39559839 inflammatory bowel disease
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I. PENDAHULUAN
Istilah Inflammatory Bowel Disease (IBD, penyakit inflamsi usus)
dipakai secara umum untuk menggabungkan dua jenis penyakit, yaitu Kolitis
Ulseratif (UK) dan Penyakit Chorn (PC) dalam satu istilah yang belum
diketahui penyebab pastinya. Hal ini untuk secara praktis membedakannya
dengan penyakit inflamasi usus lain yang telah diketahui penyebabnya
seperti infeksi, iskemia, dan radiasi. Pada beberapa keadaan, PC dan KU
1
mempunyai gambaran klinis yang tumpang tindih sehingga tidak jarang
sulit dibedakan. Dalam beberapa kepustakaan, selain kedua penyakit
tersebut juga dimasukkan intermedinate colitis atau non-spesific colitis ke
dalam kelompok IBD, bila gejalanya tidak jelas masuk ke diagnosis KU atau
PC. (Stenson, 1995)
II. EPIDEMIOLOGI
Dari berbagi data kepusakaan didapatkan bahwa insiden KU di Negara
barat bervariasi antar 5-18 per 100.000 penduduk. Adapun prevalensinya
berkisar 10-20 kalinya. Dalam decade terakhir kejadian PC cenderung
meningkat. IBD cenderung terjadi pada usia muda (umur 25-30 tahun) dan
tidak terdapat perbedaan bermakna antara wanita dan laki-laki. Yang cukup
menarik adalah adanya perbedaan distribusi geografis. Prevalensi di Eropa
Utara lebih tinggi daripada di Eropa Selatan, demikian pula di Amerika.
Orang kulit putih jauh lebih banyak terkena dibandingkan kulit hitam. Dari
segi ras, tampaknya IBD banyak terdapat pada orang Yahudi. IBD lebih
cenderung terjadi pada kelompok social ekonomi tinggi, bukan perokok,
pemakai kontrasepsi oral, dan diet rendah serat. (Marks, 1999)
Belum ada data prevalensi dan insidensi IBD di Indonesia. Bila bertitik
tolak pada data endoskopi di Sub-bagian Gastroenterologi RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, di 20 kasus KU dan 10 kasus PC dari 700
pemeriksaan kolonoskopi atas berbagai indikasi. Data di masyarakat
2
mungkin lebih tinggi daripada data yang ada di rumah sakit, mengingat
sarana endoskopi belum tersedia merata di pusat pelayanan kesehatan di
Indonesia. Pada studi prospektif di beberapa rumah sakit di Jakarta pada
kasus yang dilakukan kolonoskopi atas indikasi diare kronik, hematokezia,
dan nyeri perut kronik (total 451 kasus), didapatkan KU sebanyak 5,5 %, PC
2,0 %, dan 2,4 % indeterminate colitis. (Djojoningrat, 2001)
III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD maupun penjelasan yang
memadai untuk menerangkan fenomena populasi ataupun data geografis
penyakit ini. Tidak dapat disangkal bahwa faktor genetic memainkan
peranan penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar
dan adanya keterikatan familial. Teori adanya peningkatan permiabelitas
epitel usus, terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies, peran
nitrit oxide dan riwayat infeksi (terutama Mycobacterium paratuberculosis)
banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi masalah adalah hal apa yang
mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya kompleks, antara
interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk antigen (termasuk
permiabelitas epitel usus), dan kemungkinan disregulasi mekanisme imun
pasien IBD. (Shanahan, 1999)
Secara umum diperkirakan bahwa proses pathogenesis IBD diawali
oleh adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumenal kolon, yang
3
terjadi pada individu yang rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetic, defek
imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding
usus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. INFLAMMATORY BOWEL DISEASE
Istilah penyakit inflamasi usus (IBD) merujuk pada keadaan kolitis ulserativa (UC) dan
penyakit Crohn (CD). Inflammatory bowel disease adalah suatu kondisi kronis yang tidak
diketahui etiologinya, yang dicirikan oleh episode berulang dari nyeri perut, sering kali disertai
dengan diare. Meskipun kedua kondisi diatas (ulcerative colitis dan penyakit Crohn) memiliki
temuan patologis yang berbeda, sehingga persentase pasien dengan penyakit inflamasi usus
4
(IBD) tidak jelas dilaporkan angka kejadiannya. Penyakit Crohn juga disebut enteritis regional,
terminal ileitis, atau granulomatosa ileocolitis.
