4. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · chyme) dari lambung (kondisi asam) ......
TRANSCRIPT
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Radiasi ionisasi memiliki efek yang dikumulasikan dari setiap paparan yang
diterima sehingga diperoleh besar dosis total dan hubunganya dengan efek yang
terjadi (Hall 2000). Menurut Gorbunov et al. (2010), radiasi ionisasi dapat
menyebabkan kerusakan baik fungsi maupun struktur dari suatu sistem tubuh
yang peka terhadap radiasi. Sistem tubuh yang peka adalah sistem pencernaan
atau gastrointestinal salah satunya usus halus (duodenum). Usus halus merupakan
pusat pencernaan makanan, penyerapan nutrisi, dan sekresi endokrin. Menurut
Hall (2000), efek akut radiasi terhadap usus halus dapat menimbulkan kerusakan
permukaan epitel mukosa usus serta gangguan pencernaan (Gutfeld et al. 2007).
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap duodenum usus halus.
Parameter yang diamati diantaranya: kerusakan vili, jumlah kripta, jumlah sel
goblet, jumlah sel radang, dan tinggi vili.
4.1 Kerusakan Vili Duodenum
Proses pencernaan terjadi pada usus halus yakni berupa penyerapan nutrisi
atau produk dari pencernaan yang dilakukan oleh sel-sel epitel atau sel absorptif
pada vili (Mescher 2010). Menurut Schiller dan Sellin (2006), keberadaan vili
berpengaruh terhadap penyerapan makanan dan kondisi kesehatan saluran
pencernaan. Vili yang rusak tidak bisa menyerap makanan secara baik, sehingga
asupan nutrisi bagi individu akan berkurang dan kondisi kesehatan menurun.
Rataan persentase kerusakan vili usus duodenum dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil analisis rataan persentase kerusakan vili duodenum (%) dihitung
dalam luas lapang pandang 243 044 µm2
Kelompok
Persentase kerusakan vili duodenum (Mean± SD)
Setelah 8 minggu radiasi
(5.3 mSv)*
Setelah 4 minggu pemulihan
dari radiasi
(tanpa perlakuan)
Kontrol (K) 10.00 ± 0.07b 3.00 ± 0.02c
Primer (P)* 22.67 ± 0.12a 9.67 ± 0.07b
Rosela (R) 18.33 ± 0.11a 11.67 ± 0.09b
Radiasi-Rosela(RP)* 19.00 ± 0.10a 9.00 ± 0.09b
Ket:1. angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan
tidak berbeda nyata pada taraf 5% 2.
kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
34
Analisis statistik rataan persentase kerusakan vili duodenum setelah 8
minggu radiasi menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0.05) terhadap kelompok (K)
pada seluruh kelompok perlakuan. Namun demikian secara umum rataan
persentase kerusakan epitel vili duodenum menunjukkan trend yang meningkat
dimulai pada kelompok (K), (R), (RP), dan (P). Rataan persentase kerusakan vili
duodenum pada kelompok (P) dan (RP) lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok (K). Hal ini diduga karena pemberian radiasi dapat menimbulkan
kerusakan pada sel-sel epitel vili. Menurut Somosy Z (2000), sinar radiasi dapat
berpenetrasi ke dalam jaringan atau sel tubuh dan mengakibatkan adanya transfer
energi radiasi menjadi material biologis. Energi tersebut yang dapat
mengakibatkan putusnya ikatan kimia dan menyebabkan proses ionisasi pada
atom berbeda pada molekul, termasuk air dan makromolekul biologis essensial
seperti DNA, membran lipid, dan protein (Schulte-Forhlinde dan Bothe 1991; Lett
1992). Ini yang mendasari tingginya rataan persentase kerusakan vili pada
duodenum mencit pada kelompok perlakuan Primer (P).
Menurut Durovic, Selakovic, dan Spasic-Jokic (2004), pemberian radiasi
kronis dosis rendah lebih berbahaya karena dapat menginisiasi peroksidasi lipid
dan menghancurkan lapis luar sel. Pemberian radiasi dosis rendah akan
menginduksi pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan stres oksidatif.
Membran sel dan organel-organel sel merupakan target utama yang dapat rusak
akibat radikal bebas. Peroksidasi membran sel akan meningkat sejalan dengan
penuruan dose rate (efek Petkau). Berdasarkan penelitian Petkau (1999),
peroksidasi lipid diproduksi baik karena efek radiasi lingkungan dengan dosis
0.18 μGy/h atau 1.8 x 10-3
mSv hingga dosis total 19 μGy. Petkau berkesimpulan
bahwa pemberian radiasi dapat mengganggu mekanisme perbaikan DNA sehingga
menyebabkan kerusakan membran sel.
Mekanisme kerusakan sel diawali dari sinar-X yang berpenetrasi ke
dalam sel sehingga terjadi reaksi pembentukan radikal bebas dan ROS
(reactive oxygen species) di dalam sel. ROS (reactive oxygen species) kemudian
menginduksi terbentuknya singlet oksigen (O2), hidrogen peroksida (H2O2),
radikal peroksil (OOH), dan radikal hidroksil (OH). Terbentunya komponen
radikal bebas tersebut selanjutnya menginisiasi terbentuknya superdioksida (O2-
35
) bersama dengan radikal hidroksil (OH) akan mengakibatkan peroksidasi
lipid dan kerusakan DNA sehingga sel menjadi rusak (Wood, Gibson, dan Garg
2003). Mekanisme kerusakan sel dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Mekanisme kerusakan sel akibat radiasi (www.vetmed.vt.edu [8 Mei
2012]).
Kelompok (K) tidak memiliki persentase keutuhan vili 100%, diduga
disebabkan oleh faktor fisiologis saluran pencernaan. Faktor tersebut yakni
adanya makanan (chyme) dari lambung (kondisi asam) yang melewati lumen usus
dan enzim pencernaan atau enterokinase (Dellmann dan Brown 1992).
Terlepasnya epitel vili usus halus diartikan sebagai proses deskuamasi epitel vili.
