2.1 kajian teori 2.1.1 think pair share -...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Dalam bagian kajian teori ini berisi tentang pustaka untuk materi Think Pair
Share, pembelajaran konvensional, minat belajar, dan prestasi belajar.
2.1.1 Think Pair Share
a. Hakekat Think Pair Share
Think Pair Share adalah salah satu bagian dari Cooperative Learning. Oleh
karena itu, sebelum membahas tentang Think Pair Share, terlebih dahulu akan
dijabarkan sekilas mengenai Cooperative Learning.
Pengajaran cooperative learning didefinisikan sebagai sistem kerja atau
belajar kelompok yang terstruktur (Lie, 2002). Yang termasuk dalam struktur
yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal,
keahlian bekerjasama, dan proses kelompok. Cooperatif learning atau belajar
kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan
berprestasi siswa.
Isjoni (2009) menjabarkan bahwa kooperatif berarti bekerja bersama dalam
mencapai tujuan. Dalam kegiatan kooperatif, aktifitas individu adalah mencari
hasil yang menguntungkan untuk semua anggota kelompok yang lain.
Pembelajaran kooperatif adalah metode yang digunakan oleh kelompok kecil yang
terdiri dari siswa untuk bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka
sendiri dan teman – teman dalam kelompok. Dia juga menyampaikan bahwa
pembelajaran kooperatif mengandung arti bekerjasama dalam mencapai tujuan
bersama. Dalam kegiatan kooperatif, siswa mencari hasil yang menguntungkan
bagi seluruh anggota kelompok. Pembelajaran kooperatif adalah pemanfaatan
kelompok kecil untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya
dalam kelompok.
Menurut Lie (2002) pada dasarnya manusia senang berkumpul dengan yang
sepadan dan membuat jarak dengan yang berbeda. Namun, pengelompokkan
dengan orang sepadan dan serupa bisa menghilangkan kesempatan anggota
8
kelompok untuk memperluas wawasan dan untuk memperkaya diri, karena dalam
kelompok homogen tidak terdapat banyak perbedaan yang bisa mengasah proses
berpikir, bernegosiasi, berargumentasi, dan berkembang.
Pada pembelajaran cooperatif learning siswa dikelompokkan berdasarkan
heterogenitas (kemacamragaman). Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan
memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang sosial ekonomi dan etnik,
serta kemampuan akademis. Kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk
saling mengajar dan saling mendukung, meningkatkan relasi dan interaksi dengan
orang lain, serta memudahkan pengelolaan kelas. Adapun jumlah anggota setiap
kelompok bervariasi mulai dari 2 sampai 5 orang. Anggota yang memiliki sedikit
personil dapat lebih meningkatkan partisipasi tiap anggota tetapi sedikit pula ide
yang muncul dan kesulitan memonitor. Untuk anggota yang memiliki 4 atau 5
personil dapat memperbanyak tugas yang dilakukan tetapi memakan banyak
waktu.
Suparno (2007) Cooperative Learning adalah pembelajaran dimana siswa
dibiarkan belajar dalam kelompok, saling menguatkan, mendalami, dan
bekerjasama untuk semakin menguasai bahan.
Beberapa karakteristik cooperative learning menurut Hilda K. dan
Margaretha S. Y. (2002) antara lain: (a) Individual accountability, yaitu setiap
individu dalam kelompok mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi kelompok. (b) Social skills, meliputi seluruh hidup
sosial, kepekaan sosial dan mendidik siswa untuk menumbuhkan pengarahan diri
demi kepentingan kelompok. (c) Positive interdependence, adalah sifat yang
menunjukkan saling ketergantungan satu terhadap yang lain dalam kelompok
secara positif. (d) Group processing, proses perolehan jawaban permasalahan
dikerjakan oleh kelompok secara bersama-sama.
Fatma (2008) mengemukakan langkah-langkah cooperative learning adalah
sebagai berikut: (a) Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin
dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. (b) Guru
menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan
bacaan. (c) Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk
9
kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara
efisien. (d) Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka
mengerjakan tugas mereka. (e) Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi
yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya. (f) Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil
belajar individu dan kelompok.
Yanti (2010) menyatakan bahwa salah satu pendekatan struktur dalam
pembelajaran kooperatif yang dikembangkan untuk meningkatkan penguasaan
akademis siswa terhadap materi yang diajarkan adalah pendekatan struktural
“Think-Pair-Share”. Metode tersebut dikembangkan oleh Frank Lyman dan rekan
- rekannya dari Universitas Maryland. Pendekatan struktural “Think-Pair-Share”
memberikan siswa waktu untuk berfikir dan merespon serta saling membantu satu
sama lain, dan merupakan salah satu cara yang efektif untuk membuat variasi
suasana pola diskusi kelas.
Dalam model struktural metode Think Pair Share, pertama siswa berpikir
dan mencatat secara individu. Kemudian mereka bekerja berdua-dua untuk
menciptakan beberapa pertimbangan untuk mendukung kedua pemikiran mereka
atas suatu masalah. Selanjutnya, dua pasangan bekerjasama untuk mendapatkan
suatu kesepakatan yang mendukung dan memurnikan beberapa pertimbangan mer
eka atas permasalahan tersebut. Akhirnya, masing-masing kelompok berbagi
kesimpulan dan argumentasi pendukungnya dengan keseluruhan kelas. (Kennedy,
2007)
Think Pair Share memiliki prosedur secara eksplisit dapat memberi siswa
waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, saling membantu satu sama lain
Estiti (2007). Melalui cara ini diharapkan siswa mampu bekerja sama, saling
membutuhkan dan saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara
kooperatif.
Trianto (2009) menjabarkan bahwa Think Pair Share merupakan suatu cara
yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi
bahwa semua diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas
secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam TPS dapat memberi
10
siswa banyak waktu berpikir, untuk merespon dan saling membantu. TPS ini
memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang
lain.
Suprijono (2009) menyatakan bahwa model pembelajaran Think Pair Share
merupakan model pembelajaran yang dapat digunakan secara efektif untuk
mengarahkan peserta didik dalam mempelajari sebuah materi pelajaran, model
pembelajaran Think Pair Share dilaksanakan melalui tiga tahap yaitu thinking
(berpikir secara individu), pairing (berdiskusi dengan pasangan), dan sharing
(berbagi dengan teman).
Gunarti (2011) mengemukakan pendapatnya mengenai mengapa guru
memilih menggunakan Think Pair Share adalah karena biasanya anak usia SD
jika ditunjuk oleh guru untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan soal yang
sulit di depan kelas akan measa malu atau takut. Jadi, untuk membangkitkan
keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar diterapkan model pembelajaran
Think Pair Share. Model ini secara tidak langsung mendidik siswa berlatih
berbicara di depan umum yaitu dengan jalan siswa mengutarakan ide atau
pendapat dengan pasangannya.
Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran Think Pair Share merupakan tipe sederhana yang memiliki
keuntungan dapat mengoptimalkan partisipasi siswa dalam mengeluarkan
pendapat, dan meningkatkan pengetahuan. Siswa meningkatkan daya pikir mereka
terlebih dahulu (thinking), kemudian mereka masuk dalam kelompok kecil atau
dalam hal ini mereka mencari satu orang teman untuk bekerja berpasangan
(pairing), dan berbagi dengan teman yang lain (sharing). Setiap siswa berbagi
pendapat, pemikiran, atau informasi yang sudah diketahui tentang masalah yang
diberikan oleh guru, kemudian bersama – sama mencari solusi.
Dalam suatu model pembelajaran tentu saja memiliki kelebihan dan
kekurangan. Begitu pula dengan model pembelajaran think pair share yang juga
memiliki kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaannya.
Lie (2008) menyatakan kelebihan dan kekurangan kelompok berpasangan.
Kelebihan Think Pair Share antara lain: (1) Meningkatkan partisipasi siswa dalam
11
pembelajaran. (2) Cocok digunakan untuk tugas yang sederhana. (3) Memberikan
lebih banyak kesempatan untuk kontribusi masing-masing anggota kelompok. (4)
Interaksi antar pasangan lebih mudah. (5) Lebih mudah dan cepat dalam
membentuk kelompoknya.
Sedangkan kekurangan Think Pair Share yang disampaikan oleh Lie adalah
lebih banyak kelompok yang akan melapor dan perlu dimonitor, lebih sedikit ide
yang muncul, jika ada masalah tidak ada penengah.
b. Langkah – Langkah Pembelajaran Think Pair Share
Nurhadi (2003) menggunakan langkah – langkah thinking (berpikir),
pairing(berpasangan), sharing (berbagi) dalam menerapkan pendekatan struktural
Think Pair Share. Guru memberikan pertanyaan yang berhubungan dengan
pelajaran, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan tersebut secara
mandiri untuk beberapa saat. Kemudian guru meminta siswa untuk berpasangan
dengan siswa yang lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada
langkah pertama. Interaksi pada tahap ini diharapkan dapat berbagi jawaban jika
telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagai ide jika suatu persoalan khusus
telah diidentifikasi. Biasanya guru memberi waktu 4-5 menit untuk berpasangan.
Setelah itu, guru meminta pasangan-pasangan siswa tersebut untuk berbagi atau
bekerjasama dengan kelas secara keseluruhan mengenai apa yang telah mereka
diskusikan dengan cara bergantian pasangan demi pasangan dan dilanjutkan
sampai beberapa siswa telah mendapat kesempatan untuk melaporkan, paling
tidak sekitar seperempat pasangan, tetapi sesuaikan dengan waktu yang tersedia.
Pada langkah ini akan efektif apabila guru berkeliling kelas dari pasangan yang
satu ke pasangan yang lain.
Pendapat yang hampir serupa disampaikan oleh Lie (2008). Empat langkah
dalam Think Pair Share (TPS) yang diungkapkan Lie yaitu: (1) Guru membagi
siswa dalam kelompok berempat dan memberikan tugas kepada semua kelompok.
(2) Setiap siswa memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri. (3) Siswa
berpasangan dengan salah satu rekan dalam kelompok dan berdiskusi dengan
pasangannya. (4) Kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok berempat.
Siswa mempunyai kesempatan untuk membagikan hasil kerjanya kepada
12
kelompok berempat.
Dalam sebuah jurnal internasional Center for Learning and Teaching
Excellence, Susan Ledlow dalam artikelnya yang berjudul “Using Think-Pair-
Share in the College Classroom”, terdapat kalimat dalam bahasa Inggris yang di
dalamnya menyatakan bahwa Think-Pair-Share adalah sebuah strategi dengan
resiko yang kecil untuk membuat siswa menjadi aktif di dalam berbagai kelas.
Langkah-langkahnya sederhana: setelah menanyakan sebuah pertanyaan, mintalah
siswa untuk berpikir tetang jawaban mereka. Sebagai variasi, guru mungkin bisa
meminta siswa menuliskan jawaban individu mereka. ( Dalam penelitiannya
berdasarkan tingkat kesulitan soal dan berapa waktu yang guru pikir cukup untuk
aktivitas tersebut. Susan memberikan 10 detik hingga 5 menit pada siswa untuk
bekerja secara individu). Kemudian minta mereka untuk berpasangan untuk
membandingkan atau mendiskusikan jawaban atau respon mereka. Akhirnya,
panggil secara acak beberapa siswa untuk merangkum hasil diskusi dan
memberikan jawaban. Pemanggilan secara acak sangat penting untuk memastikan
bahwa setiap individu sudah berpartisipasi.
Gunarti (2011) dalam penelitiannya mengungkapkan mengenai langkah –
langkah model pembelajaran Think Pair Share. Model ini diawali oleh guru yang
menyampaikan inti materi pelajaran, kemudian siswa dimina untuk berpikir
tentang materi permasalahan yang disampaikan guru. Siswa diminta berpasangan
dengan teman sebelahnya (atau yang jaraknya terdekat (satu kelompok 2 orang)
dan mengutarakan hasil pemikiran masing – masing. Guru memimpin diskusi di
dalam kelas, kemudian setiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya. Dari
kegiatan tersebut guru menambah pembicaraan pada pokok permasalahan dan
menambah materi yang belum diungkapkan para siswa, dan hingga akhirnya guru
menyimpulkan materi pelajaran.
Dari beberapa langkah – langkah Think Pair Share yang telah dikemukakan
para ahli di atas, langkah – langkah pembelajaran TPS yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) siswa mendengarkan dengan seksama
tujuan pembelajaran yang akan dicapai yang disampaikan oleh guru. (2) guru
menyampaikan pentingnya belajar matematika. (3) siswa diarahkan untuk
13
mempersiapkan handout dan buku paket serta sumber lainnya. (4) siswa mendapat
soal untuk dikerjakan secara individual pada tahap Think. (5) siswa mengerjakan
soal secara berpasangan (Pair) dan menuliskan jawaban tahap pair pada format
LKS Pair. (6) guru meminta beberapa kelompok secara acak mempresentasikan
hasil diskusi di depan kelas dan ditanggapi oleh teman satu kelas yang lainnya. (7)
guru dan siswa melakukan diskusi untuk penarikan kesimpulan. (8) pasangan
siswa yang aktif mendapat hadiah. (9) semua hasil diskusi dicatat oleh siswa.