Penyakit Crohn, sebuah subkategori penyakit inflamasi usus, dilaporkan memiliki angka
morbiditas yang cukup signifikan, khususnya di negara-negara industri. Dapat mempengaruhi
orang-orang dari umur berapa saja, tetapi lebih sering ditemukan pada remaja dan dewasa muda.
Peradangan dan ulserasi terjadi terutama di ileum terminalis dan kolon, meskipun setiap bagian
dari saluran pencernaan dapat terkena penyakit inflamasi usus (IBD) ini. Tidak ada etiologi yang
jelas tentang penyakit inflamasi usus (IBD) ini, meskipun sejumlah faktor mempunyai kontribusi
kepada etiopathogenesis penyakit inflamasi usus (IBD), termasuk genetik, mikroba, penyebab
terjadinya peradangan, kekebalan tubuh (imunitas), dan kelainan pada system permeabilitas
tubuh. Pengobatan secara konvensional dilaporkan tidak memberikan hasil yang cukup
memuaskan, tetapi dapat memberikan kontribusi untuk resolusi flare-ups akut dan berperan
terhadap terjadinya episode remisi. Efek samping yang ditimbulkan setelah intervensi
medikamentosa yang dilakukan menyebabkan intervensi yang lebih alami untuk membantu
mempertahankan kondisi penderita pada saat sekarang ini lebih dipertimbangkan.
Nilai remisi yang lebih baik terlihat dalam pasien Crohn's siapa yang mendapatkan obat
penekan imun lebih dulu daripada steroids. Remisi dari penyakit Crohn's mungkin lebih besar
jika pasien mendapatkan obat penekan, bukan steroids, lebih dulu. Berita itu, diterbitkan dalam
edisi The lanset, sebuah studi yang berasal dari pasien penyakit Crohn's di Eropa.
Studi menunjukkan nilai remisi lebih baik bila pasien memulai perawatan penyakit
Crohn's tertentu dengan obat penekan kekebalan daripada steroids. "Tidak hanya pasien seperti
mendapatkan penyakitnya di bawah kontrol, namun mereka juga terkena penyebaran steroids -
5
memperpanjang penggunaan terkait dengan penyakit metabolis dan bahkan meningkat
kematian," kata Feagan, yang mengarahkan pada percobaan klinis di Robarts Research Institute
di Kanada dari University of Western Ontario.
Peneliti lainnya sedang menguji dengan strategi yang sama. Jika temuan mereka,
diharapkan nanti dalam tahun ini, yang sesuai dengan studi di Eropa, "perawatan algoritma untuk
pasien dengan penyakit Crohn's akan berubah," mengenyangkan sebuah editorial di The Lancet.
Studi Eropa termasuk 133 orang pasien penyakit Crohn's yang tidak mulai mengambil obat
penyakit Crohn's apapun.
Para peneliti yang menugaskan separuh dari pasien secara acak untuk memulai
pengobatan penyakit Crohn's dengan mengambila dua obat penekan kekebalan, Remicade dan
Imuran. Pasien itu dapat mengambil corticosteroids kemudian, jika diperlukan. Sebagai
perbandingan, pada pasien lainnya yang mendapat kan pengobatan penyakit Crohn's standar,
dengan melibatkan pengambianl corticosteroids terlebih dahulu, kemudian mengambil Imuran,
dan akhirnya mengambil Remicade. Tujuan dari studi ini adalah untuk melihat grup mana yang
lebih baik nilai remisi tanpa operasi setelah 26 minggu pengobatan dan setelah satu tahun
perawatan.
6
Nilai remisi sangat unggul di antara para pasien yang memulai pengobatan dengan
Remicade dan Imuran. Di antara pasien itu, 60% adalah dalam remisi setelah 26 minggu
pengobatan dan hampir 62% adalah dalam remisi dalam satu tahun pengobatan dimulai. Sebagai
perbandingan, sekitar 36% dari pasien yang mulai dengan pengobatan steroid dalam remisi itu
setelah 26 minggu perawatan dan 42% adalah dalam remisi setelah satu tahun pengobatan
dimulai. Setelah tahun pertama perawatan, dua kelompok mempunyai nilai remisi yang mirip.
Kemudian kambuh terjadi bagi para pasien yang dimulai dengan Remicade dan Imuran daripada
orang-orang yang dimulai dengan steroids.
