3. dokel e

120
Lab Ilmu Kesehatan Masyarakat KEDOKTERAN KELUARGA Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman TB PARU + GIZI BURUK TIPE MARASMUS + DEMAM TIFOID Disusun Oleh: Eko Dian Syafithra 0910015040 Pembimbing dr. M. Khairul Nuryanto, M.Kes dr. Kasiman Veronika Hinum, S.KM, M.M Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat 1

Upload: durian-arms

Post on 08-Jul-2016

232 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

woohoooooo

TRANSCRIPT

Lab Ilmu Kesehatan Masyarakat KEDOKTERAN KELUARGAFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman

TB PARU + GIZI BURUK TIPE MARASMUS + DEMAM TIFOID

Disusun Oleh:Eko Dian Syafithra

0910015040

Pembimbingdr. M. Khairul Nuryanto, M.Kes

dr. KasimanVeronika Hinum, S.KM, M.M

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik padaLaboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMANPUSKESMAS PALARAN SAMARINDA

2016

1

KEDOKTERAN KELUARGATB PARU + GIZI BURUK TIPE

MARASMUS + DEMAM TIFOIDHALAMAN JUDUL

Disusun Oleh:Eko Dian Syafithra

0910015040

Pembimbingdr. M. Khairul Nuryanto, M.Kes

dr. KasimanVeronika Hinum, S.KM, M.M

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik padaLaboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran Universitas MulawarmanPuskesmas Palaran Samarinda

2016

2

LEMBAR PENGESAHAN

TB PARU + GIZI BURUK TIPE MARASMUS + DEMAM TIFOID

Kedokteran Keluarga

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik

pada Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat

Disusun oleh:

Eko Dian Syafithra0910015040

Dipresentasikan pada Maret 2016

Pembimbing

dr. M. Khairul Nuryanto, M.KesNIP. 19780612 200604 1 006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA2016

3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................2LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................3DAFTAR ISI...........................................................................................................4BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................5

1.1. Latar Belakang....................................................................................51.2. Tujuan.................................................................................................7

BAB II LAPORAN KASUS..................................................................................8BAB III TINJAUAN PUSTAKA........................................................................34

3.1. Tuberkulosis pada Anak...................................................................343.1.1. Definisi dan Klasifikasi.........................................................343.1.2. Manifestasi Klinis.................................................................363.1.3. Diagnosis...............................................................................383.1.4. Penatalaksanaan....................................................................45

3.2. Marasmus..........................................................................................513.2.1. Definisi..................................................................................513.2.2. Etiologi..................................................................................513.2.3. Patogenesis............................................................................533.2.4. Manifestasi Klinis.................................................................533.2.5. Diagnosis...............................................................................543.2.6. Penatalaksanaan dan Pencegahan.........................................563.2.7. Komplikasi............................................................................573.2.8. Prognosis...............................................................................68

BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................69BAB V PENUTUP................................................................................................73

5.1. Kesimpulan.......................................................................................735.2. Saran.................................................................................................73

LAMPIRAN..........................................................................................................74DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................78

4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberculosis paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Myocobacterium tuberculosis. Penyakit ini bersifat sistemik sehingga dapat

mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang

biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Depkes RI, 2013). Tuberkulosis Paru

(TB Paru) telah dikenal hampir di seluruh dunia, sebagai penyakit kronis yang

dapat menurunkan daya tahan fisik penderitanya secara serius. Hal ini disebabkan

oleh terjadinya kerusakan jaringan paru yang bersifat permanen. Di samping

proses destruksi terjadi pula secara simultan proses restorasi atau penyembuhan

jaringan paru sehingga terjadi perubahan struktural yang bersifat menetap serta

bervariasi yang menyebabkan berbagai macam kelainan faal paru (PDPI, 2006;

Depkes RI, 2014).

Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus

TB anak per tahun adalah 5-6 % dari kasus total TB. Pada negara berkembang TB

pada anak berusia < 15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di

negara maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5-7 %. Menurut perkiraan WHO pada

tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun

dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Penyebab utama

meningkatnya tuberkulosis di dunia di antaranya karena kurangnya kepatuhan

kepada program penanggulangan tuberkulosis, diagnosis dan pengobatan yang

tidak adekuat (Depkes RI, 2013; Widodo et. al., 2002).

Proporsi pasien TB Anak di antara seluruh kasus TB tahun 2011 per

provinsi mempunyai range 1,7%-17,2%, dengan provinsi terendah Sulawesi

Tengah dan tertinggi Jawa Barat. Provinsi yang mempunyai angka sesuai target

yang diharapkan (target sekitar 15%) sebanyak 1 provinsi (3 %) yaitu Papua

Barat. Provinsi yang mempunyai angka diatas target sebanyak 1 provinsi (3%)

yaitu Jawa Barat. Bila dibandingkan antara tahun 2010 dengan tahun 2011

terdapat 15 (45,5%) provinsi yang mengalami peningkatan, tertinggi Maluku (2%)

5

dan terendah Jawa Timur dan Banten (0,1%). Provinsi yang mengalami

penurunan sebanyak 18 provinsi (81,8%), tertinggi Bengkulu (1,6%) dan terendah

Sumatera Utara (0,2%). Sedangkan untuk di Kalimantan Timur proporsi TB anak

meningkat dari 7,3% pada tahun 2010 naik menjadi 8,3% pada tahun 2011

(Depkes RI, 2013; Widodo et. al., 2002; PDPI, 2006).

Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang

penyebarannya sangat mudah sekali, yaitu melalui batuk, bersin dan berbicara.

Untuk mengurangi bertambahnya TB paru dan masalah yang ditimbulkan oleh

penyakit TB paru, perlu dilakukan penanganan awal yang dapat dilakukan adalah

dilingkungan keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri

atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu

tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI,

2014).

Penyebaran penyakit tuberkulosis paru yang sangat mudah ini, sangat

rentan pada keluarga yang anggota keluarganya sedang menderita penyakit

tersebut. Penyakit dapat menular pada anggota keluarga yang lain. Oleh karena

itu, penyakit tuberkulosis harus mendapat penanganan yang tepat karena penyakit

ini menyerang tidak memandang kelompok usia produktif, kelompok ekonomi

lemah dan berpendidikan rendah. Penyakit TB paru lebih banyak ditemukan di

daerah miskin. Karena faktor lingkungan yang kurang mendukung menjadi

penyebab TB paru (Depkes RI, 2014).

Selain itu, gizi buruk masih merupakan masalah serius di Indonesia,

walaupun pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data

SUSENAS menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U < -3 SD Z-score WHO-

NCHS sejak tahun 1989 meningkat dari 6,3% menjadi 7,2% pada tahun 1992 dan

mencapai puncaknya 11,6% pada tahun 1995. Gizi buruk ini sering disebut juga

kurang energi protein (KEP) berat. Terdapat 3 bentuk KEP berat secara klinis

yaitu marasmus, kwashiorkor, dan marasmik-kwashiorkor. Hal ini dapat terjadi

karena asupan kalori yang inadekuat (kurangnya asupan energi dan protein dalam

makanan yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi). Pada umumnya

Tuberculosis paru sering menyebabkan gizi buruk yang akan disertai dengan

penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), serta

6

penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54% angka

kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19% diare, 19% Infeksi

Saluran Pernafasan Akut, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria dan 32%

penyebab lain (Depkes RI, 2014; WHO, 2008).

1.2. Tujuan

Penyusunan laporan kedokteran keluarga tentang “TB Paru + Gizi Buruk

Tipe Marasmus + Demam Tifoid” ini bertujuan untuk mengetahui penegakkan

dan penatalaksanaan kasus TB Paru, Gizi Buruk, dan Demam Tifoid yang didapat

di lingkungan Puskesmas Palaran dan sebagai pembelajaran sebagai dokter

keluarga yang merupakan kompetensi wajib bagi seorang dokter umum.

7

BAB II

LAPORAN KASUS

1.

2.

1.2.2.1. Identitas

2.1.1. Identitas Pasien

Nama : An. MDS

Jenis kelamin : Laki-Laki

Umur : 9 tahun

Alamat : Jl. Adisucipto RT 02 Kel. Handil Bakti Kec. Palaran

Gol. Darah : -

Anak ke : 1 dari 2 bersaudara

2.1.2. Identitas Orang Tua Pasien

Identitas Ayah Kandung

Nama : Tn. Mo

Tempat, Tanggal Lahir : 14 Desember 1969

Umur : 46 tahun

Alamat : Jl. Adisucipto RT 02 Kel. Handil Bakti

Pekerjaan : Petani

Pendidikan Terakhir : SMA

Golongan darah : -

Ayah perkawinan ke : 1

Identitas Ibu Kandung

Nama : Ny. ES

Tempat, Tanggal Lahir : 11 Juni 1986

Umur : 29 tahun

Alamat : Jl. Adisucipto RT 02 Kel. Handil Bakti

Pekerjaan : Penjual Gorengan

8

Pendidikan Terakhir : SMP

Golongan darah : -

Ibu perkawinan ke : 1

2.2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa dan bertahap pada tanggal 17

dan 1 Maret 2016 Februari 2016 dengan ayah dan ibu kandung pasien di

Puskesmas Palaran dan rumah pasien.

2.2.1. Keluhan Utama

Demam.

2.2.2. Keluhan Tambahan

Tidak ada nafsu makan dan tidak ada kenaikan berat badan.

2.2.3. Riwayat Penyakit Sekarang

Ayah pasien membawa pasien berobat ke poli umum puskesmas palaran

setelah pasien dirujuk dari poli P2M (pasien rutin mengambil OAT tiap 10 hari)

dengan keluhan demam sejak ± 1 hari yang lalu (Red: 17 Februari 2016). Keluhan

demam tersebut tanpa disertai adanya batuk, pilek, mual, muntah, ataupun BAB

cair. Ayah pasien juga menyangkal adanya mimisan atau gusi berdarah pada

pasien. Ayah pasien tidak mengetahui apakah ada tetangga sekitar rumah yang

mengalami demam berdarah. Menurut pengakuan ibu pasien, pasien memang

sering sekali demam tanpa diketahui dengan jelas penyebabnya dan sering

sembuh dengan segera. Pasien juga terkadang sering mengalami batuk dan pilek

ringan, namun dalam sebulan terakhir keluhan tersebut disangkal oleh ibu pasien.

