5 konflik sumberdaya hutan -...
TRANSCRIPT
117
5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN
5.1. Penyebab dan Bentuk Konflik
Konflik dalam penguasaan sumberdaya hutan pada dua kawasan konflik
yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Hutan Sungai Utik
disebabkan karena adanya kebijakan negara tentang tata kelola hutan. Di TNGHS,
negara mengeluarkan kebijakan tentang pelestarian hutan, sedangkan di Hutan
Sungai Utik, negara mengeluarkan kebijakan pemanfaatan hutan. Konflik ini
melibatkan berbagai macam aktor dengan berbagai kepentingan.
Di kawasan TNGHS, konflik yang terjadi adalah konflik negara dengan
Masyarakat Kasepuhan. Negara dalam arti pemerintah pusat (Departemen
Kehutanan) dalam tataran kebijakan, dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (BTNGHS) dalam tataran praktis pengelolaan hutan kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak. Adapun di Sungai Utik, konflik terjadi antara
negara dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Negara dalam arti pemerintah
pusat (Departemen Kehutanan) dan pemerintah daerah (Kabupaten Kapuas Hulu)
dalam tataran kebijakan. Kebijakan negara tersebut melahirkan rezim penguasaan
hutan pada tataran praktis oleh pengusaha baik pengusaha yang mengantongi izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) dari pemerintah pusat maupun
pengusaha yang mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) dari pemerintah
daerah.
Bentuk konflik pada kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik tersebut
berupa konflik laten sampai konflik terbuka. Pada kawasan TNGHS, sebenarnya
konflik sudah ada sejak lama, sejak terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan
melalui klaim oleh masyarakat dan klaim oleh pihak lain atau Negara Hindia
Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun dalam perjalanan sejarah
konflik ini timbul tenggelam, kadang muncul ke permukaan menjadi konflik
terbuka, kadang hanya sekedar konflik laten yang muncul di ruang wacana, tapi
ketika terjadi konsensus maka konflikpun mereda.
Dalam kasus Hutan Sungai Utik, telah terjadi konflik fisik antara pihak
masyarakat adat dengan pengusaha pemegang IUPHHK yang merupakan
representasi negara di kawasan. Konflik ini berujung pada pengusiran secara fisik
118
termasuk perusakan alat-alat berat dari lokasi yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap pengusaha. Namun setelah pengusaha terusir dari lokasi konflikpun
mereda, berubah menjadi konflik laten di ruang wacana.
5.1.a. Kasus Konflik TNGHS: Kebijakan Negara Tentang Pelestarian Hutan
Setelah merdeka, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengeluarkan
kebijakan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional
Gunung Halimun Salak di tahun 2003 berdasarkan SK Menteri Kehutanan
No.175/Kpts-II/2003. Taman Nasional Gunung Halimun bergabung dengan
kawasan Gunung Salak di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak seluas 113.357 hektar (ha). Penggabungan kedua kawasan ini mencakup
pula beberapa kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang sebelumnya
dikelola oleh Perum Perhutani.
Dampak dari penggabungan hutan tersebut menyebabkan masyarakat
kehilangan akses dan berbagai macam haknya. Jika mengacu pada teori property
right dari ostrom dan schlager (1990), dapat dibedakan hak yang dimiliki oleh
masyarakat sebelum dan sesudah tahun 2003, sebagai berikut:
Tabel 9. Hak Masyarakat Kasepuhan Sebelum dan Sesudah Tahun 2003 Tipe hak (right) Sebelum tahun 2003 Sesudah tahun 2003
Access right Ya Tidak (ya tapi terbatas) Withdrawal right Ya Tidak
Management right Ya Tidak
Exclusion right Ya Tidak
Alienation/ diversion right Tidak Tidak
Sejak tahun 2003, masyarakat mulai kehilangan berbagai macam hak, hak
untuk mengelola hutan berdasarkan konsep mereka, hak untuk memanfaatkan
hasil hutan, bahkan terlarang untuk memotong pohon yang pernah mereka tanam
di lahan pekarangan mereka sendiri. Satu-satunya hak yang masih ada adalah hak
akses untuk memasuki kawasan hutan karena beberapa masyarakat terlanjur
bermukim di lokasi tersebut. Dalam kontek ini, kondisi Masyarakat Kasepuhan
menunjukkan bahwa mereka kehilangan berbagai macam hak, walaupun masih
ada akses untuk memasuki kawasan tapi sifatnya sangat terbatas. Ketiadaan hak
(property right) membuat akses juga terbatas. Konflik menjadi tidak terhindarkan
manakala kebijakan perluasan TNGHS tersebut menyebabkan Masyarakat
119
Kasepuhan kehilangan akses terhadap hutan, bahkan masyarakat kehilangan lahan
garapan mereka yang berada di dalam kawasan hutan taman nasional. Mereka
dilarang untuk mengerjakan lahan pertanian yang sudah lama dimiliki, padahal
hutan merupakan sumber livelihood masyarakat tersebut.
Kebijakan perluasan TNGHS dikeluarkan atas pertimbangan adanya
kerusakan lingkungan di kawasan tersebut. Selama tahun 1998-2001, hutan alam
berkurang 25% atau penurunan sebesar 22 ribu hektar. Penurunan ini diikuti
dengan peningkatan semak-semak, ladang dan lahan matang. Namun ternyata
hilangnya hak akses masyarakat terhadap pengelolaan kawasan hutan, tidak serta
merta memperbaiki kerusakan hutan, bahkan masih terjadi penurunan tutupan
lahan setelah tahun 2003 di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
disertai terjadinya peningkatan pada kawasan ladang, kebun campuran, semak-
semak termasuk lahan terbangun.
Pada tahun 2004-2007 terjadi penurunan tutupan hutan sebesar 2163,65 ha
dan penurunan tutupan semak yang cukup besar yaitu dari 16.386 ha menjadi
7.875,27 ha atau sebesar 8.510,73 ha. Penurunan tutupan hutan dan semak ini
diikuti oleh kenaikan pada tutupan kebun campuran seluas 4275,83 ha, tutupan
ladang sebesar 2.293 ha, tutupan lahan kosong sebesar 2737 ha dan tutupan lahan
terbangun seluas 1970 ha. Selama periode tahun 2007-2008, luas hutan alam di
kawasan TNGHS hanya sedikit mengalami penurunan, yaitu sebesar 0,06% atau
berkurang sebesar 136,44 ha. Namun terjadi kenaikan yang signifikan untuk luas
kebun teh sebesar 1,4%. Kenaikan ini diikuti dengan penurunan luas kebun
campuran sebesar 1,5% dan lahan kosong sebesar 1,32%. Selain itu, luas lahan
terbangun juga mengalami kenaikan sebesar 0,41%. Lebih jelasnya lihat gambar
berikut:
120
Grafik 1. Kondisi Hutan Selama Tahun 1989-2008 (Sumber: BTNGHS, 2010)
Masyarakat Kasepuhan tidak dapat menerima begitu saja kebijakan negara
tentang perluasan taman nasional. Kebijakan negara tersebut telah menghilangkan
hak akses masyarakat terhadap hutan, termasuk hilangnya akses pada lahan
garapan yang menjadi sumber livelihood mereka. Kondisi-kondisi tersebut
menyebabkan tumbuhnya kesadaran akan kepentingan tujuan bersama di antara
Masyarakat Kasepuhan (kelompok kuasi dalam istilah Dahrendorf). Masyarakat
Kasepuhan yang tadinya merupakan kelompok kuasi bergeser menjadi "kelompok
konflik" yang sesungguhnya. Konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan negara
(BTNGHS) pun menjadi tidak terhindarkan.
Salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan Masyarakat Kasepuhan
adalah tidak mengindahkannya perintah negara untuk penghentian aktivitas di
dalam kawasan TNGHS. Rahmawati et al. (2008) menyebutkan bahwa penolakan
masyarakat terhadap perluasan TNGHS pada awalnya melahirkan tindakan
anarkis berupa pengrusakan beberapa fasilitas di TNGHS oleh masyarakat yang
terjadi pada tahun 2003. Camat Cisolok kemudian memfasilitasi penyelesaian
konflik tersebut dengan memediasi pertemuan antara masyarakat dengan pihak
pengelola kawasan (BTNGHS). Hasil penting dari pertemuan tersebut adalah
penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan yang berjanji
akan merevisi peta kawasan. Meskipun sudah dicapai kesepakatan untuk meninjau
ulang peta kawasan namun kesepakatan itu tidak dilaksanakan oleh pihak
pengelola kawasan. Kegagalan negosiasi yang difasilitasi oleh camat tersebut
semakin memojokkan kondisi Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat berusaha
melawan dengan tidak mengindahkan larangan untuk melakukan aktivitas di
0.00
10,000.00
20,000.00
30,000.00
40,000.00
50,000.00
60,000.00
70,000.00
80,000.00
90,000.00
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1997 1998 2001 2003 2004 2007 2008
TAHUN
LU
AS
TU
TU
PA
N (
HA
)
Hutan
Hutan tanaman
Kebun campuran
Kebun karet
Kebun teh
Semak
Rumput
Sawah
Ladang
Lahan kosong
Lahan terbangun
Badan air
121
dalam kawasan. Kondisi ini kemudian melahirkan bentrokan antara masyarakat
dengan pihak BTNGHS pada tahun 2005. Konflik ini bermula dari penangkapan
terhadap warga yang mengambil kayu di dalam kawasan oleh pihak BTNGHS.
Alasan penangkapan adalah warga tersebut tidak memiliki surat izin tebang (SIT),
sedangkan menurut warga, mereka menebang pohon yang dulu mereka tanam
sendiri. Konflik ini akhirnya dapat diselesaikan oleh Kepala Desa Sirna Resmi,
namun warga yang menebang pohon di kawasan tersebut tetap dipenjara.
Dengan melihat kasus di atas menunjukkan bahwa konflik terjadi karena ada
pemaknaan yang berbeda atas sumberdaya hutan antara negara dan masyarakat
adat. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 24, bahwa
pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali
pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.
Menurut UU tersebut bahwa pemanfaatan hutan tidak dapat dilakukan pada
kawasan taman nasional khsusnya zona inti dan zona rimba. Sementara dalam
konsep Masyarakat Kasepuhan, bahwa dalam pengelolaan hutan memberi ruang
bagi masyarakat adat untuk melakukan aktivitas pengelolaan lahan garapan
sebagai sumber livelihood mereka. Perbedaan pemaknaan terhadap hutan tersebut
membuat terjadinya perbedaan perlakuan terhadap hutan. Hal tersebut menjadi
masalah ketika ada tumpang tindih klaim atas kawasan tersebut.
Dari beberapa fakta konflik di kawasan TNGHS, diketahui bahwa kekalahan
masyarakat dalam beberapa kejadian tersebut menunjukkan bahwa posisi
Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang tersubordinasi sementara negara pusat
(BTNGHS) sebagai pihak yang superordinat. Melalui kebijakan perluasan taman
nasional atas nama pelestarian lingkungan inilah negara menguasai
(menundukkan) Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat dipaksa untuk menerima
kebijakan negara atas alasan keselamatan lingkungan (biodiversity). Sekarang ini,
konflik di TNGHS memasuki babak “konflik laten” di ruang wacana, dimana
proses negosiasi sedang dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang dapat
memberikan keputusan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Hanya saja
konsensus tersebut belum dicapai.
122
5.1.b. Kasus Konflik Hutan Sungai Utik: Kebijakan Negara tentang
Pemanfaatan Hutan
Konflik di Sungai Utik melibatkan banyak pihak. Ada konflik antara negara
(pemerintah pusat) dengan masyarakat adat, konflik ini terjadi karena adanya
kebijakan negara dalam pemanfaatan kawasan hutan. Negara dengan
kebijakannya telah memberikan izin IUPHHK kepada pengusaha untuk
memanfaatkan hutan. Konflik terjadi karena kebijakan negara tentang IUPHHK
tersebut telah mengabaikan status kepemilikan hutan adat yang diklaim oleh
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.
Tahun 1984 pertama kalinya negara menerbitkan IUPHHK pada kawasan
Sungai Utik. Dalam konflik antara Masyarakat Dayak Iban dan negara, ada masa-
masa dimana konflik sangat memanas menjadi konflik terbuka, tetapi ada masa-
masa dimana konflik tidak kentara seakan-akan tidak pernah ada konflik. Konflik
pada Masyarakat Dayak Iban datang dan timbul, memanas kemudian mengalami
fase dingin (seperti virus dorman yang tidur menunggu waktu yang tepat untuk
bangun), suatu hari kembali bangun dan memanas. Sebagai bukti, tahun 1984
negara mengeluarkan IUPHHK untuk PT. BI, masyarakat melawan kebijakan
negara tersebut dengan cara memerangi perusahaan yang datang ke lokasi. Negara
dan perusahaan pergi dari lokasi, suasana kembali tenang, tidak ada aktivitas
perusahaan di lokasi tetapi izin tidak pernah dicabut.
Konflik kembali muncul ketika di tahun 1997 negara mengeluarkan kembali
IUPHHK untuk PT. BRU. Akibat dari aksi negara tersebut, PT. BRU sempat
beroperasi selama 1 (satu) tahun di kawasan Mungguk. Konflik terbuka antara
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan PT. BRU terjadi pada tahun 1997-1998,
dipicu ketika PT. BRU yang telah habis masa rencana kerja tahunan (RKT) masih
melakukan pencurian kayu (menurut versi Masyarakat Dayak Iban) di wilayah
Sungai Utik dan di luar areal RKT kawasan hutan Dusun Mungguk. Pihak
perusahaan menutup jalan-jalan menuju areal yang ditebang sehingga aktivitas
penebangan tersebut tidak diketahui oleh Departemen Kehutanan dan masyarakat
adat. Saat mengetahui hal itu, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan
Masyarakat Mungguk memeriksa areal penebangan, lalu melapor ke Dinas
Kehutanan. Masyarakat dari Kampung Sungai Utik dan Mungguk melakukan
123
tuntutan ganti kerugian. Perusahaan memenuhi tuntutan dengan 1 mesin listrik 0,5
KVA serta pemberian fee kepada tokoh-tokoh kampung sesuai dengan
jabatannya. Temenggung dan Kepala Desa memperoleh Rp. 25.000/bulan,
sedangkan Kepala Dusun memperoleh Rp. 15.000/bulan selama perusahaan
bekerja (berlaku surut). Setelah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan
Masyarakat Mungguk serta Ketemenggungan Jalai Lintang berhasil mengusir PT.
BRU, menyita alat-alat berat dan menghukum denda PT. BRU, konflik ditingkat
grassrootpun mereda. Sementara, kerugian yang dialami masyarakat adalah
kehilangan kayu mencapai 20.000 batang terdiri dari; Meranti, Jelutung,
Merebang, Sempetir, Bantas dan Temau.
Konflik muncul kembali di tahun 2004 ketika negara menerbitkan IUPHHK
bagi PT. BRW berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 268/Menhut-II/2004
jangka waktu 45 tahun pola tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) dengan luas
areal 110.500 ha. Menanggapi keputusan negara masyarakatpun tidak tinggal
diam, mengusir PT. BRW dari lokasi, menyita alat-alat berat milik PT. BRW dan
menjaga kawasan hutan sehingga PT. BRW tidak pernah aktif untuk menjalankan
izin usahanya.
Dalam perjuangannya mempertahankan hak penguasaan atas kawasan
Hutan Sungai Utik, Masyarakat Dayak Iban menggunakan kekuatan fisik untuk
mengusir pengusaha dan mempertahankan otoritasnya atas pengelolaan kawasan
Hutan Sungai Utik. Dalam konflik fisik tersebut masyarakat berhasil mengusir
pengusaha dari lokasi kawasan hutan. Sementara negara selaku pemegang
legalitas atas kawasan hutan tersebut juga tidak melakukan usaha represif untuk
menunjukkan kekuasaannya, namun negara juga tidak pernah mencabut
IUPHHKnya. Kekuasaan negara seakan-akan tidur, potensi konflik melemah,
masyarakat dibiarkan mendapatkan hak akses atas hutannya, namun tidak pernah
ada pengakuan dari negara atas hak kelola adat, izin IUPHHK juga tidak dicabut.
Konflik memasuki babak baru sebagai konflik laten di ruang wacana.
Jika melihat kasus Sungai Utik, maka sekalipun secara formal Masyarakat
Dayak Iban Sungai Utik tidak memiliki property right menurut konsep negara,
namun mereka memiliki akses terhadap kawasan tersebut termasuk mempunyai
semua hak: akses, withdrawal, management, exclusion dan hak alienasi. Sebelum
124
maupun sesudah terbitnya kebijakan negara, baik kebijakan pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah terhadap kawasan tersebut, Masyarakat Dayak Iban
Sungai Utik tetap memiliki hak dan akses yang sama.
Sekalipun dalam prakteknya mereka memiliki akses terhadap sumberdaya
hutan, artinya mereka mempunyai kemampan untuk mengambil keuntungan dari
sumberdaya Hutan Sungai Utik, ketiadaan pengakuan negara atas hak masyarakat
tersebut tidak membuat masyarakat hidup tenang. Masyarakat masih diliputi
kecemasan, apalagi izin IUPHHK untuk PT. BRW belum dicabut sampai saat ini,
bahkan jikapun suatu hari dicabut, masyarakat tetap belum bisa hidup tenang,
karena ada ketakutan di kalangan masyarakat bahwa negara akan kembali
menerbitkan izin IUPHHK untuk perusahaan lain.
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh tuai rumah tersebut, maka
sekalipun menurut Ribot dan Peluso (2003) akses membuat masyarakat dapat
memperoleh manfaat atas sesuatu dalam hal ini sumberdaya, namun tanpa ada hak
property, maka akses itu tidak memberikan ketenangan hidup. Apa yang
diperjuangakan oleh Masyarakat Dayak Iban adalah hak (right), bukan hanya
akses. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa right itu lebih penting daripada
akses, karena right dapat menjamin kelangsungan akses.
