2. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · atau teri gelagah dan dapat mencapai panjang 17.50 cm...
TRANSCRIPT
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Teri Stolephorus indicus (Van Hasselt, 1983)
2.1.1. Klasifikasi dan morfologi
Menurut Saanin (1968) klasifikasi Stolephorus indicus (Gambar 2) adalah
sebagai berikut :
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Malacopteygii
Famili : Clupeidae
Subfamili : Engraulidae
Genus : Stolephorus
Spesies : Stolephorus indicus (Van Hasselt, 1983)
Nama umum : Indian Anchovy
Nama lokal : Teri putih
Gambar 2. Stolephorus indicus (Van Hasselt, 1983)
Sumber : dokumen pribadi
Hutomo et al. (1987) menyatakan bahwa ikan teri memiliki tanda-tanda khas
yang membedakannya dari anggota famili Engraulidae yang lain yaitu sirip
caudalnya bercagak dan tidak bergabung dengan sirip anal serta duri abdominalnya
hanya terdapat antara sirip pektoral dan ventral yang berjumlah tidak lebih dari 7
buah, umumnya tidak berwarna atau agak kemerah-merahan, samping tubuhnya
memiliki selempang putih keperak-perakan yang memanjang dari kepala sampai
ekor dan bentuk tubuhnya yang bulat memanjang (fusiform) atau termampat
5
samping (compressed). Sisiknya kecil dan tipis sangat mudah lepas. Sirip dorsal
umumnya tanpa duri pradorsal. Sebagian atau seluruhnya dibelakang anus, pendek
dengan jari- jari lemah sekitar 16 – 23 buah. Jari- jari lemah teratas dari sirip
pektoral tidak memanjang. Tulang rahang atas mungkin memanjang mencapai celah
insang. Gigi-giginya terdapat pada rahang, langit- langit, palatin, pterigoid, dan
lidah.
Stolephorus indicus memiliki ciri - ciri tubuh memanjang dan berbentuk
silindris dengan panjang baku 5.4 – 5.8 kali tinggi tubuh, 4.1 – 4.4 kali panjang
kepala. Moncong sama dengan diameter mata atau kadang-kadang lebih pendek.
Maksila mencapai batas anterior dari praoperkulum dan meruncing pada ujungnya.
Jari- jari lemah 16 – 17 buah dan tidak mempunyai duri pradorsal; sirip anal 20 – 21
buah; sirip pectoral 14 – 16 buah; dan sirip ventral 7 buah. Sisik pada garis lateral
berjumlah 40 buah. jumlah saringan insang pada lengkung insang pertama bagian
bawah berjumlah 20 – 25 buah. Sisik abdominal meruncing berjumlah 3 – 5 buah.
Sebuah bintik hitam pada kepala (occiput). Punggung dan ekor berbintik-bintik
dengan sirip lain bening. Stolephorus indicus sangat mirip dengan Stolephorus
commersonnii, tetapi Stolephorus indicus tidak memiliki garis-garis pigmen pada
punggungnya dan maksilanya pendek. Hidupnya soliter dan dapat ditemukan
sepanjang tahun dalam jumlah kecil di sepanjang pantai Jawa, terutama bulan Juli-
Agustus. Kadang-kadang spesies ini memasuki sungai-sungai di Sumatera dan
Kalimantan (Hutomo et al. 1987).
2.1.2. Jenis - jenis ikan teri
Menurut Hutomo et al. (1987) ada lima jenis ikan teri yang dikemukan oleh
Weber dan de Beaufort (1913) dalam bukunya yang berjudul ”Fishes og the Indo-
Australian Archipelago”, sedangkan berdasarkan penelitian Delsman (1931) in
Hutomo et al. (1987) tentang telur dan larva ikan di Laut Jawa ditemukan jenis telur
Stolephorus yang lebih banyak dari spesies yang dikemukakan oleh Weber dan de
Beaufort. Hasil penelitian Hardenberg (1933 a & b; 1934) in Hutomo et al. (1987)
telah membuktikan dugaan Delsman (1931) in Hutomo et al. (1987) tersebut dimana
Ia mendapatkan 9 jenis Stolephorus dari perairan Indonesia.
