4 hasil dan pembahasan - perpustakaan digital itb ...pada pemanasan, bpo diaktifkan melalui...
TRANSCRIPT
21
4 Hasil dan Pembahasan
4.1 Sintesis Kopolimer Akrilonitril-Glisidil metakrilat (PAN-GMA)
Pembuatan kopolimer PAN-GMA oleh peneliti sebelumnya (Godjevargova, 1999) telah
dilakukan melalui polimerisasi radikal bebas dengan menggunakan inisiator AIBN. Pada
penelitian ini, sintesis kopolimer PAN-GMA dibuat dengan cara yang sedikit berbeda yaitu
dilakukan melalui polimerisasi radikal bebas dengan benzoil peroksida sebagai inisiator
disertai dengan adanya aliran gas N2. Polimerisasi teknik massa dipilih berdasarkan pada
kelebihannya sebagai teknik síntesis yang paling sederhana, polimer yang dihasilkannya
memiliki kemurnian yang tinggi, rendemen tinggi, dan tidak memerlukan proses pemisahan
(Radiman, 2004).
Pada umumnya, polimerisasi radikal yang melibatkan inisiator, melewati beberapa tahap
reaksi yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Tahap inisiasi merupakan tahap dimana pusat
aktif mulai terbentuk. Pada tahap propagasi, pusat aktif akan bereaksi dengan monomer
secara adisi kontinu. Tahap terminasi merupakan tahap dimana pusat aktif akan dinon-
aktifkan.
Inisiator adalah senyawa yang tidak stabil terhadap panas dan akan terurai menjadi suatu
radikal pada suhu tertentu serta lajunya bergantung pada strukturnya. Pada penelitian ini,
digunakan benzoil peroksida (BPO) sebagai inisiator. Pada pemanasan, BPO diaktifkan
melalui homolisis termal membentuk radikal-radikal benziloksi (Gambar 4.1). Radikal
benzoil kemudian akan mengadisi monomer dengan membuka ikatan rangkap (vinil)
monomer. Polimerisasi ini disebut juga polimerisasi vinil.
C
O
O O C
O
2 C
O
O
Gambar 4.1. Homolisis termal BPO
Reaksi samping dari inisiasi BPO mungkin saja terjadi. Reaksi samping yang diperkirakan
dapat terjadi adalah: reaksi kombinasi (kebalikan) dari reaksi homolisisnya sehingga menjadi
senyawa benzoil peroksida kembali, reaksi dekomposisi radikal benziloksi menjadi radikal
fenil dan karbon dioksida, reaksi kombinasi radikal dan reaksi dekomposisi imbas.
22
Pengaruh suhu polimerisasi terhadap massa kopolimer yang diperoleh ditunjukkan pada
Gambar 4.2. Rentang suhu yang digunakan adalah 60-80 0C. Rentang ini didasarkan pada
penelitian sebelumnya oleh Godjevargova. Dari hasil penelitian terlihat adanya hubungan
yang linier antara suhu polimerisasi dengan massa kopolimer yang diperoleh. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai R2 = 0,9946. Semakin tinggi suhu yang digunakan, semakin besar
massa kopolimer yang diperoleh. Ini tentu saja berhubungan dengan laju reaksi
polimeriasinya.
y = 0,1271x - 7,2409R2 = 0,9946
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
50 60 70 80 90
Suhu (0C)
Mas
sa P
olim
er (g
)
Gambar 4.2. Kurva pengaruh suhu terhadap hasil reaksi
Polimerisasi massa dari AN menunjukkan adanya kelakuan autokatalitik meskipun pada
konversi yang rendah. Akibatnya, kontrol temperatur sulit dikarenakan meningkatnya
viskositas. Dengan begitu, peningkatan suhu tidak dapat mempengaruhi laju inisiasi karena
tidak ada (sedikit) inisiator yang hilang. Untuk penggunaan laboratorium, metode untuk
menghasilkan bagian transparan dari polimer ini dapat dilakukan dengan menggunakan
inisiator seperti asam p-toluen sulfonat, AIBN, benzoil peroksida, dan campurannya.