Pengembangan tahap – tahap Think Pair Share dapat dimodifikasi sesuai
dengan kreatifitas guru yang akan menggunakan metode ini. Dapat juga
menggunakan variasi media pembelajaran untuk memudahkan siswa dalam
menangkap materi.
2.1.2 Pembelajaran Konvensional
a. Pengertian dan Karakteristik Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan suatu pembelajaran yang sering
digunakan oleh para guru dan pembelajaran ini memiliki kekhasan tertentu,
misalnya lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan pada
ketrampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses dan pembelajaran
berpusat pada guru. Paradigma yang menjadi acuan dari pembelajaran
konvensional ini adalah paradigma mengajar.
Dalam pembelajaran menggunakan metode konvensional, kegiatan belajar
mengajar didominasi oleh guru. Evi M.N. (2007) menyatakan bahwa
“pembelajaran konvensional cenderung meminimalkan keterlibatan siswa
sehingga guru nampak lebih aktif dan suasana belajar di kelas menjadi sangat
monoton dan kurang menarik”. Guru memegang peranan penting dalam kegiatan
pembelajaran, bahkan dapat dikatakan guru sebagai subjek yang memegang peran
utama dalam menentukan sisi dan urutan langkah dalam menyampaikan materi
pelajaran kepada siswa. Dalam kegiatan belajar – mengajar seperti ini,
keterlibatan siswa seringkali diabaikan. Hal ini menyebabkan keaktifan siswa
dalam mengikuti pelajaran sangat berkurang, siswa kurang inisiatif, kurang
memiliki minat untuk mengetahui sesuatu hal dengan lebih mendalam, siswa
mejadi bergantung pada guru.
14
b. Pembelajaran Konvensional pada Matematika
Guru matematika seringkali mengajar matematika dengan menggunakan
pembelajaran konvensional karena pembelajaran ini dianggap oleh guru sangat
efektif dan efisien untuk menyelesaikan kurikulum. Guru biasanya menjelaskan
materi, memberikan contoh soal dan cara penyelesaiannya, dan memberikan
tugas/latihan soal. Pengajaran matematika dengan pendekatan pembelajaran
konvensional lebih menekankan pada hasil dibandingkan dengan proses. Selain
itu, da vlam usaha menyelesaikan materi di kurikulum, guru lebih cenderung pada
pemberian hafalan, drill, dan ceramah serta cara yang digunakan oleh guru
mayoritas adalah pengerjaan soal-soal yang terdapat dalam LKS. Dalam
pembelajaran matematika ini, aktivitas siswa tidak tampak dan yang menonjol
adalah aktivitas guru yang mendominasi pembelajaran. Matematika yang
merupakan human activity belum diperhatikan dalam pendekatan pembelajaran
ini.
Dalam pengajaran matematika, pembelajaran konvensional yang digunakan
guru sering disebut pula metode ekspositori. Hal ini sesuai dengan pendapat
Purwoto (2003) yang mengatakan bahwa cara mengajar matematika yang pada
umumnya digunakan para guru matematika adalah lebih tepat dikatakan sebagai
menggunakan metode ekspositori. Penggunaan metode ekspositori diawali dengan
guru menerangkan materi kemudian memberi contoh soal dan jawabannya serta
diakhiri dengan pengejarjaan latihan soal oleh para siswa.
Purwoto (2003) mengatakan bahwa kelebihan dan kekurangan metode
konvensional adalah sebagai berikut:
a. Kelebihan metode konvensional antara lain: (1) Dapat menampung kelas besar,
tiap murid mendapat kesempatan yang sama untuk mendengarkan dan
karenanya biaya yang diperlukan menjadi relative lebih murah. (2) Bahan
pengajaran atau keterangan dapat diberikan secara lebih urut oleh guru.
Konsep-konsep yang disajikan secara hirarki akan memberikan fasilitas belajar
pada siswa. (3) Guru dapat memberikan tekanan terhadap hal-hal yang penting,
sehingga waktu dan energi dapat digunakan sebaik mungkin. (4) Isi silabus
dapat diselesaikan dengan lebih mudah, karena guru tidak harus menyesuaikan
15
dengan kecepatan belajar siswa. (5) Kekurangan atau tidak adanya buku
pelajaran dan alat bantu pelajaran tidak menghambat dilaksanakannya
pelajaran dengan metode ini.
b. Adapun Kelemahan metode konvensional antara lain: (1) Pelajaran berjalan
membosankan siswa dan siswa menjadi pasif, karena tidak berkesempatan
untuk menemukan sendiri konsep yang diajarkan. Siswa hanya aktif membuat
catatan. (2) Kepadatan konsep-konsep yang diberikan dapat berakibat siswa
tidak mampu menguasai bahan yang diajarkan. (3) Pengetahuan yang diperoleh
melalui metode ini lebih cepat terlupakan. (4) Ceramah menyebabkan belajar
siswa menjadi “belajar menghafal” (rote learning) yang tidak mengakibatkan
timbulnya pengertian.
Meskipun metode konvensional berpusat pada guru dan kurang
memperhatikan kreatifitas dan keaktifan siswa, namun pada kenyataannya ada
banyak kelebihan yang dimiliki metode ini. Sehingga metode konvensional dapat
sesekali digunakan dalam kegiatan belajar sehari – hari.
2.1.3 Minat Belajar Matematika
a. Hakekat Minat
Ada banyak penelitian mengenai minat yang dilakukan oleh berbagai ahli
psikologi. Apa yang dikemukakan tampaknya mmberikan pengertian yang
berbeda – beda mengenai minat. Namun demikian, secara umum banyak yang
mengaitkan minat dengan motivasi.
Menurut pengertian yang paling mendasar, minat berarti sibuk, tertarik, atau
terlibat sepenuhnya dengan suatu kegiatan karena menyadari pentingnya kegiatan
itu. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri
sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut
semakin besar minat.
Minat sebagai salah satu faktor internal psikologis yang mempengaruhi
kualitas pencapaian prestasi belajar, minat tidak muncul dengan sendirinya, akan
tetapi banyak faktor yang menyebabkan minat dalam diri siswa itu timbul
terhadap beberapa mata pelajaran yang diajarkan oleh guru bidang studi. Beberapa
faktor yang mempengaruhi minat antara lain adalah motivasi, belajar, bahan
16
pelajaran, guru, keluarga, dan pengaruh teman sebaya atau teman sepergaulan.
