50709339 skripsi ryan
DESCRIPTION
dsTRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
Penganekaragaman (diversifikasi) pangan sudah diusahakan sejak tahun
1960, namun sampai sekarang ketergantungan terhadap beras dan terigu belum
dapat dihilangkan. Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2008
menunjukkan selama periode 2006-2008 pola konsumsi pangan sumber
karbohidrat masih didominasi oleh beras dan terigu dengan nilai kontribusi
konsumsi karbohidrat sebesar 64,1% (diatas angka anjuran sebesar 50%). Hal ini
mendorong pencarian sumber pangan pengganti tepung terigu dan beras yang
difokuskan pada sumberdaya lokal. Salah satu sumberdaya lokal yang memiliki
potensi besar untuk dikembangkan adalah jagung.
Jagung merupakan bahan pangan yang berperan penting dalam
perekonomian Indonesia, dan merupakan pangan tradisional atau makanan pokok
di beberapa daerah. Kandungan gizi jagung tidak kalah dengan beras atau terigu,
bahkan jagung memiliki keunggulan karena merupakan pangan fungsional dengan
kandungan serat pangan, unsur Fe dan beta-karoten (pro vitamin A) yang tinggi
(Suarni, 2001). Selain itu, jagung merupakan pangan yang tergolong indeks
glisemik sedang (Loehr and Schwartz, 2000), dan ketiadaan gluten menjadikan
jagung cocok dikonsumsi oleh penderita gluten dan autis (Nirmala, 2008).
Selain memiliki keunggulan nutrisi, tingkat produksi jagung juga cukup
tinggi di Indonesia. Jagung varietas hibrida merupakan jenis jagung yang semakin
banyak dibudidayakan di Indonesia. Penggunaan jagung hibrida merupakan salah
satu strategi untuk meningkatkan produksi jagung nasional. Hernanda (2008)
menyatakan bahwa pasar benih jagung hibrida tahun 2010 diperkirakan
2
meningkat 10 % atau mencapai 2 juta ha. Hal ini mendukung peningkatan
produksi jagung sebanyak 18 juta ton. Peningkatan benih hibrida ini diharapkan
menyumbang tambahan produksi jagung nasional sebesar 20 % sehingga
mendukung ketersediaan bahan baku produk pangan dari jagung.
Varietas jagung hibrida yang ditanam cukup bervariasi. Beberapa varietas
jagung hibrida yang banyak ditanam diantaranya BISI 16, NT 10, Prima,
Nusantara 1, Pioneer 21, Pioneer 12, dan C-7 (Iriany dan Andi, 2007).
Pemanfaatan jagung kuning hibrida untuk produk pangan saat ini masih sangat
terbatas dibanding jagung lokal karena masyarakat lebih memilih untuk
mengkonsumsi jagung lokal dibanding jagung hibrida. Jagung hibrida mayoritas
dimanfaatkan untuk produksi pakan ternak dan hanya sebagian kecil yang
dimanfaatkan untuk produk pangan seperti makanan ringan (Purwanto, 2010).
Salah satu bentuk olahan jagung paling sederhana adalah pembuatan tepung
jagung. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang
dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit),
diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai
tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Damarjati et al., 2000).
Pembuatan tepung jagung mendorong munculnya produk olahan jagung yang
lebih beragam, praktis dan sesuai kebiasaan konsumsi masyarakat saat ini
sehingga menunjang program diversifikasi konsumsi pangan.
Karakterisasi sifat tepung sangat diperlukan untuk menyusun formulasi
produk yang sesuai dengan mutu yang ditargetkan. Pada penelitian ini produk mi
instan digunakan sebagai dasar karakterisasi tepung jagung karena survei
konsumen menunjukkan bahwa penerimaan produk ini lebih tinggi daripada
3
produk pangan non beras lainnya (Hariyadi, 2010) dan untuk memberikan
gambaran potensi penggunaan tepung jagung sehinggga dapat mengurangi
ketergantungan terhadap terigu. Konsumsi tepung terigu di Indonesia diperkirakan
60 % diserap oleh industri mi instan dengan angka impor gandum mencapai 4,84
juta ton tiap tahun dan peningkatan sebesar 9 % per tahun (Wikipedia, 2008).
Tepung non gandum yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku mi
harus memiliki sifat seperti daya serap air yang tinggi, swelling volume dan
kelarutan yang rendah, viskositas maksimum yang tinggi dan cepat mengalami
retrogadasi (Tam et al., 2004; Tan et al., 2010), memiliki kapasitas emulsi yang
baik, tepung yang stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung
mengalami peningkatan selama pemanasan serta memiliki persen sineresis yang
rendah (Chen, 2003). Mi yang dihasilkan dari tepung dengan karakter seperti
disebutkan diatas memiliki cooking loss yang rendah, untaian mi yang kuat dan
kompak, elastis serta kelengketan yang rendah (Purwani et al., 2006).
Menurut Moorty (2002), sifat tepung sangat dipengaruhi oleh varietas, cara
menanam, iklim dan tingkat kematangan sehingga perbedaan varietas jagung
hibrida akan berpengaruh pada sifat tepung yang dihasilkan. Seleksi varietas
jagung kuning hibrida perlu dilakukan dengan cara karakterisasi untuk
memperoleh sifat tepung jagung yang sesuai dengan produk mi instan dan lebih
jauh dapat mengungkap sifat-sifat varietas jagung hibrida tersebut.
Secara umum terdapat dua jenis metode penepungan yang sering diterapkan
dalam produksi tepung serealia yaitu metode basah dan metode kering. Pada
metode basah dilakukan perendaman bahan terlebih dahulu sebelum ditepungkan
sedangkan metode kering tidak dilakukan perendaman (Suardi et al., 2002).
4
Metode basah lebih aplikatif di masyarakat sedangkan metode kering lebih sering
digunakan dalam pembuatan tepung skala besar (Suprapto, 1998).
Metode penggilingan yang berbeda diduga akan memberikan tingkat
kerusakan pati dan komposisi kimia tepung yang berbeda. Menurut Usansa et al.
(2009), selama proses perendaman memungkinkan terjadinya hidrolisis polimer
penyusun bahan menjadi komponen yang lebih larut ke dalam media perendam
sehingga dapat menyebabkan perubahan komponen kimia tepung. Selain itu pati
dapat mengalami kerusakan mekanis selama penggilingan sebanyak 5-14 %
(Dubat, 2004). Perubahan sifat tepung dapat disebabkan oleh kerusakan pati
(Arora, 2003) dan perbedaan kompoisi kimia bahan (Lewis, 1987). Penentuan
metode penggilingan yang tepat penting dilakukan untuk menghasilkan tepung
yang memiliki sifat tertentu yang sesuai untuk produk mi instan.
