221889343-makalah-b3
DESCRIPTION
jjejejsjsTRANSCRIPT
MAKALAH
B3 dan LIMBAH B3
UJI TOKSISITAS LIMBAH B3 BERUPA TAILING UNTUK
DAPAT DIMANFAATKAN KEMBALI
Disusun Oleh:
Gusti Aspianur 1109045025
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertambangan adalah industri ekstraktif yang mengambil mineral berharga dari batuan bijih
kemudian diolah untuk menghasilkan produk konsentrat, suatu produk yang ekonomis
dantailing, sebagai sisa yang tidak ekonomis. Tailing merupakan limbah yang dihasilkan dari
proses penggerusan bijih (ore) untuk diambil mineral berharganya (Satriago,
1996). Tailing pertambangan umumnya berkomposisi sekitar 50% lumpur batuan dan 50% air
sehingga berwujud slurry.
Tailing yang dihasilkan dari industri pertambangan menjadi perdebatan karena volume yang
dihasilkan sangat besar dan masih mengandung logam dalam konsentrasi tertentu.
Volume tailing ini besar karena di dalam bijih tembaga misalnya, hanya terkandung 0,5%-2%
logam tembaga dan sisanya adalah batuan waste yang akan menjadi tailing. Perbedaan
pengotor dan mineral berharga inil yang membuat tailing pertambangan volumenya sangat
besar.
Pemanfaatan kembali tailing dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penggunaan
agregat (bahan bangunan), sebagai media tanam, pembuatan jalan, reklamasi lahan pantai
maupun pengisi lubang bukaan tambang (backfilling). Pemanfaatan tailing sejalan dengan
prinsip 3 R (reduce, reuse dan recycle) akan mengurangi volume tailing sehingga beban
lingkungan berkurang.
Untuk dapat memanfaatkan tailing harus ada beberapa parameter yang diketahui terlebih
dahulu terkait dengan tingkat keamanan penggunaan karena ini terkait dengan sifat toksisitas
tailing. Variabel tersebut antara lain konsentrasi logam berat yang tersisa, LD50 (Lethal Dose
50) dan TCLP (Toxisity Characteristic Leachate Procedure). Tiga parameter ini yang dapat
dianalisis untuk mengetahui tingkat keamanan pemanfaatan tailing.
1.2 Tujuan Penyusunan
Mengetahui apakah Tailing dapat dimanfaatkan kembali dengan cara melakukan uji LD50
dan TCLP
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian LD50 (Lethal Dose 50)
LD50 atau lethal dose 50 adalah konsentrasi dari bahan kimia atau radiasi yang pada satu kali
pemberian akan menyebabkan kematian pada 50% dari populasi hewan percobaan. LD50 ini
sering dijadikan sebagai indikator toksistas terhadap suatu zat. LD50 merupakan perhitungan
untuk menghitung potensi terkena racun relatif terhadap bahan kimia. Jadi semakin kecil nilai
LD50, bahan kimia tersebut semakin berbahaya. Artinya pada konsentrasi sedikit saja, bahan
kimia tersebut sudah memberi efek toksik besar bagi populasi hewan percobaan. Klasifikasi
toksisitas suatu zat dapat dikategorikan berdasarkan nilai dosis zat tersebut. Klasifikasinya
seperti penjelasan berikut ini:
1. Nilai dosis 1 mg/kg berat badan (bb) masuk dalam kategori supertoxic
2. Nilai dosis 1-5 mg/kg berat badan (bb) masuk dalam kategori extremely toxic
3. Nilai dosis 5-50 mg/kg berat badan (bb) masuk dalam kategori highly toxic
4. Nilai dosis 50-500 mg/kg berat badan (bb) masuk dalam kategori moderately toxic
5. Nilai dosis 500-5000 mg/kg berat badan (bb) masuk dalam kategori slighly toxic
6. Nilai dosis 5000-15.000 mg/kg berat badan (bb) masuk dalam kategori practically non
toxic
(Sutamihardja, 2004)
Nilai Toksisitas dapat saja berbeda disetiap Negara, karena disesuaikan dengan peraturan di
Negara tersebut. Mungkin saja tingkat toksik suatu zat di Jepang lebih straight daripada di
Indonesia atau justur sebaliknya. Nilai toksisitas di beberapa Negara seperti di bawah ini:
1. US EPA (40 CFR part 261.11) dengan nilai dosis <50> mg/kg berat badan
2. Kanada (Guide to Canadian transportation of dangerous goods a act and regulation)
dengan nilai dosis <200>mg/kg berat badan
3. Jepang (environmental regulation) dengan nilai dosis <500> mg/kg berat badan
4. Cina (Hazardous Substance Regulation) dengan nilai dosis 200-1000 mg/kg berat
badan dan
5. Indonesia (PP No. 85/1999) dengannilai dsis <50 mg/kg berat badan
Biasanya uji LD50 ini didapat dari hasil pengujian terhadap tikus mencit (mus musculus) di
laboratorium atau terhadap beberapa jenis mamalia lain. Tabel diatas adalah peraturan yang
diacu untuk menentukan nilai LD50 di beberapa negara. Jika dari hasil pengukuran tailing
menunjukan konsentrasi slighly toxic, artinya tailing tersebut bisa dimanfaatkan tanpa
menimbulkan dampak toksic yang berbahaya.
