2010-1-00451-mn bab 2
TRANSCRIPT
-
7
Bab II
Landasan Teori
2.1 Motivasi Kerja
2.1.1 Definisi Motivasi
Menurut beberapa penulis dapat diperoleh bahwa definisi motivasi adalah:
1. Menurut Kreitner dan Kinicki (2008, p210). Motivasi adalah kumpulan proses psikologis yang
menyebabkan pergerakan, arahan, dan kegigihan dari sikap sukarela yang mengarah pada
tujuan.
2. Menurut Colquitt, LePine, dan Wesson (2009, p178). Motivasi suatu kumpulan kekuatan yang
energik yang mengkoordinasi di dalam dan di luar diri seorang pekerja, yang mendorong
usaha kerja, dalam menentukan arah , intensitas, dan kegigihan.
3. Menurut George and Jones (2005, p175). Motivasi kerja adalah suatu kekuatan psikologis di
dalam diri seseorang yang menentukan arah perilaku seseorang di dalam organisasi, tingkat
usaha, dan kegigihan di dalam menghadapi rintangan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu kumpulan proses psikologis yang
memiliki kekuatan di dalam diri seseorang yang menyebabkan pergerakan, arahan, usaha dan
kegigihan dalam menghadapi rintangan untuk mencapai suatu tujuan.
2.1.2 Elemen Motivasi
Menurut George and Jones (2005, p175-176) ada tiga elemen dalam motivasi kerja dan
tiga elemen tersebut adalah adalah: arah perilaku, tingkat usaha, tingkat kegigihan.
-
8
Tabel 2.1 Elemen Motivasi
Element Definition Example Arah perilaku (Direction of Behavior)
Perilaku apakah yang dipilih seseorang untuk ditunjukkan dalam organisasi?
Apakah seorang engineer memberikan waktu dan usahanya untuk meyakinkan pimpinan yang skeptis dengan tujuan untuk mengubah spesifikasi desain produk baru dengan biaya yang produksi yang lebih rendah?
Tingkat Usaha (Level of Effort)
Seberapa keras seseorang bekerja untuk menunjukkan perilaku yang dipilihnya?
Apakah seorang engineer mempersiapkan laporan permasalahan dengan spesifikasi sebenarnya, atau hanya menyebutkan permasalahan ketika berpapasan dengan seorang pimpinan di dalam lobby dan berharap bahwa pimpinan tersebut akan mengikuti nasihatnya dengan yakin?
Tingkat kegigihan (Level of Persistence)
Ketika menghadapi rintangan, jalan buntu, dan tembok batu, seberapa keras seseorang tetap mencoba untuk menunjukkan perilakunya dengan baik?
Ketika pimpinan tidak setuju dengan engineer nya dan menunjukkan bahwa perubahan dalam spesifikasi adalah hanya menyia-nyiakan waktu, apakah seorang engineer tersebut tetap gigih untuk dapat mengimplementasikan perubahan tersebut atau menyerah walaupun ia sangat yakin bahwa hal tersebut membutuhkan perubahan.
Sumber: George and Jones (2005, p175)
Arah perilaku: Perilaku manakah yang dipilih seseorang untuk ditunjukkan? Dalam
pekerjaan manapun, ada banyak perilaku (beberapa tepat, dan beberapa tidak tepat) dimana
seorang pekerja dapat terlibat di dalamnya. Arah perilaku mengacu pada perilaku yang dipilih
karyawan untuk ditunjukkan dari banyak potensi perilaku yang dapat mereka tunjukkan. Jika
seorang pialang dalam perusahaan investment banking secara ilegal memanipulasi harga saham,
jika seorang manager mengangkat karirnya sendiri dengan membebani bawahannya, atau jika
seorang engineer menyakinkan pimpinan yang skeptis untuk mengubah spesifikasi desain dari
sebuah produk baru dengan tujuan untuk menurunkan biaya produksi semua tindakan tersebut
merefleksikan perilaku yang dipilih karyawan untuk ditunjukkan.
Sebagai contoh, karyawan dapat termotivasi dengan cara berfungsi, yang dapat
menolong perusahaan dalam mencapai tujuannya, atau dengan tidak berfungsi yang
-
9
menghalangi perusahaan dalam mencapai tujuannya. Dengan melihat kepada motivasi, manager
ingin memastikan bahwa arah perilaku bawahan mereka berfungsi bagi organisasi. Mereka ingin
karyawan untuk termotivasi datang tepat waktu, melakukan tugas yang diberikan dan dapat
dipercaya, datang dengan ide-ide baru, dan menolong sesamanya. Manager tidak ingin
karyawannya untuk datang terlambat, mengabaikan aturan yang mengutamakan kesehatan dan
keamanan, atau menggantikan kualitas dengan mulut manis.
Tingkat usaha: Seberapa keras seseorang bekerja untuk menunjukkan perilaku yang
dipilihnya? Adalah tidak cukup bagi organisasi untuk memotivasi karyawannya untuk
menunjukkan perilaku untuk berfungsi bagi perusahaan, organisasi juga harus memotivasi
mereka untuk bekerja keras dalam perilaku ini. Sebagai contoh, jika seorang engineer
memutuskan untuk meyakinkan pimpinan yang skeptis untuk perubahan suatu desain, level
motivasi engineer tersebut menentukan seberapa jauh ia akan meyakinkan pimpinannya. Apakah
engineer tersebut hanya menyebutkan kebutuhan akan perubahan tersebut dalam percakapan
biasa, atau ia akan mempersiapkan laporan detail yang menunjukkan permasalahan tersebut
dengan spesifikasi sebenarnya dan mendeskripsikan spesifikasi penurunan biaya baru yang
dibutuhkan?
Tingkat kegigihan: Ketika menghadapi rintangan, jalan buntu, dan tembok batu,
seberapa keras seseorang tetap mencoba untuk menunjukkan perilaku yang dipilihnya dengan
baik? Seandainya pimpinan seorang engineer menyatakan bahwa perubahan spesifikasi adalah
hanya menyia-nyiakan waktu. Apakah engineer tersebut gigih mencoba untuk mendapatkan
implementasi perubahan tersebut atau menyerah walaupun dia sangat percaya bahwa hal itu
diperlukan? Misalnya, jika mesin pabrik dari salah seorang karyawan rusak, apakah karyawan
akan berhenti bekerja dan menunggu seseorang untuk datang memperbaikinya, atau ia mencoba
untuk memperbaiki mesin tersebut atau paling tidak memberitahu rekan kerjanya tentang
permasalahan tersebut?