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan varietas jagung kuning
hibrida terbaik, menentukan jenis metode penggilingan yang tepat dan mengetahui
interaksi kedua perlakuan tersebut serta menentukan kombinasi perlakuan terbaik
untuk menghasilkan tepung jagung dengan sifat fisik, kimia, dan fungsional yang
paling sesuai untuk produk mi instan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi ilmiah mengenai karakteristik tepung jagung kuning
hibrida dari beberapa varietas yang berpotensi sebagai bahan baku pembuatan mi
instan untuk meningkatkan nilai ekonomis jagung kuning hibrida, dan membantu
program pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan melalui
pengembangan potensi sumber daya lokal seperti jagung kuning hibrida.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Jagung Hibrida
Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman semusim dan termasuk ke
dalam Divisi Tracheophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Monocotyledonae,
Ordo Glumiflorae, Famili Graminae, Genus Zea, Spesies Zea mays. Faktor iklim
yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman jagung hibrida sama dengan jagung
pada umumnya yaitu suhu antara 21˚C – 30˚C, dengan ketinggian tempat mulai
dari dataran rendah sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian
antara 1000-1800m diatas permukaan laut, serta memerlukan intensitas
penyinaran dan curah hujan yang cukup (Aak,2008). Dewasa ini jagung hibrida
tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus. Berbagai macam tanah dapat
diusahakan untuk pertanaman jagung hibrida bahkan pada lahan yang kurang
subur sekalipun (Ali, 2009).
Menurut Noble dan Andrizal (2003) terdapat dua golongan tanaman jagung
yaitu jagung hibrida dan jagung komposit (bersari bebas). Jagung varietas hibrida
merupakan jenis jagung yang semakin banyak dibudidayakan di Indonesia.
Penggunaan jagung hibrida merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan
produksi jagung nasional karena memiliki potensi hasil lebih tinggi dibanding jenis
jagung bersari bebas sekitar 8-13,3 ton per ha. Varietas hibrida memberikan hasil
yang lebih tinggi dari bersari bebas karena memiliki gen-gen dominan yang
favourable (baik) untuk berproduksi tinggi. Jagung hibrida dikembangkan
berdasarkan gejala hybrid vigor atau heterosis dengan menggunakan populasi atau
generasi F1 sebagai tanaman produksi. Oleh karena itu, varietas hibrida selalu dibuat
6
diperbaharui untuk mendapatkan generasi F1. Beberapa varietas jagung hibrida
yang banyak ditanam diantaranya BISI 16, NT 10, Prima, Nusantara 1, Pioneer
21, Pioneer 12, dan C-7 (Iriany dan Andi, 2007).
Jagung hibrida memiliki beberapa keunggulan dibandingkan jagung bersari
bebas seperti : lebih seragam dan mampu berproduksi 40-56% lebih tinggi, satu
batang dapat menghasilkan dua tongkol (Dispertan, 2008), pertumbuhan cepat,
tahan terhadap hama dan penyakit (Aak, 2008), menghasilkan biji yang lebih
besar dan mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan (Suartha, 2008), warna
biji kuning hingga oranye.
Iriany dan Andi (2007) menyatakan bahwa jagung hibrida yang banyak
ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint), jagung gigi kuda (dent), setengah
gigi kuda (semi dent) dan setengah mutiara (semi flint), seperti Prima (flint), P-21
(dent), P-12 (semi dent), C-7 (semi dent), Bisi 16 (semi flint), Pioneer-2 (semi
flint), Hibrida C-1 (semi flint), dan lain-lain. Selain itu di Indonesia juga terdapat
jagung tipe berondong (pop corn), dan jagung manis (sweet corn). Jagung mutiara
lebih sulit dibuat tepung dibanding jenis jagung lainnya. Hal ini disebabkan
jagung mutiara mengandung endosperma lunak yang lebih sedikit dibandingkan
dengan endosperma kerasnya. Tipe jagung berdasarkan endospermanya dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Jenis-jenis jagung berdasarkan kandungan endosperma (Dickerson,2003).
7
Pengetahuan tentang anatomi biji jagung diperlukan dalam proses
penyimpanan dan pengolahan jagung menjadi tepung secara tepat. Jagung terdiri
dari empat bagian pokok, yaitu kulit (perikarp), tipcap, germ dan endosperma
Kulit adalah bagian yang berfungsi sebagai pelindung endosperma dan bakal
benih dari kerusakan fisik serta serangan serangga, menahan air dan mengurangi
proses penguapan air dari biji secara berlebihan yang dapat mengurangi bobot biji
selama penyimpanan, namun selama penepungan bagian kulit perlu diminimalkan
karena mengandung serat yang tinggi. Bagian tipcap adalah bagian tempat
menempelnya biji pada tongkol jagung. Bagian ini merupakan jalur makanan dan
air untuk biji. Bagian germ (bakal benih) adalah bagian dari biji yang akan
tumbuh menjadi tanaman baru. Bagian ini mengandung vitamin dan mineral serta
lemak yang dibutuhkan biji untuk tumbuh. Bagian ini perlu diminimalkan agar
dihasilkan tepung dengan persyaratan kadar abu dan lemak yang sesuai SNI.
Bagian endosperma merupakan bagian terbesar dari biji (lebih dari 80%) yang
merupakan sumber pati dan protein yang dipertahankan selama pembuatan
tepung. Anatomi biji jagung dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Anatomi biji jagung (WSI, 1998)
8
Bagian endosperma adalah bagian yang mengandung pati, yang berfungsi
sebagai cadangan energi. Sel endosperma memiliki lapisan aleuron yang
merupakan pembatas antara endosperma dengan kulit. Lapisan aleuron merupakan
lapisan yang menyelubungi endosperma dan lembaga. Dalam endosperma
terdapat granula pati yang membentuk matriks dengan protein, yang sebagian
besar adalah zein (Johnson 1991). Endosperma jagung terdiri dari dua bagian
yaitu endosperma keras (horny endosperma) dan endosperma lunak (floury
endosperm). Bagian keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat.
Bagian endosperma lunak mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati
tersebut tidak serapat pada bagian keras (Watson 2003).
Produk-produk pangan berbasis jagung umumnya dikembangkan sebagai
kudapan ringan sehingga belum mampu dikategorikan sebagai bahan pangan
alternatif padahal secara umum komposisi kimia biji jagung sebanding dengan
beras dan gandum. Kandungan karbohidrat jagung relatif tidak berbeda jauh dari
beras dan gandum sehingga nilai energinya (kalori) juga hampir sama (Tabel 1).