Ibu pasien juga mengatakan kedua sendi lutut pasien sering terasa sakit dan

mereda jika diolesi balsam.

Keluhan demam kemudian berlanjut sampai 3 hari kemudian sehingga

ayah pasien membawanya ke Puskesmas Palaran untuk dilakukan pengecekkan

darah namun Pelayanan Poli di Puskesmas Palaran sudah tutup. Karena pasien

tampak semakin lemas, akhirnya pasien dibawa oleh orang tuanya ke praktek

dokter spesialis anak dan kemudian dirujuk ke R.S. I.A. Moeis dan kemudian

mendapatkan perawatan lanjutan yakni di rawat inap selama ± 12 hari.

Ayah pasien juga mengeluh bahwa pasien sulit sekali disuruh makan dan

pasien seringkali mengatakan tidak nafsu makan sejak ± setahun terakhir.

9

Menurut pengakuan ayah pasien, setiap kali jam makan, ibu pasien selalu harus

memaksa pasien untuk makan. Setiap kali kegiatan makan, pasien hanya mampu

menghabiskan 2-4 sendok makan saja walaupun dalam sehari pasien makan

sebanyak tiga kali. Pasien juga sangat jarang makan sayuran, ikan, dan buah-

buahan. Pasien hanya suka makan sosis dalam bentuk kemasan.

Ibu pasien juga mengeluhkan bahwa pasien tidak ada kenaikan berat badan

sejak ± 3 bulan terakhir. Keluhan tidak ada kenaikan berat badan tersebut

dirasakan semakin memberat sejak pasien sering demam dan lemas. Bahkan sejak

bulan Januari 2016, berat badan pasien menetap yakni berkisar sekitar 18

kilogram. Menurut pengakuan ibu pasien, berat badan pasien pernah mencapai 20

kilogram sebelumnya.

2.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu

Ibu pasien mengaku pasien tidak pernah memiliki riwayat opname

sebelumnya. Menurut pengakuan ibu dan nenek pasien, setiap kali pasien sakit

tidak pernah melewati dari dua hari dan sembuh dengan segera. Ibu pasien

menuturkan bahwa pasien juga tidak pernah memiliki riwayat operasi

sebelumnya. Ibu pasien juga menyangkal adanya riwayat alergi pada anaknya.

2.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga

Nenek dari ayah pasien pernah mengalami batuk lama dan mendapatkan

terapi OAT sejak sekitar tahun 2008 namun diketahui tidak sampai tuntas dan

tidak berobat lagi hingga kini. Nenek dan kakek dari ayah pasien tersebut juga

menderita diabetes mellitus. Sedangkan kakek dari ibu pasien menderita tekanan

darah tinggi. Selain nenek dari ayah pasien, tidak ada anggota keluarga lain yang

menderita tuberkulosis atau yang mengalami batuk yang lama.

2.2.6. Riwayat Pengobatan

Pasien pernah dibawa oleh ibu dan ayah pasien konsultasi masalah berat

badannya ke Puskesmas Palaran pada bulan Desember 2015. Pasien dinyatakan

mengalami gizi buruk dan mendapatkan konsultasi dari ahli gizi dan terapi diet

TEPT serta pendampingan gizi dari Puskesmas Palaran.

Pasien juga dibawa oleh orang tua pasien ke praktek dokter spesialis anak

untuk konsultasi lanjutan karena tidak ada nafsu makan, tidak ada kenaikan berat

badan, sering demam dan lemas. Pasien didiagnosis oleh dokter spesialis anak

10

tersebut sebagai TB dengan sistem skoring karena dari pemeriksaan sputum BTA

di dokter spesialis berdasarkan pengakuan ayah pasien dikatakan negatif. Pasien

kemudian disarankan untuk dapat mengikuti program OAT selama 6 bulan di

Puskesmas Palaran. Saat ini pasien sudah menjalankan program OAT selama 23

hari dan rutin mengambil obat di Puskesmas Palaran tiap 10 hari. Pasien juga

dinyatakan sebagai gizi buruk sebagai faktor resiko lainnya.

2.2.7. Riwayat Saudaranya

Hamil ke

Kondisi saat Lahir

Jenis Persalinan

UsiaSehat/ Tidak

Umur Meninggal

Sebab Meninggal

1 Pasien

2 Aterm Spontan 4 thn Sehat - -

2.2.8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Berat badan lahir : 3000 gr

Panjang badan lahir : 49 cm

Berat badan sekarang : 17 kg

Tinggi badan sekarang : 121 cm

Gigi keluar : ibu lupa

Miring : ibu lupa

Tengkurap : ibu lupa

Duduk : ibu lupa

Merangkak : ibu lupa

Berdiri : ibu lupa

Berjalan : ibu lupa

Berbicara 2 suku kata : ibu lupa

Masuk SD : 2012

Sekarang kelas : SD Kelas IV

2.2.9. Riwayat Makan dan Minum Anak

ASI : 0 bulan - 2 Tahun

Susu sapi/buatan : Dancow (3 sendok takar dalam botol 120

ml sebanyak 3 kali sehari)

Buah : sejak umur 11 bulan

Bubur susu : sejak umur 11 bulan

11

Tim saring : -

Makanan padat dan lauknya : sejak umur 1 tahun 4 bulan, 3x1 piring kecil

(lauk, ikan/ayam, sayur) dan mengikuti

menu orang tua

2.2.10. Riwayat Prenatal, Kelahiran, dan Postnatal

Pemeliharaan Prenatal

Periksa di : Bidan Praktek Swasta/Posyandu

Riwayat sakit selama hamil : -

Obat-obatan yang diminum : vitamin

Riwayat Kelahiran

Lahir : di rumah sakit ditolong oleh bidan

Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan

Jenis partus : spontan dan langsung menangis

Pemeliharaan Postnatal

Periksa di : Bidan Praktek Swasta/Posyandu

Keadaan anak : sehat

Keluarga berencana : tidak

2.2.11. Riwayat Imunisasi

ImunisasiUsia saat imunisasi

I II III IV Booster I Booster II

BCG + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////

Polio + + + +

Campak + + //////////// //////////// //////////// ////////////

DPT + + + ////////////

Hepatitis B + + + //////////

2.3. Pemeriksaan Fisik

2.3.1. Keadaan Umum

Kesan umum : sakit sedang

Kesadaran : komposmentis

Tanda Vital

Tekanan Darah : 90/60 mmHg

12

Frekuensi nadi : 88 x/menit, regular, kuat angkat

Frekuensi napas: 24 x/menit, regular

Temperatur : 37,1 0C

Berat badan : 17 kg

Panjang Badan : 121 cm

Lingkar Kepala : 49 cm

Lingkar Lengan : 13 cm

BMI : 11,61

Penilaian Status Gizi :

(BB/TB) = BA

BA 1x 100 %= 17

25x 100 %=68 %(¿70 % )

Gizi Buruk

13

2.3.2. Pemeriksaan Kepala dan Leher

Mata : anemis (-/-); ikterik (-/-); sianosis (-/-);

refleks cahaya (+/+); pupil isokor (3mm/3mm).

Hidung : sumbat (-); sekret (-)

Telinga : bersih; sekret (-)

Mulut : lidah bersih; faring hiperemis (-); mukosa bibir

basah; pembesaran tonsil (-/-)

Pembesaran Kelenjar : pembesaran KGB (-)

2.3.3. Pemeriksaan Thoraks

Pulmo :

14

Inspeksi : bentuk dan pergerakan simetris; retraksi ICS (-)

Palpasi : fremitus raba dekstra = sinistra

Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi : bronkovesikuler(+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

Cor :

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V MCL sinistra

Perkusi : batas jantung kanan pada ICS III 3 cm dari right

parasternal line (RPL); batas jantung kiri pada ICS

V left midclavicular line (LML)

Auskultasi : S1S2 tunggal reguler; gallop (-); murmur (-)

2.3.4. Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : flat (+); sikatriks (-); defans (-)

Palpasi : soefl; nyeri tekan (-); hepatomegali (-);

splenomegali (-); turgor kulit baik

Perkusi : timpani di keempat kuadran

Auskultasi : bising usus (+) kesan normal

2.3.5. Pemeriksaan Ekstremitas

Ekstremitas Atas : akral hangat (+); oedem (-); CRT <2 detik, turgor

kulit baik

Ekstremitas Bawah : akral hangat (+); oedem (-); CRT <2 detik, turgor

kulit baik

2.4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Darah (Tanggal 25 Januari 2016)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Darah Lengkap

Hemaglobin 11, 5 g/dL 13,2 – 17,3

Hematokrit 36 % 40 – 52

Leukosit 5.100 /uL 4.000 – 11.000

Trombosit 269.000 /uL 150.000 – 440.000

Eritrosit 4,5 juta/uL 4,4 juta – 5,9 juta

15

LED 29 mm/jam 0 – 10

Diff. Count

Basofil

Eosinofil

Batang

Segmen

Limfosit

Monosit

0 %

2 %

2 %

52 %

39 %

5 %

0 – 1

1 – 3

2 – 6

50 – 70

20 – 40

2 – 8

MCV 79 fL 0 – 100

MHC 26 Pg 26 – 34

MCHC 32 % 32 – 36

Kimia Darah

Albumin 4,6 g/dL 3,4 – 4,8

SGOT 30 U/L 0 – 50

SGPT 16 U/L 0 – 50

Elektrolit Darah

Natrium 139 mmol/L 135 – 147

Kalium 4,2 mmol/L 3,5 – 5,0

16

Pemeriksaan Foto Thoraks (Tanggal 25 Januari 2016)

Pemeriksaan Laboratorium Darah (Tanggal 25 Februari 2016)

