4_bab ii
TRANSCRIPT
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi dan Anatomi Sistem Limfatik
Sistem limfa mulai terbentuk lebih lambat dibandingkan dengan sistem
kardiovaskuler, dan belum muncul sampai minggu ke-5 gestasi. Asal pembuluh
limfe masih belum jelas, tetapi mungkin terbentuk dari mesenkim in situ atau bisa
timbul sebagai pertumbuhan keluar seperti kantung dari endotel vena. Terbentuk 6
sakus limfatikus primer yaitu 2 sakus jugularis, di taut vena subklavia dan vena
kardinalis anterior; 2 sakus iliakus, di taut vena iliaka dan kardinalis posterior; 1
sakus retroperitonealis, dekat pangkal mesenterium; dan 1 cisterna chyli, sebelah
dorsal dari sakus retroperitonealis.
Terdapat banyak saluran-saluran yang saling menghubungkan sakus-sakus
tersebut dan mengalirkan limfa dari ekstremitas, dinding tubuh, kepala, dan leher.
Dua saluran utama, duktus torasikus kiri dan kanan, menyatukan sakus jugularis
dengan cisterna chyli, dan di antara saluran-saluran tersebut segera terbentuk
anastomosis. Duktus torasikus terbentuk dari bagian distal duktus torasikus kanan,
anastomosis, dan bagian kranial duktus torasikus kiri. Duktus limfatikus kanan
berasal dari bagian kranial duktus torasikus kanan. Kedua duktus
mempertahankan hubungan awalnya dengan sistem vena dan mengosongkan
isinya ke taut vena jugularis interna dan vena subklavia. Terdapat banyak
anastomosis yang menghasilkan beragam variasi dalam bentuk akhir duktus
torasikus. (Sadler, 2006)
Kegagalan perkembangan yang normal (koneksi dan drainase) dari salah
satu sakus limfatik juguler serta sistem vena, dapat menyebabkan kista limfatik
fokal (limfangioma kavernosa) atau yang juga dikenal sebagai higroma kistik.
Kegagalan serupa dari sisa-sisa jaringan embrional jaringan limfatik untuk
terhubung ke aliran eferen menyebabkan berkembangnya bentukan limfatik kistik
(limfangioma kapiler sederhana) yang tergantung pada lokasinya, digolongkan
menjadi limfangioma trunkal, mesenterik, intestinal, atau retroperitonial.
Hipoplasia atau kegagalan perkembangan kanal drainase yang menghubungkan
3
sistem limfatik ekstremitas ke sistem limfatik primordial utama batang tubuh
dapat menyebabkan limfedema pada ekstremitas.
Limfangiogenesis diregulasi oleh vascular endothelial factors C dan D
(VEGF-C, VEGF-D), reseptor VEGFR-3, dan protein pengikat neurophilin-2
(Nrp2). Pada hewan coba tikus yang dengan defisiensi Nrp2 mengalami
hipoplasia dan mutasi inaktivasi heterozigot VEGFR-3, dijumpai pada hewan
model limfedema primer. Kemungkinan hal tersebutlah yang terjadi pada pasien
dengan Milroy’s disease atau limfedema familial kongenital. (Townsend, 2007)
4
Gambar 2.1 Anatomi sistem limfatik pada manusia
2.2 Etiologi
Anyaman pembuluh limfa yang pertama kali terbentuk di sekitar
pembuluh vena mengalami dilatasi dan bergabung membentuk jala di daerah
tertentu akan berkembang menjadi sakus limfatikus. Pada embrio usia 2 bulan,
pembentukan sakus primitif telah sempurna. Bila hubungan saluran ke arah
sentral tidak terbentuk, timbullah penimbunan cairan yang akhirnya membentuk
kista berisi cairan. Hal tersebut paling sering terjadi di daerah leher (higroma
kistik koli). Kelainan ini dapat meluas ke segala arah seperti ke jaringan
sublingualis di mulut. (Sjamsuhidajat, 2007)
Higroma kistik dapat ditemukan sebagai kelainan tunggal maupun disertai
