5 penularan penyakit jembrana jun2004

7
PENULARAN PENYAKIT JEMBRANA: PERANAN SERANGGA PENGISAP DARAH 1 (The Mode of Transmission of Jembrana Disease: The Role of Blood Sucking Insect) Anak Agung Gde Putra dan Kukuh Sulistyana Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar ABSTRAK Secara eksperimental telah diperoleh suatu indikasi kuat bahwa penyakit Jembrana (JD) dapat ditularkan secara mekanis melalui serangga pengisap darah. Penyidikan ini bertujuan untuk memperluas penyidikan sebelumnya dengan mengamati lebih dekat peranan serangga pengisap darah dalam penularan JD di lapangan. Sebagai sumber penularan dibuat satu ekor hewan donor JD. Empat ekor sapi Bali (peka) diekpose terhadap hewan donor JD tadi mulai demam hari kedua. Hewan donor diletakkan pada posisi tengah, sementara 4 ekor sapi Bali peka pada setiap sudut dari suatu skema bujur sangkar, masing-masing pada jarak 1 meter. Ekpose dilakukan selama hewan donor demam, antara pukul 18.00 sampai dengan 06.00, di suatu kandang terbuka di lingkungan Laboratorium BPPV Regional VI Denpasar. Sebelum dan setelah masa ekpose, hewan donor dan hewan percobaan ditaruh dalam kandang terpisah yang dilengkapai kawat kasa (insect proof). Pada pengamatan, hewan donor mati akibat JD setelah mengalami demam selama 5 hari, jadi masa ekspose dari hewan percobaan terhadap hewan donor hanya berlangsung selama 4 malam. Dua ekor hewan percobaan memperlihatkan gejala klinis JD (demam, leucopenia, pembengkakan limfoglandula prescapularis dan prefemoralis, berak darah) berturut-turut mulai hari ke 11 dan hari ke 8 setelah diekpose pada hewan donor. Kedua ekor sapi Bali percobaan tersebut akhirnya mati pada hari ke 16 dan ke 17 setelah ekpos, dan berdasarkan pemeriksaan patologi/histopatologi keduanya positif menderita penyakit Jembrana. Sementara 2 ekor sapi Bali lainnya tidak dapat diamati karena mati oleh sebab traumatik/mekanik pada awal penyidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penularan JD di lapangan dapat terjadi melalui serangga pengisap darah, antara hewan sakit dan hewan sehat. Kata Kunci: penyakit Jembrana, vektor, sapi Bali ABSTRACT From the result of the previous study there has been a strong indication that Jembrana disease could be transmitted by blood sucking insect mechanically. The aims of the present study was to expand the previous finding regarding the possible role of blood sucking insects as mechanical vector of JD in the field. A susceptible Bali cattle was infected experimentally and it was then used as donor animal (source of infection). Four susceptible Bali cattle were then exposured to the donor animal at the second day of fever under field condition. The donor cattle was placed in the center while four susceptible animals was each placed at each corner of quadriangle at one meter distance, therefore each of the experimental animals was not able to contact fisically each other. All of the susceptible animals were exposured to donor animal at night between 18:00 to 06:00. During the day time both groups of 1 Diambil dari Laporan Penyidikan Tahun 1995, BPPH Wilayah VI Denpasar.

Upload: terangbulan

Post on 01-Jan-2016

186 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 5 Penularan Penyakit Jembrana Jun2004

PENULARAN PENYAKIT JEMBRANA:

PERANAN SERANGGA PENGISAP DARAH 1

(The Mode of Transmission of Jembrana Disease:

The Role of Blood Sucking Insect)

Anak Agung Gde Putra dan Kukuh Sulistyana

Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar

ABSTRAK

Secara eksperimental telah diperoleh suatu indikasi kuat bahwa penyakit Jembrana (JD) dapat

ditularkan secara mekanis melalui serangga pengisap darah. Penyidikan ini bertujuan untuk

memperluas penyidikan sebelumnya dengan mengamati lebih dekat peranan serangga pengisap darah

dalam penularan JD di lapangan.