Pemeriksaan Hasil

Widal Test

Salmonella Typhi (O & H) 1/320

Salmonella paratyphi A (O & H) 1/320

Salmonella paratyphi B (O & H) 1/320

Salmonella paratyphi C (O & H) 1/320

Pemeriksaan Uji Tuberkulin (Tanggal 25 Februari 2016)

Dilakukan tes uji tuberkulin pada pasien didapatkan hasil:

- Indurasi (-)

- Kesimpulan : Negative

17

2.5. Skoring TB

Parameter Skor

Kontak TB2

(Nenek dari Ayah Pasien)

Uji Tuberkulin0

(Negatif)

Status Gizi2

(Klinis: Gizi Buruk)

Demam tanpa Sebab yang Jelas1

(demam yang hilang timbul)

Batuk 0

Pembesaran KGB 0

Pembengkakan Tulang/Sendi1

(pembengkakan kedua sendi lutut)

Foto Thoraks

1

(gambaran perselubungan pada

paracardial dan perihiler)

Total 7

2.6. Diagnosis

TB Paru Klinis + Gizi Buruk Tipe Marasmus + Demam Tifoid

2.7. Penatalaksanaan

2.7.1. Non Farmakologis

a. Edukasi mengenai penyakit, gejala, faktor predisposisi atau

keterkaitan antar penyakit dan terapi kepada keluarga pasien.

b. Edukasi bahwa penyakit ini sangat mudah menular sehingga orang-

orang sekitar harus menjaga kebersihan dan menjaga daya tahan

tubuh.

c. Edukasi untuk memperbanyak istirahat yang cukup.

d. Makan makanan yang bergizi, khususnya tinggi kalori dan tinggi

protein untuk pasien.

18

e. Perlu melakukan konsultasi ulang kepada dokter melalui rujukan dari

puskesmas.

f. Obat yang diberikan merupakan pengobatan jangka panjang sehingga

pasien harus rutin meminum obat tanpa terputus dan dibawah

pengawasan orang tua pasien.

g. Memberikan penjelasan mengenai peran keluarga dalam perbaikan

kondisi pasien.

h. Memberikan edukasi tentang pertumbuhan dan perkembangan anak

secara normal.

i. Memberikan edukasi terkait pola makan yang baik dan benar

2.7.2. Farmakologis

a. Isoniazid 1 x 180 mg

b. Rifampisin 1 x 270 mg

c. Pirazinamid 1 x 630 mg

d. Parasetamol Syr 3 x Cth I

e. Kloramfenikol tab 3 x 250 mg

f. Vitamin B Complex 2 x 1 tab

g. Diet TKTP

2.8. Analisis Kedokteran Keluarga

2.8.1. Identitas Kepala Keluarga

No Keterangan Kepala Keluarga Pasangan1. Nama Tn. Mn Ny. N2. Umur 58 tahun 53 tahun3. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan4. Status Perkawinan Kawin Kawin5. Agama Islam Islam6. Suku Bangsa Jawa Jawa7. Pendidikan SD Tidak Tamat SD8. Pekerjaan Petani Petani

9. Alamat LengkapJl. Adisucipto RT.02 Kel. Handil Bakti Kec. Palaran Samarinda

19

2.8.2. Identitas Anggota Keluarga Serumah

No AnggotaKeluarga Usia Pekerjaan Hub.

KeluargaStatusNikah

Serumah

Ya Tdk Kdg

1 Tn. Mn 58 tahun Petani Kakek Menikah √

2 Ny. N 53 tahun Petani Nenek Menikah √

3 Tn. Mo 46 tahun Petani Ayah

Kandung Menikah √

4 Ny. ES 29 tahun IRT Ibu

Kandung Menikah √

5 Tn. S 23 tahun Wiraswasta Paman Belum

Menikah √

6 An. MDS 9 tahun Pelajar Pasien Belum

Mneikah √

7 An. AMS 4 tahun - Adik

KandungBelum

Menikah √

2.8.3. Genogram

20

2.8.4. Status Fisik, Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

No Ekonomi Keluarga Keterangan

1 Luas tanah 10 x 20 meter

2 Luas Bangunan 6 x 16 meter

3 Pembagian ruangan Rumah pasien merupakan rumah

bangsalan milik kakek pasien yang

terletak di lingkungan tempat

tinggal kakek pasien. Rumah

bangsalan tersebut terdiri dari

dapur, 1 buah kamar tidur, dan

ruang tamu. Sedangkan untuk

kamar mandi terletak di dalam

rumah kakek pasien.

4 Besarnya daya listrik 600 Watt

5 Tingkat pendapatan keluarga :

a. Pengeluaran rata-rata/bulan

Bahan makanan: Beras, Lauk/ikan,

sayur, air minum, dan lain-lain.

Diluar bahan makanan: kesehatan,

Rp 1.200.000,00

21

listrik, air, dan lain-lain.

b. Penghasilan keluarga/bulan

Rp 300.000,00

Rp 1.500.000,00

No Perilaku Kesehatan

1 Pelayanan promotif/preventif Tidak ada

2 Pemeliharaan kesehatan anggota

keluarga lain

Dokter

3 Pelayanan pengobatan Dokter

4 Jaminan pemeliharaan kesehatan Jamkesda

No Pola Makan Keluarga

1 Pasien dan anggota keluarga Makan 3 kali sehari (pagi, siang dan

malam). Nasi, tahu, tempe, ikan, daging.

Hanya pasien yang porsi makannya sedikit.

No Aktivitas Keluarga

1 Aktivitas fisik

a. Pasien

b. Ayah

c. Ibu

d. Adik

Sekolah di SDN 16 Simpang Pasir mulai

pukul 07.30 – 14.30 WITA. Setelah itu,

kegiatan di rumah bersama anggota

keluarga lainnya.

Membuka warung gorengan mulai pukul

06.00-18.00 WITA. Aktivitas lainnya di

sela-sela menjual gorengan, juga berkebun

di sawah.

Membantu suami menjaga warung

gorengan mulai pukul 06.00 – 18.00 WITA.

Belum sekolah dan hanya di rumah.

22

e. Kakek

f. Nenek

g. Paman

Berkebun di belakang rumah mulai pukul

07.00 – 14.00 WITA. Selanjutnya, aktivitas

dengan anggota keluarga lainnya di rumah.

Membantu suami berkebun di belakang

rumah dan mengurusi urusan rumah tangga

serta menjaga cucu di rumah.

Membuka usaha cuci motor dan ambal

mulai pukul 09.00 – 18.00 WITA.

Selanjutnya, aktivitas dengan anggota

keluarga lainnya di rumah.

2 Aktivitas mental Seluruh anggota keluarga rutin

melaksanakan shalat 5 waktu.

No Lingkungan

1 Sosial Hubungan orang rumah dengan lingkungan

sekitar baik. Hubungan pasien di sekitar

rumah dan di sekolah juga cukup baik.

2 Fisik/Biologik

Perumahan dan fasilitas

Luas tanah

Luas bangunan

Jenis dinding terbanyak

Jenis lantai terluas

Sumber penerangan utama

Sarana MCK

Sarana Pembuangan Air Limbah

Cukup

10 x 20 meter

6 x 16 meter

Beton

Beton

Lampu listrik

Kamar mandi dan WC berada di dalam

rumah kakek dan terpisah dari rumah

tempat pasien tinggal. Tempat mencuci

piring dan pakaian berada di dekat dapur.

Septic tank berada di belakang rumah kakek

dan digunakan sebagai tempat

23

Sumber air sehari-hari

Sumber air minum

Pembuangan sampah

penampungan limbah.

Air PDAM

Air isi ulang

Sampah dikumpulkan menjadi satu plastik

kemudian dibuang ke TPS terdekat.

2.8.5. Penilaian APGAR Keluarga

Kriteria PernyataanHampirSelalu

(2)

KadangKadang

(1)

Hampir Tidak

Pernah (0)

Adaptasi Saya puas dengan keluarga

saya karena masing-masing

anggota keluarga sudah

menjalankan sesuai dengan

seharusnya.

Kemitraan Saya puas dengan keluarga

saya karena dapat membantu

memberikan solusi terhadap

permasalahan yang dihadapi.

Pertumbuhan Saya puas dengan kebebasan

yang diberikan keluarga saya

untuk mengembangkan

kemampuan yang saya miliki.

Kasih sayang Saya puas dengan kehangatan

dan kasih sayang yang

diberikan keluarga saya

Kebersamaan Saya puas dengan waktu yang

disediakan keluarga untuk

menjalin kebersamaan

Jumlah 9

24

Keterangan :

Total skor 8-10 = Fungsi keluarga sehat

Total skor 6-7 = Fungsi keluarga kurang sehat

Total skor ≤ 5 = Fungsi keluarga sakit

Kesimpulan :

Nilai skor pada keluarga ini adalah 9, artinya keluarga ini menunjukan

Fungsi Keluarga Sehat.

2.8.6. Pola Hidup Bersih dan Sehat Keluarga

No Indikator Pertanyaan KeteranganJawaban

Ya Tidak

A. Perilaku Sehat

1 Tidak merokok

Ada yang memiliki kebiasaan

merokok

Tidak ada √

2 Persalinan

Dimana ibu melakukan persalinan Bersalin ditolong oleh

bidan praktek

3 Imunisasi

Apakah bayi ibu sudah di

imunisasi lengkap

Imunisasi lengkap

(BCG,DPT 1,2,3,Polio,

Hepatitis, Campak)

4 Balita di timbang

Dimanakah balita ibu sering

ditimbang?

Rutin √

5 Sarapan pagi

Apakah seluruh anggota keluarga

memiliki kebiasaan sarapan pagi?

Tidak rutin sarapan pagi √

6 Dana sehat / Askes

Apakah anda ikut menjadi peserta

askes?

Jamkesda √

25

7 Cuci tangan

Apakah anggota keluarga

mempunyai kebiasaan mencuci

tangan menggunakan sabun

sebelum makan dan sesudah

buang air besar ?