6
Dari perkembangan identifikasi jenis-jenis ikan teri, ditemukan ada 9 jenis
ikan teri yang pasti ada di perairan Indonesia. Delapan jenis termasuk kelompok
ikan yang mempunyai sebaran distribusi yang luas, baik di Samudera Pasifik
maupun di Samudera Hindia (S. devisi, S. heterolobus, S. commersonnii, S. indicus,
S. insularis, S. baganensis, S. buccaneeri, dan S. tri) serta satu jenis lagi termasuk
kelompok yang tidak terdapat di Samudera Pasifik (S. dubiosus) (Hutomo et al.
1987).
Sembilan jenis ikan teri yang terdapat di Indonesia dan umumnya mempunyai
ukuran tubuh sekitar 6 – 9 cm, misalnya Stolephorus heterolobus, Stolephorus
insularis, dan Stolephorus zollingeri. Tetapi ada pula yang berukuran besar misalnya
Stolephorus commersonni dan Stolephorus indicus yang dikenal sebagai teri kasar
atau teri gelagah dan dapat mencapai panjang 17.50 cm (Nontji 2005).
Menurut Setyohadi et al. (2001) in Supriyadi (2008), identifikasi spesies ikan
teri di perairan Selat Madura menunjukkan adanya empat jenis ikan teri berdasarkan
morfologi, morfometri, dan penamaan secara lokal oleh nelayan Madura, yaitu teri
nasi (Stolephorus spp.), teri putih (Stolephorus devisi), teri merah (Stolephorus
heterolobus), dan teri hitam (Stolephorus buccaneri). Teri nasi sangat mudah
dibedakan dengan jenis teri lainnya, karena memiliki warna putih transparan dan
ukurannya lebih kecil. Selanjutnya, untuk teri putih memiliki warna putih
transparan, ukurannya lebih besar dari teri nasi, warna abdomen keperakan (silvery
colour), kepala lebih pendek dibandingkan teri merah, dengan selempang lateral
relatif lebih kecil. Ikan teri merah mempunyai ukuran lebih besar dari teri nasi,
kepala lebih pendek dibandingkan teri putih, warna daging agak kemerahan,
selempang perak lateral lebih tebal, bagian abdomen berwarna keperakan.
Pemberian nama teri hitam oleh nelayan dan pengepul adalah karena warnanya yang
lebih kotor dibandingkan teri lainnya yang biasanya memiliki ciri warna daging
lebih kotor dibandingkan teri merah, kepala panjang menyerupai teri merah, serta
ukurannya lebih besar dibanding teri nasi (Setyohadi et al. 2001 in Supriyadi 2008).
7
2.1.3. Waktu dan tempat pemijahan
Ikan teri melakukan pemijahan sepanjang tahun, meskipun ikan teri dewasa
banyak dijumpai di perairan payau namun telurnya tak dapat ditemukan pada
salinitas yang kurang 17 ‰ (Nontji 2005). Salinitas pada Teluk Banten bervariasi
karena input aliran sungai. Variasi salinitas akan mempengaruhi distribusi dan
kelimpahan ikan karena ikan bertoleransi pada salinitas tertentu. Pengaruh salinitas
juga berkaitan dengan orientasi migrasi ikan sebagai respon terhadap gradien
salinitas, serta pengaruhnya terhadap reproduksi (Haumahu 1995).
Ikan teri di Laut Jawa memijah pada malam hari dan malam hari berikutnya
telur menetas menjadi larva. Puncak-puncak pemijahan ikan teri bersamaan dengan
perubahan musim, dari musim barat laut ke musim tenggara antara bulan April dan
Mei dan sebaliknya dari musim tenggara ke musim barat laut antara Desember dan
Januari (Delsman 1931 in Hutomo et al. 1987). Ikan teri nasi memijah beberapa kali
serta memiliki musim pemijahan yang panjang, bahkan sepanjang tahun.
Fekunditasnya bervariasi dan berkisar antara 921 – 2 287 butir untuk ukuran panjang
ikan 64 – 81 mm dan 2 325 – 9 402 butir telur untuk ukuran panjang ikan 63 – 97
mm (Hutomo et al. 1987).