Sebagai sumber penularan dibuat satu ekor hewan donor JD. Empat ekor sapi Bali (peka) diekpose

terhadap hewan donor JD tadi mulai demam hari kedua. Hewan donor diletakkan pada posisi tengah,

sementara 4 ekor sapi Bali peka pada setiap sudut dari suatu skema bujur sangkar, masing-masing

pada jarak 1 meter. Ekpose dilakukan selama hewan donor demam, antara pukul 18.00 sampai dengan

06.00, di suatu kandang terbuka di lingkungan Laboratorium BPPV Regional VI Denpasar. Sebelum

dan setelah masa ekpose, hewan donor dan hewan percobaan ditaruh dalam kandang terpisah yang

dilengkapai kawat kasa (insect proof).

Pada pengamatan, hewan donor mati akibat JD setelah mengalami demam selama 5 hari, jadi masa

ekspose dari hewan percobaan terhadap hewan donor hanya berlangsung selama 4 malam. Dua ekor

hewan percobaan memperlihatkan gejala klinis JD (demam, leucopenia, pembengkakan limfoglandula

prescapularis dan prefemoralis, berak darah) berturut-turut mulai hari ke 11 dan hari ke 8 setelah

diekpose pada hewan donor. Kedua ekor sapi Bali percobaan tersebut akhirnya mati pada hari ke 16

dan ke 17 setelah ekpos, dan berdasarkan pemeriksaan patologi/histopatologi keduanya positif

menderita penyakit Jembrana. Sementara 2 ekor sapi Bali lainnya tidak dapat diamati karena mati oleh

sebab traumatik/mekanik pada awal penyidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penularan

JD di lapangan dapat terjadi melalui serangga pengisap darah, antara hewan sakit dan hewan sehat.

Kata Kunci: penyakit Jembrana, vektor, sapi Bali

ABSTRACT

From the result of the previous study there has been a strong indication that Jembrana disease could be

transmitted by blood sucking insect mechanically. The aims of the present study was to expand the

previous finding regarding the possible role of blood sucking insects as mechanical vector of JD in the

field.

A susceptible Bali cattle was infected experimentally and it was then used as donor animal (source of

infection). Four susceptible Bali cattle were then exposured to the donor animal at the second day of

fever under field condition. The donor cattle was placed in the center while four susceptible animals

was each placed at each corner of quadriangle at one meter distance, therefore each of the

experimental animals was not able to contact fisically each other. All of the susceptible animals were

exposured to donor animal at night between 18:00 to 06:00. During the day time both groups of

1 Diambil dari Laporan Penyidikan Tahun 1995, BPPH Wilayah VI Denpasar.

Page 2: 5 Penularan Penyakit Jembrana Jun2004

animals were kept in different insect proof stable.

The JD donor animal dead after having fever for five days, thus this animal was available as the surce

of infection only for four days. The result of the study showed that two of the susceptible animals

showed cninical signs of JD on day 11 and day 8 respectivelly following exposured to the donor

animals. Both of these experimental animal finally dead on day 16 and 17 following exposured to the

donor animal and the histopathological features of these two animals was positive JD. Meanwhile, the

other two susceptible Bali cattle were excluded from the analysis because it dead on the second day of

exposured due to mechanical factor. Of this finding it is reasonable to conclude that the blood sucking

insect could trasmitt JD virus from infected animal during fever to susceptible Bali cattle.

Keywords: Jembrana disease, vector, Bali cattle

PENDAHULUAN

Sekarang penyakit Jembrana (JD) telah

diketahui disebabkan oleh retrovirus

(Wilcox et al., 1992; Kertayadnya et

al., 1993). Dahulu JD dinyatakan

sebagai penyakit yang bersifat non-

contagious dalam arti tidak terjadi

penularan secara kontak langsung

antara hewan sakit dengan hewan sehat.

