document2
DESCRIPTION
jgdhjfdhfddhafdsbcbcvxbxbcxcbcbncbTRANSCRIPT
![Page 1: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/1.jpg)
2.4 NEONATUS RESIKO TINGGI DAN PENATALAKSANAAN-NYA
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar
bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari
tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3
kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan
dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan
biokimia dan faali. Dengan terpisahnya bayi dari ibu, maka terjadilah awal proses
fisiologik.
Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau
kegagalan penyesuaian biokimia dan faali yang disebabkan oleh prematuritas,
kelainan anatomik, dan lingkungan yang kurang baik dalam kandungan, pada
persalinan maupun sesudah lahir.
Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi
pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga
kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan
kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan
tidak bersih, kurangnya perawatan bayi baru lahir. Kalau ibu meninggal pada
waktu melahirkan, si bayi akan mempunyai kesempatan hidup yang kecil.
Yang termasuk neonatus resiko tinggi yaitu diantaranya sebagai berikut:
1. BBLR
2. asfiksia neonatorum
3. sindrom, gangguan pernafasan
4. ikterus
5. perdarahan tali pusat
6. kejang
7. hypotermi
![Page 2: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/2.jpg)
2.4.1 BBLR
A. Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang
dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi
yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah lahir.
B. Epidemiologi
Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari
seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3,3%-38% dan lebih sering terjadi
di negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah. Secara statistik
menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan
angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat
lahir lebih dari 2500 gram. BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan
mortalitas, morbiditas dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta
memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya dimasa depan.
Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan
daerah lain, yaitu berkisar antara 9%-30%, hasil studi di 7 daerah multicenter
diperoleh angka BBLR dengan rentang 2.1%-17,2 %. Secara nasional
berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka BBLR sekitar 7,5 %. Angka ini lebih
besar dari target BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi
menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7%.
C. Etiologi
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur.
Faktor ibu yang lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta
seperti penyakit vaskuler, kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga
merupakan penyebab terjadinya BBLR.
(1) Faktor ibu
a. Penyakit Seperti malaria, anaemia, sipilis, infeksi TORCH, dan lain-
lain
![Page 3: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/3.jpg)
b. Komplikasi pada kehamilan. Komplikasi yang tejadi pada kehamilan
ibu seperti perdarahan antepartum, pre-eklamsia berat, eklamsia, dan
kelahiran preterm.
c. Usia Ibu dan paritas Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada
bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia
d. Faktor kebiasaan ibu Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu
perokok, ibu pecandu alkohol dan ibu pengguna narkotika.
(2) Faktor Janin
Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan kromosom.
(3) Faktor Lingkungan
Yang dapat berpengaruh antara lain; tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi,
sosio-ekonomi dan paparan zat-zat racun.
D. Komplikasi
Komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara
lain:
Hipotermia
Hipoglikemia
Gangguan cairan dan elektrolit
Hiperbilirubinemia
Sindroma gawat nafas
Paten duktus arteriosus
Infeksi
Perdarahan intraventrikuler
Apnea of Prematurity
Anemia
Masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan berat
lahir rendah (BBLR) antara lain:
Gangguan perkembangan
Gangguan pertumbuhan
Gangguan penglihatan (Retinopati)
Gangguan pendengaran
![Page 4: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/4.jpg)
Penyakit paru kronis
Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit
Kenaikan frekuensi kelainan bawaan
E. Diagnosis
Menegakkan diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir
bayi dalam jangka waktu
Anamnesis
Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk
menegakkan mencari etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya BBLR:
Umur ibu
Riwayat hari pertama haid terakir
Riwayat persalinan sebelumnya
Paritas, jarak kelahiran sebelumnya
Kenaikan berat badan selama hamil
Aktivitas
Penyakit yang diderita selama hamil
Obat-obatan yang diminum selama hamil
Pemeriksaan Fisik
Yang dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara lain (3):
Berat badan
Tanda-tanda prematuritas (pada bayi kurang bulan)
Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa
kehamilan).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain (3):
Pemeriksaan skor ballard
Tes kocok (shake test), dianjur untuk bayi kurang bulan
Darah rutin, glukosa darah, kalau perlu dan tersedia fasilitas diperiksa
kadar elektrolit dan analisa gas darah.
![Page 5: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/5.jpg)
Foto dada ataupun babygram diperlukan pada bayi baru lahir dengan
umur kehamilan kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau
didapat/diperkirakan akan terjadi sindrom gawat nafas.
USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan
F. Penatalaksanaan/ terapi
- Medikamentosa
1. Pemberian vitamin K:
Injeksi 1 mg IM sekali pemberian, atau Per oral 2 mg sekali
pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10 hari, dan umur
4-6 minggu)
Diatetik
Bayi prematur atau BBLR mempunyai masalah menyusui karena
refleks menghisapnya masih lemah. Untuk bayi demikian sebaiknya ASI
dikeluarkan dengan pompa atau diperas dan diberikan pada bayi dengan pipa
lambung atau pipet. Dengan memegang kepala dan menahan bawah dagu,
bayi dapat dilatih untuk menghisap sementara ASI yang telah dikeluarkan
yang diberikan dengan pipet atau selang kecil yang menempel pada puting.
