33-dradjat-hoedajanto-paper.pdf

9
Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia1 GEMPA DAN JAKARTA Dradjat Hoedajanto 1 PENDAHULUAN Probabilistic Seismic Hazard Map (PSHM) Indonesia yang baru, lihat Gambar 1, sebagai pengganti Peta Hazard Gempa SNI Gempa 2002 (SNI 03-1726-2002 1 ), telah ditanda tangani oleh Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 1 Juli 2010, disusul dengan pengumuman resminya tertanggal 15 Juli 2010 dan disosialisasikan pada para pihak di kantor Binagraha tanggal 16 Juli yang lalu. Gambar 1 Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 ( Irsyam et.al. 2010) 1 BSN, SNI 03-1726-2002 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung.

Upload: rona-ariyansyah

Post on 30-Sep-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia

    1

    GEMPA DAN JAKARTA

    Dradjat Hoedajanto

    1 PENDAHULUAN

    Probabilistic Seismic Hazard Map (PSHM) Indonesia yang baru, lihat Gambar 1, sebagai

    pengganti Peta Hazard Gempa SNI Gempa 2002 (SNI 03-1726-20021), telah ditanda

    tangani oleh Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 1 Juli 2010, disusul dengan

    pengumuman resminya tertanggal 15 Juli 2010 dan disosialisasikan pada para pihak di

    kantor Binagraha tanggal 16 Juli yang lalu.

    Gambar 1 Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 ( Irsyam et.al. 2010)

    1 BSN, SNI 03-1726-2002 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung.

  • Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia

    2

    Berdasarkan peta tersebut, gedung dan bangunan sipil di Jakarta, tergantung lokasinya,

    harus didesain terhadap beban gempa dengan Peak Ground Acceleration(PGA) di level

    batuan dasar 19 21% g. Suatu peningkatan sekitar 5% dari ketentuan sebelumnya.

    Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah seberapa aman bangunan yang telah

    berdiri dan operasional selama ini terhadap peningkatan beban gempa ini?Apa definisi

    dan makna phisik dari kata aman yang dapat kita terima bersama dan apa langkah

    yang perlu diambil untuk mencapainya?

    Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas dengan baik, satu hal yang harus kita pahami

    bersama adalah bahwa berdasarkan peraturan yang ada, bangunan yang didesain

    amanterhadap gempa tidak berarti bahwa bangunan tersebut kebalgempa.

    Secara teoritis konsep Life Safety Design memberikan bangunan yang strukturnya akan

    mengalami kerusakan lk 30% akibat gempa desain. Dengan demikian dengan

    penambahan beban gempa yang lk sepertiga dari beban SNI Gempa 2002, perlu

    dipikirkan langkah apa yang diperlukan untuk menjamin bahwa minimal Jakarta tidak

    akan menjadi ajang show case Kegagalan Konstruksi Indonesia karena misal kondisi

    extrimnya 85% bangunan dan fasilitas public yang ada akan mengalami kerusakan berat

    (walaupun tidak runtuh) dan bahkan mungkin beberapa (khususnya yang non-code

    compliance) akan hancur akibat gempa desain maksimum di masa depan?

    2 GEDUNG DAN BANGUNAN SIPIL DI JAKARTA

    Kekhawatiran mengenai keamanan gedung dan bangunan sipil kota Jakarta terhadap

    gempa maksimum tidak selalu disebabkan oleh peningkatan beban gempa disain saja.

    Bila kecenderungan praktek konstruksi yang terdatakan sekian jauh di seluruh Indonesia

    dan menjadi sebab utama banyaknya kehancuran bangunan akibat gempa (Hoedajanto,

    2009 dan 2010) juga merupakan karakteristik konstruksi di Jakarta, maka masalah yang

    dihadapi Jakarta sungguh sangat serius dan memerlukan pemikiran solusi terpadu yang

    pragmatis, menyeluruh, dan sangat segera.

    Beberapa fakta dari bangunan dikota Jakarta dan keterkaitannya dengan Peraturan

    yang berlaku adalah:

    1. Jakarta dibangun berdasarkan 3 (tiga) Peraturan Pembebanan yaitu Peraturan

    pra tahun 80-an2, Peraturan tahun 80-an (PPTGIUG-19813), dan Peraturan tahun

    2000-an (SNI 03-1726-2002),

    2. Teknologi Konstruksi bangunan tahan gempa modern baru diterapkan di

    Indonesia sejak hadirnya PPTGIUG1981di mana konsep struktur daktail mulai

    diperkenalkan mengikuti rekomendasi Peraturan serupa di New Zealand (Becca

    Carter, et.al. 1979),

    2 Peraturan Beton Indonesia (PBI) 1971 dan Peraturan Muatan Indonesia (PMI) 197x.

    3 Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung, 1981, Dit.Jen. Tjipta Karya, DPU.

  • Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia

    3

    3. Penyempurnaan dari PPTGIUG1981 direalisasikan dengan hadirnya SNI 03-

    1726-2002 yang menggunakan 97-UBC4 sebagai acuan utama,

    4. Kerusakan bangunan sipil paska gempa Northridge 1994 dan Kobe 1995

    mendorong lahirnya persyaratan keteknikan yang lebih ketat yang kemudian

    direfleksikan dengan perubahan besar pada Code dunia yang diawali oleh

    lahirnya International Building Code (IBC) 2000 yang selalu disempurnakan se-

    tiap 3 tahun (sebagai pengganti dari 97-UBC) dan ASCE 7-025,

    5. Saat ini telah terbit 2009-IBC6, ASCE 7-107, dan AASHTO-20078 yang menjadi

    referensi bagi perkembangan code dunia lainnya. Penyempurnaan dari SNI

    Gempa 2002 disepakati bertumpu pada ASCE 7-10 dan 2009-IBC,

    6. Hadirnya kecenderungan baru dalam konsep perencanaan bangunan tahan

    gempa yang berpaling dari konsep perencanaan berdasarkan kekuatan (strength

    based concept) yang selama ini mendasari Code dunia menjadi konsep peren-

    canaan berdasarkan kekakuan (stiffness based concept) yang dari awal telah

    mencurahkan pemikiran agar perencanaan sistem dan elemen struktur dijalan-

    kan dan didasarkan pada konsep damage control yang dikaitkan dengan suatu

    target performance yang disepakati oleh para pihak terkait,

    7. Adanya peringatan yang disampaikan oleh LATBSDC-20089 dan CTBUH-200810

    bahwa disain dari bangunan tinggi (H > 50-90 m) terhadap gempa tidak cukup

    hanya didasarkan pada rekomendasi Code yang ada karena code diturunkan

    untuk perencanaan bangunan bertingkat yang rendah. Fakta ini perlu disikapi

    dengan cermat dan penuh tanggung jawab yang profesional.

    Butir-butir 1, 4, dan 7 dari uraian di atas perlu direspon dan disikapi secara positif dan

    bijak dengan segera. Seyogyanya segera diambil langkah pro-aktif yang preventif

    dengan melakukan review yang komprehensif mengenai respon dari bangunan terhadap

    gempa disain baru. Langkah optimum didapat dengan memanfaatkan teknologi code

    dunia dan pakar kegempaan dunia yang terbaru. Secara konseptual bila bangunan ter-

    sebut didisain dan dilaksanakan sesuai petunjuk code modern yang berlaku saat itu

    (life safety design concept), kemungkinan masalah yang dihadapi saat ini hanyalah

    peningkatan level of damage dan tidak mengarah pada keruntuhan.

    4 1997 Uniform Building Code.

    5 ASCE Standard ASCE/SEI 7-02 American Society of Civil Engineer Minimum Design Loadsfor

    Buildings and Other Structures 6 2009 International Building Code,

    7 ASCE Standard ASCE/SEI 7-10 American Society of Civil Engineer Minimum Design Loads for

    Buildings and Other Structures 8 AASHTO LRFD Bridge Design Specifications SI Units 2007 by the American Association of State

    Highway and Transportation Officials. 9 LATBSDC An Alternative Procedure for Seismic Analysis and Design of Tall Buildings Located in

    the Los Angeles Region A Consensus Document 2008 Edition. 10

    Council on Tall Building and Urban Habitat 2008 Recommendations for the Seismic Design of High-rise Buildings A Consensus Documents CTBUH Seismic Working Group.

  • Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia

    4

    Menjadi masalah adalah bila pada kenyataannya,

    seperti halnya kota-kota lain yang rusak akibat

    gempa, Jakarta didominasi oleh mal-praktek

    konstruksi yang non-code compliance.