Faktor lainnya yaitu bahan pelajaran. Bahan pelajaran yang menarik minat
siswa, akan sering dipelajari oleh siswa yang bersangkutan. Dan sebaliknya bahan
pelajaran yang tidak menarik minat siswa tentu akan dikesampingkan oleh siswa
sebagaimana dikemukakan oleh Slameto (2003) bahwa minat mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang
dipelajari tidak sesuai dengan minat, maka siswa tidak akan belajar dengan sebaik
– baiknya karena tidak ada daya tarik baginya.
Guru juga aspek penting dalam merangsang minat belajar siswa. Guru yang
baik, pandai, ramah, dan disiplin serta disenangi banyak murid sangat besar
pengaruhnya dalam membangkitkan minat siswa.
Pihak lain yang juga berpengaruh adalah orangtua dan teman sebaya.
Orangtua adalah orang yang terdekat dalam keluarga, oleh karenanya keluarga
sangat besar pengaruhnya dalam menentukan minat dalam diri siswa terhadap
mata pelajaran. Di sisi lain, melalui pergaulan, seorang siswa dapat terpengaruh
arah minatnya. Siswa yang bergaul dengan teman – teman yang memiliki minat
akan cenderung terbawa memiliki minat sebesar teman – temannya yang lain juga.
Minat adalah suatu pemusatan perhatian yang tidak sengaja yang terlahir
dengan penuh kemauan dan yang tergantung dari bakat dan lingkungan. Dalam
pembelajaran diperlukan suatu pemusat perhaitan agar apa yang dipelajari dapat
dipahami sehingga siswa dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat
dilakukan (Burhanuddin&Suejoto, 2006)
Berdasarkan berbagai definisi yang diuraikan oleh para ahli tentang minat
tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa minat merupakan rasa
ketertarikan, rasa lebih suka, tanpa adanya tekanan, suruhan, dan adanya
kecenderungan serta kegairahan seseorang terhadap suatu kegiatan.
b. Belajar dan Faktor–Faktor yang Mempengaruhinya
Pengertian belajar sudah banyak disampaikan oleh para ahli psikologi
termasuk ahli psikologi pendidikan. Menurut pengertian secara psikologis, belajar
adalah proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi
dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Slameto, 2003).
17
Hal ini mengindikasikan bahwa apapun pengalaman yang terjadi dalam kehidupan
manusia merupakan suatu pembelajaran.
Pengertian belajar menurut Zanikhan (2008), adalah proses yang dengan
sengaja menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari perubahan yang
ditimbulkan sebelumnya. Belajar merupakan perubahan yang diperlihatkan dalam
tingkah laku, yang keadaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam
situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang sempurna itu. Hal ini searah
dengan pendapat yang dikemukakan Fauzi (2004) yang menyatakan bahwa belajar
merupakan suatu proses dimana suatu tingkah laku ditimbulkan atau diperbaiki
melalui serentetan aksi atas situasi (atau rangsangan) yang terjadi. Menurut
Sardiman (2008), belajar merupakan usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan
yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya.
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar itu
menimbulkan suatu perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan perubahan itu
dilakukan lewat kegiatan, atau usaha yang disengaja.
c. Minat Belajar Matematika
Djaali (2006) dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pendidikan
mengatakan bahwa didalam proses belajar banyak faktor yang mempengaruhinya,
antara lain motivasi, sikap, minat, kebiasaan belajar, dan konsep diri. Minat dapat
diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai
suatu hal daripada hal yang lainnya.
Hakikat minat belajar adalah suatu kecenderungan atau kegairahan yang
tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu yang ingin dicapai (Syah, 2006)
Peran guru dalam membangkitkan minat belajar adalah dengan pemilihan
bahan pengajaran yang berarti pada siswa, menciptakan kegiatan belajar yang
dapat memberikan dorongan untuk menemukan, menerjemahkan apa yang
diajarkan. Suatu bahan pengajaran disajikan sesuai dengan tingkat kemampuan
berpikir anak dan disampaikan dalam bentuk yang banyak melibatkan aktivitas
anak dalam proses belajar. System ntuk membangkitakan minat belajar yang
sekarang sedang dikembangkan adalah meritocracy yang merupakan system
pengajaran yang menekankan pada kompetensi atau adanya persaingan. Dalam
18
system pengajaran ini, siswa mempunyai kesempatan maju terus sesuai dengan
prestasi belajar yang telah dicapainya.
Dalam system meritocracy, siswa yang pandai dapat berkembang pesat,
jauh meninggalkan teman-temanya. Sebaliknya anak yang kurang pandai akan
ketinggalan. Sistem pengajaran ini dapat menimbulkan minat bagi anak yang
pandai, sebaliknya dapat mematahkan semangat bagi anak yang kurang pandai.
Adanya kebaikan dan kelemahan system meritocracy ini dapat dikontrol dengan
adanya perencanaan pengajaran yang matang dan menyenangkan yang disiapkan
oleh guru. Minat belajar siswa juga merupakan salah satu factor keberhasilan
pencapaian kompetensi belajar tertentu (Djamarah, 2008).
Minat belajar adalah suatu penerimaan akan suatu hubungan antara diri
sendiri dengan sesuatu di luar diri. Seseorang memiliki minat terhadap subjek
tertentu cenderung untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap subjek
tertentu (Djamarah, 2008)
Menurut Slameto (2003) siswa yang berminat dalam belajar mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut: (1) Mempunyai kecenderungan yang tetap untuk untuk
memperhatikan dan mengenang sesuatu yang dipelajari secara terus menerus.(2)
Ada rasa suka dan senang pada sesuatu yang diminati.(3) Memperoleh suatu
kebanggaan dan kepuasan pada sesuatu yang diminati. Ada rasa keterikatan pada
sesuatu aktivitas-aktivitas yang diminati.(4) Lebih menyukai suatu hal yang
menjadi minatnya daripada yang lainnya. (5) Dimanifestasikan melalui partisipasi
pada aktivitas dan kegiatan.
Dari beberapa pendapat ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa minat
merupakan kecenderungan hati untuk terlibat pada suatu objek. Siswa yang
memiliki minat belajar matematika berarti mempunyai usaha dan kemauan untuk
mempelajari matematika. Sehingga dapat dirumuskan beberapa indikator yang
dapat digunakan untuk mengetahui tingkat minat siswa terhadap pelajaran
matematika adalah sebagai berikut: (1) sikap siswa terhadap pelajaran
matematika. (2) kebiasaan belajar siswa. (3) usaha siswa untuk meningkatkan
hasil belajar matematika siswa. (4) kesadaran siswa akan manfaat dan kegunaan
matematika dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupannya di masa yang
19
akan datang. (5) kecenderungan siswa untuk selalu siap pada kegiatan
pembelajaran matematika. (6) tanggung jawab siswa terhadap tugas – tugas pada
mata pelajaran matematika.
