu ya. Ciaaaatttt!!” Bersama dengan teriakan itu, Prabu Kuncoro Manik melancarkan serangannya. Bunyi pukulan itu demikian dahsyat bagai bunyi petasan sebesar paha. “Zzddueeerrrr!!” Para prajurit Jonggring Saloka mulai berdatangan. Saat mereka mau mengeroyok rame-rame, Prabu Kuncoro Manik mencegah dengan mengangkat tangannnya. Ia memerintahkan prajuritnya buat mundur. Akhirnya mereka cuma bisa nonton di pinggir lapangan seperti orang-orang nonton adu ayam gratis. Begawan Joyo Lelono yang nampak seperti gelandangan malas itu ternyata sosok yang lincah. Pukulan lawan ia hindarkan bagaikan kucing menghindari lemparan sandal majikannya. Lalu, dengan sigap ia pasang kuda-kudanya. Ia mulai mengeluarkan ancang-ancang untuk melancarkan serangan dari jurus andalannya: “Gembel Tangan Geledek” “Heeyaaaaatttt!! Dèèèrr!! Dheerr!! Dhheerr!!” Ternyata jurus lawannya memang benar-benar jurus berbahaya. Hampir saja Prabu Kuncoro Manik terkena pukulan lawannya. Untung ilmu meringankan tubuhnya tinggi. Karena itu cuma sarungnya saja yang bolong terkena gebrakan lawan. Kini ia lebih berhati-hati

Page 138: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

lagi. “Hiyyaaaaaattt!!” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (52) Pertempuran dua kesatria itu berlangsung seru. Ilmu silat keduanya benar-benar mengagumkan. Mirip filem-filem silat Hongkong. Bedanya, perkelahian yang satu ini bukan sekedar akting. Melainkan perkelahian sungguhan yang mematikan. Dan makin lama perkelahian itu menjadi makin seru, juga fatal. Sementara itu di pinggir lapangan para prajurit Jonggring Saloka bersorak sorai waktu rajanya unggul dalam serangan. Sedangkan saat rajanya terdesak, mereka mulai terlihat gelisah, bahkan ada yang langsung kirim SMS ke temen-temennya mengabarkan situasi itu. Temen-temennya itu kirim SMS lagi ke temen-temen mereka sendiri hingga akhirnya khabar yang belum ketahuan juntrungannya tersebar luas dengan cepat. Situasi itu mengakibatkan harga saham jadi jatuh dan dolar jadi naik di pasaran. Tapi itu belum seberapa. Yang lebih kurang ajar lagi, ada beberapa prajurit di barisan belakang, diam-diam bertaruh dengan sesamanya. Ada yang menjagoi rajanya, tapi ada juga yang menjagoi musuh rajanya. Rupanya judi memang sudah merebak kemana-mana. Tidak terkecuali ke khayangan sekalipun. Jurus demi jurus telah terlalui. Namun rupanya Prabu Kuncoro Manik dan Begawan Joyo Lelono sama-sama kuat dan sakti. Biar begitu mereka ingin sekali segera mengakhiri pertempuran. Time is money. Maka seperti sama-sama di komando, masing-masing melancarkan serangan pamungkas, serangan terakhir yang mampu melumpuhkan lawan. Dengan ekstra konsentrasi Prabu Kuncoro Manik mulai menggalang tenaga intinya, begitu pula Begawan Joyo Lelono. Tiba-tiba dua sosok itu nampak maju melesat berbarengan. “ZZZDHUUEERRR!!” Pertemuan pukulan kedua kesatria itu menimbulkan bunyi gelegar yang dahsyat. Para penonton di pinggir lapangan rubuh terkena dampaknya. Beberapa