kelainan kongenital lainnya sebagai suatu sindroma. Diduga higroma kistik
disebabkan oleh faktor lingkungan, faktor genetik, dan berbagai faktor lain yang
belum diketahui atau idiopatik. Faktor lingkungan meliputi:
Infeksi virus maternal, misalnya Parvovirus
Penyalahgunaan zat oleh ibu, seperti penyalahgunaan alkohol
Sindroma genetik dengan higroma kistik terdapat pada:
Sebagian besar bayi intrauterin yang didiagnosis dengan higroma kistik
berhubungan dengan risiko adanya sindroma Turner, yaitu kelainan
kromosom bayi perempuan yang hanya memiliki satu kromosom X
Kelainan kromosom seperti trisomi 13, 18, dan 21
Noonan syndrome
Higroma kistik yang terisolasi (isolated cystic hygroma) dapat diturunkan
secara autosomal resesif dari orang tua yang merupakan silent carrier. Pada
akhirnya, hingga saat ini penyebab higroma kistik masih belum diketahui secara
pasti. (Emory, 2008)
2.3 Patofisiologi
Higroma kistik (limfangioma kavernosa) diduga muncul akibat kombinasi
dari kegagalan sistem limfatik untuk terhubung ke sistem vena, pertumbuhan
abnormal jaringan limfatik, dan sekuesterasi sisa jaringan limfatik yang masih
5
memiliki potensi pertumbuhan emobrionik. Sisa jaringan limfatik tersebut mampu
mengadakan penetrasi ke struktur yang berdekatan dan membelah di sepanjang
bidang fascia yang kemudian membentuk suatu kanal. Rongga ini tetap
menghasilkan sekresi dan berkembang menjadi massa kistik akibat kurangnya
aliran keluar menuju vena. Sifat jaringan sekitarnya menentukan apakah massa
tersebut jenis kapiler, kavernosa, atau kistik.
Higroma kistik cenderung terbentuk pada jaringan longgar, sedangkan
jenis kapiler maupun kavernosa cenderung terbentuk pada jaringan otot.
Penelitian menggunakan marker proliferasi sel menunjukkan bahwa pembesaran
limfangioma lebih berkaitan dengan pembengkakan daripada proliferasi sel.
Penelitian molekuler mengusulkan bahwa vascular endothelial factor C (VEGF-
C) dan reseptornya mungkin memiliki peranan penting dalam perkembangan
malformasi jaringan limfatik.
Selain berkembang dari kelainan kongenital, limfangioma juga bisa
didapat (acquired). Pada limfangioma yang didapat, massa berkembang akibat
trauma, termasuk riwayat pembedahan daerah leher, proses inflamasi, atau
obstruksi aliran limfatik. (Acevedo, 2013)
Secara patologi, pada mulanya bagian dalam kista dilapisi oleh selapis sel
endotel dan berisi cairan jernih kekuningan yang sesuai dengan cairan limfa. Pada
permukaan ditemukan kista besar yang makin ke dalam menjadi makin kecil
seperti buih sabun. Higroma kistik dapat mencapai ukuran yang besar dan
menyusup ke otot leher dan daerah sekitarnya seperti faring, laring, mulut, dan
lidah yang dapat menyebabkan makroglosia. (Sjamsuhidajat, 2007)
2.4 Klasifikasi
Limfangioma merupakan analog limfatik dari hemangioma pembuluh
darah. Terdapat dua tipe limfangioma, yaitu (1) simple capillary lymphangioma
dan (2) cavernous lymphangioma atau cystic hygroma. Tumor tersebut diduga
merupakan segmen tersekuesterisasi dan isolasi sistem limfatik yang masih
memiliki kemampuan untuk memproduksi cairan limfa. Dengan meningkatnya
volume cairan limfa dalam tumor kistik, kista tersebut tumbuh membesar di dalam
6
jaringan sekitarnya. Sebagian besar tumor jinak ini muncul saat lahir, dan 90%
dapat diidentifikasi pada akhir tahun pertama kehidupan.
