26 pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap...
TRANSCRIPT
321
PENGARUH PEMBERIAN BAHAN AMELIORAN TERHADAP FLUKS CO2 PADA PERTANAMAN KELAPA SAWIT TANAH GAMBUT DI PERKEBUNAN RAKYAT KABUPATEN MUARA JAMBI PROPINSI JAMBI
1H.L. Susilawati, 2J. Hendri, 1Dedi Nursyamsi dan 3Prihasto Setyanto 1 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km
5 Pati, Jawa Tengah 2 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jl. Samarinda
Paal Lima Kotabaru Jambi 3 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Hidrologi dan Agroklimat, Jl. Tentara Pelajar
No. 1 Bogor 16111, Jawa Barat
Abstrak. Lahan gambut di Indonesia pada umumnya telah diusahakan sebagai lahan
pertanian oleh penduduk lokal untuk usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura dan
perkebunan. Upaya pemanfataan lahan gambut sebagai lahan pertanian masih
menimbulkan pro dan kontra karena sifatnya yang rapuh dan sebagai sumber gas rumah
kaca (GRK). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi emisi dan
teknologi mitigasi GRK dari lahan gambut yang telah ditanami kelapa sawit di Kabupaten
Muara Jambi, Provinsi Jambi. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan
Oktober 2011 d i Desa Arang-arang Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten Muara Jambi
Provinsi Jambi. Lokasi penelit ian ditanami kelapa sawit dengan umur 3 tahun dengan
jarak tanam 9 x 7 m. Perlakuan amelioran yang diterapkan pugam A, pugam T, kompos
tankos, pupuk kandang, tanah mineral dan kontrol. Pengambilan sampel CO2 dilakukan
dengan metode close chamber close technique. Sampel GRK d iambil pada pagi hari (jam
06.00-08.00) dan siang hari (jam 12.00-14.00). Sungkup yang digunakan berukuran
50x50x30cm. Sungkup diletakan d idekat piringan tanaman kelapa sawit. Hasil penelitian
diperoleh bahwa emisi CO2 yang dihasilkan dari tanah gambut yang ditanami kelapa sawit
di Desa Arang-arang Kecamatan Kumpeh Hulu sebesar 3,27 ton CO2 ha-1
tahun-1
, dengan
penambahan bahan amelioran berupa pugam T, kompos tankos, pupuk kandang dan tanah
mineral yang mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 5,7-26,6% sehingga emisi CO2 yang
dihasilkan menjad i 2,40-3,09 ton CO2 ha-1
tahun-1
. Pemberian pugam A meningkatkan
emisi GRK sebesar 1,2% menjadi 3,31 ton CO2 ha-1
tahun-1
. Pada umumnya fluks CO2
yang dihasilkan pada pengambilan siang hari lebih rendah antara 10- 37,7% dibandingkan
dengan fluks CO2 yang dihasilkan pada pagi hari.
Katakunci: Amelioran, gambut, kelapa sawit, GRK
Abstract. In Indonesia, peatlands generally has been cultivated by local residents as the
area of crops plantations, horticulture plantations. Extensification of peatland as
agricultural land is still cast and doubt. Peat soil is fragile and as a source of greenhouse
gas (GHG) emissions. The objectives of this study were to obtain the emission data and
information of technology to mitigate GHG emissions from peatlands that have been
planted with oil palm plantation in Muara Jambi, Jambi Province. Activities was
conducted during in January to October 2011 at Arang-Arang, Kumpeh Hulu, District
26
H.L. Susilawati et al.
322
Muara Jambi Jambi Province. The sites had been planted with 3 years old of oil palm
plantation with a spacing of 9 x 7 m. The treatments were pugam A, pugam T, compost
tankos, animal manure, soil minerals and control. CO2 sampling was done using of close
chamber technique. GHG samples were taken in the morning (6:00 a.m. to 8:00 hours)
and afternoon (12:00 to 14:00 hours). Chambers size was 50 cm x 50 cm x 30 cm. The
chamber was placed near palm oil crops. The result of this study are CO2 emissions of
palm oil plantation at Arang-Arang, Kumpeh Hulu, Muara Jambi, Jambi ia about 3.27
tons CO2 ha-1
year-1
. The addition of a pugam T, tankos, compost, animal manure and
mineral soil could reduce CO2 emissions by 5.7 to 26.6% and CO2 emissions become 2.40
to 3.09 tons CO2 ha-1
year-1
. A pugam increase GHG emissions by 1.2% to 3.31 tons CO2
ha-1
year-1
. Generally, flux of CO2 at the afternoon was lower between 10 - 37.7% than
flux of CO2 which was emitted in the morning.