2.1.4. Makanan dan kebiasaan makan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hardenberg (1934) in Hutomo et
al. (1987) disimpulkan bahwa makanan Stolephorus umumnya terdiri dari
organisme pelagis berukuran kecil meskipun komposisinya berbeda untuk masing -
masing spesies. Jenis - jenis ikan yang berukuran kecil memakan crustacea kecil
seperti Copepoda, Ostracoda, individu-individu kecil seperti Mysis, Sergetes, dan
Euphasia serta larva Crustacea tingkat nauplius dan zoea. Selain itu, di dalam isi
perutnya didapatkan larva Bivalvia, Gastropoda, Anelida, Pteropoda, dan Diatomae.
Sedangkan jenis-jenis Stolephorus berukuran besar seperti Stolephorus indicus dan
Stolephorus commersonii memangsa sebagian besar larva ikan bersama dengan
Mysis dan Sergetes (Hutomo et al. 1987).
Stolephorus heterolobus di Selat Singapura terutama pada ukuran sampai 40
mm memangsa fitoplankton dan copepoda dan setelah dewasa mulai memangsa
calanoida yang lebih besar, Leptochela, polychaeta, Mysis, larva Squilla, Lucifer,
8
dan branchyura serta larva decapoda yang lain. Kadang-kadang larva Stolephorus
terdapat di lambungnya (Hutomo et al. 1987).
Makanan Stolephorus devisi sebagian besar terdiri dari zooplankton, meskipun
demikian fitoplankton seperti Coscinodiscus dan dinoflagelata ditemukan juga di
dalam isi lambungnya. Zooplankton yang dominan adalah fragmen krustasea dan
copepod, sedangkan makanan Stolephorus heterolobus mirip dengan makanan
Stolephorus devisi yang didominasi oleh fragmen krustasea dan copepod (Hutomo et
al. 1987).
2.1.5. Tingkah laku dan hubungannya dengan lingkungan
Menurut Hardenberg (1934) in Hutomo et al. (1987) ikan teri (Stolephorus
spp.) bersifat pelagik dan menghuni perairan pesisir dan estuari, tetapi beberapa
jenis berada pada salinitas rendah antara 10 – 15‰. Kebanyakan ikan teri hidup
bergerombol, tetapi ada pula yang hidup soliter setidaknya untuk jangka waktu
tertentu. Teri yang berukuran kecil seperti Stolephorus heterolobus, Stolephorus
insularis, dan Stolephorus zollingeri, biasanya bergerombol sampai ratusan atau
ribuan individu. Jenis-jenis ikan teri yang berukuran besar (Stolephorus indicus,
Stolephorus commersonnii) cenderung untuk hidup soliter, karenanya tertangkap
nelayan dalam jumlah kecil dan hanya pada bulan-bulan tertentu bisa tertangkap
dalam gerombolan-gerombolan kecil sekitar 100 – 200 ekor seperti pada bulan Juli-
Agustus (Hutomo et al.1987). Ikan teri yang umumnya berkelompok (schooling)
memiliki respon yang positif terhadap cahaya namun ikan teri memiliki kepekaan
yang tinggi terhadap reaksi yang berupa gerakan yang berasal dari luar (Hutomo et
al. 1987).
Ikan teri merah, teri putih, dan teri hitam mempunyai sifat phototaxis positive,
sedangkan ikan teri nasi diduga mempunyai sifat phototaxis negative. Hal ini terlihat
dari komposisi hasil tangkapan alat angkap bagan yang sedikit terdapat ikan teri nasi
yakni hanya 0.60% saja, sementara ikan teri putih (42 %), teri hitam (39.70 %), dan
teri merah (17.80%). Diduga ikan teri nasi sangat sensitif terhadap sinar lampu yang
digunakan alat tangkap bagan sebagai pengumpul ikan (FAD = Fish Agregating
Device) dan menghindar dari predator yang terkonsentrasi di sekitar lampu bagan
(Setyohadi et al. 2001 in Supriyadi 2008).
9
Ikan – ikan pada umumnya sangat peka terhadap cahaya yang datang dari arah
atas (dorsal). Kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap keberhasilan
penangkapan ikan dengan cahaya lampu adalah musim, fase bulan, kecerahan, dan
ada atau tidaknya predator (Laevastu dan Hayes 1984 in Effendy 2005).
