46680489-cedera-kepala

Upload: ade-rahmah-yulia

Post on 22-Jul-2015

47 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Cedera Kepala TK adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat nondegeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar kemudian menimbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran. 1.Anatomi Sistem persyarafan terdiri dari : a. Susunan saraf sentral terbagi atas medulla spinalis dan otak. Dalam medulla spinalis keluar 31 pasang saraf yang terdiri dari : saraf servikalis 8 pasang, toraka 12 pasang, tumbal 5 pasang, sacral 5 pasang dan koksigeal 1 pasang. Otak terbagi atas : 1. Otak besar (serebrum) a) Serebrum (otak besar) merupakan bagian terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak, pada serebrum ditemukan beberapa lobus yaitu : lobus frontalis, lobus parietalis, lobus temporalis dan lobus oksipitalis. b) Fungsi serebrum adalah : (1) Mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu. (2) Pusat persyarafan yang menangani aktivitas mental, akal, intelegensi, keinginan dan memori. (3) Pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil. 2. Otak kecil (serebelum)

Serebelum (otak kecil) terletak pada bagian bawah dan belakang tengkorak, dipisahkan dengan serebrum oleh fisura transversalis dibelakangi oleh ponsvaroli dan di atas medulla oblongata. Serebelum merupakan pusat koordinasi dan integritasi, bentuk oval bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis dan bagian yang melebar pada laferal disebut hemisfer. a) Fungsi serebelum adalah : (1) Arkhio serebelum (vestibula serebelum) untuk keseimbangan dan ransangan pendengaran otak. (2) Plea serebelum (spino serebelum) sebagai pusat penerima impuls. (3) Neo serebelum (ponto serebelum) menerima informasi tentang gerakan yang sedang dilakukan dan yang akan dikerjakan dan mengatur gerakan sisi badan. b. Susunan syaraf perifer, terdiri dari : 1) Susunan syaraf somatik. Susunan syaraf somatik yang mempunyai peranan spesifik untuk mengatur aktivitas otot sadar atau serat lintang. 2) Susunan syaraf otonom . Terdiri dari : susunan syaraf simpatis dan susunan syaraf parasimpatis. Susunan syaraf otonom mempunyai peranan penting mempengaruhi pekerjaan otot tidak sadar (otot polos) seperti jantung, hati, pankreas, jalan pencernaan, kalenjar dan lainlain. (Drs. Syaifuddin, B.Ac, 1997 : 139-144). Syaraf kepala ada 12 pasang (susunan syaraf tepi). Tabel 1. Fungsi syaraf kranial

Syaraf Karnial Fungsi II. (Olfaktorius) III. (Optikus) IV. (Okulomotorius) V. (Troklear) VI. (Trigeminus) VII. (Abdusen) VIII. (Fasial) IX. (Vestibulkokhlearlis) X. (Glasofaringeal) XI. (Vagus) XII. (Asesoris) XIII. (Hipoglosus) 3) Batang otak (trunkus serebri) terdiri atas : a. Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di antara serebelum dengan mesensepalon. Fungsi diensefalon adalah : (1) Vasokonstruktur, mengecilkan pembuluh darah. (2) Respirasi membantu proses persyarafan. (3) Mengontrol kegiatan reflek. (4) Membantu pekerjaan jantung. b. Mesensepalon, atap dari mesensepalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas, 2 sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan 2 sebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior. Fungsi dari mesensepalon adalah :

(1) Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata. (2) Memutar mata dan pusat pergerakan mata. c. Pons varoli adalah kedua pita sisi melingkar serebelum, yang di luas, yang menghubungkan sini terdapat

prematoksoid yang mengatur gerakan pernafasan dan reflek. Fungsi pons varoli adalah : (1) Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medulla oblongata dan serebrum. (2) Pusat syaraf trigeminus. d. Medulla oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling basah yang menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis. Bagian bawah medulla oblongata merupakan persambungan medulla spinalis ke atas dan bagian atas medulla oblongata melebar disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medulla oblongata. Fungsi oblongata adalah : (1) Mengontrol pekerjaan jantung. (2) Mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktur) (3) Pusat pernafasan (respiratory center) (4) Mengontrol kegiatan reflek.

Calvaria (os frontalis, parietalis, occipitalis, dan temporalis). Basis cranii (os petrosus, ethmoidalis, sphenoidalis, mastoideus, dan atap orbita) fossa crania anterior, media dan posterior.

