25022013 siska ryane mpmt
TRANSCRIPT
Pengaruh Penggunaan Metode Student Facilitator and Explaining
dalam Pembelajaran Kooperatif terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematik dan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa
SMK di Tasikmalaya
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan
mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, pendidikan adalah
seperangkat proses berupa penanaman nilai, gagasan, konsep dan teori-teori
yang bertujuan mengembangkan kepribadian, pengetahuan, keterampilan, dan
tingkah laku serta mencapai cita-cita dan tujuan hidup. Upaya meningkatkan
kualitas pendidikan dilakukan terus-menerus baik secara konvensional
maupun inovatif. Dalam era globalisasi, pendidikan sangat dibutuhkan oleh
segenap lapisan masyarakat agar terhindar dari pengaruh negatif yang dapat
mencelakakanya.
Dalam dunia pendidikan, sekolah merupakan salah satu jalur yang
sangat strategis untuk mencapai tujuan tersebut. Semua mata pelajaran di
sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan
kualitas manusia.
Namun, kenyataannya pendidikan di Indonesia belumlah sesuai dengan
apa yang diharapkan. Lembaga-lembaga pendidikan belum mampu
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas pendidikan
Indonesia tercermin dari penguasaan materi matematika siswa. Hal ini terlihat
dari hasil laporan The Trends International Mathematics and Science Study
(TIMSS) yang menunjukkan bahwa rata-rata skor prestasi matematik siswa
Indonesia berada signifikan di bawah skor rata-rata Internasional. Pada tahun
1999, Indonesia berada pada peringkat ke 34 dari 38 negara, tahun 2003 berada
di peringkat ke 35 dari 46 negara, dan tahun 2007 berada di peringkat ke 36 dari
49 negara. Mengenai hasil studi TIMMS pada tahun 1999, Suryadi (Alhadad,
Syarifah Fadilah, 2010:5) mengemukakan, “Soal-soal matematika tidak rutin
yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak
berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia”.
Hasil Studi TIMMS ini didukung oleh hasil survey yang dilakukan JICA
Technical Cooperation Project for Development of Science and Mathematics
Teaching for Primary and Secondary Education in Indonesia atau IMSTEP
(Alhadad, Syarifah Fadilah, 2010:4) pada tahun 1999 di kota Bandung, yang
menemukan bahwa salah satu kegiatan bermatematika yang dipandang sulit
oleh siswa untuk mempelajarinya dan oleh guru untuk mengajarkannya adalah
pemecahan masalah.
Lemahnya kemampuan pemecahan masalah siswa teridentifikasi dari
bagaimana cara mereka menyelesaikan soal-soal matematika yang bersifat tidak
rutin. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh Fakhrudin (2010),
dapat diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa Kota Semarang
masih rendah. Penelitian ini dilakukan peneliti pada kedua kelompok yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Skor maksimum ideal pada tes
ini adalah 70. Rata-rata skor untuk kelompok eksperimen adalah 21,47 atau
30,67% dari skor ideal dan untuk kelompok kontrol 22,82 atau 32,6% dari skor
ideal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa pada umumnya masih rendah.
Rendahnya hasil belajar matematika mengindikasikan ada sesuatu yang
salah dan belum optimal dalam pembelajaran di sekolah. Dalam pembelajaran
matematika, biasanya aktivitas belajar mengajar berpusat pada guru, materi
matematika disampaikan melalui ceramah, siswa pasif, pertanyaan dari siswa
jarang muncul, berorientasi pada satu jawaban yang benar. Kegiatan
pembelajaran seperti ini tidak memberikan kesempatan yang luas bagi siswa
untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.
Matematika merupakan pondasi yang melandasi ilmu pengetahuan,
baik itu ilmu eksak maupun ilmu non-eksak, mulai dari tingkat sekolah dasar
sampai ke perguruan tinggi. Kenyataan di lapangan menyebutkan, bahwa
pembelajaran matematika masih saja ditakuti dan dianggap sebagai pelajaran
yang sukar, sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika.
Ruseffendi ( 1991: 157 ) mengemukakan, “Matematika dianggap sebagai
ilmu yang sukar, ruwet, dan banyak memperdayakan”. Matematika
menumbuhkembangkan kemampuan bernalar, yaitu berpikir sistematis, logis
dan kritis, dalam mengkomunikasikan gagasan atau dalam pemecahan
masalah.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa siswa harus
mengetahui dan memahami relevansi matematika dalam kehidupan sehari-
hari serta menggunakannya menjadi aspek penting yang harus diperhatikan
dalam mempelajari matematika. Selain itu, sebagai pembekalan mereka
menghadapi tantangan kehidupan, para siswa juga perlu dibiasakan
menggunakan keterampilan berpikirnya untuk menyelesaikan soal-soal yang
berupa pemecahan masalah, sebab disadari atau tidak dalam kehidupan
manusia sehari-hari tidak terlepas dari masalah. Dengan pembelajaran yang
dimulai dari masalah, siswa belajar suatu konsep dan prinsip sekaligus
memecahkan masalah.
Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada dua hasil belajar yang
dicapai, yaitu jawaban terhadap masalah (produk) dan cara memecahkan
masalah (proses). Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa sebaiknya perlu ada inovasi dalam pembelajaran, dimana
siswa diberikan masalah kemudian siswa belajar untuk mengajukan masalah
kemudian menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Pembelajaran
hendaknya dimulai dari masalah-masalah aktual, autentik, relevan, dan
bermakna bagi siswa.
Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu fokus dalam
pembelajaran matematika. Tim MKPBM (2001: 83) menyatakan,
Pemecahan masalah matematika bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin.
Pemecahan masalah merupakan kegiatan matematika yang sangat sulit
untuk mengajarkan dan mempelajarinya karena menurut Tim MKPBM
(2001:83), “... pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi dari
delapan yang dikemukakan Gagne, yaitu: signal learning, stimulus-response-
learning, chaining, verbal assosiation, discrimination learning, concept
learning, rule learning, dan pemecahan masalah”. Dengan kata lain
keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui
pemecahan masalah.
Menurut Wardani, Sri (2011:6), ”Pemecahan masalah (problem
solving) adalah suatu proses untuk mengatasi kesulitan/hambatan yang
ditemui dalam mencapai tujuan yang diharapkan”. Pada umumnya, siswa
merasa kesulitan apabila dihadapkan pada masalah-masalah yang tidak rutin
karena tingkat kemampuan pemecahan masalah mereka masih rendah.
Padahal, pengajaran matematika harus digunakan untuk memperkaya,
memperdalam, dan memperluas kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah. Hasil penelitian yang dilakukan The National assessment of
Educational Progress (NAEP) (dalam Wulanratmini, Diani, 2010:4)
menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan siswa dalam menyelesaikan soal
kreatif pemecahan masalah menurun drastis manakala setting (konteks)
permasalahannya diganti dengan hal yang tidak dikenal siswa, walaupun
permasalahan matematikanya tetap sama.
Tim survey IMSTEP-JICA (1999) di kota Bandung menemukan
sejumlah kegiatan yang dianggap sulit oleh siswa untuk mempelajari soal
yang diberikan oleh guru yaitu dalam cara pembuktian, pemecahan masalah
yang memerlukan penalaran matematis, menemukan generalisasi atau
konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta yang
diberikan. Kegiatan-kegiatan yang dianggap sulit tersebut, kalau kita
perhatikan merupakan kegiatan yang menuntut kemampuan berpikir kritis
dari siswa dan guru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil survey
tersebut menemukan bahwa siswa mengalami kesulitan jika dihadapkan
kepada persoalan yang memerlukan kemampuan berpikir kritis.
Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui kegiatan
pembelajaran matematika karena tujuan pembelajaran matematika di sekolah
menurut Depdiknas (2006) adalah: (1) memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau
algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah;
(2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4)
mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,
perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah.
Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis sangatlah penting untuk
dikembangkan pada pembelajaran matematika secara formal baik itu di
tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, ataupun perguruan tinggi.
Salah satu model pembelajaran yang menyediakan banyak
kesempatan bagi siswa dalam melakukan pengembangan kemampuan
memecahkan masalah dan berpikir kritis adalah dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif menekankan pada
pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana yang kondusif
kepada siswa untuk memperoleh, dan mengembangkan pengetahuan, sikap,
nilai, serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi
kehidupannya di masyarakat. Menurut Trianto (2007:41), “Pembelajaran
kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan
dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan
temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling
membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks”.
Pada model cooperative learning siswa diberi kesempatan untuk
berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan temannya untuk saling
membantu memecahkan masalah, sementara guru bertindak sebagai
motivator dan fasilitator aktivitas siswa. Artinya dalam pembelajaran ini
kegiatan aktif dengan pengetahuan dibangun sendiri dengan aktif oleh siswa
dan mereka bertanggung jawab atas hasil pembelajarannya.