Pengoperasian bagan menggunakan bantuan cahaya (light fishing) sehingga
alat ini tidak efisien apabila digunakan pada saat bulan purnama karena pada saat ini
ikan akan menyebar rata di kolom perairan. Oleh karena itu, pada bulan purnama
nelayan bagan tidak melakukan operasi penangkapan. Cahaya bulan dapat menjadi
tandingan bagi cahaya lampu. Menurut Nomura dan Yamazaki (1977) in Effendy
(2005) penangkapan ikan dengan cahaya tidak efektif pada bulan purnama karena
nilai luminositas cahaya lampu dan cahaya bulan pada kedalaman 20 meter hampir
sama yaitu masing - masing 0.033 lux dan 0.032 lux. Musim sangat berpengaruh
terhadap pemantulan cahaya lampu. Pada saat musim barat, lampu banyak
kehilangan efektifitas dan efisiensinya, karena cahaya banyak dipantulkan oleh
partikel – partikel yang terlarut dalam air laut.
Pemikatan oleh suatu sumber pencahayaan tidak hanya tergantung kepada sifat
fototaksis positif dari ikan tersebut, tetapi juga oleh faktor ekologis yang
berpengaruh terhadap makhluk hidup lainnya. Pada mulanya yang tertarik adalah
jenis zooplankton, kemudian diikuti oleh ikan ikan kecil dan akhirnya ikan besar.
Adanya cahaya di laut membuat organisme pemangsa (predator) sehingga pada
lapisan air tersebut terdapat suatu komunitas dengan rantai makanan yang kompleks
(Maeda vide Ben Yami (1987) in Effendy (2005).
Peristiwa berkumpulnya ikan di bawah sumber cahaya, dibedakan atas dua
kelompok. Kelompok pertama adalah ikan yang memiliki sifat fototaksis positif.
Ikan tertarik secara langsung terhadap sumber cahaya atau yang dikenal sebagai
peristiwa langsung. Kelompok yang kedua adalah ikan yang mempunyai maksud
mencari makan (feeding). Ikan tertarik karena di sekitar cahaya banyak terdapat
plankton dan ikan kecil untuk dimangsa, karena hal ini dikenal sebagai peristiwa
tidak langsung (Ayodhyoa 1981 in Effendy 2005).
Alasan dari beberapa jenis ikan termasuk ikan teri tertarik pada cahaya
disebabkan antara lain oleh untuk mencari intensitas cahaya yang optimum,
investigatory reflex, mencari makan, dan bergerombol yang merupakan reflex
10
defensif dari ikan terhadap predator. Pada umumnya pembentukan schooling
beberapa jenis ikan termasuk ikan teri dikaitkan dengan penglihatan ikan tersebut.
Ikan akan membentuk schooling pada saat terang dan menyebar pada saat gelap.
Ikan ini akan lebih mudah dimangsa oleh predator dalam keadaan terpencar – pencar
dibandingkan saat mereka berkelompok. Adanya rangsangan cahaya pada malam
hari, menyebabkan ikan tertarik ke daerah yang diterangi cahaya sehingga ikan –
ikan membentuk schooling dan lebih aman dari incaran predator (Kristjonsson 1968
in Effendy 2005).
2.1.6. Migrasi dan penyebaran
Ikan teri berdasarkan sifatnya yang sering melakukan migrasi memiliki
penyebaran yang dipengaruhi oleh perubahan musim pada suatu daerah. Pola musim
ikan teri terjadi secara periodik setiap tahunnya (Hutomo et al. 1987). Ikan teri
menyebar pada daerah yang sangat luas. Daerah penangkapan terdapat di Samudera
Hindia sebelah timur sampai daerah Pasififik Tengah bagian barat (Fischer dan
Whitehead 1974 in Humahu 1995).
Ikan teri pada siang hari membentuk gerombolan di dasar perairan dan
bermigrasi menuju permukaan pada malam hari dimana tebalnya gerombolan adalah
6-15 meter. Kedalaman renang dari gerombolan ikan teri bervariasi selama siang
hari dan bermigrasi ke daerah dangkal pada waktu pagi dan sore hari, hal ini
berkaitan dengan cahaya. Menurut Was (1994) in Humahu (1995) pada pagi hari
kelompok ikan teri akan bergerak ke lapisan permukaan, kemudian dengan seiring
bertambahnya intensitas cahaya dan pemanasan lapisan permukaan air laut.