Limfangioma kavernosa hampir selalu terjadi pada daerah leher atau aksila
dan jarang terjadi pada retroperitoneum. Sedangkan limfangioma kapiler
sederhana cenderung terjadi pada lapisan subkutan regio kepala dan leher serta
aksila. Namun, limfangioma kapiler kadang-kadang dapat terjadi pada batang
tubuh di dalam organ viseral atau jaringan konektif pada atau sekitar rongga
abdomen dan thoraks. (Townsend, 2007)
2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui:
a. Anamnesis
Keluhan adanya benjolan di leher yang telah lama atau muncul sejak lahir
tanpa nyeri. (Samjuhidajat, 2007) Limfangioma mikrositik cenderung untuk
menjadi predisposisi higroma kistik dalam rongga mulut dan orofaring.
Limfangioma mikrositik umumnya berupa gerombolan vesikel berwana jernih,
kehitaman, atau merah pada mukosa pipi atau lidah. Higroma kistik juga dapat
muncul di bawah otot mylohyoid dan melibatkan baik trigonum anterior maupun
posterior leher.
Kista yang berukuran besar dan berdinding tebal umumnya melibatkan
jaringan sekitarnya. Kulit yang menutupi kista dapat berwarna kebiruan atau
terlihat seperti warna kulit normal sekitarnya. Higroma kistik yang membesar
sering timbul setelah peningkatan tiba-tiba ukuran kista akibat infeksi sekunder
atau perdarahan intralesi. Dekompreasi spontan atau pengecilan ukuran higroma
jarang terjadi. Kadang-kadang pada anak dengan higroma kistik, gejala yang
dikeluhkan berupa obstructive sleep apnea syndrome (OSAS). Keadaan tersebut
dapat terjadi pada anak dengan higroma kistik ataupun adanya lesi tumor lainnya
pada daerah supraglotis atau paraglotis. Limfangioma suprahyoid cenderung
menyebabkan kesulitan bernapas daripada yang terletak di infrahyoid.
Potensi ancaman jalan napas yang bermanifestasi berupa stridor dan
sianosis mungkin terjadi pada sebagian kasus. Kesulitan menelan dan gangguan
7
proses tumbuh-kembang memerlukan perhatian khusus pemeriksa/dokter.
Keluhan tersebut terutama terjadi akibat tumor yang memengaruhi struktur aero-
digestif superior. Lokasi yang sangat jarang, misalnya pada telinga tengah juga
pernah dilaporkan. (Acevedo, 2013)
b. Pemeriksaan Fisik
Benjolan higroma kistik berbentuk kistik, berbenjol-benjol, dan lunak.
Permukaannya halus, lepas dari kulit, dan sedikit melekat pada jarinan dasar.
Kebanyakan terletak di regio trigonum posterior koli. Sebagai tanda khas, pada
pemeriksaan transiluminasi positif tampak terang sebagai jaringan diafan.
(Samjuhidajat, 2007)
Temuan klinis lainnya dapat berupa benjolan dengan permukaan halus,
tidak nyeri, dan kompresibel. Pada anak dengan higroma kistik leher berukuran
cukup besar, sangat disarankan untuk pemeriksaan dan evaluasi patensi jalan
napas. (Acevedo, 2013)
Gambar 2.2 Pemeriksaan transiluminasi positif pada higroma kistik
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan pencitraan seperti USG dapat menunjukkan gambaran kista
multiple dan dengan USG Doppler tidak tampak adanya aliran darah dalam lesi
8
tersebut. Modalitas lain seperti CT-Scan dapat juga memperlihatkan gambaran
kista multiple, homogen,batas tegas, dan tidak ada invasi ke jaringan sekitar. CT-
Scan sangat membantu dalam melihat perluasan lesi dan hubungannya dengan
saraf dan pembuluh darah sekitarnya.
MRI memberikan detail jaringan lunak yang paling baik dan membedakan
lesi dengan jaringan sekitarnya. Kontras dapat digunakan untuk membedakan
hemangioma dengan limfangioma. Sedangkan CT scan dapat mendeteksi lebih
cepat dan lebih mudah dijangkau daripada MRI. Namun CT scan memberikan
risiko paparan radioaktif dan detail dapat menghilang jika higroma kistik
dikelilingi oleh jaringan yang hampir serupa. Kontras membantu meningkatkan
visualisasi dinding kista dan hubungannya dengan pembuluh darah sekitar. Pada
CT scan, higroma kistik tampak sebagai massa isodens yang serupa dengan cairan
serebrospinal.