Deskuamasi epitel vili usus merupakan kondisi fisiologis dimana epitel vili yang
deskuamasi akan digantikan oleh sel-sel epitel dari bagian basal kripta dengan
periode 5-7 hari. Kondisi akan berubah patologis apabila ditemukan banyaknya
infestasi sel-sel radang pada bagian mukosa vili (Price dan Wilson 1995).
Menurut Yang et al. (2006), hasil penelitian beberapa tahun terakhir
menyebutkan bahwa stres beranggung jawab terhadap kondisi patofisiologi organ
gastrointestinal seperti kerusakan epitel vili usus yang mengawali infeksi usus,
sindrom iritasi usus (IBS), dan alergi pakan. Sejalan dengan pendapat Yang,
kehadiran pakan yang dimungkinkan membawa antigen menambah tinggi resiko
terjadinya kerusakan epitel vili dan proses infeksi. Pada infeksi usus dan mungkin
36
IBS, jaringan usus akan menjadi lebih sensitif terhadap antigen yang berada pada
lumen usus dan selanjutnya hadirnya antigen ini akan mengakibatkan respon
inflamasi yang berkembang sejalan dengan patofisiologi penyakit. Deskuamisi sel
epitel vili menjadi salah satu resiko kondisi sensitifitas ini. Faktor genetik pula
memainkan peran dalam proses peradangan namun dapat pula proses sensitifitas
ini terjadi tanpa adanya latar belakang keluarga sehingga dapat terjadi atrofi pada
organ intestinal.
Menurut Alatas (2002), radiasi sinar-X menginduksi pembentukan radikal
bebas yang dapat merusak sel tubuh. Pembentukan radikal bebas terjadi melalui
mekanisme pengambilan satu elektron terluar dari sel tubuh sehat sehingga sel
tubuh menjadi tidak stabil. Pada membran lipid hadirnya radikal bebas dapat
merusak ikatan lipid bilayer. Ikatan membran lipid bilayer yang rusak akan
menyebabkan epitel vili duodenum tidak dapat mempertahankan keutuhan
membrannya sehingga terjadi kerusakan epitel vili.
Kelompok perlakuan (RP) memiliki rataan persentase kerusakan vili lebih
rendah dibandingkan kelompok perlakuan kelompok (P). Hal ini diduga karena
rosela memiliki kemampuan menjaga dan meregenerasi epitel-epitel vili yang
rusak akibat radiasi. Rosela diketahui memiliki kadar antosianin dan vitamin C
yang tinggi yang berperan sebagai antioksidan (Maryani dan Kristiana 2005).
Menurut Winarsih (2007), antioksidan bekerja dengan mendonorkan satu
elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa
oksidan dihambat. Keseimbangan antara oksidan dan antioksidan sangat penting
berkaitan dengan sistem imunitas tubuh. Senyawa asam lemak tak jenuh yang
menjadi komponen terbesar dalam penyusun membran sel sangat sensitif dengan
keseimbangan antara oksidan dan antioksidan dalam tubuh. Apabila kondisi
keseimbangan tersebut tercapai membran sel sebagai barrier sel mampu menjaga
kondisi keutuhanan sel terhadap adanya serangan antigen (Meydani et al.1995).
Kelompok perlakuan (R) memiliki rataan persentase kerusakan vili tidak
jauh berbeda dari kelompok (RP). Hal ini diduga karena rosela memiliki senyawa
antioksidan yang mampu menjaga keutuhan vili usus. Menurut Winarsih (2007),
antosianin merupakan salah satu turunan flavonoid yang bersifat antioksidan.
Antioksidan golongan flavonoid ini dapat menggumpalkan keping-keping sel
37
darah, merangsang produksi nitrit oksida yang dapat mendilatasikan pembuluh
darah dan juga menghambat pertumbuhan sel kanker. Menurut Robak dan
Gryglewski (1996) di dalam Winarsih (2007), selain berpotensi sebagai
antioksidan dan penangkap radikal bebas flavonoid juga memiliki beberapa sifat
seperti hepatoprotektif, antimikrobiotik, antiinflamasi dan antivirus. Sifat
antiradikal flavonoid terutama terhadap radikal hidroksil (-OH), anion
superoksida (-O2), radikal peroksil (-ROO), dan alkolsil (-RO).
Gambar fotografi mikro kerusakan vili duodenum pada keempat kelompok
perlakuan setelah 8 minggu radiasi disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17 Fotografi mikro kerusakan vili duodenum mencit setelah 8 minggu
radiasi (5.3 mSv). Kerusakan vili ditandai dengan panah hitam.
Dapat dilihat bahwa kerusakan vili yang lebih sedikit terdapat pada
kelompok (K). Kelompok perlakuan (P), (R) dan (RP) memiliki
tingkat kerusakan yang hampir sama. A: kelompok (K), B:
kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP).
Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.
B
C D
A
38
Setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi, hasil analisis statistik
terhadap rataan persentase kerusakan vili usus dari keseluruhan kelompok
perlakuan menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0.05). Sama halnya dengan nilai
persentase kerusakan epitel vili pada duodenum di kelompok 8 minggu radiasi
yang secara umum menunjukkan trend menurun hingga kelompok (K).
Kelompok (K) memiliki rataan persentase kerusakan vili paling kecil
dibandingkan dengan tiga kelompok perlakuan lainnya. Kelompok (P), (R), dan
(RP) memiliki rataan persentase kerusakan vili pada selang yang sama. Pada
semua kelompok mencit mengalami penurunan persentase kerusakan vili. Hal
ini diduga karena keempat kelompok tidak diberi perlakuan atau pemicu stres
atau radiasi dan pencekokan. Sel-sel tubuh kembali bersiklus dan beregenerasi
kembali untuk mengadakan pemulihan sel sehingga sel kembali normal.
Gambar fotografi mikro kerusakan vili duodenum pada keempat kelompok
perlakuan setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18 Fotografi mikro kerusakan vili duodenum mencit setelah 4 minggu
pemulihan dari radiasi. Kerusakan vili ditandai dengan panah hitam.
Dapat dilihat bahwa kerusakan vili pada masing-masing kelompok
B
D C
A
39
mengalami penurunan dibandingkan dengan radiasi 8 minggu. A:
kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok
(RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.