Kelompok ikan akan terpecah menjadi kelompok yang lebih kecil. Setelah intensitas
cahaya mencapai maksimum, kelompok ikan turun menyebar ke lapisan yang lebih
dalam dengan membentuk kelompok yang lebih besar tetapi dalam jumlah yang
lebih sedikit dari lapisan permukaan.
Menurut Hardenberg (1933) in Nontji (2005), yang banyak mempelajari
biologi ikan teri di Indonesia menduga bahwa jenis tertentu seperti Stolephorus
pseudoheterolobus mengadakan ruaya (migrasi) secara periodik. Ini didasarkan pada
kenyataan yang dapat diamati di Perairan Bangka sampai Riau. Di Kepulauan
Lingga yang terletak di sebelah utara Bangka, ikan ini dapat ditangkap hanya pada
11
bulan Februari hingga Agustus dengan tangkapan maksimum pada bulan Juli –
Agustus. Lebih ke utara dari Kepulauan Riau jenis ini baru bisa ditangkap pada
bulan April hingga Oktober dimana dapat dilihat munculya dan habisnya pun dua
bulan lebih cepat dibandingkan di Kepulauan Lingga. Jadi, tampaknya ada
kemungkinan migrasi menuju ke utara.
Nontji (2005) juga mengatakan bahwa teri juga memiliki daerah sebaran yang
luas di daerah Indo-Pasifik, Tahiti, dan Madagaskar. Stolephorus zollingeri dan
Stolephorus celebicus banyak terdapat di perairan Indonesia bagian timur,
sedangkan Stolephorus tri ditemukan dalam jumlah banyak dekat muara-muara
sungai besar di Sumatera dan Kalimantan. Stolephorus baganensis bahkan dapat
masuk sampai jauh ke perairan payau.
2.2. Pertumbuhan
2.2.1. Hubungan panjang bobot
Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu
waktu (Effendie 1997). Analisa hubungan panjang berat dapat digunakan untuk
mempelajari pertumbuhan. Berdasarkan Effendie (1997) terdapat dua faktor yang
berpengaruh dalam pertumbuhan yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam antara
lain keturunan, jenis kelamin, penyakit, hormon, dan kemampuan memanfaatkan
makanan. Sedangkan faktor luar diantaranya ketersediaan makanan, kompetisi
dalam memanfaatkan ruang dan suhu perairan.
Pola pertumbuhan dapat dipelajari melalui analisa hubungan panjang bobot.
Persamaan hubungan panjang bobot ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui
panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap suatu
fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu
bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini
dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 1997).
Hasil analisis hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai
konstanta (b) yaitu harga pangkat yang mmenunjukkan pola pertunbuhan ikan.
Menurut Effendie (1997) ikan yang memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=3),
pertambahan panjangnya seimbang dengan pertumbuhan bobot. Sebaliknya pada
ikan dengan pola pertumbuhan allometrik (b≠3), pertambahan panjang tidak
12
seimbang dengan pertambahan bobot. Pertumbuhan dinyatakan allometrik positif
apabila b>3, yang menandakan bahwa pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan
pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan dinyatakan allometrik negatif
apabila b<3, yang berarti bahwa pertambahan panjang lebih cepat dbandingkan
pertambahan bobot (Ricker 1970 in Effendie 1997).
2.2.2. Parameter pertumbuhan (L∞, K, dan t0)
Beverton & Holt (1957) menyebutkan bahwa persamaan pertumbuhan Von
Bertalanffy memberikan representasi pertumbuhan populasi ikan yang memuaskan.
Hal ini dikarenakan pesamaan pertumbuhan Von Bartalanffy berdasarkan konsep
fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti
variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan.
Metode Ford Walford merupakan metode sederhana dalam menduga
parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan von Bartalanffy dengan interval
waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre dan Venema 1999). Metode ini
memerlukan masukan panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran.
Kelompok ukuran dipisahkan dengan menggunakan metode Battacharya (Sparre dan
Venema 1999).