USG merupakan pemeriksaan pencitraan yang non-invasif. Pemeriksaan
ini sangat berguna untuk mengetahui adanya hubungan antara higroma kistik
dengan struktur di sekitarnya. Namun USG memiliki keterbatasan kemampuan
dalam mendeteksi struktur mediastinum dan retrofaring. USG dapat digunakan
untuk mendeteksi higroma kistik intrauterin. Foto polos jarang digunakan untuk
mendeteksi letak dan batas higroma kistik, tetapi lebih banyak digunakan untuk
mengetahui adanya penekanan jalan napas pada kista yang berukuran besar.
Pemeriksaan dengan foto polos sangat dianjurkan sebagai pemeriksaan tambahan
pada pasien dengan kista higroma yang memiliki gejala gangguan airway.
(Acevedo, 2013)
2.6 Penatalaksanaan
Eksisi total merupakan pilihan utama. Pembedahan tersebut dimaksudkan
untuk mengambil keseluruhan massa kista. Akan tetapi, bila tumor besar dan telah
menyusup ke organ penting, seperti trakea, esofagus, atau pembuluh darah,
ekstirpasi total sulit dikerjakan. Oleh karena itu, penanganannya cukup dengan
pengambilan sebanyak-banyaknya kista. Kista yang letaknya di dalam dan sangat
melekat dengan struktur vital dipecahkan dengan melakukan eksisi parsial. Hal
9
tersebut merupakan cara penanganan yang paling baik dan aman. Pada akhir
pembedahan, pemasangan penyalir isap sangat dianjurkan. Bila residif, dapat
dilakukan operasi ulang atau pemberian bleomisin ke dalam kista yang telah
diaspirasi isinya terlebih dahulu. Pembedahan sebaiknya dilakukan setelah periode
neonatus karena mortalitas akibat pembedahan pada periode neonatus cukup
tinggi, yaitu 20-50%. (Sjamsuhidajat, 2007)
Agen sklerotik lainnya yang sering digunakan sebagai terapi higroma
kistik yaitu OK-432 (picibanil), strain inaktif Streptococcus pyogenes grup A.
OK-432 telah dilaporkan sebagai terapi yang berhasil untuk mengobati higroma
kistik. Mekanisme kerja obat ini melalui respon inflamasi terhadap bakteri inaktif
sehingga terjadi fibrosis higroma. OK-432 juga dapat digunakan pada kista
unilokuler yang berukuran besar. (Acevedo, 2013)
2.7 Diagnosis Banding
a. Limfangiosarkoma
Limfangiosarkoma merupakan tumor langka yang berkembang sebagai
komplikasi dari limfedema yang terjadi dalam waktu lama (biasanya lebih dari 10
tahun). Secara klinis, pada pasien didapatkan bertambah buruknya edema secara
akut dan terlihatnya nodul subkutan yang memiliki kecenderungan terhadap
terjadinya perdarahan dan ulserasi. Tumor ini dapat diobati seperti jenis sarkoma
lainnya dengan kemoterapi dan radioterapi adjuvan preoperasi, kemudian diikuti
dengan pembedahan eksisi tumor yang biasanya melibatkan amputasi radikal.
Secara keseluruhan, limfangiosarkoma memiliki prognosis yang buruk.
(Townsend, 2007)
b. Kista Brankial
Kelainan brankial dapat berupa fistel, kista, dan tulang rawan ektopik.
Arkus brankial ke-3 membentuk os hioid, sedangkan arkus brankial ke-4
membentuk skelet laring, yaitu rawan tiroid, krikoid, dan aritenoid. Fistel kranial
dari tulang hioid yang berhubungan dengan meatus akustikus eksternus berasal
dari celah brankial pertama. Fistel antara fossa tonsilaris ke pinggir depan
10
m.sternokleidomastoideus berasal dari celah brankial kedua. Fistel yang masuk ke
sinus piriformis berasal dari celah brankial ketiga. Sinus dari celah brankial
keempat tidak pernah ditemukan. Sinus atau fistel mungkin berupa saluran yang
lengkap atau mungkin menutup sebagian.