Salah satu kekurangan dari polimerisasi massa adalah terjadinya efek gel. Efek gel
disebabkan karena molekul polimer berdifusi melalui medium viskos sehingga memperkecil
kemampuan dua rantai panjang radikal untuk bergabung dan mengalami tahap terminasi.
Pada saat konversi, kecepatan polimerisasi menjadi sangat kecil karena sistem menjadi
seperti gelas, sehingga monomernya sudah tidak ada pada saat ujung pertumbuhan rantai.
Secara fisik, koplimer AN-GMA yang diperoleh pada penelitian ini berupa serbuk putih dan
rapuh dengan rendemen 30% dan derajat polimerisasi, DPn 335. Kebanyakan dari polimer,
begitu juga kopolimer, bersifat non polar. Pemurnian PAN-GMA dilakukan menggunakan
non pelarut metanol. Kopolimerisasi dengan radikal bebas utamanya menghasilkan
23
kopolimer acak dan amorf. Ini disebabkan karena BPO menginisiasi rantai vinil dari setiap
monomer secara tidak selektif sehingga susunan rantai tidak teratur (ataktik). Mekanisme
pembentukan rantai pada polimerisasi radikal dapat berlangsung melalui reaksi adisi kepala-
ekor, kepala-kepala, atau ekor-ekor. Pembentukan rantai polimer melalui ikatan kepala-ekor
memberikan polimer yang lebih stabil daripada rantai yang terbentuk melalui ikatan kepala-
kepala atau ekor-ekor. Hal itu disebabkan semata-mata karena peran resonansi elektron.
Adanya ikatan kepala-kepala atau ekor-ekor dalam rantai polimer menyebabkan
ketidakmurnian pada produk polimer. Ketidakmurnian dari polimer ini pada dasarnya dapat
ditentukan dengan melakukan degradasi polimer pada ikatan tersebut (Malcolm, 2001).
4.2 Karakterisasi PAN-GMA
4.2.1 Analisis gugus fungsi
Gugus fungsi yang terdapat pada kopolimer dapat ditunjukkan dengan menggunakan
spektroskopi infra merah. Analisis gugus fungsi PAN-GMA yang terbentuk dilakukan
melalui FTIR-ATR. Spektrum PAN-GMA dibandingkan dengan spektrum dari masing-
masing monomer AN dan GMA. Spektrum PAN-GMA yang diperoleh menyakinkan telah
terjadinya penggabungan dua macam monomer yang berbeda dalam suatu rantai panjang
polimer yang baru. Spektrum FTIR PAN-GMA ditunjukkan pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3. Spektrum FTIR kopolimer PAN-GMA
500100015002000300040001/cm
25
50
75
100
%T
3527
.80
3431
.36
3061
.03
2999
.31
2935
.66
2376
.30
2277
.93
2044
.54
1726
.29 16
68.4
3
1481
.33
1448
.54
1388
.75
1342
.46
1271
.09
1257
.59
1170
.79
1149
.57
993.
3496
6.34
906.
54 846.
75
758.
02
659.
66
596.
00
540.
07
451.
34
PAN-GMA 80
2277,93 cm-1
904,54 cm-1
24
Dari spektrum FTIR untuk kopolimer PAN-GMA terlihat adanya puncak dengan intensitas
yang kecil pada bilangan gelombang 2277,93 cm-1 dimana puncak ini merupakan puncak
yang berhubungan dengan vibrasi nitril. Dari spektrum overlay antara PAN-GMA dengan
monomer akrilonitril (Gambar A.4) terlihat bahwa puncak nitril mengalami pergeseran
dibandingkan terhadap puncak monomer awalnya. Pergeseran puncak ini disebabkan oleh
terbentuknya ikatan baru yang sifatnya lebih kuat dari ikatan semula (Silverstein, 1991).