4.2 Rataan Jumlah Kripta Duodenum
Basal kripta usus tersusun atas stem sel yang bertanggung jawab atas
regenerasi epitel vili (Wong 2004). Menurut Radtke dan Clevers (2005), usus
halus tersusun atas epitel selapis yang dibentuk di bagian kripta usus. Rataan
jumlah kripta duodenum pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil analisis rataan jumlah kripta pada duodenum (sel) dihitung dalam
luas lapang pandang 58 987 µm2
Kelompok
Jumlah kripta pada Duodenum (Mean± SD)
Setelah 8 minggu radiasi
(5.3 mSv)*
Setelah 4 minggu pemulihan
dari radiasi
(tanpa perlakuan)
Kontrol (K) 7.93 ± 1.34ba 9.38 ± 2.84ba
Primer (P)* 12.26 ± 2.13a 9.40 ± 2.72ba
Rosela (R) 7.97 ± 2.38ba 8.88 ± 2.07ba
Radiasi-Rosela (RP)* 6.20 ± 1.13ba 9.25 ± 2.27ba
Ket:1. angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan
tidak berbeda nyata pada taraf 5% 2.
kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
Analisis statistik terhadap rataan jumlah kripta duodenum pada minggu
ke-8 setelah diberi radiasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
antar kelompok perlakuannya. Kelompok perlakuan (P) menggambarkan
peningkatan jumlah kipta usus yang signifikan jika dibandingkan dengan
kelompok (K), (R), dan (RP). Hal ini diduga karena adanya inisiasi kerusakan dari
radiasi sinar-X. Kerusakan akibat radiasi dengan dosis rendah per dua hari sekali
mengakibatkan kripta berproliferasi untuk meregenerasi epitel vili pada bagian
puncak. Selain itu dapat pula dihubungkan dengan adanya respon inflamasi pada
usus maupun sebagai bentuk kompensasi usus terhadap paparan radiasi yang
diterima.
Menurut Macfarlane (2000), paparan radiasi sebagai agen fisik dapat
menyebabkan kerusakan sel. Berdasarkan penelitian Potten dan Hendry (1995) di
dalam Martin et al. (1998), pemberian radiasi ionisasi dosis tinggi yakni 14 Gy
(140 mSv) selama 4 hari pada mencit perlakuan akan memberikan efek kematian
40
yang cepat pada sel yang berada pada basal kripta melalui mekanisme apoptosis
atau penghentian proses pembelahan sel baik sementara atau selamanya. Nilai
depopulasi jumlah kripta dan efisiensi jumlah sel klonogenik pada kripta menjadi
parameter apakah hewan tersebut dikatakan bertahan terhadap respon radiasi dosis
tinggi.
Menurut Li et al. (1994), setiap kripta memiliki beberapa stem sel,
regenerasi kripta dapat mengakibatkan beberapa stem sel yang ada steril secara
reproduktif. Pemberian agen sitotoksik dosis tinggi seperti radiasi dapat
mengakibatkan beberapa sel klonogenik kripta mati, dan diantara stem sel yang
mampu bertahan akan melakukan repopulasi kripta dan epitel dengan pembelahan
sel dan pembelahan kripta. Berdasarkan penelitian Potten dan Hendry (1985),
terjadi peningkatan jumlah kripta yang berasal dari regenerasi stem sel yang
mampu bertahan saat diberi radiasi dosis tinggi. Hal ini dievaluasi setelah 14 hari
perlakuan dengan teknik pengukuran mikrokoloni kripta atau the crypt
microcolony assay technique. Fokus regenerasi dimana jumlah kripta meningkat
diduga berasal dari pembelahan biner dan pembelahan ganda kripta.
Menurut Somosy Z (2000), tingkat dan pemulihan perubahan
mikromorfologi sel yang diinduksi radiasi bergantung pada tipe sel dan dosis
radiasi yang diberikan. Pemberian radiasi pada kelompok (P) sangat nyata
berpengaruh terhadap persentase kerusakan epitel vili duodenum namun
cenderung tidak begitu berpengaruh terhadap kripta Lieberkühn pada bagian basal
duodenum. Diperlukan pengamatan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab
peningkatan jumlah kripta kelompok (P). Menurut Martin et al. (1998), pada
mencit dewasa sifat klonogenik sel-sel kripta Lieberkühn cenderung akan
mengadakan regenerasi sebagai akibat respon regenerasi daripada pengaruh
pertumbuhan sel secara fisiologis.
Selain itu menurut Hauchen, George, Sturmoski, dan Cohn (1999),
restorasi struktur bangun epitel normal usus pada tikus yang mengalami
kerusakan akibat beberapa agen berbahaya seperti bahan kimiawi, infeksi,
radiasi, dan peradangan memiliki berbagai tahap yang dapat mengubah
dinamika polpulasi stem sel epitelial. Stem sel akan berproliferasi untuk
meningkatkan jumlahnya dan untuk memenuhi populasi sel transit (enterosit, sel
41
goblet, dan sel enteroendokrin) yang dibutuhkan secara cepat. Sel transit yang
berada di dalam kripta akan berhenti bereplikasi setelah pemberian radiasi
ionisasi. Namun sel-sel tersebut tetap bermigrasi keluar dari kripta menuju
apikal vili. Sejalan dengan itu apabila tidak ada stem sel kripta yang bertahan
hidup maka kripta akan menghilang. Jika satu atau lebih stem sel klonogenik
bertahan hidup dari radiasi maka kripta akan berproliferasi dan dengan cepat
meningkat untuk menjadi kripta regeneratif.
Setelah pemberian radiasi maka akan ada dua mekanisme untuk
perbaikan usus halus yang rusak. Pertama, perbaikan pada sel rusak yang non-
letal. Kedua, melakukan proliferasi terhadap sisa stem sel yang ada pada
kripta. Mekanisme kedua merupakan tahap yang sangat penting dalam
perbaikan kondisi saluran pencernaan setelah pemberian radiasi. Stem sel mulai
berproliferasi segera setelah 24-48 jam pemberian radiasi. Pemberian radiasi
menyebabakan peningkatan jumlah stem sel kripta yang mengalami apoptosis
sehingga sebagai kompensasinya dilakukan hiperproliferasi (Li et al. 2005).