-
10
2.1.3 Motivasi intrinsik dan ekstrinsik
Menurut George dan Jones (2005, p177-179), perbedaan yang harus diperhatikan dalam
mendiskusikan motivasi adalah perbedaan antara sumber motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
Perilaku dengan motivasi intrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk kepentingannya
sendiri, dengan kata lain sumber motivasi biasanya datang dari penunjukkan perilaku itu sendiri.
Seorang pemain violin profesional yang menikmati bermain di dalam orkestra tanpa
menghiraukan bayaran yang relatif rendah dan seorang seorang CEO yang menghabiskan 12 jam
kerja karena mereka menikmati pekerjaan mereka, dan itu adalah motivasi intrinsik.
Perilaku dengan motivasi ekstrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk
memperoleh materi atau penghargaan sosial atau untuk menghindari hukuman. Perilaku tersebut
ditunjukkan bukan untuk kepentingannya sendiri tetapi lebih kepada konsekuensinya. Contoh
dari motivasi ekstrinsik termasuk bayaran, pujian, status, dll.
Seorang karyawan dapat termotivasi secara ekstrinsik, termotivasi secara instrinsik, atau
keduanya. Ketika karyawan lebih terutama termotivasi secara ekstrinsik dan melakukan
pekerjaan itu sendiri tidak merupakan sumber motivasi, sangat penting bagi organisasi dan
manager untuk membuat hubungan yang jelas antara perilaku yang diinginkan perusahaan untuk
dilakukan karyawan dan hasil atau penghargaan yang dinginkan karyawan.
Ada hubungan antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik dengan nilai kerja intrinsik dan
ekstrinsik (akan di bahas pada sub bab kepuasan kerja). Karyawan yang memiliki nilai kerja
intrinsik ingin menantang pencapain, kesempatan untuk membuat kontribusi dalam pekerjaan
mereka dan perusahaan, dan kesempatan untuk mencapai seluruh potensinya di tempat kerja.
Karyawan dengan nilai kerja ekstrinsik menginginkan beberapa dari konsekuensi kerja, misalnya
menghasilkan uang, mendapatkan status dalam sebuah komunitas, kontak sosial, dan waktu
bebas dari pekerjaan untuk waktu keluarga dan bersantai. Hal ini memberi alasan bahwa
-
11
karyawan dengan nilai kerja intrinsik yang kuat biasanya akan termotivasi secara intrinsik di
tempat kerja dan mereka yang memiliki nilai kerja ekstrinsik akan termotivasi secara ekstrinsik.
2.1.4 Maslows hierarchy of needs (teori kebutuhan hirarki Maslow)
Menurut Hellriegel dan Slocum (2004, p119) ada beberapa hal yang merupakan alasan
dasar dari hirarki Maslow:
Sekali suatu kebutuhan terpuaskan, kepentingan peran motivasionalnya menurun. Bagaimanapun, setelah satu kebutuhan terpuaskan, kebutuhan lain pada tingkat yang lebih
tinggi muncul untuk mengambil alih, jadi orang selalu memuaskan kebutuhannya.
Jaringan kebutuhan untuk kebanyakan orang sangat kompleks, dengan beberapa kebutuhan yang mempengaruhi perilaku di dalam satu waktu. Jelas bahwa, ketika seseorang
berhadapan dengan situasi darurat, seperti rasa haus yang amat sangat, kebutuhan tersebut
akan mendominasi sampai terpuaskan.
Kebutuhan pada level yang lebih rendah harus dipuaskan, sebelum kebutuhan pada level yang lebih tinggi diaktifkan untuk mempengaruhi perilaku.
Ada lebih banyak cara untuk memuaskan kebutuhan pada level yang lebih tinggi daripada level yang lebih rendah.
Menurut George dan Jones (2005, p179-183), Seorang psikolog, Abraham Maslow
menyatakan bahwa manusia memiliki 5 kebutuhan universal yang mereka cari untuk dipuaskan:
kebutuhan fisiologi, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan rasa penghargaan, dan
kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan ini dan bagaimana mereka dapat dipuaskan
dijelaskan dalam tabel berikut ini. Maslow menujukkan bahwa kebutuhan-kebutuhan ini dapat
diatur dalam kepentingan hirarki dengan kebutuhan paling dasar fisiologi dan rasa aman- di
paling dasar. Dua kebutuhan ini harus dipuaskan sebelum individu mencari untuk memuaskan
-
12
kebutuhan yang lebih tinggi dalam hirarki nya. Maslow juga menyatakan bahwa setelah suatu
kebutuhan terpuaskan, maka tidak lagi sumber motivasi.
Tabel 2.2 Kebutuhan hirarki Maslow
Need Level Description Examples of how needs are met or satisfied
Self-actualization (Highest-level needs)
Needs to realize ones full potential as a human being
By using ones skills and abilities to the fullest and striving to achieve all that one can on a job
Esteem needs
Needs to feel good about oneself and ones capabilities, to be respected by others, and to receive recognition and appreciation
By receiving promotions at work and being recognized for accomplishments on the job
Belongingness needs
Needs for social interaction, friendship, affection, and love
By having good relations with co-workers and supervisors, being a member of a cohesive work group, and participating in social functions such as company picnics and holiday parties
Safety needs Needs for security, stability, and safe environment
By receiving job security, adequate medical benefits, and safe working conditions
Physiological needs (Lowest-level needs)
Basic needs for things such as food, water, and shelter that must be met in order for an individual to survive
By receiving a minimum level of pay that enables a worker to buy food and clothing and have adequate housing
Sumber: George dan Jones (2005, p179)
Berdasarkan teori Maslow, kebutuhan yang tidak terpuaskan adalah motivator utama dari
perilaku, dan kebutuhan yang berada pada level terendah dari hirarki akan didahulukan sebelum
level yang lebih tinggi. Di waktu tertentu, bagaimanapun, hanya satu jenis kebutuhan yang
memotivasi terjadinya perilaku, dan hal ini tidak mungkin melompati level tertentu. Setelah
-
13
seorang individu memuaskan satu jenis kebutuhannya, ia akan mencoba untuk memuaskan
kebutuhan pada level berikutnya dalam hirarki, dan level ini akan menjadi fokus motivasi.