Spektra ini menunjukkan bahwa akrilonitril telah berhasil dikopolimerisasi meskipun dengan
konsentrasi yang rendah.
Pada spektrum kopolimer PAN-GMA terlihat banyak sekali puncak yang karakteristik
dengan vibrasi ikatan GMA. Hal ini dibuktikan melalui overlay spektra PAN-GMA dengan
monomer GMA (Gambar A.5). Pada spektra PAN-GMA terlihat adanya puncak di 906,54
cm-1 sampai 993,34 cm-1. Puncak ini merupakan puncak yang khas untuk gugus epoksida. Ini
mengindikasikan bahwa pada penelitian ini GMA juga telah terkopolimerisasi dengan baik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kopolimer PAN-GMA telah dapat disintesis
pada kondisi pengukuran yang telah diusulkan pada metodologi penelitian.
4.3 Sintesis Membran PAN-GMA
Membran PAN-GMA disintesis melalui teknik inversi fasa-pengendapan dengan pencelupan
(immersion precipitation). Pada penelitian ini, pembuatan membran dilakukan dengan
menvariasikan konsentrasi larutan cetak membran 10% (b/b) dan 15% (b/b), serta waktu
evaporasi membran (10 menit dan 25 menit). Pembuatan larutan cetak dilakukan dengan
melarutkan PAN-GMA dalam DMF. Secara termodinamika, suatu polimer akan larut dengan
baik apabila memenuhi dua parameter, yaitu: parameter kelarutan (δ) dan parameter
antaraksi pasangan polimer-pelarut (g12). Pemilihan pelarut merupakan faktor penting dalam
pembuatan membran karena akan mempengaruhi struktur dan bentuk membran yang
diperoleh. Untuk mendapatkan larutan cetak yang homogen, polimer dan pelarut harus
memiliki parameter kelarutan (δ) yang berdekatan.
Parameter kelarutan (δ) merupakan salah satu parameter yang berperan dalam proses
koagulasi secara pencelupan. Parameter ini diperlukan karena pada metode inversi fasa,
penyiapan membran dilakukan dengan polimer yang terlarut. Berdasarkan literatur nilai δ
untuk DMF adalah sebesar 9,4 sedangkan PAN sebesar 15,4 (Mark, 1999). Nilai δ PGMA
belum diketahui dari literatur karena termasuk polimer baru. Meskipun nilai δ DMF dengan
PAN tidak terlalu dekat tetapi berdasarkan penelitian sebelumnya, (Godjevargova et al,
1999) dan (Hans et al, 2002), PAN-GMA dapat larut dengan baik dalam DMF.
25
Pelarutan PAN-GMA oleh DMF terjadi melalui dua proses yaitu, penggembungan (swelling)
yang lambat dan dispersi. Pada saat swelling, molekul pelarut teradsorpsi pada permukaan
molekul polimer sehingga terjadi perubahan dimensi rata-rata. Molekul polimer
menggembung dengan faktor δ yang berhubungan dengan antaraksi intramolekul antara
segmen suatu rantai. Pada proses dispersi, polimer akan terdispersi membentuk larutan
polimer dan tidak ada ikatan kimia yang putus. Polimer yang berikatan silang dapat
menggembung dalam pelarut yang baik tetapi tidak dapat larut pada tahap ini.
Parameter antaraksi (g12) merupakan suatu koefisien tanpa dimensi yang karakteristik dari
sifat polimer di dalam suatu pelarut. DMF merupakan pelarut bersifat dipolar aprotik.