ASI merupakan pilihan utama:
Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang
cukup dengan cara apapun, perhatikan cara pemberian ASI dan nilai
kemampuan bayi menghisap paling kurang sehari sekali.
Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20
g/hari selama 3 hari berturut-turut, timbang bayi 2 kali seminggu. Pemberian
minum bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut berat badan lahir dan
keadaan bayi adalah sebagai berikut:
a. Berat lahir 1750 – 2500 gram
- Bayi Sehat
Biarkan bayi menyusu pada ibu semau bayi. Ingat bahwa bayi kecil lebih
mudah merasa letih dan malas minum, anjurkan bayi menyusu lebih sering
(contoh; setiap 2 jam) bila perlu.
![Page 6: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/6.jpg)
Pantau pemberian minum dan kenaikan berat badan untuk menilai
efektifitas menyusui. Apabila bayi kurang dapat menghisap, tambahkan ASI
peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
- Bayi Sakit
Apabila bayi dapat minum per oral dan tidak memerlukan cairan IV, berikan
minum seperti pada bayi sehat.
Apabila bayi memerlukan cairan intravena:
Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
Mulai berikan minum per oral pada hari ke-2 atau segera setelah bayi
stabil.
Anjurkan pemberian ASI apabila ibu ada dan bayi menunjukkan tanda-
tanda siap untuk menyusu.
Apabila masalah sakitnya menghalangi proses menyusui (contoh;
gangguan nafas, kejang), berikan ASI peras melalui pipa lambung :
Berikan cairan IV dan ASI menurut umur
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; 3 jam sekali).
Apabila bayi telah mendapat minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih
tampak lapar berikan tambahan ASI setiap kali minum. Biarkan bayi
menyusu apabila keadaan bayi sudah stabil dan bayi menunjukkan
keinginan untuk menyusu dan dapat menyusu tanpa terbatuk atau tersedak.
b. Berat lahir 1500-1749 gram
- Bayi Sehat
Berikan ASI peras dengan cangkir/sendok. Bila jumlah yang dibutuhkan tidak
dapat diberikan menggunakan cangkir/sendok atau ada resiko terjadi aspirasi ke
dalam paru (batuk atau tersedak), berikan minum dengan pipa lambung.
Lanjutkan dengan pemberian menggunakan cangkir/ sendok apabila bayi dapat
menelan tanpa batuk atau tersedak (ini dapat berlangsung setela 1-2 hari namun
ada kalanya memakan waktu lebih dari 1 minggu)
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri
tambahan ASI setiap kali minum.
![Page 7: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/7.jpg)
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok,
coba untuk menyusui langsung.
- Bayi Sakit
Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
Beri ASI peras dengan pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah
cairan IV secara perlahan.
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; tiap 3 jam). Apabila bayi
telah mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar,
beri tambahan ASI setiap kali minum.
Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok apabila
kondisi bayi sudah stabil dan bayi dapat menelan tanpa batuk atau tersedak
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/
sendok, coba untuk menyusui langsung.
c. Berat lahir 1250-1499 gram
- Bayi Sehat
Beri ASI peras melalui pipa lambung
Beri minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri
tambahan ASI setiap kali minum
Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/
sendok, coba untuk menyusui langsung.
- Bayi Sakit
Beri cairan intravena hanya selama 24 jam pertama.
Beri ASI peras melalui pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah
cairan intravena secara perlahan.
Beri minum 8 kali dalam 24 jam (setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri
tambahan ASI setiap kali minum
Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/
sendok, coba untuk menyusui langsung.
![Page 8: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/8.jpg)
d. Berat lahir <>tidak tergantung kondisi)
Berikan cairan intravena hanya selama 48 jam pertama
Berikan ASI melalui pipa lambung mulai pada hari ke-3 dan kurangi
pemberian cairan intravena secara perlahan.
Berikan minum 12 kali dalam 24 jam (setiap 2 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri
tambahan ASI setiap kali minum
Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/
sendok, coba untuk menyusui langsung.
Suportif
Hal utama yang perlu dilakukan adalah mempertahankan suhu tubuh normal:
Gunakan salah satu cara menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh
bayi, seperti kontak kulit ke kulit, kangaroo mother care, pemancar panas,
inkubator atau ruangan hangat yang tersedia di tempat fasilitas kesehatan
setempat sesuai petunjuk.
Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin
Ukur suhu tubuh dengan berkala
Yang juga harus diperhatikan untuk penatalaksanaan suportif ini adalah :
Jaga dan pantau patensi jalan nafas
Pantau kecukupan nutrisi, cairan dan elektrolit
Bila terjadi penyulit, harus dikoreksi dengan segera (contoh; hipotermia,
kejang, gangguan nafas, hiperbilirubinemia)
Berikan dukungan emosional pada ibu dan anggota keluarga lainnya
Anjurkan ibu untuk tetap bersama bayi. Bila tidak memungkinkan, biarkan
ibu berkunjung setiap saat dan siapkan kamar untuk menyusui.