Tabel 1. Perbandingan komposisi jagung, gandum, dan beras sosoh. Jumlah
Komposisi kimia Jagung Kuninga Gandumb Beras Sosohc
Kalori (kal) 300,7 340 330 Protein (g) 7,9 12,69 6,3 Lemak (g) 3,4 2,09 0,5 Karbohidrat (g) 63,6 75,36 76,8 Kalsium (mg) 148 34 68 Besi (mg) 2,1 5,3 - Vitamin A (SI) 440 0 - Air (%) 24 10,42 9,76
Sumber : a = Ristek (2006) b = Frederick (2007) c = Koswara (2009)
9
Selain keunggulan nutrisi jagung juga memiliki keunggulan lainnya yaitu
memiliki kandungan indeks glisemik sedang, mengandung beta karoten sebagai
pewarna alami dan dapat dijadikan bahan baku makanan yang cocok bagi
penderita alergen gluten dan penderita autis. Menurut Loehr and Schwartz (2009)
jagung merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki IG (Indeks Glisemik)
sedang yaitu sebesar 59. Makanan dengan indeks glisemik tinggi akan
menyebabkan terjadinya loncatan kandungan gula darah yang tinggi secara tiba-
tiba. Kadar gula darah menjadi tidak stabil, tubuh tiba-tiba merasa kenyang
namun juga segera cepat menjadi lapar kembali. Perputaran siklus ”lapar-cepat
kenyang-cepat lapar kembali” cenderung menyebabkan seseorang makan sebelum
waktunya dan dengan jumlah tidak terkontrol dengan baik sehingga berpotensi
menimbulkan problem makan yang berlebihan (Thompson et al., 2006). Pangan
dengan indeks glisemik sedang juga membantu mengontrol kadar gula darah pada
penderita diabetes.
Keunggulan jagung dibanding jenis serealia lainnya adalah warna kuning
pada jagung. Warna kuning pada jagung dikarenakan kandungan karotenoid.
Jagung kuning mengandung karotenoid berkisar antara 6,4-11,3 μg/g, 22%
diantaranya beta-karoten dan 51% xantofil. Pigmen xantofil yang utama adalah
lutein dan zeaxanthin (Koswara, 2000). Beta-karoten memberikan nilai tambah
pada jagung yaitu memiliki aktivitas provitamin A yang dapat memberikan
perlindungan terhadap kebutaan khususnya disebabkan oleh katarak dengan
menjadi filter terhadap sinar UV. Sedangkan xanthofil memiliki fungsi meregulasi
perekembangan sel dan melindungi sel normal dari sel mutan pemicu penyebab
kanker, menangkal radikal bebas yang dapat merusak jaringan tubuh, sistem
10
imunitas tubuh terhadap serangan infeksi dengan meningkatkan komunikasi antar
sel, dan mencegah penyakit jantung (Abdelmadjid, 2008).
Jagung tidak mengandung gluten sehingga cocok dibuat produk untuk
dikonsumsi oleh penderita alergi gluten dan penderita autis. Menurut Nirmala
(2008) adanya kandungan protein gandum (termasuk gluten) dalam jumlah sedikit
saja di dalam makanan, secara langsung akan menyebabkan timbulnya gangguan
pada mereka yang sensitif, seperti gatal-gatal pada kulit, eksim, gangguan
pencernaan (kram perut, mual dan muntah) serta gangguan pernapasan. Reaksi
alergen ini melibatkan antibodi IgE yang terdapat di dalam darah. Antibodi IgE
bereaksi terhadap protein gluten yang dianggap sebagai alergen (bahan penyebab
alergi).
Bahan makanan yang mengandung gluten dicurigai dapat mempengaruhi
kesehatan usus pada penderita autis. Bagi penderita autis, gluten dianggap sebagai
racun karena tubuh penderita autis tidak menghasilkan enzim untuk mencerna
protein jenis ini. Akibatnya protein yang tidak tercerna ini akan diubah menjadi
komponen kimia yang disebut opioid. Opioid bersifat layaknya obat-obat seperti
opium yang bekerja seperti toksin yang dapat mengganggu fungsi otak dan sistem
imunitas serta gangguan perilaku (Nirmala, 2008).
B. Pengolahan Jagung menjadi Tepung
Menurut Asmarajati (1999), penepungan adalah suatu proses penghancuran
bahan pangan yang didahului suatu proses pengeringan menjadi butiran-butiran
yang sangat halus, kering dan tahan lama, serta fleksibel dalam penggunaannya.
11
Penggilingan biji jagung ke dalam bentuk tepung merupakan suatu proses
memisahkan kulit, endosperma, lembaga dan tip cap. Pengolahan biji jagung
menjadi tepung telah lama dikenal masyarakat, namun diperlukan sentuhan
teknologi untuk meningkatkan mutu tepung jagung yang dihasilkan.
Menurut SNI 01-3727-1993, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh
dengan cara menggiling biji jagung (Zea mays LINN.) yang bersih dan baik.
Pelepasan kulit luar biji yang cukup sulit dapat diatasi dengan menggunakan
mesin penyosoh jagung. Proses pembuatan tepung jagung adalah biji jagung
disortasi kemudian disosoh. Proses sortasi untuk menggolongkan bahan atas
tingkat kebagusan dan keseragaman serta untuk memisahkan bahan dari benda
asing. Sedang penyosohan bertujuan untuk melepaskan kulit, germ dan tip cap
sehingga yang tersisa hanya endosperma saja. Kulit memiliki kandungan serat
yang tinggi sehingga harus dipisahkan karena dapat menyebabkan tekstur tepung
menjadi kasar dan tidak sesuai SNI 01-3727-1993 sedangkan germ merupakan
bagian yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga perlu dipisahkan karena
dapat menyebabkan tengik. Tip cap juga perlu dipisahkan karena menyebabkan
tepung menjadi kasar dan dan terdapat butir-butir hitam pada tepung.
Jagung sosoh lalu dibuat tepung dengan melakukan penggilingan.
Penggilingan merupakan proses pengecilan ukuran dengan gaya mekanis menjadi
beberapa fraksi ukuran yang lebih kecil. Alat penggilingan yang digunakan untuk
membuat tepung dari serealia terdiri dari alat penghancur dan penggilas (grinder
dan ultra fine grinder). Hasil penggilingan kemudian diayak untuk memisahkan
bagian kulit dan serat-seratnya. Hasil gilingan diayak dengan pengayak
bertingkat untuk mendapat berbagai tingkat hasil giling (Rosmisari, 2006).
12
Secara umum terdapat dua jenis metode penggilingan yang sering
diterapkan dalam produksi tepung serealia yaitu metode basah dan metode kering.
Pada metode basah dilakukan perendaman bahan terlebih dahulu sebelum
ditepungkan sedangkan metode kering tidak dilakukan perendaman (Suardi et al.,
2002). Metode basah lebih aplikatif di masyarakat sedangkan metode kering lebih
sering digunakan dalam pembuatan tepung skala besar (Suprapto, 1998). Efisiensi
penggunaan energi pada penggilingan kering lebih rendah dibanding dengan
penggilingan basah. Metode basah dapat memperkecil kerugian akibat oksidasi
bahan olah dan menghasilkan tektur yang lebih halus (Haros et al., 2003). Disisi
lain metode basah membutuhkan modal yang lebih besar dan memerlukan
pengeringan secepatnya untuk menghindari kerusakan mikrobiologis sedangkan
metode kering tidak menghasilkan limbah dan tepung dapat langsung digunakan.