Keywords: Ameliorant, peat, oil palm, GHG
PENDAHULUAN
Keterbatasan lahan produktif akibat alih fungsi lahan produktif ke non produktif
memerlukan adanya upaya perluasan lahan pertanian yang mengarah pada lahan -lahan
marginal dalam upaya mendukung pemenuhan ketersediaan pangan. Lahan gambut adalah
salah satu jenis lahan marjinal yang mempunyai potensi besar dalam upaya ekstensifikasi
pertanian karena konflik tata guna lahan relatif kecil dan luasannya yang relatif besar di
Indonesia.
Luasan lahan gambut di dunia kurang lebih sekitar 3% dari luas permukaan bumi
dan dalam keadaan alami mampu menyimpan 26% C-organik (Smith et al. 2004). Lahan
gambut di Indonesia seluas 20,10 juta ha atau sekitar 6,45% dari luas lahan gambut di
dunia dan mayoritas terdapat di luar pulau Jawa (Neue et al. 1997). Di Jambi lahan
gambut dapat dibagi menjadi 5 wilayah, yaitu untuk tanaman padi sawah seluas 104.502
ha, nenas seluas 1.750 ha, karet seluas 36.884 ha, kelapa sawit seluas 138.750 ha serta
tanaman kelapa/kelapa sawit seluas 77.937 ha (Hidayat dan Ritung 2006). Pemberian
bahan amelioran seperti pupuk organik, tanah mineral, zeolit, dolomit, fosfat alam, pupuk
kandang, kapur pertanian, abu sekam, purun tikus (Eleocharis dulcis) dapat meningkatkan
pH tanah dan basa-basa tanah, meningkatkan C sequestration dan mitigasi emisi gas
rumah kaca serta peningkatan produktivitas tanah gambut yang berkelanjutan (Subiksa et
al. 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999).
Pada kondisi hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penyerap karbon
sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca d i atmosfer. Lahan gambut di
Indonesia pada umumnya telah diusahakan sebagai lahan pertanian oleh penduduk lokal,
bahkan akhir-akh ir in i pembukaan lahan gambut meningkat akibat kebutuhan untuk
ekstensifikasi usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Budidaya
Pengaruh pemberian amelioran terhadap fluks CO2
323
tanaman pertanian akan mengurangi stabilitas dan mempercepat proses dekomposisi
sehinggga akan memicu peningkatan gas rumah kaca (GRK).
Upaya pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian masih menimbulkan pro
dan kontra antar berbagai pihak. Menurut Hooijer et al. (2006) untuk setiap 10 cm
kedalaman drainase akan menghasilkan emisi CO2 sebesar 9,1 t ha-1
tahun-1
. Perkebunan
kelapa sawit mempunyai kedalaman rata-rata 80 cm sehingga akan menghasilkan emisi
CO2 sekitar 73 t ha-1
th-1
atau 1820 t ha-1
per 25 tahun (Agus et al. 2007). Konversi hutan
menjadi areal perkebunan sawit ini dituding sebagai yang bertanggungjawab akan emisi
karbon, perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Tudingan bahwa Indonesia merupakan emitor karbon ke-3 di dunia perlu adanya
komitmen yang kuat dalam menangani isu tersebut. Komitmen Indonesia untuk
berpartisipasi aktif dalam penurunan emisi gas rumah kaca sebes ar 26% disampaikan oleh
presiden Indonesia dalam pertemuan G-20 di Copenhagen. Oleh karena itu perlu adanya
upaya dalam menghambat laju pemanasan global salah satunya dengan melakukan
inventarisasi emisi CO2 dan mengkaji teknologi yang mampu menghasilkan e misi yang
lebih rendah secara akurat dan ilmiah.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi
Penelit ian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2011 dengan
lokasi d i Desa Arang-arang Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten Muara Jambi Provinsi
Jambi. Lokasi percobaan merupakan perkebunan rakyat yang melibatkan 6 petani
kooperator dengan luas lahan percobaan 5 ha. Pada luasan tersebut, ketebalan gambut
antara 150-300 cm dengan tingkat kematangan saprik. Variasi kedalaman air antara 50 -60
cm. pH tanah antara 4-4,5. Lokasi penelitian ditanamani kelapa sawit dengan umur 3
tahun dengan jarak tanam 9 x 7 m sebagai tanaman utama dan tanaman jagung sebagai
tanaman sela.