G. Pemantauan (Monitoring)
1. Pemantauan saat dirawat
a. Terapi
![Page 9: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/9.jpg)
Bila diperlukan terapi untuk penyulit tetap diberikan
Preparat besi sebagai suplemen mulai diberikan pada usia 2 minggu
b. Tumbuh kembang
Pantau berat badan bayi secara periodik
Bayi akan kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama (sampai 10%
untuk bayi dengan berat lair ≥1500 gram dan 15% untuk bayi dengan berat
lahir <1500>
Bila bayi sudah mendapatkan ASI secara penuh (pada semua kategori
berat lahir) dan telah berusia lebih dari 7 hari :
- Tingkatkan jumlah ASI denga 20 ml/kg/hari sampai tercapai jumlah
180 ml/kg/hari
- Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan peningkatan berat badan bayi
agar jumlah pemberian ASI tetap 180 ml/kg/hari
- Apabila kenaikan berat badan tidak adekuat, tingkatkan jumlah
pemberian ASI hingga 200 ml/kg/hari
- Ukur berat badan setiap hari, panjang badan dan lingkar kepala setiap
minggu.
1. Pemantauan setelah pulang
Diperlukan pemantauan setelah pulang untuk mengetahui perkembangan bayi dan
mencegah/ mengurangi kemungkinan untuk terjadinya komplikasi setelah pulang
sebagai berikut:
Sesudah pulang hari ke-2, ke-10, ke-20, ke-30, dilanjutkan setiap bulan.
Hitung umur koreksi
Pertumbuhan; berat badan, panjang badan dan lingkar kepala.
Tes perkembangan, Denver development screening test (DDST)
Awasi adanya kelainan bawaan
2. Pencegahan
Pada kasus bayi berat lahir rendah (BBLR) pencegahan/ preventif adalah
langkah yang penting. Hal-hal yang dapat dilakukan:
1. Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal 4 kali selama
kurun kehamilan dan dimulai sejak umur kehamilan muda. Ibu hamil yang
diduga berisiko, terutama faktor risiko yang mengarah melahirkan bayi BBLR
![Page 10: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/10.jpg)
harus cepat dilaporkan, dipantau dan dirujuk pada institusi pelayanan
kesehatan yang lebih mampu
2. Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin dalam
rahim, tanda tanda bahaya selama kehamilan dan perawatan diri selama
kehamilan agar mereka dapat menjaga kesehatannya dan janin yang
dikandung dengan baik
3. Hendaknya ibu dapat merencanakan persalinannya pada kurun umur
reproduksi sehat (20-34 tahun)
4. Perlu dukungan sektor lain yang terkait untuk turut berperan dalam
meningkatkan pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga agar mereka dapat
meningkatkan akses terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal dan status gizi
ibu selama hamil
2.4.2 ASFIKSIA NEONATORUM
A. Batasan
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan
keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2
meningkat) dan asidosis.
B. Patofisiologi
Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya
hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan
biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.
C. Gejala klinik
Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari
100 x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon
terhadap refleks rangsangan.
D. Diagnosis
a. Anamnesis : Gangguan/kesulitan waktu lahir, lahir tidak bernafas/menangis.
b. Pemeriksaan fisik :
Nilai Apgar
Klinis 0 1 2
![Page 11: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/11.jpg)
Detak jantung Tidak ada < 100 x/menit >100x/menit
Pernafasan Tidak ada Tak teratur Tangis kuat
Refleks saat jalan
nafas
dibersihkan
Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin
Tonus otot Lunglai Fleksi
ekstrimitas
(lemah)
Fleksi kuat
gerak
aktif
Warna kulit Biru pucat Tubuh merah
ekstrimitas
biru
Merah seluruh
tubuh
Nilai 0-3 : Asfiksia berat
Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
Nilai 7-10 : Normal
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai
apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai
skor mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi
bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai
resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak
menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar)
Pemeriksaan penunjang :
- Foto polos dada
- USG kepala
- Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
Penyulit
Meliputi berbagai organ yaitu :
- Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
- Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus,
perdarahan paru, edema paru
- Gastrointestinal : enterokolitis nekrotikans
- Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH
![Page 12: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/12.jpg)
- Hematologi : DIC
E. Penatalaksanaan
Resusitasi, Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar (lihat bagan)
Terapi medikamentosa :
Epinefrin :
Indikasi :
- Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan
ventilasi adekuat dan pemijatan dada.
- Asistolik.
Dosis :
- 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB)
Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Volume ekspander :
Indikasi :
- Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan
tidak ada respon dengan resusitasi.
- Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok.
Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan
pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat.
Jenis cairan :
- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)
- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah
banyak.
Dosis :
- Dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang
sampai menunjukkan respon klinis.
Bikarbonat :
Indikasi :
![Page 13: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/13.jpg)
- Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi.
Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan
hiperkalemia harus disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan
kimiawi.
Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%)
Cara :
- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak
diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat
merusak fungsi miokardium dan otak.
Nalokson :
- Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak
menyebabkan depresi pernafasan. Sebelum diberikan nalakson
ventilasi harus adekuat dan stabil.
Indikasi :
- Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan
narkotik 4 jam sebelum persalinan.
- Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai
sebagai pemakai obat narkotika sebab akan menyebabkan tanda with
drawltiba-tiba pada sebagian bayi.
Dosis : 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)
Cara : Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan i.m atau
s.c
Suportif
- Jaga kehangatan.
- Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
- Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
![Page 14: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/14.jpg)
2.4.3 SINDROM GANGGUAN PERNAFASAN
A. Defenisi
Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri
dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali
per menit, sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di daerah
epigastrium, interkostal pada saat inspirasi ( Perawatan Anak Sakit, Ngastiah.
