5 penularan penyakit jembrana jun2004
TRANSCRIPT
PENULARAN PENYAKIT JEMBRANA:
PERANAN SERANGGA PENGISAP DARAH 1
(The Mode of Transmission of Jembrana Disease:
The Role of Blood Sucking Insect)
Anak Agung Gde Putra dan Kukuh Sulistyana
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar
ABSTRAK
Secara eksperimental telah diperoleh suatu indikasi kuat bahwa penyakit Jembrana (JD) dapat
ditularkan secara mekanis melalui serangga pengisap darah. Penyidikan ini bertujuan untuk
memperluas penyidikan sebelumnya dengan mengamati lebih dekat peranan serangga pengisap darah
dalam penularan JD di lapangan.
Sebagai sumber penularan dibuat satu ekor hewan donor JD. Empat ekor sapi Bali (peka) diekpose
terhadap hewan donor JD tadi mulai demam hari kedua. Hewan donor diletakkan pada posisi tengah,
sementara 4 ekor sapi Bali peka pada setiap sudut dari suatu skema bujur sangkar, masing-masing
pada jarak 1 meter. Ekpose dilakukan selama hewan donor demam, antara pukul 18.00 sampai dengan
06.00, di suatu kandang terbuka di lingkungan Laboratorium BPPV Regional VI Denpasar. Sebelum
dan setelah masa ekpose, hewan donor dan hewan percobaan ditaruh dalam kandang terpisah yang
dilengkapai kawat kasa (insect proof).
Pada pengamatan, hewan donor mati akibat JD setelah mengalami demam selama 5 hari, jadi masa
ekspose dari hewan percobaan terhadap hewan donor hanya berlangsung selama 4 malam. Dua ekor
hewan percobaan memperlihatkan gejala klinis JD (demam, leucopenia, pembengkakan limfoglandula
prescapularis dan prefemoralis, berak darah) berturut-turut mulai hari ke 11 dan hari ke 8 setelah
diekpose pada hewan donor. Kedua ekor sapi Bali percobaan tersebut akhirnya mati pada hari ke 16
dan ke 17 setelah ekpos, dan berdasarkan pemeriksaan patologi/histopatologi keduanya positif
menderita penyakit Jembrana. Sementara 2 ekor sapi Bali lainnya tidak dapat diamati karena mati oleh
sebab traumatik/mekanik pada awal penyidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penularan
JD di lapangan dapat terjadi melalui serangga pengisap darah, antara hewan sakit dan hewan sehat.
Kata Kunci: penyakit Jembrana, vektor, sapi Bali
ABSTRACT
From the result of the previous study there has been a strong indication that Jembrana disease could be
transmitted by blood sucking insect mechanically. The aims of the present study was to expand the
previous finding regarding the possible role of blood sucking insects as mechanical vector of JD in the
field.
A susceptible Bali cattle was infected experimentally and it was then used as donor animal (source of
infection). Four susceptible Bali cattle were then exposured to the donor animal at the second day of
fever under field condition. The donor cattle was placed in the center while four susceptible animals
was each placed at each corner of quadriangle at one meter distance, therefore each of the
experimental animals was not able to contact fisically each other. All of the susceptible animals were
exposured to donor animal at night between 18:00 to 06:00. During the day time both groups of
1 Diambil dari Laporan Penyidikan Tahun 1995, BPPH Wilayah VI Denpasar.
animals were kept in different insect proof stable.
The JD donor animal dead after having fever for five days, thus this animal was available as the surce
of infection only for four days. The result of the study showed that two of the susceptible animals
showed cninical signs of JD on day 11 and day 8 respectivelly following exposured to the donor
animals. Both of these experimental animal finally dead on day 16 and 17 following exposured to the
donor animal and the histopathological features of these two animals was positive JD. Meanwhile, the
other two susceptible Bali cattle were excluded from the analysis because it dead on the second day of
exposured due to mechanical factor. Of this finding it is reasonable to conclude that the blood sucking
insect could trasmitt JD virus from infected animal during fever to susceptible Bali cattle.