Kelompok (K), (R), dan (RP) memiliki jumlah kripta yang tidak jauh
berbeda. Jumlah kripta pada kelompok (R) dan (RP) yang tidak jauh berbeda
diduga karena rosela membantu menjaga regenerasi kripta dengan baik sehingga
jumlah kripta tidak berbeda dengan kelompok (K). Selain itu pengaruh radiasi
pada kelompok (RP) diduga cenderung tidak berpengaruh besar pada jumlah
kripta Lieberkühn. Sel-sel pada bagian kripta Lieberkühn secara fisiologis akan
beregenerasi kembali 3 hingga 8 hari untuk selanjutnya bermigrasi ke bagian
apikal (vili).
Gambar fotografi mikro kripta Lieberkühn pada keempat kelompok
perlakuan setelah 8 minggu radiasi disajikan pada Gambar 19.
42
Gambar 19 Fotografi mikro kripta Lieberkühn pada duodenum mencit setelah 8
minggu radiasi (5.3 mSv). Lumen kripta ditunjukkan dengan tanda
panah hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah kripta pada kelompok (P)
lebih banyak dibandingkan dengan kelompok (K) dan kelompok
perlakuan yang lain. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok
(R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE)
dengan perbesaran 400x.
Regenerasi epitel vili dapat memperbaiki sel-sel permukaan vili secara
cepat sebagai respon kerusakan akibat proses radiasi (Ross 2004). Menurut
Fajardo et al. (2001), kripta Lieberkühn berfungsi mensekresikan ion-ion dan air,
serta menghantarkan immunoglobulin A (IgA) dan peptide antimikrobial ke
lumen usus. Peranan kripta tersebut bertujuan untuk menjaga permukaan epitel
dan peningkatan lapisan penyerapan nutrisi di usus. Saat permukaan vili atau
bagian apikal vili rusak maka kripta usus melakukan kompensasi dengan
meningkatkan jumlah sehingga perannya dalam penyerapan nutrisi dapat tetap
terjaga.
C
B A
D
43
Menurut Cosentino L, Shaver-Walker P, dan Heddle JA (1998),
perbandingan jumlah kripta Lieberkühn pada mencit BALB/c lebih banyak
daripada jumlah vilinya. Perbandingan atau rasio jumlah kripta terhadap vili usus
pada duodenum sebesar 14:1, akan menurun menjadi 6:1 pada bagian ileum. Hal
ini juga di laporkan oleh Li et al. (1994), bahwa setiap vili tersusun oleh 6-14
kripta yang tersebar pada bagian basalnya. Jumlah kripta yang ditemukan pada
bagian basal vili akan bervariasi berdasarkan letaknya sepanjang usus halus dan
setiap kripta biasanya mendistribusikan sel-sel proliferasinya untuk dua vili.
Sementara analisis statistik terhadap jumlah kripta Lieberkühn kelompok
perlakuan 4 minggu masa pemulihan menunjukkan nilai tidak berbeda nyata
(p>0.05). Rataan jumlah kripta pada ketiga kelompok perlakuan mendekati
jumlah rataan kripta pada kelompok (K). Hal ini diduga karena adanya regenerasi
sel dari derivat stem sel pada bagian basal kripta. Stem sel yang menyusun kripta
Lieberkühn akan berdeferensiasi menjadi epitel vili, sel enteroendokrin, dan sel
paneth. Sel-sel tersebut akan diregenerasi dalam waktu 4 minggu dan akan
digantikan oleh deferensiasi sel di sebelahnya (Ross et al. 2002). Sel
enteroendokrin akan bermigrasi bersamaan dengan sel absorptif dan sel goblet.
Berbeda dengan sel paneth yang tidak mengalami migrasi menuju ke apikal vili
akan tetapi akan tetap berada pada bagian basal kripta. Menurut Fajardo et al.
(2001), sel paneth memiliki peran sebagai inisiator imunitas mukosa untuk
melawan infeksi bakterial dengan produksi protein antimikrobial.
Setelah 8 minggu perlakuan jumlah rataan kripta duodenum tertinggi
terjadi pada kelompok primer. Namun peningkatan jumlah kripta tidak disertai
kualitas sel-sel kripta yang baik. Pada pengamatan fotogarafi mikro dengan
perbesaran 400 kali dapat dilihat sel-sel kripta mengalami apoptosis yang
ditunjukan dengan adanya badan apoptosis pada sel kripta. Empat minggu
pemulihan setelah 8 minggu perlakuan rataan jumlah kripta mengalami
peningkatan jumlah dan kualitas sel-sel kripta. Pada kelompok primer jumlah
kripta telah sama seperti kelompok kontrol.
Gambar fotografi mikro kripta Lieberkühn pada keempat kelompok
perlakuan setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi disajikan pada Gambar 20.
44
Gambar 20 Fotografi mikro kripta Lieberkühn pada duodenum mencit setelah 4
minggu pemulihan dari radiasi. Lumen kripta ditunjukkan dengan
panah hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah kripta pada semua kelompok
(K), (P), (R) dan (RP) hampir sama. A: kelompok (K), B: kelompok
(P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan
hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.
4.3 Rataan Jumlah Sel Goblet Duodenum
Sel goblet merupakan derivat stem sel yang mengalami deferensiasi dari
basal kripta usus. Sel goblet memiliki fungsi sebagai barrier atau pelindung
mukosa usus yang langsung berhadapan dengan lumen usus. Mukus yang
disekresikan sel goblet mengandung senyawa antimikrobial. Peningkatan jumlah
sel goblet dapat menjadi indikator adanya proses inflamasi pada suatu jaringan
(Price et al. 1995). Rataan jumlah sel goblet usus halus di duodenum mencit
percobaan dapat dilihat pada Tabel 7.