Pasien yang memulai dengan Remicade dan Imuran kurang kemungkinan untuk
memiliki borok dua tahun setelah perawatan, dibandingkan dengan mereka yang dimulai dengan
steroids. Dalam pola yang jelas, para peneliti menyarankan untuk memulai dengan Remicade dan
7
Imuran mungkin dapat mengubah bagian dari penyakit. Kedua kelompok itu memiliki
persentase efek samping yang sama, para peneliti mengingatkan.
II. GAMBARAN KLINIS
Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan
manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi
ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema
nodusum dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai gambaran keadaan
sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada sebagai
gangguan nutrisi. Gambaran klinis KU relative lebih seragam dibandingkan
pada PC. Hal ini disebabkan karena distribusi usus yang terlibat pada KU
adalah kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi yaitu dapat hanya usus
halus, ileosaekal, kolon ataupun dapat melibatkan semua bagian traktus
gastrointestinal. Adapun gejala dan lesi anatomis yang terlibat dapat dilihat
pada table 1. (Stenson, 1995)
Perjalanan klinis IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi ini
dapat disebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi spontan.
Dengan sifat perjalan klinis IBD yang kronik-eksaserbasi-remisi, diusahakan
suatu criteria klinis sebagai gambaran aktivitas penyakit untuk keperluan
8
pedomn keberhasilan pengobatan umum maupun menetapkan fase remisi.
Secara umum Disease Activity Index (DAI) yang didasari dari frekuensi diare,
ada tidaknya perdarahan per anum, penilaian kondisi mukosa kolon pada
pemeriksaan endoskopi, dan penilaian klinis secara umum oleh dokter, dapat
dipaki untuk maksud tersebut. (Goebell, 1998)
Derajat klinis KU dapat dibagi atas berat, sedang, dan ringan
beerdasarkan frekuensi diare, adanya demam, derajat anemia, dan laju
endap darah (klasifikasi Trulove). Perjalanan penyakit KU dapat dimulai
dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang
bertambah berat secara gradual dalam beberapa minggu. Berat ringannya
serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi
mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa.
Tabel 1. Gambaran Klinis IBD
9
Colitis Ulseratif Penyakit Chorn
Gejala dan tanda :
○ Diare kronik
○ Perdarahan per anum
○ Nyeri perut
○ Adanya massa intraabdomen
○ Terjadinya fistula
○ Timbul striktur/stenosis usus
○ Keterlibatan usus halus
○ Keterlibatan rectum
○ Menifestasi ekstraintestinal
○ Komplikasi megakolon toksik
++
++
+
0
+/-
+
+/-
95%
+
+
++
+
++
++
++
++
++
50%
+
+/-
Patologi :
○ Lesi bersifat segmental
○ Bersifat transmural
○ Didapatkan granuloma
○ Terjadi proses fibrosis
○ Terjadi fistula
0
+/-
0
+
+/-
++
++
50%
++
++
Ket : (++) Sering, (+) Kadang-Kandang, (+/-) Jarang, (0) Tidak
10
Pada PC selain gejala umum di atas, adanya fistula merupakan hal
yang karakteristik (Termasuk di perianal). Nyeri perut relative lebih
mencolok. Hal ini disebabkan oleh sifat lesi yang transmural sehingga dapat
menimbulkan fistula dan obstruksi serta berdampak pada timbulnya
bacterial overgrowth.
Secara endoskopik, penilaian aktivitas penyakit KU relative lebih
mudah dengan menilai gradasi berat-ringannya lesi mukosa dan luasnya
bagian usus yang terlibat. Tetapi pada PC hal tersebut lebih sulit, terlebih
bila ada keterlibatan usus halus (tidak terjangkau oleh tehnik pemeriksaan
endoskopi), sehingga dipakai criteria yang lebih spesifik (Chorn’s Disease
Activity Index) yang didasari pada penilaian adanya demam, data
laboratorium, manifestasi ekstra-intestinal, frekuensi diare, nyeri abdomen,
fistulasi, penurunan berat badan, terabanya massa intra-abdomen, dan rasa
sehat pasien. (Modigliani, 1999)
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
3.1 Laboratorium
Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik
sebagai dasar diagnosis IBD maupun untuk membedakan KU dengan PC.
Data laboratorium lebih banyak berperan untuk menilai derajat aktivitas
11
penyakit dan dampaknya pada status nutrisi pasien. Parameter yang banyak
dipakai adalah kadar hemoglobin, hematokrit, kadar besi serum untuk
menilai kehilangan darah dalam usus, laju endap darah untuk menilai
aktivitas inflamasi serta kadar albumin serum untuk status nutrisi, serta C
reactive protein yang dapat dipakai juga sebagai parameter aktivitas
penyakit.