C. Sifat Kimia, Fisik dan Fungsional Tepung
Sifat kimia, fisik dan fungsional memiliki hubungan yang saling terkait
(Lewis, 1987). Berikut analisis sifat fisikokimia dan fungsional tepung yang
disesuaikan untuk produk mi instan.
1. Sifat kimia
Sifat kimia pada bahan pangan menunjukkan perubahan komposisi kimia
yang terkandung setelah mengalami proses pengolahan maupun penyimpanan
(Wikipedia, 2009). Komposisi kimia jagung sangat bervariasi tergantung dari
varietas, cara menanam, iklim dan tingkat kematangan (Jugenheimer, 1976),
sehingga perlu dilakukan seleksi untuk memperoleh varietas jagung dengan
13
komposisi kimia yang tepat untuk dibuat mi instan. Sifat kimia tepung meliputi
kadar air, abu, protein total, lemak, pati, dan amilosa. Pengujian karakteristik
kimia juga bertujuan untuk memperoleh tepung sesuai standar mutu yang
teregulasi. Mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-
3727 (1993) disajikan pada Tabel 2. Khusus untuk kadar pati jumlah minimum
menurut SII (Standar Industri Indonesia) adalah 75 %.
Tabel 2. Syarat mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia. Kriteria uji Satuan Persyaratan Bau - Normal Rasa - Normal Warna - Normal Benda asing - Tidak boleh Serangga - Tidak boleh Pati lain selain jagung - Tidak boleh Kehalusan Lolos 80 mesh % Minimum 70 Lolos 60 mesh % Maksimum 99 Air % (b/b) Maksimum 10 Abu % (b/b) Maksimum 1,50 Silikat % (b/b) Maksimum 0,10 Serat kasar % (b/b) Maksimum 1,50 Derajat asam mL N NaOH/100 g Maksimum 4 Timbal mg/kg Maksimum 1 Tembaga mg/kg Maksimum 10 Seng mg/kg Maksimum 40 Raksa mg/kg Maksimum 0,05 Cemaran arsen mg/kg Maksimum 0,50 Angka lempeng total koloni/g Maksimum 5 x 106
E. coli APM/g Maksimum 10 Kapang koloni/g Maksimum 104
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1993)
2. Sifat fisik
Sifat fisik merupakan atribut fisik yang tampak dan dapat diukur dari bahan
pangan (Wikipedia, 2009). Sifat fisik tepung meliputi rendemen, starch damage,
densitas kamba, derajat putih, dan nilai pH.
14
a. Rendemen
Rendemen merupakan perbandingan berat produk yang diperoleh
terhadap berat bahan baku yang digunakan. Perhitungan rendemen
dilakukan berdasarkan berat kering bahan. Rendemen tepung menyatakan
nilai efisiensi dari proses pengolahan sehingga dapat diketahui jumlah tepung
yang dihasilkan dari bahan dasar awalnya.
b. Starch Damage
Starch damage terjadi terutama diakibatkan oleh gaya mekanis yang
diperoleh dalam proses penepungan. Selama proses penepungan, 5-12 % pati
mengalami kerusakan. Granula pati yang lebih besar biasanya mengalami
kerusakan yang lebih besar. Terdapat dua jenis starch damage, yakni cracks
dan breaks (Dubois 1949 dalam Dubat, 2004). Kedua tipe jenis starch
damage dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Tipe starch damaged (Dubois 1949 dalam Dubat 2004)
Starch damage dapat berpengaruh positif maupun negatif. Adanya
starch damage menyebabkan daya serap air menjadi lebih tinggi menjadi 2-4
kali berat semula. Pati dikatakan 100% mengalami kerusakan bila menyerap
air sebanyak jumlah pati pada suhu 30˚C. Sedangkan pati alami (native
starch) hanya mampu menyerap 0,4 kali berat mula-mula. Hal ini penting
secara ekonomi, karena air merupakan salah satu ingridien yang murah untuk
meningkatkan rendemen pada produk seperti roti dan mi basah (Dubat, 2004).
15
Selain itu starch damage dapat meningkatkan mobilitas adonan (lembut dan
fleksibel) dan kohesivitas serta meningkatkan kapasitas menahan gas pada
pembuatan roti. Disisi lain, daya serap yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan adonan menjadi lengket sehingga sulit untuk dicetak. Selain
itu, starch damage juga memungkinkan beberapa enzim spesifik (salah
satunya adalah β-amilase) lebih leluasa bekerja dan meningkatkan nilai
ketercernaan pati. Starch damage menunjukkan beberapa sifat fisik yang
mirip dengan pati pregelatinisasi (Tabel 3).
Tabel 3. Karakteristik pati alami, starch damage, dan pregelatinisasi. Karakteristik Pati alami Pati rusak Pati
pregelatinisasiKetercernaan oleh amilase Alpha lambat cepat cepat Beta tidak ada cepat cepat Sifat birefringence positif tidak ada,
sebagian tidak ada
Pola X-Ray tipe A tidak ada, sebagian
tidak ada
DSC ada tidak ada, sebagian
tidak ada
Viskositas pasta Dingin rendah sedang tinggi Panas tinggi sedang rendah Kapasitas penyerapan 0,5 3-4 20 Kelarutan rendah tinggi tinggi Komponen yang leaching tidak ada amilopektin amilosa Ketidak sempurnaan bentuk tidak ada ada tidak ada
Sumber : Aurora (2003).
Menurut Aurora (2003), jumlah starch damage dapat meningkat
sejalan dengan meningkatnya kekerasan biji, menurunnya laju pemasukan
bahan, meningkatnya kecepatan roll mesin penggiling, tingkat penggilingan
dan lama penggilingan. Morrison and Tester (1994), perbedaan lama
penggilingan menggunakan ball-milling dapat menyebabkan perubahan sifat
16
fisik dan fungsional tepung gandum yang dihasilkan seperti warna, swelling
volume, dan sifat gelatinisasi tepung. Willm (1977) dalam Dubat(2004),
industri penepungan dapat mengatur tingkat starch damage, baik dengan cara
meningkatkan maupun menurunkannya (Tabel 4).