Salah satu model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan
untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam pemecahan masalah
adalah model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and
Explaining. Model pembelajaran kooperatif dengan metode Student
Facilitator and Explaining merupakan metode pembelajaran dimana siswa
belajar mempresentasikan ide/pendapat pada rekan siswa lainnya. Tujuan dari
metode pembelajaran ini yaitu akan melatih sikap kritis siswa. Misalnya,
seorang pendidik memberikan sebuah masalah. Berdasarkan masalah tersebut
siswa diminta membuat soal dan jawaban dari masalah yang diberikan oleh
pendidik tersebut. Maka akan muncul banyak pertanyaan dan jawaban dari
permasalahan yang diberikan.
Melalui metode pembelajaran ini siswa bisa termotivasi untuk
mengembangkan pengetahuan dengan cara yang mudah dan murah.
Pengetahuan siswa dengan metode pembelajaran kooperatif Student
Facilitator and Explaining bisa dikembangkan dari yang sederhana hingga
pada pengetahuan yang kompleks. Selain itu, dengan metode pembelajaran
kooperatif Student Facilitator and Explaining ini siswa akan belajar sesuai
dengan tingkat berpikirnya. Karena antara siswa yang pandai dengan yang
kurang pandai tidak diperlakukan sama. Keberhasilan pengajaran matematika
tidak hanya tergantung pada materi-materi pelajaran matematika, tetapi
sangat tergantung pada keahlian guru dalam menyampaikan materi tersebut.
Sehingga seorang guru harus memiliki kompetensi akademik dan menguasai
materi-materi yang akan diajarkan. Untuk menguasai konsep-konsep dasar
matematika, baik guru ataupun siswa harus banyak berlatih menyelesaikan
soal-soal mulai dari yang sederhana hingga yang sukar, termasuk soal-soal
yang menyangkut pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir
kritis matematis siswa.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian
dengan judul ”Pengaruh Penggunaan Metode Student Facilitator and
Explaining dalam Pembelajaran Kooperatif terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis dan Kemampuan Berpikir Kritis
Matematis Siswa SMK”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti
merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Adakah pengaruh positif metode pembelajaran kooperatif Student
Facilitator and Explaining terhadap pemecahan masalah matematik
siswa?
2. Apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator
and Explaining akan lebih baik dari pada siswa yang memperoleh
pembelajaran langsung?
3. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh
pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator
and Explaining?
4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh
pembelajaran dengan metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator
and Explaining?
5. Apakah ada hubungan antara pemecahan masalah matematik dan berpikir
kritis matematis siswa?
6. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran dengan metode
pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah yang diteliti, maka penelitian bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengaruh positif penggunaan metode pembelajaran Student
Facilitator and Explaining terhadap pemecahan masalah matematik siswa.
2. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan metode pembelajaran Student
Facilitator and Explaining dan siswa yang mengikuti pembelajaran
langsung.
3. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang
memperoleh pembelajaran dengan metode pembelajaran Student
Facilitator and Explaining.
4. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh
pembelajaran dengan metode pembelajaran Student Facilitator and
Explaining.
5. Mengetahui hubungan/kaitan/korelasi antara pemecahan masalah
matematik dengan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan metode pembelajaran Student Facilitator and
Explaining dan siswa yang mengikuti pembelajaran langsung.
6. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran kooperatif dengan
metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan masukan bagi pendidik agar selalu mempertimbangkan
dan memilih pembelajaran yang sesuai dengan materi ajar sehingga dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.
2. Sebagai bahan masukan untuk menanggulangi kendala-kendala yamg
muncul khususnya dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa dalam mata pelajaran matematika.
3. Sebagai sarana untuk mengembangkan daya pikir siswa dan kemampuan
pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika.
E. Kajian Teori
1. Metode Pembelajaran Kooperatif Student Facilitator and Explaining
Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari
pada suatu strategi, metode atau prosedur. Istilah model pembelajaran
mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode
tertentu yaitu: rasional teoretik yang logis, tujuan pembelajaran yang akan
dicapai, tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat
dilaksanakan secara berhasil, dan lingkungan belajar yang diperlukan agar
tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. Suprijono, Agus (2010:54)
menyatakan,
Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-benruk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum pembelajaran kooferatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana
guru menetapkan tugas dan pernyataan-pernyataan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk membantu siswa menyelesaikan masalah yang dimaksud. Guru biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas.
Melalui pembelajaran kooperatif siswa diharapkan dapat saling
membantu dan saling bekerjasama satu sama lain dalam menyelesaikan suatu
masalah untuk mencapai tujuan bersama.
Model pembelajaran kooperatif diperlukan adanya saling
ketergantungan positif sehingga siswa mempunyai rasa tanggung jawab
terhadap tugas yang mereka peroleh.Selama pembelajaran berlangsung siswa
melakukan interaksi dengan anggota kelompoknya agar komunikasi antar
anggota berjalan secara efektif dan setiap anggota kelompok saling
memberikan kontribusi terhadap kegiatan pembelajaran tersebut.
Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang
menggunakan model pembelajaran kooperatif menurut Suprijono, Agus.
(2010:65), langkah-langkah itu ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 1
Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkah Laku Guru
Fase-1: Present goals and set
Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
Menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan siswa siap belajar.
Fase-2: Present information Menyajikan informasi
Mempresentasikan informasi kepada siswa secara verbal.
Fase-3 : Organize students Memberikan penjelasan kepada
into learning teams
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif
peserta sisik tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien
Fase-4 : Assist team work and study
Membantu kerja tim dan belajar
Membantu tim-tim belajar selama siswa mengerjakan tugasnya.
Fase-5 : Test on the materials
Mengevaluasi
Menguji pengetahuan siswa mengenaia berbagai materi pembelajaran atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Fase-6 : Provide recognition
Memberikan pengakuan atau penghargaan
Mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan prestasi individu maupun kelompok.
Sumber: Suprijono, Agus. (2010: 65)
Penghargaan atau penilaian individu dan kelompok yang merupakan
salah satu dari karakteristik pembelajaran kooperatif lebih berorientasi pada
kelompok dari pada individu. Menurut Slavin, Robert E. (2009: 159),
petunjuk perhitungan skor perkembangan individu terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2Konversi Skor Perkembangan
Skor Kuis Individu Skor PerkembanganLebih dari 10 poin di bawah skor awal 5 poin10-1 poin dibawah skor awal 10 poinSkor awal sampai 10 poin di atas skor awal
20 poin
Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30 poinKertas jawaban sempurna (terlepas dari skor awal)
30 poin
Sumber: Slavin, Robert E. (2009 : 159)
Selanjutnya untuk lebih memotivasi siswa dalam setiap pembelajaran,
maka dalam pembelajaran kooperatif setelah guru memberikan penilaian
kepada setiap siswa dalam kelompok kooperatif, guru memberikan
penghargaan kepada kelompok-kelompok yang memiliki nilai sumbangan
kelompoknya yang memenuhi kriteria. Kriteria yang digunakan untuk
memberikan penghargaan kelompok diambil dari selisih skor awal
pembelajaran dengan tes individu kemudian hasilnya dibagi dengan jumlah
anggota kelompok untuk memperoleh tingkat penghargaan kelompok.Ada
tiga macam tingkatan penghargaan diberikan dalam model pembelajaran
kooperatif.Menurut Slavin, Robert E (2009: 160) dapat dilihat pada tabel.
Tabel 3
Tingkat Penghargaan Kelompok
Kriteria (Rata-rata Tim) Penghargaan
15 TIM BAIK
16 TIM SANGAT BAIK
17 TIM SUPER
Sumber: Slavin, Robert E. (2009 : 160)
Metode Pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining
merupakan metode pembelajaran dimana siswa belajar mempresentasikan
ide/pendapat pada rekan siswa lainnya Suprijono, Agus (2010,128)
menyatakan bahwa langkah-langkah metode pembelajaran kooperatif Student
Facilitator and Explaining :
a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai/KD.b. Guru mendemonstrasikan/menyajikan garis-garis besar
materi pembelajaran.
c. Memberikan kesempatan siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan/peta konsep. Hal ini bisa dilakukan secara bergiliran,
d. Guru menyimpulkan ide/pendapat dari siswa.e. Guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu,
Penutup.
Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining
adalah suatu metode yang mendasarkan pada penugasan tiap-tiap kelompok
dimana guru mendemontrasikan atau menyajikan secara garis besar materi
yang akan disampaikan untuk selanjutnya memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya melalui peta konsep atau
bagan.