Perlakuan
Masing-masing perlakuan menempati areal seluas 0,5 ha dengan ukuran 50x100 m.
Amelioran diberikan dengan cara disebar dipermukaan gambut merata pada tanaman
pokok kelapa sawit dan tanaman sela (jagung) dengan takaran sesuai perlakuan. Untuk
semua petak, diberikan pupuk dasar urea 135 kg N ha-1
, SP-36 80 kg P2O5 ha-1
dan KCl 90
kg K2O ha-1
, kecuali perlakuan pugam A dan pugam T t idak diberikan SP-36. Perlakuan
amelioran diulang 3 kali dengan penerapan adalah sebagai berikut:
H.L. Susilawati et al.
324
1 = penggunaan pugam A
2 = penggunaan pugam T
3 = penggunaan kompos tandan kosong kelapa sawit (tankos)
4 = penggunaan pupuk kandang
5 = pengunaan tanah mineral
6 = Kontrol
Pengambilan sampel CO2
Pengambilan sampel CO2 dilakukan dengan metode close chamber close technique
yang diadopsi dari IA EA(1993). Sampel GRK d iambil setiap minggu pada pagi hari (jam
06.00-08.00) dan siang hari (jam 12.00-14.00), masing-masing 8 kali dengan interval 3
menit. Sungkup yang digunakan berukuran 50x50x30 cm pada tanaman sawit.
Pengambilan gas dilakukan lokasi perlakuan amelioran yang ditentukan berdasarkan pada
jarak dengan sistem drainase terdekat. Pengambilan contoh gas pada setiap ulangan
terletak d ibawah piringan tanaman kelapa sawit.
Analisis CO2
Contoh gas dalam jarum suntik 10 ml yang sudah terkumpul kemudian dianalisis
konsentrasinya dengan micro GC yang dapat secara langsung dioperasikan di lapang
karena GC yang digunakan merupakan GC yang portabel. Micro GC CP-4900
menggunakan detektor TCD (thermal conductivity detector).
Perhitungan fluks CO2
Perhitungan fluks CO2 pada setiap perlakuan menggunakan persamaan yang
digunakan oleh Lantin et al. (1995).
2.273
2.273
Tx
A
Vx
t
Cspx
Vm
BmE
Di mana:
E = emisi CO2 (mg/m2/hari)
V = volume sungkup (m3)
A = luas dasar sungkup (m2)
T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC)
Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CO2 (ppm/menit)
Bm = berat molekul gas CO2 dalam kondisi standar
Vm = volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure)
yaitu 22.41 liter pada 23oK
Pengaruh pemberian amelioran terhadap fluks CO2
325
Analisis statistik
Analisis regresi sederhana dilakukan terhadap peubah bebas (kedalaman air, waktu
pengambilan, lokasi pengambilan) dengan peubah tak bebas (fluks CO2) untuk
mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap emisi GRK dari tanah gambut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fluks Harian dan Total Emisi CO2
Fluks CO2 sangat bervariasi pada semua perlakuan dan berkisar antara 46,5-690.1
mg/m2/jam (Gambar 1). Pada awal pengambilan sampel, fluks CO2 masih terlihat tinggi
kemudian menurun pada pengamatan ketiga. Banyak faktor yang mempengaruhi fluks
CO2 di lahan gambut seperti pH tanah, ketersediaan nutrisi, air, suhu tanah dan faktor
lingkungan lainnya. Berglund (2011) menyatakan bahwa kedalaman muka air sangat
mempengaruhi emisi gas rumah kaca di lahan gambut tetapi variasi karekteristik tanah
juga mempengaruhi emisi yang dihasilkan. Pada lokasi pengambilan contoh gas
mempunyai kedalaman air antara 50-60 cm. Sedangkan berdasarkan Martikainen et al.