Dengan menspesifikasi kebutuhan yang berkontribusi pada motivasi, teori Maslow
membantu manager menentukan apa yang akan memotivasi seorang karyawan. Pelajaran yang
sederhana namun penting dari teori Maslow adalah karyawan berbeda-beda dalam kebutuhannya
dan mencoba memuaskannya di tempat kerja, dan apa yang memotivasi seorang karyawan
mungkin tidak memotivasi yang lainnya. Hal yang dapat kita simpulkan adalah untuk
memperoleh pekerja yang termotivasi, manager harus mengidentifikasi kebutuhan manakah yang
sedang dicari untuk dipuaskan seorang karyawan di tempat kerja, dan setelah kebutuhan-
kebutuhan ini terpenuhi, manager harus memastikan bahwa kebutuhan tersebut terpenuhi jika
karyawan tersebut menunjukkan perilaku-perilaku tertentu.
2.1.5 Hubungan motivasi dan kinerja
Menurut George dann Jones (2005, p177) Kinerja adalah evaluasi dari hasil perilaku
seseorang, termasuk menentukan seberapa baik atau buruk seseorang menyelesaikan
pekerjaannya. Motivasi adalah salah satu faktor diantara banyak faktor yang berkontribusi
terhadap kinerja karyawan.
Kesimpulannya, karena motivasi hanya satu dari beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja, maka motivasi yang tinggi tidak selalu menghasilkan kinerja yang tinggi.
Sebaliknya, kinerja yang tinggi tidak menunjukkan bahwa motivasi tinggi, karyawan yang
memiliki motivasi rendah dapat menunjukkan kinerja yang tinggi jika mereka memiliki
kemampuan yang tinggi pula. Manager harus berhati-hati untuk tidak otomatis menyimpulkan
penyebab kurangnya kinerja karena kurangnya motivasi, atau penyebab tingginya kinerja karena
tingginya motivasi.
-
14
2.2 Kepuasan Kerja
2.2.1 Definisi Kepuasan Kerja
Definisi kepuasan kerja menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
1. Menurut Colquitt, LePine, dan Wesson (2009, p105) Job satisfaction is a pleasurable
emotional state resulting from the appraisal of ones job and what you think about your
job. suatu pernyataan emosi yang menyenangkan yang dihasilkan dari penghargaan
terhadap pekerjaan seseorang dan apa yang anda pikirkan tentang pekerjaan anda.
2. Menurut George dan Jones (2005, p75). Job satisfaction is the collection of feelings and
beliefs that people have about their current jobs. merupakan kumpulan perasaan dan
kepercayaan yang dimiliki seseorang tentang pekerjaan mereka.
3. Menurut Kreitner dan Kinicki, (2008, p170) Job satisfaction is an affective or emotional
response toward various facets of ones job. suatu respon yang mempengaruhi atau
emosional terhadap berbagai segi dari pekerjaan seseorang.
Dapat kita simpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu respon berupa pernyataan emosi
perasaan dan kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap berbagai segi dari pekerjaannya.
-
15
2.2.2 Determinan Kepuasan Kerja
Menurut George dan Jones (2005, p80-83) ada beberapa determinan dari kepuasan kerja.
Sumber: George dan Jones (2005, p80)
Gambar 2.1 Bagan Determinan Kepuasan Kerja
Personality: Personalitas merupakan cara seseorang merasakan, berpikir, dan
berperilaku, merupakan determinan pertama dari bagaimana orang berpiir dan merasakan
tentang pekerjaan mereka atau kepuasan kerja. Personalitas individu mempengaruhi tingkatan
positif atau negatif dari pemikiran dan perasaan tentang sebuah pekerjaan. Seseorang yang
tinggi dalam sifat-sifat utama orang ekstrovert biasanya memiliki tingkat kepuasan kerja yang
lebih tinggi daripada orang yang memiliki tingkatan yang rendah dalam sifat ini.
Personalitas membantu menentukan kepuasan kerja dan personalitas, dan personalitas
adalah bagian yang merupakan faktor genetis, peneliti-peneliti terkejut bahwa genetik
PersonalityCara seseorang merasakan, berpikir, dan berperilaku
ValuesNilai intrinsik dan ekstrinsik kerja, nilai etika
SocialinfluenceRekan kerja Kelompok (grup) Kultur
WorkSituationPekerjaan itu sendiri Kondisi kerja fisik Jam kerja, gaji
JobSatisfactionkumpulan perasaan dan kepercayaan yang dimiliki seseorang tentang pekerjaanmereka
-
16
mempengaruhi kepuasan kerja. Richard Arvey dari Universitas Minnessota dan rekan kerjanya
mengeksplorasi tingkatan level kepuasan kerja yang diwariskan dari orang tua mereka. Mereka
meneliti 34 pasang kembar identik yang dibesarkan secara terpisah sejak kecil. Objek peneliti ini
menyatakan sifat-sifat genetis yang sama tetapi terekspos dalam pengaruh situasi berbeda dalam
beberapa tahun terakhir perkembangan kehidupan mereka. Untuk masing-masing pasangan
kembar, peneliti mengukur derajat level kepuasan kerja yang satu sama dengan yang lainnya.
Peneliti menemukan bahwa faktor genetik diperhitungkan sekitar 30% dari perbedaan
level kepuasan kerja diantara anak kembar di dalam studi mereka. Penemuan menarik lainnya
adalah pasangan kembar tersebut cenderung memegang pekerjaan yang mirip/serupa dalam hal
kompleksitas, keahlian mesin, permintaan fisik yang dituntut dalam pekerjaan mereka. Hal ini
menunjukkan bahwa orang mencari pekerjaan yang sesuai dengan sifat-sifat genetis mereka.
Dengan kata lain, personalitas seseorang (yang sebagian diwariskan) mempengaruhi mereka
untuk memilih jenis pekerjaan mereka.