2. Pembelajaran Langsung
Pembelajaran langsung biasa disebut juga pembelajaran konvensional.
Masriyah (2002: 1) memandang bahwa pembelajaran yang selama ini sering
dilakukan oleh guru pada umumnya disebut pembelajaran langsung. Masih
menurut Masriyah (2002) bahwa pembelajaran langsung adalah suatu
pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan
dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi
selangkah..Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Arends
(Trianto, 2007: 29) yang menyatakan
Model pembelajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah.
Menurut Widaningsih, Dedeh (2010b:150), “Pengetahuan prosedural
yaitu pengetahuan mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Sedangkan
pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan tentang sesuatu”. Menghapal rumus
dalam pembelajaran matematika merupakan contoh pengetahuan deklaratif.
Pengetahuan bagaimana memperoleh rumus tersebut merupakan pengetahuan
prosedural.
Pembelajaran langsung menurut Kardi (Trianto, 2007:30)
“Pembelajaran langsung dapat berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan
atau praktek, dan kerja kelompok”. Pengajaran langsung digunakan untuk
menyampaikan pelajaran yang ditransformasikan langsung oleh guru kepada
siswa. Penyusunan waktu yang digunakan untuk mencapai tujuan
pembelajaran harus seefisien mungkin, sehingga guru dapat merancang
dengan tepat waktu yang digunakan.
Ciri-ciri model pembelajaran langsung Depdiknas (Widaningsih,
Dedeh, 2010:151) adalah sebagai berikut :
a. Adanya tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar. b. Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran. c. Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang mendukung
berlangsung dan berhasilnya pengajaran.
Sintaks model pembelajaran langsung Depdiknas (Widaningsih,
Dedeh, 2010:152) disajikan dalam lima tahap, seperti ditunjukkan pada tabel
berikut :
Tabel 4
Sintaks Pengajaran LangsungFase Peran Guru
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran khusus, informasi latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar.
Fase 2
Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan
Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasi tahap demi tahap.
Fase 3
Membimbing Pelatihan
Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal.
Fase 4
Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik.
Fase 5
Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan
Guru mempersiapkan kesempatan melakukan pelatihan lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari-hari.
Menurut Depdiknas (Widaningsih, Dedeh, 2010:152), terdapat ciri
utama yang dapat terlihat pada saat melaksanakan model pembelajaran
langsung adalah sebagai berikut :
a. Tugas perencanaan.1) Merumuskan tujuan pengajaran.2) Memilih isi.
Guru harus mempertimbangkan berapa banyak informasi yang akan diberikan pada siswa dalam kurun waktu tertentu. Guru harus selektif dalam memilih konsep yang diajarkan dengan model pengajaran langsung.
3) Melakukan analisis tugas.Menganalisis tugas, akan membantu guru menentukan dengan tepat apa yang perlu dilakukan siswa untuk melaksanakan keterampilan yang akan dipelajari. Ini bukan berarti bahwa seorang guru harus melakukan analisis tugas untuk setiap keterampilan yang diajarkan.Hal ini disebabkan karena waktu yang tersedia terbatas.
4) Merencanakan waktuGuru harus memperhatikan bahwa waktu yang disediakan sepadan dengan kemampuan dan bakat siswa, dan memotivasi siswa agar mereka tetap melakukan tugas-tugasnya dengan perhatian yang optimal. Mengenal secar baik siswa-siswa yang akan diajar, akan bermanfaat sekali untuk mengira-ngira alokasi waktu yang dibutuhkan dalam pembelajaran.
b. Penilaian pada pembelajaran langsungGrounlund (Widaningsih,Dedeh,2011: 77) mengemukakan 6 prinsip dasar dapat membimbing guru dalam merancang sistem penilaian sebagai berikut : 1) Sesuai dengan tujuan pengajaran 2) Mencakup semua tugas pengajaran 3) Menggunakan soal tes yang sesuai4) Buatlah soal tes yang sesuai 5) Buatlah soal sevalid dan sereliabel mungkin 6) Memanfaatkan hasil tes untuk memperbaiki proses belajar
mengajar berikutnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran langsung
merupakan pembelajaran yang menuntut keaktifan guru karena materi
pelajaran diajarkan langsung kepada siswa. Siswa tidak dituntut untuk
menemukan materi karena materi pelajaran diajarkan seakan-akan sudah jadi.
Pembelajaran langsung disajikan melalui lima tahap yaitu menyampaikan
tujuan dan mempersiapkan siswa, mendemonstrasikan pengetahuan dan
keterampilan, membimbing pelatihan, mengecek pemahaman dan
memberikan umpan balik, serta memberikan kesempatan untuk pelatihan
lanjutan dan penerapan.
3. Teori Belajar yang Mendukung Metode Pembelajaran Kooperatif Student Facilitator And Explaining
a. Teori belajar Kognitif
Dalam perspektf teori kogntif Suprijono, Agus (2010:22) menyatakan
“Belajar merupakan pristiwa mental, bukan peristiwa behavioral meskipun
hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata hampir dalam setiap
peristiwa belajar”.
Perilaku individu bukan semata-mata respons terhadap yang ada
melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh
otaknya. Belajar adalah proses aktif untuk mencapai, mengingat dan
menggunakan pengetahuan. Untuk itu teori belajar kognitif mendukung
pembelajaran metode pembelajaran kooperatif Student Facilitator and
Explaining.
b. Teori Vigotsky
Vygotsky (Ratnaningsih, 2003:44) mengatakan bahwa “Pembelajaran
terjadi saat anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal (zone of
proximal development)”. Menurut teori ini siswa mempunyai dua tingkat
perkembangan yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan
potensial. Tingkat perkembangan aktual didefinisikan sebagai pemfungsian
intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk belajar sesuatu yang
khusus atas kemampuannya sendiri. Sedangkan tingkat perkembangan
potensial sebagai tingkat seorang individu dapat memfungsikan atau
mencapai tingkat itu dengan bantuan orang lain seperti guru, orang tua, atau
teman sejawat yang kemampuannya lebih tinggi. Dengan demikian, tingkat
perkembangan potensial dapat disalurkan melalui model pembelajaran
kooperatif.
Ide penting lain yang diturunkan Vygotsky adalah scaffolding, yaitu
memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada
anak untuk mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu. Bantuan
tersebut berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada
langkah-langkah pemecahan, memberi contoh, ataupun hal-hal lain yang
memungkinkan pelajar tumbuh mandiri.
Dalam teori Vygotsky dijelaskan ada hubungan langsung antara
domain kognitif dengan sosial budaya. Kualitas berpikir siswa dibangun di
dalam ruangan kelas, sedangkan aktivitas sosialnya dikembangkan dalam
bentuk kerja sama antara pelajar dengan pelajar lainnya yang lebih mampu
dibawah bimbingan orang dewasa dalam hal ini guru.
Teori Vygotsky menghendaki interaksi dan komunikasi baik antara
siswa dengan siswa sehingga terbentuk masyarakat belajar melalui kelompok-
kelompok kecil. Hal ini sesuai dengan salah satu komponen pembelajaran
dengan metode Student Facilitator and Explaining.
4. Teori Belajar yang Mendukung Pembelajaran Langsung
Teori belajar yang mendukung model pembelajaran langsung adalah
teori Ausubel. Teori Ausubel dikenal dengan belajar bermaknanya dan
pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Tim MPKBM (2001:35)
menyatakan,
Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu untuk dapat membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal siswa menghafal materi yang sudah dipelajarinya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.
Menurut Ausubel (Dahar, 1989: 110) belajar dapat diklasifikasikan ke
dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi
atau materi pelajaran disajikan pada siswa melalui penerimaan atau
penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat
mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang ada.
Ausubel (Tim MKPBM, 2001:35) mengemukakan, “Metode
ekspositori adalah metode mengajar yang paling baik dan bermakna”. Metode
ekspositori adalah metode yang paling cocok digunakan pada model
pembelajaran langsung yang pembelajarannya berpusat pada guru.
Dalam pelaksanaan pembelajaran langsung, guru memberikan konsep-
konsep dan setiap konsep yang diberikan disertai dengan contoh soal. Selain
itu, dalam model pembelajaran langsung pengaturan awal mengarahkan siswa
ke materi yang akan dipelajari dan menolong siswa untuk mengingat kembali
materi yang sudah dipelajari untuk menanamkan pengetahuan baru. Dalam
pelaksanaan pembelajaran, hal ini disebut apersepsi.
Dari uraian tersebut, teori belajar Ausubel mendukung pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran langsung. Dalam pembelajaran
langsung, guru memberikan materi kepada siswa lalu siswa menerimanya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Ausubel tentang belajar menerima.
5. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Suatu masalah biasanya memuat situasi yang mendorong seseorang
untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa
yangharus dikerjakan untuk menyelesaikannya.
Pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah matematika
merupakan pertanyaan yang harus dijawab. Namun tidak semua pertanyaan
merupakan masalah. Pendekatan pemecahan masalah matematik merupakan
salah satu dari beberapa macam pendekatan matematik yang sangat penting,
karena dalam proses penyelesaiannya siswa harus memiliki banyak
pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah untuk memperoleh
pengalaman kemampuan dalam memecahkan masalah matematik.
Langkah-langkah dalam memecahkan masalah yang digunakan dalam
penelitian ini adalah langkah-langkah Polya. Menurut George Polya
(Wardani, Sri. 2002:12) ada empat langkah dalam menyelesaikan pemecahan
masalah yang harus dilakukan yaitu: a. memahami masalah (understanding
the problem), b. membuat rencana pemecahan (divising a plan), c. melakukan
penghitungan (carrying out the plan) dan d. memeriksa kembali hasil yang
diperoleh (looking back).
6. Kemampuan Berpikir Kritis
a. Pengertian Berpikir Kritis
Beberapa ahli memberikan pengertian tentang berpikir diantaranya,
Suryabrata (Ratnaningsih, 2003: 17) berpendapat bahwa berpikir merupakan
proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses dan jalannya.
Selain itu, Dahar (1996) mengemukakan bahwa berpikir merupakan ciri
manusia (homo sapien) dari semenjak lahir sampai akhir hidupnya.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1991:767) berpikir adalah
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan sesuatu.
Menurut Lupito (1996) berpikir merupakan aktifitas mental yang disadari dan
diarahkan untuk maksud tertentu. Sedangkan Beyer (1987:16) menyatakan,
“Thinking, in short, is the mental process by wich individuals make sense out
of experience”. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka maksud
yang mungkin dicapai dari berpikir adalah memahami, mengambil keputusan,
merencanakan, memecahkan masalah, dan menilai tindakan.
Dalam kaitannya dengan proses yang terjadi pada saat berpikir,
Marpaung dalam Ratnaningsih (2003: 17) memberikan gambaran bahwa
proses berpikir merupakan proses yang dimulai dari penemuan informasi
(dari luar atau diri siswa), pengolahan, penyimpanan dan memanggil kembali
informasi dari ingatan siswa. Dengan demikian dapat dikatakan, pada
prinsipnya selama berpikir manusia mengkaji dan mengolah berbagai
gagasan, konsep, pengalaman dan peristiwa yang dialaminya agar ia sampai
pada suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut diharapkan dapat
mengantarkannya pada kebenaran. Dengan kata lain, melalui berpikir
manusia dapat sampai pada kebenaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Poedjiadi (2011: 25) yang menyatakan bahwa berpikir adalah kegiatan
akal untuk mengolah pengetahuan yang diterima melalui panca indera dan
ditujukan untuk mencapai kebenaran.
Menurut Wijaya (1999), pengembangan kemampuan berpikir menjadi
modal utama bagi siswa dalam menghadapi kehidupan di masa kini dan masa
yang akan datang. Dalam dunia pendidikan, siswa tidak terlepas dari kegiatan
berpikir. Berpikir merupakan kegiatan yang lumrah bagi siswa. Dalam
mengerjakan tugas pasti menggunakan pikiran untuk memdapakan hasil yang
terbaik. Contohnya, mengerjakan tugas/pekerjaan rumah dan mengerjakan
soal pada saat ujian yang membutukan pemikiran yang sangat baik dalam
merangkai kata-kata. Juga dalam kehidupan sosial yang tidak lepas dari
pemikiran siswa.
Dalam pendidikan, berfikir kritis diartikan sebagai pembentukan
kemampuan dalam aspek logika seperti kemampuan memberikan
argumentasi, silogisme dan penalaran yang proposional. Logika sangat
bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan manusia berfikir rasional dan
kritis.
Berpikir kritis adalah suatu proses dimana seseorang atau individu
dituntut untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi informasi untuk
membuat sebuah penilaian atau keputusan berdasarkan kemampuan,
menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Beberapa ahli memberikan
pengertian tentang berpikir kritis diantaranya, Norris (Fowler, 1996: 1)
medefinisikan berpikir kritis sebagai pengambilan keputusan secara rasional
apa yang diyakini dan dikerjakan. Sedangkan Huitt (1998: 4) mengemukakan
bahwa Critical thinking is disciplined mental activity of making judgments
that can guide the development of beliefs and taking actions. Dari pengertian
tersebut menunjukkan bahwa berpikir kritis berarah pada pengambilan
keputusan mengenai tindakan dan keyakinan yang akan diambil.
Memperhatikan pengertian berpikir kritis di atas, secara umum dapat
diartikan seorang yang berfikir kritis harus selalu melihat ke depan, seseorang
tidak boleh membiarkan berpikir menjadi sesuatu yang rutin atau standar.
Seorang yang berpikir dengan cara kritis akan melihat setiap masalah dengan
sudut yang selalu berbeda meskipun obyeknya sama, sehingga dapat
dikatakan dengan tersedianya pengetahuan baru seorang yang berfikir kritis
harus selalu melakukan sesuatu dan mencari apa yang paling efektif dan
ilmiah dan memberikan hasil yang lebih baik untuk kesejahteraan diri
maupun orang lain.
Proses berpikir ini dilakukan sepanjang waktu sejalan dengan
keterlibatan manusia dalam pengalaman baru dan menerapkan pengetahuan
yang dimilikinya menjadi lebih mampu untuk membetuk asumsi, ide-ide dan
membuat simpulan yang valid. Semua proses tersebut tidak terlepas dari
sebuah proses berpikir dan belajar. Jadi, berpikir kritis adalah kemampuan
memberi alasan secara terorganisasi dan mengevaluasi kualitas suatu alasan
secara sistematis. Berpikir kritis artinya diarahkan, dikendalikan, diawasi oleh
diri sendiri sekaligus merupakan koreksi terhadap diri sendiri. Semua hal
tersebut dilakukan secara teliti karena dikendalikan oleh berbagai tolok ukur
yang berasal dari pemikiran yang berkualitas. Hal ini berkaitan dengan
kemampuan komunikasi yang baik dan kemampuan menyelesaikan masalah
yang dimiliki manusia.
b. Berpikir Kritis dan Indikator-Indikatornya
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir tingkat
tinggi. Beberapa ahli mendefinisikan pengertian dengan cara yang berbeda-
beda. Hal ini sesuai dengan pendapat Cotton (1991) yang menyatakan bahwa
tidak ada kesepakatan secara universal mengenai pengertian berpikir kritis.
Menurut pendapat Ennis (1996:4) berpikir kritis didefinisikan sebagai
cara berpikir reflektif dan beralasan yang difokuskan pada pengambilan
keputusan tentang apa yang harus diyakini dan dikerjakan. Reflektif artinya
mempertimbangkan atau memikirkan kembali segala sesuatu yang
dihadapinya sebelum mengambil keputusan. Beralasan artinya memiliki
keyakinan dan pandangan yang didukung oleh bukti yang tepat, aktual,
cukup, dan relevan.