(1995) dan Kechavarzi et al. (2007) fluks CO2 meningkat tergantung pada ketersediaan
oksigen dalam tanah sebagai hasil dari dekomposisi tanah gambut. Oleh karena itu
pengelolaan lahan sangat berpengaruh terhadap emisi GRK dari lahan gambut.
Total emisi CO2 pertahun yang dihasilkan dari tanah gambut disekitar piringan
tanaman kelapa sawit dengan perlakuan pemberian terdapat pada Gambar 2. Emisi CO2
terendah yang dihasilkan dari piringan tanaman berasal dari perlakuan pemberian pupuk
kandang sebesar 2,40 t ha-1 th-1 d isusul dengan pemberian tanah mineral, tankos, pugam
A, control dan pugam T dengan berturut-turut sebesar 2,83; 3,06; 3,09; 3,27 dan 3,31
t/ha/tahun. Emisi CO2 yang dihasilkan dari pemberian pupuk kandang, tanah mineral,
tankos dan pugam A lebih kecil dibandingkan kontrol d iduga karena tankos dan pupuk
kandang yang berasal dari kotoran ayam mempunyai kandungan lignin dan selulosa tinggi
sehingga proses perombakannya perlu waktu yang lama karena lignin dan selullosa
merupakan atom karbon yang berantai panjang. Sedangkan pemberian tanah mineral yaitu
tanah laterit umumnya mengandung kwarsa, besi, timah, alumunium dan manga n.
Kandungan tanah laterit yang kaya akan oksida ini yang menyebabkan tanah laterit
mampu menekan emisi CO2 dari lahan gambut.
H.L. Susilawati et al.
326
Gambar 1. Fluks harian CO2 dari piringan tanaman kelapa sawit dengan 6 perlakuan
amelioransi di tanah gambut
Berdasarkan Subiksa (2010), pugam banyak mengandung hara P, Ca dan Mg serta
kation polivalen dan unsur mikro yang sangat diperlukan untuk menetralisir asam organik
beracun. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pugam A mampu menekan emisi CO2
paling tinggi yaitu rata-rata 57%, diikuti pugam T, pugam R dan pugam Q masing-masing
sebesar 50%, 45% dan 43%. Akan tetapi di dalam penelit ian ini pugam T menghasilkan
emisi CO2 lebih t inggi dibandingkan dengan kontrol.
Gambar 2. Total emisi CO2 per tahun dari p iringan tanaman kelapa sawit dengan 6
perlakuan ameliorasi
0
1
2
3
4
5
6
Pugam A Pugam T Pukan Tankos Tanah Mineral
Kontrol
To
tal e
mis
i C
O2
(t/h
a/t
ah
un
)
Perlakuan
0
100
200
300
400
500
600
700
800
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Fl uks CO
2 ( mg/m
2 / jam)
Pengamatan GRK
Pugam A Pugam T Pukan
Tankos Tanah Mineral Kontrol
Pengaruh pemberian amelioran terhadap fluks CO2
327
Fluks CO2 pada Pagi dan Siang Hari
Pengamatan fluks CO2 yang dilakukan pada pagi dan siang hari disemua perlakuan
terlihat pada Gambar 3. Pada umumnya, fluks CO2 pada pengamatan pagi leb ih tinggi
daripada fluks CO2 yang dihasilkan pada siang hari. Fluks rata-rata pada pagi hari antara
175-295 mg m-2
jam-1
, sedangkan fluks CO2 rata-rata pada siang hari antara 165-345 mg
m-2
jam-1
. Akan tetapi pada 2 perlakuan pemberian pugam T dan pukan fluks CO2 yang
dihasilkan pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan yang dihasilkan pada siang hari. Fluks
CO2 di piringan pada s iang hari lebih rendah dibandingkan pagi hari d iduga karena pada
pengambilan sampel di p iringan dilakukan pada lokasi yang berdekatan dengan tanaman.