Struktur pelindung otak : Rambut, kulit, tulang, meninges dan cairan serebrospinal (LCS)

Struktur otak:o o

Otak 100 milyar neuron & 1 trilyun neuroglia. Berat 1400 gram atau 2% BB manusia, dikelilingi LCS mengisi ruang Subaraknoid. Komponen otak : cerebrum, cerebellum dan batang otak. Pasokan darah otak dari : a. carotis interna dan a. vertebralis.

o o

2. Epidemiologi Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi di bawah 45 tahun, dan merupakan penyebab kematian nomor 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun yang mengalami cedera kepala lebih dari 2 juta orang, 75.000 orang di antaranya meninggal dunia. Lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen. Sebab-sebab cedera kepala diantaranya: Kecelakaan lalu lintas Terjatuh Kekerasan Rekreasi dan olahraga Lain-lain 7% 21% 12% 10% 50%

3. Klasifikasi Klasifikasi Berdasarkan Patofisiologis a. TK Primer

TK primer merupakan efek langsung trauma pada fungsi otak, dimana kerusakan neurologis langsung disebabkan oleh suatu benda/serpihan tulang yang menembus/merobek jaringan otak karena efek percepatan-perlambatan (Lombardo, 1995). Jaringan yang mungkin terkena pada TK adalah: 1.Kulit (hematom kulit kepala; luka kulit kepala luka lecet dan luka robek). 2.Tulang (fraktur calvaria linear, impresi, depresi, ekspresi; fraktur basis cranii). 3. Lesi intrakranial :

Lesi fokal (Kontusio cerebri, PIS, PED, PSD, PSA). Lesi difus (Konkusio/comutio cerebri, Cedera Axonal

Difus, Laserasi cerebri). b. TK Sekunder Menurut Listiono (1998) dan Fauzi (2002), penyebab TK sekunder adalah:

Penyebab

sistemik

(hipotensi,

hipoksia,

hipertermi,

hiponatremia).

Penyebab intrakranial (TIK meningkat, hematom, edema,

kejang, vasospasme dan infeksi).

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan

Mengingat fasilitas pemeriksaan neuroradiologis berupa CTscan masih jarang, maka agar dapat mengelola dengan baik, pasien-pasien cedera otak, khususnya jenis tertutup, berdasarkan gangguan kesadarannya (berdasarkan Glasgow Coma Scale + GCS) dikelompokkkan menjadi : 1. Cedera kepala ringan GCS : 14-15 bisa disertai disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual, muntah. 2. Cedera kepala sedang GCS : 9-13 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis fokal. Disini pasien masih bisa mengikuti/menuruti perintah

sederhana. 3. Cedera kepala berat GCS : 8 atau kurang (penderita koma), dengan atau tanpa disertai gangguan fungsi batang otak. Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini dilakukan sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa defisit tersebut diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab yang lain. Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan kesadaran, dikemukakan pertama kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Penilaiannya adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon motorik (=

M)

dan

respon

verbal

(=

V).

Pemeriksaan

GCS

tidak

memerlukan alat bantu, mudah dikerjakan sehingga dapat dilakukan dimana saja oleh siapa saja. Daftar penilaian GCS selengkapnya adalah seperti terlihat pada tabel di bawah ini. 1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)

Secara spontan 4 Atas perintah 3 Rangsangan nyeri 2 Tidak bereaksi 1 Orientasi baik 5 Jawaban kacau 4 Kata-kata tidak berarti 3 Mengerang 2 Tidak bersuara 1

2. Kemampuan komunikasi (V)

3. Kemampuan motorik (M)

Kemampuan menurut perintah 6 Reaksi setempat 5 Menghindar Ekstensi 2 4 Fleksi abnormal 3 Tidak bereaksi 1

* GCS sum score = (E + M + V); best possible score = 15; worst possible score = 3

Menilai tingkat keparahan cedera kepala : a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah) 1) Skor skala koma glasglow 14-15 (sadar penuh atentif dan orientif). 2) Tidak ada hilang kesadaran (misal konkusio). 3) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang. 4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing. 5) Tidak adanya kriteria cedera (sedang-berat). b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang). 1) Skor skala koma glasglow 9-12 (konfusi, latergi atau tupar) 2) Konkusi. 3) Amnesia pasca trauma dan disorientasi ringan (bingung). 4) Muntah. 5) Tanda kemungkinan fraktur kranium. 6) Kejang. c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat) 1) Skor skala koma glasglow 3-8 (coma)

2) Penurunan derajat kesehatan secara progresif. 3) Tanda neorologi lokal. 4) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.

Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme Luka tumpul High velocity Low velocity

Luka tembus Gun shoot wound dsb

Klasifikasi Berdasarkan morfologi Fraktur tengkorak Kranium Linear , stellate Depressed / non depressed Open

Basis Dengan atau tanpa kebocoran CSF Dengan atau tanpa kelumpuhan saraf cranial

Lesi intracranial Fokal Epidural Subdural Intracerebral Subarachnoid Intraventricular

Difus Mild concussion Classic concussion Diffuse axonal injury

4. Patofisiologi Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam selsel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena

akan menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. a. Faktor Kardiovaskuler Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya pendarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Aktivitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen syaraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri, akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru. b. Faktor Respiratori Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi Edema otot karena trauma adalah bentuk vasogenik, edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan

jaringan sekitarnya. Edema otak ini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya tik yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla oblongata. Akibat penekanan darah medulla oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif. c. Faktor Respiratori Trauma kepala yang mempengaruhi sistem gastrointestinal, setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Dan hal ini akan merangsang yang tidak lambung menjadi akan hiperasiditas. menyebabkan Hiperasiditas ditangani

pendarahan lambung. d. Faktor Psikososial Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan penurunan kesadaran dan penurunan fungsi neorologis akan mempengaruhi psikososial pasien dan keluarga. (Elyna. S Laura Siahaan, Skp, 1996 : 54). Patofisiologi Peningkatan TIK Tekanan intra krania Compartment rongga kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang yang terisi 3 komponen yaitu Jaringan otak seberat 1200 gram, Cairan liquor serebrospinalis seberat 150 gram, Darah dan pembuluh darah

seberat 150 gram. Menurut doktrin Monroe kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala adalah konstan jika terdapat penambahan massa (misal hematom, edema, tumor, abses) maka sebagian dari komponen tersebut mengalami kompensasi/bergeser, yang mula mula ataupun canalis centralis yang ada di medulla spinalis yang tampak pada klinis penderita mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa sakit dan berat. Jika kompensasi dari cairan serebrospinalis sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus untuk nadi berlangsung maka terjadi kompensasi kedua yaitu kompensasi dari pembuluh yang berakibat darah dan isinya tekanan darah yang bertujuan Denyut mengurangi isi rongga intrakranial dengan cara Vaso konstriksi meningkat, menurun (bradikardia), yang merupakan tanda awal dari peningkatan tekanan intrakranial, kedua tanda ini jika disertai dengan ganguan pola napas disebut trias cushing. Jika kompensasi kedua komponen isi rongga intrakranial sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka jaringan otak akan melakukan kompensasi yaitu berpindah ketempat yang kosong (locus minoris) perpindahan jaringan otak tersebut disebut herniasi cerebri. Tanda tanda klinis herniasi cerebri tergantung dari macamnya, pada umumnya klinis dari peningkatan tekanan intrakranial adalah Nyeri kepala, Mual, Muntah, Pupil bendung (Sumarmo Markam et.al ,1999) Herniasi otak

Herniasi otak adalah berpindahnya jaringan otak dari satu kompartimen otak kelainnya. Perdarahan yang makin lama makin besar pada suatu saat akan mengadakan herniasi. Untuk perdarahan infratentorial proses terjadinya herniasi bahkan lebih cepat. Secara singkat : tergantung letaknya bisa terjadi hernia lewat hiatus tentorii yang dikenal juga sebagai uncal herniation atau hernia lewat foramen magnum untuk tumor di fossa posterior. a) Uncal atau tentorial herniation. Yang mengadakan herniasi adalah sebagian dari lobus temporalis ( uncus ) yang terdorong lewat lobang atau hiatus pada tentorium. Dengan demikian terjadi pendesakan pada struktur otak yang telah lebih dulu ada disitu yaitu mesensefalon dengan jaras piramidal serta nervus III. Gejala yang nampak pada pasien adalah gejala terganggunya nervus III + gejala piramidal. Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran dan tanda kenaikan tekanan intrakranial yang lain. Tindakan : Berikan larutan hiperosmolar seperti mannitol, 20%,dosis untuk dewasa biasanya 200 ml, diberi secara cepat dalam tempo 20-30 menit. Berikan dexamethason, 5 mg intravena, 4x sehari. Konsulkan ke ahli Bedah Saraf bila mungkin.