Sejarah membuktikan konflik selalu berulang menjadi konflik terbuka,
kemudian padam, menjadi konflik laten sampai suasana menjadi dingin dan
terlupakan, pada saat itulah kembali negara mengeluarkan kebijakannya, konflik
berulang dan seterusnya. Konflik mereda namun bersifat laten, seperti orang yang
sedang tidur, namun suatu ketika konflik akan muncul kembali. Jika mengacu
pada apa yang dikemukakan oleh Dahrendorf, bahwa konflik pada kawasan
Sungai Utik ini merupakan konflik otoritas, dimana polarisasi yang terus menerus
Seperti yang dikemukakan oleh Apai janggut (Tuai Rumah Sungai Utik): “Sekalipun suatu hari izin tersebut dicabut, namun dikawatirkan pemerintah pusat akan selalu mengeluarkan izin baru bagi perusahaan baru. Buktinya waktu tahun 1984 pemerintah mengeluarkan izin untuk PT BI, kemudian kami mengusirnya, PT BI keluar dari lokasi, kemudian setelah sekian lama izinnya dicabut tapi di tahun 1997 pemerintah mengeluarkan izin untuk PT BRU, dan di tahun 2004, pemerintah mengeluarkan izin lagi buat PT BRW. Selama hutan ini belum diakui sebagai hutan adat, maka selama itu pula percobaan untuk mengambil alih hutan oleh negara akan selalu dilakukan. Oleh karena itu tuntutan kami adalah mendapat pengakuan sebagai hutan adat”
125
ke dalam dua kelompok kepentingan untuk perebutan otoritas atas penguasaan
sumberdaya Hutan Sungai Utik menjadi sebuah realitas sosial yang menandai
siklus konflik otoritas di Hutan Sungai Utik.
Dalam vis a vis dengan negara, negara memegang otoritas secara formal,
sementara masyarakat mempunyai otoritas kewenangan tradisional. Masyarakat
sebetulnya tidak punya otoritas dan berjuang untuk memperoleh otoritas. Dalam
perjuangan untuk mendapatkan otoritas pengelolaan sumberdaya hutan ini,
masyarakat bisa dikatakan menang sementara karena tetap memegang otoritas
mengelola secara adat, meskipun secara formal belum menang karena belum ada
pengakuan formal.
Konflik sumberdaya hutan di Kalimantan Barat tersebut masih akan terus
berlangsung, mengingat Hutan Kalimantan Barat masih menjadi incaran sebagai
pendapatan negara disektor kehutanan. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia Nomor: SK.266/Menhut-II/2012 tentang Penetapan Daerah
Penghasil dan Dasar Penghitungan Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam Sektor
Kehutanan Untuk Tahun 2012 disebutkan bahwa daerah penghasil sumberdaya
alam sektor kehutanan ditetapkan kembali berdasarkan rencana produksi hasil
hutan di daerah yang bersangkutan dengan perhitungan penerimaan provisi
sumberdaya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), dan iuran izin usaha
pemanfaatan hutan (IIUPH) tahun 2012. Selanjutnya disebutkan penghitungan
penerimaan daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan adalah: a.
Perkiraan penerimaan PSDH, dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dan
bukan kayu dikalikan tarif PSDH yang berlaku dikalikan harga patokan. b.
Perkiraan penerimaan DR, dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dikalikan
tarif DR yang berlaku. c. Efektivitas penerimaan PSDH dan DR diasumsikan
sebesar 95 % (sembilan puluh lima) perseratus. Penyaluran dana bagi hasil bagi
daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan berdasarkan realisasi setoran
penerimaan PSDH dan DR dari masing-masing daerah penghasil ke pemerintah
u.p. Kementerian Kehutanan yang selanjutnya disetor ke kas negara. Dalam
lampiran Keputusan tersebut diperoleh angka target pendapatan untuk Kabupaten
Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, bahwa pendapatan dari PSDH sebesar
Rp. 9.113.156.058,13; pendapatan dari DR sebesar Rp. 19.976.713.178,52 dan
126
pendapatan dari IIUPH sebesar Rp. 1.176.350.000,00. Keberadaan SK Menteri
Kehutanan tersebut memberi makna bahwa konflik sumberdaya hutan di
Kalimantan Barat masih akan terjadi dan terus berlangsung, menempatkan
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam kondisi cemas sebagai kelompok
konflik yang subordinat.
Ancaman lain atas keberadaan Hutan Sungai Utik ini, yaitu diterbitkannya
izin usaha perkebunan (IUP). IUP tersebut diterbitkan untuk PT. MKA, PT.
BSA, PT. RU, PT. BTJ dalam jangka waktu 20 tahun yang lokasinya tumpang
tindih dengan IUPHHK PT. BRW. Penerbitan izin usaha perkebunan (IUP) PT.
RU untuk perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010
tentang Izin Lokasi Untuk Perkebunan Karet Seluas 14.000 Ha di Kecamatan
Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, telah dirubah peruntukannya
menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/Bpt-A tentang
Persetujuan IUP Perubahan Dari Karet Menjadi Kelapa Sawit, tertanggal 10
januari 2011.
PT. RU telah melakukan analisa dampak lingkungan (amdal) dan mencoba
sosialisasi pada Masyarakat Embaloh Hulu, namun masyarakat menolak sawit.
Perjuangan penolakan sawit ini masih terus dilakukan. Sungai Utik kemungkinan
dikeluarkan dari sasaran sebagai lokasi perkebunan sawit karena memiliki
sertifikat ekolabel dari lembaga ekolabel Indonesia dengan nomor certificate
08/SCBFM/005 yang diberikan untuk pengelolaan hutan oleh rumah panjae
Menua Sungai Utik (forest management unit of rumah panjae Menua Sungai
Utik), dalam lingkup “Sustainable Community Based Forest Management
(SCBFM) unit with an area of 9.453,40 hectares”; dan termasuk desa yang
mendapat penghargaan sebagai “Desa Perduli Hutan”, walaupun sebenarnya
secara kebijakan, Hutan Sungai Utik masuk dalam peta kawasan IUP tersebut.
Dari fakta di atas terlihat bahwa konflik di Sungai Utik melibatkan banyak
pihak, yaitu: negara pusat (pemerintah pusat/ Departemen Kehutanan),
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, negara lokal (pemerintah daerah), pengusaha
yang berafiliasi dengan pemerintah pusat dan pengusaha yang berafiliasi dengan
pemerintah daerah. Selain itu, diluar lingkaran konflik ada LSM yang membantu
Masyarakat Dayak Iban dalam menghadapi negara, memperjuangkan kepentingan
127
dan hak masyarakat. Konflik sumberdaya hutan tersebut terjadi karena perbedaan
pemaknaan terhadap hutan dan tumpang tindih kebijakan dan klaim penguasaan
atas kawasan hutan.
5.2. Jenis Konflik: Pemaknaan, Tenurial, Authority dan Livelihood
5.2.a. Konflik Pemaknaan
Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik dapat
dipahami sebagai konflik pemaknaan. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan
pandangan terhadap fungsi hutan antara masyarakat adat dan negara. Perbedaan
pemaknaan tersebut dilatar-belakangi adanya perbedaan pengetahuan tentang tata
kelola hutan, relasi manusia dengan alam (hutan) dan bagaimana manusia
memperlakukan alam, baik dalam hal pengelolaan maupun pemanfatan hutan.
Pengetahuan masyarakat adat, baik Masyarakat Kasepuhan maupun Dayak Iban
Sungai Utik bersumber dari tradisi budaya berdasarkan aspek historis yang
diturunkan secara turun temurun berbenturan dengan konsep pengetahuan ilmiah
negara yang mendasari kebijakan negara dalam pengelolaan hutan.
Masyarakat Kasepuhan memaknai hutan sebagai tempat hidup berbagai
makhluk hidup, bukan hanya manusia, tetapi juga ada banyak binatang, tumbuhan
dan tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Hutan bagi Masyarakat
Kasepuhan memiliki fungsi dan makna yang sangat berarti bagi seluruh makhluk
hidup. Keberadaanya harus dapat menjamin keteraturan dan keseimbangan
kehidupan seluruh makhluk hidup. Pemaknaan tersebut ditopang dengan adanya
sejumlah aturan untuk tidak menggunakan zat-zat kimia yang dapat membunuh
keberadaan makhluk lain (binatang), sekalipun binatang tersebut merupakan hama
perusak bagi tanaman mereka. Oleh karena itu dalam konsep Masyarakat
Kasepuhan, manusia memiliki kewajiban untuk memelihara dan melestarikan
hutan. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kusnaka Adimiharja (1989),
bahwa di kalangan warga Kasepuhan, terdapat pandangan bahwa alam semesta itu
sebagai suatu sistem yang teratur dan seimbang. Alam semesta akan tetap ada
selama elemen-elemennya masih terlihat dan terkontrol oleh hukum keteraturan
dan keseimbangan yang dikendalikan oleh pusat kosmiknya.
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memandang hutan memiliki banyak
makna sesuai fungsi dari hutan tersebut. Makna dari hutan tersebut diwujudkan
128
dalam bentuk pemaknaan tempat didalam hutan sesuai dengan fungsinya.
Masyarakat Dayak Iban memandang hutan sebagai sebuah kawasan yang tidak
hanya terdiri dari vegetasi tumbuhan kayu melainkan juga hutan memiliki fungsi
sebagai sumber air, sumber makanan dan tempat dimana mereka dapat bertapa
untuk mendekatkan diri pada “betara” sang penguasa hutan dan alam semesta.
Selanjutnya hutan bagi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik adalah kekayaan
masyarakat. Hutan Sungai Utik merupakan hutan primer yang masih banyak
kayu-kayu berdiameter besar, bukan hanya di hutan simpan, kayu-kayu dengan
diameter lebih dari satu meter juga terdapat di lahan garapan masyarakat. Hutan
ini nantinya akan diwariskan kepada anak-cucu Masyarakat Dayak Iban Sungai
Utik, sebagaimana dikemukakan oleh Ape Janggut bahwa: “Meskipun tidak
mempunyai harta/ materi yang banyak, tapi kami akan mewariskan hijaunya hutan
kepada anak cucu nantinya. Kami mempertahankan hutan karena kami tidak ingin
kelak anak-cucu kami tidak tahu apa-apa”.
Dalam sistem pengelolaan kawasan, baik Masyarakat Kasepuhan maupun
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki pengetahuan, nilai-nilai budaya dan
tradisi yang khas yang selama bertahun-tahun secara turun temurun telah
digunakan untuk mengatur dan mengelola kawasan hutan berdasarkan
pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tentang tata kelola hutan yang mereka
bagi dalam beberapa zona. Masyarakat Kasepuhan membaginya dalam 4
wewengkon, yaitu: leuweung titipan, leuweung tutupan, leuweung cawisan dan
leuweung garapan. Sedangkan Masyarakat Dayak Iban membaginya dalam tiga
kampong yaitu kampong taroh, kampong galao, dan kampong endor kerja. Sistem
pengelolaan tersebut berdasarkan atas fungsi dari masing-masing kawasan,
sebagai wilayah lindung (keramat); bertani (ladang); berkebun, dan berdasarkan
pada peruntukan yaitu berburu, meramu dan mengambil manfaat tanaman obat-
obatan. Tata kelola hutan dalam konsep masyarakat adat tersebut bukan hanya
sekedar konsep zonasi, namun merupakan sistem pengetahuan karena basis dari
pengetahuan masyarakat tersebut adalah sejarah.
Adapun pemaknaan hutan menurut negara dipengaruhi oleh sistem
pengetahuan negara yang bersumber dari pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge). Peraturan perundang-undangan adalah wujud dari pengetahuan
129
ilmiah. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati Dan Ekosistemnya, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Sementara itu, berdasarkan
UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 28 bahwa (1) pemanfaatan hutan produksi dapat
berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,
izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang
Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi Pasal 1,
bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi
hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya
untuk pembangunan, industri dan eksport.
Selanjutnya dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.18/Menhut-II/2004 disebutkan bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan
yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Kawasan hutan
produksi adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Lebih lanjut, untuk
memperoleh izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan
kegiatan restorasi ekosistem perlu adanya kriteria kawasan hutan produksi yang
dapat diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan
kegiatan restorasi ekosistem.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, diketahui bahwa negara
memaknai hutan sebagai sumber ekonomi, sementara itu masyarakat memaknai
hutan sebagai ruang kehidupan. Pengetahuan memberi kekuasaan kepada para
pihak untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya hutan. Pemaknaan dari
negara atas hutan cenderung mendominasi pemaknaan masyarakat atas hutan,
130
karena negara memainkan UU sebagai alat kekuasaan, sementara masyarakat
dipaksa untuk mematuhi aturan yang datang dari negara sebagai konsekuensi
warga negara Indonesia.
Baik tentang konservasi hutan maupun pemanfaatan hutan, pengetahuan
negara didukung oleh kekuatan kekuasaan politik dan kelembagaan yang secara
legitimasi memberikan kekuatan kepada negara untuk mempengaruhi bahkan
mendominasi sistem pengetahuan tradisional yang dianut oleh masyarakat adat.
Dominasi sistem pengetahuan negara atas masyarakat adat melahirkan perilaku
perlawanan dari masyarakat melalui perjuangan di ruang pengetahuan, antara lain
pada arena seminar, pertemuan ilmiah, negosiasi dan kesepakatan-kesepakatan
yang dibangun. Dalam konteks seperti ini, maka pendekatan Foucault digunakan
untuk melihat bagaimana konstelasi kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan
hutan dimainkan, dimana pengetahuan dipandang sebagai kekuasaan. Melalui
politik mikro kekuasaan, dapat dilihat bagaimana negara dengan pengetahuan
modern berusaha mengkooptasi pengetahuan masyarakat dan meyakinkan
masyarakat bahwa pengetahuan negara mampu menjawab berbagai permasalahan
di sekitar hutan, melalui kelembagaan negara dan berbagai ruang komunikasi
yang telah diintroduksir kepada masyarakat adat.
5.2.b. Konflik Tenurial
Pengetahuan dan pemaknaan atas tata kelola hutan di dua kawasan hutan
(TNGHS dan Hutan Sungai Utik) melahirkan klaim penguasaan atas hutan. Klaim
atas penguasaan lahan inilah yang melahirkan konflik tenurial, yaitu konflik atas
tanah, dimana tanah (termasuk konsesi, perkebunan, kawasan lindung, kawasan
masyarakat subsisten) selalu menemukan diri mereka dalam situasi konflik atas
penguasaan tanah dan sumberdaya hutan. Konflik tenurial dalam kawasan hutan
selama ini terjadi akibat adanya klaim penguasaan lahan oleh negara dan
masyarakat. Klaim penguasaan lahan oleh negara didasarkan atas peraturan
perundang-undangan, sedangkan masyarakat adat mengklaim penguasaan lahan/
hutan berdasarkan hukum adat/ ulayat.
Dalam konsep negara, adanya dualisme system pertanahan yaitu system
pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan. Tanah
dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal
131
33 Ayat (3) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Undang-undang tersebut memberi makna bahwa tanah dan
kekayaan di dalamnya adalah dalam penguasaan negara.
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria Pasal 4 Ayat (1) bahwa atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. (2) hak-hak atas tanah
yang dimaksud memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya,
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam pasal 5
disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan
dengan peraturan-perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Sementara itu, dalalm UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 4
Ayat (1), bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam Pasal 4 Ayat (3), bahwa
penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa
hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara, dan hutan hak. Hutan
negara dapat berupa hutan adat, dimana hutan adat ditetapkan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang
132
bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada
pemerintah.
Dualisme system pertanahan menurut UUPA dan menurut UU Kehutanan
ini memberikan hak penguasaan atas tanah kawasan hutan pada sistem
penguasaan lahan menurut negara (pemerintah) dan masyarakat adat. Namun
demikian disebutkan bahwa hak penguasaan oleh masyarakat adat tersebut diakui
selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara dan selama
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya
Faktanya, pada kawasan hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, berlaku
dua sistem penguasaan lahan, yaitu sistem penguasaan lahan menurut negara dan
masyarakat. Secara de jure kawasan hutan berada dalam penguasaan negara,
namun secara de facto dikuasai oleh masyarakat yang secara turun temurun
tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Klaim wilayah
menurut masyarakat adat ditentukan berdasarkan aspek historis, sebagai berikut:
Matrik 2. Klaim Wilayah Menurut Masyarakat Adat Kasepuhan dan Dayak Iban
Sungai Utik
TNGHS Sungai Utik Aktor lokal Masyarakat Kasepuhan Masyarakat Dayak Iban Sungai
Utik Lamanya tinggal di kawasan
Sejak 634 tahun yang lalu
Sejak 1972
Penanda klaim atas wilayah adat
Makam keramat nenek moyang
Tembawai (bekas rumah panjang)
Penanda klaim atas kepemilikan individual
Ladang dan bekas bukaan ladang
Ladang dan bekas bukaan ladang/ ladang yang ditinggalkan (damun)
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa Masyarakat Kasepuhan sudah ada
di lokasi sejak 634 tahun yang lalu sejak perpindahan pertama komunitas
Kasepuhan dari jasinga ke bogor. Adapun sejarah penguasaan wilayah Sungai
Utik oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif masih baru sejak 1972.
Sebelumnya suku Dayak Iban tersebut berasal dari Lanjak tahun 1800-an, tercatat
ada 12 tembawai (bekas rumah panjang) sebelum sampai di Dusun Sungai Utik.
Sebelum tahun 1972, wilayah Sungai Utik dikuasai oleh Dayak Embaloh,
selanjutnya wilayah tersebut diberikan dari Suku Embaloh kepada Dayak Iban
dengan sebuah perjanjian adat (lihat bab 4).
133
Dalam kepemilikan tanah menurut adat, ada yang disebut kepemilikan
kolektif, ada kepemilikan individu. Kepemilikan kolektif adalah kepemilikan adat,
yaitu apa yang disebut sebagai kepemilikan adat atau tanah ulayat. Adapun
kepemilikan individu ini baik di Masyarakat Kasepuhan maupun pada Masyarakat
Dayak Iban Sungai Utik ditandai dengan bekas ladang. Orang yang pertama kali
membuka ladang, maka dialah yang akan menjadi pemilik lahan tersebut. Bekas
ladang dalam istilah Dayak Iban disebut “damun”. Baik kepemilikan kolektif
maupun kepemilikan individu, tanah tersebut disebut tanah adat atau tanah dalam
penguasaan adat.