Minat berpengaruh terhadap bagaimana sikap dan tanggung jawab
seseorang terhadap sesuatu hal. Jika seorang siswa memiliki minat yang tinggi
terhadap satu mata pelajaran tertentu, siswa akan memiliki tanggung jawab yang
lebih untuk mencapai prestasi yang maksimal pada pelajaran tersebut.
2.1.4 Hasil Belajar Matematika
a. Hakekat Hasil Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) hasil belajar adalah
penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata
pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh
guru.
Menurut Sudjana (2005) dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan
pendidikan baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan
klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar
membaginya menjadi 3 ranah yaitu, ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat tendah dan keempat
aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi (Sudjana, 2005). Enam aspek
itu yaitu: (1) pengetahuan, mencakup ingatan akan hal – hal yang pernah
dipelajari dan disimpan dalam ingatan berupa fakta, kaidah, dan prinsip serta
metode yang diketahui; (2) pemahaman, mencakup kemmapuan untuk menangkap
makna dan arti dari bahan yang dipelajari; (3) penerapan atau aplikasi, mencakup
kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau metode bekerja pada suatu
kasus atau problem yang konkret dan baru; (4) analisis, mencakup kemamuan
untuk menerima suatu kesatuan ke dalam bagian – bagian sehingga struktur
keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik; (5) sintesis,
mencakup kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan pola baru, bagian –
bagian dihubungkan satu sama lain sehingga tercipta suatu bentuk baru; (6)
evaluasi, mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai
20
sesuatu atau beberapa hal bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu yang
berdasarkan suatu kriteria tertentu.
Sementara itu, Sudjana (2005) mengungkapkan hal – hal yang berkenaan
dalam ranah afektif ada 2 (dua) hal yang perlu dinilai, yaitu kompetensi afektif
dan sikap serta minat siswa terhadap mata pelajaran dan proses pembelajaran. Ada
5 tingkatan dalam ranah afektif ini, yaitu: (1) penerimaan, yakni semacam
kepekaan dalam menerima rangsangan dari luar yang datang kepada siswa dalam
bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain – lain; (2) respon atau jawaban, yakni
reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar, (3)
penilaian, berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus;
(4) organisasi, yakni pengembangan dari nilai kedalam suatu sistem organisasi,
termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas yang
dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.
Sedangkan yang ketiga adalah ranah psikomotorik yang tampak dalam bentuk
keterampilan dan kemampuan bertindak individu.
Abdurrahman (2003) mengatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan
yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Dalam kegiatan belajar yang
terprogram dan terkontrol yang disebut kegiatan pembelajaran atau kegiatan
instruktusional, tujuan belajar telah ditetapkan lebih dahulu oleh guru. Anak yang
berhasil belajar adalah anak yang berhasil mencapai tujuan – tujuan pembelajaran
atau tujuan – tujuan instruktusional.
Hasil belajar menurut Anni (2004) merupakan perubahan perilaku yang
diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Pendapat lain
mengatakan hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki siswa setelah
mengalami pengalaman belajar (Sudjana, 2009).
Abidin (2012) mengungkapkan hasil belajar sebagai hasil yang dicapai oleh
siswa yang telah mengikuti proses belajar mengajar. Hasil pada dasarnya
merupakan sesuatu yang diperoleh dari suatu aktivitas, sedangkan belajar
merupakan suatu proses yang mengakibatkan perubahan pada individu, yakni
perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun
aspek sikapnya. Hasil belajar merupakan istilah yang digunakan untuk
21
menunjukkan tingkat keberhasilan yang dicapai siswa dalam bidang studi tertentu
setelah mengikuti proses belajar mengajar.
Sudjana (2009) juga menjabarkan hasil belajar dapat dibagi menjadi 3
macam, yakni keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, sikap dan
cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah
ditetapkan dalam kurikulum. Di sisi lain terdapat lima kategori hasil belajar, yakni
informasi verbal, ketrampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, dan ketrampilan
motoris. Dalam sistem pendidikan nasonal rumusan tujuan pendidikan, baik
tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil
belajar dari Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah yaitu
ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan
keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah
psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan
bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotorik, yakni gerakan reflex, ketrampilan
gerakan dasar, kemampuan perceptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan
ketrampilan kompleks, serta gerakan ekspresif dan interpretatif.
Rifa’i (2003) mendefinisikan hasil belajar sebagai suatu hasil yang
diharapkan dari pembelajaran yang telah ditetapkan dalam rumusan perilaku
tertentu sebagai akibat dari proses belajarnya.
Sebenarnya hasil belajar merupakan realisasi pemekaran dari kecakapan
atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan hasil belajar dari seseorang
dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan
pengetahuan, keterampilan berpikir, maupun keterampilan motorik
(Sukmadinata,2003)
Menurut Susanto (2006) belajar merupakan proses di mana otak atau pikiran
mengadakan reaksi terhadap kondisi luar dan reaksi itu dapat dimodifikasi dengan
22
pengalaman-pengalaman yang dialami sebelumnya. Belajar dapat berlangsung
secara efektif apabila hasil belajar yang dicapai mendekati atau sama dengan
tujuan belajar yang diharapkan.
Bagi seorang guru, menilai belajar siswa sebenarnya juga menilai hasil
usahanya sendiri. Menilai hasil belajar siswa berfungsi untuk dapat membantu
guru dalam menilai kesiapan anak pada suatu mata pelajaran, mengetahui status
anak dalam kelas, membantu guru dalam usaha memperbaiki metode belajar
mengajar.
Beberapa definisi hasil belajar yang dikutip dalam sebuah blog milik
Munawar (2010) menjabarkan pengertian hasil belajar menurut para ahli yaitu
hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa
dan dari sisi guru. Dari siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan
mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat
perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis – jenis ranah kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat
terselesaikannya bahan pelajaran. Di sisi lain hasil belajar adalah bila seseorang
telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya
dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil makna dari hasil belajar
bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui
kegiatan belajar baik berupa pengetahuan, sikap maupun keterampilan yang
intinya adalah sebuah perubahan. Siswa dikatakan mempunyai hasil belajar
matematika tinggi jika dapat mengerjakan soal dan mendapat hasil yang baik,
menguasai kompetensi – kompetensi yang ada, mampu menyelesaikan tugas atau
masalah dalam belajar dengan baik, haus akan ilmu pengetahuan, menyukai dan
sering mengikuti berbagai perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan,
mampu secara tepat menarik suatu generalisasi, cepat dalam menerima, mengolah,
memahami dan menguasai pembelajaran, cepat mengerjakan tugas dengan hasil
baik, cepat dan tepat dalam bertindak. Jadi yang dimaksud dengan hasil belajar
matematika dalam penelitian ini adalah skor berupa angka yang diperoleh siswa
setelah menyelesaikan proses pembelajaran matematika yang diukur melalui tes.