Fistel brankial sisa celah brankial ke-2 akan terdapat tepat di depan
m.sternokleidomastoideus. bila penutupan terjadi sebagian, sisanya dapat
membentuk kista yang terletak agak tinggi di bawah sudut rahang. Bila terbuka ke
kulit, akan terjadi fistel. Bila masih ada sinus tonsilaris, fistel selalu berjalan
melalui percabangan a.karotis.
Pada anamnesis, diketahui bahwa kista merupakan benjolan sejak lahir.
Fistel terletak di depan m.sternokleidomastoideus dan mengeluarkan cairan. Fistel
yang buntu akan membengkak dan merah, atau merupakan lekukan kecil yang
dapat ditemukan unilateral atau bilateral. Pada palpasi, sebelah kranial dari fistel
teraba sebagai jaringan fibrotik bila leher ditegangkan dengan tarikan ke arah
kaudal. Jaringan ini menuju ke kraniodorsal sepanjang tepi
m.sternokleidomastoideus. fistulografi mungkin memperlihatkan masuknya bahan
kontras ke faring. (Sjamsuhidajat, 2007)
c. Kista Duktus Tiroglosus
Benjolan kista duktus tiroglosus terdapat di sekitar os hioid, di garis
tengah, dan ikut bergerak waktu menelan dan juga pada penjuluran lidah. Duktus
yang menandai jaringan bakal tiroid akan bermigrasi dari foramen sekum di
pangkal lidah ke daerah di ventral laring dan mengalami obliterasi. Obliterasi
yang tidak lengkap akan membentuk kista. Kista terletak di garis tengah, di
kranial atau kaudal dari os hioid. Bila terletak di muka rawan tiroid mungkin
tergeser sedikit ke paramedian, biasanya ke kiri. Jika ditarik ke arah kaudal,
umumnya teraba atau terlihat sisa duktus berupa tali halus di subkutis. Biasanya
kulit ikut bergerak jika lidah dikeluarkan dari mulut.
Kelainan ini ditangani dengan ekstirpasi seluruh kista dan duktus.
Biasanya os hioid harus dipotong sebagian karena duktus sering menempel erat
pada os hioid. Kista harus diekstirpasi dengan seluruh sisa duktus sampai ke
11
foramen sekum. Jika ada sisa duktus tertinggal, akan terbentuk fistel di luka
operasi setelah beberapa waktu. (Sjamsuhidajat, 2007)
2.8 Komplikasi
Komplikasi higroma kistik jarang terjadi. Benjolan tersebut jarang
menimbulkan gejala akut, tetapi suatu saat dapat cepat membesar karena radang
dan menimbulkan gejala gangguan pernapasan akibat pendesakan saluran napas
seperti trakea, orofaring, maupun laring dapat terjadi. Bila terjadi perluasan ke
arah mulut dapat timbul gangguan menelan. Perluasan ke aksila dapat
menyebabkan penekanan pleksus brakialis dengan berbagai gejala neurologis.
Sedangkan komplikasi akibat tindakan pembedahan dapat berupa terjadinya
perdarahan, infeksi, cedera jaringan sekitar tumor, dan kekambuhan higroma
kistik di kemudian hari. (Sjamsuhidajat, 2007)
2.9 Prognosis
Pada keadaan tertentu, higroma kistik dapat muncul pada bayi yang sehat.
Jika tidak ditemukan kelainan kromosom, hasil terapi sebagian besar lebih baik
daripada bayi yang memiliki kelainan kromosom. Apabila higroma kistik tidak
ditemukan kemudian mengalami resolusi pada minggu ke 18-20 kehamilan dan
fetus memiliki kromosom yang normal, maka hasil terapi cukup baik dengan
angka keberhasilan 54-80% dari kasus yang terjadi. Sedangkan pada kasus
isolated cystic hygroma yang tidak mengalami resolusi hingga minggu ke-20
kehamilan, hasil terapi yang baik hanya dicapai oleh 2-9% kasus. Penelitian
menunjukkan bahwa higroma kistik yang berukuran kecil cenderung mengalami
resolusi. Oligohidramnion atau polihidramnion memungkinkan prognosis yang
lebih buruk. Hidrops fetalis terjadi pada 22-76% kasus higroma kistik intrauterin
yang berhubungan dengan keguguran dan fetal death. (Emory, 2008)