Apa arti penemuan ini bagi manager? Esensinya, mereka menunjukkan bahwa sebagian
dari kepuasan kerja ditentukan oleh personalitas karyawan, dimana sebuah organisasi atau
manager tidak dapat mengubahnya dalam waktu dekat. Apakah ini berarti para manager tidak
perlu khawatir tentang level kepuasan kerja dari bawahan mereka atau ini tidak ada artinya
untuk meningkatkan kepuasan kerja? Jelas Tidak. Walaupun secara pasti hal ini menyatakan
bahwa faktor genetis diperhitungkan 30% dari perbedaan level kepuasan kerja, 70% dari variasi
kepuasan kerja sisanya dapat dijelaskan. 70% inilah yang dapat dipengaruhi oleh seorang
manager. Jadi manager harus berkonsentrasi terhadap kepuasan kerja karena ini adalah sesuatu
yang merupakan kuasa mereka untuk mempengaruhi dan mengubah.
-
17
Values: Nilai memiliki dampak terhadap level kepuasan kerja karena mereka
merefleksikan keyakinan karyawan tentang hasil yang seharusnya terjadi dan bagaimana
seseorang seharusnya berperilaku saat bekerja.
Ada dua macam nilai kerja, yaitu: nilai kerja intrinsik dan ekstrinsik. Contohnya,
seseorang dengan nilai kerja intrinsik yang kuat (nilai yang berkaitan dengan alamiah dari
pekerjaan itu sendiri), kemungkinan besar akan terpuaskan dengan pekerjaan yang menarik dan
berarti secara personal (misalnya pekerjaan sosial) tetapi itu juga membutuhkan jam kerja yang
panjang dan gaji yang kurang baik. Seseorang dengan nilai kerja ekstrinsik yang kuat akan
terpuaskan dengan pekerjaan dengan gaji yang baik tetapi monoton.
Work Situation: Mungkin sumber kepuasan kerja yang paling penting adalah situasi
kerja itu sendiri pekerjaan yang dilakukan seseorang (contohnya, bagaimana menarik dan
membosankannya hal itu), orang-orang yang berinteraksi dengan seseorang pekerja (customer,
bawahan, supervisor), lingkungan dimana seseorang bekerja (tingkat keberisikan, keramaian,
dan temperatur), dan bagaimana organisasi memperlakukan karyawannya (misalnya sebagai
serorang petugas keamanan, mereka ditawarkan bayaran dan keuntungan yang layak). Setiap
aspek dalam pekerjaan dan organisasi merpakan bagian dari situasi kerja dan dapat
mempengaruhi kepuasan kerja. Mengacu pada Working Mother magazine, yang
mempublikasikan daftar 100 perusahaan teratas untuk ibu yang bekerja, menyatakan bahwa
fleksibilitas di tempat kerja merupakan hal yang penting. Fleksibilitas dapat mengambil berbagai
macam bentuk mulai dari minggu kerja yang di kompres dan waktu kerja yang fleksibel sampai
kepada kemampuan untuk mengambil cuti tambahan untuk mengurus anak yang sakit.
Kebanyakan orang dapat menjadi lebih terpuaskan dengan sebuah pekerjaan yang
menggaji mereka secara baik dan itu sangat aman dibandingkan pekerjaan yang menggaji
mereka sedikit dan ancaman pemberhentian kepada karyawan untuk selalu hadir.
-
18
Social Influence: Faktor penentu terakhir dari kepuasan kerja adalah pengaruh sosial
atau pengaruh yang dimiliki perorangan maupun kelompok terhadap sikap dan perilaku
seseorang. Sekelompok rekan kerja, sebuah kelompok dimana seseorang terlibat, dan kultur
dimana seseorang bertumbuh dan hidup di dalamnya, semuanya memiliki potensi untuk
mempengaruhi level kepuasan kerja.
Pengaruh sosial dari rekan kerja dapat menjadi faktor penentu yang sangat penting dari
kepuasan kerja seorang karyawan karena rekan kerja selalu ada disekeliling mereka, dan
memiliki tipe pekerjaan yang serupa, dan seringkali memiliki beberapa hal yang sama dengan
seorang karyawan (misalnya latar belakang edukasi). Rekan kerja dapat memiliki pengaruh
potensial dalam kepuasan kerja seorang karyawan baru. Karyawan baru biasanya masih
membentuk opini tentang organisasi dan pekerjaannya. Mereka mungkin belum tau apa yang
dapat mereka perbuat atau apakah mereka akan menyukainya atau tidak pada akhirnya. Jika
karyawan baru dikelilingi oleh rekan kerja yang tidak terpuaskan dengan pekerjaan mereka,
maka biasanya karyawan tersebut juga akan menjadi tidak puas dengan pekerjaan mereka, dan
jika karyawan baru tersebut dikelilingi oleh rekan kerja yang menikmati pekerjaan maka ia pun
akan terpuaskan dengan pekerjaan mereka.
Kelompok dimana seseorang terlibat juga mempengaruhi level kepuasan kerja seorang
karyawan. Keluarga dimana seorang anak bertumbuh, misalnya, dapat mempengaruhi
bagaimana memuaskan anak tersebut dimana berpengaruh ketika ia dewasa dalam
pekerjaannya. Seorang karyawan yang bertumbuh dalam keluarga berkecukupan mungkin tidak
terpuaskan dengan pekerjaan sebagai seorang guru sekolah karena gajinya dibandingkan dengan
tingginya standar kehidupannya ketika masih kecil. Seorang yang lebih rendah hati mungkin juga
tidak menginginkan gaji yang lebih tinggi tetapi mungkin tidak terpuaskan dengan pekerjaan
mengajar mereka karena bayarannya tersebut.
-
19
Variasi yang banyak di dalam suatu grup dapat mempengaruhi kepuasan kerja.
Karyawan yang memiliki grup religi biasanya tidak akan terpuaskan dengan pekerjaan yang
menuntut untuk bekerja di hari Sabtu dan Minggu. Serikat pekerja dapat memiliki efek yang
besar dalam level kepuasan kerja para anggotanya. Menjadi anggota serikat pekerja yang
percaya bahwa manager tidak memperlakukan karyawan dengan baik seperti seharusnya,
sebagai contoh, dapat mengakibatkan seorang pekerja tidak terpuaskan dengan pekerjaannya.