    Kemungkinan ini perlu dikaji dengan seksama karena

    besarnya kerugian langsung dan tidak langsung yang

    bisa terjadi, misal bila 85% bangunan di Jakarta rusak

    berat dan runtuh akibat gempa desain maksimum,

    sungguh tidak dapat diperkirakan. Kurangnya

    pemahaman masyarakat (termasuk Pejabat Negara

    dan Wakil Rakyat) mengenai potensi kegagalan

    Jakarta akibat gempa maksimum ini antara

    lain lahir karena (1) sosialisasi dari dampak

    gempa yang lengkap dan benar masih

    kurang, dan (2) telah lama Jakarta tidak

    disinggahi gempa.

    Kajian terhadap bayangan dari apa yang

    bisa terjadi sesungguhnya dapat kita

    simulasi dan rasionalisasikan dengan

    mengambil contoh dari respon dan kondisi

    Jakarta yang telah melewati dengan aman

    guncangan gempa Tasikmalaya 2009 yang

    bermagnitude 7.2. Keberhasilan Jakarta

    menerima dengan aman gempa besar

    tersebut melahirkan keyakinan bahwa Jakarta aman terhadap gempa 8 SR (Skala

    Richter). Kesimpulan yang salah dan menyesatkan karena gempa yang epicenternya lk

    190 km dari Jakarta ter-sebut sesungguhnya hanya mengguncang Jakarta dengan PGA

    4% g, Gambar 2 [USGS, 2009]. Jadi bayangan dampak gempa dengan PGA 19 21%

    g, guncangannya lk 5 x dampak gempa Tasikmalaya yang lalu.

    Dalam catatan yang ada [Kertapati, 2010], Jakarta tidak memiliki sesar aktif di wila-

    yahnya. Jadi gempa Jakarta adalah gempa kiriman. Gempa masuk Jakarta sebagai

    rambatan gelombang guncangan yang awalnya terjadi di level lempeng batuan di

    hypocenter (pusat) gempa. Bagi Jakarta, secara teoritis gempa yang pengaruhnya

    harus diperhitungkan adalah semua gempa dengan epicenter dalam radius 500 km. dari

    Jakarta, lihat Gambar 3.Gempa yang pengaruhnya besar adalah gempa di Selat Sunda

    dan gempa dengan mekanisme Benioff di Selatan Jakarta [Irsyam, 2007]. Fakta ini

    penting untuk disosialisasikan dan diwaspadai khususnya karena telah lama tidak terjadi

    gempa besar di wilayah tersebut, [Teori seismic gap - Kertapati, 2004].

    Kemajuan teknologi menjelang akhir abad yang lalu melahirkan konsep dan teori

    Performance Based Engineering (PBE) yang kemudian berkembang antara lain

    melahirkan Performance Based Earthquake Engineering (PBEE) dan Performance

    Tasikmalaya: 12%g, Bandung: 8%g,

    Jakarta: 4%g

    Gambar. 2 PGA Gempa Tasikmalaya,

    USGS-2009

    101010

    Jakarta

    M=8.0

    R=200 km

    M=7.5

    R=104 km

    M=5.7

    R=11 km

    De-aggregation:

    To determine controlling earthquakes

    S caled A cc elerat ion

    -0.2

    -0.15

    -0.1

    -0.05

    0

    0.05

    0.1

    0.15

    0 5 10 15 20 25 30 35 40

    Tim e (sec)

    Ac

    ce

    lera

    tio

    n (

    g)

    Gambar. 3 De-agregasi gempa penentu untuk

    Jakarta, radius 500km [Irsyam, 2007]

  • Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia

    5

    Based Seismic Design (PBSD), [Bertero, 2004]. Secara spesifik konsep dan langkah

    disain ini berbeda dengan apa yang telah kita kenal dan kita lakukan selama ini

    (mengikuti code) yang cenderung prescriptive. Dengan konsep ini para pihak dilibatkan

    dalam pemilihan respon bangunan yang diharapkan, mulai dari Operational (O),

    Immediate Occupancy (IO), Life Safety (LS), hingga Collapse Prevention (CP). Life

    Safety (LS), konsep desain yang kita ikuti selama ini, secara phisik merefleksikan kondisi

    kerusakan structural antara 15 % hingga 30 %, lihat Gambar. 4. Konsep sejenis juga

    diadop untuk bangunan sipil lainnya.