Berdasarkan Gambar 4.4 nilai g12 air-DMF > air-asam asetat > air-dioksan > air-aseton > air-
THF. Pencelupan larutan cetak PAN-GMA ini dalam air menyebabkan difusi pelarut DMF
ke dalam air berlangsung cepat. Ini akan menghasilkan pori-pori membran dengan ukuran
yang cukup besar dibanding jika menggunakan pelarut lain dengan sifat yang non polar.
a : THFb : Asetonc : Dioksand : Asam asetate : DMF
(air)
Gambar 4.4. Kurva pelarut dan nonpelarut berdasarkan nilai g12 nya (Mulder, 1996)
Tahapan pembuatan membran PAN-GMA dengan teknik inversi fasa melewati beberapa
tahap, diantaranya: pembuatan larutan cetak yang homogen, pencetakan larutan cetak,
penguapan sebagian pelarut, pencelupan kedalam bak koagulasi, dan difusi pelarut dengan
non pelarut. Penguapan sebagian pelarut diatas pelat kaca menyebabkan pelarut DMF pada
lapisan atas akan mengalami difusi ke atmosfer. Ini menyebabkan lapisan atas akan
kekurangan pelarut sedangkan lapisan bawahnya kaya pelarut. Faktor penguapan ini dapat
dipengaruhi oleh suhu ruang dan kelembaban udara pada saat pencetakan. Pada saat
pencelupan kedalam non pelarut, DMF akan mengalami difusi ke air dan meninggalkan
ruang-ruang yang akan membentuk pori membran. Pada proses ini akan terjadi pemisahan
fasa.
Selama pemisahan fasa berlangsung, fasa yang kaya polimer akan membentuk matriks
membran, sedangkan fasa yang mengandung polimer terlarut (miskin polimer) akan
membentuk pori. Karena lapisan atas film memiliki sedikit pelarut daripada lapisan
26
bawahnya, maka lapisan atas akan mempunyai pori dengan ukuran yang lebih kecil dari
lapisan bawahnya. Ukuran pori yang berbeda antara lapisan atas dan bawah membran
menyebabkan membran berbentuk asimetrik. Selektifitas membran asimetrik ditentukan oleh
lapisan atas (lapisan aktif) membran.
Proses difusi antara pelarut dan non pelarut dapat terjadi melalui dua cara yaitu, pemisahan
spontan cair-cair (instantaneous liquid-liquid demixing) dan pemisahan tertunda cair-cair
(delayed onset of liquid-liquid demixing). Pada pemisahan spontan cair-cair, pemisahan
terjadi secara langsung antara pelarut dan non pelarut. Porositas membran yang dihasilkan
besar karena penghilangan pelarut terjadi secara cepat. Membran yang diperoleh akan
memiliki lapisan atas yang berpori. Pada pemisahan tertunda cair-cair, pelarut dan non
pelarut tidak langsung terpisah. Membran yang dihasilkan memiliki pori yang kecil karena
penghilangan pelarut terjadi secara lambat. Pencampuran ini akan menghasilkan jenis
membran dengan lapisan atas padat atau tidak berpori.
Mekanisme penting dalam pencampuran cair-cair (liquid-liquid demixing) dari larutan
polimer adalah pembentukan inti dan pertumbuhannya. Pembentukan inti akan stabil jika
energi aktifasi untuk pembentukan inti lebih tinggi dari energi bebas permukaannya. Proses
ini berlangsung secara lambat (Mulder, 1996).
4.4 Karakterisasi Membran PAN-GMA
4.4.1 Ketahanan pelarut dan swelling membran
Untuk memperoleh aplikasi recovery, membran PAN-GMA harus memiliki karakteristik
sebagai membran yang tahan terhadap pelarut. Pengujian terhadap ketahanan pelarut
dilakukan menggunakan pelarut metanol, benzen, dan toluen. Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh bahwa membran memiliki ketahanan yang baik terhadap metanol untuk setiap
variasi komposisi dan waktu evaporasi membran. Ini ditunjukkan dengan tidak terjadinya
penambahan massa dan dimensi membran (swelling). Sedangkan dalan pelarut toluen dan
benzen, membran mengalami perubahan massa dan juga dimensi. Hal tersebut menunjukkan
bahwa membran mengalami swelling dalam pelarut toluen dan benzen. Hasil tersebut dapat
dilihat pada Gambar 4.5, Gambar 4.6, Gambar 4.7, dan Gambar 4.8. Pengujian ketahanan
pelarut pada membran perlu dilakukan lebih lanjut dan dicoba pada jenis pelarut yang lain.