Keywords: Jembrana disease, vector, Bali cattle
PENDAHULUAN
Sekarang penyakit Jembrana (JD) telah
diketahui disebabkan oleh retrovirus
(Wilcox et al., 1992; Kertayadnya et
al., 1993). Dahulu JD dinyatakan
sebagai penyakit yang bersifat non-
contagious dalam arti tidak terjadi
penularan secara kontak langsung
antara hewan sakit dengan hewan sehat.
Secara eksperimental, Dennig (1977)
mengklaim bahwa caplak Boophilus
microplus mampu menularkan JD
secara transovarial, ini berarti terjadi
perkembangbiakan dari agen JD di
dalam tubuh caplak. Namun demikian,
penelitian ulang terhadap peranan B.
microplus dalam penularan JD tidak
dapat membuktikan peran caplak
sebagai vektor biologi JD (Sulistyana
dan Putra, 1993). Dari pengamatan
lapangan tidak ada petunjuk bahwa
setiap kejadian/kasus JD selalu ada
kaitannya dengan infestasi caplak B.
microplus (Putra dkk., 1983), dengan
demikian peranan caplak dalam
penyebaran JD dapat dikesampingkan.
Penyidikan vektor biologis lainnya
telah dilakukan pada nyamuk Aedes
lineatopennis. Dengan variasi jumlah
nyamuk yang digunakan serta variasi
masa inkubasi (extrinsic incubation
period), Putra (2002) melaporkan
bahwa Aedes lineatopennis tidak
mampu mendukung perkembangbiakan
virus JD. Dengan kata lain nyamuk ini
tidak memiliki potensi untuk
menularkan JD secara biologis. Lebih
lanjut, Putra menyarankan bila agen JD
adalah retrovirus maka penularan JD
melalui serangga pengisap darah
mungkin terjadi secara mekanis.
Tingginya titer virus JD dalam darah
penderita pada saat demam (masih
infeksius pada pengenceran 10-8
)
(Soeharsono et al., 1990) memberi
peluang terhadap arthropoda pengisap
darah untuk menularkan JD secara
mekanis. Mekanisma seperti ini telah
dilaporkan terjadi pada penyakit equine
infectious anaemia pada kuda yang
disebabkan oleh retrovirus (Foil et al.,
1983; Hawkins et al., 1973; 1976).
Mekanisma penularan secara mekanis
terjadi karena arthropoda pengisap
darah mengalami gangguan pada saat
mengisap darah (interrupted feeding)
hewan penderita dan selanjutnya
mengisap darah kembali pada hewan
sehat. Pada saat inilah dapat terjadi
penularan, yaitu melalui virus yang
mengkontaminasi alat mulut arthropoda
pengisap darah tersebut. Dalam kaitan
itu, Putra (1993) telah melaporkan
bahwa virus JD yang mengkontaminasi
alat mulut Tabanus rubidus mampu
menimbulkan gejala klinis dan
perubahan patologi / histopatologi JD
pada hewan percobaan. Secara
eksperimental, virus JD yang
mengkontaminasi alat mulut nyamuk
juga mampu menimbulkan JD pada
hewan percobaan (Putra dkk., 2004).
Dibandingkan dengan penelitian JD
lainnya, penelitian mengenai potensi
arthropoda pengisap darah dalam
penularan JD boleh dikatakan sangat
terbatas jumlahnya. Dengan demikian
maka penelitian ini dimaksudkan untuk
memperluas penelitian sebelumnya
(Putra dkk., 2004) terhadap
kemungkinan penularan penyakit
Jembrana di lapangan melalui serangga
(nyamuk) pengisap darah.
MATERI DAN METODA
1. Hewan Percobaan dan Sapi Donor
Sapi percobaan yang digunakan dalam
penyidikan ini dipilih dan dipelihara
seperti telah diuraikan sebelumnya
(Putra, 1993; 2002). Pembuatan sapi
donor dengan menggunakan prosedur
sama seperti yang diuraikan oleh
Soeharsono et al. (1990) dan Putra
(2002).