Hal 3). Penyakit Membran Hialin (PMH)
Penyebab kelainan ini adalah kekurangan suatu zat aktif pada alveoli yang
mencegah kolaps paru. PMH sering kali mengenai bayi prematur, karena
produksi surfaktan yang di mulai sejak kehamilan minggu ke 22, baru
mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan.
B. Patofisiologi
Penyebab PMH adalah surfaktan paru. Surfaktan paru adalah zat yang
memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu
kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama
zat tersebut adalah lesitin. Zat ini mulai di bentuk pada kehamilan 22-24
minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke 35. Fungsi surfaktan
adalah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus akan kembali
kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk bernafas berikutnya di butuhkan
tekanan negatif intrathoraks yang lebih besar dan di sertai usaha inspiarsi
yang lebih kuat. Kolaps paru ini menyebabkan terganggunya ventilasi
sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2. dan oksidosis.
C. Prognosis
Prognosis bayi dengan PMH terutama ditentukan oleh prematuritas
serta beratnya penyakit. Bayi yang sembuh mempunyai kesempatan tumbuh
dan kembang sama dengan bayi prematur lain yang tidak menderita PMH.
![Page 15: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/15.jpg)
D. Gambaran klinis
PMH umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-
2000 gram. Atau masa generasi 30-36 minggu. Gangguan pernafasan mulai
tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dan gejala yang karakteritis mulai
terlihat pada umur 24-72 jam.
E. Pemeriksaan diaknostik
Foto thorak
Atas dasar adanya gangguan pernafasan yang dapat di sebabkan oleh
berbagai penyebab dan untuk melihat keadaan paru, maka bayi perlu
dilakukan pemeriksaan foto thoraks.
Pemeriksaan darah : perlu pemeriksaan darah lengkap, analisis gas
darah dan elektrolit.
F. Penatalaksanaan
Tindakan yang perlu dilakukan :
a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus dalam
batas normal (36.5-37oc) dan meletakkan bayi dalam inkubator.
b. Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena terpengaruh
kompleks terhadap bayi prematur, pemberian oksigen terlalu banyak
menimbulkan komplikasi fibrosis paru, kerusakan retina dan lain-lain.
c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan
hemeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan
glukosa 5-10 % dengan jumlah 60-125 ML/ Kg BB/ hari.
d. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Penisilin
dengan dosis 50.000-10.000 untuk / kg BB / hari / ampisilin 100 mg /
kg BB/ hari dengan atau tanpa gentasimin 3-5 mg / kg BB / hari.
e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian
surfaktan ekstrogen ( surfaktan dari luar).
![Page 16: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/16.jpg)
Keperawatan
Pada umumnya dengan BB lahir 1000-2000 gr dan masa kehamilan
kurang dari 36 minggu.
1) Bahaya kedinginan
Bayi PMH adalah bayi prematur sehingga kulitnya sangat tipis,
jaringan lemak belum berbentuk dan pusat pengatur suhu belum
sempurna. Akibatnya bayi dapat jatuh dalam keadaan cold injury,
sianosis, dispnea, kemudian apnea. Untuk mencegah harus dirawat
dalam inkubator yang dapat mempertahankan suhu bayi 36.5-37oc.
2) Resiko terjadi gangguan pernafasan
a. Gejala pertama biasanya timbul dalam 4 jam setelah lahir.
Tata laksana perawatan bayi prematur adalah
Dirawat dalam inkubator dengan suhu optimum
b. Bila bayi mulai terlihat sianosis, dispnea / hiperapsnea
segera berikan oksigen.
3) Kesukaran dalam pemberian makanan
Untuk memenuhi kebutuhan kalori maka dipasang infus dengan
cairan glukosa 5-10 %. Makanan bayi yang terbaik adalah asi.
Karena itu selama bayi belum diberi asi harus tetap pertahankan
dengan memompa payudara ibu setiap 3 jam.
4) Resiko mendapat infeksi
Untuk mencegah infeksi, perawat harus bekerja secara aseptik dan
inkubator harus aseptik pula. Ruangan tempat merawat bayi
terpisah, bersih, dan tidak di benarkan banyak orang memasuki
ruangan tersebut kecuali petugas, semua alat yang diperlukan
harus steril.
5) Kebutuhan rasa nyaman
Gangguan rasa nyaman dapat terjadi akibat tindakan medis,
misalnya penghisapan lendir, pemasangan infus dll. Untuk
memenuhi kebutuhan psikologisnya selain sikap yang lembut
setiap menolong bayi dalam memberi pasi harus di pangku.
![Page 17: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/17.jpg)
2.4.4 IKTERUS
A. Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin.
Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin
serum lebih 5 mg/dL.
Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13
mg/dL.
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis,
kecuali:
Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi
kurang bulan >10 mg/dL.
Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
Terdapat faktor risiko.
Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara
umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah
terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak.
Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri
atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang;
tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia,
epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada
tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama
didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.
![Page 18: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/18.jpg)
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar
65% mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada
tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada
minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa
rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di
Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama
tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58%
untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di
atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan
sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5
mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan
dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap
hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6%
bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan
hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat
sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat
dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di
mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di
antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka
kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data
insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan
22,8%.