Secara eksperimental, Dennig (1977)

mengklaim bahwa caplak Boophilus

microplus mampu menularkan JD

secara transovarial, ini berarti terjadi

perkembangbiakan dari agen JD di

dalam tubuh caplak. Namun demikian,

penelitian ulang terhadap peranan B.

microplus dalam penularan JD tidak

dapat membuktikan peran caplak

sebagai vektor biologi JD (Sulistyana

dan Putra, 1993). Dari pengamatan

lapangan tidak ada petunjuk bahwa

setiap kejadian/kasus JD selalu ada

kaitannya dengan infestasi caplak B.

microplus (Putra dkk., 1983), dengan

demikian peranan caplak dalam

penyebaran JD dapat dikesampingkan.

Penyidikan vektor biologis lainnya

telah dilakukan pada nyamuk Aedes

lineatopennis. Dengan variasi jumlah

nyamuk yang digunakan serta variasi

masa inkubasi (extrinsic incubation

period), Putra (2002) melaporkan

bahwa Aedes lineatopennis tidak

mampu mendukung perkembangbiakan

virus JD. Dengan kata lain nyamuk ini

tidak memiliki potensi untuk

menularkan JD secara biologis. Lebih

lanjut, Putra menyarankan bila agen JD

adalah retrovirus maka penularan JD

melalui serangga pengisap darah

mungkin terjadi secara mekanis.

Tingginya titer virus JD dalam darah

penderita pada saat demam (masih

infeksius pada pengenceran 10-8

)

(Soeharsono et al., 1990) memberi

peluang terhadap arthropoda pengisap

darah untuk menularkan JD secara

mekanis. Mekanisma seperti ini telah

dilaporkan terjadi pada penyakit equine

infectious anaemia pada kuda yang

disebabkan oleh retrovirus (Foil et al.,

1983; Hawkins et al., 1973; 1976).

Mekanisma penularan secara mekanis

terjadi karena arthropoda pengisap

darah mengalami gangguan pada saat

mengisap darah (interrupted feeding)

hewan penderita dan selanjutnya

mengisap darah kembali pada hewan

sehat. Pada saat inilah dapat terjadi

penularan, yaitu melalui virus yang

mengkontaminasi alat mulut arthropoda

pengisap darah tersebut. Dalam kaitan

itu, Putra (1993) telah melaporkan

bahwa virus JD yang mengkontaminasi

alat mulut Tabanus rubidus mampu

menimbulkan gejala klinis dan

Page 3: 5 Penularan Penyakit Jembrana Jun2004

perubahan patologi / histopatologi JD

pada hewan percobaan. Secara

eksperimental, virus JD yang

mengkontaminasi alat mulut nyamuk

juga mampu menimbulkan JD pada

hewan percobaan (Putra dkk., 2004).

Dibandingkan dengan penelitian JD

lainnya, penelitian mengenai potensi

arthropoda pengisap darah dalam

penularan JD boleh dikatakan sangat

terbatas jumlahnya. Dengan demikian

maka penelitian ini dimaksudkan untuk

memperluas penelitian sebelumnya

(Putra dkk., 2004) terhadap

kemungkinan penularan penyakit

Jembrana di lapangan melalui serangga

(nyamuk) pengisap darah.

MATERI DAN METODA

1. Hewan Percobaan dan Sapi Donor

Sapi percobaan yang digunakan dalam

penyidikan ini dipilih dan dipelihara

seperti telah diuraikan sebelumnya

(Putra, 1993; 2002). Pembuatan sapi

donor dengan menggunakan prosedur

sama seperti yang diuraikan oleh

Soeharsono et al. (1990) dan Putra

(2002).

2. Rancangan Penyidikan

Empat ekor sapi Bali (peka) diekpose

terhadap satu ekor hewan donor JD

mulai demam hari ke dua. Hewan

donor diletakkan pada posisi tengah,

sementara 4 ekor sapi Bali peka, pada

waktu yang bersamaan, diletakkan pada

setiap sudut dari suatu skema bujur

sangkar. Masing-masing hewan berada

pada jarak 1 meter, jadi tidak

dimungkinkan adanya kontak fisik

antara hewan yang satu dengan hewan

lainnya. Ekpose dilakukan selama

hewan demam, antara pukul 18.00

sampai dengan 06.00, di suatu kandang

terbuka di lingkungan Laboratorium

BPPV Regional VI Denpasar. Sebelum

dan setelah masa ekpose, semua hewan

percobaan ditaruh di dalam kandang

yang diperlengkapi dengan kawat kasa

(insect proof). Hewan donor JD dan

hewan percobaan lainnya diletakkan

dalam kandang terpisah.

