40227855 makalah masalah kemiskinan di indonesia
TRANSCRIPT
A. Kondisi Kemiskinan di Indonesia
PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010
Secara harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang
artinya tidak berharta-benda (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian
yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi
ketidakmampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok
sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang
lain.
Kemiskinan dipandang sebagai kondisi seseorang atau sekelompok
orang, laki-laki dan perempuan yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya
secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Dengan demikian, kemiskinan tidak lagi dipahami hanya
sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan
hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok
orang, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan
sandang, pangan, dan papan. Akan tetapi, kemiskinan juga berarti akses
yang rendah dalam sumber daya dan aset produktif untuk memperoleh
kebutuhan-kebutuhan hidup, antara lain: ilmu pengetahuan, informasi,
teknologi, dan modal.
Dari berbagai sudut pandang tentang pengertian kemiskinan, pada
dasarnya bentuk kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi tiga
pengertian, yaitu:
1. Kemiskinan Absolut. Seseorang dikategorikan termasuk ke dalam
golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di
bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup minimum, yaitu: pangan, sandang, kesehatan, papan, dan
pendidikan.
2. Kemiskinan Relatif. Seseorang yang tergolong miskin relatif
sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan tetapi masih berada
di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
3. Kemiskinan Kultural. Kemiskinan ini berkaitan erat dengan sikap
seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha
memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak
lain yang membantunya.
Kemiskinan merupakan masalah yang ditandai oleh berbagai hal
antara lain rendahnya kualitas hidup penduduk, terbatasnya kecukupan
dan mutu pangan, terbatasnya dan rendahnya mutu layanan kesehatan,
gizi anak, dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Selama ini berbagai
upaya telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan melalui penyediaan
kebutuhan pangan, layanan kesehatan dan pendidikan, perluasan
kesempatan kerja dan sebagainya.
Berbagai upaya tersebut telah berhasil menurunkan jumlah
penduduk miskin dari 54,2 juta (40.1%) pada tahun 1976 menjadi 22,5
juta (11.3%) pada tahun 1996. Namun, dengan terjadinya krisis ekonomi
sejak Juli 1997 dan berbagai bencana alam seperti gempa bumi dan
tsunami pada Desember 2004 membawa dampak negatif bagi kehidupan
masyarakat, yaitu melemahnya kegiatan ekonomi, memburuknya
pelayanan kesehatan dan pendidikan, memburuknya kondisi sarana
umum sehingga mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk miskin
menjadi 47,9 juta (23.4%) pada tahun 1999. Kemudian pada 5 tahun
terakhir terlihat penurunan tingkat kemiskinan secara terus menerus
dan perlahan-lahan sampai mencapai 36,1 juta (16.7%) di tahun 2004
seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini (catatan: terjadi revisi
metode di tahun 1996).
54.2
43.2
3530
27.2 25.922.5
34.5
47.9
38.4 37.4 36.1
0
10
20
30
40
50
60
1976
1980
1984
1987
1990
1993
1996
1996
1999
2002
2003
2004
Jumlah penduduk miskin (juta)
Menurut data Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS-RI)
per Maret 2010, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 31,02 juta.
Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita
per bulan di bawah GarisKemiskinan) di Indonesia pada Maret 2010
mencapai 31,02 juta (13,33 persen), turun 1,51 juta dibandingkan
dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta
(14,15 persen).
Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di daerah
perkotaan berkurang 0,81 juta (dari 11,91 juta pada Maret 2009
Revisi metode
menjadi 11,10 juta pada Maret 2010), sementara di daerah perdesaan
berkurang 0,69 juta orang (dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi
19,93 juta pada Maret 2010).
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan
tidak banyak berubah selama periode ini. Pada Maret 2009, 63,38
persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sedangkan
pada Maret 2010 sebesar 64,23 persen.
Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih
besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Maret 2010, sumbangan
Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 73,5
persen, sedangkan pada Maret 2009 sebesar 73,6 persen.
Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis
Kemiskinan adalah beras, rokok kretek filter, gula pasir, telur ayam
ras, mie instan, tempe, bawang merah, kopi, dan tahu. Untuk komoditi
bukan makanan adalah biaya perumahan, listrik, angkutan, dan
pendidikan.
Pada periode Maret 2009-Maret 2010, Indeks Kedalaman Kemiskinan
(P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan
kecenderungan menurun. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata
pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati Garis
Kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga
semakin menyempit.
Perkembangan Tingkat Kemiskinan Maret 2009-Maret 2010
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar
31,02 juta orang (13,33 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin
pada Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15 persen), berarti
jumlah penduduk miskin berkurang 1,51 juta jiwa.
Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun lebih besar
daripada daerah perdesaan. Selama periode Maret 2009-Maret 2010,
penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta orang,
sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang (Tabel 2).
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan
perdesaan tidak banyak berubah dari Maret 2009 ke Maret 2010. Pada
Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di
daerah perdesaan begitu juga pada Maret 2010, yaitu sebesar 64,23
persen.
Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama
periode Maret 2009-Maret 2010 nampaknya berkaitan dengan faktor-
faktor berikut:
a. Selama periode Maret 2009-Maret 2010 inflasi umum relatif rendah,
yaitu sebesar 3,43 persen. Menurut kelompok pengeluaran kenaikan
harga selama periode tersebut terjadi pada kelompok bahan makanan
sebesar 4,11 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan
tembakau sebesar 8,04 persen; kelompok pendidikan, rekreasi dan
olah raga sebesar 3,85 persen; kelompok kesehatan sebesar 3,18
persen; kelompok sandang sebesar 0,78 persen; kelompok
perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 2,08 persen,
serta kelompok transpor dan komunikasi dan jasa keuangan sebesar
1,38 persen.
b. Rata-rata upah harian buruh tani dan buruh bangunan masing-masing
naik sebesar 3,27 persen dan 3,86 persen selama periode Maret 2009-
Maret 2010.
c. Produksi padi tahun 2010 (hasil Angka Ramalan/ARAM II) mencapai
65,15 juta ton GKG, naik sekitar 1,17 persen dari produksi padi tahun
2009 yang sebesar 64,40 juta ton GKG.
d. Sebagian besar penduduk miskin (64,65 persen pada tahun 2009)
bekerja di Sektor Pertanian. NTP (Nilai Tukar Petani) naik 2,45
persen dari 98,78 pada Maret 2009 menjadi 101,20 pada Maret 2010.
e. Perekonomian Indonesia Triwulan I 2010 tumbuh sebesar 5,7 persen
terhadap Triwulan I 2009, sedangkan pengeluaran konsumsi rumah
tangga meningkat sebesar 3,9 persen pada periode yang sama.
Dilihat dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2010,
perkembangan tingkat kemiskinan ditunjukkan oleh tabel berikut:
Perubahan Garis Kemiskinan Maret 2009-Maret 2010
Garis Kemiskinan dipergunakan sebagai suatu batas untuk
menentukan miskin atau tidaknya seseorang. Penduduk miskin
adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita
per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Selama Maret 2009-Maret 2010, Garis Kemiskinan naik
sebesar 5,72 persen, yaitu dari Rp200.262,- per kapita per bulan
pada Maret 2009 menjadi Rp211.726,- per kapita per bulan pada
Maret 2010. Dengan memerhatikan komponen Garis Kemiskinan
(GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan
Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM), terlihat bahwa
peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan
peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang,
pendidikan, dan kesehatan). Pada Maret 2009 sumbangan GKM
terhadap GK sebesar 73,6 persen, dan sekitar 73,5 persen pada
Maret 2010. Pada Maret 2010, komoditi makanan yang memberi
sumbangan terbesar pada Garis Kemiskinan adalah beras yaitu
sebesar 25,20 persen di perkotaan dan 34,11 persen di perdesaan.
Rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar ke dua
kepada Garis Kemiskinan (7,93 persen di perkotaan dan 5,90
persen di perdesaan). Komoditi lainnya adalah gula pasir (3,36
persen di perkotaan dan 4,34 persen di perdesaan), telur ayam ras
(3,42 persen di perkotaan dan 2,61 di perdesaan), mie instan (2,97
persen di perkotaan dan 2,51 persen di perdesaan), tempe (2,24
persen di perkotaan dan 1,91 persen di perdesaan), bawang
merah (1,36 persen di perkotaan dan 1,66 persen di perdesaan),
kopi (1,23 persen di perkotaan dan 1,56 persen di perdesaan), dan
tahu (2,01 persen di perkotaan dan 1,55 persen di perdesaan).
Komoditi bukan makanan yang memberi sumbangan besar
untuk Garis Kemiskinan adalah biaya perumahan (8,43 persen di
perkotaan dan 6,11 persen di perdesaan), biaya listrik (3,30
persen di perkotaan dan 1,87 persen di perdesaan), dan angkutan
(2,48 persen di perkotaan dan 1,19 persen di perdesaan), dan
biaya pendidikan (2,40 persen di perkotaan dan 1,16 persen di
perdesaan).
B. Faktor Penyebab Kemiskinan
Pada kondisi tertentu, kemiskinan dapat disebabkan dari berbagai
segi, diantaranya :
Kemiskinan alamiah. Kemiskinan alamiah terjadi akibat sumber daya
alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah, dan bencana
alam.
Kemiskinan buatan. Kemiskinan ini terjadi karena lembaga-lembaga
yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak
mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang
tersedia hingga mereka tetap miskin.
Sulitnya pemenuhan hak-hak dasar kehidupan manusia antara lain
makanan, kesehatan, pendidikan, perumahan dan pendapatan
perkapita masyarakat.
Kesenjangan pembangunan antara kota-kota besar dipulau jawa dan
kota-kota didaerah diluar pulau jawa, dan juga antara kota dengan
pedesaan dan daerah terpencil lainnya yang tentunya belum terjamah
pembangunan, dan juga potensi sumber daya alam yang berbeda.
Guncangan perekonomian sebagai akibat dari lemahnya dasar
perekonomian Indonesia, yang mengakibatkan banyaknya
pengangguran.
Kemiskinan yang dialami oleh kaum perempuan, dimana kurangnya
perhatian pemerintah dalam mengikusertakan atau memberdayakan
perempuan dalam pembangunan
Kultur dan Budaya daerah yang turut mempengaruhi.
C. Penanggulangan Masalah Kemiskinan di Indonesia
Penanganan berbagai masalah di atas memerlukan strategi
penanggulangan kemiskinan yang jelas. Pemerintah Indonesia dan
berbagai pihak terkait lainnya patut mendapat acungan jempol atas
berbagai usaha yang telah dijalankan dalam membentuk strategi
penanggulangan kemiskinan. Hal pertama yang dapat dilakukan oleh
pemerintahan baru adalah menyelesaikan dan mengadaptasikan
rancangan strategi penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan.
Kemudian hal ini dapat dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan. Berikut
ini dijabarkan sepuluh langkah yang dapat diambil dalam
mengimplementasikan strategi pengentasan kemiskinan tersebut.
Peningkatan fasilitas jalan dan listrik di pedesaan.
Berbagai pengalaman di China, Vietnam dan juga di Indonesia
sendiri menunjukkan bahwa pembangunan jalan di area pedesaan
merupakan cara yang efektif dalam mengurangi kemiskinan. Jalan
nasional dan jalan provinsi di Indonesia relatif dalam keadaan yang
baik. Tetapi, setengah dari jalan kabupaten berada dalam kondisi
yang buruk. Sementara itu lima persen dari populasi, yang berarti
sekitar 11 juta orang, tidak mendapatkan akses jalan untuk setahun
penuh. Hal yang sama dapat terlihat pada penyediaan listrik. Saat ini
masih ada sekitar 6000 desa, dengan populasi sekitar 90 juta orang
belum menikmati tenaga listrik.
Walaupun berbagai masalah di atas terlihat rumit dalam
pelaksanaannya, solusinya dapat terlihat dengan jelas.
o Menjalankan program skala besar untuk membangun jalan
pedesaandan di tingkat kabupaten.