Tabel 4. Beberapa cara mengatur starch damage dalam industri penepungan. Meningkatkan Starch Damage Menurunkan Starch Damage
Merapatkan roll dengan kuat Mencegah kerapatan roll berlebihan Meningkatkan kekompakan layer Mengurangi kekompakan layer Menurunkan efisiensi flake disrupter
Memilih flakes disrupter yang efisien
Menutup flour sieves di depan mesin penepungan
Jika memungkinkan tingkatkan kadar abu menggunakan grooved rolls
Sumber : Willm (1977) dalam Dubat (2004)
c. Densitas kamba
Densitas kamba menunjukkan perbandingan antara berat suatu bahan
terhadap volumenya. Densitas kamba merupakan sifat fisik bahan pangan
khusus biji-bijian atau tepung-tepungan yang penting terutama dalam
pengemasan dan penyimpanan. Bahan dengan densitas kamba yang kecil
akan membutuhkan tempat yang lebih luas dibandingkan dengan bahan
dengan densitas kamba yang besar untuk berat yang sama sehingga tidak
efisien dari segi tempat penyimpanan dan kemasan (Ade et al., 2009).
Densitas kamba mempengaruhi jumlah bahan yang bisa dikonsumsi dan
biaya produksi bahan tersebut. Densitas kamba makanan berbentuk bubuk
berkisar 0,30-0,80 g/mL (Wiranatakusumah, 1992).
d. Derajat putih (L)
Pengukuran warna secara objektif penting dilakukan karena pada
produk pangan warna merupakan daya tarik utama sebelum konsumen
mengenal dan menyukai sifat-sifat lainnya. Warna tepung dapat diamati
17
secara kuantitatif dengan metode Hunter menghasilkan tiga nilai pengukuran
yaitu L, a dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Semakin
cerah sampel yang diukur maka nilai L mendekati 100. Sebaliknya semakin
kusam (gelap), maka nilai L mendekati 0. Nilai a merupakan pengukuran
warna kromatik campuran merah-hijau. Nilai b merupakan pengukuran
warna kromatik campuran kuning-biru (Hutching, 1999).
Warna tepung yang diperdagangkan bervariasi mulai dari putih sampai
putih keabu-abuan atau agak coklat dan kuning. Menurut syarat mutu SNI
tidak ada kriteria derajat putih yang yang diharuskan, warna sesuai bahan
baku jagung (putih, kuning) dan secara umum sesuai spesifikasi bahan
aslinya. Umumnya konsumen lebih menyukai tepung dengan derajat putih
(L) yang tinggi.
e. Nilai pH
Nilai pH berpengaruh terhadap pembentukan gel yang optimum.
Pembentukan gel pati yang optimum terjadi pada pH 4-7 (Winarno, 2008).
Pada pembuatan mi, faktor utama pembentukan gel adalah gelatinisasi pati
bukan dari pembentukan gluten seperti yang terdapat dalam tepung terigu.
Gel pati yang diharapkan pada pembuatan mi adalah gel yang memiliki
f. SEM (Scanning Electron Microscope).
Bentuk ganula pati merupakan ciri khas masing-masing pati. Pati
jagung mempunyai ukuran yang cukup besar dan tidak homogen yaitu untuk
viskositas yang cenderung tinggi dan tetap dipertahankan atau meningkat
selama pemanasan (Tam et al., 2004).
yang kecil 1-7 μm dan bentuk yang besar 15-20 μm. Granula besar berbentuk
18
oval polihedral dengan diameter 6-30 μm (Suarni et al., 2008). Umumnya
granula yang berukuran lebih besar lebih tahan terhadap perlakuan
hidrotermal sehingga memiliki suhu awal gelatinisasi lebih tinggi dibanding
granula yang berukuran kecil (Singh et al., 2005 dalam Suarni et al., 2008).
Adanya perlakuan fisik, kimia dan mekanis memungkinkan perubahan
bentuk ganula yang secara mikroskopis dapat diamati dengan SEM.
3. Sifat fungsional
Sifat fungsional merupakan sifat fisikokimia yang mempengaruhi perilaku
komponen tersebut dalam makanan selama persiapan, pengolahan, penyimpanan,
dan konsumsi (Metirukmi, 1992). Sifat fungsional yang diamati pada penelitian
ini meliputi kapasitas penyerapan air, swelling volume, kelarutan, kapasitas emulsi
dan sifat amilogafi.
a. Kapasitas penyerapan air (KPA)
Kapasitas penyerapan air digunakan untuk mengukur besarnya
kemampuan tepung untuk menyerap air dan ditentukan dengan cara
sentrifugasi. Kapasitas penyerapan air berkaitan dengan komposisi granula
dan sifat fisik pati setelah ditambahkan dengan sejumlah air. Menurut
Elliason (2004), granula pati dapat basah dan secara spontan terdispersi
dalam air. Air yang terserap disebabkan oleh absorbsi oleh granula yang
terikat secara fisik maupun intermolekuler pada bagian amorphous.
Kapasitas penyerapan air menentukan jumlah air yang tersedia untuk
proses gelatinisasi pati selama pemasakan. Bila jumlah air kurang maka
pembentukan gel tidak dapat mencapai kondisi optimum. Dengan demikian
kemampuan hidrasi yang rendah kurang cocok untuk produk olahan yang
19
membutuhkan tingkat gelatinisasi yang tinggi. Kapasitas penyerapan air juga
mempengaruhi kemudahan dalam menghomogenkan adonan tepung ketika
dicampurkan dengan air. Tingkat homogenitas adonan akan berpengaruh
terhadap kualitas hasil pengukusan. Adonan yang homogen, setelah dikukus
akan mengalami gelatinisasi yang merata yang ditandai tidak terdapatnya
spot-spot putih atau kuning pucat pada adonan tepung yang telah dikukus
(Tam et al., 2004).
b. Swelling volume dan kelarutan
Kelarutan merupakan berat tepung terlarut dan dapat diukur dengan
cara mengeringkan dan menimbang sejumlah supernatan. Swelling volume
merupakan kenaikan volume dan berat maksimum pati selama mengalami
pengembangan di dalam air (Balagopalan et al., 1988 dalam Baah, 2009).
Kedua parameter tersebut merupakan petunjuk besarnya interaksi antara pati
dalam bidang amorphous dan bidang kristalin (Baah, 2009).
Kelarutan dan swelling volume merupakan dua hal yang berkaitan dan
terjadi pada saat gelatinisasi. Menurut Hoover dan Hadziyev (1981) dalam
Ratyanake et al. (2002) ketika sejumlah pati dipanaskan dalam jumlah air
yang berlebih, struktur kristalinnya menjadi “terganggu” sehingga
menyebabkan kerusakan pada ikatan hidrogen dan molekul hidrogen keluar
dari grup hidroksil amilosa dan amilopektin. Hal ini menyebabkan terjadinya
peningkatan swelling. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan
granula pati pecah sehingga air yang terdapat dalam granula pati dan molekul
pati yang larut air dengan mudah keluar dan masuk ke dalam sistem larutan
(Baah, 2009).