3.2. Endoskopi
Endoskopi mempunyai peran penting dalam diagnosis maupun
penatalaksanaan kasus IBD. Akurasi diagnostic kolonoskopi pada IBD adalah
89% dengan 4% kesalahan dan 7% hasil yang meragukan. Adapun
gambaran endoskopi KU dan PC yang karakteristik dapat dilihat pada table
2. (Modigilani, 1999)
Pada dasarnya KU merupakan penyakit yang melibatkan mukosa
kolon secara difus dan kontinyu, dimulai dari rectum dan menyebar ke
proksimal. Sedangkan PC bersifat transmural, segmental dan dapat terjadi di
saluran cerna bagian atas, usus halus, ataupun kolon.
12
Dari data kolonoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta
didapatkan bahwa lokasi KU adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid,
12% kolonsebelah kiri dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis).
Sedangkan PC, 11% terbatas pada ileum terminal, ileo-kolon 33%, dan kolon
56%. Ileo-saekal merupakan predileksi beberapa penyakit yaitu TBC,
amebiasis, PC, dan keganasan. Data di Jakarta memperlihatkan bahwa pada
temuan lesi per-kolonoskopik yang terbatas pada ileo-saekal disebabkan
oleh 17,6% PC, 23,5% TBC, 17,6% amebiasis, dan 35,4% colitis infektif.
(Djojodiningrat, 2003)
Tabel 2. Gambaran Lesi Inflamasi IBD Secara Endokopik
Colitis
ulseratif
Penyakit
Crohn
Lesi inflamasi (edema, eritema,
erosi, dll) :
13
✔ Bersifat kontinyu
✔ Adanya skip area (adanya
mukosa normal di antara
lesi)
✔ Keterlibatan rectum
✔ Lesi mudah berdarah
✔ Mukosa granular
✔ Cobblestoned
appearece/pseudo polip
+++
0
+++
+++
+++
+
+
+++
+
+
+
+++
Sifat ulkus :
✔ Terdapat pada mukosa yang
inflamasi
✔ Keterlibatan ileum (ada lesi
di ileum)
✔ Lesi ulkus berukuran diskrit
✔ Bentuk ulkus :
– Diameter > 1cm
– Dalam
– Bentuk linier (longitudinal)
– aphloid
+++
0
+
+
+
+
+
++++
+++
+++
++
+++
14
0 ++++
3.3. Radiologi
Tehnik pemeriksan radiologi kontras merupakan pemeriksaan
diagnostic pada IBD yang saling melengkapi dengan endoskopi. Barium
kontras ganda dapat memperlihatkan striktur, fistula, mukosa yang irregular,
gambaran ulkus dan polip, ataupun perubahan distenbilitas lumen kolon
berupa penebalan dinding usus dan hilangnya haustrae. Interpretasi
radiologi merupakan kontraindikasi pada KU berat karena dapat
mencetuskan megakolon toksik. Foto polos abdomen secara sederhana
dapat mendeteksi adanya dilatasi toksik yaitu tampak lumen usus yang
melebar tanpa material feses di dalamnya. Untuk menilai keterlibatan usus
halus dapat dipakai metode enterocolytis yaitu pemasangan kanul
nasogastrik sampai melewati ligamentum Treitz sehingga barium dapat
15
dialirkan secara kontinyu tanpa terganggu oleh kontraksi pylorus. Peran CT
scan dan ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada PC dalam mendeteksi
adanya abses ataupun fistula.
3.4. Histopatologi
Spesimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostic
dari pada specimen yang diambil secara biopsy per-endoskopik. Terlebih lagi
bagi PC yang lesinya bersifat transmural sehingga tidak dapat dijangkau
dengan teknik biopsy per-endoskopik. Gambaran khas untuk KU adalah
16
adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel monoukleus dan
polimorfonuklear di lamina propia. Sedangkan pada PC adanya granuloma
tuberkuloid (terdapat 20-40% kasus) merupakan hal yang karakteritik
disamping adanya infiltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina propia serta
ulserasi yang dalam. (Surawitz, 1993)
I. PENGOBATAN
Mengingat bahwa etiologi dan pathogenesis IBD belum jelas, maka
pengobatannya lebih ditekankan pada kaskade penghambatan proses
inflamasi (kalau memang tidak dapat dihilangkan sama sekali). Dengan
dugaan adanya faktor/agen pro-inflamasi dalam bentuk bakteri intraluminal
dan komponen diet sehari-hari yng dapat mencetuskan proses inflamasi
kronik pada kelompok orang yang rentan, diusahakan mengeliminasi hal
tersebut dengan cara pemberian antibiotic, lavase usus, mengikat produksi
bakteri, mengistirahatkan kerja usus, dan perubahan pola diet. Metroniazol
cukup banyak diselidiki dan cukup bermanfaat pada PC dalam menurunkan
derajat aktivitas penyakitnya. Sedangkan pada KU jarang digunakan
antibiotic sebagai terapi terhadap agen pro-inflamasinya. Disamping
beberapa konstituen diet yang harus dihindari karena mencetuskan
serangan (seperti wheat, cereal yeast, dan produk peternakan), terdapat
konstituen yang bersifat anti oksidan yang dalam penelitian terbatas terlihat
17
bermanfaat pada kasus IBD yaitu glutamine dan asam lemak rantai pendek.