Kultur dimana seseorang bertumbuh dan tinggal di dalamnya dapat menyebabkan juga
level kepuasan kerja karyawan. Karyawan yang bertumbuh di dalam kultur (misalnya kultur
amerika) yang menekankan pentingnya pencapaian dindividu dan prestasi biasanya terpuaskan
dengan pekerjaan yang memberikan tekanan kepada prestasi dan menyediakan bonus dan
bayaran lebih bagi pencapaian individu. Karyawan yang bertumbuh dalam kultur (misalnya kultur
Jepang) yang menekankan pentingnya melakukan apa yang baik bagi semua orang mungkin
tidak akan terpuaskan dengan pekerjaan yang menekankan kompetisi individu dan pencapaian.
Dalam kenyataannya, pengaruh kultur dapat membentuk tidak hanya kepuasan kerja
tetapi juga sikap yang dimiliki karyawan tentang diri mereka sendiri. Seorang Amerika akan
memperkenalkan sebuah perkuliahan dengan sebuah guyonan yang menunjukkan pengetahuan
dan kejenakaannya. Tetapi seorang dosen Jepang di posisi yang sama biasanya akan memulai
dengan meminta maaf dengan kekurangan keahliannya. Mengacu pasa Dr Hazel Markus dari
University of Michigan dan Dr. Shinobu Kitayama dari University of Oregon, kedua gaya yang
kontras ini merefleksikan bagaimana orang Amerika dan orang Jepang menunjukkan dirinya,
dimana berdasar pada nilai-nilai dali kultur yang mereka hormati.
Konsisten dengan kultur Amerika, Dosen Amerika menampilkan dan membawakan
dirinya sebagai orang yang bebas, otonom, dan berusaha untuk mencapai: hal ini membuatnya
merasa nyaman, dan membuat pendengar Amerikanya nyaman. Sangat berbeda, kultur Jepang
-
20
menekankan ketergantungan diri sendiri dengan orang lain; tujuannya adalah untuk
menyesuaikan diri, bertemu dengan kewajiban seseorang, dan memiliki relasi interpersonal yang
baik. Gaya yang tidak menonjolkan diri dalam dosen Jepang merefleksikan nilai-nilai ini; hal ini
menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari sistem yang lebih besar dan menekankan koneksi
antara dirinya dan pendengar.
Markus dan rekan kerjanya pernah memimpin beberapa penelitian menarik tentang
penerangan lebih jauh tentang efek kultur terhadap sikap tentang diri seseorang. Mereka
meminta pada murid orang Jepang dan amerika untukmendeskripsikan diri mereka
menggunakan apa yang peneliti sebut sebagai skala Who am I. Seorang Anerika cenderung
untuk merespon skala ini dengan mendeskripsikan karakter personal (misalnya merupakan
seoranng yang atletik atau pandai). Murid-murid Jepang, bagaimanapun cenderung
mendeskrpsikan diri mereka dalam peran mereka (misalnya merupakan anak kedua). Respon-
respon ini sekali lagi mengilustrasikan bahwa orang Amerika menunjukkan diri mereka dalam
karakteristik personal, dan orang Jepang menampilkan diri mereka dalam karakteristik sosial
seperti posisi mereka dalam keluarga. Ini merupakan demonstrasi yang sederhana dan kuat yang
menunjukkan bagaimana kultur dan lingkungan sosial dimana kita bertumbuh mempengaruhi
sikap kita, bahkan sikap sebagai fundamental dari sikap tentang diri kita sendiri. (p80-83)
2.2.3 Dampak Ketidakpuasan Kerja
Menurut Steven P. Robbins dan Timothy A. Judge (2007, p84) ada konsekuensi ketika
karyawan menyukai pekerjaan mereka, dan ada konsekuensi ketika karyawan tidak menyukai
pekerjaan mereka. Satu bingkai kerja teoritis (exit-voice-loyalty-neglect framework) sangat
membantu untuk mengeri konsekuensi-konsekuensi ketidakpuasan kerja. Dalam bagan berikut
mengilustrasikan 4 respon yang dibedakan dalam dua dimensi, yaitu: konstruktif/destriktif dan
aktif/pasif. Dan definisi respon-respon tersebut adalah:
-
21
Exit keluar: ketidakpuasan ditunjukkan dengan perilaku yang mengarah kepada meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru sebaik posisi mereka ketika berhenti.
Voice suara: ketidakpuasan kerja ditunjukkan secara aktif dan konstruktif berusaha untuk meningkatkan konsisi-kondisi yang ada, termasuk memberikan saran-saran positif,
mendiskusikan permasalahan dengan atasan, dan berbagai bentuk kegiatan serikat pekerja.
Loyalty kesetiaan: ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif tetapi optimistik dengan menunggu kondisi untuk menjadi lebih baik, termasuk berbicara mewakili organisasi kepada
kritik eksternal dan mempercayai organisasi dan pihak manajemen bahwa telah melakukan
hal yang benar.
Neglect pengabaian: ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif mengizinkan kondisi menjadi semakin buruk, termasuk masalah absen atau keterlambatan yang kronis, penurunan usaha,
dan meningkatnya level kesalahan.
Perilaku exit dan neglect meliputi kinerja, produktivitas, kemangkiran, perputaran. Dan di
dalam model ini juga terdapat voice dan loyalty dimana merupakan perilaku konstruktif yang
mengizinkan individu untuk mentoleransi situasi yang tidak menyenangkan dan untuk mencapai
kondisi kerja yang memuaskan. Hal ini menolong kita untuk mengerti situasi-situasi, seperti yang
seringkali ditemukan dalam anggota serikat pekerja, dimana kepuasan kerja yang rendah
berjalan bersamaan dengan perputaran pekerja yang rendah. Anggota serikat pekerja seringkali
mengekspresikan ketidakpuasan mereka melalui prosedur keluhan atau melalui negosiasi kontrak
formal. Mekanisme suara ini mengizinkan anggota serikat pekerja untuk melanjutkan pekerjaan
mereka ketika meyakinkan diri mereka bahwa mereka sedang bertindak untuk membuat situasi
menjadi lebih baik.