D C
B A
45
Tabel 7 Hasil analisis rataan jumlah sel goblet pada duodenum (sel) dihitung
dalam luas lapang pandang 58 987 µm2
Kelompok
Jumlah sel goblet pada duodenum (Mean± SD)
Setelah 8 minggu radiasi
(5.3 mSv)*
Setelah 4 minggu pemulihan
dari radiasi
(tanpa perlakuan) Kontrol (K) 26.61±10.45b 17.78± 6.65b
Primer (P)* 37.90± 9.56ba 28.72± 13.47b
Rosela (R) 27.78±10.57b 51.61± 10.57a
Radiasi-Rosela (RP)* 30.22± 5.17b 22.22± 5.95b
Ket: 1.angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan
tidak berbeda nyata pada taraf 5% 2.
kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel goblet pada duodenum setelah
8 minggu radiasi menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok
perlakuan. Namun demikian rataan jumlah sel goblet menunjukkan trend yang
meningkat dari kelompok (K), (R), (RP), dan (P). Rataan jumlah sel goblet pada
ketiga kelompok perlakuan (P), (R), dan (RP) lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok (K). Hal ini diduga karena proses absorbsi yang terganggu akibat
kerusakan epitel vili sehingga jumlah sel goblet perlu ditingkatkan sebagai bentuk
kompensasi. Selain itu peningkatan jumlah sel goblet dapat diartikan adanya
kondisi patologis seperti adanya peradangan pada bagian usus. Menurut Cotran et
al. (1999), sel goblet memiliki fungsi untuk mensekresikan mukus yang berfungsi
terhadap peningkatan pergerakan dan penyebaran bahan makanan atau nutrisi
yang ada pada lumen secara efektif.
Selain itu radiasi ionisasi diduga sebagai penyebab proliferasi sel goblet.
Menurut Wood, Gibson, dan Garg (2003), peroksidasi lipid yang terjadi pada
membran sel epitel akan menimbulkan efek patofisiologi berupa peningkatan
sekresi mucus dan kematian sel. Sedangkan pada kelompok perlakuan (R)
peningkatan rataan jumlah sel goblet diduga akibat adanya pemberian rosela
yang diketahui memiliki kadar asam askorbat yang tinggi. Kondisi lumen yang
asam diduga dapat menginisiasi hadirnya sel goblet pada epitel vili yang akan
mensekresikan mukus untuk melapisi sel-sel epitel vili sehingga tidak
mengakibatkan kerusakan. Menurut Roitt (1988), dalam respon imun akan
dihasilkan sel-sel atau molekul-molekul yang bertugas mempertahankan
kesehatan tubuh dari serangan patogen maupun sel kanker.
46
Respon umum yang akan terjadi adalah adanya perlindungan pertama dari
sistem imum non-spesifik. Respon imun fisik non-spesifik akan diperankan oleh
sel goblet penghasil mukus (lendir) sebagai langkah pertama terhadap kehadiran
agen patogen. Selain pertahanan fisik mukosa usus juga dilengkapai dengan
adanya asam peptida yang dipecah di lumen usus. Senyawa asam tersebut pula
berfungsi sebagai sistem pertahanan imun biokimia non-spesifik.
Gambar fotografi mikro sel goblet pada keempat kelompok perlakuan
setelah 8 minggu radiasi disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21 Fotografi mikro sel goblet pada duodenum mencit setelah 8 minggu
radiasi (5.3 mSv). Sel goblet ditunjukkan dengan panah hitam. Dapat
dilihat bahwa jumlah sel goblet meningkat pada kelompok (P)
disusul kelompok (RP). A: kelompok (K), B: kelompok (P), C:
D C
B A
47
kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan periodic acid
schiff (PAS), dengan perbesaran 400x.
Berikut fotogarfi mikro sel goblet pada keempat kelompok perlakuan
setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi (Gambar 22).
Gambar 22 Fotografi mikro sel goblet pada duodenum mencit setelah 4 minggu.
Sel goblet ditunjukkan dengan panah hitam. Dapat dilihat bahwa
jumlah sel goblet meningkat pada kelompok (R) sedangkan kelompok
(P) dan (RP) menunjukkan jumlah sel goblet pada kisaran normal (K).
A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D:
kelompok (RP). Pewarnaan periodic acid schiff (PAS), dengan
perbesaran 400x.
Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel goblet pada duodenum
setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi dengan tanpa pencekokan menunjukkan
nilai berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok perlakuan (R). Namun demikian
B
D C
A
48
rataan jumlah sel goblet menunjukkan trend yang menurun dibandingkan nilai
pada 8 minggu radiasi. Peningkatan rataan jumlah sel goblet yang signifikan
terlihat pada kelompok (R). Hal ini diduga karena hewan coba yang digunakan
non-SPF atau non Spesific Pathogen Free. Kelompok ( P ) , dan ( RP )
menunjukkan rataan jumlah sel goblet tidak jauh berbeda dengan kelompok (K).
4.4 Rataan Jumlah Sel Radang
Sel radang atau leukosit merupakan sel darah putih yang berperan dalam
proses imunitas atau respon pertahanan tubuh terhadap kehadiran antigen
(Macfarlane 2000). Pada penelitian ini, rataan jumlah sel radang pada duodenum
mencit percobaan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil analisis rataan jumlah sel radang pada duodenum (sel) dihitung
dalam luas lapang pandang 58 987 µm2
Kelompok
Jumlah sel radang pada duodenum (Mean± SD)
Setelah 8 minggu
radiasi
(5.3 mSv)*
Setelah 4 minggu
pemulihan dari radiasi
(tanpa perlakuan) Kontrol (K) 9.78 ± 4.44c 9.68 ± 2.19c
Primer (P)* 13.08 ±4.11ba 9.69 ± 3.14c
Rosela (R) 13.45 ±5.59ba 9.33 ± 1.84c
Radiasi-Rosela (RP)* 16.10 ± 3.49a 10.65±2.40bc
Ket: 1.angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan
tidak berbeda nyata pada taraf 5% 2.
kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel radang setelah 8 minggu
radiasi menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok perlakuan (K).