    Gambar 4 Level kerusakan bangunan akibat gempa disain, FEMA 451B (2007)

    Gambar 4 dengan jelas menggambarkan bahwa bangunan yang didesain dengan

    konsep Life Safety akan mengalami kerusakan yang cukup signifikan dan kemungkinan

    tidak dapat di-repair. Belajar dari kerusakan bangunan pasca gempa, kecenderungan

    langkah desain saat ini tidak lagi hanya ditumpukan pada desain sesuai rekomendasi

    code. Target kerusakan bangunan pasca gempa, baik untuk gempa layan maupun

    gempa maksimum, menjadi topik penting yang harus didiskusikan dan diputuskan

    bersama oleh para pihak. Hal yang kemungkinan belum pernah disosialisasikan

    secara terbuka dan baik kepada masyarakat, pemilik ataupun pengelola bangunan.

    Khusus untuk gedung tinggi, di mana perilaku dinamis gedung tidak lagi didominasi oleh

    mode ke 1, Federal Emergency Management Administration (FEMA) merekomendasi-

    kan langkah disain yang yang didasarkan pada respon dynamic nonlinear time history

    [FEMA 451b-2007]. Di sini perencana struktur tidak lagi dapat melakukan desain hanya

    dengan mengandalkan pada penggunaan software. Diperlukan penguasaan konseptual

    yang baik atas perilaku bangunan dan elemen struktur terhadap gempa agar dari awal

    perencana dapat bekerja sama dengan arsitek dan mengadop sistem dan elemen

    struktur bangunan yang optimum untuk target performance yang disepakati.

  • Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia

    6

    Mengingat fungsi dan nilai penting lainnya, bukan

    tidak mungkin bahwa target Life Safety bukan

    merupakan pilihan bagi sebagian pemilik / pe-ngelola,

    lihat Gambar 5, misal untuk Rumah Sakit, iconic

    buildings, Kantor Presiden, Fly-Over Utama (Cawang-

    Priok-Pluit, Cawang-Tomang-Pluit, dan Pluit-

    Cengkareng(?)), dan bangunan serta sarana penting

    lainnya. Studi mengenai dampak dari kemungkinan

    runtuhnya Fly-over Cawang-Priok-Pluit akibat gempa

    menghasilkan data potensi kerugian total yang lebih

    dari Rp. 150T (nilai rupiah tahun 2008) dan gangguan

    kenyamanan phisik lebih dari 2 tahun (LAPI ITB,

    2008).

    Secara teoritis fragilitas dari sarana cross-over dan

    fly-over yang under designed (beban gempa hanya

    PGA 10% g), lihat Gambar 6, over load, over

    used,dan tanpa maintenanceini terhadap gempa

    desain mak-simum sungguh harus dikhawatirkan.

    Kerusakan dan kerugian akibat gempa Northridge

    1994 dan Kobe 1995 dimana gangguan terhadap

    kelangsungan dan kenyamanan sistem

    transportasinya sangat berat, upaya rekonstruksinya

    sukar, memakan waktu, dan biayanya sangat mahal,

    memberikan arahan kebijakan bahwa seyogyanya

    kemungkinan kerusakan parsial apalagi total pada

    sistem infrastruktur utama harus dihindari. Dari sisi

    pengalaman kota-kota lain di Indonesia yang telah

    diporak porandakan oleh gempa di masa lalu, hal

    serupa mungkin saja terjadi di Jakarta bila kualitas

    konstruksi di Jakarta tidak seperti yang

    dipersyaratkan dan diharapkan.

    Perlu digaris bawahi bahwa kualitas konstruksi yang buruk bukan melulu disebabkan

    oleh kurang baiknya proses pelaksanaan (tidak mengikuti rekomendasi Code), tetapi

    juga karena sebagian (besar?) praktisi perencana struktur belum/tidak sepenuhnya

    memahami latar belakang dari konsep Perencanaan Bangunan Tahan Gempa. Hal ini

    tidak mengherankan karena memang secara formal pemahaman mengenai respon

    dinamik dan non-linear struktur akibat gempa tidak diajarkan di level S-1.

    Belajar sendiri langkah yang tidak mudah bagi praktisi yang terbiasa dengan proses

    analisis statis dan elastis. Pemahaman dan penghayatan perilaku dan karakter dinamik

    dan siklik dari elemen struktur dan non-struktur yang harus mengalami beban gempa

    Gambar 6 Cross-Over Tomang, mungkin

    didesain terhadap PGA 10% g

    Gambar. 5 Contoh kerusakan gedung

    antara konsep Life Safety dan Collapse

    Prevention [Hoedajanto, 2009]

  • Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia

    7

    yang acak, dinamis, dan siklis diperlukan untuk menghindari kesalahan langkah desain

    yang merugikan dan membahayakan.