Masalahnya klaim tanah oleh masyarakat adat tersebut tidak memiliki bukti
hitam diatas putih (sertifikat), melainkan hanya aspek kesejarahan. Klaim tersebut
akan berbenturan dengan klaim oleh negara selaku penguasa seluruh tanah
berdasarkan peraturan perundang-undangan negara. Berdasarkan UUPA Pasal 19
Ayat (1), bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-
ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Hal tersebut bermakna bahwa
semua tanah harus terdaftar. Tanah tanpa judul diasumsikan milik negara
(MacAndrews, 1986). Artinya bahwa tanah tanpa sertifikat diakui sebagai tanah
negara.
Dengan demikian, konflik sumberdaya hutan pada TNGHS dan Hutan
Sungai Utik menunjukkan adanya konflik atas tanah dan sumberdaya hutan
dimana masing-masing pihak mengklaim bahwa tanah dan sumberdaya hutan
tersebut merupakan miliknya. Negara mengklaim bahwa kawasan hutan tersebut
sebagai hutan negara, TNGHS sebagai hutan konservasi sedangkan Hutan Sungai
Utik sebagai hutan produksi. Adapun masyarakat adat juga mengklaim bahwa
kawasan tersebut sebagai kawasan hutan adat. Oleh karena itu, konflik pada
Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dapat disebut
juga sebagai konflik tenurial.
Konflik tenurial ini terjadi berawal dari adanya politik teritorialisasi.
Melalui perspektif historis dapat dijelaskan teritorialisasi kawasan hutan yang
bermula dari sistem lokal yang dijalankan masyarakat hingga masuknya politik
teritorialisasi yang diperkenalkan pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia
134
merdeka. Realitas konflik sumberdaya hutan sebagai politik teritorialisasi pernah
dikemukakan juga oleh Maring (2010) dalam melihat masyarakat sekitar Gunung
Noge. Sama halnya dengan apa yang terjadi di Masyarakat Lerokloang Flores
NTT (Maring, 2010), bahwa sistem teritorialisasi yang dijalankan Masyarakat
Kasepuhan di TNGHS dan Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik bisa dilihat
dalam dua hal, yaitu sejarah teritorialisasi sistem penguasaan tanah dan
teritorialisasi penguasaan atau pemanfaatan sumberdaya alam.
Matrik 3. Teritorialisasi Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban
Sungai Utik TNGHS Sungai Utik Sistem penguasaan tanah
Sistem penguasaan tanah adat dan penguasaan individu.
Sistem penguasaan tanah adat dan penguasaan individu.
Pemanfaatan sumberdaya alam
Melalui konsep zonasi menurut adat
Melalui konsep zonasi menurut adat
Berdasarkan tabel di atas, bahwa sistem penguasaan tanah pada Masyarakat
Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik terdiri atas dua sistem
penguasaan tanah yaitu penguasaan tanah adat dan penguasaan tanah individu.
Adapun sistem pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan melalui konsep zonasi
menurut adat. Masyarakat Kasepuhan membagi hutan ke dalam 4 wewengkon
(zonasi) yaitu leuweung titipan, leuweung tutupan, leuweung cawisan dan
leuweung garapan, sedangkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik membagi
hutan kedalam 3 kawasan yaitu kampong taroh, kampong galao dan kampong
endor kerja. Setiap zona tersebut mencerminkan adanya hak, kewajiban dan
larangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat.
Adapun hak yang dimiliki masyarakat dapat didentifikasi sebagai berikut:
hak penggunaan kawasan baik untuk nilai ekonomi langsung maupun tidak
langsung; hak meminjamkan atau mengalihkan kepemilikan; mekanisme kontrol
atas penggunaan hak; kewajiban dan larangan bagi setiap individu yang terikat
atas hak tersebut; dan simbol-simbol adat yang menandai adanya kepemilikan atas
sumberdaya hutan. Dikedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban
Sungai Utik memperlihatkan bahwa hak kepemilikan tidak didasarkan atas
pemberian negara atau dokumentasi formal, namun lebih memperlihatkan suatu
perkembangan dinamis di tingkat lokal. Bagaimana masyarakat sepanjang sejarah
135
penguasaan atas tanah dan sumberdaya hutan tersebut mengembangkan
pengetahuan dan norma-norma yang memberi hak, kewajiban dan larangan bagi
masyarakatnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
Bila dilihat dari aspek kesejarahan, dapat dikemukakan bahwa dalam sejarah
TNGHS, terjadi beberapa kali tumpang tindih klaim pengusaan tanah oleh
pemerintah dari mulai Zaman Hindia Belanda sampai masa Indonesia merdeka,
dengan klaim oleh Masyarakat Adat Kasepuhan. Pengalaman pada Masyarakat
Kasepuhan menunjukkan bahwa sejak masa penjajahan telah terjadi perampasan
tanah-tanah masyarakat untuk kepentingan negara. Selanjutnya negara membatasi
ruang gerak masyarakat dengan menyediakan tanah-tanah yang diperuntukkan
untuk huma, namun dalam statusnya tanah tersebut merupakan tanah negara.
(lihat Zwart, 1924: 33, Thieme, 1920 dalam Galudra et al., 2005).
Beberapa kali Masyarakat Kasepuhan kehilangan hak atas tanah. Sampai
pada akhirnya di tahun 1957, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.
64 Tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat
Dilapangan Perikanan Laut, Kehutanan dan Karet Rakyat Kepada Daerah-Daerah
Swatantra Tingkat I, yang menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan serta
eksploitasinya, terutama di Jawa dan Madura, diserahkan kepada Pemerintah
Daerah Swatantra. Selanjutnya dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 64
Tahun 1957 disebutkan bahwa pemerintah daerah mengatur pemberian izin
kepada penduduk yang tinggal di sekitar hutan yang bersangkutan untuk
mengambil kayu dan hasil hutan lainnya untuk dipergunakan sendiri oleh
penduduk termaksud. Berdasarkan PP tersebut, maka pada masa ini negara
(pemerintah daerah) mengizinkan masyarakat lokal melakukan aktivitas di
kawasan Gunung Halimun Salak, dengan mewajibkan masyarakat tersebut
memberikan sebagian hasil panennya (kabubusuk) kepada pemerintah daerah.
Keputusan pemerintah daerah tersebut menandai adanya kesepakatan antara
pemerintah (negara) dengan masyarakat, dimana masyarakat mengakui adanya
“right” negara di kawasan tersebut, namun mereka pun memiliki “akses” terhadap
hutan, baik untuk kegiatan ekonomi livelihood, maupun untuk tradisi budaya adat
Kasepuhan yang mengelola hutan melalui konsep pengetahuan lokal tentang
“wewengkon”.
136
Ketika di tahun 1992, negara melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 282/Kpts-II/1992, merubah status hutan cagar alam (Gunung Halimun)
Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun seluas 40.000 hektar. Di luar kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun, pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani dan
berstatus sebagai hutan produksi. Pada masa ini, masyarakat masih diizinkan
untuk melalukan aktivitas didalam kawasan hutan, mengelola hutan bersama-sama
dengan Perum Perhutani, dengan memberikan sebagian hasil panen 15-25%
kepada Perum Perhutani. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat mengakui
“right” negara, selama mereka memiliki “akses” terhadap hutan, baik untuk
kegiatan ekonomi livelihood maupun untuk tradisi budaya dalam pengelolaan
kawasan hutan berdasarkan pengetahuan lokal.
Pada tahun 2003 negara menerbitkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-
II/2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Dan
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan
Produksi Terbatas Pada Kelompok Hutan Gunung Halimun Dan Kelompok Hutan
Gunung Salak Seluas 113.357 Hektar Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak. Berdasarkan SK tersebut, semua kawasan Gunung Halimun Salak menjadi
taman nasional. Dasar pertimbangan diterbitkannya SK ini adalah kerusakan
hutan pada kawasan pengelolaan oleh Perum Perhutani dan masyarakat adat.
Sejak saat itu Masyarakat Kasepuhan bukan hanya kehilangan “right”, melainkan
juga kehilangan akses. Kondisi ini tentu saja akan menempatkan negara dan
masyarakat pada situasi konflik.
Masyarakat Kasepuhan selalu terlibat dalam konflik dengan negara sejak
dulu, sejak zaman penjajahan, namun konflik selalu mereda ketika masyarakat
mempunyai akses terhadap tanah untuk kepentingan livelihood dan akses terhadap
pengaturan hutan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakatnya. Sekalipun
mereka kehilangan hak (property right) atas tanah tersebut, selama memiliki akses
terhadap kawasan, masyarakat dapat menerima keberadaan kepemilikan yang
diklaim oleh negara. Ribot dan peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai
kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu, dalam hal ini sesuatu
tersebut adalah sumberdaya hutan. Namun ketika aksespun tidak ada maka konflik
menjadi tidak terelakkan.
137
Sejarah penguasaan kawasan Hutan Sungai Utik berbeda dengan TNGHS.
Penguasaan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di kawasan Hutan Sungai Utik
baru dimulai sejak tahun 1972. Masyarakat Dayak Iban mewarisi kawasan
tersebut dari Suku Dayak Embaloh. Tahun 1984, tahun 1997, tahun 2004 menjadi
momentum penting dalam sejarah penguasaan kawasan hutan oleh negara. Pada
tahun-tahun tersebut terjadi konflik fisik secara terbuka antara Masyarakat Dayak
Iban Sungai Utik dengan pengusaha (yang mengantongi izin IUPHHK dari
negara) sebagai reaksi masyarakat atas kebijakan negara. Sekalipun masyarakat
berhasil mengusir pengusaha dari lokasi, namun konflik tenurial tidak pernah
reda. Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan “right” tidak pernah berhenti.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa sekalipun jangka waktu penguasaan atas
tanah dan Hutan Sungai Utik belum lama (sejak tahun 1972), namun sejarah
membuktikan bahwa keberadaan mereka di kawasan tersebut sangat dominan.
Mereka memiliki semua hak akses terhadap hutan. Bahkan keberadaan kebijakan
pemerintah (baik pusat maupun daerah) tidak mampu mengeluarkan masyarakat
dari kawasan tersebut. Sekalipun secara formal mereka tidak memiliki property
right, namun mereka mempunyai akses. Mereka mempunyai ability untuk
mengelola dan mengambil manfaat dari kawasan hutan.
Menurut ribot dan peluso (2003), dengan memfokuskan pada kemampuan
(ability) dari pada right sebagaimana dalam theory property, formulasi ini
membawa perhatian pada berbagai hubungan sosial yang dapat memaksa atau
memungkinkan masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya tanpa
memfokuskan pada hubungan property saja. Artinya sekalipun Masyarakat Dayak
Iban tidak memiliki property right (dalam konsep negara) tetapi mereka
mempunyai akses terhadap hutan. Akses adalah lebih mirip dengan bundle power
(ikatan kekuasaan) ketimbang property yang merupakan suatu ikatan right
(bundle of right). Sehingga bagaimanapun juga hak kepemilikan merupakan hal
yang penting bagi kedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban dalam
rangka menjamin kelangsungan akses. Sebagaimana diakui oleh Bromley (1998;
200), McCay dan Acheson (1987), Lynch & Harwell (2006) bahwa hak
kepemilikan merupakan faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya alam.
138
5.2.c. Konflik Authority (Konflik Otoritas)
Klaim atas penguasaan kawasan memberi otoritas kepada masing-masing
aktor untuk mengelola dan memanfaatkan hutan. Keberadaan tumpang-tindih
klaim atas kawasan hutan oleh masing-masing aktor menunjukkan adanya otoritas
aktor yang saling berhadapan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya konflik
otoritas. Konflik otoritas ini melibatkan kelembagaan sebagai alat otoritas.
Otoritas inilah yang menjadi legitimasi masing-masing pihak yang saling
berhadapan. Semua pihak mengklaim bahwa sumberdaya hutan tersebut adalah
wilayah otoritasnya. Wujud kekuasaan muncul dalam bentuk institusi dan aktor.
Melalui institusi inilah kekuasaan aktor bekerja. Dalam kasus konflik sumberdaya
hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, setidaknya terdapat dua otoritas yang
saling berhadapan yaitu otoritas negara dan otoritas masyarakat.
Masyarakat mengklaim memiliki otoritas atas kawasan hutan, dimana
dengan pengetahuan lokalnya selama turun temurun masyarakat telah hidup
bersama hutan. Hutan menjadi ciri penanda dari teritori masyarakat adat. Dengan
kata lain hutan adalah bagian dari ciri kekuasaan masyarakat adat atas kawasan
tersebut, atau dapat juga dikatakan bahwa hutan menjadi penanda otoritas
masyarakat adat atas kawasan tersebut. Ketika negara menetapkan kawasan
tersebut sebagai kawasan hutan negara melalui kebijakan konservasi ataupun
kebijakan IUPHHK, sebenarnya negara sedang menandai kawasan tersebut
sebagai wilayah teritorinya. Dengan kata lain menandai adanya otoritas negara
yang bekerja pada kawasan tersebut. Otoritas negara atas pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya hutan ditandai dengan adanya kelembagaan baru yang
diterbitkan oleh negara, berupa kebijakan negara dalam pengelolaan dan
pemanfaatan hutan. Ketika ada dua otoritas yang bekerja pada satu kawasan, maka
konflik pun menjadi tidak terhindarkan. Konflik terjadi karena adanya perebutan
otoritas antara pihak negara selaku pemilik formal otoritas atas sumberdaya hutan
dengan masyarakat adat. Otoritas negara diperoleh berdasarkan peraturan
perundang-undangan, sedangkan otoritas masyarakat diperoleh berdasarkan tradisi
budaya dan historis yang diwariskan secara turun temurun.
Pada kasus Hutan Sungai Utik, aktor negara dengan otoritas yang formal
yang dimilikinya telah memberikan otoritas pemanfaatan hutan pada pengusaha,
139
sehingga pada kasus Sungai Utik konflik otoritas tersebut berada pada dua level,
yaitu level grassroot menghadapkan masyarakat dan pengusaha, sedangkan pada
level kebijakan menghadirkan pertentangan otoritas antara masyarakat dan negara.
Negara dalam arti pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) yang mengeluarkan
IUPHHK, dan pemerintah daerah (Kabupaten Kapuas Hulu) yang mengeluarkan
IUP. Semakin tajam konflik sumberdaya alam (hutan) maka semakin terlihat
adanya pihak yang tersubordinasi dan pihak lain yang menjadi superordinat.
Dalam kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik ditemukan bahwa negara
dengan otoritas formalnya menduduki posisi otoritas superordinat yang
mengendalikan subordinat. Menurut Dahrendorf bahwa dalam suatu sistem
sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang
menyangkut pihak superordinat dan subordinat. Dengan demikian maka
tampaklah bahwa ada pembagian wewenang dan otoritas yang jelas antara pihak
yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai.
Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan otoritas di antara kelompok yang
memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Dengan demikian konflik terjadi karena
adanya pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam
kasus TNGHS, jelas terlihat hubungan kekuasaan antara kelompok-kelompok
konflik yaitu Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang tersubordinasi dan
BTNGHS sebagai pihak yang superordinat. Sebagai pihak yang subordinat,
Masyarakat Kasepuhan melakukan perjuangan untuk memperoleh otoritas atas
penguasaan sumberdaya hutan. Distribusi otoritas yang tidak merata antar
kelompok konflik inilah yang menyebabkan konflik terus terjadi. Dalam kasus
Sungai Utik, kesadaran akan adanya masalah dan musuh bersama membuat
Masyarakat Dayak Iban sangat solid untuk berjuang mempertahankan otoritasnya,
perjuangan yang terus menerus ini melahirkan formasi baru dimana Masyarakat
Dayak Iban Sungai Utik selaku pihak yang tersubordinasi mampu
mempertahankan otoritasnya dengan menguasai kontrol atas sumberdaya Hutan
Sungai Utik.
140
Matrik 4. Analisis Perbandingan Otoritas Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (SDH) di TNGHS dan Hutan Sungai Utik
No Indikator Kasepuhan Dayak Iban Sungai Utik 1 Otoritas
tertinggi Abah Tuai Rumah dan musyawarah
adat 2 Kewenangan
dalam SDH/ SDA
Abah mengatur tata cara bagaimana memperlakukan hutan dan sumberdaya alam lainnya; memimpin upacara untuk meminta izin kepada roh nenek moyang ketika ada warga yang akan memasuki hutan atau mengambil manfaat atas hutan; memiliki kewenangan dalam menentukan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan
Tuai Rumah mengatur tata cara bagaimana memperlakukan hutan dan sumberdaya alam lainnya; memimpin upacara untuk meminta izin kepada roh nenek moyang ketika ada warga yang akan memasuki hutan atau mengambil manfaat atas hutan; memiliki kewenangan dalam menentukan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan
3 Basis legitimasi kekuasaan
Adat melalui wangsit yang dikukuhkan oleh musyawarah adat yang diwakili oleh setiap kolot lembur (perwakilan kampung).
Adat melalui sejarah pertama kali yang menancapkan tiang di rumah panjae atau kepemilikan tanah yang paling banyak selanjutnya otomatis diwariskan kepada keturunannya.