Namun demikian rataan jumlah sel radang menunjukkan trend yang meningkat
dimulai deri kelompok (K), (P), (R), dan (RP). Kelompok perlakuan (RP)
memiliki rataan jumlah sel radang yang tinggi dibandingkan dengan ketiga
kelompok perlakuan yang lain. Hal ini diduga dipengaruhi radiasi ionisasi dan
aktivitas prooksidan dari sen yawa antioksidan dan fitofenol rosela. Radiasi
ionisasi dan aktivitas prooksidan akan menginduksi ROS (Reactive Oxygen
Spesies) dalam bentuk radikal hidroksil, superoksida, hidrogen peroksida dan
singlet oksigen aktif. Aktivitas prooksidan tersebut dapat dipicu dan dimediasi
oleh reaksi antara senyawa antioksidan dan fitofenol dengan logam transisi
49
seluler. Logam transisi seluler d a p a t d i t e m u k a n p a d a s i t o p l a s m a
s e l . Fe2+ atau besi (II) dilaporkan dapat menjadi mediator aktivitas
prooksidan pada sel (Jagetia CG 2007; Uttara, Singh, Zamboni, dan Mahajan
2009; Sakihama, Cohen, Grace, dan Yamasaki 2002).
Mekanisme peroksidasi lipid akan mengawali produksi isoprostane
yang baru-baru ini diketahui menyerupai senyawa bioaktif prostaglandin (PG)F2.
Isoprostane merupakan produk dari enzim asam arachidonat yang dikatalisis
oleh radikal bebas. Prostaglandin merupakan salah satu mediator peradangan
yang kemudian akan mengundang hadirnya sel radang (Wood, Gibson, dan
Garg 2008). Mekanisme lain yang dapat meningkatkan sel radang diduga
karena kerja sistem imun, dimana sel yang rusak akan dikenali oleh natural
killer cells yang diperankan oleh limfosit. Limfosit akan mengenali sel yang
rusak melalui dua cara yakni dengan mengenali reseptor imunoglobulin (FcR atau
Fc-receptors) dan mengikat antibodi target yang selanjutnya hal ini akan
mengawali proses sitotoksis seluler bergantung antibodi. Cara kedua yakni
reseptor permukaan untuk MHC atau major hi stocompatibi l i ty complex
kelas 1. Jika selama interaksi dengan sel reseptor tidak berikatan maka NKC
atau natural killer cell akan terprogram untuk melisiskan sel target dengan
bantuan perforin untuk melubangi dinding membran sel dan selanjutnya hal ini
akan menginduksi apoptosis (Parkin dan Cohen 2001).
Selain itu pemberian radiasi pada sel akan direspon dengan reaksi
imunitas seluler berupa peningkatan jumlah sel radang atau leukosit. Kondisi
sel yang rusak akibat paparan radiasi dapat mengundang kehadiaran sel T
sitotoksik untuk melisiskan sel tersebut. Mekanisme seperti ini disebut
mekanisme imun spesifik seluler (Abbas 1991). Faktor stres akibat pencekokan
pun menjadi pemicu terjadinya peningkatan sel radang. Menurut Yang et al.
(2006), tikus atau hewan rodensia lain yang mengalami stres akan menghasilkan
antobodi Ig-E, antigen yang menginduksi sekresi intestinal, dan peningkatan
jumlah sel radang pada mukosa usus. Berdasarkan penelitian Sulistiawati (2009)
peningkatan jumlah leukosit yang terjadi pada tikus putih yang diberi ekstrak
kelopak rosela dapat disebabkan oleh kandungan asam folat yang terdapat pada
kelopak rosela. Asam folat dikenal sebagai folasin yang turut serta dalam
50
pembentukan beberapa asam amino dan pembentukan beberapa komponen
penting termasuk pembentukan sel darah dengan cara membantu proses sintesis
DNA. Menurut Subowo (1993), vitamin C dapat membantu konversi asam folat
menjadi bentuk aktif serta berfungsi dalam pemeliharaan imun seluler dan
terbukti dapat melindungi fungsi sel-sel neutrofil.
Pada kondisi normal di bagian lamina propria vili atau mukosa dan
submukosa usus mencit terdapat jaringan ikat lunak dan terdapat beberapa sel-
sel radang seperti limfosit, sel plasma, pada kondisi tertentu juga terdapat
eosinofil, makrofag, sel mast, dan neutrofil akan tetapi berjumlah tidak begitu
banyak. Sel radang yang terdapat pada bagian usus tersebut berfungsi untuk
merespon adanya antigen dari lumen usus.
Peningkatan rataan jumlah sel radang pada kelompok Primer (P)
setelah diberi paparan radiasi selama 8 minggu diduga sebagai respon terhadap
adanya peradangan dan injury pada bagian usus. Terutama pada kelompok ini
deskuamasi epitel vili dapat mengakibatkan masuknya antigen dari lumen usus
ke dalam bagian mukosa maupun submukosa usus. Radiai ionisasi dapat pula
mengakibatkan terbentuknya radikal bebas berupa senyawa ROS (reactive
oxygen species). Menurut Wood, Gibson, dan Garg (2008), hadirnya ROS
(reactive oxygen species) dapat mengaktifasi sel radang berupa sel mast,
eosinofil ,neutrofil, limfosit, makrofag, dan trombosit .Respon sel radang yang
aktif akan bersamaan dengan proses respiratory burst yang melibatkan
pengambilan oksigen dan kemudian melepaskan ROS (reactive oxygen species)
keseluruh bagian sel.
Hadirnya ROS (reactive oxygen species) sebagai akibat pemberian radiasi
pada sel menimbulkan berbagai efek seluler berantai. Berikut gambar skematis
akibat yang ditimbulkan dari kehadiran ROS (reactive oxygen species) (Gambar
23).
51
Gambar 23 Skematisasi mekanisme akibat yang terjadi dari hadirnya ROS
(reative oxygen species) pada sel (Kregel dan Zhang 2007).
Gambar skematis mekanisme hadirnya ROS (reactive oxygen species)
seluler dapat distimulasi oleh berbagai faktor eksogen maupun endogen. Hadirnya
ROS (reactive oxygen species) dapat mengakibatkan kerusakan DNA, protein,
dan lipid. Kerusakan DNA dapat memicu perubahan ekspresi gen yang
memodulasi berbagai respon yang berpengaruh pada fungsi dan kebertahanan sel.