Parameter - parameter yang digunakan dalam menduga pertumbuhan populasi
yaitu panjang infinitif (L∞) yang merupakan panjang maksimum secara teoritis,
koefisien pertumbuhan (K), dan t0 yang merupakan umur teoritis pada saat panjang
sama dengan nol (Sparre & Venema 1999). Panjang infinitif (L∞) pada ikan teri nasi
hanya mencapai 52 mm dengan koefisien pertumbuhan (K) 0.016/hari, sedangkan
untuk ikan teri putih (Stolephorus devisi), nilai panjang infinitif (L∞) mencapai 110
mm. Sementara dari penelitian di Teluk Jakarta diperoleh panjang infinitif (L∞)
Stolephorus devisi mencapai 97 mm dengan koefisien pertumbuhan (K) mencapai
0.0066/hari dan untuk ikan teri merah (Stolephorus heterolobus) mencapai L∞
sebesar 88 mm dengan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.0092/hari. Nilai faktor
kondisi untuk semua jenis ikan teri menunjukkan kondisi allometris (Setyohadi et.al
2001 in Supriyadi 2008).
13
2.3. Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan mortalitas
akibat penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z) adalah
penjumlahan laju mortalitas alami (M) dan laju mortalitas penangkapan (F).
Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain
penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan, dan usia tua
(Sparre & Venema 1999).
Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von
Bartalanffy yaitu K dan L∞. Ikan yang pertumbuhan cepat (nilai K tinggi)
mempunyai nilai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena
pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil, sedangkan mortalitas penangkapan
adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre &
Venema 1999).
Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang
akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Dengan kata lain laju eksploitasi adalah
jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati
karena semua faktor baik alami maupun penangkapan (Pauly 1984). Menurut Pauly
(1984) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi optimum, maka laju
mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0.5.
2.4. Alat Tangkap
Alat tangkap ikan teri yang digunakan di perairan Teluk Banten adalah bagan
perahu dan bagan tancap yang didominasi oleh bagan perahu. Bagan perahu
merupakan perahu dengan empat persegi panjang berukuran kira-kira 8.0 - 10.0 x
8.0 - 8.0 m, terbuat dari bambu. Dengan alat bantu jaring bermata halus dengan
ukuran lebih kecil sekitar 0.3 cm. Lampu petromaks bersifat phototaxis. Alat ini
sangat sederhana sehingga tidak diperlukan keahlian khusus untuk menjalankan
operasinya. Dalam satu bulan operasi bagan kira-kira 20 hari pada karena waktu
gelap bulan, pada waktu bulan terang nelayan tidak mengoperasiannya (Mayrita
2010).
Bagan tancap adalah bangunan dengan jaring angkat yang dipasang pada
waktu malam hari pada waktu bulan gelap dengan bantuan lampu tekan (petromaks).
14
Alat ini di perkenalkan oleh orang-orang bugis (Makasar) ke seluruh wilayah
perairan Indonesia. Umumnya bagan dipasag tidak jauh dari pantai. Alat ini dapat
diusahakan sepanjang tahun tanpa ada pengaruh dari musim. Namun, umumnya
pada musim barat nelayan jarang menggunakan alat ini karena dapat mudah roboh
dan rusak disebabkan oleh pengaruh angin dan ombak (Hutomo et al. 1987).
Menurut Subani (1972) in Hutomo et al. (1987) berdasarkan bentuk, macam,
dan cara penggunaannya, bagan dibagi ke dalam dua golongan yaitu :
a. Bagan tetap (tancap), alat ini tidak dapat dipindah-pindahkan. Alat ini terdiri dari
anjang-anjang yang berfungsi sebagai rumah bagan, daun bagan yang berbentuk
bujur sangkar. Jaring diberi bingkai dari bambu berukuran 7,5 x 7,5 m. Penggunaan
tenaga cukup dua orang karena alat ini mudah dioperasikan. Alat ini biasanya
dipasang pada kedalaman sekitar 8-15 meter, dan masih dekat dengan
pantai/daratan.
b. Bagan gerak (perahu), adalah suatu bentuk bagan yang dapat dipindah-
pindahkan di tempat- tempat yang di anggap baik serta tidak mengganggu alur
kapal-kapal besar. Perbedaan alat ini dengan bagan tetap adalah pada rumah bagan.