Menurut Ennis (dalam Baron dan Sternberg, 1987: 12-15) terdapat
dua belas indikator berpikir kritis yang dikelompokkan dalam lima
kemampuan berpikir yaitu :
1. Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification)2. Membangun keterampilan dasar (basic support)3. Membuat kesimpulan (inferring)4. Membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification)5. Mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics)
Kelima kelompok indikator berpikir tersebut diuraikan lebih lanjut
pada tabel berikut :
Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
Kemampuan Berpikir Kritis
Sub Kemampuan Berpikir Kritis
Penjelasan
1. Memberikan penjelasan sederhana
1. Memfokuskan pertanyaan
a. Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaanb. Mengidentifikasi kriteria-kriteria untuk
mempertimbangkan jawaban yang mungkinc. Menjaga kondisi pikiran
2. Menganalisis argumen
a. Mengidentifikasi kesimpulan b. Mengidentifikasi alasan yang dinyatakan
(eksplisit)c. Mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan
(implisit)d. Mengidentifikasi ketidakrelevanan dan
kerelevanane. Mencari persamaan dan perbedaanf. Mencari struktur dari suatu argumeng. Merangkum
3. Bertanya dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan
a. Mengapa b. Apa intinya, apa artinyac. Apa contohnya dan apa yang bukan contohd. Bagaimana menerapkannya dalam kasus
tersebute. Perbedaan apa yang membedakannyaf. Akankah anda menyatakannya lebih dari itu
2. Membangun keterampilan dasar
1. Mepertimbangkan kredibilitas (kriteria suatu sumber)
a. Ahli b. Tidak adanya konflik interestc. Kesepakatan antar sumberd. Reputasi e. Menggunakan prosedur yang adaf. Mengetahui resikog. Kemampuan memberi alasanh. Kebiasaan hati-hati
2. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi
a. Ikut terlibat dalam menyimpulkanb. Dilaporkan oleh pengamat sendiric. Mencatat hal-hal yang diinginkan d. Penguatan dan kemungkinan penguatan e. Kondisi akses yang baikf. Penggunaan teknologi kompeteng. Kepuasan observer atas kredibilitas kriteria
3. Membuat kesimpulan
1. Melakukan dan mempertimbangkan deduksi
a. Kelompok yang logisb. Kondisi yang logisc. Interpretasi pernyataan
2. Melakukan dan mempertimbangkan induksi
a. Membuat generalisasib. Membuat kesimpulan dan hipotesis
3. Membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan
a. Latar belakang faktab. Konsekuensi c. Penerapan prinsip-prinsipd. Memikirkan alternatife. Menyeimbangkan,memutuskan
4. Membuat penjelasan lebih lanjut
1. Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan nilai keputusan
Ada tiga dimensi:
a. Bentuk: sinonim, klasifikasi, rentang, ekspresi yang sama, operasional, contoh dan non contoh
b. Strategi definisi (tindakan mengidentifikasi persamaan)
c. Konten (isi)2. Mengidentifikasi
istilah dan mempertimbangkan definisi
a. Penalaran secara implisitb. Asumsi yang diperlukan, rekonstruksi argumen
5. Mengatur strategi dan taktik
1. Memutuskan suatu tindakan
a. Mendefinisikan masalahb. Menyelesaikan kriteria untuk membuat solusic. Merumuskan alternatif yang memungkinkan d. Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan
secara tentatife. Mereviewf. Memonitor implementasi
2. Berinteraksi dengan orang lain
7. Berpikir Kritis dalam Matematika
Cara berpikir kritis berbeda dalam disiplin ilmu yang satu dengan
yang lain. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan dasar yang digunakan dalam
setiap disiplin ilmu tidak sama. Agar dapat melaksanakan berpikir kritis
dalam disiplin ilmu tertentu, menurut Poedjiadi (1999), kita harus terlebih
dahulu menguasai terminologi, konsep-konsep, dan metodologi disiplin ilmu
tersebut.
Matematika sebagai suatu disiplin ilmu memiliki karakteristik
yang berbeda dengan disiplin ilmu lainnya. Matematika mempelajari tentang
pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan. Hal itu dimulai dari
unsur-unsur yang tidak terdefinisikan kemudian ke unsur yang didefinisikan,
ke aksioma/postulat, dan akhirnya pada teorema (Ruseffendi, 1980: 50).
Sementara Soleh (1998) menyebutkan bahwa ada lima ciri yang
membedakan matematika dari disiplin ilmu lain. Kelima ciri matematika itu
adalah objek pembicaraannya abstrak, pembahasannya menggunakan tata
nalar, konsep-konsepnya hierarkis dan konsiten, adanya perhitungan dan
pengerjaan (operasi), dan dapat dialihgunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Matematika tersusun mulai dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan,
berkembang ke unsur-unsur yang didefinisikan, terus ke aksioma atau
postulat sampai ke dalil-dalil atau teorema. Komponen-komponen
matematika ini membentuk suatu sistem yang saling berhubungan dan
terorganisir dengan baik. Menurut Suria Sumantri (1998), dalam matematika
kebenaran dibuktikan dengan jalan memeriksa konsistensi suatu konsep
dengan konsep-konsep sebelumnya yang telah dianggap benar. Kebenaran
matematika tidak tergantung pada pembuktian secara empiris melainkan pada
pembuktian secara deduktif.
Mengingat karakteristik matematika yang tidak sama dengan disiplin
lainnya, maka definisi bepikir kritis dalam matematika tentunya harus sesuai
dengan konsepsi dan metodologi matematika. Selain harus memuat
komponen berpikir kritis, definisi tersebut harus memuat karakteristik
(terminologi, konsep-konsep, dan metodologi) matematika. Salah satu
definisi yang memuat kedua pernyataan itu dikemukakan oleh Glazer (2002)
yang menyatakan berpikir kritis dalam matematika adalah ketrampilan
kognitif dan disposisi untuk menggabungkan pengetahuan, penalaran, serta
strategi kognitif dalam membuat generalisasi, membuktikan, dan
mengevaluasi situasi matematika yang tidak dikenali dengan cara reflektif.
Glazer menyebutkan syarat-syarat untuk berpikir kritis dalam
matematika, syarat-syarat yang dimaksud adalah:
1. Adanya situasi yang tidak dikenal atau akrab sehingga seorang
individu tidak dapat secara langsung mengenali konsep
matematika atau mengetahui bagaimana menentukan solusi suatu
masalah.
2. Menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya, penalaran
matematika, dan strategi kognitif.
3. Menghasilkan generalisasi, pembuktian dan evaluasi.
4. Berpikir reflektif yang melibatkan pengkomunikasian suatu solusi,
rasionalisasi argumen, penentuan cara lain untuk menjelaskan
suatu konsep atau memecahkan suatu masalah, dan pengembangan
studi lebih lanjut.
8. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis melalui Pembelajaran
Matematika
Matematika mempunyai peranan beragam pengertian tergantung
bagaimana seseorang memandang dan memanfaatkan matematika dalam
kegiatan hidupnya. Dalam kegiatan hidupnya setiap orang akan terlibat
dengan matematika, hal ini menggambarkan karakteristik matematika sebagai
suatu kegiatan manusia atau “mathematics as human activity”. Pandangan
matematika sebagai suatu kegiatan manusia mamuat matematika sebagai
suatu proses yang aktif, dinamik dan generatif, serta sebagai ilmu yang
mengembangkan sikap berpikir kritis, objektif dan terbuka (Sumarmo, 2003).
Oleh karena itu peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilakukan
melalui kegiatan pembelajaran matematika.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis telah terbukti dapat dilakukan
seperti apa yang diungkapkan Cotton (1991) bahwa meskipun banyak orang
percaya kita lahir dengan atau tanpa kemampuan berpikir kritis, riset telah
memperlihatkan kemampuan berpikir kritis dapat diajarkan dan dapat
dipelajari. Untuk mengajarkan atau memfasilitasi siswa agar kemampuan
berpikir kritisnya berkembang, maka diperlukan situasi pembelajaran yang
dirancang secara tepat.
Pembelajaran yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kritis harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan
eksplorasi, baik melalui pemberian soal yang tidak bersifat prosedural
ataupun pemberian materi yang tidak secara langsung kepada siswa. Artinya
siswa harus dilibatkan secara aktif dalam menemukan konsep. Hal ini sejalan
dengan pendapat Glazer (2004:6) bahwa kondisi untuk berpikir kritis dalam
matematika harus memuat:
a. Situasi yang tidak rutin (tidak biasa) sehingga individu tidak dapat
dengan cepat memahami konsep matematika atau mengetahui
bagaimana menentukan solusi persoalan ;
b. Penggunaan pengetahuan awal, penalaran dan strategi kognitif;
c. Generalisasi, pembuktian dan evaluasi; berpikir reflektif yang
melibatkan pengkomunikasian solusi dengan penuh pertimbangan,
membuat makna tentang jawaban atau argumen yang masuk akal,
dan atau membangkitkan perluaan studi selanjutnya.
Pendapat lain mengenai pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis, menurut Zohar dkk (dalam Maulana, 2006: 24)
dapat dilakukan melalui pembelajaran yang bersifat student-centered, yakni
pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam pembelajaran serupa ini, guru
memberikan kebebasan berpikir dan keleluasaan bertindak kepada siswa
dalam memahami pengetahuan serta memecahkan masalahnya. Guru
memberikan keleluasaan seluas-luasnya kepada siswa untuk menemukan
cara-cara baru. Dengan aktifnya siswa belajar diharapkan siswa tidak hanya
mengingat fakta-fakta, aturan-aturan dan prosedur-prosedurnya, akan tetapi
mereka dapat mengerjakan dan menyelesaikan masalah matematika secara
kritis dan kreatif.
Pembentukan suasana yang kondusif untuk mengajarkan berpikir
kritis kepada siswa seperti yang dikemukakan oleh Cotton (1991) adalah
dengan mengatur lingkungan kelas agar dapat berperan secara optimal,
merencanakan aktivitas pembelajaran yang baik, memberikan penghargaan
pada setiap respon yang disampaiakan siswa, bersikap fleksibel terhadap
jawaban atau pendapat siswa, menerima perbedaan individual, membuat
model sesuai kebutuhan, memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, dan menggunakan model
mengajar yang bervariasi.