b) Herniasi lewat foramen magnum. Biasanya terjadi karena tumor di fossa posterior. Tonsilla cerebelli merosot kebawah lewat foramen magnum hingga

terjadi penekanan pada medulla oblongata. Gejala yang timbul adalah terjadinya decerebrate rigidity ditambah dengan gangguan pernafasan. Prognosa biasanya buruk walaupun diberi terapi untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat. Secara teoretis masih ada beberapa jenis herniasi otak yang lain namun relatif lebih jarang dan kiranya tidak penting untuk seorang dokter umum. 5. Gejala Klinis confusion, agitation, drowsiness changes in pupillary response weakness on one side of the body Headache, seizures Nausea & Vomiting Blurred Vision Papilloedema In Paediatrics Persistent Crying & Refusal to eat Cushing responses : Hipertensi Bradikardi Change of respiratory pattern

Kehilangan fungsi neorologis sementara tanpa penampilan kerusakan struktural. 1. Umumnya terjadi periode ketidaksadaran yang berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. 2. Getaran pada otak mungkin sangat ringan sehingga hanya menyebabkan pusing dan mata berkunang-kunang.

3. Jika mengenai lobus frontalis, pasien mungkin menunjukkan perilaku kacau (bizare) irasional. 4. Jika yang terkena lobus temporal, pasien akan menunjukkan amnesia temporer atau disorientasi. 2. Mekanisme Cedera Kepala 1. Direct Impact lesi berada satu sisi dengan trauma 2. Akselerasi-Deselerasi * Dasar : massa jenis kranium > massa jenis otak. * Terjadi percepatan kranium searah dengan trauma padahal cerebrum sedang dalam perjalanan searah trauma terjadi benturan antara kranium dengan cerebrum. 3. Shock wave injury - Dasar : trauma merupakan gelombang yang dijalarkan melalui kranium dan cerebrum. - Terjadi pada trauma beberapa kali sekaligus: * trauma I terjadi perambatan gelombang. * trauma II gelombang dialirkan kembali kearah semula sehingga terjadi benturan 2 gelombang yang mengakibatkan kerusakan berupa kontusio/comutio. 4. Rotational injury

Trauma dengan membentuk sudut akibat putaran kepala (pemuntiran). Empat mekanisme utama pada cedera kepala yaitu: a. kontusi otak b. kenaikan tekanan intra cranial c. diffuse axonal injury d. iskemik dan perdarahan 6. Pemeriksaan Anamnesis Informasi yang diperlukan: Identitas pasien: Nama, Usia, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat Mekanisme trauma Pernah pingsan atau sadar setelah trauma Amnesia retrograde atau antegrade Keluhan: Nyeri kepala seberapa berat, kejang, vertigo Riwayat mabuk, alkohol, narkotika Penyakit penyerta : Epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi, DM, gangguan faal pembekuan darah Pemeriksaan fisik umum Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi unutk menentukan kelainan : Dari ujung rambut sampai ujung kaki Per sistem B1-B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)

-

Pemeriksaan kepala : Jejas di kepala : hematome sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus dan benda asing Tanda fraktur basis kranii Fraktur tulang wajah Trauma mata Auskultasi a.carotis

-

Pemeriksaan leher dan tulang belakang : Jejas, deformitas, status motorik, sensorik, autonomik. Pemeriksaan neurologis : Tingkat kesadaran : GCS Lesi Saraf kranial Funduskopi : edema pupil Motoris, sensoris, autonomis

7. Pemeriksaan Tambahan 1. C.T. Scan (tanpa / dengan kontras) Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. 2. M.R.I. (tanpa / dengan kontras) Angiografi serebral, 3. EEG : serebral seperti untuk : menunjukkan kelainan otak sirkulasi akibatnya atau pergeseran jaringan

oedema, pendarahan trauma. memperlihatkan keberadaan berkembangnya gelombang patologis. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena pendarahan edema), adanya fragmen tulang.

4. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) Menentukan fungsi korteks dan batang otak. 5. PET (Positron Emission Tomography) Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak. 6. Fungsi lumbal; CSS : dapat menduga adanya kemungkinan pendarahan subaraknoid. 7. GDA (Gas Darah Arteri ) : dapat mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK. 8. Kimia/ elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK/ perubahan mental. 9. Pemeriksaan toksiologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran. 10. Kadar antikonsulvan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang. Indikasi foto polos: Kehilangan kesadaran, amnesia Nyeri kepala menetap Gejala neorologis fokal Jejas pada kulit kepala Kecurigaan luka tembus Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga Deformitas tulang kepala, terlihat atau teraba Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi, epilepsi, pasien anak

Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala, tetapi mempunyai resiko benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasien usia >50 tahun

Indikasi CT Scan GCS 50 tahun Anak-anak ( 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml) Keadaan pasien memburuk Pendorongan garis tengah > 3 mm

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

> 25 cc desak ruang supra tentorial

> 10 cc desak ruang infratentorial > 5 cc desak ruang thalamus

Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :

Penurunan klinis Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif. Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif

11.