27
00.0010.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.0090.01
Metanol Toluen Benzen
Pelarut
Mas
sa m
embr
an (g
r)
Massa AwalMassa Akhir
Gambar 4.5. Ketahanan pelarut untuk membran M1
0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
Metanol Toluen Benzen
Pelarut
Mas
sa m
embr
an (g
r) Massa AwalMassa Akhir
Gambar 4.6. Ketahanan pelarut untuk membran M2
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0.03
0.035
0.04
Metanol Toluen Benzen
Pelarut
Mas
sa m
embr
an (g
r) Massa AwalMassa Akhir
Gambar 4.7. Ketahanan pelarut untuk membran M3
28
00.0050.01
0.0150.02
0.0250.03
0.0350.04
0.0450.05
Metanol Toluen Benzen
Pelarut
Mas
sa m
embr
an (g
r)
Massa AwalMassa Akhir
Gambar 4.8. Ketahanan pelarut untuk membran M4
Modifikasi terhadap kopolimer dengan cara menambahkan agen ikatan silang untuk
memperoleh sifat ketahanan pelarut yang lebih baik dapat dilakukan. Beberapa polimer yang
dapat digunakan sebagai agen ikatan silang, diantaranya: karet silikon termodifikasi,
kopolimer poliester, polimer blok atau cangkok dan lain sebagainya (Razdan et.al, 2003).
4.4.2 Pengaruh variasi komposisi membran terhadap permeabilitas ion H+
Interaksi molekular yang mengatur perpindahan (transpor) melalui membran dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni polimer-polimer, polimer-air, dan air-air.
Interaksi antara polimer-polimer dapat menghasilkan ruang kosong (pori) yang mengandung
molekul air. Ukuran pori akan mempengaruhi interaksi antara polimer-air dan air-air.
Semakin hidrofil polimer yang digunakan, maka interaksi antara polimer-air akan lebih
banyak terjadi daripada interaksi air-air. Selain itu, ukuran pori pada lapisan aktif membran
akan mempengaruhi proses pemisahan dari membran asimetrik.
Penelitian ini merupakan studi awal terhadap membran PAN-GMA sebagai membran
ultrafiltrasi untuk keperluan recovery pelarut. Sebagaimana kinerja membran yang
ditentukan melalui fluks dan rejeksi pada umumnya, kinerja dari membran PAN-GMA ini
belum dapat dilakukan. Hal ini disebabkan karena membran PAN-GMA yang disintesis
bersifat rapuh sehingga tidak tahan terhadap kompaksi. Oleh karena itu, kinerja membran
PAN-GMA ini dilakukan melalui pengukuran permeabilitas ion H+ (sebagai pengganti fluks
membran) dengan gradien konsentrasi sebagai gaya dorong. Laju transpor pada membran
sangat dipengaruhi oleh sifat membran dan ukuran pori. Variasi komposisi membran akan
mempengaruhi distribusi pori atau porositas membran. Sedangkan variasi waktu evaporasi
akan mempengaruhi ukuran pori.
29
Terjadinya transpor ion hidrogen pada penelitian ini dilakukan dengan mengamati/mengukur
perubahan pH pada larutan umpan dan permeat. Pada kompartemen umpan dari sel difusi
digunakan larutan pH 2. Ini digunakan didasarkan kepada stabilitas membran PAN-GMA
(stabil pada pH 2-11) sehingga penggunaan pH yang ekstrim tidak akan merusak membran.