-
22
Gambar 2.2 Kuadran Ketidakpuasan Kerja
Sumber : Steven P. Robbins dan Timothy A. Judge (2007, p84)
Gambar 2.2 Kuadran Ketidakpuasan Kerja
2.2.4 Hubunganantarakepuasankerjadankinerja
Menurut Steven P. Robbins dan Timothy A. Judge (2007, p84) pekerja yang senang
biasanya merupakan pekerja yang produktif, walaupun sulit untuk mengatakan bagaimana
kausalitasnya berjalan. Bagaimanapun, beberapa peneliti pernah mempercayai bahwa relasi
antara kepuasan kerja dan kinerja merupakan mitos. Tetapi sebuah review dari 300 studi
menyimpulkan bahwa korelasinya cukup kuat. Mulai dari level individu sampai kepada organisasi,
juga ditemukan dukungan terhadap relasi kepuasan-kinerja. Ketika kepuasan dan data
produktivitas dikumpulkan dari sebuah organisasi, kita akan menemukan bahwa organisasi
dengan lebih banyak karyawan yang terpuaskan cenderung lebih efektif daripada organisasi
dengan lebih sedikit karyawan yang terpuaskan.
aktif
konstruktif
pasif
destruktif
EXIT VOICE
NEGLECT LOYALTY
-
23
2.3 Sikap Kerja
2.3.1 Definisi Sikap Kerja
Menurut beberapa ahli, definisi sikap kerja adalah:
1. Menurut Kreitner dan Kinicki (2008, p160) dijelaskan bahwa Attitude is a learned
predisposition to respond in a consistenly favorable or unfavorable manner with respect to a
given object. suatu kecendrungan yang dipelajari untuk merespon secara konsisten
terhadap sikap yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dengan rasa menghargai
kepada suatu objek tertentu.
2. Menurut George dan Jones (2005, p74) Work attitudes is collections of feelings, beliefs, and
thoughts about how to behave that people currently hold about their jobs and organizations.
kumpulan perasaan, kepercayaan, dan pemikiran tentang bagaimana berperilaku yang
dipegang oleh seseorang tentang pekerjaan dan organisasinya
3. Menurut Hellriegel dan Slocum (2004, p48) Attitudes is relatively lasting feelings, beliefs,
and behavioral tendencies aimed at specific people, groups, ideas, issues, or objects.
suatu perasaan, kepercayaan, dan kecendrungan perilaku yang cenderung tidak berubah
yang ditujukan pada orang, kelompok, gagasan, permasalahan, atau objek yang spesifik.
Berdasarkan tiga definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap kerja adalah suatu
kumpulan persaan, kepercayaan, dan pemikiran bagaimana harus berperilaku baik itu
menyenangkan ataupun tidak menyenangkan terhadap suatu objek tertentu (dalam hal ini
adalah pekerjaan dan organisasinya).
-
24
2.3.2 Komponen Sikap Kerja
Menurut Kreitner dan Kinicki (2008, p160) ada tiga komponen di dalam sikap kerja, yaitu
komponen afektif, kognitif, dan perilaku.
1. Affective component: komponen afektif dari sikap mengandung perasaan atau emosi yang
dimiliki seseorang terhadap objek atau situasi tertentu. Misalnya, apa yang anda rasakan
terhadap orang yang berbicara di telepon ketika di restoran? Jika anda merasa terganggu
atau marah terhadap orang seperti ini maka anda sedang menekspresikan pengaruh atau
perasaan negatif terhadap seseorang. Sebaliknya, komponen yang berpengaruh terhadap
sikap anda adalah netral jika anda tidak tertarik (acuh tak acuh) terhadap orang yang
berbicara di telepon di restoran tadi.
2. Cognitive component: Apa yang anda pikirkan terhadap orang yang berbicara di telepon di
restoran? Apakah anda percaya perilaku ini tidak baik, produktif, sepenuhnya dapat diterima,
atau kasar? Jawaban anda mewakili komponen kognitif dari sikap anda terhadap orang yang
berbicara di telepon di restoran tersebut. Komponen kognitif dari sikap merefleksikan
kepercayaan ide-ide yang dimiliki seseorang terhadap objek atau situasi.
3. Behavioral Component: komponen perilaku mengacu pada bagaimana seseroang berniat
atau berharap untuk bertindak terhadap seseorang atau sesuatu. Misalnya, bagaimana anda
berniat untuk merespon seseorang yang sedang berbicara di telepon ketika makan malam di
sebuah restoran jika orang ini duduk dekat anda dan tamu anda?
Teori sikap menyatakan bahwa perilaku yang terbaik di dalam situasi seperti ini adalah
fungsi dari ketiga komponen tersebut. Anda tidak biasa untuk mengatakan sesuatu apapun
terhadap seseorang yang sedang menelepon di sebuah restoran. Jika anda tidak bermasalah
dengan perilaku ini (afektif), jika anda percaya bahwa telepon genggam berfungsi untuk
-
25
membatu orang-orang untuk mengatur hidupnya (kognitif), dan anda tidak bermaksud untuk
mencela berkonfrontasi dengan orang tersebut (perilaku).
2.3.3 Indikator Sikap
Menurut Hellriegel dan Slocum (2004, p49). Ada beberapa indikator sikap yang terdapat
dalam tiap komponen sikap di atas.
affective component mood, dan emosi terhadap seseorang, ide, situasi, atau objek.
cognitive component opini, pengetahuan, atau informasi yang ada pada seseorang
behavioral component kecendrungan untuk bertindak atas evaluasi kesukaan atau
ketidaksukaan terhadap suatu hal.
2.4 Kinerja Job Performance
2.4.1 Definisi Kinerja
Definisi kinerja menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut.
1. Menurut Kreitner dan Kinicki (2008, p36) Kinerja adalah nilai dari sekelompok perilaku
karyawan yang berkontribusi, baik positif atau negatif, terhadap pencapaian tujuan
organisasi.
2. Menurut Lloyd I. Byars dan Leslie w. Rue (2006, p222) Kinerja adalah tingkat
prestasi/pencapaian dari suatu tugas yang membuat pekerjaan seorang karyawan menjadi
lebih baik. Hal ini merefleksikan seberapa baik seorang karyawan memenuhi tuntutan
pekerjaannya.
3. Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006, p378) kinerja adalah apa yang
karyawan lakukan dan tidak lakukan karyawan.