4 Potensi konflik otoritas yang terjadi
Konflik memungkinkan terjadi didalam Kasepuhan itu sendiri, karena adanya strata dalam kelembagaan Kasepuhan. Konflik antara Kasepuhan yang satu dengan Kasepuhan yang lain dalam angka perebutan pengaruh di kalangan warganya. Konflik dengan negara dimana kelembagaan negara telah menegasikan hak akses Masyarakat Kasepuhan atas kelola hutan adat mereka yang berubah menjadi taman nasional
Konflik memungkinkan terjadi di dalam rumah panjae, manakala ada persaingan antara tuai rumah dan kepala desa dalam rangka perebutan pengaruh atas warganya. Konflik dengan sesama Masyarakat Dayak Iban di dusun lain juga terjadi akibat perbedaan pandangan dalam memperlakukan sumberdaya hutan/ alam lainnya. Konflik dengan negara terjadi karena pengakuan negara atas hutan adat mereka sebagai hutan negara yang dilegitimsi dengan keluarnya izin IUPHHK dari pemerintah pusat dan IUP dari pemerintah daerah
Berdasarkan matrik di atas, diketahui bahwa otoritas tertinggi pada
Masyarakat Kasepuhan berada pada tangan “abah” (kepala suku Masyarakat
Kasepuhan). Kedudukan abah lebih tinggi dari kedudukan masyarakat biasa. Hal
inilah yang membuat abah memiliki otoritas dominan dibandingkan anggota
masyarakat lainnya. Basis legitimasi otoritas adat Masyarakat Kasepuhan adalah
wangsit melalui abah yang dikukuhkan dengan musyawarah adat. Adapun pada
141
Masyarakat Dayak Iban, otoritas tertinggi ada pada “tuai rumah” dan musyawarah
adat. Artinya kedudukan tuai rumah setingkat dengan masyarakat lainnya.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh tuai rumah didasarkan atas musyawarah
adat. Basis legitimasi Masyarakat Dayak Iban adalah sejarah pertama kali
penancapan tiang atau kepemilikan tanah. Otoritas masyarakat adat dalam
penguasaan sumberdaya hutan tersebut menjadi potensi konflik, baik konflik
antara masyarakat adat dengan negara, maupun konflik didalam kelembagaan adat
tersebut. Selanjutnya bukti adanya otoritas Masyarakat Kasepuhan dan Dayak
Iban Sungai Utik dapat dibedakan berdasarkan nilai-nilai budaya, boundary, rules,
dan territory.
Matrik 5. Perbedaan Otoritas Antara Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban
TNGHS Sungai Utik Nilai-nilai budaya
Ada penetapan nilai nilai dan hukum adat yang ketat yang diberlakukan bagi warga hukum adatnya maupun pada masyarakat lain.
Ada penetapan nilai nilai dan hukum adat yang ketat yang diberlakukan bagi warga hukum adatnya maupun pada masyarakat lain.
Boundary Tidak ada batas yang jelas mengenai wilayah kekuasaan
Ada batas yang jelas yang membedakan kawasan kekuasaan hukum dan nilai-nilai adat
Rules Sanksi hukum lebih banyak berupa sanksi hukum yang abstrak berupa kualat dan kabendon (sanksi gaib dari roh nenek moyang); Ketika berhadapan dengan hukum negara, maka yang digunakan adalah sanksi hukum negara.
Sanksi hukum memiliki dua tipe. Pertama sanksi hukum adat yang nyata yang dibukukan dalam sebuah buku peraturan hukum adat dan sanksi abstrak “tulah” (sanksi gaib dari roh nenek moyang); Ketika berhadapan dengan hukum negara pun, masyarakat lebih mendahulukan hukum adat.
Territori (klaim atas wilayah)
Klaim atas wilayah pada Masyarakat Kasepuhan tidak terlalu kuat, belum ada kesepakan yang jelas antara masing-masing Kasepuhan maupun dengan taman nasional.
Klaim atas wilayah (batas wilayah) sangat jelas disepakati berdasarkan masing-masing subsuku yang saling berbatasan, sudah memiliki peta partisipatif walaupun belum diregistrasi oleh negara.
Dengan membanding dua lokasi TNGHS dan Hutan Sungai Utik, diketahui
bahwa otoritas masyarakat adat Kasepuhan tidak terlalu kuat dibandingkan
dengan otoritas Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Kuatnya otoritas Masyarakat
Dayak Iban Sungai Utik tersebut ditunjang oleh adanya territori yang jelas dan
disepakati oleh masing-masing suku yang saling berbatasan.
142
5.2.d. Konflik Livelihood
Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik disebut juga
sebagai konflik livelihood. Konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan
tindakan sosial akan sumberdaya hutan yang didasarkan atas kepentingan yang
berbeda, dimana masyarakat adat memiliki kepentingan terhadap hutan sebagai
sumber livelihood mereka, sedangkan negara memandang hutan dalam kerangka
pembangunan nasional. Baik dalam konsep konservasi maupun hutan produksi,
negara tidak memberi ruang masyarakat adat untuk membuka lahan garapan pada
kawasan hutan bagi kepentingan livelihood masyarakat tersebut.
Dalam kasus TNGHS, konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan
kepentingan antara negara dan Masyarakat Kasepuhan. Bagi Masyarakat
Kasepuhan, hutan memiliki nilai manfaat yang tinggi bagi sumber penghidupan
livelihood mereka, baik memanfaatkan hutan untuk diambil kayunya maupun
manfaat dari non kayu termasuk pemanfaatan lahan hutan sebagai lahan garapan
pertanian, sumber mata air, maupun sumber obat-obatan. Sekalipun demikian,
pemanfaatan hutan oleh Masyarakat Kasepuhan tidaklah semena-mena melainkan
didasarkan atas pengetahuan lokal dan aturan-aturan adat Kasepuhan. Misalnya
dalam hal pemanfaatan kayu, dalam kelembagaan Kasepuhan pengambilan kayu
dibolehkan hanya pada kawasan leuweung garapan dan leuweung cawisan,
sementara itu terlarang mengambil kayu pada leuweung titipan dan leuweung
tutupan. Selain itu, jika ingin mengambil kayu pada leuweung cawisan (kawasan
hutan yang kayunya boleh diambil), ada persyaratan yang harus dipenuhi terlebih
dahulu. Jika masyarakat akan menebang satu pohon kayu, maka dia terlebih
dahulu harus menanam 10 sampai 20 batang pohon kayu tersebut, sesuai syarat
yang diberikan oleh abah berdasarkan jenis kayu yang akan diambil.
Dalam kasus TNGHS, negara (BTNGHS) memiliki kepentingan terhadap
hutan sebagai hutan konservasi (taman nasional). Kepentingan negara terhadap
hutan konservasi tercermin dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun
1990 Pasal 33 bahwa (1) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional; (2)
perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional meliputi mengurangi,
143
menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis
tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli; (3) setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari
taman nasional. Selanjutnya dalam pasal 34 UU Nomor 5 Tahun 1990,
menyebutkan bahwa (1) pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh
pemerintah; (2) di dalam zona pemanfaatan taman nasional, dapat dibangun
sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan; (3) untuk kegiatan
kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas
zona pemanfaatan taman nasional dengan mengikut sertakan rakyat. Berdasarkan
UU Nomor 5 Tahun 1990 tersebut diketahui bahwa hutan dalam konsep taman
nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola oleh pemerintah dengan
sistem zonasi, dengan memberi ruang pemanfaatan kawasan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan
rekreasi. Dalam upaya pemanfaatan inilah diperkenankan untuk melibatkan
masyarakat, sementara aktivitas untuk pertanian terlarang di kawasan taman
nasional. Pelarangan aktivitas pada kawasan taman nasional tersebut memberi
konsekuensi kepada sistem livelihood ditingkat lokal, membuat Masyarakat
Kasepuhan kehilangan sumber livelihood mereka.
Konsep hutan menurut taman nasional (negara) jelas berbeda dengan konsep
hutan menurut Masyarakat Kasepuhan. Dalam Masyarakat Kasepuhan dikenal
konsep wewengkon leuweung. Konsep tersebut juga sama membagi lokasi
kedalam beberapa zonasi. Hanya saja salah satu zona yang merupakan zona
pemanfaaan (leuweung garapan) memperkenankan adanya kegiatan ekonomi
livelihood masyarakatnya. Konsep hutan menurut Masyarakat Kasepuhan bukan
hanya harus dijaga kelestariannya, tetapi hutan juga harus mampu memberikan
kesejahteraan bagi masyarakatnya. “leuweung hejo masyarakat ngejo” adalah
simbol tujuan Masyarakat Kasepuhan untuk melestarikan hutan dan kesejahteraan
masyarakatnya.
Pada kasus Hutan Sungai Utik, konflik livelihood terjadi karena adanya
perbedaan kepentingan antara negara (Departemen Kehutanan dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, pengusaha (PT BRW yang mengantongi
IUPHHK dan PT. RU yang mengantongi IUP) dan Masyarakat Dayak Iban
144
Sungai Utik. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, hutan memiliki manfaat
sebagai sumber livelihood masyarakatnya, sebagai tempat berburu, tempat
mengambil kayu, tempat obat-obatan, penyedia bahan konsumsi, sumber mata air
dan hutan cadangan. Sekalipun hutan dianggap sebagai sumber livelihood, namun
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak semena-mena memanfaatkan hutannya.
Masyarakat mengelola hutan berdasarkan pengetahuan lokal dan aturan-aturan
adat. Misalnya dalam hal mengambil kayu, tidak semua tempat boleh diambil
kayunya, hanya pada kawasan kampong galao dan kampong endor kerja kayunya
boleh diambil. Selain pembatasan tempat, juga ada pembatasan jumlah
pengambilan kayu yaitu tidak boleh lebih dari 30 pokok kayu dalam satu
pengambilan untuk kepentingan rumah dan tidak untuk diperjual belikan. Selain
pemanfaatan kayu, hutan juga dimanfaatkan sebagai lahan garapan pertanian atau
tempat berladang. Walaupun demikian, masyarakat mengatur mana kawasan yang
boleh diladangi, mana yang tidak boleh diladangi. Hanya kawasan kampong endor
kerja yang dapat digarap oleh masyarakat sebagai tempat berladang. Konflik
terjadi manakala kepentingan negara untuk melestarikan hutan telah menegasikan
Masyarakat Kasepuhan dengan kepentingan (livelihood)-nya terhadap hutan.
Dalam kasus Sungai Utik, sikap negara dalam memperlakukan hutan
didasarkan atas konsep hutan produksi. Dalam konteks ini, negara (Departemen
Kehutanan) memiliki tujuan untuk mengambil manfaat dari hutan bagi pendapatan
negara sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan. Negara berafiliasi
dengan pengusaha untuk memanfaatan hutan seoptimal mungkin bagi pendapatan
negara untuk kepentingan pembangunan yang didasarkan atas tuntutan pasar
kapitalis. Selanjutnya peran negara dalam kehutanan di Indonesia diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, salah Satunya Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Sesuai pasal 18 PP No. 6 Tahun
2007 tersebut, hutan dapat dimanfaatkan dan bahwa pemanfaatan hutan dapat
dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada kawasan cagar alam, zona inti
dan zona rimba pada taman nasional. Selanjutnya berdasarkan pasal 31 ayat (2)
bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dapat berupa pemanfaatan hasil
hutan kayu. Dengan PP Nomor 6 Tahun 2007 tersebut memberi ruang bagi negara
145
untuk memanfaatkan hutan sebesar-besarnya bagi peningkatan ekonomi, sebagai
wujud sumbangsih subsektor kehutanan terhadap pembangunan bangsa, yang
dinilai berdasarkan berapa besar sumbangan subsektor ini dalam pembangunan
nasional, khususnya bagi peningkatan ekonomi.
Bila dilihat dari sudut pandang ekonomi makro, peran subsektor kehutanan
secara konvensional ditunjukkan oleh besaran persentase nilai tambah bruto
(NTB) yang disumbangkan subsektor ini terhadap total produk domestik bruto
(PDB). Dalam penyajian angka PDB Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS), subsektor kehutanan hanya mencakup komoditi primer dari
kehutanan seperti kayu log, rotan, jasa kehutanan, dan lain-lain. Sementara itu
sesuai Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan, cakupan binaan oleh Departemen Kehutanan meliputi
hasil produk primer kehutanan sampai industri kehutanan seperti industri
penggergajian kayu, industri kayu lapis, panel kayu, dan veneer.
Berdasarkan data BPS (2012), bahwa jika dilihat dari data PDB tahun 2000-
2011, PDB subsektor kehutanan menyumbang rata-rata 0,97% (persen) setiap
tahunnya terhadap total PDB Indonesia, dengan penurunan setiap tahun. Data di
tahun 2011 menunjukkan bahwa sebenarnya nilai PDB subsektor kehutanan lebih
besar dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 51.638,1 milyar rupiah, namun
jika dihitung berdasarkan total PDB Indonesia di tahun 2011 yaitu 7.427.086,1
milyar rupiah, maka sumbangan PDB subsektor kehutanan terhadap total PDB
hanya 0,70%, jauh lebih kecil dari prosentase sumbangan ditahun-tahun
sebelumnya. Lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut:
146
Tabel 10. Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap Produk Domestik Bruto Atas
Dasar Harga Berlaku Tahun 2000-2011
No
Tahun/
Year
Produk Domestik Bruto (PDB)/
Gross Domestic Product (Miliar
Rupiah/ Billion Rupiahs)
Kontribusi Subsektor
Kehutanan Terhadap PDB
Kehutanan/
Forestry
Total PDB/ GDP
Total
Contribution of Forestry
Sub Sector To GDP (%)
1 2 3 4 5
1 2000 16.343,0 1.389.769,9 1,18
2 2001 16.962,1 1.646.322,0 1,03
3 2002 17.602,4 1.821.833,0 0,97
4 2003 18.414,6 2.013.674,6 0,91
5 2004 20.290,0 2.295.826,2 0,88
6 2005 22.561,8 2.774.281,1 0,81
7 2006 30.065,7 3.339.216,8 0,90
8 2007 36.154,1 3.950.893,2 0,92
9 2008 40.375,1 4.951.356,7 0,82
10 2009 44.952,1 5.613.441,7 0,80
11 2010 48.050,5 6.422.918,2 0,75
12 2011 51.638,1 7.427.086,1 0,70
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012.
Salah satu sumber pendapatan di sektor kehutanan adalah dari pemanfaatan
hasil hutan kayu melalui IUPHHK. Kawasan hutan yang telah dimanfaatkan untuk
kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu (IUPHHK) secara keseluruhan sampai dengan oktober 2009 adalah: jumlah
IUPHHK-HA (Hutan Alam) sebanyak 299 unit dengan luasan 25.384.650 ha;
jumlah IUPHHK-HTI (Hutan Tanaman Industri) sebanyak 211 unit dengan luasan
8.441.976 ha; dan jumlah IUPHHK-HTR (Hutan Tanaman Rakyat) sebanyak 9
unit dengan luas 21.157,35 ha. Sedangkan kawasan hutan yang telah
dimanfaatkan untuk izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKM)
sebanyak 55 izin dengan luas 7.708,09 ha. (Departemen Kehutanan, 2009). Salah
satu kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan IUPHHK adalah
Hutan Sungai Utik. Hutan Sungai Utik ini adalah hutan yang masih primer, masih
banyak potensi kayu yang ada dikawasan ini. Oleh karena itu, hutan ini menjadi
incaran, bukan hanya oleh Departemen Kehutanan (pemerintaah pusat) untuk
dijadikan kawasan IUPHHK, tetapi juga incaran pemerintah daerah untuk
dijadikan kawasan IUP.
147
Perlakuan masyarakat terhadap hutan berbeda dengan perlakuan negara
terhadap hutan. Sikap negara dalam memperlakukan hutan bersifat mendua,
tergantung dari kebijakan negara tentang jenis hutan. Dalam kasus TNGHS, sikap
negara dalam memperlakukan hutan didasarkan atas konsep pelestarian hutan
taman nasional, yang mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan dalam kasus Hutan
Sungai Utik, sikap negara didasarkan pada hutan produksi yang mengacu pada
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Konflik
terjadi manakala kepentingan negara untuk menjadikan hutan sebagai kawasan
hutan produksi yang akan dimanfaatkan kayunya melalui perusahaan pemegang
IUPHHK bertentangan dengan kepentingan livelihood Masyarakat Dayak Iban
Sungai Utik yang membatasi pengambilan kayu pada hutannya hanya untuk
kepentingan membangun rumah sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan.
Menurut Dahrendorf, konflik terjadi karena masing-masing pihak mengejar
kepentingannya. Baik pihak negara selaku pihak yang memiliki kekuasaan akan
mengejar kepentingannya, sementara masyarakat adat sebagai pihak yang tidak
memiliki kekuasaan juga mengenjar kepentingannya. Padahal, kepentingan kedua
pihak ini bertentangan. Itulah yang menjadi sumber konflik. Dalam kasus
TNGHS, baik negara maupun Masyarakat Kasepuhan sebenarnya memiliki
kepentingan yang sama terhadap hutan yaitu untuk pelestarian hutan. Namun
konsep pelestarian negara dan Masyarakat Kasepuhan berbeda. Dalam konsep
pelestarian hutan menurut Masyarakat Kasepuhan menyertakan kepentingan
livelihood masyarakatnya. Hutan sebagai sumber livelihood masyarakat dan
cadangan bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, tujuan masyarakat
melestarikan hutan karena mengemban tugas dari nenek moyang mereka untuk
kelangsungan hutan bagi anak cucu mereka kelak di masa datang. Kepentingan
kedua kelompok tersebut menjadi bertentangan, karena konsep taman nasional
tidak memberi ruang bagi masyarakat untuk menggarap lahan garapannya yang
berada dalam kawasan TNGHS. Sementara itu, dalam kasus Hutan Sungai Utik,
konflik menjadi tidak terelakkan ketika ada perbedaan kepentingan terhadap
hutan. Negara memiliki kepentingan untuk memanfaatkan hasil kayu dari hutan
148
melalui IUPHHK yang diberikan kepada pengusaha, sementara Masyarakat
Dayak Iban Sungai Utik memiliki kepentingan untuk melestarikan hutan dan
sumber livelihood masyarakatnya. Berdasarkan fakta di atas, dapat dipetakan
kepentingan dari masing-masing pihak yang berkonflik di dua lokasi TNGHS dan
Sungai Utik sebagai berikut:
Matrik 6. Kepentingan Antar Aktor Dalam Penguasaan Sumberdaya Hutan di
TNGHS dan Sungai Utik
TNGHS Hutan Sungai Utik
Aktor BTNGHS Masyarakat Kasepuhan
Menteri Kehutanan
Masyarakat Dayak Iban
Pengusaha
Kepentingan Kelestarian hutan (konservasi)
Kelestarian hutan dan basis livelihood
Potensi ekonomi nasional yang bernilai ekspor (ekonomi kapitalis)
Kelestarian hutan dan basis livelihood
Keuntungan ekonomi (ekonomi kapitalis)
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa ada perbedaan kepentingan
negara dalam konflik di kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik. Di kawasan
TNGHS, kepentingan negara untuk konservasi, sedangkan di Sungai Utik untuk
kepentingan ekonomi kapitalis. Adapun masyarakat adat memiliki kepentingan
yang sama untuk pelestarian hutan dan basis livelihood masyarakatnya. Baik
dalam kasus TNGHS maupun Hutan Sungai Utik, kebijakan negara baik itu untuk
kepentingan konservasi maupun ekonomi kapitalis telah meng“exclude”
masyarakat adat dari tanah/ kawasan/ hutan yang selama ini diklaimnya. Bila
melihat kedua gejala di dua lokasi dapat dikatakan bahwa apapun alasannya baik
untuk konservasi maupun untuk alasan ekonomi kapitalis, kebijakan negara selalu
menegasikan kelembagaan masyarakat adat.