Bagan gerak dapat beranjang- anjang atau tanpa anjang. Bagan gerak memiliki
beberapa jenis yaitu bagan rakit, bagan perahu beranjang, bagan perahu, dan bagan
morotai (Gambar 3).
Gambar 3. Bagan Perahu Sumber : Dokumetasi Pribadi
Bagan perahu merupakan salah satu alat tangkap yang pengoperasiannya
hanya dilakukan satu hari atau one day fishing. Nelayan bagan perahu biasanya
menurunkan waring sekitar 3 – 7 kali dalam satu malam, hal ini bergantung pada
banyaknya ikan yang tertangkap. Apabila ikan yang tertangkap cukup banyak, maka
15
waring akan terus diturunkan, namun apabila ikan yang tertangkap hanya sedikit,
waring hanya diturunkan 3 – 4 kali (Mayrita 2010).
2.5. Pengkajian Stok Ikan
Pengkajian stok meliputi penggunaan berbagai perhitungan statistik dan
matematik untuk membuat prediksi kuantitatif mengenai reaksi dari berbagai
populasi ikan terhadap sejumlah pilihan atau alternatif pengelolaan (Widodo &
Suadi 2006). Pengkajian stok mencakup suatu estimasi tentang jumlah dan
kelimpahan dari sumberdaya. Selain itu, mencakup pula pendugaan terhadap laju
penurunan sumberdaya yang diakibatkan oleh penangkapan, dan mengenai berbagai
tingkat laju penangkapan atau tingkat kelimpahan stok yang dapat menjaga dirinya
dalam jangka panjang (Widodo & Suadi 2006).
Menurut Widodo et al. (1998), ukuran dari suatu stok ikan dalam suatu
perairan dapat dinyatakan dalam jumlah atau berat total individu. Baik jumlah
maupun berat (biomassa) suatu stok ikan di laut sulit diukur secara langsung. Oleh
sebab itu dalam menduga ukuran ukuran stok ikan seringkali digunakan jumlah atau
berat relatif yang dinyatakan sebagai densitas atau kelimpahan (abundance). Dengan
densitas atau kelimpahan, umumnya diartikan sebagai jumlah atau berat individu per
satuan area atau satuan upaya penangkapan. Sering dengan itu digunakan hasil
tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit effort /CPUE) dari suatu alat
tangkap atau alat sampling tertentu.
Proses penipisan stok sering diikuti dengan lima kombinasi yaitu penurunan
produktivitas perikanan atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE),
penurunan hasil tangkapan total yang didaratkan, penurunan berat rata-rata ikan,
perubahan dalam struktur umur populasi ikan (ukuran, umur), dan perubahan
komposisi spesies ikan (ekologi perairan). Dalam menganalisis sumberdaya ikan,
penentuan ukuran stok merupakan langkah penting dalam mempelajari berbagai stok
terutama yang telah diusahakan. Hasil analisis akan sangat berguna bagi
perencanaan pemanfaatan, pengembangan, dan perumusan strategi pengelolaan
(Widodo et al. 1998).
16
2.6. Model Bioekonomi Stok
Istilah bioekonomi diperkenalkan oleh seorang ekonom dari Kanada yaitu
Scott Gordon. Gordon pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk
menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal yang sebelumnya
diperkenalkan Schaefer, seorang biolog, sehingga kemudian dikenal dengan istilah
pendekatan bioekonomi atau model bioekonomi Gordon-Schaefer (GS) (Fauzi
2006). Pendekatan bioekonomi GS merupakan pendekatan sederhana dalam
pengelolaan sumberdaya ikan yang bertujuan untuk melihat aspek ekonomi dengan
kendala aspek biologi sumberdaya ikan, yaitu berapa tingkatan input (jumlah kapal,
trip, GT) yang harus dikendalikan untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang
maksimum (Fauzi 2006). Pemikiran dengan memasukkan unsur ekonomi dalam
pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal
dengan Maximum Economic Yield (MEY). Konsep MEY ini kemudian ditetapkan
sebagai salah satu target reference point pengelolaan sumberdaya (Gambar 4).