    Kondisi di atas secara tidak langsung melahirkan praktek desain yang tidak jarang

    mengikuti saja keinginan arsitek yang demi mengejar keindahan kadang memaksakan

    sistem struktur yang tidak simetris dan berpotensi torsi tanpa upaya pengamanan yang

    bisa diambil. Sebagian lagi terjadi perencanaan dan pelaksanaan detailing yang kurang

    sempurna/salah, atau penetapan/perhitungandesign base shear yang kurang tepat, atau

    penggunaan material yang tidak memenuhi persyaratan teknis, atau kesalahan asumsi

    modeling karena kurangnya pemahaman atas perbedaan respon elemen dan respon

    struktur dan terbatasnya pemahaman atas makna dan konsekuensi dari struktur daktail.

    Kasusnya menjadi menonjol bila kajian diarahkan pada masalah desain pondasi,

    khususnya untuk sistem pondasi dalam pada tanah lunak di mana level of fixity dari

    bangunan atas menjadi hal yang tidak mungkin dipastikan. Kebiasaan praktek untuk

    mengasumsikan level of fixity pada ground level dengan demikian perlu dikaji dengan

    seksama akurasinya dan seyogyanya tidak diambil sebagai suatu solusi default.

    Khusus untuk gedung tinggi yang di atas 90-an m, masalah di atas menjadi bertambah

    karena kemungkinan kesalahan / kurang lengkapnya langkah desainseperti uraian yang

    diangkat dalam butir 7 di bagian depan dari makalah ini.

    3 KESIMPULAN DAN SARAN

    1. Jakarta sebagai Ibu Kota Negara perlu dikedepankan tingkat keamanan ba-

    ngunannya terhadap kemungkinan ancaman guncangan gempa yang datang dari

    luar Jakarta karena langsung maupun tidak langsung kerusakan yang bisa

    ditimbulkan akan berdampak besar terhadap kelancaran pemerintahan dan

    kesehatan perekonomian nasional,

    2. Hadirnya PSHM yang baru sebagai pengganti dari Peta serupa dalam SNI

    Gempa 2002 perlu disikapi secara proaktif, khususnya karena adanya indikasi

    bahwa beban gempa disain Jakarta untuk gempa 500 tahun lebih besar daripada

    beban gempa yang ditetapkan dalam SNI Gempa 2002.

    3. PSHM yang baru ini seyogyanya segera dilengkapi dengan studi lanjut berupa

    mikrozonasi wlayah Jakarta secara lengkap agar hasilnya dapat dimanfaatkan

    secara maksimum oleh praktisi perencana dalam merencanakan bangunannya

    dengan lebih baik dan benar.

    4. Seyogyanya studi penyempurnaan provisi teknik SNI Gempa 2002 yang

    menggunakan referensi ASCE 7-10 dan 2009-IBC dilengkapi juga dengan

    catatan-catatan khusus dari AASHTO-2007 untuk bangunan infrastruktur khu-

    susnya jembatan. Studi ini harus segera diselesaikan agar bisa dimanfaatkan

    mengimbangi peningkatan demand dari gempa disain yang harus diakomodasi.

  • Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia

    8

    5. Perlu segera dilakukan studi fragilitas dan kapasitas dari bangunan dan sarana

    publik yang ada untuk mendapatkan petunjuk langkah perkuatan atau perbaikan

    yang perlu dikerjakan untuk meningkatkan ketahanan dan kelaikan pakai ba-

    ngunan dan sarana tersebut terhadap gempa maksimum di masa depan.

    Kondisi ini perlu disikapi secara proaktif khususnya karena adanya kekhawatiran

    bahwa teori seismic gap yang dikedepankan oleh Kertapati (2004) saat ini

    berlaku bagi Jakarta dan sekitarnya,

    6. Dampak dari peningkatan beban gempa desain untuk gempa 500 tahun dari

    PGA 15%g menjadi PGA 19 21%g perlu dicermati dengan baik. Khusus untuk

    gedung tinggi dengan H > 90 m, LATBSDC-2008 dan CTBUH-2008 mengatakan

    bahwa code yang ada tidak cukup untuk dijadikan satu-satunya pegangan dalam

    perencanaan tahan gempa, Mengingat nilai investasi gedung tinggi yang tidak

    murah, kemungkinan dari penetapan target performance Damage Control (DC)

    yang berada di antara IO dan LS perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan

    rasio biaya konstruksi vs biaya maintenance dan repair yang terbaik,

    7. Khusus bagi bangunan tinggi yang dibangun sebelum berlakunya SNI Gempa

    2002 dengan beban gempa PGA 10% g, disamping mencermati kemungkinan-

    kemungkinan kekurangan ataupun kesalahan langkah desain yang hanya

    didasarkan pada rekomendasi Code, perlu diteliti apakah langkah konstruksi dan

    penggunaan materialnya telah sesuai dengan apa yang dipersyaratkan saat ini.