Pada siang hari tanaman menyerap CO2 untuk digunakan fotosintesis. Tanaman
mempunyai fungsi ekologis di lahan gambut karena tanaman tersebut mampu mengurangi
penguapan air yang berlebih dan sebagai penyerap CO2 dari hasil dekomposisi maupun
respirasi akar. Pengaturan sistem perakaran tanaman dapat digunakan untuk mengurangi
emisi karbon karena sistem perakaran tanaman dapat digunakan untuk mendistribusikan
kembali karbon pada profil tanah permukaan dimana karbon untuk pembentukan CO2
dapat dikurangi (Houghton et al. 1983; Post et al. 1990).
Gambar 3. Fluks CO2 pada pagi dan siang hari dari p iringan tanaman kelapa sawit
dengan 6 perlakuan amelio rasi
Gambar 4 memperlihatkan adanya hubungan antara suhu tanah dengan fluks CO2.
Pada pagi hari, suhu berkisar antara 23,3-26,20C sedangkan pada siang hari suhu berkisar
antara 31,5-40,90C. Fluks CO2 di piringan pada pagi hari disemua perla kuan berkisar
antara 141-415 mg m-2
jam-1
dan pada siang hari berkisar antara 106-342 mg m-2
jam-1
.
Fluks CO2 terendah dihasilkan pada suhu antara 31-320C. McInerney dan Bolger (2000);
Mieln ick dan Dugas (2000); Hui dan Luo (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara suhu tanah dengan fluks CO2 akan tetapi fluks CO2 tertinggi tidak selalu dihasilkan
pada suhu maksimum.
y = 1.243x2 - 78.85x + 1444.r = 0,4*, n = 34
0
100
200
300
400
500
0 10 20 30 40 50
Fluk
s C
O2
(mg/
m2 /ja
m)
Suhu (0C)
H.L. Susilawati et al.
328
Gambar 4. Hubungan antara suhu tanah dengan fluks CO2 dari piringan tanaman kelapa
sawit dengan 6 perlakuan ameliorasi
Fluks Harian CO2 berdasarkan Jarak dari Saluran Air
Lokasi pengambilan contoh gas berdasarkan pada jarak dari saluran air
menghasilkan fluks CO2 yang berbeda. Pada Gambar 5 terlihat bahwa adanya hubungan
antara jarak pengambilan contoh gas dengan fluks CO2. Semakin jauh jarak lokasi
pengambilan contoh gas dari saluran air menyebabkan fluks CO2 yang dihasilkan semakin
kecil. Hal ini dapat disebabkan beberapa hal yaitu tingkat kedalaman air yang
mempengaruhi kelembaban tanah dan aerasi. Terdapat kemungkinan bahwa semakin jauh
lokasi pengambilan contoh gas dari saluran air akan membuat kedalaman air semakin
dangkal. Akan tetapi seharusnya tingkat kedalaman air diukur dan tidak berdasarkan
asumsi. Renger et al. (2002) menyatakan bahwa emisi CO2 akan dua kali lipat lebih besar
pada kedalaman air 80 cm dibandingkan pada kedalaman 30 cm. Hal in i disebabkan
karena adanya tingkat mineralisasi tertinggi pada kedalaman air antara 80-90cm, pada
kedalaman 17-60 cm terjad i mineralisasi sebesar 80% dari tingkat mineralisasi
maksimum. Akan tetapi Nieveen et al. (2005), Aerts dan Ludwig (1997), Maljanen et al.
(2001) mengemukakan bahwa kedalaman air t idak mempengaruh i emisi CO2.
Gambar 5. Hubungan antara jarak lokasi pengambilan contoh gas dengan fluks CO2 dari
piringan tanaman kelapa sawit dengan 6 perlakuan ameliorasi
y = -3.128x + 453.9r = 0,2**, n = 172
-400
0
400
800
1200
1600
0 20 40 60 80 100
Flu
ks C
O2
(mg
/m2 /
jam
)
Jarak dari saluran air (cm)
Pugam A Pugam T Pukan Tankos Tanah mineral
0
50
100
150
200
250
300
350
400
Pugam A Pugam T Pukan Tankos Tanah Mineral
Kontrol
Fluk
s C
O2 (m
g/m
2 /ja
m)
Perlakuan
Pagi siang
Pengaruh pemberian amelioran terhadap fluks CO2
329
Fluks CO2 dari berbagai perlakuan amelioran pada jarak pengambilan dari saluran
air 50, 70 dan 90 m disajikan pada Gambar 6. Fluks CO2 rata-rata terendah terdapat pada
pengambilan contoh gas dengan jarak 90 cm dari saluran dengan perlakuan pupuk
kandang dan tertinggi terdapat pada jarak pengambilan 50 cm dengan perlakuan pugam T.