Gambar 4. Grafik MEY Sumber : Fauzi (2006)
Keterangan : MEY : Maximum Economic Yield E MEY : Effort maksimum MSY : Maximum Sustainable Yield E MSY : Effort optimum secara ekonomi E OA : Effort Open Access π : rente (keuntungan) ekonomi TR : Total Revenue TC : Total Cost
17
Pendekatan MEY menggunakan beberapa asumsi (Fauzi 2004 in Randika
2008) yaitu :
(1) Harga per satuan output adalah konstan.
(2) Biaya per satuan upaya dianggap konstan.
(3) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal.
(4) Strukutur pasar bersifat kompetitif.
(5) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor
pascapanen dan lain sebagainya).
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa kurva penerimaan total (Total Revenue
/TR) adalah sama dengan kurva produksi lestari, karena harga ikan diasumsikan
konstan dan penerimaan total akan ditentukan langsung oleh hasil tangkapan ikan.
Kurva biaya total (Total Cost/TC) berbentuk garis lurus, yang mengindikasikan
bahwa besarnya biaya meningkat secara proporsional dengan meningkatnya effort
(Fauzi 2004 in Randika 2008).
Fenomena yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah
kelebihan kapasitas yang berujung pada kondisi tangkap lebih (overfishing).
Overfishing diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang
dibutuhkan untuk mempetahankan stok ikan dalam wilayah perairan tertentu.
Economic overfishing adalah upaya tangkap lebih secara ekonomi dan terjadi ketika
ratio biaya terhadap harga terlalu besar (Fauzi 2006).
Jumlah orang yang memiliki minat (interest) untuk memaksimumkan
keuntungan sangat jarang bila dibandingkan dengan mereka yang ingin
meningkatkan hasil tangkapan. Kenyataannya orang akan lebih mudah diajak untuk
menangkap lebih banyak ikan dibandingkan mengejar nilai-nilai ekonomi yang
abstrak. Beberapa keuntungan penggunaan model MEY yakni model ini sangat
fleksibel dan dapat diadaptasikan untuk analisis costs and benefits bagi nelayan
komersial, rekreasional, para pengolah (processors), konsumen, dan lainnya yang
kegiatan usahanya berkaitan dengan perikanan.
Selain itu, konsep ini dapat diaplikasikan terhadap setiap model biologi dan
berbeda dengan konsep MSY karena MEY tidak berdasarkan konsep ekuilibrium.
Kelemahan yang paling menonjol dari penggunaan net economic yield sebagai
tujuan pengelolaan yaitu model ini bergantung pada harga ikan yang tertangkap serta
18
satuan biaya penangkapan yang bervariasi dari tahun ke tahun dan dari negara ke
negara (Widodo & Suadi 2006).
2.7. Pengelolaan Perikanan
Menurut FAO (1997) in Widodo & Suadi (2006), pengelolaan perikanan
adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan
implementasi dari aturan-aturan main dibidang ikan dalam rangka menjamin
kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya.
Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan
oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan
(Widodo & Suadi 2006).
Secara umum tujuan pengelolaan perikanan dapat dibagi ke dalam empat
kelompok yaitu biologi, ekologi, ekonomi dan sosial, yang mana tujuan sosial
mencakup tujuan politik dan budaya. Menurut Boer & Azis (2007) bahwa
pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan demi tercapainya kesejahteraan para
nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa serta
mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan. Selain itu,
para pengelola perikanan memiliki tugas untuk menentukan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari.
Pendekatan yang umum digunakan dalam studi pengelolaan sumberdaya
perikanan adalah pendekatan struktural atau analitik yaitu pendekatan dengan cara
menjelaskan sistem sumberdaya perikanan melalui komponen - komponen yang
membentuk sistem tersebut. Komponen - komponen tersebut adalah penambahan
pertumbuhan dan mortalitas. Selain itu, mengingat tujuan pembangunan perikanan,
maka diperlukan pendekatan bioekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Hal
ini dikarenakan pendekatan bioekonomi merupakan perpaduan dua disiplin ilmu
yaitu biologi dan ekonomi yang menghasilkan solusi tentang bagaimana
memaksimalkan manfaat ekonomi dari pengelolaan sumberdaya ikan dengan
kendala faktor biologinya (Hassanudin 2005) .