Program pembangunan jalan tersebut juga dapat meningkatkan
penghasilan bagi masyarakat miskin dan mengurangi pengeluaran
mereka, disamping memberikan stimulasi pertumbuhan pada
umumnya.
o Membiayai program di atas melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dana pembangunan harus ditargetkan pada daerah-daerah yang
mempunyai kondisi buruk, terutama dalam masalah kemiskinan.
Peta lokasi kemiskinan, bersama dengan peta kondisi jalan, dapat
digunakan untuk mengidentifikasi daerah-daerah tersebut.
Masyarakat miskin setempat juga harus dilibatkan agar hasilnya
dapat sesuai dengan kebutuhan mereka, serta menjamin
tersedianya pemeliharaan secara lebih baik.
o Menjalankan program pekerjaan umum yang bersifat padat karya.
Program seperti ini dapat menjadi cara yang efektif untuk
menyediakan fasilitas jalan di pedesaan disamping sebagai bentuk
perlindungan sosial. Untuk daerah yang terisolir, program ini
bahkan dapat mengurangi biaya pembangunan.
o Menjalankan strategi pembangunan fasilitas listrik pada desa-desa
yang belum menikmati tenaga listrik.
Kompetisi pada sektor kelistrikan harus ditingkatkan dengan
memperbolehkan perusahaan penyedia jasa kelistrikan untuk
menjual tenaga listrik yang mereka hasilkan kepada PLN. Akses
pada jaringan yang dimiliki PLN juga patut dibuka dalam rangka
meningkatkan kompetisi tersebut. Penyusunan rencana
pelaksanaan dengan lebih terinci atas dua skema subsidi yang ada
sangatlah diperlukan, untuk menjamin subsidi tersebut tidak
menghambat penyediaan listrik secara lebih luas.
Peningkatan tingkat kesehatan melalui fasilitas sanitasi yang lebih baik
Indonesia sedang mengalami krisis penyediaan fasilitas sanitasi.
Hanya kurang dari satu persen limbah rumah tangga di Indonesia
yang menjadi bagian dari sistem pembuangan. Penyediaan fasilitas
limbah lokal tidak dibarengi dengan penyediaan fasilitas
pengumpulan, pengolahan dan pembuangan akhir. Pada tahun 2002,
pemerintah hanya menyediakan anggaran untuk perbaikan sanitasi
sebesar 1/1000 dari anggaran yang disediakan untuk penyediaan air.
Akibatnya, penduduk miskin cenderung menggunakan air dari sungai
yang telah tercemar. Tempat tinggal mereka juga sering berada di
dekat tempat pembuangan limbah. Hal ini membuat penduduk miskin
cenderung menjadi lebih mudah sakit dan tidak produktif. Pada tahun
2001, kerugian ekonomi yang timbul akibat masalah sanitasi
diperkirakan mencapai Rp 100.000,- per rumah tangga setiap
bulannya. Untuk mengatasi hal tersebut ada dua hal yang dapat
dilakukan:
o Pada sisi permintaan, pemerintah dapat menjalankan kampanye
publik secara nasional untuk meningkatkan kesadaran dalam
penggunaan fasilitas sanitasi yang lebih baik. Biaya yang
diperlukan untuk kampanye tersebut tidaklah terlalu tinggi,
sementara menjanjikan hasil yang cukup baik.
o Pada sisi penawaran, tentu saja penyediaan sanitasi harus
diperbaiki. Aspek terpenting adalah membiayai investasi di bidang
sanitasi yang akan terus meningkat. Dua pilihan yang dapat
dilakukan adalah: (i) mengadakan kesepakatan nasional untuk
membahas masalah pembiayaan fasilitas sanitasi dan (ii)
mendorong pemerintah local untuk membangun fasilitas sanitasi
pada tingkat daerah dan kota; misalnya dengan menyediakan DAK
untuk pembiayaan sanitasi ataupun dengan menyusun standar
pelayanan minimum.