23
b. Hasil Belajar Matematika
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang penting baik dari segi
teoritis maupun aplikatif di dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat beberapa
hakekat atau pengertian dari matematika. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2005) disebutkan bahwa matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan,
hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam
penyelesaian masalah mengenai bilangan.
Purwoto (2003) mengemukakan bahwa matematika adalah pengetahuan
tentang pola keteraturan pengetahuan tentang struktur yang terorganisasi mulai
dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan ke unsur-unsur yang didefinisikan ke
aksioma dan postulat dan akhirnya ke dalil.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah
cabang ilmu pengetahuan eksak tentang bilangan, kalkulasi, penalaran, logik,
fakta-fakta kuantitatif, masalah ruang dan bentuk, aturan-aturan yang ketat, dan
pola keteraturan serta tentang struktur yang terorganisir.
Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung,
mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan
dalam kehidupan sehari – hari melalui materi geometri, aljabar, dan trigonometri.
Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan
gagasan dengan bahasa melalui model matematika yang berupa kalimat dan
persamaan matematika, diagram, grafik atau tabel. (Depdiknas 2004)
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hasil belajar
matematika adalah suatu proses perubahan kemampuan yang berupa pengetahuan,
ketrampilan, dan pengalaman baru yang diperoleh melalui proses interaktif dalam
proses pembelajaran matematika antara peserta didik dengan lingkungannya dan
dapat diukur melalui tes serta hasilnya dihitung dengan menggunakan analisis
statistik.
Jadi yang dimaksud dengan hasil belajar matematika dalam penelitian ini
adalah skor berupa angka yang diperoleh siswa setelah menyelesaikan proses
pembelajaran matematika yang diukur melalui tes serta hasilnya dihitung dengan
menggunakan analisis statistik.
24
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar dari siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa hal. Menurut
Purwanto (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi atau hasil belajar
matematika dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: (1) Faktor intern, yaitu faktor
yang ada pada diri organisme itu sendiri. Faktor dari dalam ini antara lain adalah
perhatian, kesehatan, intelegensi, minat, motivasi, aktivitas belajar dan cara
belajar. (2) Faktor ekstern, yang termasuk ke dalam faktor ekstern antara lain
faktor keluarga keadaan awal, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang
digunakan dalam pembelajaran, kurikulum, dan lingkungan sekolah. Dalam
penelitian ini, akan dilihat dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu
metode pembelajaran (cara guru mengajar) dan minat belajar siswa.
d. Jenis-jenis Penilaian Hasil Belajar Matematika
Dalam penilaian hasil belajar siswa dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu
penilaian tes dan penilain non tes.
1) Tes
Tes hasil belajar menurut Purwanto (2009) merupakan tes penguasaan,
karena tes ini mengukur penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan oleh
guru atau dipelajari oleh siswa. Tes diujikan setelah siswa memperoleh sejumlah
materi sebelumnya dan pengujian dilakukan untuk mengetahui penguasaan siswa
atas materi tersebut. Macam-macam tes menurut Purwanto (2009) yaitu:
a) Tes formatif
Tes formatif dimaksudkan sebagai tes yang digunakan untuk mengetahui
sejauh mana siswa telah terbentuk setelah mengikuti proses belajar-
mengajar.Setiap pokok bahasan membentuk perilaku tertentu sebagaimana
dirumuskan dalam tujuan pembelajarannya.
b) Tes sumatif
Tes sumatif dimaksudkan sebagai tes yang digunakan untuk mengetahui
penguasaan siswa atas semua jumlah materi yang disampaikan dalam satuan
waktu tertentu seperti semester.
c) Tes diagnostik
Tes diagnostik digunakan untuk mengidentifikasikan siswa-siswa yang
25
mengalami masalah dan menelusuri jenis masalah yang dihadapi.
d) Tes penempatan
Tes penempatan adalah pengumpulan data tes hasil belajar yang diperlukan
untuk menempatkan siswa dalam kelompok siswa sesuai dengan minat dan
bakatnya.
2) Non Tes
Penilaian non tes merupakan prosedur yang dilalui untuk memperoleh
gambaran mengenai karakteristik minat, sifat, dan kepribadian melalui:
a) Pengamatan, yakni alat penilaian yang pengisiannya dilakukan oleh guru
atas dasar pengamatan terhadap perilaku siswa, baik perorangan maupun
kelompok, dikelas maupun diluar kelas.
b) Skala sikap, yaitu penilaian yang digunakan untuk mengungkapkan sikap
siswa melalui pengerjaan tugas tertulis dengan soal-soal yang lebih mengukur
daya nalar atau pendapat siswa
c) Angket, yaitu alat penilaian yang menyajikan tugas-tugas atau
mengerjakan dengan cara tertulis
d) Catatan harian, yaitu catatan mengenai perilaku siswa yang dipandang
mempunyai kaitan dengan perkembangan pribadinya
e) Daftar cek, yaitu suatu daftar yang dipergunakan untuk mengecek terhadap
perilaku siswa telah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. (Purwanto,
2009)
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian test dengan menggunakan
pretest dan posttest. Pretest merupakan penilaian yang dilakukan guru secara rutin
pada setiap akan memulai penyajian materi baru, dengan tujuan untuk
mengidentifikasi tarap pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan.
Adapun instrumen yang digunakan dapat lisan, dapat tertulis, sedangkan yang
biasa digunakan adalah lisan, karena pretest ini pelaksanaannya berlangsung
secara singkat dan biasanya pretest ini hanya mengambil sampel beberapa siswa
yang sekiranya dapat mewakili kemampuan siswa yang lain.
Kebalikan dari pretest adalah posttest, yakni penilaian yang dilakukan
setelah pelaksanaan kegiatan belajar. Tujuannya untuk mengetahui tarap
26
penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang baru saja dipelajari. Hasil post-
test ini digunakan sebagai tolok ukur guru untuk melanjutkan ke materi
selanjutnya atau pun kalau banyak siswa yang belum memahami atau hasil post-
test rendah maka guru perlu untuk mengulangi kegiatan belajarnya.
Evaluasi atau penilain formatif, yakni penilaian yang dilaksanakn pada
setiap akhir pelajaran satuan pelajaran. Tujuannya untu kmemperoleh umpan balik
dalam pembelajaran yang telah dilakukan, yakni mengetahui kesulitan atau
mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa.