3. Pengamatan

Satu hari setelah ekpose dengan hewan

donor JD, semua hewan percobaan

diamati setiap hari terhadap gejala

klinis yang timbul. Temperatur rektal

diambil setiap hari pasca ekpose

sampai dengan hari ke 21. Pengambilan

darah untuk penghitungan lekosit

terhadap semua hewan percobaan

dilakukan mulai hari ke 7 setelah

ekpose. Untuk konfirmasi JD secara

patologi/histopatologi dilakukan

nekropsi terhadap semua hewan

percobaan.

HASIL

Pada awal pengamatan yaitu 2 hari

setelah ekpose, 2 dari 4 ekor hewan

percobaan mati karena traumatik

mekanik, dengan demikian tidak diikut

sertakan dalam analisis data. Hewan

donor JD memperlihatkan demam

mulai hari ke 5 pasca inokulasi, selama

5 hari (sampai hari ke 9), selanjutnya

berakhir dengan kematian pada hari ke

10 saat demam mulai menghilang.

Hasil pemeriksaan patologi/

histopatologi mengukuhkan bahwa

hewan donor JD benar-benar menderita

penyakit Jembrana karena infeksi

buatan.

Ke dua ekor hewan percobaan (yang

tertinggal) memperlihatkan gejala

klinis JD berupa; demam, leucopenia,

pembengkakan limfoglandula

prescapularis dan prefemoralis, berak

Page 4: 5 Penularan Penyakit Jembrana Jun2004

darah. Kedua ekor sapi percobaan

tersebut berakhir dengan kematian, satu

ekor mati pada hari ke 16 (CB 55) dan

yang satu lagi (CB 53) mati pada hari

ke 17 pasca ekspose. Hasil

pemeriksaan patologi / histopatologi

memperlihatkan perubahan-perubahan

yang khas JD. Hasil pengamatan gejala

klinis (demam dan leucopenia) dan

konfirmasi patologi / histopatologi

diringkaskan dalam Tabel 1.

Tabel 1

Lamanya demam (suhu ≥ 39,5oC), leucopenia (jumlah leucocyte ≤ 4.000 /ml) dan

hasil pemeriksaan histopatologi dari sapi Bali percobaan yang diekpose terhadap sapi

Bali penderita JD pada saat demam.

Hewan

percobaan

(kode)

Demam

pasca

ekpose

(hari ke)

Lama

demam

(hari)

Leucopenia

pasca

ekpose

(hari ke)

Lama

leucopenia

(hari)

Pemeriksaan

patologi/

histopatologi

CB 55 11-14 4 11-15 5

CB 53 8-16 9 8-14 7 JD

CB 51 tad tad JD

CB 47 tad tad

Rata-rata : 6,5 6,0

Keterangan; tad = tidak ada data, hewan ini mati (terpeleset di lantai kemudian

lehernya tercekik) pada hari ke dua setelah ekpose terhadap

hewan donor.

PEMBAHASAN

Sebelumnya telah dilaporkan bahwa

agen JD tidak dapat berkembang biak

didalam tubuh Boophilus microplus

dan Aedes lineatopennis, dengan kata

lain caplak dan nyamuk ini tidak dapat

bertindak sebagai vektor biologis

(Sulistyana dan Putra, 1993; Putra,

2002). Bila arthropoda pengisap darah

memang ikut berperan dalam penularan

JD, kemungkinan besar arthropoda

akan berperan sebagai vektor mekanis.

Mekanisma penularan seperti ini

diketahui terjadi pada equine infectious

anaemia yang juga disebabkan oleh

retrovirus (Foil et al., 1983; Hawkins

et al., 1973; 1976).

Secara eksperimental, telah dilaporkan

bahwa Tabanus rubidus dan nyamuk

mempunyai potensi untuk menularkan

JD secara mekanis (Putra, 1993; Putra

dkk., 2004). Dalam kaitan itu,

penyidikan ini dirancang untuk melihat

peranan serangga nocturnal (serangga

yang aktif pada malam hari), dalam hal

ini nyamuk, terhadap kemungkinannya

sebagai agen penular JD di lapangan.