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar
30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang
cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di
RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin
serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode
spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus
berdasarkan metode visual.
![Page 19: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/19.jpg)
C. Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir,
karena:
Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih
banyak dan berumur lebih pendek.
Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim
glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum
adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan
konjugasi.
Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya
enzim -> glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis)
dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:
Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus,
defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi
intra uterin.
Polisitemia.
Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
Ibu diabetes.
Asidosis.
Hipoksia/asfiksia.
Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
![Page 20: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/20.jpg)
2. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a. Faktor Maternal
Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
ASI
b. Faktor Perinatal
Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
Prematuritas
Faktor genetik
Polisitemia
Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
Rendahnya asupan ASI
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
D. Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit.
Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari
ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam
beberapa minggu.
![Page 21: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/21.jpg)
1. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi
bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya
dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi
baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai
puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian
menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat
muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin
terkonyugasi < 2 mg/dL.
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan
faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak
bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan
berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina
cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4
dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis
pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia
relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan
dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur
dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin
dan pembentukan bilirubin
.
![Page 22: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/22.jpg)
2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi
ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya
faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di
usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir,
ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.
Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata
laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.
E. Penegakan Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih
dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan
pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara
evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun
apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan
skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik
dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus
secara visual, sebagai berikut:
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna
di bawah kulit dan jaringan subkutan.
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh
yang tampak kuning. (tabel 1)
![Page 23: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/23.jpg)
2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi
lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan
pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif
yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang
diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya
(dengan aluminium foil)
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila
kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.
3. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja
dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan
panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan
representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat
yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai
menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh
pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining,
bukan untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional
prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM
102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar
diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir
dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia
dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari
penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum
![Page 24: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/24.jpg)
Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76,
p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat
digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil
pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya
dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk
tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004)
menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara
rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari
segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal
ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada
konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar
bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip
cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap
bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan
bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan
bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini,
maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan
dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus
Usia Kuning terlihat pada Tingkat keparahan ikterus
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Bagian tubuh manapun
Tengan dan tungkai *
Tangan dan kaki
Berat
![Page 25: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/25.jpg)
Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat
pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan
sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.
F. Tata laksana
1. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada
bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi,
kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada
bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
Minum ASI dini dan sering
Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang
dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan
sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada
minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia
karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5
kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan
hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar,
hentikan terapi sinar.
Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai
dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar
![Page 26: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/26.jpg)
Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan
penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga,
lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.
Tentukan diagnosis banding
2. Tata laksana Hiperbilirubinemia Hemolitik
Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau
golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi.
Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun
penyebabnya.
Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar.
Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar
hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera
rujuk bayi.
Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk
dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak
hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
Persiapkan transfer.
Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas
transfusi tukar.
Kirim contoh darah ibu dan bayi.
Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa
perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.
Nasihati ibu:
Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu
mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan
dengan kehamilan berikutnya.
![Page 27: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/27.jpg)
Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk
menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada
bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin,
kamfer/mothballs, favabeans).
Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan
atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir
sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan
(prolonged jaundice).
Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu
selama 4 minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan
transfusi darah.
Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)
Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada
neonatus cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk
mencari penyebab.
Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan
kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk
evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.
Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.
Mengenai penatalaksanaan dengan terapi sinar dan transfusi tukar selengkapnya
dimuat terpisah.
G. Efek Hiperbilirubinemia
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan
kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat
terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu
sintesis DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan
![Page 28: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/28.jpg)
konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala
sisa berupa tuli saraf.
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan
konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang
terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
Ensefalopati bilirubin
Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat
menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya
asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak
dan serebelum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis,
hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak.
Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke
dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar
bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada
studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan
dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya.
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir
sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain:
konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke
dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin.
Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan
sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya
diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena
ensefalopati bilirubin.
Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami
kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan
keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan
perceptual motor disorder
![Page 29: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/29.jpg)
H. Pencegahan
Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat
inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan
beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:
1. Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan
dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu
untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari
pertama.
Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses
menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi
menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang
berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin
terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun
dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat
mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin
serum.
2. Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang
memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.
Pemeriksaan Golongan Darah
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO
dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah
menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan
![Page 30: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/30.jpg)
darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali
pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala
untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki
prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya
setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi
sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan
dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari.
Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan
memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian
wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.
5.pendarahan tali pusat
Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari
trauma pengikatan tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses
pembentukkan trombus normal. Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa
sebagi petunjuk adanya penyakit pada bayi.