Page 139: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

nampak mental. Ketika mereka bangkit, mereka terheran-heran melihat dua sosok di tengah lapangan yang kini telah berubah bentuk. Prabu Kresna yang dari tadi rupanya telah mengamati dari jauh, kini tergopoh-gopoh mendekat. Iapun nampak bingung melihat pemandangan yang terlihat di gelanggang. Katanya: “Hmm, jadi Prabu Kuncoro Manik itu ternyata kamu toh, Antasena.” “Ya, paman,” kata Antasena sambil menyembah. Setelah menyembah tanda menghormat, ia pegangi lagi kepalanya yang masih terasa pening akibat adu kekuatan dengan lawannya barusan tadi. “Aku heran. Kok wujudmu itu bisa berubah jadi Prabu Kuncoro Manik itu asal usulnya gimana?” tanya Kresna. “Wah, ceritanya panjang, paman,” kata Antasena. Kemudian Antasena mencoba menceritakan kisahnya. Waktu itu, diam-diam ia diperintahkan menghadap kepada Sang Hyang Bethara Guru. Sesampai di khayangan ternyata ia di culik, mirip orang-orang yang diculik di Iraq. Dan tanpa tahu apa kesalahannya, ia diceburkan ke Kawah Candradimuka, neraka jahanam. Belakangan ia baru paham bahwa perintah pembunuhan terhadap dirinya itu justru didalangi oleh Bethara Guru sendiri. Waktu melayang jatuh ke Candradimuka, rupanya ada sebuah kekuatan misterius yang menangkapnya dan mengangkatnya keluar dari kawah itu. Begitu keluar, Antasena telah mendapati tubuhnya berganti wujud menjadi sosok yang baru. Dengan tubuh baru itu ia mulai berkelana kesana-kemari. Rupanya dengan sosok baru itu tenaganya pun berubah menjadi berlipat ganda. Ia berangkat ke Amerika pakai visa Turis. Di negeri empat musim itu, ia kerja ilegal serampangan. Mula-mula kerja di Gas Station. Kemudian kerja di Country Club ngangkat-ngangkat meja, kursi dan juga bersih-bersih WC. Lalu, nglamar jadi supir limosin. Karena bosan terus kerja di restoran jadi tukang cuci piring. Dan terakhir di kontraktor bangunan, jadi kuli ngaduk semen. Bosan jadi kuli, ia loper koran tiap pagi-pagi buta. Biar sudah berubah bentuk, namun ia tak pernah lupa pada jati dirinya yang lama. Dari gosip-gosip yang ia

Page 140: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

dengar, rupanya Bethara Gurulah panyebab kesengsaraan dirinya. Semua itu dilakukan oleh Bethara Guru, karena Raja Dewa itu berambisi menuruti kemauan anak kesayangannya, Dewa Serani, yang minta dikawinkan dengan Dewi Jenokowati. “Hmm, jadi begitu cerita tentang dirimu, nak,” kata Prabu Bethara Kresna. “Lha, kalau kamu, Gatotkaca, bagaimana kamu bisa berubah menjadi Begawan Joyo Lelono?” “Ceritanya begini, paman,” kata Gatotkaca. Ia adalah kakak Antasena, kakak dari lain ibu. “Saya merasa teramat sedih dan bingung setelah kehilangan Antasena. Apalagi banyak pihak telah memberi saya tanggung jawab sebagai pengawal langgengnya perkawinan antara Antasena dan Dewi Jenokowati. Maka saya mencoba bertanya kesana kemari tentang dimana keberadaannya. Tapi hasilnya nihil karena Antasena hilang begitu saja bagai ditelan bumi. Saya nggak tahu kalo Antasena rupanya pergi merantau ke Amrik.” “Lalu, kenapa kamu bisa jadi seorang Begawan.” “Ketika saya sudah merasa frustasi karena gagal mencari Antasena, iseng-iseng saya mampir ke daerah Ancol untuk menenangkan diri. Waktu ngaso di tepi pantai, ada bisikan yang menyuruh saya bertapa “Ngrame”. Dengan begitu saya akan menemukan Antasena. Maka, tanpa berpikir dua kali saya ikuti saja instruksi itu, berhubung sudah tidak tahu lagi apa yang harus saya kerjakan. Saya menjadi petapa yang menggelandang tanpa tujuan. Hingga akhirnya kita semua bisa bertemu disini.” (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (53) Heran akan kejadian-kejadian yang timbul dan tenggelam tanpa disangka dan diduga, Prabu Kresna, Antasena dan Gatotkaca mencoba merangkai kembali perjalanan hidup yang telah masing-masing lalui. Akhirnya muncul satu kesimpulan bersama: Semua kekusutan persoalan di dunia ini hanya bisa terjadi karena tindakan semena-mena yang telah dilakukan Sang Hyang Bethara Guru. Bethara Guru memang pemimpin bijaksana, tapi tidak semua tindakannya mencerminkan kebijaksanaannya.