Komplikasi

a. Kejang pasca trauma: Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan. f. Mood, tingkah laku dan kognitif : Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan

mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%. Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan. g. Sindroma post kontusio : Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori, Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil 12. Prognosa Penanganan pada cedera kepala harus dilakukan sedini mungkin untuk mencegah cedera otak sekunder dan akibat lainnya yang dapat meningkatkan angka mortalitas. Penderita cedera kepala yang dalam keadaan hipotensi mempunyai angka mortalitas dua kali lebih besar dibandingkan dengan

yang tidak. Oleh sebab itu pada penderita cedera kepala stabilisasi kardiopulmuner juga sangat penting. Hampir 20% penderita cedera kepala meninggal akibat penanganan atau perawatan yang salah sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab tersering adalah syok, hipoksemia dan hiperkarbia. Dengan demikian prinsip penanganan ABC (airway, breathing dan circulation) harus dilaksanakan dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan yang dapat memperberat cedera pada anggota tubuh yang lain seperti leher, tulang belakang, dada & pelvis. Faktor-faktor yang memperburuk prognosis adalah : -Terlambatnya penanganan awal dan resusitasi. -Pengangkutan/transport yang tidak adekuat. -Dikirim ke RS yang tidak adekuat. -Tindakan bedah yang terlambat. -Disertai dengan cedera multipel yang lain. -Besar lesi dan lokasinya ( infratentorial lebih jelek) Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg selama perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg kematiannya 39%. Tujuh belas persen pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejangkejang dalam dua tahun pertama post trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia. Pemeriksaan penunjang preditor prognosis cedera kepala: Skor GCS (Penurunan kesadaran pada saat kejadian, penurunan kesadaran < 30 menit, penurunan kesadaran setelah 30 menit, amnesia < 24 jam)

William, 2001 meneliti 215 cedera kepala : pasien-pasien cedera kepala sedang dengan komplikasi (CT Scan +) terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri setelah 6 bulan. Rontgen tulang tidak direkomendasikan untuk evaluasi cedera kepala ringan dan sedang dan sensitifitasnya rendah terhadap adanya lesi intrakranial. Faktor-faktor yang dapat menjadikan Predictor outcome cedera kepala adalah: lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area kerusakan cedera pada otak mekanisme cedera dan umur. Pengukuran outcome: Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang sering digunakan antara lain: Glasgow Outcome Scale (GOS) : Terdiri 5 kategori, meninggal, status vegetative, kecacatan yang berat, kecacaatan sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah dan pekerjaannya), kembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah). Dissabily Rating Scale (DRS) Merupakan perbaikan skala dari tunggal koma Terdiri dari untuk 8 melihat ke kategori progress ke termasuk sampai kembali

lingkungannya.

komponen kesadaran (GCS), kecacatan (activity of daily living, handicap dalam bekerja).

Fungsional Independent Measure (FIM) Banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri dari 18 items skala yang digunakan untuk mengevalusi tingkat kemandirian mobilitas, perawatan diri, kognitif.

Beberapa pendekatan farmakologi yang digunakan banyak yang tidak efektif. Strategi terapi masa yang akan datang lebih ditujukan pada fase hipoperfusi awal antara lain: induksi hipertensi arterial, terapi farmakologi yang dapat memperbaiki peningkatan resistensi mikrosirkulasi dan terapi hipotermi yang dapat memproteksi neuron akibat iskemik. 13. Kesimpulan Penanganan awal cedera kepala sangat penting karena dapat mencegah terjadinya cedera otak sekunder sehingga dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya. Cedera kepala merupakan masalah kesehatan yang akan makin bertambah besar. Penanganan fase akut yang tepat dapat memperbesar kemungkinan hidup pasien dan mencegah kecacadan di kemudian hari. Di samping penanganan dan pengawasan fungsi vital, pemantauan tingkat kesadaran dan kemungkinan komplikasi lainnya amat penting. Pengobatan terutama ditujukan untuk mengurangi edema otak dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Tujuan dari penanganan cedera kepala bukan lagi sekadar menolong jiwa tetapi menyembuhkan penderita dengan sequele yang seminimal mungkin.