Page 5: 5 Penularan Penyakit Jembrana Jun2004

Dengan metode yang digunakan dalam

penyidikan ini, telah didemontrasikan

bahwa terjadi penularan antara hewan

yang sedang menderita JD (klinis, akut)

dengan sapi Bali peka. Sapi Bali peka

memperlihatkan gejala klinis dan

perubahan patologi / histopatologi yang

khas JD (Soesanto et al., 1990;

Teuscher et al., 1981; Dharma et al.,

1991).

Melihat saat munculnya gejala klinis

(demam, leucopenia) pada hari ke 8

(CB 53) dan hari ke 11 (CB 55), dan

dengan memperhatikan masa inkubasi

JD yang rata-rata 7 hari (Putra dkk.,

2003c; Putra dkk., 2004), bisa

diestimasikan bahwa satu ekor hewan

(CB 53) memperoleh infeksi virus JD

kira-kira pada malam terakhir dari 4

malam masa ekspose dengan hewan

donor. Telah dilaporkan bahwa

sekurang-kurangnya 100 ekor nyamuk

yang terganggu makannya pada

penderita JD, kemudian mengisap

darah hewan sehat, mampu menularkan

JD. Kalau perkiraan di atas tepat,

berarti lebih dari 100 ekor nyamuk

terganggu saat ia mengisap darah dalam

satu malam. Dengan kata lain,

penularan JD secara mekanis lewat

nyamuk antara penderita akut dengan

hewan sehat dapat terjadi dalam satu

malam, bila ia dikandangkan secara

bersama-sama (berdekatan).

Penempatan hewan donor JD pada

jarak 1 meter dengan sapi Bali peka

dapat mengeliminir kemungkinan

penularan melalui kontak, seperti yang

pernah dilaporkan oleh Soeharsono

dkk. (1991). Karena ekpose antara

kedua kelompok sapi (sapi donor dan

sapi peka) tersebut dilakukan pada

malam hari, maka keterlibatan serangga

nocturnal pengisap darah dalam

penularan penyakit tidak dapat

disangsikan lagi. Dari pengamatan

sebelumnya serangga yang dijumpai

dominan menggigit/mengisap darah

sapi percobaan di lokasi yang sama

adalah nyamuk Aedes lineatopennis

dan Anopheles vagus (Putra, 2002).

Selain bangsa nyamuk, banyak lalat

Ceratopogonidae (misalnya Culicoides

spp.) yang bersifat nocturnal. Tetapi

berdasarkan pada pengamatan,

nyamuklah yang diketahui

mendominasi gigitan di lokasi

penyidikan, karenanya cukup alasan

untuk menginkriminasi nyamuk

sebagai agen penular (mekanis)

penyakit dalam penyidikan ini.

Daya terbang nyamuk dalam mencari

hospes relatif tidak begitu jauh (± 10

meter, kecuali kalau diterbangkan

angin). Bertepatan dengan sifat virus

Jembrana yang diketahui sangat fragile

di luar tubuh hospes, maka ia

membutuhkan proses transmisi dalam

waktu yang singkat. Atas dasar

pertimbangan tersebut, nyamuk dapat

berperan penting dalam penularan JD

di lapangan. Jarak yang berdekatan

antara hewan sakit dengan yang sehat

merupakan salah satu faktor penting

dalam penularan penyakit melalui

vektor mekanis, khususnya terhadap

agen penyakit yang daya tahan

hidupnya (viabelitas) rendah di luar

tubuh hospes. Retrovirus penyebab

equine infectious anaemia, dilaporkan

tidak mampu bertahan hidup lama di

luar tubuh hospes, sehingga penularan

hanya terjadi dalam kurun waktu 30

menit setelah lalat (vektor) mengisap

darah penderita (Hawkins et al., 1976).