Selain DNA, protein, dan lipid beberapa organel sel juga dapat mengalami
kerusakan sebagai respon kerusakan pada bagian terluar sel. Kedua kerusakan
yang telah disebutkan di atas dapat memacu respon seluler baik respon
peradangan, survival, proliferasi, dan kematian sel (Kregel dan Zhang 2007).
Fotografi mikro dari sel radang pada keempat kelompok setelah 8
minggu radiasi dapat dilihat pada Gambar 24.
52
Gambar 24 Fotografi mikro sel radang di submukosa duodenum mencit setelah 8
minggu radiasi (5.3 mSv). Sel radang ditunjukkan oleh lingkaran
hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah sel radang lebih banyak pada
kelompok (RP) disusul kemudian kelompok (R) dan (P). A: kelompok
(K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP).
Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.
Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel radang pada 4 minggu
pemulihan dari radasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05) pada
semua kelompok perlakuan. Namun demikian rataan jumlah sel radang
menunjukkan trend yang menurun dan hampir mendekati jumlah sel radang
kelompok (K).
Penurunan rataan jumlah sel radang setelah 4 minggu pemulihan diduga
karena pemberian radiasi yang dihentikan dan secara fiosiologis terjadi
pergantian sel-sel yang mati dengan sel epitel baru yang berasal dari kripta usus.
Sel-sel epitel baru pada vili duodenum menyebabkan menurunnya jumlah sel
radang dalam vili duodenum sehingga tidak ada respon imun pada kondisi ini
(Roitt 1988).
D C
B A
53
Berikut gambar fotografi mikro sel radang pada 4 minggu pemulihan dari
radiasi (Gambar 25).
Gambar 25 Fotografi mikro sel radang pada submukosa duodenum setelah 4
minggu pemulihan dari radiasi. Sel radang ditunjukkan oleh
lingkaran hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah sel radang menurun
pada masing-masing kelompok. A: kelompok (K), B: kelompok (P),
C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-
eosin (HE) dengan perbesaran 400x.
4.5 Rataan Tinggi Vili Duodenum
Vili merupakan struktur anatomis khas pada mukosa usus yang bertujuan
untuk memperluas bidang penyerapan nutrisi (McCurnin dan Bassert 2006).
Menurut Price et al. (2000), vili ialah tonjolan mukosa seperti jari-jari yang
jumlahnya empat atau lima juta terdapat sepanjang usus halus. Pada manusia
tinggi vili mencapai 0.5 mm hingga 1.5 mm atau 15 x 103 µm. Menurut Inamoto
et al. (2008), mengatakan tinggi vili usus halus menurun dari duodenum sampai
D C
B A
54
ke distal ileum. Pada penelitian ini, rataan tinggi vili duodenum mencit percobaan
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil analisis rataan tinggi vili duodenum (μm) dihitung dalam luas
lapang pandang 243 044 μm2
Kelompok
Rataan tinggi vili duodenum μm (Mean± SD)
Setelah 8 minggu
radiasi
(5.3 mSv)*
Setelah 4 minggu
pemulihan dari radiasi
(tanpa perlakuan) Kontrol (K) 294.24 ± 43.64a 335.62 ± 67.69a
Primer (P)* 288.70 ± 84.70a 313.23 ± 64.3a
Rosela (R) 310.23 ± 43.36a 323.87 ± 38.67a
Radiasi-Rosela (RP)* 292.59 ± 35.25a 325.41 ± 67.39a
Ket:1. angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan
tidak berbeda nyata pada taraf 5% 2.
kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
Analisis statistik terhadap rataan tinggi vili duodenum pada 8 minggu
setelah radiasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Kelompok
perlakuan (R) memiliki nilai rataan tinggi vili yang lebih besar dibandingkan
kelompok lain termasuk kelompok Kontrol (K). Namun demikian secara umum
rataan tinggi vili menunjukkan trend yang menurun dimana rataan tinggi vili
kelompok (P) paling rendah disusul kemudian (RP), (K), dan (R). Hal ini diduga
karena rosela memiliki kandungan senyawa kimia yang baik terhadap tubuh.
Menurut Sediaotama (2004), hasil analisis dari 10 g serbuk kelopak rosela
memiliki kandungan asam amino diantaranya prolin, valin, asam glutamat, glisin,
isoleusin, leusin, dan lisin yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sel,
pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan dan penggantian sel-sel yang mati. Asam
amino sebagai monomer dari protein memiliki peran yang sangat penting dalam
pertumbuhan dan regenerasi sel tubuh.
Selain itu kandungan antioksidan dari antosianin (Falvonoid) dan vitamin
C pada rosela dapat mengikat radikal bebas dan menghambat peroksidase lipid
yang dapat merusak sel. Oleh karena itu kondisi sel terhindar dari radikal bebas.
Kandungan flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, dan vitamin C pada ekstrak
kelopak rosela dapat menjaga dan meningkatkan tinggi vili usus. Peningkatan vili
menyebabkan semakin luas permukaan vili untuk absorbsi nutrien masuk ke
dalam aliran darah (Mile et al. 2006; Winarsih 2007; Rostinawati 2009). Fungsi
utama duodenum merupakan tempat katabolisme makanan menjadi partikel-
55
partikel kecil berupa lemak, protein atau bentuk lainnya. Proses ini dibantu oleh
sekresi dari kantong empedu di hati dan sekresi dari pankreas. Hasil katabolisme
di duodenum selanjutnya akan diserap di jejenum (Guyton dan Hall 1997).
Berikut fotografi mikro dari tinggi vili setelah 8 minggu radiasi (Gambar
26).
Gambar 26 Fotografi mikro tinggi vili duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi
(5.3 mSv). Tinggi vili diukur berdasarkan panah hitam. Dapat dilihat
bahwa kelompok (R) memiliki vili lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok (K) dan (RP). A: kelompok (K), B: kelompok (P), C:
B
D C
A
56
kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin
(HE) dengan perbesaran 200x.
Semua kelompok perlakuan setelah diberi 4 minggu pemulihan terjadi
peningkatan tinggi vili yang mendekati rataan tinggi vili pada kelompok (K).