5.3. Kedalaman Konflik (Kebrutalan Konflik)
Konflik antara negara dan masyarakat di TNGHS dan Hutan Sungai Utik
mempunyai banyak bentuk, mulai dari konflik laten sampai konflik terbuka.
Konflik mencapai puncaknya (kedalaman konflik) pada saat terjadinya konflik
terbuka. Kedalaman konflik di TNGHS dengan di Hutan Sungai Utik berbeda.
149
Matrik 7. Kedalaman Konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik TNGHS Sungai Utik
Derajat kedalaman
Lempar isu
Bersitegang
Memenjarakan Pencabutan kualat
Lempar isu; pengrusakan alat-alat milik perusahaan
Pengusiran perusahaan dari lokasi kawasan hutan Pemberlakuan hukum adat, mendenda Menteri Kehutanan
Puncak konflik
Tahun 2003 terjadi pengrusakan fasilitas TNGHS
Tahun 2005 negara memenjarakan masyarakat yang menebang kayu di lahan garapannya sendiri
Tahun 1984 konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BI, terjadi pengusiran dan penyitaan alat berat milik PT. BI oleh masyarakat Tahun 1997, konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRU. Pengusiran dan penyitaan alat berat dari lokasi termsuk menghukum denda PT. BRU oleh masyarakat adat. Tahun 2004, konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRW. Pengusiran PT. BRW
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik menghukum adat Menteri Kehutanan, mensandera asisten Menteri Kehutanan dan menghukum denda. Hukum adat dibatalkan ketika Menteri Kehutanan memenuhi janjinya untuk datang ke rumah panjae Sungai Utik.
Pada kasus TNGHS, kedalaman konflik terjadi di tahun 2003, pertama
kalinya masyarakat bereaksi atas pelarangan aktivitas karena diberlakukannya
“konsep taman nasional”. Protes masyarakat terhadap BTNGHS ini sampai pada
pengrusakan fasilitas taman nasional. Selanjutnya konflik mencapai puncaknya
ketika ada 5 (lima) orang Masyarakat Kasepuhan yang dipenjara. Hal tersebut
terjadi ketika masyarakat tersebut mengambil kayu di lahan garapannya sendiri
yang kebetulan kawasan tersebut masuk kedalam kawasan taman nasional.
Masyarakat menganggap bahwa kayu-kayu tersebut merupakan kayu hasil
tanaman yang ditanamnya sendiri di lahan kebun garapan miliknya. Namun
karena lahan garapan tersebut berada pada kawasan taman nasional, maka ketika
masyarakat mengambil hasil hutan kayu, maka dianggap sebagai pelanggaran
ketentuan/ pencurian kayu, dan harus berurusan dengan ranah hukum. Dalam
keadaan seperti ini, konflik mencapai ketegangannya dimana masyarakat adat
tidak dapat menerima kalau warganya dihukum.
Dalam kasus Sungai Utik, kedalaman konflik ditunjukkan oleh beberapa
kejadian, antara lain:
1. Tahun 1984, ketika negara (Menteri Kehutanan) mengeluarkan IUPHHK
untuk PT BI, masyarakat melawan dan mengusir PT. BI dari lokasi.
150
2. Tahun 1997, ketika PT. BRU yang telah habis masa rencana kerja tahunan
(RKT) masih melakukan pencurian kayu di wilayah Sungai Utik dan di luar
areal RKT. Masyarakat dari Kampung Sungai Utik dan Mungguk melakukan
tuntutan ganti kerugian. Konflik mereda setelah perusahaan memenuhi
tuntutan ganti rugi masyarakat dan pergi dari lokasi.
3. Tahun 2004, konflik terjadi lagi ketika pemerintah pusat menerbitkan
IUPHHK untuk PT. BRW. Masyarakat mengusir PT. BRW dari lokasi. Sejak
kebijakan tersebut dikeluarkan, PT. BRW belum pernah beroperasi.
4. Konflik antara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRW terjadi
kembali pada saat ada korban kecelakaan di lokasi IUPHHK Dusun Ungak
yang menimpa warga Sungai Utik. Di Dusun Ungak, PT. BRW pernah
beroperasi selama dua tahun, sampai ada suatu kejadian, ibunya Mbak Lidia
(orang Sungai Utik) berjualan sayuran di lokasi tempat PT BRW beroperasi,
tiba-tiba kereta pengangkut kayu gelondongan tersebut terlepas, sehingga
kayu kayu tersebut menimpa ibunya Mbak Lidia dan menyebabkan kematian.
Masyarakat Sungai Utik menjadi marah terhadap PT. BRW dan bersama-
sama Masyarakat Dusun Ungak mengusir PT. BRW dari lokasi proyek Dusun
Ungak. Sejak saat itu, proyek tersebut kemudian diambil alih oleh
Masyarakat Dusun Ungak.
5. Konflik dengan pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Kehutanan kembali
mencuat ketika Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik meminta Menteri
Kehutanan datang ke lokasi rumah panjae Sungai Utik. Seperti yang
dikisahkan oleh Pak RM Kepala Desa Batu Lintang bahwa:
Cerita tersebut juga dilengkapi oleh Kakek Cb bahwa di awal tahun 2010
tersebut, dia dan dua orang warga Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik lainnya
dengan diantar oleh AMAN datang ke Jakarta menemui Menteri Kehutanan. Pada
“Masyarakat Sungai Utik pernah menahan dan menjatuhkan denda sebesar Rp. 1, 2 juta kepada Ajudan Menteri Kehutanan yang mengabarkan bahwa menteri tidak bisa datang. Setelah denda dibayar, Ajudan tersebut pun dilepaskan diperbolehkan pulang tetapi dengan membawa pesan bahwa Menteri Kehutanan Bapak MS Kaban dikenakan sanksi Adat bahwa jika Beliau tidak datang ke rumah panjae Sungai Utik, maka Menteri Kehutanan harus membayar denda Rp. 1 Milyar kepada Masyarakat Sungai Utik. Namun denda tersebut tidak pernah dilakukan karena Bapak MS Kaban akhirnya di tahun 2010 datang ke Sungai Utik.”
151
saat itu Kakek Cb mengatakan kepada Pak Kaban, seperti yang diceritakannya,
sebagai berikut:
Fakta di atas menunjukkan konflik di Hutan Sungai Utik lebih banyak
momen yang menunjukkan kebrutalan konflik, dimana perlawanan masyarakat
adat sampai pada destruction and bloodshed. Hal tersebut berbeda dengan kasus
TNGHS, konflik mencapai puncaknya ketika negara memenjarakan Masyarakat
Kasepuhan yang mengambil kayu di kawasan hutan. Sebenarnya ada kasus lain
yang terjadi di Kasepuhan, yaitu ada beberapa orang warga mengambil kayu di
hutan, namun dalam kasus ini Kasepuhan tidak terlalu ikut campur karena hasil
evaluasi adat, kayu-kayu tersebut diambil dikawasan yang dilarang adat dan
ukuran kayu melebihi ketentuan adat. Kayu tersebut diidentifikasi sebagai kayu
yang akan dijual. Oleh karena itu Kasepuhan tidak turut campur dalam kasus yang
satu ini, dan membiarkan warganya dipenjara. Perbedaan sikap dari masing-
masing masyarakat tersebut tidak lepas dari pengaruh kosmologi masyarakatnya,
serta sejarah penguasaan lahan pada kawasan tersebut.
5.4. Dampak Konflik
Konflik sumberdaya hutan memberi dampak kepada masyarakat adat
terjadinya perubahan kelembagaan adat dan peningkatan ability masyarakat adat
dalam beradaptasi dengan konflik. Konflik yang menyebabkan terjadinya
perubahan sejalan dengan konflik otoritas Dahrendorf, adapun konflik yang
“Bapak, kami menunggu Bapak, kami rakyat Sungai Utik akan tetap menjaga hutan kami dan kami menginginkan penjelasan langsung dari Bapak, bagaimana hutan tersebut harus dijaga. Jika Bapak tidak datang ke rumah panjae Sungai Utik sesuai janji Bapak, maka kami terpaksa akan menjatuhkan sanksi hukum Adat dengan mendenda Bapak Rp. 1 milyar. Begitu yang saya katakan pada Menteri Kehutanan saat itu, dan pada waktu itu Pak Kaban bilang bahwa dia memang sudah berjanji untuk datang ke Sungai Utik. Pada tahun 2009 sebetulnya Beliau sudah berangkat ke Sungai Utik namun pesawat yang mengantar Beliau tidak bisa menemukan lokasi Sungai Utik. Setelah setengah jam berputar putar di udara akhirnya pesawat tersebut kembali lagi ke Pontianak, disamping karena cuaca saat itu tidak memungkinkan mendarat di Putussibau. Tapi saya berjanji jika sudah tidak sibuk dengan berbagai pekerjaan, akan mengunjungi rumah panjae Sungai Utik. Janji itu sudah Beliau tepati. Beliau sudah datang ke Sungai Utik walaupun kedatangannya tidak juga memberikan titik terang kejelasan mengenai pencabutan izin IUPHHK yang dimiliki oleh PT. BRW”.
152
menyebabkan terjadinya peningkatan adaptasi measyarakat sejalan dengan teori
konflik Lewis Coser.
Menurut proposisi Dahrendorf (dalam Turner, 1998), bahwa semakin intens
konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi.
Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan
reorganisasi yang terjadi. Berdasarkan proposisi Dahrendorf tersebut, dapat
dikatakan bahwa konflik mendorong pada terjadinya perubahan kelembagaan.
Hanya saja jika merujuk pada proposisi Dahrendorf mestinya perubahan besar
terjadi pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Namun faktanya justru
Masyarakat Kasepuhanlah yang menunjukkan fenomena perubahan struktural dan
kelembagaan. Salah satu bentuk perubahan yang dialami oleh Masyarakat
Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik adalah perubahan struktural dan
perubahan kelembagaan (lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab 6).
Salah satu bentuk perubahan yang dimiliki oleh masyarakat adat adalah
meningkatnya kemampuan beradaptasi dengan situasi yang baru akibat terjadinya
konflik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Lewis Coser (dalam Kinseng, 2013)
bahwa semakin suatu itu konflik mendorong peningkatan inovasi dan kreativitas
unit-unit suatu sistem sosial, pelepasan permusuhan sebelum ia mempolarisasi
unit-unit suatu sistem sosial, mendorong tumbuhnya aturan normatif hubungan
konflik, peningkatan kesadaran akan isu-isu realistik, dan peningkatan jumlah
koalisi asosiatif antara unit-unit sosial, maka semakin besar tingkat integrasi sosial
internal sistem secara keseluruhan dan semakin besar kapasitasnya untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan ekternal. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kalau konflik kecil kecil dibiarkan akan meningkatkan kemampuan
adaptasi. Dengan kata lain bahwa konflik membuat kemampan resiliensi
masyarakat meningkat dan variasi karena mereka menjadi terbiasa. Dampak
konflik terhadap peningkatan resiliensi masyarakat tersebut terjadi pada
Masyarakat Kasepuhan dalam konflik di TNGHS dan pada Masyarakat Dayak
Iban dalam konflik di Hutan Sungai Utik.
Berdasarkan fenomena yang ditunjukkan oleh Masyarakat Kasepuhan dan
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, maka dapat dikatakan bahwa salah satu
dampak konflik ditingkat kelompok adalah resiliensi (kelentingan). Konflik
153
menyebabkan masyarakat adat memiliki kelentingan. Apabila kelentingan
(resiliensi) didefinisikan sebagai the ability of people to recover quickly from
shock, injury etc. Her natural resilience helped her to overcome the crisis (kamus
oxford), maka dapat dikatakan bahwa baik Masyarakat Kasepuhan maupun
Masyarakat Dayak Iban memiliki kelentingan (resiliensi).
Dalam kasus TNGHS, ketika kelembagaan negara mendominasi
kelembagaan lokal melalui kebijakan negara tentang perluasan taman nasional dan
melumpuhkan kelembagaan adat, kondisi tersebut telah memaksa kelembagaan
adat berubah. Disatu sisi kelembagaan adat menjadi tidak memiliki ability untuk
mengambil manfaat atas hutan karena tidak adanya akses, namun terjadi
peningkatan kemampuan masyarakat dalam beradaptasi dengan keadaan baru
akibat terjadinya konflik dengan BTNGHS. Kemampuan tersebut lebih tepatnya
dikatakan sebagai kelentingan. Kelentingan pada Masyarakat Kasepuhan
ditunjukkan dengan kemampuan masyarakat menghindari serangan dengan cara
menghindari konflik terbuka, secara sembunyi-sembunyi mereka tetap menggarap
kawasan leuweung garapan sambil tetap memperjuangkan untuk memperoleh hak
akses terhadap hutan; kemampuan konsolidasi dengan cara menggalang aliansi
dengan kelompok Masyarakat Kasepuhan lain dan membentuk “Kesatuan
Masyarakat Adat Banten Kidul” (SABAKI), kemampuan mengulur waktu dengan
cara bernegosiasi, mendialogkan kembali tentang tata batas, akses bahkan zonasi,
dan kemampuan memeluk pihak lain dengan cara mengembangkan web of
powernya dengan merangkul bukan hanya dengan LSM tetapi dengan pemerintah
daerah.
Ketika akses terhadap sumberdaya hutan menjadi terbatas, dan tuntutan
perubahan dari masyarakatnya meningkat, Masyarakat Kasepuhan mulai
mengembangkan ability lain yang dapat memberi akses pada Kasepuhan di ruang
politik lokal, melalui afiliasi yang dibangunnya dengan pemerintah daerah atau
elit-elit politik nasional. Pada Masyarakat Kasepuhan, konflik menyebabkan
terjadinya perubahan dan perubahan tersebut merupakan bukti bahwa
kelembagaan Kasepuhan mempunyai kelentingan (resiliensi) dengan cara
mengembangkan web of power yang sasarannya adalah otoritas politik di tingkat
lokal.
154
Pada Masyarakat Dayak Iban berbeda dengan Masyarakat Kasepuhan.
Mereka tidak menghindari serangan melainkan melawan, dengan cara mengusir
pengusaha dari kawasan, menyita alat-alat beratnya dan tetap bertahan
mempertahankan kawasan tersebut. Masyarakat Dayak Iban dalam perjuangannya
melawan negara juga mengembangkan abilitynya untuk melakukan konsolidasi ke
dalam diantara warga Masyarakat Dayak Iban dan konsolidasi dengan Masyarakat
Dayak Iban lain dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Mereka mengembangkan
web of power mereka dengan menjalin kolaborasi dengan lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
5.5. Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Konflik Sumberdaya Alam
Konflik sumberdaya hutan menjadi semakin kompleks manakala pemerintah
daerah dengan otonomi daerahnya turut masuk kedalam arena konflik. Pada kasus
TNGHS, pemerintah daerah membantu Masyarakat Kasepuhan untuk
menyelesaikan konflik dengan BTNGHS, dengan mendukung keberadaan
masyarakat adat di kawasan TNGHS. Pada kasus Hutan Sungai Utik, pemerintah
daerah mengeluarkan IUP untuk PT. RU di kawasan yang sama dengan IUPHHK
untuk PT. BRW.
Pada kasus TNGHS, dukungan langsung Pemerintah Daerah Kabupaten
Sukabumi kepada Masyarakat Kasepuhan dilakukan dengan jalan menjembatani
penyelesaian konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS. Pemerintah
daerah membantu memfasilitasi pembuatan draf akademik untuk rancangan
kesepakatan antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS, walaupun usaha
pemerintah daerah tersebut belum mencapai konsesus namun proses penyelesaian
konflik dengan jalan negosiasi sudah dilakukan. Selain dukungan langsung,
pemerintah daerah juga pemberikan dukungan tidak langsung berupa alokasi dana
pembangunan bagi masyarakat adat untuk pembuatan jalan tembus dari Desa
Sirna Resmi ke lokasi pemukiman Kasepuhan Cipta Gelar yang nyata-nyata
berada di tengah kawasan TNGHS. Keberadaan jalan tembus tersebut membuka
akses masuk dari luar ke dalam kawasan. Masyarakat menjadi lebih mudah untuk
datang dan pergi dari dan ke dalam kawasan TNGHS. Hal tersebut bermakna
bahwa pembangunan jalan tersebut merupakan bentuk dukungan pemerintah
daerah terhadap masyarakat adat dalam menentang kebijakan taman nasional.