Page 141: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Bahkan terkadang, karena merasa memiliki kekuasaan, ia suka memaksakan kehendak. Hal itu dilakukan dengan cara terang-terangan maupun tersamar. Bahwa kehendak yang dipaksakannya itu dapat diterima oleh orang lain atau tidak, ia tak pernah mau memikirkannya. Ia merasa bahwa segala apa yang dilakukannya adalah benar. Prinsipnya: The King always right. Selain itu, tanpa disadari oleh dirinya sendiri, Bethara Guru sering memanipulasi situasi. Orang-orang selalu ia dijejali propaganda “demi setia kawan”, “demi pelayanan sesama” dan “demi kemakmuran wong cilik (rakyat kecil)”. Dengan propaganda semacam itu, rakyat menjadi berilusi dan mengikuti segala perintahnya. Rakyat berilusi bahwa segala tindakan dan kegiatan yang telah mereka lakukan adalah baik, benar, berpahala, dan berguna. Banyak yang membenarkan, dan bahkan menutup mata terhadap segala tindakan buruk ini Mereka ini biasanya adalah orang-orang yang merasa bangga karena bisa punya kenalan dan pergaulan dengan pemimpin, maupun orang-orang yang nge-top, punya titel serta jabatan. Rupanya makin sedikit orang yang mampu (dan mau) melihat sisi-sisi buruk tindakan penguasa. Apalagi jika tokoh yang berkuasa itu nampak selalu bijaksana, adil, dermawan, ramah, serta murah senyum dan menjadi idola dimana-mana. Belum lagi jika tokoh pejabat itu “berspiritual tinggi” dan mampu memberi “kekuatan spiritual” pada orang lain. Emosi Antasena tiba-tiba meluap sampai ke ubun-ubun atas kesimpulannya sendiri. Ia tiba-tiba berkata: “Hmm, paman Kresna dan bang Gatot. Gua mau permisi dulu. Gua mau cari Bethara Guru dulu. Gua percaya, dia tipe orang yang mau bertanggung jawab atas perbuatannya yang sewenang-wenang....” Belum sampai ada jawaban, Antasena telah melesat pergi. Prabu Kresna dan Gatotkaca cuma bisa terbengong-bengong di tempat. Lalu, keduanya segera masuk menuju Paseban Agung dengan iringan para prajurit Jonggring Saloka. Para prajurit itu bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Mereka nampak bingung dan tak tahu tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Selama belum ada serah terima jabatan, mereka masih menganggap Antasena,

Page 142: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

perubahan wujud Kuncoro Manik, sebagai raja mereka. Sesampai di Paseban Agung, terlihat Begawan Pulasara, Arjuna dan Banowati tengah menunggu. Prabu Kresna memiliki banyak mata-mata tangguh di kerajaan Darawati. Mereka itu diantaranya adalah bekas-bekas KGB yang merasa dapet gaji kecil setelah Uni Soviet runtuh. Selain itu juga para bekas CIA yang tidak suka pada organisasinya, terutama setelah penanganan ‘Weapon of Mass Destruction’ ternyata bikin organisasi itu jelek dimata dunia. Dan terakhir James Bond ngelamar kerjaan. Ia dipecat organisasinya di Inggris gara-gara mengadukan kebiasaan-kebiasaan buruk Pangeran Charles. Dari khabar mata-matanya, Prabu Kresna dapat laporan bahwa Begawan Pulasara memiliki kesaktian luar biasa “Maaf, apakah anda memang benar yang bernama Begawan Pulasara?” “Ya, betul,” kata pendita itu sambil mesem. Wajah tenang sang pendita membuat gregetan Prabu Kresna. Tersirat dalam niatnya untuk mencoba kesaktian pendita itu. Namun belum sampai terlaksana niatnya, tiba-tiba datang angin kencang entah dari mana. Banyak yang menutup matanya untuk menghindari debu dan dedaunan yang berterbangan mengenai muka. Suasana menjadi gaduh. Dan di tengah-tengah kegaduhan tempat itu, tiba-tiba terdengar suara: “...namun sesungguhnya aku Sang Hyang Baruna.” Setelah berkata demikian, tiba-tiba sosok Begawan Pulasara merubah. Betapa kagetnya semua yang ada di Paseban Agung, terutama sekali Prabu Kresna. Semua tidak menyangka, jika Begawan Pulasara adalah penjelmaan Sang Hyang Baruna, Dewa Lautan. Prabu Kresna segera menghaturkan sembah, diikuti oleh yang lain. Dewa Laut ini adalah tokoh yang disegani karena kebijaksanannya. Biar kekuasaannya hanya di lautan, tapi ia tidak ambisius. Jaman sekarang memang banyak dewa-dewa yang pada ambisius. Terutama karena disebabkan lahan yang makin mengecil dan persaingan untuk bisa nge-top makin ketat. Tapi ambisius sih sebenarnya boleh-boleh saja karena hal itu merupakan “natural process”. Asalkan