Dengan ini dapat dinyatakan bahwa titik pengamatan 50 m mengemisi paling tinggi
diantara 2 tit ik yang lainnya. Hal tersebut diduga karena semakin pendeknya jarak dari
saluran air menyebabkan kondisi tanah gambut yang berada didekat saluran air
mempunyai kedalaman air yang lebih dalam dibandingkan titik pengamatan lainnya.
Semakin dalamnya air semakin tercipta kondisi aerob yang memungkinkan terbentuknya
CO2. Akan tetapi pengambilan contoh gas pada kontrol tidak dapat dibandingkan karena
pengambilan contoh gas dilakukan pada jarak jarak yang sama.
Gambar 6. Fluks CO2 pada jarak pengambilan contoh gas yang berbeda dari piringan
tanaman kelapa sawit dengan 6 perlakuan ameliorasi
KESIMPULANDAN SARAN
Kesimpulan dari penelit ian ini adalah :
1. Terdapat hubungan antara fluks CO2 dengan jarak pengambilan contoh gas dari
saluran air dan hubungan antara fluks CO2 dengan suhu tanah.
2. Fluks CO2 rata-rata pada pagi hari antara 175-295 mg m-2
jam-1
, sedangkan fluks CO2
rata-rata pada siang hari antara 165-345 mg m-2
jam-1
.
3. Emisi CO2 dari p iringan tanaman kelapa sawit dengan perlakuan pemberian pupuk
kandang sebesar 2,40 t ha-1
th-1
diikut i dengan pemberian tanah mineral, tankos,
pugam A, kontrol dan pugam T dengan berturut-turut sebesar 2,83; 3,06; 3,09; 3,27
dan 3,31 t ha-1
tahun-1
.
0
200
400
600
800
1000
Pugam A Pugam T Pukan Tankos Tanah Mineral
Kontrol
Flu
ks C
O2(m
g/m
2/jam
)
Perlakuan
50 m 70 m 90 m
H.L. Susilawati et al.
330
4. Persentase penurunan tertinggi terdapat pada pemberian pemberian pupuk kandang
sebesar 26,6% d iikuti pemberian tanamh mineral, tankos dan pugam A dengan
persentase berturut-turut sebesar 13,5%, 6,5% dan 5,7%.
Saran
Perlu adanya pengukuran parameter yang mempengaruhi emisi GRK yang lokasi
pengamatannya berdekatan dengan pengambilan sampel GRK dan pengamatannya pada
waktu yang bersamaan dengan pengukuran sampel GRK.
DAFTAR PUSTAKA
Aerts, R., Ludwig, F., 1997. Water-table changes and nutritional status affect trace gas
emissions from laboratory columns of peatland soils. Soil Bio logy & Biochemistry
29, 1691-1698.
Agus F, Suyanto, Wahyunto, and van Noordwijk M. 2007. Reducing emission from
peatland deforestation and degradation: Carbon emission and opportunity costs.
Paper presented in “International Symposium and Workshop on Tropical Peatland
“Carbon – Climate - Human Interaction - Carbon pools, fire, mit igation,
restoration, and Wise Use”, Yogyakarta, Indonesia, 27-29 August 2007.
Berg lund, O., K. Berglund. 2011. Influence of water table level and soil properties on
emissions of greenhouse gases from cultivated peat soil. Soil Biology &
Biochemistry 43. 923-931
Hidayat A dan Ritung S., 2007. Potensi dan ketersediaan lahan gambut untuk
pengembangan komoditas pertanian unggulan di riau, Sumatera barat dan Jambi.
Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia
Hooijer, A., M. Silvius, H. Worsten, and S. Page. 2006. Peat CO2, Assessment of CO2
Emission from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943
Houghton R.A., Hobbie J.E., Melillo J.M., More B., Peterson B.J., Shaver G.R., and
Woodwell G.R. 1983. Changes in the carbon content of terrestrial biota and soils
between 1860-1980: A net release of CO2 to the atmosphere. Ecol Monogr 53:
235-262
Hui, D., Luo, Y., 2004. Evaluation of soil CO2 production and transport in Duke Forest
using a process-based modeling approach. Global Biogeochemistry Cycles 18.
IAEA (International Atomic Energy Agency). 1993. Manual on Measurement of Methane
and Nitrous Oxide Emission from Agricultural Vienna: IAEA.
Kechavarzi, C., Dawson, Q., Leeds-Harrison, P.B., SzatyŁowicz, J., Gnatowski, T., 2007.
Water-table management in lowland UK peat soils and its potential impact on CO2
emission. Soil Use Manage. 23, 359–367.
Lantin, R.S. Aduna, J.B. and A.M.J, Javellana. 1995. Methane measurements in rice
fields. Instruction manual and methodologies, maintenance and troubleshooting
guide. A joint undertaking by: International Rice Research Institute (IRRI), United
Pengaruh pemberian amelioran terhadap fluks CO2
331
State Environmental Protection Agency (US-EPA) and United Nation
Development Program (UNDP).
Maljanen, M., Mart ikainen, P.J., Walden, J., Silvola, J., 2001. CO2 exchange in an organic
field growing barley or grass in eastern Finland. Global Change Biology 7 (6),
679-692
Mario, M.D. 2002. Peningkatan Produktivitas dan Stabilitas Tanah Gambut dengan
Pemberian Tanah Mineral yang Diperkaya oleh Bahan Berkadar Besi Tinggi.
Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Martikainen, P.J., Nyka¨nen, H., A lm, J., Silvola, J., 1995. Change in fluxes of carbon
dioxide, methane and nitrous oxide due to forest drainage of mire sites of different
trophy. Plant Soil 168/169, 571–577.
McInerney, M., Bolger, T., 2000. Temperature, wetting cycles and soil texture effects on
carbon and nitrogen dynamics in stabilized earthworm casts. Soil Bio logy and
Biochemistry 32, 335–349.
Mieln ick, P.C., Dugas,W.A., 2000. Soil CO2 flux in a tallgrass prairie. Soil Biology and
Biochemistry 32, 221–228.
Neue, H.U. Wassmann, R. Lant in, R.S. A lberto, M.C.R. Aduna, J.B. and Javellana, A.M.
1996. Factors affecting methane emission from rice fields. Atmos. Environ 30:
1751-1754.
Nieveen, J.P., Campbell, D.I., Schipper, L.A., Blair, I.J., 2005. Carbon exchange of
grazed pasture on a drained peat soil. Global Change Biology 11 (4), 607 -618.
Post W.M., Peng T.H., Enemuel W.R., King A.W., Dale V.H., and DeAngelis D.L. 1990.
The global karbon cycle. A m sci. 78: 310-326.
Renger, M., Wessolek, G., Schwarzel, K., Sauerbrey, R., Siewert, C., 2002. Aspects of
peat conservation and water management. Journal of Plant Nutrit ion and Soil
Science 165 (4), 487-493.
Salampak, 1999. Peningkatan Produktiv itas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan
Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi. Disertasi
Program Pascasarjana, IPB Bogor
Smith, L.C., MacDonald, G.M., Velichko, A.A., Beilman, D.W., Borisova, O.K., Frey,
K.E.,Kremenetski, K.V., Sheng, Y., 2004. Siberian peatlands a net carbon sin k and
global methane source since the early Holocene. Science 303, 353e356
Subiksa, I G., Made, 2010. Pengembangan Fomula A melioran dan Pupuk "Pugam"
Spesifik Lahan Gambut Diperkaya Bahan Pengkhelat untuk Meningkatkan Serapan
Hara dan Produksi Tanaman > 50% dan Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) >30%. http://km.ristek.go.id/index. php/klasifikasi/detail/20885.
Subiksa, IGM., K. Nugroho, Sholeh and IPG. W idjaja Adhi. 1997. The effect of
ameliorants on the chemical properties and productivity of peat soil. In: Rieley and
Page (Eds). Pp :321-326. Biod iversity and Sustainability of Tropical
Peatlands.Samara Publishing Limited, UK.