155
Dalam kasus Hutan Sungai Utik, Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas
Hulu dengan kebijakan otonomi daerahnya turut memperunyam masalah dan
menambah rumitnya konflik sumberdaya hutan. Melalui kewenangan yang
diperoleh berdasarkan legitimasi UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 22, pemerintah
daerah menggunakan kewenangannya untuk mengelola lingkungan, termasuk
sumberdaya hutan didalamnya. Dengan dasar tersebut, Pemerintah Daerah Kapuas
Hulu mengeluarkan izin usaha perkebunan (IUP) kepada PT. RU untuk usaha
perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin
Lokasi untuk Perkebunan Karet Seluar 14.000 Ha di Kecamatan Embaloh Hulu,
Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, yang kemudian dirubah peruntukannya menjadi
sawit dengan Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/BPT-A tentang Persetujuan IUP
Perubahan dari Karet Menjadi Kelapa Sawit tanggal 10 Januari 2011. Pemerintah
daerah dengan kebijakan IUPnya tersebut telah membuat konflik sumberdaya
hutan menjadi semakin kompleks, menghadapkan masyarakat adat vis avis
dengan pemerintah pusat, dengan pengusaha pemegang IUPHHK, dengan
pemerintah daerah dan dengan pengusaha pemegang IUP. Keberadaan kebijakan
pemerintah daerah tersebut telah memberi tekanan tersendiri bagi Masyarakat
Dayak Iban.
Sebenarnya, kebijakan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing pemerintah
daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Percepatan kesejahteraan masyarakat tersebut dilakukan
melalui pembagian kewenangan pusat dan daerah yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diperbaiki dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Bab III tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan (selanjutnya disebut UU otonomi daerah) Pasal
10 menyebutkan bahwa (1) pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang
156
oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selanjutnya dalam
Ayat (2) disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang
menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud, pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Adapun
urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud
disebutkan dalam Aayat (3) yaitu meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c.
keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. (4) dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud, pemerintah
menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat
menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa.
Berdasarkan Pasal 10 UU otonomi daerah tersebut bahwa yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat hanya 6 bidang yaitu politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Adapun
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta pengendalian
lingkungan hidup menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah
provinsi (Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004) dan pemerintah daerah kabupaten/
kota (Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004). Berdasarkan UU otonomi daerah
tersebut, daerah memiliki otoritas dalam perencanaan tata ruang wilayahnya
termasuk bagaimana mengendalikan lingkungan hidup. Dengan kata lain daerah
memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam peruntukan ruang dan
pengendalian lingkungan hidup termasuk hutan didalamnya.
Tanggung jawab daerah dalam pengendalian linkungan tersebut terkait
dengan semangat awal otonomi daerah yang salah satunya adalah untuk
pengelolaan sumberdaya alam secara efektif, sebagaimana termuat dalam
ketetapan (TAP) MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN, Bab IV Arah
Kebijakan Huruf H Sumberdaya Alam Lingkungan Hidup Angka 3 menyebutkan
bahwa: “mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara
selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap
terjaga...dan seterusnya”. Selanjutnya dalam Huruf G tentang Pembangunan
157
Daerah Angka 1 Umum disebutkan bahwa “ ........mengembangkan otonomi
daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab...”, termasuk di dalamnya
pemanfaatan sumberdaya alam. Lebih lanjut TAP MPR tersebut menyebutkan
dalam Huruf H angka 4 yaitu: “mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan
keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan
ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang
pengusahaannya diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan TAP MPR tersebut,
semestinya keberadaan UU Otonomi Daerah dapat memberikan kewenangan
kepada daerah untuk mengelola sumberdaya alamnya secara efektif dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian
lingkungan. TAP MPR tersebut memberi amanat untuk daerah dalam
melaksanakan pembangunannya dengan mendayagunakan sumberdaya alam yang
ada untuk kesejahteraan masyarakat namun tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Berdasarkan fakta pada kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik,
dapat dikatakan bahwa kewenangan hutan utamanya masih ada pada negara
(pemerintah pusat). Hal tersebut menunjukkan ada ketidak-jelasan dan ketidak-
pastian hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam (hutan).
Kewenangan daerah dalam mengatur dan mengelola sumberdaya alam
didaerahnya belum sepenuhnya bisa dijalankan karena masih tumpang tindih
dengan kewenangan pemerintah pusat.
Hubungan kewenangan untuk pengendalian lingkungan dan pemanfaatan
sumberdaya alam antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini diatur dalam
UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 17, yaitu bahwa: “hubungan dalam bidang
pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah dan
pemerintahan daerah meliputi: kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan,
pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas
pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya; dan penyerasian
lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan. Pasal 17 tersebut mengatur
tentang pemanfaatan dan bagi hasil pemanfaatan sumberdaya alam dan
sumberdaya lainnya yang pelaksanaannya diatur kemudian dalam peraturan
perundang-undangan lebih lanjut. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa otonomi
158
daerah atau desentralisasi penguasaan dan pendayagunaan sumberdaya alam
termasuk kehutanan belumlah bersifat final tetapi masih membutuhkan
perjuangan dan masih akan menyeret daerah ke dalam konflik sumberdaya alam
yang melibatkan negara dan masyarakat adat
Sebenarnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan secara tersendiri,
antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998
tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada
Daerah, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
disamping UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan
dan undang-undang tersebut mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah pengelolaan sumberdaya hutan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 62
Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang
Kehutanan Kepada Daerah, Bagian Kedua Tentang Kepada Daerah Tingkat II,
Pasal 5 bahwa: “kepada daerah tingkat II diserahkan sebagian urusan
pemerintahan di bidang kehutanan, yang meliputi: a. penghijauan dan konservasi
tanah dan air; b. persuteraan alam; c. perlebahan; d. pengelolaan hutan milik/hutan
rakyat; e. pengelolaan hutan lindung; f. penyuluhan kehutanan; g. pengelolaan
hasil hutan non kayu; h. perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi
pada areal buru; i. perlindungan hutan; dan j. pelatihan keterampilan masyarakat
di bidang kehutanan. berdasarkan peraturan pemerintah tersebut diketahui bahwa
ada beberapa urusan kehutanan yang pengurusannya diserahkan kepada daerah,
termasuk pengelolaan hasil hutan non kayu, mencakup kegiatan pengusahaan,
pemungutan, dan pemasaran hasil hutan non kayu. Dari sejumlah urusan yang
diserahkan kepada daerah maka yang dapat diambil manfaatnya oleh daerah dari
keberadaan hutan di daerahnya adalah pemanfaatan hasil hutan non kayu. Adapun
pemanfaatan hasil hutan kayu masih menjadi kewenangan pemerintah pusat,
apalagi mengalihkan fungsi kawasan hutan menjadi daerah perkebunan tidak
diatur dalam PP tersebut.
Selanjutnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 Bab VIII tentang Penyerahan
Kewenangan, Pasal 66 menyebutkan bahwa: (1) dalam rangka penyelenggaraan
159
kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah
daerah. (2) pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam
rangka pengembangan otonomi daerah. (3) ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan UU di atas diketahui bahwa dalam rangka penyelenggaraan
kehutanan, pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada
pemerintah daerah yang dalam pelaksanaan teknisnya diatur dalam peraturan
pemerintah. Peraturan pemerintah yang terbit setelah tahun 1999 tentang
penyerahan kewenangan kepada daerah tidak ditemukan. Peraturan yang ada
masih menggunakan peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 62 tahun
1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan
kepada daerah.
Dengan demikian, seharusnya bahwa keberadaan kebijakan otonomi daerah
tersebut membawa pengaruh positif pada pengelolaan sumberdaya alam
khususnya kehutanan, sebagaimana yang dikatakan oleh Raharjo dalam Subadi
(2010) bahwa “dengan otonomi daerah dalam pemanfaatan sumberdaya alam
(SDA) untuk kesejahteraan rakyat, telah membawa perubahan positif pada
hubungan antara rakyat dengan pembuat kebijakan (policy maker) menjadi lebih
dekat sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai
dengan hajat hidup rakyat, terbukanya akses rakyat dalam pembuatan kebijakan”.
Namun jika melihat kasus konflik di dua lokasi penelitian TNGHS maupun Hutan
Sungai Utik, apa yang dikemukakan oleh Raharjo dalam Subadi (2010) tidak
sepenuhnya benar. Ketidak jelasan hukum telah membuat otonomi daerah justru
telah membuat konflik sumberdaya alam menjadi semakin rumit. Selama masih
ada ketidak-pastian hukum dan otonomi daerah dijalankan setengah hati, dimana
pemerintah pusat masih mengontrol pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam, maka peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam, termasuk hutan hanya akan membuat konflik sumberdaya alam
semakin rumit dan masyarakat adat semakin jauh dari perjuangannya untuk
memperoleh hak kelola hutan sebagai hutan adat mereka.
160
5.6. Peran LSM Dalam Konflik Sumberdaya Hutan
Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik bukan hanya
melibatkan masyarakat adat dan negara yang saling berhadapan, tetapi juga
melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berusaha membantu kedua
belah pihak untuk dapat menyelesaikan konflik. Pada kasus TNGHS, LSM-LSM
tersebut ada yang mendukung program BTNGHS, ada juga yang mendukung
perjuangan Masyarakat Kasepuhan untuk memperoleh hak akses kelola hutan.
Salah satu LSM yang mendukung program negara (BTNGHS) adalah JICA. JICA
berusaha menjembatani kepentingan lingkungan dan kepentingan masyarakat.
Dengan konsep “model kampung konservasi (MKK)”, JICA mencoba membantu
TNGHS dalam mereboisasi kembali hutan yang gundul melalui konsep partisipasi
masyarakat, dan melakukan pengembangan usaha ekonomi produktif untuk
masyarakat di dalam kawasan.
Adapun LSM-LSM yang pernah datang dan mendukung perjuangan
Masyarakat Kasepuhan adalah SABAKI, SKEPI, PERAN, PUSAKA, LATIN,
RMI, AMAN, RESPEK. Namun yang secara kontinyu dan terus menerus
melakukan pendampingan terhadap masayarakat adalah LSM SABAKI dan
AMAN. LSM SABAKI merupakan organisasi paguyuban masyarakat adat Banten
Kidul dimana seluruh Kasepuhan menjadi anggotanya. Melalui SABAKI inilah
Masyarakat Kasepuhan bekerjasama dengan pemerintah daerah, bukan hanya
Pemerintah Kabupaten Sukabumi, termasuk juga Pemerintah Kabupaten Lebak
untuk melakukan negosiasi dengan Departemen Kehutanan Republik Indonesia
terkait usulan revisi SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003 tentang Perluasan Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak.
Adapun AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) adalah organisasi
yang memayungi masyarakat adat di seluruh nusantara. Masyarakat Kasepuhan
selalu dilibatkan dalam kongres AMAN. Abah Asep turut hadir di beberapa
kongres AMAN, antara lain tahun 2007 mengikuti rapat kerja (raker) AMAN di
Sasana Langgeng Budaya TMII, tahun 2009 bulan Agustus abah juga hadir dalam
kongres AMAN di Halmahera. Networking Masyarakat Kasepuhan dengan
AMAN terbentuk karena kesamaan ideologi (pembelaan terhadap masyarakat
adat) dan kesamaan nasib sesama “masyarakat adat” yang umumnya memiliki
161
masalah yang sama terkait dengan konflik tenurial dengan negara. Keberadaan
LSM AMAN bukan hanya membantu perjuangan masyarakat pada level
kebijakan di tingkat pusat tapi juga berusaha menyelesaikan masalah di tingkat
grassroot. LSM juga pernah membantu Masyarakat Kasepuhan dalam
membuatkan naskah akademik mengenai “pengelolaan hutan oleh masyarakat
adat”. Bantuan tersebut berasal dari LSM PUSAKA dan PERAN. Konsep naskah
akademik tersebut sudah disampaikan kepada Bupati Kabupaten Sukabumi dan
anggota DPR, namun belum ada tindak lanjutnya sampai sekarang.
Dalam kasus Hutan Sungai Utik, keberadaan LSM mendukung perjuangan
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik untuk mendapatkan pengakuan hak atas
hutan adat mereka. Perjuangan Masyarakat Sungai Utik lebih banyak disuarakan
oleh para LSM yang mengaku mewakili dan atas nama masyarakat. LSM-LSM
yang berkiprah di Sungai Utik antara lain AMAN dan LSM-LSM yang berada
dibawah Yayasan Pancur Kasih.
Beberapa perjuangan yang dilakukan melalui LSM AMAN antara lain
konsolidasi dan penguatan masyarakat adat, pemetaan partisipatif di wilayah
kelola masyarakat adat, memperkuat organisasi masyarakat adat, termasuk
kelembagaan adat, mendorong perubahan paradigma kebijakan-kebijakan yang
belum berpihak kepada masyarakat adat, mendorong lahirnya UUPPHMA
(undang undang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat). Beberapa
pendekatan multi pihak yang dijalankan oleh AMAN dengan melakukan MoU
dengan negara, antara lain MoU AMAN-Kementerian Lingkungan Hidup,
AMAN-Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), AMAN-Badan
Pertanahan Nasional (BPN).
MoU AMAN dan BPN meliputi beberapa hal: pertukaran informasi dan
pengetahuan di kalangan badan pertanahan nasional dan aliansi masyarakat adat
nusantara dalam rangka meningkatkan pemahaman visi, misi, peran dan tugas
masing-masing; memformulasikan kebijakan untuk mengakomodasi hak-hak
masyarakat adatnya dalam konteks pembaruan hukum dan peraturan perundang-
undangan nkri; identifikasi dan inventarisasi keberadaan masyarakat adat dan
wilayah adatnya sebagai landasan proses legalisasi menuju perlindungan hukum
hubungannya antara wilayah adat dan masyarakat adatnya; merumuskan
162
mekanisme penanganan dan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara
pertanahan di wilayah masyarakat adat; pengembangan model-model reforma
agraria di wilayah adat (sumber: AMAN, 2012).
Adapun LSM-LSM yang berkiprah di dusun Sungai Utik yang berada dalam
satu wadah “Yayasan Pancur Kasih” membina Masyarakat Dayak Iban Sungai
Utik dari berbagai aspek termasuk ekonomi dengan didirikannya cu pancur kasih
yang kemudian berubah menjadi CU Keling Kumang setelah mengalami merger
dengan yayasan lain. Salah satu peran penting lainnya yang dilakukan oleh LSM
PPSDAK dalam mendampingi masyarakat tersebut adalah dengan melakukan
pemetaan tata batas wilayah Sungai Utik, yaitu pemetaan partisipatif tahun 1998.
Peta ini menjadi modal bagi masyarakat adat dalam klaim atas wilayah adatnya.
Namun peta yang dibuat oleh masyarakat dan LSM tersebut belum diregistrasi,
sehingga tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah maupun pemerintah daerah
mengenai klaim wilayah yang dilakukan oleh masyarakat. Selain itu, melalui
LSM-LSM dibawah yayasan tersebut (LBBT), masyarakat juga mendapat
pendidikan dan penyadaran hukum.
Sekarang ini, beberapa LSM mulai melakukan pembinaan bagaimana
mereka dapat mengelola hutan, memanfaatkan hutan menjadi bernilai ekonomi
dengan cara pemberian pengetahuan tentang permebelan, yaitu mengolah kayu
yang selama ini dibakar di hutan garapan masyarakat untuk dimanfaatkan menjadi
barang-barang mebeler. Namun pembinaan tersebut belum berjalan lancar.
Pembinaan yang sedang berjalan adalah yang dilakukan oleh cu keling kumang
yaitu menampung kerajinan masyarakat dari rotan baik berupa tikar maupun
tembikar dan alat-alat pertanian lainnya yang menggunakan rotan. Rencananya
kerajinan tersebut akan dijual ke luar negeri oleh cu keling kumang.
Selain bantuan LSM dalam bentuk peningkatan kapasitas Masyarakat
Dayak Iban Sungai Utik, bantuan LSM juga berada pada ranah konflik wacana
untuk memperjuangkan hak kelola adat. Perjuangan ini dilakukan melalui arena
seminar-seminar. Contoh kasus pada seminar dan lokakarya yang difasilitasi oleh
LSM Lanting Borneo, dengan tema “Mendorong pendekatan multi pihak dalam
pengelolaan sumberdaya hutan yang menjamin wilayah kelola masyarakat adat,
serta mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi” yang diselenggarakan
163
di Deo Soli Kota Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu, pada tanggal 25-26 Mei
2012. Hasil yang diharapkan dari seminar tersebut adalah: adanya kesepahaman
dan komitmen bersama guna membangun pendekatan multi pihak dalam
pengelolaan hutan yang mengakui wilayah kelola masyarakat adat, serta
mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi di Kabupaten Kapuas Hulu;
dan terbentuknya forum multipihak yang menjadi wahana bagi para pemangku
kepentingan untuk membangun kerangka kerjasama dalam pengelolaan
sumberdaya hutan secara lestari dan berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip
pembangunan rendah emisi di Kabupaten Kapuas Hulu. Dalam seminar tersebut,
pembicaranya adalah dari pihak cendekiawan dan negara, adapun masyarakat adat
hanya sebagai peserta. Kalaupun ada masyarakat adat yang berbicara (contoh Pak
Kanyan) hanya satu orang dari 11 pembicara, namun walaupun satu orang tetapi
web of powernya adalah LSM (AMAN dan LSM yang berada dalam pembinaan
Pancur Kasih serta LSM internasional).
Dukungan LSM nasional dan internasional ini memberikan pengaruh pada
pergeseran pengetahuan lokal Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. LSM-LSM
tersebut mencoba memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai
pengetahuan tentang hutan. Masyarakat digiring oleh LSM pada pemahaman
tentang perdagangan karbon, redd maupun demontrative activity (DA). Ada
pengalihan wacana dari pertarungan untuk mendapatkan “property right” bergeser
ke arah manfaat global bagi semua pihak, masyarakat, negara maupun dunia.
Selanjutnya, pencapaian penting dari bantuan LSM terhadap Masyarakat
Dayak Iban Sungai Utik adalah memfasilitasi masyarakat adat untuk memperoleh
sertifikat ekolabeling, yaitu penghargaan dari lembaga ekolabel Indonesia dengan
Nomor Certificate 08/SCBFM/005 yang diberikan untuk pengelolaan hutan oleh
rumah panjae menua Sungai Utik (forest management unit of rumah panjae
menua Sungai Utik), dalam lingkup “sustainable community based forest
management (SCBFM) unit with an area of 9.453,40 hectares”.