Page 143: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

jangan sudah ambisius, terus masih ditambah otoriter, anti kritik dan pilih kasih. Dewa yang begini inilah yang dinamakan dewa keblinger. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (54) Sang Hyang Baruna menceritakan campur tangannya terhadap perjalanan hidup Antasena. Hal itu dilakukannya karena terpaksa. Ia tidak tega melihat Antasena menjadi korban ambisi Bethara Guru. Maka supaya tidak terlalu dikenal, ia merubah sosoknya menjadi Begawan Pulasara. “Nah, karena tugasku aku anggap sudah selesai, maka aku akan segera pulang ke rumahku,” kata Sang Hyang Baruna. Kharismanya benar-benar memancar, gilang-gemilang. “Mengenai Antasena yang saat ini sudah badar, dan sedang menuntut hak-haknya, kalian tidak usah kawatir. Karena hal itu akan melibatkan kekuasaan yang lebih besar.” “Ya, saya mengerti paduka,” jawab Kresna. “Oh ya, pada bahumulah Kresna, kusandarkan kejayaan anak dan cucuku, keluarga besar Pandawa. Jagalah dan bimbinglah mereka. Sebagai penasehat dan duta, engkaulah tulang punggung yang mampu membawa irama bagi langkah hidup mereka. Jangan karena posisimu dan kekuasaanmu itu lantas engkau bertindak di luar batas. Dan jangan mengharapkan sanjungan dan nama baik bagi pekerjaanmu itu.” Mendengar permintaan itu, Prabu Kresna segera menghaturkan sembah. Ia berjanji akan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang masih tercecer. Diantaranya mengembalikan Dewi Banowati kembali ke Astina. Setelah mendengar kesanggupan Kresna, Sang Hyang Baruna segera menghilang. Sosoknya bagai lenyap terbawa angin. Beberapa saat kemudian, dari belakang paseban terdengar bunyi gaduh. Para prajurit Jonggring Saloka rupanya telah membebaskan Bima dan rombongannya. Setelah gemuruh emosi Bima bisa diredakan, Prabu Kresna segera memberitahu duduk perkara semua

Page 144: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

persoalan. Sang surya telah condong di cakrawala. Senja menjelang tiba. Langit di ufuk barat nampak kemerahan, dihiasi selendang-selendang awan yang menghitam. Udara sore itu cerah, namun lembab. Demikianlah cuaca di negeri para dewata saat ini. Udara yang menyesakkan itulah yang makin membuat para dewa dan dewi, bethara dan bethari serta hapsara dan hapsari, malas untuk keluar rumah. Apalagi banyak yang sudah tahu bahwa negeri mereka sedang dilanda kerusuhan. Kebanyakan dari mereka memilih tenang-tenang berada dalam rumah yang ber-AC dan nonton CNN untuk mengetahui berita terakhir. Kerusuhan itu khabarnya telah berubah menjadi huru-hara. Demikian kusut urusannya sehingga bahkan menurut khabar burung sempat melibatkan United Nation. Sudah lumayan jauh juga Bethara Guru lari meninggalkan gelanggang perkelahian, ketika sadar bahwa senjata andalannya, Kiai Cundomanik, tak mempan waktu digunakan buat menghajar tubuh Ki Lurah Semar. Setelah merasa aman, ia memutuskan untuk beristirahat sebentar mengatur napas yang kelihatan kembang-kempis. Ia agak menyesal juga karena sudah cukup lama tidak berolah raga. Biasanya ia rajin jogging. Tiba-tiba dari kejauhan nampak sebuah mobil jip menuju ke arahnya. Dengan hati girang ia keluar dari persembunyiannya. Kalo diperbolehkan, ia ingin numpang. Namun betapa kaget dirinya setelah tahu bahwa pengendarannya adalah Antasena. Dan semuanya sudah terlambat. Antasena sudah melihatnya dan melambai-lambaikan tangannya melalui jendela. “Bethara Guru! Hooiii! Guru!” teriak Antasena sambil mengeluarkan kepalanya di jendela, “gua pengen bicara ama elu! Gua cuma pengen minta pertanggung jawaban elu!” Mendengar teriakan itu, sadarlah Bethara Guru akan datangnya bahaya baru. Ketika mobil jip itu sudah semakin dekat, tanpa memberi jawaban, ia langsung kabur tunggang langgang. Ia lari ke arah jalan setapak yang menuju ke hutan kecil. Larinya mirip seorang maling yang dikejar hansip satu kompi. Ia tahu, jika