2.2 Pengertian TCLP
TCLP atau Toxicity Characteristic Leaching Procedure dilakukan untuk menentukan
mobilitas baik analit organik dan anorganik yang ada dalam limbah cair, limbah padat, dan
multifase. Biasanya digunakan untuk menentukan apakah limbah termasuk dalam definisi
toksik berdasarkan ketegori US-EPA. Analisis TCLP mensimulasikan kondisi TPA (tempat
pembuangan akhir). Seiring waktu, air dan cairan lainnya yang berasal dari limbah akan
meresap melalui TPA. Cairan yang meresap seringkali bereaksi dengan limbah padat dan
dapat menimbulkan risiko kesehatan masyarakat dan lingkungan karena mengandung
kontaminan. Analisis TCLP akan menentukan mana dari kontaminan yang teridentifikasi
toksik (berdasarkan Environmental Protection Agency/EPA) dalam bentuk lindi dan
konsentrasinya.
Konsentrasi Logam Berat. Istilah logam diberikan kepada semua unsur kimia yang memiliki
sifat logam; konduktor, membentuk aloy, dtempa dan dibentuk. Sedangkan pengertian logam
berat adalah golongan logam yang bila masuk ke dalam organisme hidup akan memberikan
pengaruh besar (Palar, 1994). Logam berat telah digunakan secara luas untuk mengambarkan
logam dengan karakteristik; memiliki spesific gravity lebih dari 4, memiliki nomor atom 22-
34 dan 40-50 serta unsur-unsur lantanida dan aktinida, memiliki respon biokimia spesifik
pada organisme.
2.3 Pengertian Tailing
Pengertian Tailing
Tailing sebenarnya merupakan limbah yang dihasilkan dari proses penggerusan batuan
tambang (ore) yang mengandung bijih mineral untuk diambil mineral
berharganya. Tailing umumnya memiliki komposisi sekitar 50% batuan dan 50% air sehingga
sifatnya seperti lumpur (slurry). Sebagai limbah, tailing dapat dikatakan sebagai sampah dan
berpotensi mencemarkan lingkungan baik dilihat dari volume yang dihasilkan maupun potensi
rembesan yang mungkin terjadi pada tempat pembuangan tailing. Tailing hasil ekstraksi
logam seperti emas dan nikel umumnya masih mengandung beberapa logam dengan kadar
tertentu. Logam ini berasal dari logam yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan
mineral berharga itu sendiri. Mineral yang mengandung emas dan perak biasanya berasosiasi
dengan logam perak, besi, chrom, seng dan tembaga seperti kalkokpirit (CuFeS2) dan
berbagai mineral sulfida lain.