Terlihat adanya usaha pemulihan sel-sel vili sehingga terjadi penambahan tinggi
vili sehingga penyerapan nutrisi dapat optimal. Berikut fotografi mikro dari tinggi
vili setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi (Gambar 27).
Gambar 27 Fotografi mikro tinggi vili pada duodenum setelah 4 minggu
pemulihan dari radiasi. Tinggi vili diukur berdasarkan tanda panah
D
B
C
A
57
hitam. Dapat dilihat bahwa tinggi vili pada semua kelompok
hampir sama. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok
(R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin(HE)
dengan perbesaran 200x.
4.6 Gambaran Umum Pengamatan Hiastopatologi Duodenum Mencit
Perubahan patologis yang teramati dari gambaran histopatologi usus halus
mencit yang diberi radiasi (P) selama 8 minggu mengalami peningkatan
persentase kerusakan epitel vili, jumlah kripta, sel radang dan sel goblet. Tinggi
vili yang paling rendah dibandingkan kelompok (K), (R), dan (RP). Menurut
McCurnin Bassert (2006), semua jaringan baik hewan maupun manusia sangat
sensitif terhadap radiasi. Penyerapan radiasi dosis rendah oleh jaringan akan
mengakibatkan perubahan atau kerusakan. Radiasi ionisasi akan merubah susunan
molekul air sel dalam tubuh sehingga terbentuk radikal bebas secara aktif.
Menurut Thrall (2002), radikal bebas yang terbentuk dari radiasi ionisasi
secara tidak langsung akan menghilangkan elektron atom dari jaringan yang
terpapar. Jumlah radikal bebas yang terbentuk akan merusak jaringan. Radikal
bebas merupakan struktur atom yang tidak stabil karena mengalami kerusakan
elektron pada kulit luarnya. Kerusakan atau hilangnya elektron menyebabkan
atom menjadi tidak stabil dan sangat reaktif dalam reaksi kimia berupa oksidasi.
Radikal bebas merusak tubuh dengan mengambil elektron dari atom lain yang
berakibat pada terjadinya kerusakan sel, protein, dan struktur DNA.
Kerusakan sel epitel vili yang teramati dapat memperbesar peluang
kematian sel. Kematian sel epitel vili dapat menyebabkan deskuamasi epitel vili
(Cheville 1999). Selain itu ditemukan pula udema pada lamina propria pada
bagian mukosa vili. Menurut Shackelford dan Elwell (1999), pada inflamasi akut
di usus terjadi udema di lamina propria. Usus yang mengalami deskuamasi epitel
dan udema lamina propria akan menjadi rapuh. Apabila telah terjadi deskuamasi
epitel maka usus akan mudah terinfeksi mikroorganisme dari lumen usus.
Tingginya jumlah sel radang dan sel goblet pada mukosa maupun
submukosa usus halus pada kelompok (P) diduga karena inisiasi radiasi. Menurut
Weill et al. (2011), efek radiasi ionisasi dapat menyebabkan peradangan pada
jaringan, oksidasi pada lemak dan protein, kerusakan DNA, dan penekanan fungsi
imunitas. Secara keseluruhan maka lesio yang teramati pada kelompok (P) berupa
58
deskuamasi epitel, udema lamina propria, dan infiltrasi sel radang pada duodenum
mencit akan menyebabkan gangguan absorbsi nutrisi di usus sehingga mencit
mengalami malnutrisi.
Sedangkan pada kelompok (RP) memiliki persentase kerusakan yang lebih
rendah serta tinggi vili yang lebih baik dari kelompok (P). Hal ini diduga karena
adanya kandungan vitamin C yang tinggi pada tanaman rosela. Menurut Jagetia
CG (2004), vitamin C memiliki kemampuan menghambat tingginya peroksidasi
lipid dan kadar enzim antioksidan yang diinduksi oleh radiasi.
Jumlah kripta, sel goblet, dan sel radang yang teramati tidak jauh berbeda
dari kelompok (K). Hal ini diduga karena pemberian rosela yang berpotensi
radioprotektif sebab adanya kandungan antioksidan falvonoid. Menurut Rice-
Evans et al. (1995), antioksidan golongan senyawa fenol atau flavonoid
berpotensi sebagai antioksidan yang dapat menetralkan radikal bebas secara
langsung. Antioksidan melindungi perubahan onkogenik akibat induksi radiasi
(Borek 2004). Menurut Hari-Kumar et al.(2004), kehadiaran antioksidan mampu
memutuskan rantai efek radiasi (Gambar 28).
Gambar 28 Mekanisme pemutusan efek radiasi ionisasi oleh antioksidan (Hari-Kumar et al. 2004).
Menurut Mulyani et al. (2011), rosela memiliki aktivitas antioksidan
(IC50) yang tinggi. Media ekstraksi yang bebeda terhadap rosela menunjukkan
aktivitas antioksidan yang berbeda pula. Aktifitas antioksidan rosela pada media
ekstraksi yang berbeda disajikan pada Tabel 10.
59
Tabel 10 Aktifitas antioksidant rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap kerusakan
sel akibat radiasi dengan media ekstraksi berbeda
No Sampel Konsentrasi
(µg/mL)
% penghambatan
kerusakan sel
IC50 (µg/mL)
1 Vitamin C 40
30
20 10
96.209
96.156
96.103 74.406
2.061
2 Ekstrak dalam air panas 200
100
50
10
89.921
87.976
82.392
26.351
21.2
3 Ektrak methanol 200
100
50
10
87.310
20.012
5.760
4.250
121.03
4 Ekstrak etanol 200
100
50
10
60.777
37.401
17.122
1.682
144.03
5 Ekstrak butanol 200
100 50
10
63.267
36.794 21.130
0.508
137.14
6 Ekstrak air 200
100
50
10
15.961
11.906
1.457
1.275
9675.09
Sumber: Mulyani et al. (2011)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa ekstrak kelopak rosela yang
menggunakan media etanol memiliki aktivitas antioksidan 144.03 µg/mL serta
persentase penghambatan kerusakan sel pada dosis 50 µg/mL sebesar 17.122 %.
Hal diatas menunjukkan ekstrak kelopak rosela dapat berpotensi sebagai
radioprotektor terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh radiasi terhadap
duodenum mencit.