Penghapusan larangan impor beras
Larangan impor beras yang diterapkan bukanlah merupakan
kebijakan yang tepat dalam membantu petani, tetapi kebijakan yang
merugikan orang miskin. Studi yang baru saja dilakukan
menunjukkan bahwa lebih dari 1,5 juta orang masuk dalam kategori
miskin akibat dari kebijakan tersebut. Bahkan bantuan beras yang
berasal dari Program Pangan Dunia (World Food Program) tidak
diperbolehkan masuk ke Indonesia karena tidak memiliki izin impor.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan harga beras. Tetapi
ini hanya menguntungkan pihak yang memproduksi beras lebih dari
yang dikonsumsi, sementara 90 persen penduduk perkotaan dan 70
persen penduduk pedesaan mengkonsumsi lebih banyak beras dari
yang mereka produksi. Secara keseluruhan, 80 persen dari penduduk
Indonesia menderita akibat proteksi tersebut, sementara hanya 20
persen yang menikmati manfaatnya. Bahkan manfaat tersebut
tidaklah sedemikian jelas. Harga beras di tingkat petani tidak
mengalami kenaikan yang berarti sementara harga di tingkat
pengecer naik cukup tinggi. Dapat dikatakan bahwa hanya para
pedagang yang menikmati manfaat kenaikan harga tersebut.
Sementara itu, dukungan dan bantuan bagi petani dapat dilakukan
dengan berbagai cara lain, seperti penyediaan infrastruktur pertanian
dan pedesaan serta penyediaan riset dalam bidang pertanian.
Pengenaan bea masuk juga dapat menjadi altenatif yang lebih baik
daripada larangan impor.
Pembatasan pajak dan retribusi daerah yang merugikan usaha lokal
dan orang miskin
Salah satu sumber penghasilan terpenting bagi penduduk miskin di
daerah pedesaan adalah wiraswasta dan usaha pendukung pertanian.
Setengah dari penghasilan masyarakat petani miskin berasal dari
usaha pendukung pertanian. Untuk meningkatkan penghasilan
tersebut, terutama yang berasal dari usaha kecil dan menengah, perlu
dibangun iklim usaha yang lebih kondusif. Sayangnya, sejak proses
desentralisasi dijalankan, pemerintah daerah berlomba-lomba
meningkatkan pendapatan mereka dengan cara mengenakan pajak
dan pungutan daerah yang lebih tinggi. Usahawan pada saat ini harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mengurus berbagai izin
yang sebelumnya dapat mereka peroleh secara cuma-cuma. Belum
lagi beban dari berbagai pungutan liar yang harus dibayarkan untuk
menjamin pengangkutan barang berjalan secara lancar dan aman.
Berbagai biaya ini menghambat pertumbuhan usaha di tingkat lokal
dan menurunkan harga jual yang diperoleh penduduk miskin atas
barang yang mereka produksi.
Pemberian hak penggunaan tanah bagi penduduk miskin
Adanya kepastian dalam kepemilikan tanah merupakan faktor
penting untuk meningkatkan investasi dan produktifitas pertanian.
Pemberian hak atas tanah juga membuka akses penduduk miskin
pada kredit dan pinjaman. Dengan memiliki sertifikat kepemilikan
mereka dapat meminjam uang, menginvestasikannya dan
mendapatkan hasil yang lebih tinggi dari aktifitas mereka1.
Sayangnya, hanya 25 persen pemilik tanah di pedesaan yang memiliki
bukti legal kepemilikan tanah mereka. Ini sangat jauh dari kondisi di
Cina dan Vietnam, dimana sertifikat hak guna tanah dimiliki oleh
hamper seluruh penduduk. Program pemutihan sertifikat tanah di
Indonesia berjalan sangat lambat. Dengan program pemutihan yang
sekarang ini dijalankan, dimana satu juta sertifikat dikeluarkan sejak
1997, dibutuhkan waktu seratus tahun lagi untuk menyelesaikan
proses tersebut. Disamping itu, kepemilikan atas 64 persen tanah di
Indonesia tidaklah dimungkinkan, karena termasuk dalam klasifikasi
area hutan. Walaupun pada kenyataannya, di area tersebut terdapat
lahan pertanian, pemukiman, bahkan daerah perkotaan.