Melalui sertifikat ini memungkinkan LEI untuk melakukan uji lapangan dan
memperbaharui standar pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat. Sertifikasi
tersebut meliputi 9.453,40 ha. Sertifikasi dapat membantu masyarakat untuk
mempertahankan kawasan hutan tersebut sebagai kawasan hutan lestari. Dengan
164
adanya sertifikat tersebut, setidaknya untuk sementara Masyarakat Dayak Iban
Sungai Utik merasa lega, namun kecemasan tetap ada. Sekalipun adanya Instruksi
Presiden No.10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, atau yang
lebih dikenal dengan nama “Inpres Moratorium”, yang mengintruksikan
penundaan izin baru, namun ada pengecualiaan bagi izin yang sedang berjalan.
Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011
tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan
Alam Primer Dan Lahan Gambut, disebutkan bahwa dalam rangka
menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan
lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui
penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dengan ini
menginstruksikan: kepada : 1. Menteri Kehutanan; 2. Menteri Dalam Negeri; 3.
Menteri Lingkungan Hidup; 4. Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan
Dan Pengendalian Pembangunan; 5. Kepala Badan Pertanahan Nasional; 6. Ketua
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional; 7. Ketua Badan Koordinasi Survey
Dan Pemetaan Nasional; 8. Ketua Satuan Tugas Persiapan Pembentukan
Kelembagaan Redd+ Atau Ketua Lembaga Yang Dibentuk Untuk Melaksanakan
Tugas Khusus Dibidang Redd+; 9. Para Gubernur; 10. Para Bupati/Walikota
untuk:
1. Pertama: mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi,
dan kewenangan masing-masing untuk mendukung penundaan pemberian
izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan
konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan
produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area
penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam peta indikatif penundaan izin
baru yang menjadi lampiran instruksi presiden.
2. Kedua: penundaan pemberian izin baru sebagaimana dimaksud dalam diktum
pertama berlaku bagi penggunaan kawasan hutan alam primer dan lahan
gambut, dengan pengecualian diberikan kepada:
a. Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri
Kehutanan;
165
b. Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal,
minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu;
c. Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan
yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan
d. Restorasi ekosistem.
3. Ketiga : khusus kepada: 1. Menteri Kehutanan, untuk:
a. Melakukan penundaan terhadap penerbitan izin baru hutan alam primer
dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan
produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan
produksi yang dapat dikonversi) berdasarkan peta indikatif penundaan izin
baru.
b. Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.
Inpres tersebut memberikan pengecualian bagi perpanjangan izin
pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang
izin di bidang usahanya masih berlaku. Hal ini memberi makna bahwa IUPHHK
PT. BRW masih tetap berlaku sampai jangka waktu izin tersebut habis.
5.7. Proses Penyelesaian Konflik Sumberdaya Hutan
Dengan mengambil teladan kasus dari Masyarakat Kasepuhan dan
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dapat dijelaskan bahwa konflik sumberdaya
hutan yang melibatkan masyarakat adat dan negara termasuk perusahaan
didalamnya, merupakan konflik pemaknaan, tenurial, otoritas dan konflik
livelihood. Adapun isu sentralnya adalah adanya perbedaan pemaknaan dan
tumpang tindih klaim atas hak penguasaan sumberdaya hutan. Adapun
karakteristik konflik dikedua lokasi dapat digambarkan, sebagai berikut:
166
Matrik 8. Karakteristik Konflik di Sungai Utik dan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak Taman Nasional Gunung Halimun
Salak Hutan Sungai Utik
Masyarakat Negara Masyarakat Negara Penyebab Sistem nilai,
Status wilayah masyarakat, Ketidak jelasan tata batas Pembatasan akses
Status tanah Sistem nilai, Status wilayah masyarakat Ketidak pastian
Status tanah
Proses rekonsiliasi
Aliansi Regulasi lokal Pemetaan wilayah adat
MoU Lokakarya Program kampung konservasi Ecotourism Transmigrasi
Aliansi Regulasi lokal Pendokumentasian hukum adat Pemetaan wilayah adat
Menghentikan kegiatan Membiarkan konflik mengambang
Bentuk konflik
Laten- manifest; aliansi; konfrontasi
Sebetulnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah diatur
adanya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pada
Bab X tentang Peran Serta Masyarakat, Pasal 68 menyebutkan bahwa: “(1)
Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), masyarakat dapat: a.
memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan
hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran, serta
pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak
langsung. (3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh
kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan
kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Setiap orang
berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai
akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pasal tersebut diketahui bahwa
masyarakat berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan, bahkan jika ada
kelembagaan baru yang diterbitkan oleh negara atas hutan tersebut dimana
167
masyarakat ada di dalam dan di sekitar hutan tersebut, maka masyarakat berhak
memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai
lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan
hutan, maupun berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah
miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Persoalannya kemudian berkenaan dengan hak milik atas tanah. Semua
masyarakat adat di Indonesia hidup atas keberadaan lingkungan alam
disekitaranya termasuk hutan dan mereka tidak memiliki surat apapun yang
menerangkan kepemilikan mereka atas tanah dan hutan yang selama ini dijaganya.
Selama undang-undang dan peraturan pemerintah mensyaratkan keberadaan
kepemilikan atas tanah untuk membenarkan masyarakat adat memperoleh hak
akses untuk pemanfaatan hutan, maka selama itu pula konflik sumberdaya hutan
tidak akan pernah diselesaikan.
Idealnya adalah baik negara maupun masyarakat dapat menjalankan fungsi
dan peran sertanya masing-masing sesuai apa yang diamanatkan oleh Pasal 70
Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
bahwa; “masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang
kehutanan, sementara pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat
melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil
guna”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyelesaian konflik sumberdaya
alam tidaklah mudah, karena harus dapat menyelesaikan berbagai penyebab
konflik dan mempertemukan kepentingan, penyelesaian tenurial maupun
redistribusi otoritas.
168
Matrik 9. Resolusi Konflik Pada Kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik TNGHS Sungai Utik
Kondisi terkini
Wilayah TNGHS diakui sebagai wilayah taman nasional, masyarakat masih diperbolehkan menggarap lahan garapannya selama tidak menambah lokasi baru, menanam pohon kayu dan tidak boleh memotong pohon kayu sekalipun berada di lahan garapannya.
Wilayah ini masih berstatus hutan produksi (diatas kertas) namun tidak aktif. Secara nyata masih menjadi wilayah kelola adat Dayak Iban Sungai Utik dan dijalankan berdasarkan aturan adat. Masyarakat masih menggarap lahan pada miliknya dan boleh berpindah tempat (pertanian bergulir) dalam wilayah kuasa adat selama ada izin dari tuai rumah selaku ketua adat
Upaya konsensus
Ada upaya konsensus yang dilakukan melalui pertemuan-
pertemuan, kesepakatan-
kesepakatan, pembuatan peta tata batas bersama masyarakat, pelaksanaan program bersama “program kampung konservasi”
Ada upaya perjuangan untuk pencabutan izin IUPHHK dan IUP dan diterbitkannya keputusan bahwa hutan tersebut sebagai hutan kelola adat melalui mediasi yang dilakukan oleh LSM, namun Masyarakat Dayak Iban sendiri belum pernah bernegosiasi dengan pemerintah secara langsung.
Unsur kekuatan/ kelemahan
Tidak memiliki peta wilayah adat Hukum adat bersifat lisan dan bertumpu pada peran abah
Dalam proses kesepakatan (MoU belum tuntas) Memiliki dukungan dari pemerintah daerah
Mendapat dukungan dari LSM
Memiliki peta wilayah adat (belum diregistrasi); hukum adat yang dibukukan dan ditanda tangani oleh seluruh Masyarakat Dayak Iban dan Dayak Embaloh; memiliki sertifikat ekolabel dari LEI; memiliki sertifikat sebagai masyarakat teladan perduli hutan
Mendapat dukungan dari LSM
Bertentangan dengan pemerintah daerah
Pada kasus TNGHS, dalam mencoba menyelesaikan konflik penguasaan
sumberdaya hutan, Masyarakat Kasepuhan menempuh jalur negosiasi sejak awal.
Sebenarnya upaya penyelesaian konflik antara BTNGHS dengan Masyarakat
Kasepuhan sudah dilakukan sejak tahun 2006. Di tahun 2006 sudah dilakukan dua
kali pertemuan untuk membahas masalah kawasan. Kedua pertemuan tersebut
diadakan di Pelabuhanratu dan dihadiri oleh perwakilan desa, perwakilan
Kasepuhan, perwakilan AMAN (aliansi masyarakat adat nusantara), pihak
pemerintah daerah. Namun kedua pertemuan tersebut gagal membangun
kesepakatan dan tidak membuahkan hasil. Selanjutnya, tahun 2008 pihak
BTNGHS menginisiasi pertemuan sosialisasi rencana strategis pengelolaan
kawasan lima tahun ke depan yang akan diterapkan mulai pada tahun 2009 yang
diselenggarakan di Bogor. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan pemerintah
daerah, perwakilan desa, perwakilan Kasepuhan, perwakilan AMAN, dan pihak
BTNGHS. Salah satu yang menjadi fokus pembahasan dalam pertemuan tersebut
adalah rancangan pembagian zonasi yang kemudian ditolak oleh pemerintah
169
daerah dan Masyarakat Kasepuhan karena dianggap tidak memberikan solusi
terhadap sengketa kawasan antara masyarakat dengan pihak pengelola kawasan.
Menurut keterangan yang diperoleh, warga sudah menyatakan perang jika Renstra
5 tahun TNGHS diterapkan. Hal senada juga sudah dikemukakan oleh perangkat
Desa Sirna Resmi dan pimpinan Kasepuhan Sinar Resmi (lihat Rahmawati et al.,
2008).
Kekalahan Masyarakat Kasepuhan dalam mendialogkan penyelesaian
konflik di kawasan taman nasional telah membuat Masyarakat Kasepuhan
mengembangkan networking yang lebih luas baik dengan pihak LSM, pemerintah
daerah maupun elit-elit politik. Dasar dari networking tersebut ada yang bersifat
aliansi politik ada juga yang disebabkan karena kesamaan ideologi. Melalui
bantuan LSM dan pemerintah daerah tersebut, Masyarakat Kasepuhan berdialog
kembali dengan BTNGHS untuk menegosiasikan beberapa hal yang masih belum
dapat disetujui oleh Masyarakat Kasepuhan:
a. menegosiasikan ulang tentang hak akses masyarakat terhadap hutan dan lahan
garapannya,
b. melakukan pemetaan ulang berdasarkan tata batas hutan adat menurut
masyarakat kasepuhan,
c. menegosiasikan zonasi dalam kawasan taman nasional dengan memasukkan
kawasan Masyarakat Kasepuhan sebagai zona khusus dan lahan garapan
masuk kedalam zona pemanfaatan dengan pendefinisian baru yaitu
memanfaatkan lahan untuk kepentingan livelihood masyarakatnya.
Menurut keterangan pegawai BTNGHS, telah dijalin berbagai pertemuan
untuk memperoleh kata sepakat dengan Masyarakat Kasepuhan maupun
masyarakat lokal lainnya. Bunyi kesepakatan tersebut tertuang dalam rencana
pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang disusun
melalui proses kolaborasi yang dikombinasikan dengan regulasi lokal, hasil
rancangan rencana tata ruang kawasan (RTRK/ zonasi) TNGHS.
Isi kesepakatan tersebut antara lain mengenai penetapan zona inti dan rimba.
Dasar dalam penetapan zona inti ini adalah peraturan perundang-undangan dan
tradisi budaya/ kelembagaan masyarakat adat. Peraturan perundang-undangan
negara digunakan untuk melihat hutan berdasarkan kajian ekosistem, dan habitat
170
spesies penting serta hutan yang masih tersisa, sementara kelembagaan lokal
Masyarakat Kasepuhan digunakan untuk mengkatagorikan hutan inti berdasarkan
daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya
terhadap pengelolaan ekosistem yang bukan hanya melestarikan hutan tapi
mensejahterakan masyarakatnya. Kesepakatan tersebut berusaha mencapai jalan
tengah bertemunya dua kepentingan. Berdasarkan rencana pengelolaan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (RPTNGHS) yang disusun melalui proses
kolaborasi yang dikombinasikan dengan regulasi lokal, hasil rancangan rencana
tata ruang kawasan TNGHS sebagai berikut:
A. Penetapan zona inti dan rimba
• Dasar penetapan melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem
dan habitat spesies penting.
• Daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya
terhadap pengelolaan ekosistem TNGHS secara menyeluruh.
• Difokuskan pada hutan-hutan alam yang masih tersisa.
B. Penetapan zona pemanfaatan
• Kawasan TNGHS yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-
fungsi pemanfaatan, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan
sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif, seperti areal
stasiun penelitian cikaniki, cangkuang, gunung bunder dan lokasi lainnya.
• Khusus pada zona pemanfaatan yang masih dikelola perum perhutani dan
pemerintah daerah (Pemda) akan dikelola dengan landasan MoU sambil
menunggu proses IPPA.
• Khusus zona pemanfaatan yang berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah-
wilayah rawan terhadap keselamatan pengunjung tetap dikelola TNGHS.
C. Penetapan zona rehabilitasi
• Kawasan yang merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies
penting yang telah terdegradasi, seperti areal bekas penambangan emas
tanpa izin (PETI), Koridor Halimun - Salak.
• Zona rehabilitasi dapat dirubah penetapannya menjadi zona inti, rimba,
pemanfaatan setelah kondisinya dinilai pulih kembali.
D. Penetapan zona khusus
171
• Wilayah yang telah dikembangkan sebagai fungsi utama ekonomi wilayah
seperti sarana sutet, pembangkit listrik panas bumi (PT. Chevron),
aktivitas pertambangan emas (PT. Aneka Tambang)
• Pemukiman dan garapan yang telah ada sebelum penunjukan TNGHS.
• Untuk mengatur akses pengelolaan masyarakat lokal dibutuhkan regulasi
zona khusus berupa kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan
masyarakat adat, non-adat dan pendatang perihal pengaturan akses,
pemanfaatan, dan kontrol atas sumber-sumber agraria (tata ruang lokal
dalam zona khusus) di dalam kawasan TNGHS.
E. Penyusunan regulasi zonasi, mencakup aktivitas-aktivitas :
• Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan komunitas adat
dalam akses pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria.
• Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan komunitas
masyarakat desa di dalam dan sekitar TNGHS dalam hal akses
pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria.
• Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan masyarakat
yang bermukim di dalam kawasan TNGHS perihal kepadatan penduduk
yang sesuai dengan daya dukung wilayah konservasi.
• Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan pihak
pengguna (wisata, tambang, dan lain-lain) perihal penggunaan lahan yang
harus mementingkan aspek konservasi.
• Memantau penegakan kontrak sosial (MoU dan kesepakatan serta
memberi sanksi atas pelanggaran kesepakatan.
Kesepakatan Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS mengenai penetapan
zona pemanfaatan. Dalam menetapkan zona pemanfaatan ini terkait dengan
definisi pemanfaatan itu sendiri, dimana BTNGHS melihat fungsi-fungsi
pemanfaatan, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana
prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif, seperti areal stasiun
penelitian Cikaniki, Cangkuang, Gunung Bunder dan lokasi lainnya.
Dalam konsep tersebut sama sekali tidak ada ruang pemanfaatan untuk
livelihood masyarakat lokal yang basisnya adalah petani, sehingga tidak ada ruang
lahan pertanian dalam konsep kehutanan, khususnnya taman nasional. Namun
172
demikian, BTNGHS masih menyisakan kesepakatan pada zona pemanfaatan yang
masih dikelola Perum Perhutani dan pemerintah daerah akan dikelola dengan
landasan MoU sambil menunggu proses IPPA (izin pengusahaan pariwisata
alam). Model kesepakatan seperti ini menunjukkan bahwa pengetahuan
masyarakat ternegasikan. Sama sekali tidak ada ruang zona pemanfaatan hutan
TNGHS untuk lahan garapan dan pemukiman masyarakat, sekalipun dalam
kenyataannya hal tersebut ada. Hal ini bisa jadi bermakna bahwa masyarakat
harus keluar dari pemukiman dan lahan garapan yang selama ini digarap bersama
Perum Perhutani maupun pemerintah daerah. Pada tataran negosiasi ini,
kepentingan masyarakat betul-betul tersubordinasi bahkan tidak diberi ruang
untuk ada, seakan-akan masyarakat dengan sistem pertaniannya menjadi penyebab
dari semua kerusakan hutan yang ada di TNGHS.
Berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam rencana pengelolaan taman
nasional (RPTN) Gunung Halimun Salak 2007-2020 maka stop deforestasi
menurut RPTN tersebut harus terjadi pada tahun 2010. Melihat data penurunan
tutupan hutan 1989-2008, stop deforestasi akan terwujud apabila semua pihak
berperan aktif sesuai tugas dan fungsinya dalam menjalankan pengelolaan di
TNGHS. Peran aktif dari berbagai pihak merupakan salah satu kunci utama dalam
menjaga dan mempertahankan kondisi hutan yang tersisa.
Sikap TNGHS yang sangat pro terhadap konservasi untuk penyelamatan
habitat ini sangat kentara manakala merencanakan penetapan zona rehabilitasi,
dimana tanah-tanah lahan kritis bekas garapan masyarakat akan direhabilitasi dan
zona rehabilitasi dapat dirubah penetapannya menjadi zona inti, rimba, atau
pemanfaatan setelah kondisinya dinilai pulih kembali. Isu yang diusung oleh
BTNGHS untuk penyelamatan lingkungan di kawasan ini adalah biodiversity.