2. Rancangan Penyidikan
Empat ekor sapi Bali (peka) diekpose
terhadap satu ekor hewan donor JD
mulai demam hari ke dua. Hewan
donor diletakkan pada posisi tengah,
sementara 4 ekor sapi Bali peka, pada
waktu yang bersamaan, diletakkan pada
setiap sudut dari suatu skema bujur
sangkar. Masing-masing hewan berada
pada jarak 1 meter, jadi tidak
dimungkinkan adanya kontak fisik
antara hewan yang satu dengan hewan
lainnya. Ekpose dilakukan selama
hewan demam, antara pukul 18.00
sampai dengan 06.00, di suatu kandang
terbuka di lingkungan Laboratorium
BPPV Regional VI Denpasar. Sebelum
dan setelah masa ekpose, semua hewan
percobaan ditaruh di dalam kandang
yang diperlengkapi dengan kawat kasa
(insect proof). Hewan donor JD dan
hewan percobaan lainnya diletakkan
dalam kandang terpisah.
3. Pengamatan
Satu hari setelah ekpose dengan hewan
donor JD, semua hewan percobaan
diamati setiap hari terhadap gejala
klinis yang timbul. Temperatur rektal
diambil setiap hari pasca ekpose
sampai dengan hari ke 21. Pengambilan
darah untuk penghitungan lekosit
terhadap semua hewan percobaan
dilakukan mulai hari ke 7 setelah
ekpose. Untuk konfirmasi JD secara
patologi/histopatologi dilakukan
nekropsi terhadap semua hewan
percobaan.
HASIL
Pada awal pengamatan yaitu 2 hari
setelah ekpose, 2 dari 4 ekor hewan
percobaan mati karena traumatik
mekanik, dengan demikian tidak diikut
sertakan dalam analisis data. Hewan
donor JD memperlihatkan demam
mulai hari ke 5 pasca inokulasi, selama
5 hari (sampai hari ke 9), selanjutnya
berakhir dengan kematian pada hari ke
10 saat demam mulai menghilang.
Hasil pemeriksaan patologi/
histopatologi mengukuhkan bahwa
hewan donor JD benar-benar menderita
penyakit Jembrana karena infeksi
buatan.
Ke dua ekor hewan percobaan (yang
tertinggal) memperlihatkan gejala
klinis JD berupa; demam, leucopenia,
pembengkakan limfoglandula
prescapularis dan prefemoralis, berak
darah. Kedua ekor sapi percobaan
tersebut berakhir dengan kematian, satu
ekor mati pada hari ke 16 (CB 55) dan
yang satu lagi (CB 53) mati pada hari
ke 17 pasca ekspose. Hasil
pemeriksaan patologi / histopatologi
memperlihatkan perubahan-perubahan
yang khas JD. Hasil pengamatan gejala
klinis (demam dan leucopenia) dan
konfirmasi patologi / histopatologi
diringkaskan dalam Tabel 1.
Tabel 1
Lamanya demam (suhu ≥ 39,5oC), leucopenia (jumlah leucocyte ≤ 4.000 /ml) dan
hasil pemeriksaan histopatologi dari sapi Bali percobaan yang diekpose terhadap sapi
Bali penderita JD pada saat demam.
Hewan
percobaan
(kode)
Demam
pasca
ekpose
(hari ke)
Lama
demam
(hari)
Leucopenia
pasca
ekpose
(hari ke)
Lama
leucopenia
(hari)
Pemeriksaan
patologi/
histopatologi
CB 55 11-14 4 11-15 5
CB 53 8-16 9 8-14 7 JD
CB 51 tad tad JD
CB 47 tad tad
Rata-rata : 6,5 6,0
Keterangan; tad = tidak ada data, hewan ini mati (terpeleset di lantai kemudian
lehernya tercekik) pada hari ke dua setelah ekpose terhadap
hewan donor.
PEMBAHASAN
Sebelumnya telah dilaporkan bahwa
agen JD tidak dapat berkembang biak
didalam tubuh Boophilus microplus
dan Aedes lineatopennis, dengan kata
lain caplak dan nyamuk ini tidak dapat
bertindak sebagai vektor biologis
(Sulistyana dan Putra, 1993; Putra,
2002). Bila arthropoda pengisap darah
memang ikut berperan dalam penularan
JD, kemungkinan besar arthropoda
akan berperan sebagai vektor mekanis.