Seluruh anggota

keluarga rutin mencuci

tangan dengan sabun

sebelum dan sesudah

BAB

8 Sikat gigi

Apakah anggota keluarga

memiliki kebiasaan gosok gigi

menggunakan odol

Seluruh anggota

keluarga melakukan

kebiasaan menggosok

gigi

9 Aktivitas fisik/olahraga

Apakah anggota keluarga

melakukan aktivitas fisik atau

olah raga teratur

Seluruh anggota

keluarga jarang

melakukan olahraga

B. Lingkungan Sehat

1 Jamban

Apakah dirumah tersedia jamban

dan seluruh keluarga

menggunakannya?

Ya, tersedia Jamban

bentuk leher angsa

2 Air bersih dan bebas jentik

Apakah dirumah tersedia air

bersih dengan tempat/tendon air

tidak ada jentik?

Di rumah menggunakan

sumber air berasal dari

air PDAM dan

ditampung di dalam

drum, tidak ada tempat

penampungan air yang

berjentik

3 Bebas sampah

Apakah dirumah tersedia tempat

sampah? Dan di lingkungan

sekitar rumah tidak ada sampah

Rumah terlihat bersih

dan tidak tampak

sampah berserakan di

26

berserakan? daerah sekitar rumah

4 SPAL

Apakah ada/tersedia SPAL

disekitar rumah?

Pembuangan limbah

menggunakan septic

tank

5 Ventilasi

Apakah ada pertukaran udara

didalam rumah?

Ukuran ventilasi lebih

kurang 1/10 luas lantai

untuk tiap ruangan

6 Kepadatan

Apakah ada kesesuaian rumah

dengan jumlah anggota keluarga?

Rumah cukup luas untuk

7 orang penghuni √

7 Lantai

Apakah lantai bukan dari tanah? Seluruh lantai rumah

dari semen.

C. Indikator Tambahan

1 ASI Eksklusif

Apakah ada bayi usia 0-6 bulan

hanya mendapat ASI saja sejak

lahir sampai 6 bulan

Ya √

2 Konsumsi buah dan sayur

Apakah dalam 1 minggu terakhir

anggota keluarga mengkonsumsi

buah dan sayur?

Tidak semua anggota

keluarga mengkonsumsi

sayur dan jarang

mengkonsumsi buah

Jumlah 14 4

Klasifikasi

SEHAT I : Dari 18 pertanyaan jawaban ”Ya” antara 1-5 pertanyaan (merah)

SEHAT II : Dari 18 pertanyaan jawaban ”Ya” antara 6-10 pertanyaan (Kuning)

SEHAT III : Dari 18 pertanyaan jawaban ”Ya” antara 11-15 pertanyaan (Hijau)

SEHAT IV : Dari 18 pertanyaan jawaban ”Ya” antara 16-18 pertanyaan (Biru)

27

Kesimpulan

Dari 18 indikator yang ada, yang dapat dijawab ”Ya” ada 14 pertanyaan

yang berarti identifikasi keluarga dilihat dari Perilaku Hidup Bersih dan

Sehatnya masuk dalam klasifikasi SEHAT III.

2.8.7. Resume Faktor Resiko Lingungan Keluarga

Faktor Resiko

Fisik

Sanitasi lingkungan cukup bersih, MCK cukup bersih, kamar

dan dapur kurang rapi.

Tempat tidur (kasur, bantal kapuk, kipas angin berdebu).

Ventilasi cukup dan pertukaran udara baik.

Biologi

Nenek dari ayah pasien pernah menderita TB sejak tahun 2008

dan pernah mendapatkan terapi OAT namun tidak tuntas

meminum obat.

Pasien berisiko untuk menularkan penyakitnya kepada anggota

keluarga di rumah, khususnya adik kandung pasien.

Psiko-

sosio-

ekonomi

Memiliki kartu jaminan kesehatan.

Pendapatan keluarga kategori menengah kebawah.

Perilaku

Kesehatan

Higiene pribadi pasien kurang bersih.

Nafsu makan dan pola makan pasien sangat buruk.

Pengetahuan mengenai sarana pengobatan TB yang kurang.

Rendahnya kesadaran untuk menjaga pola makan yang baik

dari pasien yang sangat kurang.

Rendahnya pengetahuan keluarga pasien tentang TB meskipun

nenek pasien pernah menderita TB.

Gaya hidup

Prioritas untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan.

Tidak pernah berolahraga.

Pola makan yang kurang bergizi.

28

2.8.8. Diagnosa Keluarga (Resume Masalah Kesehatan)

Status Kesehatan dan Faktor Resiko (Individu, Keluarga, dan Komunitas

a. Nenek dari ayah pasien pernah menjalani OAT sejak tahun 2008

namun tidak tuntas meminum obat dan tidak pernah berobat kembali.

b. Pengetahuan keluarga mengenai penyakit TB sendiri belum memadai.

c. Pasien sangat tidak mandiri dalam melakukan kegiatan makan.

d. Ibu pasien tidak inovatif dalam penyajian menu makan dalam

keluarga dan hanya membuat makanan sesuai keinginan pasien.

e. Pengetahuan keluarga mengenai pentingnya status gizi pasien

terhadap penyembuhan penyakit masih kurang.

Status Upaya Kesehatan (Individu, Keluarga, dan Komunitas)

a. Pendapatan keluarga diprioritaskan untuk sandang dan pangan.

b. Pemeriksaan kesehatan dilakukan di puskesmas dan rumah sakit serta

terkadang dilakukan di praktek dokter spesialis.

c. Pemenuhan gizi seimbang dan sehat khusus bagi pasien dirasa cukup

kurang.

d. Memiliki jaminan kesehatan.

e. Semua anggota keluarga memiliki kesempatan yang sama dalam

berobat.

Status Lingkungan

a. Kondisi rumah dan lingkungan secara umum baik dan cukup sehat.

b. Ukuran luas rumah dan halaman cukup memadai untuk ditempati oleh

anggota keluarga yang berjumlah 7 orang serta ventilasi yang cukup.

c. Hubungan dengan tetangga dan lingkungan sekitar cukup baik.

d. Sanitasi lingkungan sekitar rumah kurang bersih.

e. Terdapat tempat sampah baik di dalam maupun di luar rumah.

Diagnosa Keluarga

Sebuah keluarga Tn. Mn yang terdiri dari 7 orang anggota keluarga inti

dengan salah satu anggota keluarga merupakan pasien yang menderita TB Paru,

Gizi Buruk, dan Demam Tifoid. Secara umum, keluarga ini menempati rumah

yang cukup sehat, sosial ekonomi yang cukup, kebersihan lingkungan yang

kurang, kesadaran PHBS yang cukup baik, dan fungsi keluarga sehat yang baik.

29

2.8.9. Rencana Penatalaksanaan Masalah Kesehatan

No

Masalah Kesehatan

Rencana Penatalaksanaan Masalah KesehatanFarmakologi

sNon Farmakologis

1 TB Paru dan Masalah Pengobatan OAT

Farmakologis:a. Isoniazid 1 x

180 mg

b. Rifampisin 1 x

270 mg

c. Pirazinamid 1

x 630 mg

Non-farmakologis :a. Edukasi bahwa penyakitnya membutuhkan

pengobatan jangka panjang, dan harus secara

rutin minum obat dan kontrol ke puskesmas.

b. Menjelaskan bahwa ada obat yang penting

untuk penyakit TB namun tidak dapat

diberikan karena sifatnya yang hepatotoksik.

c. Menjelaskan bagaimana cara memberikan obat

dan memsatikan agar semua obat benar-benar

diminum pasien sesuai dosis.

d. Menjelaskan mengenai kemungkinan

memburuknya pasien akibat pengobatan dan

segera berobat apabila muncul tanda-tanda

perburukan.

e. Edukasi kesehatan anggota keluarga agar lebih

waspada apabila ada anggota keluarga lain

yang mengalami keluhan batuk lama untuk

segera berobat ke fasilitas pelayanan yang ada.

30

2. Perbaikan Status Gizi Pasien

Farmakologis:(-)

Non-farmakologis : a. Edukasi mengenai pola makan bergizi yang

dibutuhkan pasien. Pasien memerlukan diet

tinggi kalori dan tinggi protein.

b. Memberikan contoh - contoh sumber protein

seperti: putih telur, ikan harwan, daging sapi,

daging ayam, susu, tahu, tempe.

c. Menyarankan porsi makan sedikit namun

sering.

d. Menyarankan keluarga memantau berat badan

dan lingkar lengan atas pasien. Apabila

semakin turun segera kembali ke puskesmas.

e. Edukasi keluarga agar tidak serta merta

mengikuti keinginan pasien mengenai

kebiasaan makan.

f. Menjelaskan peran keluarga dalam perbaikan

kondisi pasien.

g. Menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan

anak normal.

3. Penanganan Demam Tifoid

Farmakologis:a. Parasetamol

Syr 3 x Cth I

b. Kloramfenikol

tab 3 x 250

mg

c. Vitamin B

Complex 2 x

1 tab

Non-Farmakologis:

a. Edukasi mengenai penyakit, gejala, faktor

predisposisi dari demam tifoid.

b. Edukasi bahwa penyakit tersebut disebabkan

karena pola dan jenis makanan yang tidak

sesuai.

c. Edukasi kepada orang tua pasien bahwa terapi

diberikan beberapa hari sampai kondisi pasien

membaik.

d. Edukasi keluarga pasien untuk menjaga

lingkungan yang sehat dengan mencuci tangan

menggunakan sabun.

31

2.8.10. Mandala of Health

32

2.8.11. Skoring Kemampuan Penyelesaian Masalah dalam Keluarga

NoMasalah Yang

DihadapiSkor Awal Upaya Penyelesaian

1. Masalah

pengobatan OAT.

4

4

4

Edukasi bahwa penyakitnya membutuhkan

pengobatan jangka panjang, dan harus

secara rutin minum obat dan kontrol ke

puskesmas.

Pasien perlu dirujuk dari puskesmas ke

dokter spesialis paru. Kemudian pengobatan

akan dilanjutkan dari puskesmas setelah

pasien mendapatkan terapi OAT yang sesuai

Perlu segera mendatangi fasilitas pelayanan

kesehatan apabila muncul efek samping dari

OAT.