Perbaikan atas kualitas pendidikan dan penyediaan pendidikan transisi
untuk sekolah menengah
Indonesia telah mencapai hasil yang memuaskan dalam
meningkatkan partisipasi di tingkat pendidikan dasar. Hanya saja,
banyak anak-anak dari keluarga miskin yang tidak dapat melanjutkan
pendidikan dan terpaksa keluar dari sekolah dasar sebelum dapat
menamatkannya (lihat gambar dibawah). Hal ini terkait erat dengan
masalah utama pendidikan di Indonesia, yaitu buruknya kualitas
pendidikan.
Membangun lembaga – lembaga pembiayaan mikro yang memberi
manfaat pada penduduk miskin
Sekitar 50 persen rumah tangga tidak memiliki akses yang baik
terhadap lembaga pembiayaan, sementara hanya 40 persen yang
memiliki rekening tabungan. Kondisi ini terlihat lebih parah di daerah
pedesaan. Solusinya bukanlah dengan memberikan pinjaman
bersubsidi. Program pemberian pinjaman bersubsidi tidak dapat
dipungkiri telah memberi manfaat kepada penerimannya. Tetapi
program ini juga melumpuhkan perkembangan lembaga pembiayaan
mikro (LPM) yang beroperasi secara komersial. Padahal, lembaga-
lembaga semacam inilah yang dapat diandalkan untuk melayani
masyarakat miskin secara lebih luas. Solusi yang lebih tepat adalah
memanfaaatkan dan mendorong pemberian kredit dari bank-bank
komersial kepada lembaga-lembaga pembiayaan mikro tersebut.
Mengurangi tingkat kematian Ibu pada saat melahirkan
Hampir 310 wanita di Indonesia meninggal dunia pada setiap 10.000
kelahiran hidup. Angka ini merupakan yang tertinggi di Asia
Tenggara. Tingkat kematian menjadi tinggi terkait dengan dua sebab.
Pertama karena ibu yang melahirkan sering terlambat dalam mencari
bantuan medis. Sering terjadi juga bantuan medis yang dibutuhkan
tersebut tidak tersedia. Kedua karena kebanyakan ibu yang
melahirkan lebih memilih untuk meminta bantuan bidan tradisional
daripada fasilitas medis yang tersedia.
Menyedian lebih banyak dana untuk daerah-daerah miskin
Kesenjangan fiskal antar daerah di Indonesia sangatlah terasa.
Pemerintah daerah terkaya di Indonesia mempunyai pendapatan per
penduduk 46 kali lebih tinggi dari pemerintah di daerah termiskin.
Akibatnya pemerintah daerah yang miskin sering tidak dapat
menyediakan pelayanan yang mencukupi, baik dari segi kuantitas
maupun kualitas. Pemberian dana yang terarah dengan baik dapat
membantu masalah ini.
Merancang perlindungan sosial yang lebih tepat sasaran
Program perlindungan yang tersedia saat ini, seperti beras untuk
orang miskin serta subsidi bahan bakar dan listrik, dapat dikatakan
belum mencapai sasaran dengan baik. Pada tahun 2004, pemerintah
Indonesia mengeluarkan Rp 74 trilliun untuk perlindungan sosial.
Angka ini lebih besar dari pengeluaran di bidang kesehatan dan
pendidikan. Sayangnya, hanya 10 persen yang dapat dinikmati oleh
penduduk miskin, sementara sekitar Rp60 trilliun lebih banyak
dinikmati oleh masyarakat mampu. Secara rata-rata, rumah tangga
miskin hanya memperoleh subsidi sebesar Rp12.000 untuk beras dan
Rp 9.000 untuk minyak tanah setiap bulannya.
DAFTAR PUSTAKA
http://images.imnis.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/
SDH88woKCt8AAF8LARk1/Bagian%20III%20Kemiskinan.doc?nmid=96869950
Indonesia Policy Briefs - Ide-Ide Program 100 Hari
BADAN PUSAT STATISTIK - Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010