    Perlu dicatat bahwa bila terjadi keruntuhan pada bangunan tinggi, dampak fisik,

    ekonomi, dan sosialnya akan sangat tinggi. Kondisi yang ada saat ini masih bisa

    diperbaiki dengan melakukan langkah retrofit yang sesuai,

    8. Mengingat dampak globalnya yang besar, seyogyanya Pem-Da DKI Jakarta

    minimal segera melakukan beberapa studi fragilitas kegempaan dari bangunan

    dan sarana penting yang ada untuk dijadikan bahan kajian dasar bagi perlu

    tidaknya pemberlakuan kebijakan serupa untuk seluruh bangunan dan sarana

    yang ada di DKI Jakarta. Salah satu studi yang perlu segera dilaksanakan

    adalah studi Fragilitas dan Retrofit dari Fly-Over Cawang-Priok-Pluit-Tomang-

    Cengkareng, termasuk sistem jalan tol deck-on-piles Cengkareng yang baru,

    9. Semua langkah yang perlu dikerjakan haruslah dilakukan secara sungguh-

    sungguh dan professional oleh pihak yang mampu dan memiliki pengalaman

    yang menunjang, agar hasilnya dapat dipertanggung jawabkan. Keterlibatan

    sejak awal dari pihak Asuransi Konstruksi yang benar-benar professional seyo-

    gyanya segera dijadikan kelengkapan yang dipersyaratkan terhadap kontraktor

    pelaksana dan konsultan perencana,untuk meningkatkan tercapainya pekerjaan

    disain yang baik, benar, dan profesional. Keterlibatan accredited checkersperlu

    dipertimbangkan untuk proyek besar dan penting agar prosescheck and recheck

    dan sharing tanggung jawab dapat dicapai secara sistematis dengan baik dan

    benar.

  • Seminar dan Pameran HAKI 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia

    9

    4 DAFTAR PUSTAKA

    1. BSN, Standar Nasional Indonesia, SNI 03-1726-2002, Tata Cara Perencanaan

    Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung,

    2. Irsyam, M., et al., Usulan revisi Peta seismic Hazard Indonesia SNI 03-1726-

    2002,

    3. Dit. Jen. Tjipta Karya, DPU., Peraturan Perencanaan Tahan Gempa untuk

    Gedung, 1981,

    4. 1997 Uniform Building Code,

    5. ASCE Standard ASCE/SEI 7-02 American Society of Civil Engineer Minimum

    Design Loads for Buildings and Other Structures,

    6. 2009 International Building Code,

    7. ASCE Standard ASCE/SEI 7-10 American Society of Civil Engineer Minimum

    Design Loads for Buildings and Other Structures,

    8. AASTO LRFD Bridge Design Specification SI Units 2007 by the American

    Association of State Highway and Transportation Officials,

    9. LATBSDC An Alternative Procedure for Seismic Analysis and Design of Tall

    Buildings Located in the Los Angeles Region A Consensus document 2008

    Edition,

    10. Council on Tall Building and Urban Habitat 2008 Recommendations for the

    Seismic Design of High-Rise Buildings A Consensus Documents CTBUH

    Seismic Working Group

    11. USGS Peak Acceleration Map, in % g, Java Indonesia, September 2, 2009

    12. Irsyam, M., Dangkua, D., and Hoedajanto, D., Reasons to Update Current

    Design Maps for Indonesia, HAKI Conference, Jakarta, 2007

    13. Kertapati, E., Komunikasi Pribadi, 2010,

    14. Kertapati, E., Komunikasi Pribadi, 2004

    15. FEMA, NEHRP Recommended Provisions for New Buildings and Other

    Structures: Training and Instructional Materials FEMA 451-B, June 2007.

    16. LAPI ITB, Studi Dampak Gempa Bumi Terhadap Sistem Transportasi,

    Departemen Perhubungan, 2008.

    Makalah ini disampaikan dalam rangka diseminasi informasi melalui Seminar HAKI.

    Isi makalah sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, dan tidak mewakili pendapat HAKI.