2. Masalah Perbaikan

Status Gizi

4

4

4

4

4

Edukasi mengenai pola makan bergizi yang

dibutuhkan pasien. Pasien memerlukan diet

tinggi kalori dan tinggi protein.

Memberikan contoh-contoh sumber protein

seperti: putih telur, ikan harwan, daging

sapi, daging ayam, susu, tahu, tempe.

Menyarankan porsi makan sedikit namun

sering.

Menyarankan keluarga memantau berat

badan dan lingkar kengan atas pasien.

Apabila semakin turun segera kembali ke

puskesmas.

Edukasi keluarga agar tidak serta merta

mengikuti keinginan pasien mengenai

kebiasaan makan.

3. Masalah Demam

Tifoid

4 Edukasi mengenai penyakit, gejala, faktor

predisposisi dari demam tifoid.

Edukasi bahwa penyakit tersebut

33

4

4

4

disebabkan karena pola dan jenis makanan

yang tidak sesuai.

Edukasi kepada orang tua pasien bahwa

terapi diberikan beberapa hari sampai

kondisi pasien membaik.

Edukasi keluarga pasien untuk menjaga

lingkungan yang sehat dengan mencuci

tangan menggunakan sabun.

Klasifikasi Skor:

Skor 1 : Tidak dilakukan, keluarga menolak, tidak ada partisipasi.

Skor 2 : Keluarga mau melakukan tapi tidak mampu, tidak ada sumber (hanya

keinginan); penyelesaian masalah dilakukan sepenuhnya oleh provider.

Skor 3 : Keluarga mau melakukan namun perlu penggalian sumber yang belum

dimanfaatkan, penyelesaian masalah dilakukan sebagianbesar

provider.

Skor 4 : Keluarga mau melakukan namun tak sepenuhnya, masih tergantung pada

upaya provider.

Skor 5 : Dapat dilakukan sepenuhnya oleh keluarga.

34

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.

3.1. Tuberkulosis pada Anak

3.1.1. Definisi dan Klasifikasi

Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:

a. Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda

mengarah ke TB Anak

b. Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis: adalah

pasien TB anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif

dengan pemeriksaan mikroskopis langsung atau biakan atau

diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI. Pasien

TB paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.

c. Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang

TB yang tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat

pengobatan TB berdasarkan kelainan radiologi dan histopatologi

sesuai gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah

Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak

diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.

Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari

hal berikut:

a. Lokasi atau organ tubuh yang terkena:

- Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang

menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura

(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

- Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ

tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput

jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,

usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak

35

dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita

TB Ekstra Paru.

- Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan

sebagai TB paru

b. Riwayat pengobatan sebelumnya:

- Baru

Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan

OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (28

dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di

atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.

- Pengobatan ulang

Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT

lebih dari 1 bulan (28 dosis) dengan hasil pemeriksaan

bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau

ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat

diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien yang diobati

kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

c. Berat dan ringannya penyakit

- TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau

kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB

kelenjar dll

- TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan

berat atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang

dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru

BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.

d. Status HIV

Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB

pada daerah endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan

pemeriksaan HIV, TB pada anak diklasifikasikan sebagai:

- HIV positif

- HIV negatif

- HIV tidak diketahui

36

- HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV

diklasifikasikan sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif.

Apabila hasil pemeriksaan HIV menunjukkan hasil negatif pada

anak usia < 18 bulan, maka status HIV perlu diperiksa ulang

setelah usia > 18 bulan.

e. Resistensi Obat

Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M.

tuberculosis terhadap OAT terdiri dari:

- Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap

salah satu jenis OAT lini pertama.

- Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap

lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan

Rifampisin (R) secara bersamaan.

- Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan

terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT

lini pertama lainnya.

- Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan

resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan

minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu

Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.

- Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan

terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT

lain yang dideteksi menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai,

pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk

dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin

dalam bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan

XDR.

3.1.2. Manifestasi Klinis

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:

37

a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak

naik dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah

diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.

b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang

jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-

lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan

merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai

dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.

c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah

reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain

batuk telah dapat disingkirkan.

d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal

tumbuh (failure to thrive).

e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan

pengobatan baku diare.

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ

yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang,

dan kulit, adalah sebagai berikut:

a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi

kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.

b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:

- Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali

disertai gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang

terkena.

- Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.

c. Tuberkulosis sistem skeletal:

- Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang

(gibbus).

- Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau

tanda peradangan di daerah panggul.

38

- Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut

tanpa sebab yang jelas.

- Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

d. Skrofuloderma:

Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi

ulkus (skin bridge).

e. Tuberkulosis mata:

- Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).

- Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB

ginjal dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ

tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya

infeksi TB.

3.1.3. Diagnosis

A. Penemuan Pasien TB Anak

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan

pemeriksaan pada :

a. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.

Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal

serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB

menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya

BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan

kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada

bab profilaksis TB pada anak.

b. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan

TB anak.

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang

paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa

gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa

gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat

disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

39

B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak

TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian

yang cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya

penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab

TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum,

bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.

Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan

mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan

mikroskopis apusan TB Anak langsung atau biopsi jaringan untuk

menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan

gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi.

Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh

WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur

Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan

Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk

penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada

anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa

sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari

berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang

dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi)

yang dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan

menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di

tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau

kuman TB.

C. Cara Mendapatkan sampel pada Anak

1. Berdahak

Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan

untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi

anak yang TB Anak mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan

mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.

2. Bilas lambung

40

Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan

pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan

specimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.

3. Induksi Sputum

Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak

semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung,

terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa

dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan

peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini.

Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering

berperan sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena

penularan TB sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui

saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara

pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara

menemukan kuman dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan

kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan sputum sulit

dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan

spesimen sputum.

Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak

dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala

klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat

kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi

penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu

dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan

uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi

hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal

ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang

masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular

(hasil uji tuberculin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh

pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk

melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien

tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut

41

sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan

tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita

TB serta menunjukkan gejala TB Anak klinis maupun radiologis. Gejala

klinis dan radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya

dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah

diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil

foto toraks.

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan

diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan

melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di

Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute

Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di

semua fasilitas pelayanan kesehatan.

Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah

pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas

karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian

pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis

TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang

menunjang TB adalah sebagai berikut:

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrate

(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto

toraks lateral)

b. Konsolidasi segmental/lobar

c. Efusi pleura

d. Milier

e. Atelektasis

f. Kavitas

g. Kalsifikasi dengan infiltrate

h. Tuberkuloma

E. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring

Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostic

dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostic

42

yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal

sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba

melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan

didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk

mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas TB

Anak pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga

kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun

pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi

terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan

sebagai berikut:

- Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular

mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.

- Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk

menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem

skoring.

- Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien

TB dan mendapat OAT.

43

Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan

pengobatan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan

hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila

respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan

sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya

44

pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke

fasilitas pelayanan kesehatan rujukan:

- Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau

kavitas

- Gibbus, koksitis

- Tanda bahaya:

o Kejang, kaku kuduk

o Penurunan kesadaran

o Kegawatan lain, misalnya sesak napas

Parameter Sistem Skoring:

- Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada

bukti tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang

bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.

- Penentuan status gizi:

o Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang

(moment opname).

o Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status

gizi untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,

sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC

2000 (lihat lampiran).

o Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi

selama 1 bulan.

o Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik

setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas.

o Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB

berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa

infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi

dengan infiltrat, tuberkuloma.

Penegakan Diagnosis dengan sistem skroing:

45

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila

di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter,

pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada petugas kesehatan

terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB

anak mengacu pada Pedoman Nasional. Berikut beberapa hal terkait

pennegakkan diagnosis:

- Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)

- Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien

BTA positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala

klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis

tergantung dari umur anak tersebutFoto toraks bukan merupakan

alat diagnostik utama pada TB anak.

- Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang

meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi

lebih lanjut

- Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2

gejala klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin,

maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak.

Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat

perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.

- Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG

dicurigai telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem

skoring TB anak

- Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB

- Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang

terbatas (uji tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka

evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat

didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13.

- Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan

perbaikan klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya

kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis,

adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah

46

dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak

memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan

perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada

anak tersebut pada saat diagnosis.

3.1.4. Penatalaksanaan

Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi

(pengobatan) dan profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak

yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak

TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB

(profilaksis sekunder).

Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:

- Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan

sebagai monoterapi.

- Pemberian gizi yang adekuat.

- Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara

bersamaan.

47

A. Paduan OAT Anak

Prinsip pengobatan TB anak:

- OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat

untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh

kuman intraseluler dan ekstraseluler

48

- Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat

jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk

mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan

Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

- Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif,

diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan

bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

- Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil

pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan

setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih

sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.

- Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal

maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB

tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan

rujukan.

- Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB,

perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis

TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg

BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah

60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu

49

dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu

yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses

inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

- Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:

o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR

o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR

- Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa

obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini

terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet.

Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini

dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

- OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT

kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang

mengalami efek samping OAT KDT.

50

Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan

keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket

KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa

pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu

rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta

obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis

yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa

51

Keterangan:

R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid

Beberapa hal terkait pemberian OAT KDT pada anak:

- Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam

bentuk kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan

- Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,

menyesuaikan berat badan saat itu

- Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal

(sesuai umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di

lampiran

- OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan

tidak boleh digerus)

- Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum

(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).

- Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam

setelah makan

- Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua

obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

Hasil akhir pengobatan TB anak

Definisi hasil akhir pengobatan untuk TB anak sama dengan yang

dipakai pada penderita TB dewasa untuk menjaga kesesuaian pelaporan

baik pada kasus TB anak maupun dewasa. Respon terapi pada anak TB

paru BTA negatif, TB paru tanpa pemeriksaan dahak, dan TB ekstra paru

dinilai dengan penilaian secara berkala tiap bulan dengan pencatatan

pencapaian berat badan dan perbaikan gejala klinis. Pada anak dengan TB

paru BTA positif, pemeriksaan dahak harus diulang sesuai dengan jadwal

pemeriksaan ulang pada pasien TB dewasa.