20
Mi dengan tingkat swelling volume yang tinggi akan memiliki
penampakan mi yang mengembang cukup tinggi setelah direbus atau
memiliki diameter mi yang cukup besar. Diharapkan tepung yang digunakan
dalam membuat mi memiliki swelling volume dan kelarutan yang rendah
(Tam et al., 2004; Tan et al., 2010).
c. Kapasitas emulsi
Kapasitas emulsi merupakan kemampuan larutan atau suspensi untuk
mengemulsikan lemak. Untuk membentuk emulsi yang stabil maka molekul
protein lebih awal harus menjangkau permukaan air, lemak, kemudian
membentang sehingga kelompok hidrofobik dapat berhubungan dengan fase
lemak. Sisi protein penstabil yang disajikan ke fase air harus bersifat
hidrofilik dan memiliki asam amino polar yang bermuatan (Bian et al.,
2003). Adanya emulsifier yang terkandung pada tepung dapat berpengaruh
pada tektur produk yang dihasilkan. Emulsifier berfungsi mengontrol
kohesivitas, kelengketan dan kekentalan tepung. Emulsifier juga berinteraksi
dengan pati dan digunakan untuk mencegah leaching pati dari mi selama
pemanasan (Numfor et al., 1996).
d. Sifat amilografi
Pada pembuatan mi non terigu, pati merupakan komponen penting
yang menentukan sifat reologi mi yang dihasilkan. Pati berperan membentuk
pasta pati yang elastis dan mudah dibentuk yaitu dengan memanfaatkan
prinsip gelatinisasi pati menggantikan fungsi protein pada terigu (Morrison,
1990; Purwani et al., 2006). Pengamatan viskositas dan amilogafi.
karakteristik pati selama gelatinisasi dapat secara akurat diamati dengan uji
21
Karakteristik pati selama gelatinisasi tersebut berpengaruh terhadap kualitas
mi yang dihasilkan (Vongsawasdi, 2009).
Sifat amilografi berkaitan dengan pengukuran viskositas tepung
dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Pada uji ini,
terdapat beberapa parameter yang diamati yaitu suhu awal gelatinisasi, suhu
puncak gelatinisasi, viskositas maksimum, breakdown viscosity dan setback
viscosity (Gambar 4).
Gambar 4. Kurva kekentalan (BU) hasil pengukuran brabender
(Techawipharat, 2007).
Menurut Leach (1965) dalam Goldsworth (1999), yang dimaksud
dengan suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas
mulai naik. Peningkatan viskositas ini disebabkan karena terjadinya
penyerapan air dan pembengkakan granula pati yang irreversible di dalam
air, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik
menarik di dalam granula pati (Winarno, 2008).
Suhu puncak gelatinisasi dikenal sebagai suhu pada saat tercapainya
viskositas maksimum yaitu suhu ketika granula pati mencapai suspensi pasta
pengembangan maksimum hingga selanjutnya pecah. Pada suhu inilah pati
22
akan mencapai viskositas maksimum (Baah, 2009). Pada suhu ini granula
pati telah kehilangan sifat birefringence-nya dan granula tidak memiliki
kristal lagi. Komponen yang menyebabkan sifat birefringence adalah
amilopektin. Sifat birefringence dari granula pati adalah sifat merefleksikan
cahaya terpolarisasi, apabila granula pati dilihat di bawah mikroskop terlihat
kristal gelap terang (Suarni et al., 2008).
Viskositas maksimum merupakan viskositas pasta yang dihasilkan
selama pemanasan (Baah, 2009). Peningkatan viskositas pasta disebabkan air
yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi
dipanaskan kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak
bebas lagi (Winarno, 2008). Viskositas maksimum merupakan titik maksimal
viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Pada titik ini
granula pati mengembang maksimal, makin tinggi pembengkakan granula
maka makin tinggi pula viskositas maksimumnya.Viskositas maksimum juga
menggambarkan fragilitas dari granula pati yang mengembang, yaitu mulai
saat pertama kali mengembang sampai granula tersebut pecah selama
pengadukan yang terus menerus secara mekanik oleh alat Brabender (Baah,
2009).
Setelah mencapai viskositas maksimum, jika proses pemanasan
dalam Brabender dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi granula pati
menjadi rapuh, pecah dan terpotong-potong membentuk polimer, agregat
serta viskositasnya menurun akibat terjadinya leaching amilosa. Penurunan
tersebut terjadi pada pemanasan suhu suspensi 95˚C yang dipertahankan
selama 10 menit. Nilai penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas
23
maksimum menuju viskositas terendah ketika suspensi dipanaskan pada suhu
95˚C selama 10 menit disebut dengan breakdown viscosity.
Menurut Beta dan Corke (2001) dan Panikulata (2008), breakdown
viscosity berhubungan dengan kestabilan pasta pati selama proses
pemanasan. Breakdown viscosity merupakan ukuran kemudahan pati yang
dimasak untuk mengalami disintegrasi. Besarnya breakdown viscosity
menunjukkan bahwa granula-granula tepung yang telah membengkak secara
keseluruhan bersifat rapuh dan tidak tahan terhadap proses pemanasan.
Semakin rendah breakdown viscosity maka pati semakin stabil pada kondisi
panas dan diberikan gaya mekanis (shear).
Nilai kenaikan viskositas ketika pasta pati didinginkan disebut
setback viscosity. Nilai setback viscosity diperoleh dengan menghitung
selisih antara viskositas pasta pati pada suhu 50˚C dengan viskositas
maksimum yang telah dicapai pada saat pemanasan. Kenaikan viskositas pati
yang terjadi disebabkan oleh retrogradasi pati, yaitu bergabungnya rantai
molekul amilosa yang berdekatan melalui ikatan hidrogen intermolekuler
(Swinkels 1985 dalam Baah, 2009). Beta dan Corke (2001) menyatakan
bahwa setback viscosity merupakan ukuran dari rekristalisasi pati
tergelatinisasi selama pendinginan. Laju kristalisasi tergantung dari beberapa
variabel yaitu rasio amilosa dan amilopektin, suhu, konsentrasi pati, dan
keberadaan dari bahan organik dan inorganik (Fennema, 1996).
Menurut Chen (2003), terdapat empat jenis kurva amilogram yaitu
tipe A, B, C dan D. Setiap tipe amilogram menggambarkan sifat amilografi
yang khas. Gambar beberapa tipe amilogram dapat dilihat pada Gambar 5.
24
Pada amilogram tipe A, pati memiliki viskositas maksimum sama
tingginya dengan tipe B namun memiliki nilai breakdown viscosity yang
lebih tinggi dibanding tipe B artinya tipe A lebih mudah rusak dan
menghasilkan viskositas yang lebih rendah selama pemasakan daripada tipe
B. Pati dengan amilogram tipe C, tidak memperlihatkan viskositas
maksimum tetapi viskositasnya cenderung dapat dipertahankan bahkan dapat
meningkat jika dipertahankan pada suhu tinggi serta memiliki swelling
volume dan kelarutan yang terbatas. Tepung dengan tipe C mempunyai
kecenderungan retrogradasi yang tinggi. Sedangkan tipe D sama dengan tipe
C tapi diperlukan 2 atau 3 kali jumlah pati tipe C untuk mencapai viskositas
yang sama. Tepung yang sesuai untuk aplikasi ke produk mi adalah tepung
yang memiliki profil gelatinisasi tipe C.