Selanjutnya isu biodiversity ini telah melibatkan LSM internasional dalam
konflik antara BTNGHS dan Masyarakat Kasepuhan, yaitu JICA. JICA berusaha
menjembatani kepentingan lingkungan dan kepentingan masyarakat. Dengan
konsep “model kampung konservasi (MKK)”, JICA mencoba membantu TNGHS
dalam mereboisasi kembali hutan yang gundul melalui konsep partisipasi
masyarakat, dan melakukan pengembangan usaha ekonomi produktif untuk
masyarakat di dalam kawasan. Melalui MKK, pengelola kawasan TNGHS
173
mencoba membina kelompok-kelompok masyarakat yang dihimpun melalui
wadah MKK (model kampung konservasi) yang didukung oleh pendanaan dari
JICA. Pilot project MKK tahun 2003-2007 ini dilakukan oleh JICA di empat
kampung yaitu: Kampung Sukagalih, Kampung Cimapag, Kampung Cisalimar
dan Kampung Sirnaresmi. Namun konsep ini belum sepenuhnya diterima oleh
masyarakat mengingat pelarangan akses terhadap sumberdaya hutan (menggarap
lahan di ex Perhutani) tetap diberlakukan sehingga kecurigaan terhadap konsep
JICA dalam upaya membodohi masyarakat disadari oleh beberapa masyarakat,
sehingga dari 9 kelompok bentukan JICA di tahun 2004, yang masih terbentuk di
tahun 2008 tinggal 3 kelompok.
Menyadari kesulitan untuk mengamankan hutan TNGHS, BTNGHS mulai
mengembangkan konsep MKK di seluruh kawasan, baik di wilayah Kabupaten
Lebak, Kabupaten Bogor maupun Kabupaten Sukabumi, dengan melibatkan
berbagai instansi pemerintah terkait maupun pihak perusahaan swasta yang berada
di kawasan dan sekitar kawasan taman nasional, antara lain melibatkan Dinas
Kehutanan Provinsi Banten, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, PLN,
ANTAM, CIFOR, TNGHS.
Di Kabupaten Lebak, kegiatan MKK dipusatkan di Resort Gunung Bedil,
Resort Cisoka dan Resort Cibedug, dengan melibatkan pembinaan dan pendanaan
dari JEES dan DIPA-TNGHS. Di kabupaten bogor, kegiatan MKK dipusatkan di
Resort Gunung Talaga, terdiri atas: Resort Gunung Kencana, Resort Gunung
Butak, Resort Gunung Botol, Resort Gunung Salak 1, dan Resort Gunung Salak 2.
Kegiatan MKK di Kabupaten Bogor menggandeng pendanaan dan pembinaan dari
CIFOR dan ANTAM. Di Kabupaten Sukabumi kegiatan MKK dipusatkan di
Resort Gunung Kendeng, Resort Cimanjaya, Resort Gunung Bodas, dan Resort
Kawaah Ratu. Kegiatan MKK di Kabupaten Sukabumi dilakukan oleh TNGHS-
JICA dan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Total MKK di seluruh kawasan
TNGHS sampai tahun 2012 adalah 39 buah.
Fakta berkembangnya program MKK dengan melibatkan kolaborasi antara
instansi pemerintah dengan perusahaan swasta menunjukkan bahwa adanya afilisi
antara negara dan perusahaan swasta. Dukungan pendanaan dari perusahaan
swasta tersebut tidak semata-mata untuk kepentingan masyarakat lokal, melainkan
174
ada keuntungan ekonomi yang diperoleh perusahaan atas kebijakan pemerintah
yang mengizinkan aktivitas perusahaan di kawasan TNGHS melalui penjanjian
pinjam pakai. Afiliasi antara negara dan perusahaan swasta tersebut telah
memantapkan otoritas negara selaku pemilik dan pengontrol sumberdaya hutan.
Otoritas negara selaku pihak yang berkuasa telah memarginalkan otoritas
masyarakat dan kepentingannya terhadap hutan. Berkembangnya konsep MKK
tersebut menunjukkan kemenangan otoritas negara melawan otoritas Masyarakat
Kasepuhan, dan menunjukkan adanya dominasi otoritas negara atas otoritas
masyarakat lokal dimana masyarakat dipaksa untuk menerima konsep pengelolaan
kawasan ala taman nasional untuk pelestarian lingkungan.
Sebetulnya ada peluang kesepakatan negara dan masyarakat adat yang dapat
menjamin keberlangsungan hidup masyarakat adat bersama dengan hutannya,
melalui penetapan zona khusus, yaitu zona pemukiman dan garapan yang telah
ada sebelum penunjukan TNGHS. Untuk mengatur akses pengelolaan masyarakat
lokal dibutuhkan regulasi zona khusus berupa kontrak sosial (MoU antara
BTNGHS dengan masyarakat adat, non-adat dan pendatang perihal pengaturan
akses, pemanfaatan, dan kontrol atas sumber-sumber agraria (tata ruang lokal
dalam zona khusus) di dalam kawasan TNGHS.
Dalam penyusunan regulasi zonasi, ada beberapa aktivitas yang harus
dilakukan antara masyarakat adat dan negara yaitu membangun kontrak sosial
(MoU) antara BTNGHS dengan komunitas adat dalam hal akses pemanfaatan dan
kontrol atas sumberdaya hutan dan kepadatan penduduk yang sesuai dengan daya
dukung wilayah konservasi, membangun kontrak sosial (MoU) antara BTNGHS
dengan pihak pengguna (wisata, tambang, dan lain-lain) perihal penggunaan lahan
yang harus mementingkan aspek konservasi, memantau penegakan kontrak sosial
dan kesepakatan serta memberi sanksi atas pelanggaran kesepakatan.
Proses kesepakatan (MoU) dengan Masyarakat Kasepuhan tersebut belum
sepenuhnya terealisasi. Sampai saat ini, BTNGHS masih melakukan proses
pemetaan untuk hutan adat menurut versi masyarakat yang akan disesuaikan
dengan zonasi menurut taman nasional. Masih adanya tarik ulur kepentingan
antara negara dan masyarakat, dimana kesepakatan tersebut masih dinilai kurang
adil oleh masyarakat karena membatasi masyarakat pada zona khusus yang
175
merupakan wilayah pemukiman dan lahan garapan yang aktif pada saat ini,
sementara dalam konsepsi masyarakat, lahan garapan juga termasuk lahan yang
tidak dalam kondisi aktif, yaitu seperti ladang-ladang yang ditinggalkan sementara
yang menurut TNGHS dikatagorikan sebagai lahan kritis.
Dalam persepsi mayarakat Kasepuhan, ada beberapa kesepakatan penting
yang harus dibangun antara TNGHS dengan Masyarakat Kasepuhan sebagaimana
dikemukakan oleh Abah Asep, sebagai berikut:
1. “pertama, perlu dilakukannya pemetaan tata batas hutan dalam konsep
zonasi masyarakat dan dalam konsep zonasi taman nasional. Adapun data
yang ada dari taman nasional tumpang tindih dan tidak jelas serta tidak
nyata. Ada perbedaan antara peta menurut badan koordinasi survei dan
pemetaan nasional (BAKOSURTANAL) dan peta taman nasional.
2. Kedua, pendefinisian zona pemanfaatan harus selaras dengan zona garapan
adat, pemukiman dan garapan masyarakat, karena masyarakat adat juga
mengetahui bahwa hutan inti (leuweung hideung) tidak akan diganggu.
3. Ketiga, mengenai aturan enclave. Taman nasional hanya mengakui adanya
enclave perkebunan PT. Nirmala Agung, mengapa tidak mengakui adanya
enclave masyarakat adat, padahal keberadaan masyarakat adat di kawasan
ini sudah sejak abad ke 14 sebelum adanya Belanda, masyarakat sudah
tinggal disini, dekat Perkebunan Nirmala Agung yaitu Kampung Urug
Kecamatan Jasinga. Dari sejak saat itu sampai sekarang sudah ada 10
keturunan. Bukti adanya keturunan pertama bisa dipertanggungjawabkan
di Cipatat Urug, buktinya adalah adanya kuburan nenek moyang. Jika
perkebunan bisa diberlakukan enclave, mestinya juga dapat diberikan
enclave untuk lahan garapan masyarakat, yang sebenarnya lahan garapan
masyarakat di kawasan taman nasional ini sudah dibuka sejak tahun
1941.”
Ucapan Abah Asep tersebut merupakan harapan kesepakatan yang ingin
dibangun oleh masyarakat dengan BTNGHS. Masyarakat Kasepuhan tidak ingin
menguasai kawasan hutan secara keseluruhan, karena dalam konsep pengelolaan
hutan Kasepuhan juga mengajarkan adanya beberapa kawasan yang harus tetap
dijaga kelestariannya. Namun Kasepuhan menginginkan adanya hak akses pada
176
“hutan garapan” mereka sebagai sumber livelihood masyarakatnya. Oleh karena
itu memang perlu adanya pendefinisian ulang mengenai zona pemanfaatan
TNGHS, sehingga memungkinkan zona pemanfaatan tersebut berada pada peta
“leuweung garapan” masyarakat.
Upaya penyelesaian konflik Sungai Utik relatif lebih sulit karena perjuangan
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif stagnan, karena sejak konflik pertama
berlangsung di tahun 1984 sampai sekarang, tidak ada upaya yang nyata dari
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik untuk mengajukan kawasan Hutan Sungai
Utik sebagai wilayah kawasan hutan kelola adat secara formal melalui surat
formal, kajian naskah akademik maupun dengan dialog secara langsung. Bahkan
peta sebagai bukti teritori wilayah kuasa Sungai Utik yang dimiliki oleh Sungai
Utik sejak lama (tahun 1987) melalui bantuan dari PPSDAK (pembinaan
pengelolaan sumberdaya alam kemasyarakatan) sampai sekarang belum pernah
diajukan untuk dilegalisasi.
Usaha yang sudah dilakukan oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik
dalam rangka memperjuangkan Hutan Sungai Utik sebagai hutan adat, dapat
dikemukakan, sebagai berikut:
(1) Pemetaan wilayah adat (difasilitasi oleh PPSDAK) yang bertujuan untuk
mengetahui batas-batas wilayah berdasarkan sejarah asal-usul dan mencari
alat untuk mempertahankan wilayah dalam bentuk peta;
(2) Penguatan institusi lokal, hukum adat dan budaya lokal yang bertujuan untuk
mengembalikan kedaulatan orang iban dengan struktur yang mereka miliki
dari dulu yaitu temenggung (istilah temenggung merupakan kooptasi dari
pemerintah Belanda), pateh dan tuai rumah yang nyaris hilang sebagai akibat
kooptasi pemerintah melalui UU No. 5/1979 (difasilitasi oleh LBBT);
(3) Inventarisasi hutan (difasilitasi oleh PPSDAK) untuk mengetahui potensi/
kekayaan hutan;
(4) Identifikasi hak ulayat yang bertujuan untuk mengetahui dan menyelesaikan
kontroversi keberadaan hak ulayat serta memberikan kepastian hukum akan
eksistensi tanah ulayat tersebut. (sumber data: Kanyan-LBBT)
Penyelesaian konflik Sungai Utik dilihat dari konsep negara diatur dalam
aturan negara sebagai penjelasan tambahan dari UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
177
Kehutanan, yaitu Surat Edaran dari Menteri Kehutanan Nomor. S.75/Menhut-
II/2004 Tanggal 12 Maret 2004, perihal Surat Edaran Masalah Hukum Adat dan
Tuntutan Kompensasi/ Ganti Rugi Oleh Masyarakat Hukum Adat.
Dalam surat edaran tersebut menegaskan bahwa hutan dapat terdiri dari
hutan negara dan hutan hak. Hutan negara bisa berupa hutan adat. Artinya bahwa
ketika masyarakat adat mengklaim sebagai hutan adat maka sesungguhnya hutan
tersebut adalah hutan negara. Namun masyarakat adat diberi hak untuk
memanfaatkan hutan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat
tersebut masih ada dan diakui keberadaannya, maka berhak: a. melakukan
pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-
undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
Pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan
peraturan daerah. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) disebutkan
bahwa “Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut
kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a. masyarakatnya masih dalam bentuk
paguyuban (rechtsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan
perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e. masih
mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Jadi jika masyarakat hukum adat ingin diakui keberadaanya dan
memperoleh hak-haknya terhadap hutan, maka harus ada pengakuan yang
ditetapkan melalui peraturan daerah. Peraturan daerah disusun dengan
mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat
setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta
instansi atau pihak lain yang terkait.
Dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan yang ditujukan kepada gubernur/
bupati/ walikota di seluruh Indonesia tersebut disebutkan bahwa “.....dalam rangka
mengakomodasi tuntutan oleh masyarakat hukum adat, maka kami minta kepada
178
saudara untuk dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut: a. Apabila di
wilayah saudara terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum adat di dalam kawasan
hutan yang selama ini telah dibebani dengan hak pengusahaan hutan/izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), maka terhadap permohonan atau
tuntutan tersebut perlu sebelumnya dilakukan penelitian oleh pakar hukum adat,
tokoh masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan, instansi atau pihak lain
yang terkait serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan
apakah permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat
atau bukan.
Penelitian tersebut harus mengacu kepada kriteria keberadaan masyarakat
hukum adat sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) UU
Nomor 41 Tahun 1999. Untuk menetapkan hutan negara sebagai hutan adat yang
pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap)
setempat, bupati/walikota melakukan pengusulan hutan negara tersebut untuk
ditetapkan sebagai hutan adat dengan memuat letak, luas hutan serta peta hutan
adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan dengan rekomendasi gubernur,
dengan ketentuan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila berdasarkan hasil
penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat, maka agar masyarakat hukum
adat tersebut dapat ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. Peraturan daerah
tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya disampaikan kepada
Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan adat.
Atas permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima atau menolak
penetapan hutan adat. Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri
Kehutanan dapat menerima maka akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat
yang bersangkutan. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan tentang penetapan
hutan adat tersebut, yang akan dikirimkan kepada saudara, maka kami minta
bantuan saudara untuk dapat memfasilitasi pertemuan antara masyarakat hukum
adat (yang telah ditetapkan) dengan pemegang HPH/IUPHHK.. Berkaitan dengan
tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat terhadap para
pemegang HPH/IUPHHK yang melakukan kegiatan/operasi di wilayah
masyarakat hukum adat tersebut, maka ganti rugi atau kompensasi tidak harus
179
berbentuk uang, tetapi dapat berupa bentuk mata pencaharian baru atau
keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan disekitarnya atau pembangunan
fasilitas umum/sosial yang bermanfaat bagi masyarakat hukum adat setempat dan
dalam batas kewajaran/tidak berlebihan, serta tidak bertendensi pemerasan dan
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hukum adat setempat.
Dengan adanya tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat
terhadap para pemegang HPH/IUPHHK, gubernur atau bupati/walikota dapat
memfasilitasi pertemuan antara pihak yang bersangkutan untuk penyelesaian
dengan cara musyawarah dan mufakat. Namun apabila mengalami jalan buntu,
maka penyelesaiannya disarankan dilakukan melalui proses pengadilan dengan
mengajukan gugatan secara perdata melalui peradilan umum.
Mengacu pada surat edaran tersebut maka solusinya adalah penetapan Hutan
Sungai Utik sebagai hutan adat, namun hutan adat adalah hutan negara, sekalipun
pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat adat, namun tetap mengakomodir
keberadaan IUPHHK, sementara masyarakat memperoleh ganti rugi dari
keberadaan IUPHHK tersebut. Apa yang ditawarkan oleh surat edaran tersebut
tentu saja bertentangan dengan keinginan masyarakat, karena saat ini sekalipun
hutan Masyarakat Dayak Iban tidak berstatus sebagai hutan adat, namun
masyarakat mempunyai akses mutlak untuk mengelola hutan. Masyarakat mampu
menjaga hutan dari masuknya perusahaan IUPHHK.
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/91, tentang Peranan
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan Dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan
di Sekitar Hutan, disebutkan bahwa “masyarakat di dalam dan di sekitar hutan
adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun
di pedesaan sekitar hutan”. Berdasarkan keputusan menteri tersebut, dalam konsep
negara, hutan yang dijadikan lahan IUPHHK tersebut juga harus memberi manfaat
bagi masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar hutan. Namun sekalipun
masyarakat diberi ruang untuk memanfaatkan kayu maupun non kayu pada areal
hutan yang telah diberi status hutan HPH, namun keinginan Masyarakat Dayak
Iban Sungai Utik hanyalah ingin hutan mereka tetap lestari dalam penguasaan
Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.
180
Perbedaan sikap kedua masyarakat tersebut dilandasi karena adanya
perbedaan nilai-nilai budaya (state of believe). Nilai-nilai budaya mempengaruhi
sikap dan tindakan masyarakat dalam menyelesaikan konflik. Masyarakat
Kasepuhan menempuh jalan dialog dengan bantuan dari LSM dan pemerintah
daerah selaku mediator dalam penyelesaian konflik dengan BTNGHS. Adapun
pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, penyelesaian konflik dilakukan dengan
jalan meningkatkan kemampuan kelembaaan Dayak Iban Sungai Utik melalui
bantuan dari LSM sehingga mampu menunjukkan bahwa Masyarakat Dayak Iban
Sungai Utik layak untuk melakukan pengelolan hutan berbasis masyarakat, yang
dibuktikan dengan diperolehnya sertifikat ekolabeling. Sertifikat ini menjadi
modal dari Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam memperjuangkan Hutan
Sungai Utik sebagai hutan adat.
Keinginan Masyarakat Sungai Utik adalah bahwa hutan itu tetap lestari. Sebagaimana dikemukakan oleh Ape Janggut, sebagai berikut: “Kami bukannya tidak mau mendukung program pemerintah yang menjadikan hutan ini sebagai kawasan HPH dan diberikan pada pengusaha, namun hutan ini adalah hutan kami, hutan titipan dari anak cucu kami generasi masa datang. Apa yang akan kami katakan pada mereka jika hutan tersebut rusak. Kami menjaganya untuk mereka kelak, bukan hanya untuk mewariskan kayu pada mereka, tapi yang ingin kami wariskan adalah hutan yang masih lestari, agar mereka masih tetap memiliki sumber mata air yang bersih, mereka masih bisa lihat keaneka ragaman jenis kayu dan jenis-jenis tanaman lain, serta memberi tempat pada makhluk-makhluk lain seperti hewan untuk hidup. Untuk kepentingan kami sendiri saat ini sudah cukup dengan memanfaatkan wilayah garapan kami baik untuk menanam padi, kebun karet maupun menanam jenis-jenis pohon kayu yang lain.”