52

Berbeda dengan penderita dewasa, kebanyakan TB anak tidak

didiagnosis secara mikroskopis, sehingga istilah “Sembuh” menjadi luaran

yang jarang terjadi karena memerlukan follow up secara mikroskopis.

Oleh karena itu banyak anak yang secara klinis telah sembuh setelah

pengobatan penuh akan tercatat sebagai “Pengobatan Lengkap”.

3.2. Marasmus

3.2.1. Definisi

Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk atau

kekurangan kalori protein yang terutama akibat kekurangan kalori yang

berat dan kronis yang sering ditemui pada balita.

3.2.2. Etiologi

Marasmus disebabkan oleh karena asupan makanan yang kurang terutama

pemasukan kalori, atau protein atau keduanya yang tidak mencukupi akibat

kekurangan dalam susunan makanan, dan kebiasaan makan makanan yang tidak

tepat.

53

Marasmus dapat terjadi pada semua umur, akan tetapi sering

dijumpai pada bayi yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi

makanan penggantinya atau sering diserang diare. Marasmus dapat terjadi

akibat berbagai penyakit seperti infeksi, kelainan bawaan saluran

pencernaan (misalnya penyakit Hirschprung, deformitas palatum,

palatoschizis, micrognathia, stenosis pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus,

cystic fibrosis pankreas), kelainan jantung bawaan, prematuritas,

malabsorpsi, gangguan metabolik (misalnya renal asidosis, idiopathic

hypercalcemia, galactosemia, intoleransi laktosa), penyakit ginjal menahun

dan gangguan saraf pusat.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya marasmus:

- Faktor diet.

Menurut konsep klasik, diet kurang energi walaupun zat-zat gizi

esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita

marasmus.

- Peranan faktor sosial.

Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah

turun-temurun dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KEP.

- Peranan kepadatan penduduk.

Mc Laren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat dalam

jumlah yang banyak akibat suatu daerah terlalu padat penduduknya dengan

higiene yang buruk.

- Faktor infeksi.

Terdapat interaksi sinergistis antara infeksi dan malnutrisi. Infeksi

berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan dan

meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Infeksi yang berat dan

lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya infantil

gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephritis dan sifilis kongenital.

- Faktor kemiskinan.

Dengan penghasilan yang rendah, ketidakmampuan membeli bahan

makanan ditambah timbulnya banyak penyakit infeksi karena kepadatan

tempat tinggal dapat mempercepat timbulnya KEP.

54

3.2.3. Patogenesis

Pada keadaan marasmus terjadi pertumbuhan yang kurang atau

terhenti disertai atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada

mulanya kelainan demikian merupakan proses fisiologis. Untuk

kelangsungan hidup jaringan diperlukan sejumlah energi yang dalam

keadaan normal dapat dipenuhi dari makanan yang diberikan. Kebutuhan

ini tidak terpenuhi pada intake yang kurang, karena itu untuk

pemenuhannya digunakan cadangan protein sebagai sumber energi.

Karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai

bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat

sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan.

Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan

menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar

dan di ginjal.

Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak saja membantu

memenuhi energi tetapi juga memungkinkan sintesis glukosa dan

metabolit esensial lainnya seperti berbagai asam amino. Karena itu pada

marasmus kadang-kadang masih ditemukan kadar asam amino yang

normal, sehingga hati masih dapat membentuk albumin.

3.2.4. Manifestasi Klinis

Berikut ini beberapa gejala klinis pada pasien marasmus:

a. Pertumbuhan berkurang atau terhenti. Pada mulanya, ada

kegagalan menaikkan berat badan sampai berakibat kurus.

b. Mula-mula bayi mungkin cengeng dan rewel, walaupun telah

mendapat minum atau disusui, sering bangun pada waktu malam,

kemudian menjadi lesu, dan nafsu makan hilang.

c. Keadaan yang terlihat mencolok adalah hilangnya lemak subkutan,

terutama pada wajah, akibatnya ialah wajah si anak lonjong,

berkeriput dan tampak lebih tua (old man face).

55

d. Vena superficialis tampak lebih jelas, ubun-ubun besar cekung,

tulang pipi dan dagu kelihatan menonjol, mata tampak besar dan

dalam.

e. Otot-otot lemah dan atropi, bersamaan dengan hilangnya lemak

subkutan maka anggota gerak terlihat seperti kulit dengan tulang,

dan kulit kehilangan turgornya sehingga menjadi kerut dan longgar

atau keriput.

f. Tulang rusuk tampak lebih jelas.

g. Dinding abdomen dapat kembung/membuncit, cekung atau datar,

dengan gambaran usus yang jelas.

h. Diare atau konstipasi.

i. Kadang-kadang tampak rambut yang kering, tipis, dan mudah

rontok.

j. Baggy pant

3.2.5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis serta pengukuran

antropometri. Anak didiagnosis marasmus apabila:

- BB/TB < -3 SD atau <70% dari median

- Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis

berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak

mempunyai jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu,

56

lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat jelas, tanpa adanya

edema.

Skoring Marasmus dengan McLaren

Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan

fisis. Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.

Anamnesis awal (untuk kedaruratan):

- Kejadian mata cekung yang baru saja muncul

- Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah

dan diare (encer/darah/lendir)

- Kapan terakhir berkemih

- Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin.

- Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami

dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.

57

Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana

selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan ditangani):

- Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit

- Riwayat pemberian ASI

- Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir

- Hilangnya nafsu makan

- Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru

- Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir

- Batuk kronik

- Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung

- Berat badan lahir

- Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain

- Riwayat imunisasi

- Apakah ditimbang setiap bulan

- Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)

- Diketahui atau tersangka infeksi HIV

Pemeriksaan fisik

- Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung

kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB

- Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati

menentukan status dehidrasi pada gizi buruk).

- Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi

lemah dan cepat), kesadaran menurun.

- Demam (suhu aksilar ≥ 37.5° C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35.5° C).

- Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung

- Sangat pucat

- Pembesaran hati dan ikterus

- Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau

adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)

3.2.6. Penatalaksanaan dan Pencegahan

Pencegahan

58

- Pemberian air susu ibu (ASI) sampai umur 2 tahun merupakan sumber

energi yang paling baik untuk bayi.

- Ditambah dengan pemberian makanan tambahan yang bergizi mulai umur

6 bulan keatas.

- Pencegahan penyakit infeksi, dengan meningkatkan kebersihan

lingkungan dan kebersihan perorangan.

- Pemberian imunisasi.

- Mengikuti program keluarga berencana untuk mencegah kehamilan terlalu

kerap.

- Penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat

merupakan usaha pencegahan jangka panjang.

- Pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita di daerah yang

endemis kurang gizi, dengan cara penimbangan berat badan tiap bulan.

Penatalaksanaan

Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 3 fase yaitu: fase

stabilisasi fase transisi, dan fase rehabilitasi.

3.2.7. Komplikasi

A. Hipoglikemia

Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula

darah < 3 mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk harus

59

diberi makan atau larutan glukosa/gula pasir 10% segera setelah masuk

rumah sakit. Pemberian makan yang sering sangat penting dilakukan pada

anak gizi buruk.

Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar gula darah,

maka semua anak gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan segera

ditangani sesuai panduan.

Tatalaksana

- Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya

memungkinkan.

- Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml

larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml

air) secara oral atau melalui NGT.

- Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2–3 jam, siang dan malam selama

minimal dua hari.

- Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal

pemberian F-75.

- Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara

intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula

pasir 50 ml dengan NGT.

- Beri antibiotik.

Pemantauan

Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula

darah setelah 30 menit.

- Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian

larutan glukosa atau gula 10%.

- Jika suhu rektal < 35.5° C atau bila kesadaran memburuk, mungkin

hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula

darah dan tangani sesuai keadaan (hipotermia dan hipoglikemia).

Pencegahan

Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin

atau jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus

teratur setiap 2-3 jam siang malam.

60

B. Hipotermia (suhu aksilar < 35,50 C)

Tatalaksana

- Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).

- Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan

selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada

anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada atau

perut ibunya (dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila menggunakan

lampu listrik, letakkan lampu pijar 40 W dengan jarak 50 cm dari tubuh

anak.

- Beri antibiotik sesuai pedoman.

Pemantauan

- Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36.5°

C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam.

- Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36.5° C

- Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada

malam hari

- Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia

Pencegahan

- Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas

angin dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut

- Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap

kering

- Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu dan setelah mandi,

atau selama pemeriksaan medis)

- Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat,

terutama di malam hari

- Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera

mungkin, sepanjang hari, siang dan malam.

- Jangan menghangati anak dengan air panas dalam botol

C. Dehidrasi

Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi

yang berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi

61

buruk. Hal ini disebabkan oleh sulitnya menentukan status dehidrasi secara

tepat pada anak dengan gizi buruk, hanya dengan menggunakan gejala

klinis saja. Anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak

jelas, anggap dehidrasi ringan. Tanda klinis yang sering dijumpai pada

anak penderita KEP berat/Gizi buruk dengan dehidrasi adalah :

- Ada riwayat diare sebelumnya

- Anak sangat kehausan

- Mata cekung

- Nadi lemah

- Tangan dan kaki teraba dingin

- Anak tidak buang air kecil dalam waktu cukup lama.

Tatalaksana

- Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat

dengan syok.

- Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat

dibanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.

beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama

setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/jam berselang-

seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama

10 jam.

Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja

yang keluar dan apakah anak muntah.

- Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam

- Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th: 50-100

ml setiap buang air besar, usia ≥ 1 th: 100-200 ml setiap buang air besar.

ReSoMal mengandung 37.5 mmol Na, 40 mmol K, dan 3 mmol Mg per

liter.

Pemantauan

Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis

setiap setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10

jam berikutnya. Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat

berbahaya dan bisa mengakibatkan gagal jantung dan kematian.

62

Periksalah:

• frekuensi napas

• frekuensi nadi

• frekuensi miksi dan jumlah produksi urin

• frekuensi buang air besar dan muntah

Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang

dan mulai ada diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata

dan fontanel berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda

membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi buruk seringkali tidak

memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah terjadi,

sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.

Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat

5x/menit dan frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian

cairan/ReSoMal segera dan lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.

Pencegahan

- Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan

pada anak dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai

pengganti larutan oralit standar.

- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI

- Pemberian F-75 sesegera mungkin

- Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.

D. Gangguan keseimbangan elektrolit

Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan

magnesium yang mungkin membutuhkan waktu 2 minggu atau lebih untuk

memperbaikinya.

Tatalaksana

- Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan Magnesium,

yang sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan

kedalam F-75, F-100 atau ReSoMal

- Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi

E. Infeksi

63

Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti

demam, seringkali tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang

sering terjadi. Oleh karena itu, anggaplah semua anak dengan gizi buruk

mengalami infeksi saat mereka datang ke rumah sakit dan segera tangani

dengan antibiotik. Hipoglikemia dan hipotermia merupakan tanda infeksi

berat.

Tatalaksana

Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:

- Antibiotik spektrum luas

- Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah

mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah

diberi vaksin sebelum berumur 9 bulan. Tunda imunisasi jika anak syok.

Pilihan antibiotik spektrum luas

- Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri Kotrimoksazol

per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12 jam selama 5 hari.

- Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis

atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:

- Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari),

dilanjutkan dengan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam

selama 5 hari) ATAU, jika tidak tersedia amoksisilin, beri

Ampisilin per oral (50 mg/kgBB setiap 6 jam selama 5 hari)

sehingga total selama 7 hari, DITAMBAH:

- Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.

Catatan: Jika anak anuria/oliguria, tunda pemberian gentamisin dosis ke-

2 sampai ada diuresis untuk mencegah efek samping/toksik gentamisin

- Jika anak tidak membaik dalam waktu 48 jam, tambahkan Kloramfenikol

(25 mg/kgBB IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari.

UMUR

ATAU

BERAT

BADAN

KOTRIMOKSASOL

(Trimetoprim + Sulfametoksazol)

Beri 2 kali sehari selama 5 hari

AMOKSISILIN

Beri 3 kali

sehari untuk

5 hari

64

Tablet

dewasa

80 mg trimeto

prim + 400

mg

sulfametok

sazol

Tablet Anak

20 mg trimeto

prim + 100 mg

sulfametok

sazol

Sirup/5ml

40 mg

trimeto

prim + 200

mg

sulfametok

sazol

Sirup

125 mg

per 5 ml

2 sampai 4 bulan

(4 - < 6 kg) ¼ 1 2,5 ml 2,5 ml

4 sampai 12

bulan

(6 - < 10 Kg)

½ 2 5 ml 5 ml

12 bln s/d 5 thn

(10 - < 19 Kg) 1 3 7,5 ml 10 ml

Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan

dan obati dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari.

Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (seperti pneumonia,

tuberkulosis, malaria, disentri, infeksi kulit atau jaringan lunak), beri

antibiotik yang sesuai.

Beri obat antimalaria bila pada apusan darah tepi ditemukan parasit

malaria. Walaupun tuberkulosis merupakan penyakit yang umum terdapat,

obat anti tuberkulosis hanya diberikan bila anak terbukti atau sangat

diduga menderita tuberkulosis.

Pengobatan terhadap parasit cacing

Jika terdapat bukti adanya infestasi cacing, beri mebendazol (100

mg/kgBB) selama 3 hari atau albendazol (20 mg/kgBB dosis tunggal).

Beri mebendazol setelah 7 hari perawatan, walaupun belum terbukti

adanya infestasi cacing.

Pemantauan

65

Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotik di atas,

lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 10 hari penuh. Jika nafsu makan

belum membaik, lakukan penilaian ulang menyeluruh pada anak.

F. Defisiensi zat gizi mikro

Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.

Meskipun sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal,

tetapi tunggu sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai

bertambah berat badannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase

rehabilitasi), karena zat besi dapat memperparah infeksi.

Tatalaksana

Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:

- Multivitamin

- Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)

- Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)

- Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)

- Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase

rehabilitasi)

- Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1

Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak

dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari

ke 1, 2, dan 15.

UMUR

DAN

BERAT BADAN

TABLET BESI/FOLAT

Sulfas ferosus 200 mg +

0,25 mg Asam Folat

Berikan 3 kali sehari

SIRUP BESI

Sulfas ferosus 150 ml

Berikan 3 kali sehari

6 sampai 12 bulan

(7 - < 10 Kg)

¼ tablet 2,5 ml (1/2 sendok teh)

12 bulan sampai 5 ½ tablet 5 ml (1 sendok teh)

66

tahun

Bila anak diduga menderita kecacingan berikan Pirantel Pamoat dengan

dosis tunggal sebagai berikut :

UMUR ATAU BERAT BADAN PIRANTEL PAMOAT (125mg/tablet)

(DOSIS TUNGGAL)

4 bulan sampai 9 bulan (6-<8 Kg) ½ tablet

9 bulan sampai 1 tahun (8-<10 Kg) ¾ tablet

1 tahun sampai 3 tahun (10-<14 Kg) 1 tablet

3 Tahun sampai 5 tahun (14-<19 Kg) 1 ½ tablet

Vitamin A oral berikan 1 kali dengan dosis

Umur Kapsul Vitamin A Kapsul Vitamin A

200.000 IU 100.000 IU

6 bln sampai 12 bln - 1 kapsul

12 bln sampai 5 Thn 1 kapsul -

Pemberian makanan awal

Pada fase awal, pemberian makan (formula) harus diberikan secara

hati-hati sebab keadaan fisiologis anak masih rapuh.

Tatalaksana

Sifat utama yang menonjol dari pemberian makan awal adalah:

Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas maupun

rendah laktosa

- Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral

- Energi: 100 kkal/kgBB/hari

- Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari

- Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari)

- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah F-

75 yang ditentukan harus dipenuhi.

67

Pemberian makan sepanjang malam hari sangat penting agar anak

tidak terlalu lama tanpa pemberian makan (puasa dapat meningkatkan

risiko kematian). Apabila pemberian makanan per oral pada fase awal

tidak mencapai kebutuhan minimal (80 kkal/kgBB/hari), berikan sisanya

melalui NGT. Jangan melebihi 100 kkal/kgBB/hari pada fase awal ini.

Pada cuaca yang sangat panas dan anak berkeringat banyak maka

anak perlu mendapat ekstra air/cairan.

Pemantauan

Pantau dan catat setiap hari:

- Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan

- Muntah

- Frekuensi defekasi dan konsistensi feses

- Berat badan.

Tumbuh kejar

Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini

adalah:

- Kembalinya nafsu makan

- Edema minimal atau hilang.

Tatalaksana

- Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula

tumbuh-kejar (F-100) (fase transisi):

- Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75

selama 2 hari berturutan.

- Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian

sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal

ini terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari.

68

- Dapat pula digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang

dimodifikasi sehingga kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan

F-100.

Setelah transisi bertahap, beri anak:

- pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai

kemampuan anak).

- energi: 150-220 kkal/kgBB/hari.

- protein: 4-6 g/kgBB/hari.

Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi

pastikan anak sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak

mengandung cukup energi untuk menunjang tumbuh-kejar. Makanan-

terapeutik-siap-saji (ready to use therapeutic food = RUTF) yang

mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet 92 g dapat digunakan pada

fase rehabilitasi.

Pemantauan

Hindari terjadinya gagal jantung. Amati gejala dini gagal jantung

(nadi cepat dan napas cepat). Jika nadi maupun frekuensi napas meningkat

(pernapasan naik 5x/menit dan nadi naik 25x/menit), dan kenaikan ini

menetap selama 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4 jam berturut-turut,

maka hal ini merupakan tanda bahaya (cari penyebabnya).

Lakukan segera:

- kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam

- kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:

o 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya

69

o 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya

o selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml

sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

- atasi penyebab.

Penilaian kemajuan

Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan

setelah tahap transisi dan mendapat F-100:

- Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan.

- Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam

gram/kgBB/hari;

- Jika kenaikan berat badan:

o kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang

lengkap.

o sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi,

atau mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi.

o baik (> 10 g/kgBB/hari).

Stimulasi sensorik dan dukungan emosional

Pada KEP berat/gizi buruk terjadi keterlambatan perkembangan mental

dan perilaku, karenanya berikan :

- Kasih sayang

- Ciptakan lingkungan yang menyenangkan

- Lakukan terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari

- Rencanakan aktifitas fisik segera setelah sembuh

- Tingkatkan keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb)

3.2.8. Prognosis

Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi,

kematian sering disebabkan oleh karena infeksi; sering tidak dapat

dibedakan antara kematian karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri.

Prognosis tergantung dari stadium saat pengobatan mulai

dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya pengobatan

adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak dapat dihindari,

70

mungkin disebabkan perubahan yang irreversibel dari set-sel tubuh akibat

under nutrition.

71

BAB IV

PEMBAHASAN

4.

Studi kasus dilakukan pada pasien an. MDS usia 9 tahun dengan keluhan

demam sejak 1 hari sebelum berobat ke puskesmas. Keluhan demam tersebut

tanpa disertai adanya batuk, pilek, mual, muntah, ataupun BAB cair. Keluhan

seperti mimisan atau gusi berdarah disangkal. Penegakan untuk penyakit dengan

demam yang baru satu hari memang belum dapat menggambarkan progresifitas

atau karakteristik dari suatu penyakit. Oleh karena itu kemungkinannya bisa saja

dari demam berdarah dengue, demam tifoid, atau ada infeksi baik pada organ

tertentu maupun infeksi sistemik seperti ISPA, Tuberkulosis, Malaria, dll (IDAI,

2009).