Page 145: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Antasena dihadapinya, nasibnya nggak bakal lebih baik daripada waktu berhadapan dengan Semar. Saat ini kesaktiannya lagi apes. Di mobil jip-nya, Antasena cuma bisa bengong. Hatinya tambah dongkol berat. Tapi ia tidak putus asa. Biar tidak kenal daerah sekitar sini, ia yakin akan mampu menemukan Bethara Guru. Di mobilnya ada GPS (Global Positioning System). Dengan alat itu, ia nggak kawatir nyasar. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (55) Ternyata Bethara Guru memutuskan lari ke luar negri, ke Amerika. Memang, sebenarnya Amerika tempat pelarian yang paling nyaman, terutama bagi oknum-oknum pejabat dari negara berkembang. Asal yang bersangkutan tidak melanggar hukum setempat, ia tidak akan diusik-usik. Selain itu, yang bersangkutan tidak dalam kategori pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dan juga tidak pernah mendapat cap pelaku Crimes Against Humanity di negara asalnya. Tapi ada peribahasa: hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Artinya: biar bagaimanapun enaknya tinggal di negara orang, masih enak tinggal di negara sendiri. Di Amrik, orang asing akan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Demikian juga halnya dengan Bethara Guru. Karena itu ia tidak betah. Maka setelah seminggu, ia memutuskan untuk pulang ke Jonggring Saloka. Ia sudah rindu Mie Tèk-tèk, Nasi Uduk dan juga Sop Buntut, makanan-makanan kegemarannya. Ia bosan makan Hamburger Mc Donald dan Kentucky Fried Chicken melulu. Maka dengan segala resiko sampailah kembali ia di Kahyangan Jonggring Saloka. Begitu sampai ia langsung cium tanah. Ia sudah demikian rindu pada tanah airnya. Rupanya hatinya telah memiliki ketetapan. Dan ketetapan itu adalah keinginannya untuk mengurai kekusutan persoalan yang tengah terjadi di jagat raya. Artinya, ia sudah sadar bahwa sumber semua kekusutan itu adalah dirinya, yang dengan semena-mena telah menghukum Antasena.

Page 146: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Hanya ada satu tempat, dimana persoalan jagat raya yang sudah mentok bisa dipecahkan. Bukan ke DPR, bukan ke DPA, dan bukan ke PBB, tapi kembali ke Rumah Kebajikan. Dan tempat ini bukanlah berbentuk gereja, masjid, pura, kuil maupun tempat ibadah berupa bangunan yang megah lainnya. Karena semua bangunan itu hanyalah sarana. Kembali ke Rumah Kebajikan artinya kembali kepada kesadaran diri sendiri. Karena sudah berhasil kembali pada kesadaran diri, maka tindakan selanjutnya tinggal mengurai kekusutan persoalan disekelilingnya. Dan pertama-tama itu dilakukan oleh Bethara Guru dengan cara bersemadi, memohon kedatangan Sang Hyang Wenang, pemegang kekuasaan atas semua dewa. Ia adalah dewanya para dewa yang bertugas mengatur supaya para dewa tidak jalan sendiri-sendiri dan tidak bertindak samau-maunya. Ia jugalah pemegang otoritas kehidupan dan kodrat manusia di jagat raya. “Maafkan saya, karena telah terpaksa mohon petunjuk paduka,” demikian awal pengaduan Bethara Guru. Ia terpaksa harus jujur, karena tanpa kejujuranpun Sang Hyang Wenang sudah mengetahui segalanya. “Hmmm, ya...ya...kebetulan aku lagi monitor persoalan Timur Tengah dan Afrika. Tiba-tiba kok ada SMS yang meminta kedatanganku. Ada apa Bethara Guru?” tanya Sang Hyang Wenang. “Pertama, kedatangan saya adalah memohon perlindungan dari kejaran Antasena dan Kakang Semar. Adapun yang kedua, saya ingin memecahkan persoalan jagat raya yang makin hari saya rasakan semakin parah saja.” “Nah, itulah Bethara Guru. Engkau tahu kan kalo kedua persoalan yang kau ungkapkan itu berhubungan satu dan lainnya. Semua itu awalnya dari nafsu, yaitu nafsumu. Nafsu itu sebaiknya janganlah terlalu dituruti. Nafsu itu memang tidak bisa hilang, tapi paling tidak bisa dikendalikan. Karena dari nafsu-nafsu yang paling kecil, seperti nafsu bergosip, sampai nafsu yang paling besar, yaitu nafsu berkuasa, semua itu bisa berakibat buruk. “Akibat buruk yang paling parah dari nafsu itu adalah bobroknya sifat-sifat pribadi, seperti menjadi tamak, egois, dan mau menang sendiri. Selain itu bukan hanya diri pribadi yang terpengaruh, tapi juga keadaan di