Mekanisma penularan seperti ini
diketahui terjadi pada equine infectious
anaemia yang juga disebabkan oleh
retrovirus (Foil et al., 1983; Hawkins
et al., 1973; 1976).
Secara eksperimental, telah dilaporkan
bahwa Tabanus rubidus dan nyamuk
mempunyai potensi untuk menularkan
JD secara mekanis (Putra, 1993; Putra
dkk., 2004). Dalam kaitan itu,
penyidikan ini dirancang untuk melihat
peranan serangga nocturnal (serangga
yang aktif pada malam hari), dalam hal
ini nyamuk, terhadap kemungkinannya
sebagai agen penular JD di lapangan.
Dengan metode yang digunakan dalam
penyidikan ini, telah didemontrasikan
bahwa terjadi penularan antara hewan
yang sedang menderita JD (klinis, akut)
dengan sapi Bali peka. Sapi Bali peka
memperlihatkan gejala klinis dan
perubahan patologi / histopatologi yang
khas JD (Soesanto et al., 1990;
Teuscher et al., 1981; Dharma et al.,
1991).
Melihat saat munculnya gejala klinis
(demam, leucopenia) pada hari ke 8
(CB 53) dan hari ke 11 (CB 55), dan
dengan memperhatikan masa inkubasi
JD yang rata-rata 7 hari (Putra dkk.,
2003c; Putra dkk., 2004), bisa
diestimasikan bahwa satu ekor hewan
(CB 53) memperoleh infeksi virus JD
kira-kira pada malam terakhir dari 4
malam masa ekspose dengan hewan
donor. Telah dilaporkan bahwa
sekurang-kurangnya 100 ekor nyamuk
yang terganggu makannya pada
penderita JD, kemudian mengisap
darah hewan sehat, mampu menularkan
JD. Kalau perkiraan di atas tepat,
berarti lebih dari 100 ekor nyamuk
terganggu saat ia mengisap darah dalam
satu malam. Dengan kata lain,
penularan JD secara mekanis lewat
nyamuk antara penderita akut dengan
hewan sehat dapat terjadi dalam satu
malam, bila ia dikandangkan secara
bersama-sama (berdekatan).
Penempatan hewan donor JD pada
jarak 1 meter dengan sapi Bali peka
dapat mengeliminir kemungkinan
penularan melalui kontak, seperti yang
pernah dilaporkan oleh Soeharsono
dkk. (1991). Karena ekpose antara
kedua kelompok sapi (sapi donor dan
sapi peka) tersebut dilakukan pada
malam hari, maka keterlibatan serangga
nocturnal pengisap darah dalam
penularan penyakit tidak dapat
disangsikan lagi. Dari pengamatan
sebelumnya serangga yang dijumpai
dominan menggigit/mengisap darah
sapi percobaan di lokasi yang sama
adalah nyamuk Aedes lineatopennis
dan Anopheles vagus (Putra, 2002).
Selain bangsa nyamuk, banyak lalat
Ceratopogonidae (misalnya Culicoides
spp.) yang bersifat nocturnal. Tetapi
berdasarkan pada pengamatan,
nyamuklah yang diketahui
mendominasi gigitan di lokasi
penyidikan, karenanya cukup alasan
untuk menginkriminasi nyamuk
sebagai agen penular (mekanis)
penyakit dalam penyidikan ini.
Daya terbang nyamuk dalam mencari
hospes relatif tidak begitu jauh (± 10
meter, kecuali kalau diterbangkan
angin). Bertepatan dengan sifat virus
Jembrana yang diketahui sangat fragile
di luar tubuh hospes, maka ia
membutuhkan proses transmisi dalam
waktu yang singkat. Atas dasar
pertimbangan tersebut, nyamuk dapat
berperan penting dalam penularan JD
di lapangan. Jarak yang berdekatan
antara hewan sakit dengan yang sehat
merupakan salah satu faktor penting
dalam penularan penyakit melalui
vektor mekanis, khususnya terhadap
agen penyakit yang daya tahan
hidupnya (viabelitas) rendah di luar
tubuh hospes. Retrovirus penyebab
equine infectious anaemia, dilaporkan
tidak mampu bertahan hidup lama di
luar tubuh hospes, sehingga penularan
hanya terjadi dalam kurun waktu 30
menit setelah lalat (vektor) mengisap
darah penderita (Hawkins et al., 1976).