Mekanisme transpor pada membran dapat terjadi berdasarkan pada sifat fisik dan kimia
membran. Berdasarkan penelitian ini, konsentrasi ion hidrogen pada kompartemen umpan
semakin lama semakin menurun untuk komposisi membran yang sama. Sebaliknya,
konsentrasi ion hidrogen pada kompartemen permeat semakin lama semakin meningkat. Ini
mengindikasikan bahwa telah terjadi transpor ion hidrogen melalui membran, seperti yang
ditunjukkan oleh Gambar C.1- C.4.
Kemiringan kurva dari aluran jumlah ion H+ terhadap waktu menyatakan nilai permeabilitas
ion H+ yang dinyatakan dalam mmol/jam. Aluran kurva permeabilitas ion H+ untuk membran
M1, M2, M3, dan M4 ditunjukkan pada Gambar 4.9 dan Gambar 4.10. Pada kedua kurva
terlihat bahwa semakin lama waktu operasi maka semakin banyak ion H+ yang berpermeasi
melalui membran.
y = 13.03x - 4.6457R2 = 0.9772
y = 9.7884x - 5.701R2 = 0.9551
-15
-5
5
15
25
35
45
55
65
75
85
0 2 4 6
Waktu (Jam)
Jum
lah
H+
(x10
-3 m
mol
)
Membran M2
Membran M1
i
Gambar 4.9. Kurva permeabilitas ion H+ untuk membran M1 dan M2
30
y = 23.345x + 0.7466R2 = 0.9933
y = 4.8598x + 2.0287R2 = 0.9463
-5
15
35
55
75
95
115
135
0 1 2 3 4 5
Waktu (Jam)
Jum
lah
H+
(x10
-3 m
mol
)
Membran M3
Membran M4
Gambar 4.10. Kurva permeabilitas ion H+ untuk membran M3 dan M4
Nilai permeabilitas ion H+ untuk masing-masing komposisi membran dirangkum dalam
Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa untuk konsentrasi membran yang sama tetapi dengan
waktu evaporasi membran yang berbeda telah memberikan nilai permeabilitas ion H+ yang
berbeda pula.
Tabel 3. Nilai permeabilitas ion H+ pada membran PAN-GMA
Permeabilitas ion H+ No Kode Membran PH+ .10-3 (mmol/jam)
1 M1 13,03
2 M2 9,70
3 M3 23,35
4 M4 4,86
Secara umum, membran yang dievaporasi dengan waktu yang lebih lama memberikan nilai
permeabilitas ion H+ yang lebih kecil. Hal ini disebabkan karena semakin lama membran
dievaporasi maka pelarut DMF yang teruapkan (berdifusi ke atmosfer) semakin banyak,
akibatnya bagian atas membran menjadi lebih kaya polimer dan miskin pelarut sehingga pori
yang terbentuk akan semakin kecil. Semakin kecilnya pori membran akan meningkatkan
selektifitas membran terhadap permeasi ion H+. Hal ini terbukti dari nilai permeabilitas ion
H+ yang terlihat pada Tabel 3.
Adapun untuk membran dengan waktu evaporasi membran yang sama tetapi berbeda
konsentrasi juga telah memberikan nilai permeabilitas ion H+ yang berbeda. Seperti yang
terlihat pada Tabel 3 bahwa semakin besar konsentrasi membran, nilai permeabilitas ion H+
yang dihasilkan semakin kecil. Hal ini disebabkan karena makin besar konsentrasi membran
31
mengakibatkan porositas membran berkurang sehingga hanya sedikit ion H+ yang dapat
melewati membran.
Kurva aluran konsentrasi ion H+ terhadap waktu untuk larutan umpan dan permeat (Gambar
C.1- C.4), menunjukkan bahwa berkurangnya konsentrasi ion hidrogen pada umpan tidak
sebanding dengan bertambahnya konsentrasi ion hidrogen pada permeat (terlihat dari
kemiringan kurva yang tidak sama). Ini disebabkan karena ada sebagian ion H+ yang
tertahan pada permukaan membran atau terjebak didalam membran. Dengan kata lain,
membran mengalami fouling. Pengadukan pada saat transpor di masing-masing
kompartemen dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya fouling pada permukaan membran.