Page 147: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

sekeliling atau lingkungan. Karena kenyamanan dan kedamaian lingkungan jadi terganggu.” Tidak ada kata yang mampu keluar dari mulut Bethara Guru selain: “Ya, saya mengerti paduka.” Sang Hyang Wenang melanjutkan wejangannya karena ia merasa sudah waktunya untuk mengingatkan Bethara Guru. Katanya lagi: “Nah, itu tadi masalah nafsu. Sekarang yang kedua adalah masalah ambisi. Punya ambisi sih boleh-boleh karena ambisi sudah jadi bagian dari hidup untuk mencapai kemajuan. Tapi ambisi juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Jangan sampai gara-gara kemampuannya terbatas terus ‘njilat yang di atas dan sikut kanan-kiri. Itu ambisi gila namanya. Apalagi kalo sampai nginjek yang di bawah. “Lebih parah lagi kalo ambisi dikombinasikan dengan sifat dan sikap yang otoriter. Ini berbahaya. Karena mereka yang otoriter biasanya tidak mau denger kata orang lain dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar. Ia mau berkuasa sendiri dan bertindak sewenang-wenang pada yang lain...” Belum sampai Sang Hyang Wenang menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba terjadi kegaduhan di luar rumah. Beberapa saat kemudian masuklah Antasena dan Ki Lurah Semar. Betapa kagetnya Bethara Guru. Apalagi muka kedua orang itu sangar-sangar mirip anggota Babinsa kalah main judi. Antasena membawa pentungan di tangan kanannya. (Bersambung)

KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (56/Habis) Ketika Semar dan Antasena tahu siapa yang ada di hadapan Bethara Guru, mereka segera menjatuhkan diri, menyembah. Pentungan di tangan kanan Antasena terjatuh tak disengaja. Penghormatan mereka tak dibuat-buat. Melihat ulah mereka, Sang Hyang Wenang hanya tersenyum. “Ada apa Antasena, kok datang bawa pentungan segala seperti mau tawuran? Dan juga kamu Ismoyo, baru kali ini aku lihat wajahmu sangar kayak Pam Swakarsa nggak dapet bayaran gitu. Ada apa?” tanya Sang Hyang Wenang. “Maapin gua, kek. Gua kesini memang nyari Bethara