Gambar 5. Beberapa tipe amilogram pengukuran brabender (Chen, 2003).
25
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian,
Laboratorium Ilmu Tanah UNSOED, Laboratorium Sistem Produksi TP UGM,
Laboratorium Genetika Fakultas Peternakan dan Laboratorium Seafast Center
IPB. Waktu pelaksanaan penelitian ini dimulai pada 6 Januari 2010 hingga 6 Mei
2010.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung jagung adalah biji jagung
kuning hibrida bebagai varietas yang didapat dari petani dari daerah yang berbeda.
Varietas C-7, P-21, dan P-12 didapat dari petani di Sumbang, Kembaran,
Padamara, Karang Kobar, sedangkan Varietas Bisi 16 didapat dari petani di
daerah Padamara, Sumbang. Jagung kuning varietas Prima, Nusantara dan NT 10
didapat dari petani di daerah Karangreja, Karangduren, Bobotsari dan
Karanganyar.
Bahan yang digunakan untuk analisis adalah akuades, HCl, petroleum
benzene, glukosa anhidrat, H2SO4 pa, NaOH pa, K2SO4, etanol 95%, pereaksi
Nelson, pereaksi Arsenomolybdat, larutan iod, amilosa murni, asam asetat,
platinum/ karbon, kertas saring, kertas saring “Whatman”, air dan aquades.
26
2. Alat
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan dan pengemasan tepung jagung
kuning hibrida adalah timbangan digital, ayakan 80 mesh, disc mill ”JM” FFC-23,
polisher ”Ichi” N50, tampah, loyang, alumunium foil, cabinet dryer, sealer,
sendok, gelas ukur, baskom dan gunting.
Peralatan yang diperlukan untuk analisis meliputi oven, cawan porselen,
penjepit, timbangan analitik, desikator, blender, tabung reaksi, rak tabung
sentrifus, vorteks, hot plate, beaker glass, labu ukur, gelas ukur, pipet volumetric,
pipet tetes, waterbath, pendingin balik, erlenmeyer, centrifuge, labu Kjeldahl,
soxhlet, buret, termometer, spektrofotometer uv mini 1240 ”Shimadzu”, tanur
Thermolyne, pH meter, chromameter C-300, brabender viscoamylograph
”Duisburg OHG D-4100”, JEOL JFC 110E dan SEM JEOL JSM 5200.
C. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Rancangan percobaan
yang akan digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK). Faktor yang akan dicoba dalam penelitian ini adalah:
1. Varietas jagung kuning hibrida (V) terdiri dari 7 taraf, yaitu:
V1 : C-7
V2 : Prima
V3 : Nusantara 1
V4 : NT 10
V5 : P-21
V6 : Bisi 16
V7 : P-12
27
2. Metode penggilingan (M) terdiri dari dua taraf, yaitu:
M1 : Metode kering
M2 : Metode basah
Faktor-faktor di atas disusun secara faktorial sehingga diperoleh 14
kombinasi perlakuan sebagai berikut:
V1M1
V2M1
V3M1
V4M1
V5M1
V6M1
V7M1
V1M2
V2M2
V3M2
V4M2
V5M2
V6M2
V7M2
D. Variabel dan Pengukuran
1. Variabel
Variabel yang diamati meliputi sifat kimia, fisik dan fungsional tepung yang
dihasilkan. Variabel kimia yang diamati pada tepung jagung kuning hibrida
meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein total, kadar amilosa, dan
kadar pati. Variabel fisik meliputi rendemen tepung, starch damage, derajat putih,
pengukuran pH, densitas kamba dan SEM (Scanning Electron Microscope).
Variabel fungsional yang diamati pada tepung jagung kuning hibrida meliputi
Setiap perlakuan dilakukan ulangan sebanyak 2 kali sehingga diperoleh
28 unit percobaan.
28
kapasitas penyerapan air, kelarutan, swelling volume, kapasitas emulsi dan sifat
amilografi.
2. Pengukuran
a. Kadar air (Sudarmadji et al., 1997)
Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang telah diketahui beratnya,
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3-5 jam tergantung
bahannya. Selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan
ditimbang, selanjutnya dipanaskan lagi dalam oven selama 30 menit, didinginkan
dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulang beberapa kali sampai
tercapai berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2 mg).
Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Kadar air (%bb) = xab
cb
)(
100 %
Keterangan: a = berat cawan (g) b = berat cawan + sampel sebelum dikeringkan (g) c = berat cawan + sampel setelah dikeringkan (g) ka = kadar air (desimal) sampel dalam berat basah. b. Kadar Abu (Sudarmadji et al., 1997)
Sampel sebanyak 2 g ditimbang dalam cawan yang telah diketahui beratnya.
Kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 5000C selama 4 jam sehingga
diperoleh abu dengan warna keputih-putihan. Cawan berisi abu kemudian
dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang setelah dingin. Kadar abu dihitung
dengan rumus sebagai berikut.
Kadar abu (%bb) = xc
ba 100 %
29
Kadar abu (%bk) = xkac
ba
)1(
100 %
Keterangan: a = berat cawan dan abu (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel (g) ka = kadar air (desimal) sampel dalam berat basah.
c. Kadar lemak dengan metode Soxhlet (AOAC, 1975 dalam Sudarmadji et al., 1997)
Labu penampung dan alat ekstraksi soxhlet dibersihkan dan dikeringkan.
Ditimbang sebanyak 2 g (X) sampel, dibungkus dengan kertas saring Whatman 41
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 14 jam, kemudian
ditimbang (Y). sampel tersebut dimasukkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang
dipasang di atas penangas air dan dihubungkan dengan pendingin tegak.
Dimasukkan ethil eter melalui lubang pendingin sampai setengah dari alat soxhlet
(seluruh sampel tercelup). Sampel diekstraksi selama 16 jam sampai ethil eter
yang ada menjadi jernih. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu
1050C, selama 1 jam kemudian ditimbang (Z).
Kadar lemak (%bb) %100
X
ZY
Kadar lemak (%bk) %100)1(
kaX
ZY
d. Kadar protein total (AOAC dalam Sudarmadji et al., 1997)
1) Destruksi :
Sampel ditimbang sebanyak 2 g (Z) dan dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl yang telah bersih dan kering. Kemudian didestruksi dalam
almari asam mulai dengan api kecil dan sewaktu-waktu digojog sampai
30
berwarna hijau jernih kemudian diangin-anginkan sampai suhu kamar.