ETIOLOGI
1 Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena :
a Patus precipitatus
b Adanya trauma atau lilitan tali pusat
c Umbilikus pendek, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan yang
berlebihan pada saat persalinan
d Kelalaian penolong persalinan yang dapat menyebabkan tersayatnya
dinding umbilikus atauplacenta sewaktu sectio secarea
2 Robekan umbilikus abnormal, biasanya terjadi karena :
a Adanya hematoma pada umbilikus yang kemudian hematom tersebut pecah,
namun
![Page 31: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/31.jpg)
perdarahan yang terjadi masuk kembali ke dalam placenta. Hal ini sangat
berbahaya bagi bayi dan dapat menimbulkan kematian pada bayi
b Varises juga dapat menyebabkan perdarahan apabila varises tersebut pecah
c Aneurisma pembuluh darah pada umbilikus dimana terjadi pelebaran pembuluh
darah setempat saja karena salah dalam proses perkembangan atau terjadi
kemunduran dinding pembuluh darah. Pada aneurisme pembuluh darah
menyebabkan pembuluh darah rapuh dan mudah pecah
3 Robekan pembuluh darah abnormal
Pada kasus dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma,
hendaknya dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah
seperti :
a Pembuluh darah aberan yang mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak
ada perlindungan jely Wharton
b Insersi velamentosa tali pusat, dimana pecahnya pembuluh darah terjadi pada
tempat percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam
placenta tidak adda proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat
pada kehamilan ganda
c Placenta multilobularis, perdarahan terjadi pembuluh darah yang
menghubungkan masing-masing lobus dengan jaringan placenta karena bagian
tersebut sangat rapuh dan mudah pecah
PENATALAKSANAAN
1. Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari perdarahan tali pusat yang
terjadi
2. Untuk penanganan awal, harus dilakukan tindakan pencegahan infeksi paa
tali pusat.
3. Segera lakukan inform consent dan inform choise pada keluarga pasien
untuk dilakukan rujukan.
![Page 32: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/32.jpg)
2.4.5 Kejang
Kejang adalah penyakit pada anak yang disebabkan oleh demam.
Sekitar 2-5% anak berumur enam bulan sampai lima tahun umumnya
mengalami demam. Namun, tidak sampai menginfeksi otak anak.
Apa yang harus dilakukan bila anak mengalami kejang demam? Walaupun
kejang demam terlihat sangat menakutkan, sebenarnya jarang sekali terjadi
komplikasi yang berat, yang paling penting adalah tetap tenang.
Ketika demam, miringkan posisi anak sehingga ia tidak tersedak air
liurnya dan jangan mencoba menahan gerak si anak. Turunkan demam
dengan membuka baju dan menyeka anak dengan air yang sedikit hangat.
Setelah air menguap, demam akan turun. Jangan memberikan kompres
dengan es atau alkohol karena anak akan menggigil dan suhu tubuh justru
meningkat, walaupun kulitnya terasa dingin. Untuk anak dengan berat
badan kurang dari 10 kg dapat diberikan obat, umumnya kejang demam
akan berhenti dengan sendirinya sebelum lima menit.
Apakah anak perlu masuk rumah sakit? Bila kejang berlangsung kurang
dari lima menit, kemudian anak sadar dan menangis, biasanya tidak perlu
dirawat. Bila demam tinggi dan kejang berlangsung lebih dari 10-15 menit
atau kejang berulang, maka Anda harus membawanya ke dokter atau
rumah sakit.
Untuk membantu menentukan apa yang akan terjadi pada anak di
kemudian hari, kejang demam dibagi menjadi kejang demam sederhana
dan kejang kompleks.
Kejang demam sederhana adalah bila kejang berlangsung kurang
dari 15 menit dan tidak berulang pada hari yang sama, sedangkan kejang
kompleks adalah bila kejang hanya terjadi pada satu sisi tubuh,
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) atau berulang dua kali atau lebih
dalam satu hari.
Kejang demam sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan,
meninggal atau mengganggu kepandaian. Risiko untuk menjadi epilepsi di
kemudian hari juga sangat kecil, sekitar 2-3%. Risiko terbanyak adalah
berulangnya kejang demam, yang dapat terjadi pada 30-50% anak-anak.
![Page 33: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/33.jpg)
Risiko-risiko tersebut akan lebih besar pada kejang yang kompleks.
Rekaman otak atau electroencephalografi (EEG) biasanya tidak dilakukan
secara rutin karena tidak berguna untuk memperkirakan apakah kejang
akan berulang kembali, juga tidak dapat memperkirakan apakah akan
terjadi epilepsi di kemudian hari.
Untuk anak dengan kejang kompleks atau anak yang mengalami
kelainan saraf yang nyata, dokter akan mempertimbangkan untuk
memberikan pengobatan dengan anti kejang jangka panjang selama 1-3
tahun.
2.4.6 Hypotermi
Bayi hipotermi adalah bayi dengan suhu badan dibawah normal.
Adapun suhu normal bayi adalah 36,5-37,5 °C. Suhu normal pada neonatus
36,5-37,5°C (suhu ketiak). Gejala awal hipotermi apabila suhu <36°C atau
kedua kaki & tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin
maka bayi sudah mengalami hipotermi sedang (suhu 32-36°C). Disebut
hipotermi berat bila suhu <32°C, diperlukan termometer ukuran rendah (low
reading thermometer) yang dapat mengukur sampai 25°C. (Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirahardjo, 2001). Disamping sebagai suatu gejala,
hipotermi merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
(Indarso, F, 2001). Sedangkan menurut Sandra M.T. (1997) bahwa hipotermi
yaitu kondisi dimana suhu inti tubuh turun sampai dibawah 35°C. Etiologi
Penyebab terjadinya hipotermi pada bayi yaitu : 1)Jaringan lemak subkutan
tipis. 2)Perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar.