Karena di dalam tailing kandungan logam berharga sudah sangat sedikit dan dalam jumlah
yang tidak ekonomis, maka tailing ini biasanya dibuang. Perbandingan logam berharga sepeti
emas dan tailing sangat besar. Untuk penambangan emas dan perak secara bawah tanah di
Jawa Barat, dalam satu ton bijih batuan hanya mengandung rata-rata Au 9 gr/ton dan Ag 96
gr/ton (Antam, 2006). Sedangkan di daerah lain yang menambag emas porfiri dan tembaga
hanya dengan kadar rata-rata hanya Au 0,3 gr/ton dan Ag 1,06 gr/ton.
Perbedaan volume dan kadar yang besar ini menyebabkan jumlah tailing hasil pengolahan
dan penambangan sangat besar. Untuk penambangan dengan sistem open pit, jumlahnya
sangat besar. Sebuah tambang tembaga asing menghasilkan 40 juta ton tailing per tahunnya
kemudian dengan skala lebih besar lagi menghasilkan lebih dai 81 juta ton tailing tiap
tahunnya.
Tailing Sebagai Limbah
Pengertian limbah berdasarkan PP No. 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan atau proses produksi. Jika
melampaui nilai ambang batas dapat membahayakan lingkungan di
sekitarnya. Tailing berpotensi sebagai sumber pencemar lingkungan apabila tidak dikelola
dengan baik akan mengakibatkan pengotoran lingkungan, pencemaran air dan tanah.
Pengertian tailing diatas dapat diartikan sebagai limbah pada sisa aktivitas pengolahan dan
penambangan, tidak terpakai, karena membahayakan lingkungan harus dikelola dari
lingkungan. Dengan demikian diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk mengelola tailing ini.
Tailing penambangan emas sebagai limbah adalah sisa setelah terjadi pemisahan konsentrat
atau logam berharga dari bijih batuan di pabrik pengolahan, bentuknya merupakan batuan
alami yang telah digerus. Dalam artian sebagai limbah, tailing ini tidak bernilai karena hanya
sebagai produk sisa atau buangan dari pengambilan emas dan perak.
Tailing Sebagai Sumberdaya
Dilain pihak terdapat pengertian bahwa tailing merupakan potensi sumberdaya yang dapat
dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai tambah sebagai produk yang dapat dimanfaatkan
kembali menjadi produk lain. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan nilai tambah
dari hanya sekedar limbah yang tidak termanfaatkan.
Tailing sebagai sumberdaya telah mulai dimanfaatkan di beberapa perusahaan pertambangan
baik di dalam maupun luar negeri. Komposisi utama tailing hasil penambangan emas
umumnya adalah kuarsa, lempung silikat dan beberapa logam yang terkandung di dalamnya
(Prasetyo, 2005). Komposisi tailing seperti ini ditambah lagi dengan ukuran yang halus
membuat banyak tailing dimanfaatan sebagai media tanam untuk reklamasi, pengurukan
lahan reklamasi dengan sistem cutt and fill serta pembuatan bahan bangunan dan agregat.
Untuk pembuatan bahan bangunan dan beton ini, tailing digunakan sebagai bahan utama dan
ditambahkan beberapa bahan aditif lainnya
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Hasil Uji LD50
Karakteristik tambang bawah tanah sangat khas karena disesuaikan dengan jenis dan kondisi
cadangan. Meskipun begitu, baik tambang bawah tanah maupun open pit, keduanya selalu
menghasilkan tailing. Tabel ini menunjukkan produksi dan tailing di tambang terbuka dan
bawah tanah serta pemanfaatannya di tambang Indonesia:
Tabel 1 Pemanfaatan Tailing di Tambang Emas Indonesia
No
TambangKadar (gr/ton)
Produksi/
Thn
Volume/thn Jenis Pemanfaatan
1 PT. FreeportIndonesia
(tambang terbuka)
0,85 gr/ton Au
3,8 gr/ton Ag
0,85% Cu
45,73 ton Au 151 ton Ag
81 juta ton · Pembuatan bahan bangunan
· Media Reklamasi
· Pembuatan jembatan
2 PT. Newmont Nusa Tenggara (tambang terbuka)
0,47 gr/ton Au
1,47 gr/ton Ag