-
26
Lloyd I. Byars dan Leslie w. Rue juga menambahkan bahwa,
usaha (effort) mengacu pada energi yang dihabiskan, sedangkan kinerja (performance) diukur
dengan hasil. Misal, seorang murid mungkin berusaha keras untuk mempersiapkan sebuah tes
dan tetap mendapatkan ranking yang rendah. Dalam kasus ini usaha yang dihasilkan sangat
tinggi, tetapi kinerjanya rendah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah segala sesuatu yang dilakukan karyawan
yang memberikan kontribusi bagi organisasi baik positif atau negatif, baik hal-hal yang dilakukan
ataupun tidak dilakukan, demi mencapai tujuan organisasi dan membuat pekerjaan seorang
karyawan menjadi lebih baik.
2.4.2 Determinan Kinerja
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006, p113-114) ada tiga faktor utama
yang mempengaruhi bagaimana seorang individu menunjukkan kinerjanya. Faktor-faktor tersebut
adalah:
1. Kemampuan individu untuk melakukan pekerjaannya.
2. Tingkat usaha
3. Dukungan organisasi
Relasi diantara ketiganya diakui secara umum dalam literatur manajemen adalah sebagai berikut.
Performance (P) = Ability (A) x Effort (E) x Support (S)
Kinerja individu ditingkatkan sampai pada level dimana ketiga komponen tersebut hadir
di dalam diri seorang karyawan. Akan tetapi, kinerja akan berkurang jika salah satu dari ketiga
faktor tersebut dikurangi atau tidak ada. Sebagai contoh, kita asumsikan bahwa beberapa
-
27
pekerja produksi memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan mereka dan bekerja keras,
tetapi organisasi menyediakan peralatan yang terbatas atau gaya manjemen dari atasan
menyebabkan reaksi negatif dari pekerjanya. Contoh lain dari seorang karyawan layanan
pelanggan di sebuah call center yang memiliki kemampuan dan pimpinan perusahaan memiliki
dukungan yang baik. Tetapi karyawan tersebut tidak suka akan keterikatan dengan kabel telepon
sepanjang hari dan seringkali tidak masuk karena tidak menyukai pekerjaannya sekalipun dibayar
dengan gaji tinggi. Dalam kedua kasus tersebut, kinerja individu biasanya menjadi sedikit
dibandingkan dengan situasi dimana ketiga komponen tersebut hadir.
Gambar 2.3 Bagan Determinan Kinerja
Sumber: Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006, p113-114)
Gambar 2.3 Bagan Determinan Kinerja
Effort
Motivation WorkEthic Attendance JobDesign
IndividualAbility
Talents Interests Personalityfactors
OrganizationalSupport
Traininganddevelopment Equipmentandtechnology
Performancestandards Managementandco
workers
IndividualPerformance
(includingquantityandquality)
-
28
2.4.3 Jenis Informasi Kinerja
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006, p379) manajer menerima tiga
jenis informasi berbeda mengenai bagaimana para karyawan melakukan pekerjaan mereka.
a. Informasi berdasar-sifat menidentifikasi sifat karakter subjektif dari karyawan seperti sikap,
inisiatif, atau kreativitas dan mungkin hanya mempunyai sedikit kaitan dengan pekerjaan
tertentu. Sifat-sifat cenderung mempunyai arti ambigu, dan perusahaan-perusahaan telah
menyatakan bahwa penilaian kinerja berdasarkan pada sifat-sifat seperti kemampuan
beradaptasi dan sikap umum adalah terlalu samar untuk digunakan dalam mengambil
keputusan SDM berbasis kinerja.
b. Informasi berdasar-perilaku berfokus pada perilaku tertentu yang mendukung keberhasilan
kerja. Bagi seorang tenaga penjualan, perilaku persuasi verbal dapat diamati dan
digunakan sebagai informasi pada kinerja. Meskipun lebih sulit untuk diidentifikasi, informasi
perilaku secara jelas menentukan perilaku yang diinginkan manajemen. Masalah potensial
timbul jika lebih dari satu perilaku dapat membawa keberhasilan kinerja dalam situasi
tertentu. Sebagai contoh, mengidentifikasi persuasi verbal yang berhasil untuk seseorang
tenaga penjualan akan sulit karena pendekatan yang digunakan oleh seorang tenaga
penjualan mungkin tidak berhasil jika digunakan oleh orang lain.
c. Informasi berdasar-hasil memperhitungkan pencapaian karyawan. Untuk pekerjaan-
pekerjaan di mana pengukuran mudah dilakukan dan jelas, pendekatan berdasar-hasil dapat
diterapkan. Bagaimapun, bahwa hal apa yang diukur, cenderung untuk ditekankan. Tetapi
penekanan ini mungkin menghilangkan bagian dari pekerjaan yang sama pentingnya tetapi
tidak terukur. Sebagai contoh, seorang staf penjualan mobil yang mendapat gaji hanya
dengan menjual mungkin tidak bersedia untuk melakukan pekerjaan tulis-menulis atau
pekerjaan lainnya yang tidak secara langsung berkaitan dengan penjualan mobil. Lebih jauh,
-
29
masalah etika atau bahkan masalah hukum dapat timbul ketika hanya hasil yang ditekankan
dan bukan bagaimana hasil tersebut dicapai.
2.4.4 Penilaian Kinerja Performance Appraisal
Menurut Lloyd I. Byars dan Leslie w. Rue (2006, p223-244) Penilaian kinerja adalah
proses evaluasi dan komunikasi terhadap seorang karyawan bagaimana performanya dalam
bekerja dan membuat perencanaan peningkatan. Ketika direncanakan dengan baik, penilaian
kinerja tidak hanya membiarkan karyawan mengetahui seberapa baik mereka menunjukkan
kinerjanya tetapi juga mempengaruhi tingkat usaha dan arah mereka di masa depan. Usaha
seharusnya ditingkatkan jika ingin memperkuat kinerja yang baik. Persepsi kerja seorang
karyawan seharusnya diperjelas dengan membuat perencanaan peningkatan.
Satu dari kebanyakan pengguna penilaian kinerja membuat keputusan administrasi yang
berhubungan dengan promosi, pemberhentian, pensiun, dan peningkatan gaji karena menikah.