Telah dilaporkan bahwa prevalensi
antibodi JD, baik di Bali maupun di
Kalimantan Selatan, erat kaitannya
dengan jumlah hewan yang dipelihara
dalam satu rumah/kandang (Putra dkk.,
2003ab). Data ini juga
mengindikasikan, peran arthropoda
pengisap darah, termasuk nyamuk,
dalam menularkan JD secara mekanis
sulit dikesampingkan. Argumentasi ini
juga didukung oleh kenyataan bahwa
kejadian JD di lapangan biasanya
menjalar relatif cepat hanya pada suatu
lokasi / populasi hewan yang relatif
saling berdekatan (Putra dkk., 1983)
dan menyebar ke luar lokasi tertular
relatif lambat. Misalnya, pada wabah
JD yang terjadi pertama kali di Bali
pada tahun 1964, dibutuhkan waktu
kurang lebih 8 bulan sampai ia
dijumpai di seluruh Bali (Pranoto and
Pudjiastono, 1967).
Walaupun serangga pengisap darah
(nyamuk) dalam penyidikan ini mampu
menularkan JD secara mekanis, timbul
pertanyaan mampukah nyamuk
menularkan JD dari hewan karier?
Seperti telah dilaporkan sebelumnya,
bahwa dapat terjadi penularan antara
hewan karier ke sapi peka bila ia
digembalakan secara bersama-sama
(Putra, 2003). Arthropoda pengisap
darah yang mana terlibat dalam
penularan tersebut belum diketahui
secara pasti. Mengingat titer virus JD
yang demikian tinggi dalam darah
penderita, di samping lalat Tabanus
dan nyamuk, mungkin masih banyak
arthropoda pengisap darah lainnya yang
ikut berperan secara mekanis dalam
penularan JD di lapangan. Oleh
karenanya masih membutuhkan
penyidikan-penyidikan lebih lanjut.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan
kepada Drh. Susanto Amintorogo,
M.Phil (mantan Kepala BPPH Wilayah
VI Denpasar) atas ijin / tugas untuk
melaksanakan penyidikan ini. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada;
Sdr. Nengah Mundra yang telah
membantu penanganan / pengambilan
suhu hewan percobaan, Sdr. Widia dan
Made Sutawidjaya yang telah
membantu melakukan nekropsi dan
pemotongan jaringan untuk
pemeriksaan patologi / histopatologi.
Kepada Kolega Drh. Budiantono juga
disampaikan ucapan terimakasih atas
pemeriksaan patologi / histopatologi.
DAFTAR PUSTAKA
Dennig H. K. (1977) The attempted
experimental transmission of Jembrana
disease to Bali cattle with Boophilus
ticks. Hemera Zoa 69: 77-78.
Dharma D. N., Darmadi P., Sudana I. G. dan
Santhia K. (1985) Studi perbandingan
penyakit Jembrana dan Malignant
catarrhal fever pada sapi Bali. Laporan
Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit
Hewan di Indonesia Periode Tahun
1983-1984. Direktorat Kesehatan
Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan,
Jakarta, 77-81.
Dharma D. M. N., Budiantono A., Campbell R.
S. F. and Ladds P. W. (1991) Studies on
experimental Jembrana diasease. III
Pathology. Journal of Comparative
Pathology 105: 397-414.
Foil L. D., Meek C. L., Adams W. V. and Issel
C. J. (1983) Mechanical transmission of
equine infectious anemia virus by deer
flies (Chrysops flavidus) and stable flies
(Stomoxys calcitrans). American Journal
of Veterinary Research 44: 155-156
Hawkins J. A., Adams W. V., Wilson B. H.,
Issel C. J. and Roth E. E. (1976)
Transmission of equine infectious
anemia virus by Tabanus fuscicostatus.
Journal of American Veterinary Medical
Association 168: 63-64.
Kertayadnya G., Wilcox G. E., Soeharsono S.,
Hartaningsih N., Coelen R. J., Cook R.