0,54% Cu
22,46 ton Au 45,2 ton Ag
41,6 juta ton · Pembuatan rumpon di pantai Senunu
3 PT. Antam UBPEPongkor (bawah tanah)
9 gr/ton Au
96 gr/ton Ag
4,5 ton Au
27 ton Ag
350 ribu ton Pembuatan bahan bangunan
Media tanam dan reklamasi
Backfilling
4 PT. Nusa Halmahera Minerals (bawah tanah)
35 gr/ton Au 5 ton Au 280 ribu ton Backfilling
Sumber: Laporan tahunan PTFI, PTNNT, UBPEP, PTNHM
LD50 atau lethal dose 50 adalah konsentrasi dari bahan kimia atau radiasi yang pada satu kali
pemberian akan menyebabkan kematian pada 50% dari populasi hewan percobaan. LD50 ini
sering dijadikan sebagai indikator toksistas terhadap suatu zat. LD50 merupakan perhitungan
untuk menghitung potensi terkena racun relatif terhadap bahan kimia. Jadi semakin kecil nilai
LD50, bahan kimia tersebut semakin berbahaya. Artinya pada konsentrasi sedikit saja, bahan
kimia tersebut sudah memberi efek toksik besar bagi populasi hewan percobaan. Klasifikasi
toksisitas suatu zat dapat dikategorikan berdasarkan nilai dosis zat tersebut. Klasifikasinya
seperti tabel berikut ini:
Tabel 9 Klasifikasi Toksisitas Zat
No Tingkat Toksik Nilai Dosis mg/kg BB
1 Supertoxic <1
2 Extremly toxic 1-5
3 Highly toxic 5-50
4 Moderately toxic 50-500
5 Slighly toxic 500-5.000
6 Practically non toxic 5.000-15.000
Sumber: Sutamihardja, 2004
Tabel 11 Toksisitas di Beberapa Negara
No Tingkat Toksik Nilai Dosis mg/kg BB
1 US EPA (40 CFR part 261.11) <50>
2 Kanada (Guide to Canadian transportation of
dangerous goods a act and regulation)
<200>
3 Jepang (environmental regulation) <500
4 Cina (Hazardous Substance Regulation) 200-1000
5 Indonesia (PP No. 85/1999) <50
Biasanya uji LD50 ini didapat dari hasil pengujian terhadap tikus mencit (mus musculus) di
laboratorium. Tabel diatas adalah peraturan yang diacu untuk menentukan nilai LD50 di
beberapa negara. Jika dari hasil pengukuran menunjukan konsentrasi slighly toxic,
artinya tailing tersebut bisa dimanfaatkan tanpa menimbulkan dampak toksic yang berbahaya.
3.2 Hasil Uji TCLP
Hasil uji TCLP adalah untuk menentukan tingkat kelindian dan toksisitas dari sampel tailing.
Uji TCLP ini dilakukan pada logam yang berpotensi larut jika terkena air atau asam. Tailing
apabila digunakan namun terkena air dalam waktu lama, dapat berpotensi melepas partikel
logam yang tersisa sehingga untuk mengetahui tingkat keamanan dari kondisi ini, perlu
dilakukan uji TCLP. Jika kelarutan logam melebih Baku Mutu yang ditetapkan (PPRI No.
18/1999) maka tailing tersebut tidak aman untuk dimanfaatkan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
a. bahwa tailing merupakan potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sehingga
mempunyai nilai tambah sebagai produk yang dapat dimanfaatkan kembali menjadi
produk lain. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan nilai tambah dari
hanya sekedar limbah yang tidak termanfaatkan.
b. Untuk dapat memanfaatkan tailing harus ada beberapa parameter yang diketahui
terlebih dahulu terkait dengan tingkat keamanan penggunaan karena ini terkait
dengan sifat toksisitas tailing. Variabel tersebut antara lain konsentrasi logam berat
yang tersisa, LD50 (Lethal Dose 50) dan TCLP (Toxisity Characteristic Leachate
Procedure). Tiga parameter ini yang dapat dianalisis untuk mengetahui tingkat
keamanan pemanfaatan tailing.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Prasetyo, Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan Aplikasi,
Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada
Palar, H . 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Bandung: Rineka Cipta.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI-Press. Jakarta