Applebaum (1999) menyatakan bahwa untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis didalam proses belajar mengajar matematika
disekolah, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Meminta siswa untuk menemukan algoritma serta selalu mencari
cara lain untuk menyelesaikan masalah;
b. Membangun suatu aktivitas untuk memfasilitasi siswa untuk
meningkatkan dan menyempurnakan kemampuan berpikir kritis
yaitu dengan cara : membandingkan, membedakan, membuat
konjektur, membuat induksi, membuat generalisasi, membuat
spesialisasi, membuat klasifikasi, mengelompokan, melakukan
proses deduksi, membuat visualisasi, mengurutkan, mambuat
prediksi, membuat validasi, membuktikan, menganalisis,
mengevaluasi, dan membuat pola;
c. Meminta siswa untuk menentukan hubungan fungsional diantara
satu variabel dengan variabel lain;
d. Menggunakan bernagai cara dalam mempelajari suatu topik;
e. Meminta siswa mempelajari bagaimana matematika disajikan atau
dipresentasikan beserta alasannya.
f. Mengumpulkan data yang ditemukan siswa, fakta-fakta yang
mereka kumpulkan dalam lebih dari dua cara, dan konjektur-
konjektur atau argument yang mereka percaya merupakan sentral
dari ringkasan materi yang mereka pelajari untuk dijadikan bahan
diskusi lebih lanjut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir
kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Guru
memegang peranan penting dalam mendesain pembelajaran matematika yang
memberikan kesempatan luas kepada siswa untuk menumbuh kembangkan
kemampuan berpikir kritis. Peran guru dalam memberikan stimulus dan
memelihara lingkungan berpikir kritis merupakan hal yang krusial. Tanpa
adanya peranan dari guru, kemampuan berpikir kritis tersebut tidak akan
berkembang secara maksimal. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka
dalam penelitian ini kemampuan berpikir kritis yang akan dikaji meliputi
kemampuan mengidentifikasi konsep, menggeneralisasi, serta membuat
deduksi.
F. Kerangka Berpikir
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu menghadapi banyak masalah.
Permasalahan-permasalahan itu tentu saja tidak semuanya merupakan
permasalahan matematis, namun matematika memiliki peranan yang sangat
sentral dalam menjawab permasalahan keseharian itu. Oleh karena itu cukup
beralasan jika pemecahan masalah menjadi “trend” dalam pembelajaran
matematika belakangan ini.
Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika
yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran siswa dimungkinkan
memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang
sudah dimilikinya untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat
tidak rutin.
Beberapa studi tentang kemampuan berpikir kritis matematis tingkat
tinggi mengimplementasikan pendekatan pembelajaran tidak langsung,
pendekatan gabungan langsung dan tidak langsung. Hasil studinya
menunjukkan bahwa pendekatan tidak langsung dan pendekatan gabungan
secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan berpikir
matematis tingkat tinggi siswa disbanding pendekatan langsung.
Maulana (2006: 126) menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir
kritis mahasiswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan
menggunakan pendekatan metakognitif lebih baik secara signifikan
dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar secara konvensional.
Suriadi (2006) menyimpulkan bahwa kemampuan pemahaman dan
berpikir kritis matematis yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan
discovery lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang belajar
secara konvensional.
Dalam penelitian ini masalah yang akan dikaji berkaitan dengan
penggunaan metode Student Facilitator and Explaining melalui Pembelajaran
Kooperatif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir
kritis matematis siswa SMA. Hal ini dilakukan karena belum ada penelitian
sebelumnya yang mengkaji masalah tersebut.
G. Definisi Operasional
Agar tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai hal-hal yang
dimaksudkan dalam penelitian ini, maka penulis memberikan definisi
operasional sebagai berikut:
1. Metode Pembelajaran Student Facilitator and Explaining
Metode Pembelajaran Student Facilitator and Explaining merupakan
metode pembelajaran dimana siswa belajar mempresentasikan ide/pendapat
pada rekan siswa lainnya. Metode ini diharapkan siswa mampu menerangkan
dengan bagan atau peta konsep. Selain itu juga metode ini merupakan tipe
model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok
kecil dengan jumlah anggota dari tiap kelompok 4-5 orang siswa secara
heterogen. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian
materi, kegiatan kelompok, dan penghargaan kelompok.
2. Pembelajaran Langsung
Pembelajaran langsung merupakan pembelajaran yang menuntut
keaktifan guru karena materi pelajaran diajarkan langsung kepada
siswa.Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi karena materi pelajaran
diajarkan seakan-akan sudah jadi. Pembelajaran langsung disajikan melalui
lima tahap yaitu menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa,
mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan, membimbing pelatihan,
mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik, dan memberikan
kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan.
3. Kemampuan Pemecahan Masalah
Kemampuan pemecahan masalah matematik adalah kemampuan
menggunakan informasi dan pengetahuan dalam upaya mencari jalan keluar
dari suatu permasalahan matematik yang dilakukan untuk mencapai tujuan
tertentu dengan langkah penyelesaiannya menggunakan fase penyelesaian
menurut polya yang terdiri dari: memahami masalah, merencanakan
penyelesaian, melakukan perhitungan dan memeriksa kembali hasil terhadap
semua langkah yang telah dikerjakan. Kemampuan pemecahan masalah
dilihat dari tes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.
4. Pengaruh penggunaan metode pembelajaran Student Facilitator and Explaining.
Penggunaan metode pembelajaran Student Facilitator and
Explaining dikatakan mempunyai pengaruh positif jika kemampuan
pemecahan masalah matematik siswa yang menggunakan metode
pembelajaran Student Facilitator and Explaining lebih baik dari siswa yang
menggunakan pembelajaran langsung.
5. Kesulitan Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematis
Kesulitan dalam matematika dikategorikan dalam tiga jenis yaitu :
kesulitan dalam mempelajari konsep, kesulitan dalam menerapkan konsep,
kesulitan dalam menyelesaikan masalah verbal. Siswa dianggap mengalami
kesulitan pada tahap tertentu jika pada tahap itu siswa memperoleh nilai
kurang dari X mnimun atau tidak memberikan jawaban dan siswa dianggap tidak
mengalami kesulitan jika siswa memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan
X minimum.Dalam penelitian ini skor maksimum tiap tahap bervariasi untuk tiap
tahap pokok uji.
H. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan metode Student Facilitator and
Explaining melalui pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa
yang memperoleh pembelajaran langsung.
2. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan metode Student Facilitator and Explaining melalui
pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran langsung.
3. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh
pembelajaran kooferatif dengan metode Student Facilitator and
Explaining.
4. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis
siswa kelompok atas, sedang dan bawah yang memperoleh pembelajaran
kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining.
5. Terdapat korelasi positif antara pemecahan masalah matematik dan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa melalui pembelajaran
kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining.
I. Penelitian yang Relevan
Beberapa studi tentang hasil penelitian terdahulu yang mendukung
permasalahan penelitian, diantaranya upaya peningkatkan implementasi siswa
ditinjau dari kemampuan awal siswa, kemampuan terhadap komunikasi
matematik, kemampuan pemahaman, pemecahan masalah dan berpikir kritis
melalui berbagai macam model pembelajaran.
Sejumlah studi (Wardani, 2002; Ratnaningsih, 2003; dan Prabawati,
2011) secara umum melaporkan hasil belajar matematika dalam berbagai
aspek berpikir tingkat tinggi melalui berbagai model pembelajaran tergolong
antara cukup dan baik.
Arum, Handini (2010) menyimpulkan bahwa kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa dapat meningkat setelah dilaksanakan
pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe Think-Pair-Square
pada pokok bahasan bangun ruang.
Berkaitan dengan pembelajaran yang menggunakan metode
pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining, hasil penelitian
Lesrati (2011) menunjukkan bahwa pembelajaran dengan metode Student
Facilitator and Explaining dapat meningkatkan impelemtasi siswa jika
ditinjau dari kemampuan awal siswa.
Suriadi (2006) menyimpulkan bahwa kemampuan pemahaman dan
berpikir kritis matematis yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan
discovery lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang belajar
secara konvensional.
Selanjutnya penelitian yang diajukan Mufrika, Tika (2010) masih
dengan model pembelajaran koopertaif metode Student Facilitator and
Explaining diperoleh nilai thit kemampuan komunikasi matematika siswa
yang diajarkan dengan metode Student Facilitator and Explaining (SFE) lebih
tinggi dan signifikan daripada rata-rata kemampuan komunikasi matematika
siswa yang diajarkan dengan metode konvensional.