Sebagai contoh, kinerja seorang karyawan seringkali menjadi pertimbangan yang paling
signifikan untuk menentukan apakah seseorang dapat dipromosikan atau tidak. Ketika kinerja
yang baik tercapai dalam suatu pekerjaan, tidak berarti seorang karyawan akan menjadi efektif
di tingkat pekerjaan yang lebih tinggi, penilaian kinerja menyediakan beberapa informasi
prediktif.
Informasi penilaian kinerja dapat juga menyediakan input yang dibutuhkan untuk
menentukan kebutuhan pelatihan dan pengembangan baik individual maupun organisasi. Sebagai
contoh, informasi ini dapat digunakan untuk membantu menentukan kebutuhan pelatihan dan
pengembangan organisasi secara umum. Untuk karyawan individual, sebuah penilaian kinerja
lengkap seharusnya mencakup perencanaan kebutuhan pelatihan dan pengembangan yang
spesifik.
Kegunaan penting lainnya dari penilaian kinerja adalah untuk memperkuat peningkatan
kinerja. Dalam hal ini, penilaian kinerja digunakan untuk mengkomunikasikan kepada karyawan
-
30
bagaimana mereka bekerja dan menyarankan kebutuhan terhadap perubahan di dalam perilaku,
sikap, skill, dan pengetahuan. Umpan baik seperti ini memperjelas ekspektasi kerja seorang
manager terhadap karyawan. Seringkali umpan balik ini harus diikuti dengan pengajaran dan
pelatihan dari manager untuk membimbing usaha dari seorang karyawan.
Hal yang harus diperhatikan dalam organisasi adalah seberapa sering harus membuat
penilaian kinerja. Sepertinya tidak ada konsensus yang nyata tentang seberapa sering penilaian
kinerja harus dilaksanakan. Tetapi secara umum, jawabannya adalah sesering dibutuhkannya
karyawan untuk mengetahui perkerjaan macam apa yang mereka lakukan dan, jika kinerjanya
tidak memuaskan, maka harus dilakukan peningkatan. Untuk banyak karyawan, hal ini tidak
dapat dicapai hanya dengan penilaian kinerja tahunan. Untuk itu, direkomendasikan kepada
kebanyakan karyawan, bahwa penilaian kinerja informal dilaksanakan dua atau tiga kali dalam
setahun sebagai tambahan dari penilaian kinerja formal tahunan.
2.5 Penelitian terdahulu
2.5.1 Journal The impact of locus of control on job stress, job performance and job
satisfaction in Taiwan
Penulis: Jui-Chen Chen dan Colin Silverthorne
Ket: Leadership & Organization
Development Journal
Vol. 29 No. 7, 2008
Penelitian ini membahas tentang hubungan antara locus of control dan perilaku yang
berhubungan terhadap job stress, satisfaction, dan performance para akuntan di Taiwan.
Dikatakan di dalam teorinya bahwa It has long been assumed that higher employee satisfaction
leads to an increase in employee performance and productivity (Lucas, 1999). Dan juga di
-
31
dalam kesimpulan dari jurnal tersebut mengatakan In addition, the mediating effects of locus of
control indicate that job satisfaction affects job performance and job stress.
Dari pernyataan yang ada di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja memang
mempengaruhi kinerja. Hanya saja dalam jurnal tersebut, peneliti mencoba menghubungkan
antara kepuasan kerja dengan kinerja dengan variabel perantara locus of control. Dan pada
penelitian kali ini penulis mencoba menghubungkan kepuasan kerja dengan kinerja dengan
variabel perantara sikap kerja.
Dan hasil yang diperoleh dari jurnal ini adalah Respondents who had an internal LOC
perceived lower levels of job stress, reported higher levels of job satisfaction and job
performance. Based on individual responses, the results indicate that high performance CPA firms
probably have more internal LOC individuals than low performance firms. The mediator function
tests also showed that LOC is a mediator, through which job stress influences job performance.
In addition, the mediating effects of LOC indicate that job satisfaction affects job performance
and job stress. In other words, for an external LOC individual, job stress would have a negative
effect on his or her performance while for an internal LOC individual job stress can enhance his
or her performance. Compared with external LOC individuals, an internal LOC individual was
more easily satisfied with his or her job, thus increasing job performance. Also an internal LOC
individual finds it easier to cope with job stress.
2.5.2 Journal Dimensions of Quality in Higher Education: How Academic Performance
Affects University Students' Teacher Evaluations
Penulis: Sameer T Mustafa, Dalen Chiang.
Ket: Journal of American Academy of Business, Cambridge. Hollywood: Mar 2006.
Vol. 8, Edisi 1; pg. 294, 10 pgs
-
32
Penelitian ini dilakukan terhadap 485 mahasiswa kelas akuntasi dari AACSB accredited
accounting program. Dimana variabel-variabelnya adalah sebagai berikut: teacher abilities (Xl),
teacher attitudes (X2), course load (X3), and course materials (X4) sebagai independent
variables. Teacher performance (Yl) and course content (Y2) sebagai intervening variables, and
quality of education (Y3, amount of knowledge) sebagai the dependent variable.
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Jurnal 2
Dan dari penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hasil yang relevan dengan penelitian
ini adalah sebagai berikut. Ada relasi positif signifikan antara teacher performance dan course
content terhadap quality of education. Dengan kata lain peningkatan positif pada teaching
performance atau course content akan berpengaruh positif pada quality of education. Selain itu
ada relasi positif yang signifikan teacher performance dan course content. Teacher performance
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: teacher abilities, teacher attitudes, dan course materials.
Teacher abilities dan attitudes memiliki pengaruh positif terhadap teacher performance, ketika
course materials menunjukkan pengaruh negatif. Yang cukup menarik adalah ketika the course
load tidak berpengaruh terhadap teacher performance, ia malah berpengaruh positif pada course
-
33
content. Untuk itu, meningkatkan course load akan meningkatkan course content secara
langsung dan secara tidak langsung meningkatkan the quality of education tanpa mempengaruhi
evaluasi dari teacher performance.
2.6 Kerangka Pemikiran
Sumber: penulis
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran
Motivasikerja(X1)
Self-actualization Esteem needs Belongingness needs Safety needs Physiological needs
KepuasanKerja(X2)
Personality Values Work Situation Social Influence
Sikapkerja(X3)
affective component cognitive component behavioral component
Kinerja(Y)
Effort IndividualAbility Organizational
Support