D., Collins M. E. and Brownlie (1993
Characteristics of a retrovirus associated
with Jembrana disease in Bali cattle.
Journal of General Virology 74: 1765-
1773.
Putra A. A. G. (1993) Penularan penyakit
Jembrana secara mekanis melalui
Tabanus rubidus. Buletin Veteriner VI
(35): 1-11.
Putra A. A. G. (2002) Attempted transmission
of Jembrana disease with Aedes
lineatopennis. Buletin Veteriner XV
(61): 24-34.
Putra A. A. G. (2003) Peranan hewan karier
penyakit Jembrana dalam penularan
penyakit di lapangan. Buletin Veteriner
XV (63): 27-33.
Putra A. A. G., Dharma D. N., Soeharsono,
Sudana I. G. and Syafriati T. (1983)
Studi epidemiologi penyakit Jembrana
di Kabupaten Karangasem tahun 1981.
I. Tingkat morbiditas, tingkat mortalitas
dan attact rate. Annual Report on
Animal Disease Investigation in
Indonesia During the Period of 1981-
1982, pp. 170-178. Directorate of
Animal Health, Directorate General of
Livestock Service, Jakarta Indonesia.
Putra A. A. G., Sulistyana K., Ananda C. G. R.
K. dan Mayun K. (2003a) Surveilans
seroepidemiologi penyakit Jembrana
pada ternak sentinel di Kabupaten
Jembrana, Bali. Buletin Veteriner XV
(63): 1-15.
Putra A. A. G., Dharma D. M. N. dan Kalianda
J. (2003b) Survei seroepidemiologi
penyakit Jembrana di Kabupaten Tanah
Laut, Kalimantan Selatan. Buletin
Veteriner XV (63): 16-26.
Putra A. A. G., Sulistyana K. dan Budiantono
(2003c) Daya tahan hidup virus penyakit
Jembrana dalam plasma yang disimpan
dalam nitrogen cair. Buletin Veteriner
XV (63): 34-37.
Putra A. A. G., Sulistyana K. dan Budiantono
(2004) Kemampuan virus Jembrana
yang mengkontaminasi alat mulut
nyamuk (Aedes, Culex) untuk
menimbulkan penyakit pada sapi Bali.
Buletin Veteriner XVI (64): ..-..
Pranoto R. A. and Pudjiastono (1967) An
outbreak of highly infectious disease in
cattle and buffaloes on the island of
Bali. Folia Veterinariae Elveka 1: 10-53
Soeharsono S., Hartaningsih N., Soetrisno M.,
Kertayadnya G. and Wilcox G. E.
(1990) Studies on experimental
Jembrana disease in Bali cattle. I.
Transmission and persistence of the
infectious agent in ruminants and pigs,
and resistance of recovered cattle to re-
infection. Journal of Comparative
Pathology 103: 49-59.
Soeharsono S., Tenaya I. W. M. dan Soetrisno
(1991) Bukti penularan secara kontak
penyakit Jembrana pada sapi Bali.
Buletin Veteriner - BPPH VI Denpasar,
Edisi Desember.
Sulistyana K. dan Putra A. A. G. (1993) Usaha
transmisi penyakit Jembrana melalui
Boophilus microplus. Makalah disajikan
pada Seminar Parasitologi Nasional VII
dan Kongres P4I VI pada tanggal 23-25
Agustus 1993, di Pertamina Cottage,
Denpasar, Bali.
Soesanto M., Soeharsono S., Budiantono A.,
Sulistyana K., Tenaya M. and Wilcox G.
E. (1990) Studies on experimental
Jembrana disease in Bali cattle. II.
Clinical signs and haematological
changes. Journal of Comparative
Pathology 103: 61-71.
Teuscher E., Ramachandran S. and Harding H.
P. (1981) Observations on the pathology
of Jembrana disease in Bali cattle.
Zentralblatt fur Veterinarmedizine
Reiche A. 28: 608-622.
Wilcox G. E., Kertayadnya G., Hartaningsih
N., Dharma D. M. N., Soeharsono S.
and Robertson T. (1992) Evidence for
viral aetiology of Jembrana disease in
Bali cattle. Veterinary Microbiology 33:
367-374.