Setelah melihat perjalanan penyakit yang dialami oleh pasien,

yakni demam yang tidak kunjung turun sampai pada hari ke-3 dan

kemudian ayah pasien membawa pasien berobat ke praktek dokter

spesialis sehingga mendapatkan rujukan ke RS I.A. Moeis, barulah

diagnosis dapat ditegakkan. Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa

pasien mengeluh demam secara terus menerus sepanjang hari dan

mengeluhkan perut yang terasa sakit disertai mual. Dari hasil pemeriksaan

Widal Tes yang dilakukan pada pasien di RS. I.A. Moeis pada tanggal 25

Februari 2016 didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan titer antibodi

agglutinin kuman tifoid. Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan

anamnesis pasien mengalami mual muntah yang disertai demam. Demam

sudah dialami secara terus menerus selama 10 hari. Demam hanya turun

setelah meminum parasetamol kemudian kambuh lagi. Nyeri kadang

dirasakan disekitar ulu hati dan perut kanan atas. Hasil widal menunjukkan

hasil untuk salmonella typhi O positif 1/ 320 (Nelson, 2000; IDAI, 2009).

Penegakkan tuberkulosis pada pasien ditegakkan berdasarkan

sistem skoring. Hal ini dilakukan pada pasien karena berdasarkan

72

pengakuan orang tua pasien, pasien telah dilakukan pemeriksaan sputum

BTA di praktek dokter spesialis dinyatakan negatif. Berdasarkan hasil

skoring didapatkan jumlah skoring yakni 7 (tujuh) yang didapatkan dari

temuan berupa kontak TB pada keluarga pasien yakni nenek dari ayah

pasien, status gizi buruk, demam tanpa sebab yang jelas, adanya

pembengkakan tulang dan sendi, serta adanya gambaran foto thoraks

berupa perselubungan pada paracardial dan perihiler. Adapun hasil

pemeriksaan uji tuberkulin yang negatif, bisa saja merupakan suatu hasil

pemeriksaan yang sebenarnya menunjukkan hasil negatif palsu karena

adanya faktor gizi buruk yang dialami oleh pasien. Selain itu juga, negatif

palsu bisa saja menunjukkan bahwa infeksi sedang dalam masa inkubasi.

Berdasarkan total skoring yang didapat yakni sebesar 7 (tujuh) poin, maka

hal ini sesuai untuk penegakkan kasus TB Anak. Anak didiagnosis TB jika

jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13) (Depkes RI, 2013).

Penurunan berat badan yang dialami oleh pasien serta tidak adanya

kenaikan berat badan selama setahun terakhir merupakan permasalahan

yang memang sudah sejak lama dialami oleh pasien. Berdasarkan

anmnesis didapatkan bahwa memang pasien sejak kecil sulit sekali diminta

makan oleh kedua orang tuanya. Bahkan dalam sehari, walaupun pasien

makan 3 kali dalam sehari, namun porsi makannya sangat sedikit yakni

hanya 3-4 sendok sekali makan. Keadaan ini bertambah berat karena

pasien menderita demam yang berulang dan adanya infeksi tuberkulosis.

Penegakkan diagnosis gizi buruk pada pasien didapatkan dari pengukuran

BB/TB menggunakan grafik dari CDC yang dilakukan terhadap pasien.

Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan nilai BB/TB sebesar 68%. Dari

penilaian tersebut menunjukkan status gizi pasien adalah status gizi buruk

dan termasuk kedalam gangguan malnutrisi (IDAI, 2009; Nelson, 2000).

Penanganan masalah tuberkulosis pada pasien secara umum sudah sesuai

dimana pada pasien ini mendapatkan terapi awal berupa terapi TB Anak tahap

intensif yakni pemberian 3 macam obat selama 2 bulan pertama yakni Isoniazid,

Rifampisin, dan Pirazinamid. Pasien juga sudah meminum obat tersebut selama

73

23 hari sehingga penilaian dan monitoring untuk pengobatan OAT pada pasien

masih berlangsung pada tahap ini (Depkes RI, 2013; PDPI, 2006).

Penanganan kasus gizi pada pasien juga dirasakan kurang dilakukan secara

mendalam dan tuntas sebagaimana seharusnya penanganan gizi buruk dilakukan

yakni dengan menerapkan 10 langkah penanganan gizi buruk yang terdiri dari fase

stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi. Terlebih, dari kesepuluh langkah

tersebut salah satu langkah penanganannya adalah untuk mencegah terjadinya

komplikasi berupa infeksi. Seperti pada pasien ini dimana sudah terjadinya infeksi

berupa demam tifoid dan/atau juga dengan masalah tuberkulosis yang dialami

pasien (Hernawati, 2007; IDAI, 2009; WHO, 2008).

Tujuan pengobatan pada penderita marasmus adalah pemberian diet tinggi

kalori dan tinggi protein serta mencegah kekambuhan. Penderita marasmus tanpa

komplikasi dapat berobat jalan asal diberi penyuluhan mengenai pemberian

makanan yang baik, sedangkan penderita yang mengalami komplikasi serta

dehidrasi, syok, asidosis dan lain-lain perlu mendapat perawatan di rumah sakit

(Hernawati, 2007; IDAI, 2009).

Malnutrisi atau gizi buruk dan tuberkulosis merupakan permasalahan yang

dialami oleh negara berkembang di dunia. Sangat penting mengetahui bagaimana

kedua masalah ini saling terkait. Malnutrisi menjadi predisposisi untuk terjadinya

tuberkulosis. Tuberkulosis sendiri juga dapat menyebabkan malnutrisi atau gizi

buruk. Sebelum masuk ke era pengobatan menggunakan antituberkulosis,

pengaturan diet yang tinggi kalori, protein, lemak, mineral, dan vitamin sangat

berperan penting. Malnutrisi protein sendiri diketahui menjadi faktor risiko

terjadinya kematian akibat penyakit infeksi (Gupta, et al., 2009).

Status nutrisi ditemukan lebih rendah pada pasien dengan TB paru aktif

dibandingkan dengan orang normal di Indonesia. Pasien TB diketahui memiliki

kadar albumin serum yang lebih rendah dibandingkan normal. TB merupakan

penyakit kronis yang sangat mempengaruhi status gizi (Karyadi, et al. 2000).

Apabila terjadi infeksi, maka akan terjadi suatu interaksi yang kompleks

antara respon imun penderita dan virulensi dari bakteri. Proses interaksi tersebut

akan memicu peningkatan respon metabolisme dan menyebabkan hilangnya

cadangan energi secara bervariasi. Pada pasien TB juga terjadi penurunan nafsu

74

makan, anoreksia, malabsorpsi nutrisi dan mikronutrien sehingga pasien akan

mengalami kehilangan berat badan. Hal ini diperburuk dengan produksi sitokin

yang bersifat lipolitik dan proteolitik yang menyebabkan peningkatan penggunaan

energi dalam tubuh pasien (Gupta, et al., 2009).

Penjelasan diatas menjelaskan bagaimana pasien dalam kasus ini

mengalami penurunan berat badan sejak beberapa tahun terakhir sebagai akibat

dari tuberkulosis ataupun sebaliknya mudahnya pasien terpapar tuberkulosis

diakibatkan karena keadaan status gizi pasien yang memang buruk. Dengan

mengetahui proses perjalanan penyakit ini, maka dapat dilakukan intervensi guna

memperbaiki status gizi pasien. Dari hasil anamnesa didapatkan bahwa pasien

sehari makan 3 kali sesuai frekuensi makan keluarga. Namun menu makanan

pasien disesuaikan dengan selera pasien dan terkadang hanya mau memakan sosis

dalam bentuk kemasan. Intervensi mengenai pola makan pasien dapat dimulai

dengan edukasi kepada keluarga mengenai status gizi pasien dan pentingnya

perbaikan status gizi untuk proses penyembuhan penyakit. Kemudian dapat

diberikan contoh-contoh sumber makanan yang baik untuk meningkatkan status

gizi pasien. Berikut contoh makanan tinggi protein, seperti daging sapi, daging

ayam, telur, hati, susu, ikan, kacang-kacangan (Depkes RI, 2014).

75

BAB V

PENUTUP

5.

5.1. Kesimpulan

Telah dilakukan studi kasus terhadap pasien An. MDS dengan

keluhan utama berupa demam dan mudah lemas, penurunan nafsu makan,

dan tidak adanya kenaikan berat badan. Berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, analisis kedokteran keluarga

berdasarkan status fisik, social, ekonomi, PHBS keluarga, upaya kesehatan

dan lingkungan didapatkan kesesuain antara aspek-aspek tersebut dengan

asalah kesehatan yang dihadapi oleh pasien. Pemecahan dan perencanaan

permasalahan yang dihadapi oleh pasien juga disusun berdasarkan

kemampuan dan kesanggupan dari keluarga pasien sebagai satu kesatuan

utuh sehingga pemecahan masalah yang dihadapi secara holistic dan sesuai

dengan kondisi yang dihadapi.

5.2. Saran

Perlu adanya pemahaman lebih mendalam kembali tentang

penangan secara kedokteran keluarga mengenai kasus tuberkulosis dengan

permasalahan status gizi serta perlu adanya perbaikan penulisan ke

depannya.

76

LAMPIRAN

Dokumentasi

Pasien An. MDS

Rumah Kakek Pasien Tampak Depan

77

Rumah Kakek Pasien Tampak Samping

Kamar Tidur

78

Kamar Mandi

Dapur

79

Halaman Samping Rumah

Usaha Pencucian Motor Milik Paman Pasien

80

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. (2013). Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Direktorat Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta: Kementerian

Kesehatan RI.

Gupta, et al. (2009). Tuberculosis and nutrition. Lung India, 26(1): 9-16.

Hernawati, I. (2007). Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta: Departemen

Kesehatan.

IDAI. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:

IDAI.

Karyadi E, Schultink W, Nelwan RH, Gross R, Amin Z, Dolmans WM, et al.

2000. Poor micronutrient status of active pulmonary tuberculosis in

Indonesia. J Nutr. 130:2953–8. 

Nelson, Behrman, & Kliegman. (2000). Nelson teks book of pediatric. vol. 1. Ed

15. alih bahasa A Samik Wahab. Jakarta. EGC.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2006). Pedoman Diagnosis

dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: PDPI.

Widodo, E., Sukma, M., & Alwi, U. (2002). Pemeriksaan Biopsi Aspirasi

Kelenjar untuk Membantu Diagnosis Tuberkulosis Anak. Cermin Dunia

Kedokteran No. 137.

WHO. (2008). Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta.

Depkes RI.

6.

7.

81