4.4.3 Pengaruh variasi komposisi membran terhadap transpor ion OH-
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa mekanisme transpor pada membran juga
dapat dipengaruhi oleh sifat kimia membran seperti kepolaran, dan sebagainya. Pengujian
membran terhadap transpor ion hidroksida ini dilakukan untuk menyakinkan/memperkuat
hasil transpor ion hidrogen sebelumnya, bahwa transpor yang diamati melalui pengukuran
pH benar-benar disebabkan oleh berdifusinya ion hidrogen bukan oleh ion hidroksidanya.
Pengujian terhadap transpor ion OH- ini dilakukan dengan menempatkan larutan pH 10 pada
kompartemen umpan dan pH netral pada kompartemen permeat. Dalam selang waktu yang
diamati (Gambar 4.11, Gambar 4.12, Gambar 4.13, Gambar 4.14), diperoleh kurva aluran
konsentrasi ion OH- terhadap waktu relatif tidak mengalami perubahan. Ini disebabkan
karena adanya barier muatan pada membran PAN-GMA. Membran PAN-GMA
mengandung gugus-gugus fungsi seperti nitril, karbonil, dan epoksida yang bersifat sebagai
akseptor proton. Dengan demikian, molekul-molekul yang cenderung bermuatan negatif
tidak dapat berdifusi melalui membran karena adanya halangan muatan pada membran.
05
101520253035404550
0 1 2 3 4 5
Waktu (Jam)
Kons
entra
si O
H- (x10
-6 M
) Umpan
Permeat
Gambar 4.11. Transpor OH- untuk membran M1
32
-1
1
3
5
7
9
11
13
15
17
0 1 2 3 4 5
Waktu (Jam)
Kons
entra
si O
H- (x
10-7
M) Umpan
Permeat
Gambar 4.12. Transpor OH- untuk membran M2
0
5
10
15
20
25
30
35
0 1 2 3 4 5
Waktu (Jam)
Kons
entra
si O
H-
(x10
-6 M
)
Umpan
Permeat
Gambar 4.13. Transpor OH- untuk membran M3
-30
20
70
120
170
220
270
320
370
420
0 1 2 3 4 5
Waktu (Jam)
Kon
sent
rasi
OH
- (x10
-7 M
) UmpanPermeat
Gambar 4.14. Transpor OH- untuk membran M4
33
4.4.4 Pengukuran permeabilitas metanol
Penelitian sebelumnya mengenai membran PAN-GMA oleh Godjevargova dan Hans-George,
memberikan hasil bahwa membran yang berbahan dasar PAN-GMA memiliki sifat-sifat
yang baik dan tahan terhadap pelarut. Membran yang memiliki ketahanan terhadap pelarut
memberikan aplikasi yang luas untuk proses pemisahan. Salah satu yang ingin dicoba adalah
menguji membran PAN-GMA ini untuk recovery pelarut metanol pada biodesel. Pengujian
membran PAN-GMA terhadap kemampuannya untuk mentransporkan metanol, pada
penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran awal mengenai dapat tidaknya
membran ini melewatkan metanol. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan menguji
membran menggunakan campuran umpan yang sebenarnya.
Berdasarkan hasil analisis GC, diperoleh aluran kurva konsentrasi metanol pada
kompartemen permeat terhadap waktu, seperti pada Gambar 4.15 dan Gambar 4.16 untuk
masing-masing variasi komposisi dan waktu evaporasi. Pada kedua kurva terlihat bahwa
semakin lama waktu operasi maka semakin banyak metanol yang berpermeasi melalui
membran.