Penilaian sumatif, yakni penilaian yang dilakukan untuk mengukur
kemampuan siswa yang dilakukan setiap akhir semester, atau akhir tahun
pelajaran. Hasil dari penilaian sumatif ini digunakan sebagai laporan kemampuan
siswa pada orang tua.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pretest untuk mengukur
kemampuan awal siswa dan post-test untuk mengukur kemampuan akhir siswa
setelah diberi perlakuan. Penilaian berupa pemberian soal tes berjenis pilihan
ganda yang sebelumnya sudah divalidasi.
2.1.5 Hubungan antara Model, Minat, dan Hasil Belajar Matematika
Telah diuraikan bahwa minat merupakan ketertarikan akan sesuatu hal yang
dilihatnya atau yang dikerjakannya berdasarkan kegunaannya untuk kebutuhan
dalam dirinya. Minat yang tinggi terhadap pelajaran dapat meningkatkan hasil
belajar tinggi pula, sehingga minat sangat diperlukan.
Matematika merupakan pelajaran yang sulit bahkan ada yang mengatakan
sangat menyeramkan. Bukan saja dari anak SD, sampai ke perguruna tinggi pun
masih ada yang merasa takut. Bahkan mereka yang di perguruan tinggi sampai
mengambil jurusan yang tidak ada hubungannya dengan matematika
Cara mengajar guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Beberapa guru hanya mengajar dengan satu model yang kebetulan tidak cocok
dan sulit dimengerti siswa. Oleh karena itu, guru seharusnya dapat menguasai
bermacam - macam model pembelajaran sehingga dapat memilih model yang
tepat untuk suatu materi yang akan disampaikan.
Selain model, tinggi rendahnya minat siswa untuk mengikuti pelajaran juga
27
berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa. Minat memegang peranan
peran penting dan sangat erat hubungannya dengan belajar. Belajar tanpa minat
akan terasa menjemukan, dalam kenyataannya tidak semua siswa belajar dengan
dorongan minatnya sendiri, ada yang mengembangkan minatnya terhadap materi
pelajaran dikarenakan pengaruh dari gurunya, temannya, dan atau tuntutan
orangtuanya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab
sekolah untuk menyediakan situasi dan kondisi yang bisa merangsang minat siswa
untuk belajar.
Salah satu cara merangsang dan meningkatkan minat belajar siswa adalah
dengan menciptakan kondisi yang menyenangkan pada saat kegiatan belajar
mengajar. Penciptaan kondisi ini salah satunya adalah dengan menggunakan
variasi metode yang merangsang keaktifan dan kreatifitas siswa. Kecenderungan
siswa untuk bertanya pada teman sebayanya memunculkan metode Think Pair
Share yang diharapkan mampu meningkatkan minat belajar siswa. Meningkatnya
minat belajar diharapkan juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata
pelajaran matematika.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Terdapat beberapa penelitian pendahulu yang meneliti tentang Think Pair
Share yaitu penelitian Giyastutik (2009), Triyastuti (2010), Gunarti (2011).
Penelitian Giyastutik (2009) yang berjudul Penerapan Pembelajaran
Kooperatif Think-Pair-Share untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi Siswa
Kelas VII A SMP Negeri 3 Karanganyar Tahun Pelajaran 2007/2008. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif metode Think-
Pair-Share dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran.
Peningkatan hasil belajar diukur dari evaluasi siklus I dan siklus II dengan rata-
rata capaian kognitif pada siklus I sebesar 72,13% dan pada siklus II sebesar
80,46%. Capaian rata-rata afektif pada siklus I sebesar 71,52% dan pada siklus II
sebesar 80,61%. Capaian rata-rata psikomotor siswa yang bersikap positif pada
siklus I sebesar 73,33% dan pada siklus II sebesar 87,5%. Sebagai data
pendukung, capaian kepuasan siswa terhadap penggunaan metode Think- Pair-
Share pada siklus I 68,77% dan pada siklus II menjadi 78,01% serta performance
28
guru pada siklus I sebesar 72,06% menjadi 80,26% pada siklus II. Berdasarkan
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif
metode Think-Pair-Share dapat meningkatkan hasil belajar biologi siswa kelas VII
A SMP Negeri 3 Karanganyar tahun pelajaran 2007/2008.
Penelitian Tutut Febru Triyastuti (2010) yang berjudul Upaya Peningkatan
Hasil Belajar Ekonomi/ Akuntansi Dengan Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS
(Think Pair Share) Pada Kelas Xi Ips 5 Sma Negeri 2 Surakarta Tahun Pelajaran
2009/ 2010 (Penelitian Tindakan Kelas). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010. Hasil
penelitian ini yaitu penerapan pembelajaran kooperatif tipe TPS dapat
meningkatkan hasil belajar ekonomi/ akuntansi pada kelas XI IPS 5 SMA Negeri
2 Surakarta Tahun Pelajaran 2009/ 2010. Hal tersebut didukung oleh faktafakta
sebagai berikut: (1) Keaktifan siswa dalam apersepsi meningkat sebanyak 14%.
Hasil tersebut ditunjukkan pada siklus 1 sebesar 58% (21 siswa) dan pada siklus 2
sebesar 72% (26 siswa); (2) Keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran
kooperatif tipe TPS meningkat sebanyak 16%. Hasil tersebut ditunjukkan pada
siklus 1 sebesar 61% (22 siswa) dan pada siklus 2 sebesar 77% (28 siswa); (3)
Keaktifan siswa dalam diskusi berpasangan/ kelompok meningkat sebanyak 20%.
Hasil tersebut ditunjukkan pada siklus 1 sebesar 61% (22 siswa) dan pada siklus 2
sebesar 81% (29 siswa); (4) Ketuntasan hasil belajar meningkat sebesar 15%.
Hasil tersebut ditunjukkan pada siklus 1 sebesar 68% (23 siswa) dan pada siklus 2
sebesar 83% (29 siswa); (5) Keaktifan siswa dalam diskusi mengalami
peningkatan terbesar dibandingkan dengan keaktifan dan ketuntasan hasil belajar
siswa lainnya.
Penelitian Ratna Gunarti (2011) dengan judul Peningkatan Pemahaman
Konsep Pecahan Melalui Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share
(TPS) Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Jeron Nogosari Boyolali Tahun Pelajaran
2010/2011. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam
dua siklus dapat disimpulkan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran
Think Pair Share dapat meningkatkan pemahaman konsep pecahan pada siswa
kelas IV SD Negeri Jeron Nogosari Boyolali Tahun Pelajaran 2010/2011.