3)Cadangan glikogen dan brown fat sedikit. 4)BBL (Bayi Baru Lahir) tidak
mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan. (Indarso, F,
2001). 5)Kurangnya pengetahuan perawat dalam pengelolaan bayi yang
beresiko tinggi mengalami hipotermi. ( Klaus, M.H et al, 1998). Mekanisme
hilangnya panas pada BBL Mekanisme hilangnya panas pada bayi yaitu
dengan : 1Radiasi yaitu panas yang hilang dari obyek yang hangat (bayi) ke
obyek yang dingin. 2)Konduksi yaitu hilangnya panas langsung dari obyek
yang panas ke obyek yang dingin. 3)Konveksi yaitu hilangnya panas dari bayi
![Page 34: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/34.jpg)
ke udara sekelilingnya. 4)Evaporasi yaitu hilangnya panas akibat evaporasi
air dari kulit tubuh bayi (misal cairan amnion pada BBL). (Indarso, F, 2001).
Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh hipotermi Akibat yang bisa
ditimbulkan oleh hipotermi yaitu : 1)HipoglikemiAsidosis metabolik, karena
vasokonstrtiksi perifer dengan metabolisme anaerob. 3)Kebutuhan oksigen
yang meningkat. 4)Metabolisme meningkat sehingga pertumbuhan terganggu.
5)Gangguan pembekuan sehingga mengakibatkan perdarahan pulmonal yang
menyertai hipotermi berat. 6)Shock. 7)Apnea. 8)Perdarahan Intra Ventricular.
(Indarso, F, 2001). Pencegahan dan Penanganan Hipotermi Pemberian panas
yang mendadak, berbahaya karena dapat terjadi apnea sehingga
direkomendasikan penghangatan 0,5-1°C tiap jam (pada bayi < 1000 gram
penghangatan maksimal 0,6 °C). (Indarso, F, 2001). Alat-alat Inkubator
Untuk bayi < 1000 gram, sebaiknya diletakkan dalam inkubator. Bayi-bayi
tersebut dapat dikeluarkan dari inkubator apabila tubuhnya dapat tahan
terhadap suhu lingkungan 30°C. Radiant Warner Adalah alat yang digunakan
untuk bayi yang belum stabil atau untuk tindakan-tindakan. Dapat
menggunakan servo controle (dengan menggunakan probe untuk kulit) atau
non servo controle (dengan mengatur suhu yang dibutuhkan secara manual).
Pengelolaan Menurut Indarso, F (2001) menyatakan bahwa pengelolaan bayi
hipotermi :
(1)Bayi cukup bulan -Letakkan BBL pada Radiant Warner. -
Keringkan untuk menghilangkan panas melalui evaporasi. -Tutup kepala. -
Bungkus tubuh segera. -Bila stabil, dapat segera rawat gabung sedini
mungkin setelah lahir bayi dapat disusukan.
(2)Bayi sakit -Seperti prosedur di atas. -Tetap letakkan pada radiant
warmer sampai stabil. Bayi kurang bulan (prematur) -Seperti prosedur di atas.
-Masukkan ke inkubator dengan servo controle atau radiant warner dengan
servo controle.
(3)Bayi yang sangat kecil -Dengan radiant warner yang diatur dimana
suhu kulit 36,5 °C. Tutup kepala. Kelembaban 40-50%. Dapat diberi plastik
![Page 35: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/35.jpg)
pada radiant warner. Dengan servo controle suhu kulit abdomen 36, 5°C. -
Dengan dinding double. - Kelembaban 40-50% atau lebih (bila kelembaban
sangat tinggi, dapat dipakai sebagai sumber infeksi dan kehilangan panas
berlebihan). Bila temperatur sulit dipertahankan, kelembaban dinaikkan. -
Temperatur lingkungan yang dibutuhkan sesuai umur dan berat bayi. Tabel
2.1 Temperatur yang dibutuhkan menurut umur dan berat badan neonatus
Umur Berat Badan Neonatus <1200 gr 1201-1500 gr 1501-2500 gr > 2500 gr
0-24 jam 34-35,4 33,3-34,4 31,8-33,8 31-33,8 24-48 jam 34-35 33-34,2 31,4-
33,6 30,5-33 48-72 jam 34-35 33-34 31,2-33,4 30,1-33,2 72-96 jam 34-35 33-
34 31,1-33,2 29,8-32,8 4-14 hari 32,6-34 31-33,2 29 2-3 minggu 32,2-34
30,5-33 3-4 minggu 31,6-33,6 30-32,2 4-5 minggu 31,2-33 29,5-32,2 5-6
minggu 30,6-32,3 29,31,8 Sumber : Klaus, M,H et al. (1998).
Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi : Mempertahankan Suhu Tubuh
Untuk Mencegah Hipotermi Menurut Indarso, F (2001) menyatakan bahwa
untuk mempertahankan suhu tubuh bayi dalam mencegah hipotermi adalah :
(1)Mengeringkan bayi segera setelah lahir Cara ini merupakan salah satu dari
7 rantai hangat ; a.Menyiapkan tempat melahirkan yang hangat, kering dan
bersih. b.Mengeringkan tubuh bayi yang baru lahir/ air ketuban segera setelah
lahir dengan handuk yang kering dan bersih. c.Menjaga bayi hangat dengan
cara mendekap bayi di dada ibu dengan keduanya diselimuti (Metode
Kangguru). d.Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar
dapat merangsang pooting reflex dan bayi memperoleh kalori dengan : -
Menyusui bayi. -Pada bayi kurang bulan yang belum bisa menetek ASI
diberikan dengan sendok atau pipet. -Selama memberikan ASI bayi dalam
dekapan ibu agar tetap hangat. e.Mempertahankan bayi tetap hangat selama
dalam perjalanan pada waktu rujukan. f.Memberikan penghangatan pada bayi
baru lahir secara mandiri. g.Melatih semua orang yang terlibat dalam
pertolongan persalinan. Menunda memandikan bayi lahir sampai suhu tubuh
normal Untuk mencegah terjadinya serangan dingin, ibu/keluarga dan
penolong persalinan harus menunda memandikan bayi. a.Pada bayi lahir sehat
yaitu cukup bulan, berat < 2500 gram, langsung menangis kuat, memandikan
bayi ditunda 24 jam setelah kelahiran. Pada saat memandikan bayi, gunakan
![Page 36: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/36.jpg)
air hangat. b.Pada bayi lahir dengan resiko, keadaan umum bayi lemah atau
bayi dengan berat lahir 2000 gram sebaiknya jangan dimandikan. Tunda
beberapa hari sampai keadaan umum membaik yaitu bila suhu tubuh stabil,
bayi sudah lebih kuat dan dapat menghisap ASI dengan baik. Menangani
Hipotermi (1)Bayi yang mengalami hipotermi biasanya mudah sekali
meninggal. Tindakan yang harus dilakukan adalah segera menghangatkan
bayi di dalam inkubator atau melalui penyinaran lampu. (2)Cara lain yang
sangat sederhana dan mudah dikerjakan setiap orang ialah metode dekap,
yaitu bayi diletakkan telungkup dalam dekapan ibunya dan keduanya
diselimuti agar bayi senantiasa hangat. (3)Bila tubuh bayi masih dingin,
gunakan selimut atau kain hangat yang diseterika terlebih dahulu yang
digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu. Lakukan berulangkali sampai
tubuh bayi hangat. Tidak boleh memakai buli-buli panas, bahaya luka bakar.
(4)Biasanya bayi hipotermi menderita hipoglikemia sehingga bayi harus
diberi ASI sedikit-sedikit dan sesering mungkin. Bila bayi tidak dapat
menghisap beri infus glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kg per hari.
2.4.7 Hypertermi
A Definisi
Kenaikan suhu tubuh diatas 410 C (rectal). Merupakan keadaan gawat
darurat medik dengan angka kematian yang tinggi terutama pada bayi sangat
muda, usia lanjut dan penderita-penderita penyakit jantung.
Hiperpirexia terjadi karena produksi panas berlebihan, terhambatnya
pengeluaran panas atau kerusakan thermoregulator. Setiap kenaikan 10 C
suhu tubuh akan menaikkan metabolisme + 13%, sehingga pada suhu 40,50
C metabolisme meningkat 50%, konsumsi oksigen meningkat, terjadi
metabolisme anaerob dan asidosis metabolik. Suhu > 410 C anak bisa
mengalami kejang, sedangkan suhu > 420 C dapat menyebabkan denaturasi
dan kerusakan sel secara langsung.
Akibat yang bisa terjadi pada hiperpirexia :
![Page 37: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/37.jpg)
1. Renjatan / Hipovolemia
2. Gangguan fungsi jantung
3. Gangguan fungsi koagulasi
4. Gangguan fungsi ginjal
5. Nekrosis hepatosellular
6. Hiperventilasi, yang dapat menyebabkan hipokapnea, alkalosis dan
tetani.
B. Pengobatan
Antipiretik tidak diberikan secara otomatis pada setiap penderita panas
karena panas merupakan usaha pertahanan tubuh, pemberian antipiretik juga dapat
menutupi kemungkinan komplikasi. Pengobatan terutama ditujukan terhadap
penyakit penyebab panas.
Antipiretika.
Parasetamol : 10 -15 mg/kg BB/ kali (dapat diberikan secara oral atau
rektal).
Metamizole ( novalgin ) : 10 mg/kg BB/kali per oral atau intravenous.
Ibuprofen : 5-10 mg/kg BB/ kali, per oral atau rektal.
Pendinginan Secara fisik
Merupakan terapi pilihan utama. Kecepatan penurunan suhu > 0,10
C/menit sampai tercapai suhu 38,50 C. Cara-cara physical
cooling/compres :
Evaporasi : penderita dikompres dingin seluruh tubuh, disertai kipas angin
untuk mempercepat penguapan. Cara ini paling mudah, tidak invasif dan
efektif. Cara lain yang bisa digunakan : kumbah lambung dengan air
dingin, infus cairan dingin, enema dengan air dingin atau humidified
oksigen dingin, tetapi cara ini kurang efektif.
Penurunan suhu tubuh yang cepat dapat terjadi refleks vasokonstriksi dan
shivering yang akan meningkatkan kebutuhan oksigen dan produksi panas
yang merugikan tubuh. Untuk mengurangi dampak ini dapat diberi :
- Diazepam : merupakan pilihan utama dan lebih menguntungkan karena
![Page 38: Document2](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022062518/55cf8cd75503462b139011f8/html5/thumbnails/38.jpg)
mempunyai efek antikonvulsi dan tidak punya efek hipotensi.
- Chlorpromazine