y = 3,69x + 6,4R2 = 0,547
y = 2,0723x + 0,1643R2 = 0,9612
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 1 2 3 4 5 6Waktu (Jam)
[Met
anol
].10-4
(M)
Membran M2Membran M1
Gambar 4.15. Permeabilitas metanol untuk membran M1 dan M2
34
y = 1.928x + 0.303R2 = 0.9834
y = 1.912x - 0.27R2 = 0.9378
0
2
4
6
8
10
12
14
0 1 2 3 4 5 6Waktu (Jam)
[Met
anol
].10-4
(M)
Membran M3
Membran M4
Gambar 4.16. Permeabilitas metanol untuk membran M3 dan M4
Permeabilitas metanol ditentukan dari kemiringan masing-masing kurva yang dinyatakan
dalam M/jam. Nilai permeabilitas metanol untuk masing-masing komposisi membran
dirangkum dalam Tabel 4. Fenomena yang sama seperti pada penentuan permeabilitas ion H+
juga ditemukan pada permeabilitas metanol. Nilai permeabilitas sangat ditentukan oleh
morfologi membran. Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa membran M1 memberikan nilai
permeabilitas yang paling besar. Hal ini disebabkan karena membran M1 memiliki ukuran
pori dan distribusi pori yang besar dibandingkan membran yang lainnya. Hal ini telah
dibuktikan dari hasil analisis SEM.
Tabel 4. Nilai permeabilitas metanol pada membrane PAN-GMA
No Kode Membran
Permeabilitas metanol, Pm (x 10-4 M/jam)
1 M1 3,69
2 M2 2,07
3 M3 1,93
4 M4 1,91
4.4.5 Pengaruh variasi komposisi terhadap morfologi membran
Teknik analisis yang dapat memberikan gambaran jelas mengenai struktur pori membran
adalah Scanning Electron Microscopy (SEM) ), namun resolusinya terbatas sekitar 50 nm.
35
Resolusi yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan Transmission Electron Microscopy
(TEM), tapi teknik ini tidak dapat digunakan untuk analisa membran yang basah. Gambar
4.17, Gambar 4.18, dan Gambar 4.19 menunjukkan morfologi membran PAN-GMA dengan
SEM untuk setiap komposisi membran.
Permukaan (perbesaran 2500x) Penampang Lintang (perbesaran 1500x)
Gambar 4.17. SEM untuk membran M1
Permukaan (perbesaran 5000x) Penampang Lintang (perbesaran 1000x)
Gambar 4.18. SEM untuk membran M2
36
Permukaan (perbesaran 1000x) Penampang Lintang (perbesaran 500x)
Gambar 4.19. SEM untuk membran M3
Berdasarkan, Gambar 4.17, Gambar 4.18, dan Gambar 4.19 terlihat bahwa semakin besar
konsentrasi membran, permukaan dan penampang polimer akan semakin kompak dan rapat.
Porositas permukaan membran pun menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi
polimer. Peningkatan konsentrasi polimer akan mengurangi konsentrasi pelarut yang
digunakan, sehingga pada saat koagulasi parsial pelarut, membran dengan konsentrasi
polimer yang besar akan memiliki lapisan atas yang lebih kaya polimer, dan menghasilkan
membran dengan lapisan aktif yang lebih rapat (dense).
Hasil SEM untuk membran M1 dan M2 terlihat bahwa semakin lama membran dievaporasi
maka permukaan membran semakin rapat dengan porositas membran yang juga semakin
berkurang. Variasi konsentrasi membran ternyata juga memberikan morfologi membran
yang berbeda. Hal ini terlihat untuk hasil SEM membran M1 dan M3. Dengan semakin
besarnya konsentrasi menyebabkan porositas pada permukaan membran berkurang. Namun,
secara kualitatif diameter pori M3 lebih besar daripada M1. Hal tersebut dapat dilihat pada
Gambar 4.17 dan Gambar 4.19 bahwa untuk M3 dengan perbesaran 1000x (untuk
permukaan) dan 500x (untuk penampang) sudah memperlihatkan ukuran pori yang jelas.
Sedangkan untuk M1, memerlukan perbesaran hingga 2500x (untuk permukaan) dan 1500x
(untuk penampang) untuk dapat memperlihatkan pori dengan jelas.