J. Desain Penelitian
Dalam menjawab pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu untuk melihat
sejauh mana pengaruh penggunaan metode Student Facilitator and
Explaining melalui pembelajaran kooperatif terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMK,
maka penelitian ini didesain dalam studi eksperimen dengan desain berbentuk
randomized pre test-post test control group design.
Penelitian ini akan mengambil sampel sebanyak dua kelas yang
homogen sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan pembelajaran
berbeda. Kelas eksperimen menggunakan pembelajaran dengan metode
Student Facilitator and Explaining dan kelas kontrol menggunakan
pembelajaran langsung. Dengan demikian, desain penelitiannya dapat
digambarkan (Russefendi, E.T.,2005:45) sebagai berikut:
A O1 X1 O2
A X2 O1 - O2
Keterangan :
A = Pemilihan sampel secara acak kelas
O1 = Tes awal (pretes)
O2 = Tes akhir (Postes)
X = Perlakuan berupa pembelajaran kooperatif dengan metode
Student Facilitator and Explaining.
K. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Arikunto Suharsimi (2010:130) “Populasi adalah keseluruhan subjek
penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam
wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi”.
b. Sampel
Sudjana (2005:6) berpendapat, “Sampel merupakan bagian dari
populasi, seluruh populasi dianggap semua dan mempunyai kesempatan yang
sama pula untuk dijadikan sampel dari penelitian“. Sampel dalam penelitian
ini akan diambil sebanyak dua kelas berdasarkan random menurut kelas.
Alasan menggunakan sampel random menurut kelas karena kemampuan
siswa setiap kelas memiliki karakteristik yang sama yaitu terdiri dari siswa
berkemampuan kurang, sedang dan pandai.
L. Instrumen Penelitian
Menurut Arikunto, Suharsimi ( 2006:160) “Instrumen penelitian
adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan
data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih
cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah”. Instrumen
digunakan untuk memperoleh data yang digunakan untuk menjawab
penelitian.
Penelitian ini melibatkan dua jenis instrumen yaitu tes dan non-tes.
Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari seperangkat tes pemecahan masalah
matematik dan tes berpikir kritis matematis. Sedangkan instrumen dalam
bentuk non-tes melibatkan skala sikap siswa. Masing-masing bentuk tes di
atas diuraikan sebagai berikut:
1. Tes Pemecahan Masalah
Soal tes pemecahan masalah di dalam penelitian ini berbentuk soal
uraian sebanyak 4 soal. Tes pemecahan masalah yang berbentuk uraian
bertujuan untuk mengetahui proses berfikir, keterkaitan, dan sistematika
pekerjaan siswa.
Di dalam penskoran pemecahan masalah terdapat poin-poin atau skor
pada setiap langkah yang dikerjakan. Pada pedoman penskoran pemecahan
masalah yang dikemukakan, Shcoen dan Ochmke (Wardani, Sri, 2002:16)
bahwa setiap langkah memiliki skor yang berbeda.
Tabel
Pedoman Pemberian Skor Pemecahan Masalah
SkorMemahami masalah
Merencanakan penyelesaian
Melakukan perhitungan
Memeriksa kembali hasil
0
Salah menginterpretasikan/salah sama sekali
Tidak ada rencana, membuat rencana yang tidak relevan
Tidak melakukan perhitungan
Tidak ada pemeriksaan atau tidak ada keterangan lain
1 Salah menginterpretasikan soal, mengabaikan soal
Membuat rencana yang benar tapi salah dalam hasil, tidak ada hasil
Melakukan prosedur yang benar dan mungkin menghasilkan jawaban benar tapi salah
Ada pemeriksaan tetapi tidak tuntas
perhitungan
2
Memahami masalah soal selengkapnya
Membuat rencana yang benar dan mendapatkan hasil yang benar
Melakukan proses yang benar dan mendapatkan hasil yang benar
Pemeriksaan dilakukan untuk melihat kebenaran proses
3
Membuat rencana yang benar tetapi belum lengkap
4
Membuat rencana sesuai dengan prosedur dan pengaruh pada solusi yang benar
Skor maksimal 2
Skor maksimal 4
Skor maksimal 2
Skor maksimal 2
Sumber: Wardani, Sri (2002 : 16)
2. Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Tes kemampuan berpikir kritis pada penelitian ini terdiri dari 6 soal
berbentuk uraian. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa
dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin.
Kriteria pemberian skor tiap butir soal dalam tes ini menurut pedoman
penskoran soal-soal, dimana setiap butir soal mempunyai bobot nilai
maksimal 4 dan minimal 0. Adapun kriteria penskoran mengacu pada teknik
penskoran Hancock (1995) seperti dijelaskan pada tabel berikut ini:
Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Keterangan jawaban Nilai
1. Jawaban lengkap dan benar untuk pertanyaan yang diberikan
2. Illustrasi ketrampilan pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasinya sempurna (excellent)
3. Jika jawaban terbuka, jawaban semuanya benar
4. Pekerjaannya ditunjukkan dan atau dijelaskan clearly
5. Memuat sedikit kesalahan
4
6. Jawaban benar untuk masalah yang diberikan
7. Illustrasi ketrampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasi baik (good)
8. Jika jawaban terbuka, banyak jawaban yang benar
9. Pekerjaannya ditunjukkan dan atau dijelaskan
10. Memuat beberapa kesalahan dalam penalaran matematika
3
11. Beberapa jawaban dari pertanyaan tidak lengkap
12. Illustrasi ketrampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasinya cukup (fair)
13. Kekurangan dalam berpikir tingkat tinggi terlihat jelas
14. Penyimpulan terlihat tidak akurat
15. Muncul beberapa keterbatasan dalam pemahaman konsep matematika
16. Banyak kesalahan dari penalaran matematika yang muncul
2
17. Muncul masalah dalam meniru ide matematika tetapi tidak dikembangkan
18. Ketrampilan pemecahan masalah, penalaran dan atau komunikasi kurang (poor)
19. Banyak kesalahan perhitungan yang muncul
20. Terdapat sedikit pemahaman matematisa yang diilustrasikan
21. Siswa jarang mencoba beberapa hal
1
22. Keseluruhan jawaban tidak ada atau tidak Nampak
23. Tidak muncul ketrampilan pemecahan masalah, penalaran atau komunikasi
24. Sama sekali pemahaman matematisanya tidak muncul
25. Terlihat jelas bluffing (mencoba-coba, menebak)
26. Tidak menjawab semua kemungkinan yang diberikan
0
3. Skala Sikap Siswa
Skala sikap diberikan kepada siswa kelas eksperimen setelah
memperoleh pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator and
Explaining. Sikap yang dilihat meliputi sikap terhadap pelajaran matematika,
sikap terhadap pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator
and Explaining, dan sikap terhadap soal-soal yang mengukur pemecahan
masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematis.
Model skala sikap yang digunakan adalah model skala sikap Likert,
dengan pilihan jawaban SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju)
dan STS (Sangat Tidak Setuju). Untuk melihat kecenderungan sikap siswa ke
arah positif atau negatif, diberikan penskoran dimana untuk pernyataan positif
SS memiliki nilai 4, pernyataan S memiliki nilai 3, pernyataan TS memiliki
nilai 2 dan pernyataan STS memiliki nilai 1. Sedangkan untuk pernyataan
negatif dengan pemberian skor sebaliknya dari pernyataan positif.
M. Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan dua macam cara pengumpulan data yaitu
melalui tes dan angket. Tes dilaksanakan sebelum dan sesudah pembelajaran.
Sebelum pembelajaran diadakan tes awal (pretes), bertujuan untuk
mengetahui penguasaan materi dan kemampuan awal siswa pada kedua
kelompok. Sedangkan tes sesudah pembelajaran berupa tes pemecahan
masalah matematis serta berpikir krititis matematis yang bertujuan untuk
mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal non-rutin pada
aspek-aspek tersebut.
Skala sikap diberikan kepada siswa kelompok eksperimen setelah
seluruh kegiatan dalam pembelajaran kooperatif dengan metode Student
Facilitator and Explaining berakhir. Pengisian skala sikap ini bertujuan
untuk mengetahui sikap siswa terhadap model pembelajaran kooperatif
dengan metode Student Facilitator and Explaining dan soal-soal pemecahan
masalah serta berpikir kritis matematis.
N. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan, yaitu data kuantitatif berupa hasil tes
kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa dan data kualitatif berupa skala sikap siswa.
1) Data kuantitatif
Analisis data hasil tes dimaksudkan untuk mengetahui besarnya
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa, sehingga data primer hasil tes siswa sebelum
dan setelah perlakuan penerapan metode pembelajaran kooperatif Student
Facilitator and Explaining dianalisis dengan cara membandingkan skor
pretes dan postes. Perbandingan skor ini dinyatakan dengan nilai gainnya .