29
Peningkatan pemahaman konsep pecahan dapat dibuktikan dengan meningkatnya
nilai evaluasi matematika dalam materi pecahan setiap siklusnya yaitu: sebelum
tindakan nilai rata-rata evaluasi matematika 62,7 dimana siswa yang mendapat
nilai di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu 60 sebanyak 20 siswa (53%)
pada siklus I nilai rata-rata evaluasi matematika meningkat menjadi 68 sebanyak
26 siswa memperoleh nilai di atas KKM (68%) dan siklus II nilai rata-rata
evaluasi matematika meningkat menjadi 74,5 sebanyak 32 siswa memperoleh
nilai di atas KKM (84%).
Kelebihan dari keempat penelitian di atas dapat memaparkan bahwa dengan
TPS dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas pembelajaran dengan baik.
Adapun kekurangannya sampel yang digunakan di tingkat pendidikan menengah
dan membutuhkan waktu penelitian yang relatif lama.
Penelitian lain yang erat kaitannya dengan minat adalah penelitian Didik
Triyono (2010) dengan judul Eksperimentasi Pembelajaran Matematika dengan
Metode Penemuan Terbimbing Menggunakan Media Power Point dan Lembar
Kerja Siswa Ditinjau Dari Minat Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa. Hasil
penelitiannya dapat disimpulkan bahwa: (1) pembelajaran matematika pada pokok
bahasan balok dan kubus dengan metode penemuan terbimbing menggunakan
media Power Point dan lembar Kerja Siswa (LKS) dapat menghasilkan prestasi
belajar matematika yang lebih baik, dapat dilihat pada rataan marginal yaitu
rataan prestasi belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode
penemuan terbimbing yaitu 69,1633 lebih besar dari rataan prestasi siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan metode ekspositori yaitu 45,8359. Ada pengaruh
metode pembelajaran terhadap prestasi belajar dengan tingkat signifikansi 5%. (2)
tidak ada perbedaan prestasi belajar antara siswa dengan minat belajar tinggi dan
sedang, tetapi prestasi belajar dengan minat belajar sedang lebih baik
dibandingkan siswa dengan minat belajar rendah. Ada pengaruh tingkat minat
belajar terhadap prestasi belajar siswa pada pokok bahasan balok dan kubus. (3)
tidak ada interaksi antara metode pembelajaran dan minat belajar matematika
siswa terhadap prestasi belajar pada pokok bahasan balok dan kubus dengan
tingkat signifikansi 5%.
30
Berdasarkan penelitian – penelitian sebelumnya dan berdasarkan fenomena
yang terjadi dalam pembelajaran matematika di SD, maka dibuatlah penelitian
yang bertujuan untuk mengetahui keefektifan penggunaan Think Pair Share
terhadap prestasi belajar siswa. Penelitian ini hanya sebatas untuk mengetahui
Think Pair Share berpengaruh atau tidak terhadap prestasi belajar siswa terutama
pada siswa kelas III SDN Salatiga 06. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
di atas, penelitian ini melihat pengaruh Think Pair Share terhadap peningkatan
prestasi belajar di tingkat Sekolah Dasar (SD) serta waktu penelitian yang
dibutuhkan relatif singkat.
2.3 Kerangka Pikir
Selama ini penggunaan model pembelajaran konvensional dalam mengajar
seringkali menyebabkan siswa pasif dan kurang berpikir kreatif. Padahal banyak
model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa sehingga siswa lebih
termotivasi untuk belajar dan proses belajar mengajar dapat berlangsung lebih
berkualitas. Salah satu model yang dapat digunakan adalah pembelajaran
matematika dengan pendekatan struktural “Think-Pair-Share”. Dalam penelitian
ini digunakan dua model yaitu model pembelajaran konvensional (untuk kelas
kontrol) dan model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural “Think-
Pair-Share” (untuk kelas eksperimen).
Dalam model pembelajaran ini, siswa dapat menyelesaikan masalah dalam
matematika dengan bekerja sama dengan pasangannya yang diawali dengan
pemikiran secara individu. Sehingga siswa dapat menggali potensi yang
dimilikinya dan dapat didiskusikan pada kelompok. Sehingga model pembelajaran
matematika dengan pendekatan struktural “Think-Pair-Share” dapat
menghasilkan hasil belajar matematika daripada penggunaan model pembelajaran
konvensional. Dalam proses pembelajaran dibutuhkan keterlibatan siswa dan
keaktifan siswa. Tingkat keterlibatan dan keaktifan ini dapat menunjukkan minat
siswa terhadap mata pelajaran matematika yang diprediksi akan turut
mempengaruhi hasil belajar siswa.
Pada tahap thinking, siswa diberi kesempatan untuk memikirkan pemecahan
dari suatu soal secara mandiri. Ketika minat mereka besar, kegiatan itu akan
31
sangat membuat mereka bertanya-tanya sehingga akhirnya akan timbul interaksi
yang kuat antara mereka dengan materi.
Begitu juga pada tahap pairing dan sharing, siswa perlu melakukan diskusi
dengan teman dalam satu kelompok dan teman sekelas mengenai pemecahan soal
yang telah dipikirkan sebelumnya secara mandiri oleh masing-masing siswa.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran kooperatif dengan model TPS dan minat belajar matematika
berperan dalam menentukan hasil belajar matematika siswa. Dari pemikiran
pemikiran di atas dapat digambarkan kerangka berpikir dalam penelitian ini
sebagai berikut.
Gambar 2.1. Kerangka berpikir penelitian
Kelas Eksperimen
Think Pair Share
-Berpikir individu (Thinking)
-Berdiskusi dengan
pasangan (Pairing)
-Berbagi dengan teman
diluar kelompok (Sharing)
Post-test
Hasil Belajar
Think Pair Share
Kelas Kontrol
Konvensional /
Ekspositori
Post- test
PBM
Pre-test
Hasil Belajar
Konvensional
Minat Belajar
Matematika
(Angket)
Hasil
Homogen
Hasil
Homogen
32
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah dan tinjauan pustaka serta kerangka
pemikiran di atas maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai
berikut:
1. Model pembelajaran Think-Pair-Share berpengaruh positif terhadap hasil
belajar Matematika siswa kelas III Semester II Tahun 2011/2012 di SDN
Salatiga 06
2. Model pembelajaran Think-Pair-Share berpengaruh positif terhadap hasil
belajar Matematika siswa dintinjau dari minat belajar siswa kelas III
Semester II Tahun 2011/2012 di SDN Salatiga 06
3. Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan minat belajar
siswa terhadap hasil belajar matematika siswa kelas III Semester II Tahun
2011/2012 di SDN Salatiga 06.