Mengingat penyakit ini bersifat kronik eksaserbasi, edukasi pada pasien dan
keluarganya mempunyai peranan penting. (Hanaver, 1997)
4.1 Kortikosteroid
Sampai saat ini glukokortikoid merupakan oba pilihan untuk PC (semua
derajat) dan KU derajat sedang berat. Pada umumnya pilihan jatuh
pada prednisone, metilprednisolon (keduanya bentuk oral) atau
hidrokortison enema. Pada keadaan berat dapat diberikan secara
parenteral. Dengan tujuan memperoleh konsentrasi steroid local di
usus yang tinggi dengan efek sistemik (dan efek sampan) yang renda,
telah dicoba golongan glukokortikoid non-istemik untuk pengobatan
IBD. Aplikasi rectal/enema diprioritaskan pada KU distal, sedangkan
untuk PC dipakai preparat oral lepas lambat. Termasuk golongan ini
antara lain budesonid oral/enema. Dosis rata-rata yang banyak
digunakan adalah setara prednisone 40-60 mg per hari dan bila remisi
telah tercapai dilakukan tapering dose dalam waktu 8-12 minggu.
(Hanaver, 1997)
4.2 Asam Aminosalisilat
18
Pemakaian aminosalisilat telah lama mapan pada pengobatan IBD.
Preparate Sulfasalazin (ikatan azo dari sulfapiridin dan aminosalisilat)
di dalam usus akan dipecah menjadi sulfapirin dan 5 amino salicylic
acid (5-ASA). Telah diketahui bahwa yang bekerja sebagai anti-
inflamasi pada IBD adalah 5-ASA. Saat ini tersdia preparate 5-ASA
murni, baik dalam bentuk lepas lambat pada ph>5 (di Indonesia
Salofalk) maupun ikatan diazo. Baik sulfasalazin maupun 5-ASA
mempunyai efektifitas yang relative sama pada IBD, hanya dilaporkan
efek samping yang terjadi diakibatkan komponen sulfapiridin. Dosis
oral rata-rata yang banyak digunakan adalah 2-4 gram per hari.
(Campieri, 1999)
4.3 Imnosupresif
Bila dengan 5-ASA dan glukokortikoid gagal dicapai remisi, alternative
lain adalah penggunaan obat imunosupresif seperti 6-merkaptopurin
(1,5 mg/KgBB/hari/oral), azatioprin, siklosporin, dan metotreksat.
19
4.4 Loperamide (Imodium)
Bekerja pada lapisan otot intestinal untuk menghambat peristaltic usus
dan menurunkan motilitas usus halus. Memperpanjang waktu paruh
elektrolit dan cairan sampai ke usus, meingkatkan viskositas cairan
dan menurunkan kehilangan cairan dan elektrolit.
Dewasa :
Dosis Awal : 4 mg PO
Maintenance : 2 mg PO, tidak lebih 16 mg/d
Anak :
<2 tahun : Tidak dianjurkan
2-6 tahun : 1 mg PO
6-8 tahun : 2 mg PO
8-12 tahun : 2 mg PO
>12 tahun : Diberikan dosis dewasa dengan Chronic diarrhea: 0.08-0.24 mg/kg/hari
4.5 Diphenoxylate and Atropine (Lomotil)
Dewasa :
15-20 mg/d PO 2-3 x/ hari, diikuti 5-15 mg/hari
Anak :
20
<2 tahun : Tidak dianjurkan
>2 tahun : 0.3-0.4 mg/kg/d PO dalam dosis terbagi
2-5 tahun : 2 mg PO
5-8 tahun : 2 mg PO
8-12 tahun : 2 mg PO 5x / hari
>12 tahun : Diberikan dosis dewasa
4.6 Cholestyramine (Questran)
Dewasa :
4 g PO qd/bid;tidak lebih dari 24 g/d atau 6 doses/hari
Anak :
240/kg/d PO dibagi dalam 3 dosis
4.7 Dicyclomine (Bentyl)
Dewasa :
80 mg/d PO
Anak :
10 mg/dose PO
4.8 Surgical
21
Indikasi intervensi surgical biasanya bila terjadi komplikasi atau terapi
konservatif gagal dilakukan.
I. KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit IBD dapat terjadi komplikasi-komplikasi sebagai
berikut :
– Perforasi usus
– Terjadi stenosis usus akibat proses fibrosis
– Megakolon toksik (teruama pada KU)
– Perdarahan saluran cerna
– Degenerasi maligna
Diperkirakan resiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13% setelah 20
tahun menderita.
I. PROGNOSIS
Pada dasarnya, penyakit IBD merupakan penyakityang bersifat remisi
dan eksaserbasi. Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat
spontan dan dalam jangka waktu yang lama. Prognosis banyak dipengaruhi
oleh ada tidaknya komplikasi dan perjalanan klinis yang resisten terhadap
22
penatalaksanaan konservatif dan membutuhkan intervensi surgical.
Dilaporkan antara 60-70% kasus PC membutuhkan intervensi surgical dalam
perjalanan penyakitnya. Sedangkan pada KU, 30% pasien yang telah 25
tahun menderita penyakit ini, membutuhkan tindakan kolektomi. (Herfath,
2000)
IBD sampai saat ini merupakan penyakit yang belum diketahui
penyebab pastinya bermanifestasi terutama dalam bentuk diare kronik
dengan manifestasi sistemik dan ekstra-intestinalnya, serta bersifat kronik
kambuhan. Kekerapannya tinggi di Negara barat, tapi di Indonesia masih
memerlukan data epidemiologi yang akurat. Pada dasarnya pengobatan
berupa pemberian obat anti-inflamasi yang bekerja local di dinding usus
maupun sistemik.
23
BAB III
RINGKASAN
Istilah Inflammatory Bowel Disease (IBD, penyakit inflamsi usus)
dipakai secara umum untuk menggabungkan dua jenis penyakit, yaitu Kolitis
Ulseratif (UK) dan Penyakit Chorn (PC) dalam satu istilah yang belum
diketahui penyebab pastinya. Hal ini untuk secara praktis membedakannya
dengan penyakit inflamasi usus lain yang telah diketahui penyebabnya
seperti infeksi, iskemia, dan radiasi. Pada beberapa keadaan, PC dan KU
mempunyai gambaran klinis yang tumpang tindih sehingga tidak jarang
sulit dibedakan. Dalam beberapa kepustakaan, selain kedua penyakit
tersebut juga dimasukkan intermedinate colitis atau non-spesific colitis ke
dalam kelompok IBD, bila gejalanya tidak jelas masuk ke diagnosis KU atau
PC.
Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD maupun penjelasan yang
memadai untuk menerangkan fenomena populasi ataupun data geografis
penyakit ini. Tidak dapat disangkal bahwa faktor genetic memainkan
peranan penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar
dan adanya keterikatan familial. Teori adanya peningkatan permiabelitas
epitel usus, terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies, peran
nitrit oxide dan riwayat infeksi (terutama Mycobacterium paratuberculosis)
24
banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi masalah adalah hal apa yang
mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya kompleks, antara
interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk antigen (termasuk
permiabelitas epitel usus), dan kemungkinan disregulasi mekanisme imun
pasien IBD.
Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan
manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi
ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema
nodusum dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai gambaran keadaan
sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada sebagai
gangguan nutrisi. Gambaran klinis KU relative lebih seragam dibandingkan
pada PC. Hal ini disebabkan karena distribusi usus yang terlibat pada KU
adalah kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi yaitu dapat hanya usus
halus, ileosaekal, kolon ataupun dapat melibatkan semua bagian traktus
gastrointestinal.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis
Inflammatory bowel disease, diantaranya adalah :
Laboratorium
Endoskopi
Radiologi
Histopatologi
25
Pada pasien-pasien dengan Inflammatory bowel disease dapat
diberikan terapi sebagai berikut :
Kortikosteroid
Asam Aminosalisilat
Imnosupresif
Loperamide (Imodium)
Diphenoxylate and Atropine (Lomotil)
Cholestyramine (Questran)
Dicyclomine (Bentyl)
Surgical
26