Telah dilaporkan bahwa prevalensi

antibodi JD, baik di Bali maupun di

Kalimantan Selatan, erat kaitannya

dengan jumlah hewan yang dipelihara

dalam satu rumah/kandang (Putra dkk.,

2003ab). Data ini juga

mengindikasikan, peran arthropoda

Page 6: 5 Penularan Penyakit Jembrana Jun2004

pengisap darah, termasuk nyamuk,

dalam menularkan JD secara mekanis

sulit dikesampingkan. Argumentasi ini

juga didukung oleh kenyataan bahwa

kejadian JD di lapangan biasanya

menjalar relatif cepat hanya pada suatu

lokasi / populasi hewan yang relatif

saling berdekatan (Putra dkk., 1983)

dan menyebar ke luar lokasi tertular

relatif lambat. Misalnya, pada wabah

JD yang terjadi pertama kali di Bali

pada tahun 1964, dibutuhkan waktu

kurang lebih 8 bulan sampai ia

dijumpai di seluruh Bali (Pranoto and

Pudjiastono, 1967).

Walaupun serangga pengisap darah

(nyamuk) dalam penyidikan ini mampu

menularkan JD secara mekanis, timbul

pertanyaan mampukah nyamuk

menularkan JD dari hewan karier?

Seperti telah dilaporkan sebelumnya,

bahwa dapat terjadi penularan antara

hewan karier ke sapi peka bila ia

digembalakan secara bersama-sama

(Putra, 2003). Arthropoda pengisap

darah yang mana terlibat dalam

penularan tersebut belum diketahui

secara pasti. Mengingat titer virus JD

yang demikian tinggi dalam darah

penderita, di samping lalat Tabanus

dan nyamuk, mungkin masih banyak

arthropoda pengisap darah lainnya yang

ikut berperan secara mekanis dalam

penularan JD di lapangan. Oleh

karenanya masih membutuhkan

penyidikan-penyidikan lebih lanjut.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan

kepada Drh. Susanto Amintorogo,

M.Phil (mantan Kepala BPPH Wilayah

VI Denpasar) atas ijin / tugas untuk

melaksanakan penyidikan ini. Ucapan

terima kasih juga disampaikan kepada;

Sdr. Nengah Mundra yang telah

membantu penanganan / pengambilan

suhu hewan percobaan, Sdr. Widia dan

Made Sutawidjaya yang telah

membantu melakukan nekropsi dan

pemotongan jaringan untuk

pemeriksaan patologi / histopatologi.

Kepada Kolega Drh. Budiantono juga

disampaikan ucapan terimakasih atas

pemeriksaan patologi / histopatologi.

DAFTAR PUSTAKA

Dennig H. K. (1977) The attempted

experimental transmission of Jembrana

disease to Bali cattle with Boophilus

ticks. Hemera Zoa 69: 77-78.

Dharma D. N., Darmadi P., Sudana I. G. dan

Santhia K. (1985) Studi perbandingan

penyakit Jembrana dan Malignant

catarrhal fever pada sapi Bali. Laporan

Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit

Hewan di Indonesia Periode Tahun

1983-1984. Direktorat Kesehatan

Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan,

Jakarta, 77-81.

Dharma D. M. N., Budiantono A., Campbell R.

S. F. and Ladds P. W. (1991) Studies on

experimental Jembrana diasease. III

Pathology. Journal of Comparative

Pathology 105: 397-414.

Foil L. D., Meek C. L., Adams W. V. and Issel

C. J. (1983) Mechanical transmission of

equine infectious anemia virus by deer

flies (Chrysops flavidus) and stable flies

(Stomoxys calcitrans). American Journal

of Veterinary Research 44: 155-156

Hawkins J. A., Adams W. V., Wilson B. H.,

Issel C. J. and Roth E. E. (1976)

Transmission of equine infectious

anemia virus by Tabanus fuscicostatus.

Journal of American Veterinary Medical

Association 168: 63-64.

Kertayadnya G., Wilcox G. E., Soeharsono S.,

Hartaningsih N., Coelen R. J., Cook R.

D., Collins M. E. and Brownlie (1993

Characteristics of a retrovirus associated

with Jembrana disease in Bali cattle.