Menyatakan gain dalam hasil proses pembelajaran tidaklah mudah.
Misalnya, siswa yang memiliki gain 2 dari 5 ke 7 dan siswa yang memiliki
gain 2 dari 8 ke 10 dengan skor maksimal 10. Gain absolut menyatakan
bahwa kedua siswa memiliki gain yang sama. Secara logis seharusnya siswa
yang kedua memiliki gain yang lebih tinggi dari siswa yang pertama. Hal ini
karena usaha untuk meningkatkan dari 8 ke 10 akan lebih berat daripada
meningkatkan dari 5 ke 7. Menyikapi kondisi bahwa siswa memiliki gain
absolut sama belum tentu memiliki gain hasil belajar yang sama, Meltzer
(Lestari, 2008) mengembangkan sebuah alternatif untuk menjelaskan gain
yang disebut gain ternormalisasi.
Menghitung gain ternormalisasi dengan rumus:
g=postes−prete s
skor maksimal−pretes (Meltzer dalam Lestari,
2008)
Tabel Kriteria Indeks Gain Interval Kriteria
g>0,7 Tinggi
0,3<g≤ 0,7 Sedang
g ≤ 0,3 Rendah
(Hake dalam Lestari, 2008)
Hipotesis statistik yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H0 : 1(eksperimen) = 2(kontrol)
H1 : 1(eksperimen) > 2(kontrol)
Hipotesis 1 :
H0 : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh
pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining dengan
siswa yang memperoleh pembelajaran langsung.
H1 : Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang
memperoleh pembelajaran kooperatif Student Facilitator and
Explaining secara signifikan lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran langsung.
Hipotesis 2 :
H0 : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan berpikir
kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif
Student Facilitator and Explaining dengan siswa yang memperoleh
pembelajaran langsung.
H1 : Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran kooperatif Student Facilitator and
Explaining secara signifikan lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran langsung.
Untuk menguji hipotesis ke-1 dan 2 digunakan uji perbedaaan dua
rata-rata (uji-t) dengan taraf signifikan = 0,05 dan derajat kebebasan dk=
(ne + nk – 2), H0 diterima jika thitung < ttabel (Ruseffendi,1998:278). Adapun
langkah-langkah uji perbedaan rata-rata sebagai berikut.
a) Menghitung rata-rata skor hasil pretes dan postes menggunakan rumus
sebagai berikut:
x̄=
∑i=1
k
x i
n .
Ruseffendi (1998: 76)
b) Menghitung standar deviasi pretest dan postest menggunakan rumus:
s=√∑i=1
k ( x i− x̄ )2
n . (Ruseffendi, 1998)
c) Menguji normalitas data skor pretes dan postes.
Uji normalitas diperlukan untuk menguji apakah data berdistribusi normal
atau tidak. Menguji normalitas data menggunakan uji Chi Kuadrat dengan
hipotesis sebagai berikut.
H0 = sebaran data berdistribusi normal
H1 = sebaran data tidak berdistribusi normal
Kriteria:
Hipotesis nol ditolak jika ❑hitung2 ≥❑tabel
2
Hipotesis nol diterima jika ❑hitung2 <❑tabel
2
Dengan ❑tabel2 =❑(1−α ) ( j−3)
2 .
Untuk α=0,05 dan j merupakan banyaknya kelas interval.
Statistik uji Chi-kuadrat yang digunakan adalah:
χ2=∑ ( f e−f o )2
f e . (Ruseffendi, 1998)
Keterangan:
f0 : frekwensi observasi
fe : frekwensi estimasi
d) Menguji homogenitas varians.
Uji homogenitas varians digunakan untuk menguji kesamaan varians dari
skor pretes, postes dan gain pada kedua kelompok (kelompok kontrol dan
kelompok eksperiment) untuk kemampuan pemahaman dan pemecahan
masalah matematik. Adapun hipotesis statistik yang digunakan adalah:
Hipotesis:
H0 : σ A2 =σB
2 , varians kelompok eksperimen tidak terdapat perbedaan dengan
varians kelompok kontrol
H1 : σ A2 ≠ σB
2 , varians kelompok eksperimen tidak sama dengan varians
kelompok kontrol
Kriteria uji homogenitas adalah:
Hipotesis nol ditolak jika Fhitung>F tabel
Hipotesis nol ditolak jika Fhitung≤ Ftabel
Untuk menguji hipotesis tersebut, digunakan uji-F sebagai berikut.
F=s A
2
sB2 (Ruseffendi, 1998)
Keterangan:
sA2 = varians kelompok eksperimen
sB2 = varians kelompok kontrol
e) Sebaran data normal dan homogen, maka uji signifikansi dengan statistik
uji-t sebagai berikut:
t=
x1−x2
√ (n1−1 ) s12+( n2−1 ) s2
2
n1+n2−2 ( 1n1
+ 1n2 )
.
(Sudjana, 2005)
Keterangan:
x1 = rata-rata sampel pertama
x2 = rata-rata sampel kedua
s12 = varians sampel pertama
s22 = varians sampel kedua
n1 = banyaknya data sampel pertama
n2 = banyaknya data sampel pertama
Kriteria: Terima H0 jika t hitung< ttabel dengan t tabel=t1−α untuk taraf
signifikansi α=0,05 dan derajat kebebasan dk ¿n1+n2−2
Untuk distribusi data normal tetapi tidak homogen, digunakan uji hipotesis
dengan uji-t’ sebagai berikut:
t '=
x1−x2
√( s12
n1
+s2
2
n2) (Sudjana, 2005)
2) Data kualitatif
Dalam penelitian data kualitatif yang dianalisis adalah skala sikap.
Penganalisisan data hasil skala sikap dititik beratkan pada respons siswa
terhadap model pembelajaran yang diberikan, yaitu pembelajaran kooferatif
dengan metode Student Facilitator and Explaining. Untuk mengetahui
hubungan/kaitan antara pemecahan masalah matematis dengan kemampuan
berikir kritis siswa dengan menggunakan rumus korelasi product moment
dengan angka kasar (Arikunto, 2005: 72), yaitu:
r xy=N∑ XY−(∑ X )(∑ Y )
√ { N ∑ X2− (∑ X )2}{N ∑Y 2− (∑Y )2}
dengan rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
X = Skor pemecahan masalah matematis
Y = Skor kemampuan berpikir kritis siswa
N = Banyaknya siswa peserta tes
Untuk menganalisis dan mendeskripsikan sikap siswa diperlukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pemberian Skor Skala sikap
Penentuan skor skala sikap Likert dapat dilakukan secara apriori dan
dapat pula secara aposteriori (Subino, 1997). Secara apriori, maka bagi skala
yang berarah positif akan mempunyai kemungkinan-kemungkinan skor 4 bagi
SS, 3 bagi S, 2 bagi TS dan 1 bagi STS, sedangkan bagi skala yang berarah
negatif maka kemungkinan skor tersebut menjadi sebaliknya.
2. Memilih Butir-butir Skala Sikap
Pemilihan butir-butir skala sikap Likert ini didasarkan kepada
signifikan tidaknya daya pembeda butir skala yang bersangkutan. Daya
pembeda butir-butir skala sikap Likert ini dianalisis dengan uji-t.
Statistik t dihitung dengan rumus :
t=x
T−x
R
√ ST2
nT
+SR
2
nR
dengan :
XT : Rata-rata skor kelompok tinggi
X R : Rata-rata skor kelompok rendah.
ST
2 : Varians kelompok tinggi
SR
2 : Varians kelompok rendah
nT : Banyaknya subjek pada kelompok tinggi
nR : Banyaknya subjek pada kelompok rendah
3. Analisis Reliabilitas Skala Sikap
Reliabilitas skala sikap dianalisis dengan menggunakan rumus Alpha,
setelah dilakukan seleksi terhadap butir-butir pernyataan yang memiliki Daya
Pembeda yang signifikan. Rumus dan kriterianya sama dengan perhitungan
reliabilitas instrumen tes, yaitu :
r=( nn−1 )(1−∑ σ i
2
σ t2 )
dan kriteria reliabilitas dari Guilford.
4. Hasil Pengukuran Sikap dan Minat Siswa
Hasil pengukuran sikap dan minat siswa dihitung rata-ratanya untuk
setiap butir pernyataan. Kemudian dibandingkan dengan rata-rata netralnya.
Apabila rata-rata skor untuk suatu pernyataan lebih besar dari rata-rata skor
netralnya, maka sikap dan minat siswa dikatakan positif terhadap pernyataan
tersebut.