Page 148: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

Guru. Menurut intel gua, dia ada di rumah kontrakan ini. Eh, ternyata bener juga. Tapi gua kagak tahu kalo elu juga ada disini,” jawab Antasena. Pandangannya kemudian dilayangkan pada Bethara Guru dengan sengit. “Hmm,” Ki Lurah Semar titisan Bethara Ismoyo memulai jawabannya setelah berhasil menurunkan tensinya, “saya kira kan paduka sendiri tahu apa sebabnya saya kemari. Kalo bukan lantaran para putra Pandawa asuhan saya yang lagi dibikin susah sama Bethara Guru, saya nggak bakalan sampai kemari. Di jalan tadi saya diajak sama Antasena, yang katanya telah menemukan lokasi Bethara Guru dan mau minta pertanggung jawabannya. Nah, saya ikut aja sekalian.” Suasana di dalam rumah hening. Hanya suara-suara penduduk kampung saja yang terdengar berisik dan gaduh di luar. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi dalam rumah kontrakan itu. Selain itu masih ditambah datangnya para pedagang kaki lima, yang pandai sekali membaca situasi dan memanfaatkan kerumunan umum. “Memang Bethara Guru memintaku datang kemari,” kata Sang Hyang Wenang tiba-tiba. “Ada sesuatu yang ingin disampaikannya kepada kalian. Nah, Bethara Guru, silahkan kamu ungkapkan apa yang ada di benakmu saat ini.” Dengan sedikit salah tingkah Bethara Guru berkata: “Begini, nak, Antasena. Aku mengaku salah telah mencelakaimu. Aku sadari itu semua karena arogansiku pada kekuasaan. Selain itu, aku berusaha menuruti kemauan keluargaku, terutama anakku Dewa Serani, tanpa memandang patut atau tidaknya tindakanku itu. Karena itu aku sekarang minta maaf kepadamu, nak. Begitu juga aku minta maaf kepadamu Ismoyo, atas kesalahpahaman yang telah terjadi.” Antasena tak mampu berkata-kata. Biar ia seorang pemberani dan sedang dalam keadaan emosi, toh luluh juga hatinya mendengar kata minta maaf itu. Dan nampaknya diungkapkan dengan sejujurnya oleh yang mengatakannya. Begitu juga Semar hanya mesam-mesem, namun dengan raut muka puas. “Nah, Antasena dan Ismoyo, Bethara Guru sudah mengakui kesalahannya. Dengan demikian maafkanlah dia. Jadi tak usah ada lagi dendam. Dia telah menunjukkan kembali kebesarannya sebagai pemimpin. Yah, para pemimpin pun

Page 149: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

kalau sudah terlalu lama berkuasa akan sulit mengucapkan kata maaf. Mereka mengira bahwa tindakannya selalu baik dan disetujui semua orang. Karena kedudukan mereka sudah terlalu tinggi sehingga kuping mereka kadang sulit untuk di raih oleh rakyat yang membutuhkan pengaduan dan keluh kesah. Mata mereka selalu menengok ke atas hingga lupa bahwa mereka sedang menginjak yang di bawah...” Mendengar nasehat-nasehat selanjutnya yang cukup tajam, Bethara Guru hanya menunduk diam. Menekuri penyesalannya sendiri. Tapi kemudian ia sempat kaget bagai disambar petir waktu terlempar ucapan Sang Hyang Wenang: “...nah, biarpun kejadian ini nantinya bukan yang terakhir kalinya, tapi mungkin baik bagimu, Bethara Guru, kalau sebelum bertindak berpikirlah dengan panjang. Dan juga sering-seringlah instrospeksi dan belajar dari pengalaman.” “Baik, paduka,” sembah Bethara Guru sambil menangkupkan kedua tangannya di atas jidat. “Sedangkan bagimu, Antasena,” sabda Sang Hyang Wenang selanjutnya, “karena Bethara Guru sudah meminta maaf dan mengakui kesalahannya, maka urusan ini aku anggap sudah selesai. Pulanglah kembali ke rumah. Temuilah istrimu karena kamu sudah diberi berkah kelanggengan dalam berjodohan dengan Dewi Jenokowati. Sedangkan tahta Jonggring Saloka, sekarang juga kuminta untuk kau serahkan kembali kepada Bethara Guru. Tahta itu sudah menjadi haknya. Mengenai urusan Dewa Serani biar nanti aku yang menyelesaikan. “Dan juga kau Ismoyo, kembalilah lagi kepada para kesatria sejati asuhanmu. Bantulah mereka mengurai kekusutan yang tengah terjadi di dunia.” Hampir bersamaan Antasena dan Bethara Ismoyo menjawab: “Baik, kek! Baik, paduka!” Bersama dengan jawaban kesanggupan itu, lenyaplah sosok Sang Hyang Wenang. Tak ada bekas maupun aromanya yang tersisa. Lenyap bagai lebur dalam udara. Pada akhirnya, kehidupan alam berjalan pada porosnya masing-masing lagi. Kawah Candradimuka kembali tenang tak bergejolak. Gempa dan bencana alam telah berhenti. Kekusutan dunia telah terurai. Para mahkluk hidup dengan aman, damai dan sentosa. Namun, dibalik semua

Page 150: 1.Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya

itu, nafsu angkara masih mengintai dibalik tiap jiwa- jiwa. Siap melepaskan amuknya jika si empunya tak mampu mengendalikannya. (Tamat)