Page 7: 5 Penularan Penyakit Jembrana Jun2004

Journal of General Virology 74: 1765-

1773.

Putra A. A. G. (1993) Penularan penyakit

Jembrana secara mekanis melalui

Tabanus rubidus. Buletin Veteriner VI

(35): 1-11.

Putra A. A. G. (2002) Attempted transmission

of Jembrana disease with Aedes

lineatopennis. Buletin Veteriner XV

(61): 24-34.

Putra A. A. G. (2003) Peranan hewan karier

penyakit Jembrana dalam penularan

penyakit di lapangan. Buletin Veteriner

XV (63): 27-33.

Putra A. A. G., Dharma D. N., Soeharsono,

Sudana I. G. and Syafriati T. (1983)

Studi epidemiologi penyakit Jembrana

di Kabupaten Karangasem tahun 1981.

I. Tingkat morbiditas, tingkat mortalitas

dan attact rate. Annual Report on

Animal Disease Investigation in

Indonesia During the Period of 1981-

1982, pp. 170-178. Directorate of

Animal Health, Directorate General of

Livestock Service, Jakarta Indonesia.

Putra A. A. G., Sulistyana K., Ananda C. G. R.

K. dan Mayun K. (2003a) Surveilans

seroepidemiologi penyakit Jembrana

pada ternak sentinel di Kabupaten

Jembrana, Bali. Buletin Veteriner XV

(63): 1-15.

Putra A. A. G., Dharma D. M. N. dan Kalianda

J. (2003b) Survei seroepidemiologi

penyakit Jembrana di Kabupaten Tanah

Laut, Kalimantan Selatan. Buletin

Veteriner XV (63): 16-26.

Putra A. A. G., Sulistyana K. dan Budiantono

(2003c) Daya tahan hidup virus penyakit

Jembrana dalam plasma yang disimpan

dalam nitrogen cair. Buletin Veteriner

XV (63): 34-37.

Putra A. A. G., Sulistyana K. dan Budiantono

(2004) Kemampuan virus Jembrana

yang mengkontaminasi alat mulut

nyamuk (Aedes, Culex) untuk

menimbulkan penyakit pada sapi Bali.

Buletin Veteriner XVI (64): ..-..

Pranoto R. A. and Pudjiastono (1967) An

outbreak of highly infectious disease in

cattle and buffaloes on the island of

Bali. Folia Veterinariae Elveka 1: 10-53

Soeharsono S., Hartaningsih N., Soetrisno M.,

Kertayadnya G. and Wilcox G. E.

(1990) Studies on experimental

Jembrana disease in Bali cattle. I.

Transmission and persistence of the

infectious agent in ruminants and pigs,

and resistance of recovered cattle to re-

infection. Journal of Comparative

Pathology 103: 49-59.

Soeharsono S., Tenaya I. W. M. dan Soetrisno

(1991) Bukti penularan secara kontak

penyakit Jembrana pada sapi Bali.

Buletin Veteriner - BPPH VI Denpasar,

Edisi Desember.

Sulistyana K. dan Putra A. A. G. (1993) Usaha

transmisi penyakit Jembrana melalui

Boophilus microplus. Makalah disajikan

pada Seminar Parasitologi Nasional VII

dan Kongres P4I VI pada tanggal 23-25

Agustus 1993, di Pertamina Cottage,

Denpasar, Bali.

Soesanto M., Soeharsono S., Budiantono A.,

Sulistyana K., Tenaya M. and Wilcox G.

E. (1990) Studies on experimental

Jembrana disease in Bali cattle. II.

Clinical signs and haematological

changes. Journal of Comparative

Pathology 103: 61-71.

Teuscher E., Ramachandran S. and Harding H.

P. (1981) Observations on the pathology

of Jembrana disease in Bali cattle.

Zentralblatt fur Veterinarmedizine

Reiche A. 28: 608-622.

Wilcox G. E., Kertayadnya G., Hartaningsih

N., Dharma D. M. N., Soeharsono S.

and Robertson T. (1992) Evidence for

viral aetiology of Jembrana disease in

Bali cattle. Veterinary Microbiology 33:

367-374.