2) Distilasi :
Hasil destruksi setelah dingin diencerkan dengan 100 mL akuades
kemudian dituangkan ke dalam labu godog dan dicuci lagi dengan air
sehingga isi labu godok menjadi 300mL. Selanjutnya abu godok
tersebut dipasang pada alat penyuling. Disiapkan labu penampung
(beaker glass) yang telah diisi dengan H2SO4 0,3N dan beberapa tetes
indikator. Labu penampung tersebut dipasang pada alat penyuling
sedemikian rupa sehingga ujung alat penyuling tercelup pada larutan
penampung. Ditambahkan 60 mL NaOH 33% ke dalam labu godog lalu
api dinyalakan. Penyulingan diakhiri jika cairan dalam labu penampung
sudah mencapai 175 mL. Setelah selesai didistilasi, alat penyuling
dibilas dengan air dan air bilasan ini dimasukkan ke dalam labu
penampung. Volume cairan tersebut diukur dengan gelas ukur.
3) Titrasi :
Hasil distilasi diambil 10 mL dengan pipet seukuran 10 mL dan
dituangkan ke erlemenyer. Kemudian dititrasi sampai terjadi perubahan
4) Blanko :
Blanko dibuat dengan prosedur seperti diatas namun tidak
menggunakan sampel bahan. Dicatat volume NaOH 0,3 N yang
digunakan untuk titrasi blanko (Y).
warna ungu menjadi kehijau-hijauan. Catat volume NaOH 0,3 N yang
digunakan untuk titrasi (X), ulangi pekerjaan titrasi sampai 3 kali.
31
Kadar protein total (%bb) %10025,6014,0)(
Z
NXY
Kadar protein total (%bk) %100)1(
25,6014,0)(
kaZ
NXY
e. Kadar pati (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji et al., 1997)
1) Penyiapan kurva standar
Disiapkan larutan glukosa standar (10 mg glukosa anhidrat/100mL).
Larutan glukosa standar dibuat 6 kali pengenceran sehingga diperoleh
larutan glukosa dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8 dan 10 mg/100 mL.
Disiapkan 6 tabung reaksi yang bersih masing-masing diisi dengan 1
mL larutan glukosa tersebut diatas. Satu tabung reaksi diisi dengan
akuades sebagai blanko. Ditambahkan ke dalam masin-masing tabung
di atas 1 mL pereaksi Nelson dan dipanaskan pada penangas air selama
20 menit. Semua tabung diambil dan segera didinginkan besama-sama
dalam gelas piala yang berisi air dingin sehingga suhu tabung mencapai
25˚C. Setelah dingin diambahkan 1 mL pereaksi Arsenomolybdat,
dikocok sampai semua endapan Cu2O yang ada larut kembali. Setelah
itu ditambahkan 7 mL akuades, dikocok sampai homogen, kemudian
ditera Optical Density (OD) masing-masing larutan tersebut pada
2) Penetapan kadar pati
Sampel ditimbang sebanyak 2-5 g, dilarutkan dalam 50 mL air suling
pada gelas piala 250 mL kemudian diaduk selama satu jam dengan
panjang gelombang 540 nm. Dibuat kurva standar yang menunjukkan
hubungan glukosa dan OD.
pengaduk magnetik. Suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci
32
dengan air suling samapai volume filtrat 250 mL. Pati terdapat sebagai
residu pada kertas saring dihilangkan lemaknya dengan dicuci 5 kali
dengan 10 mL ether, kemudian dicuci lagi dengan 150 mL etanol 10 %
untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat yang terlarut. Residu
dipindahkan secara kuantitatif dengan kertas saring ke dalam
erlenmeyer dengan pencucian 200 mL air suling dan ditambahkan 20
mL HCL 25 %, ditutup dengan pendingin balik dan dipanaskan diatas
penangas air mendidih selama 2,5 jam. Setelah dingin dinetralkan
dengan larutan NaOH 45 %, kemudian diencerkan sampai 500 mL,
selanjutnya disaring. Larutan kemudian ditentukan kadar gulanya yang
dinyatakan sebagai glukosa dari filtrat yang diperoleh dengan cara
spektrofotometri (Metode Nelson-Somogyi). Berat pati merupakan berat
glukosa dikalikan 0,9.
Kadar pati (%bb) %1009,0
b
FPa
Kadar pati (%bk) %1009,0)1(
kab
FPa
Keterangan : a = konsentrasi glukosa anhidrat dari kurva standar (g) b = berat sampel (g) ka = kadar air (desimal) sampel dalam berat basah f. Kadar amilosa (IRRI, 1971 dalam Apriyantono et al., 1989)
1) Pembuatan kurva standar
Sejumlah 40 mg amilosa murni ditimbang, dimasukkan ke dalam tabung
reaksi. dan ditambahkan 1 mL etanol 95 % dan 9 mL NaOH 1 N.
Kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama lebih kurang 10 menit
33
sampai semua bahan membentuk gel dan didinginkan. Seluruh
campuran dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL, ditepatkan hingga
tanda tera dengan akuades. Masing-masing 1, 2, 3, 4 dan 5 mL larutan
diatas dipipet masing-masing ke dalam labu takar 100 mL. Masing-
masing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N masing-masing
0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 mL, lalu ditambahkan masing-masing 2 mL
larutan iod. Masing –masing campuran dalam labu takar ditepatkan
sampai tanda tera dengan akuades dan dibiarkan selama 20 menit.
Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar dibuat dengan sumbu x
adalah konsentrasi amilosa dan y adalah absorbans.
2) Penetapan sampel
Sejumlah 100 mg tepung (sampel sebagian besar terdiri dari pati, jika
banyak mengandung komponen lainnya, ekstrak dulu patinya baru
dianalisis kadar amilosanya) dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu
ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1N. Kemudian
dipanaskan dalam air mendidih selama lebih kurang 10 menit sampai
semua bahan membentuk gel dan didinginkan. Seluruh gel dipindahkan
ke dalam labu takar 100 mL, dikocok dan ditepatkan sampai tanda tera
dengan akuades. Sejumlah 5 mL larutan tersebut dipipet dan
dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, ditambahkan 1 mL asam
asetat 1N dan 2 mL larutan iod, kemudian ditepatkan sampai tanda tera
dengan air, kocok dan diamkan selama 20 menit. Intensitas warna yang
terbentuk diukur dengan dengan spektrofotometer pada panjang
34
gelombang 625 nm. Kadar amilosa dalam sampel dihitung.
Kadar amilosa (%bb) %1009,0
b
FPa
Kadar amilosa (%bk) %1009,0)1(
kab
FPa
Keterangan : a = konsentrasi amilosa dari kurva standar (g) b = berat sampel (g) ka = kadar air (desimal) sampel dalam berat basah. FP = faktor pengenceran
g. Rendemen tepung
Rendemen adalah perbandingan berat kering tepung yang dihasilkan
dengan berat kering bahan awal.
Rendemen (%) %100a
b
Keterangan : a = berat biji jagung utuh (g) b = berat tepung (g)
h. Starch damage (AAC Method 76-31, 2008)
Sebanyak 100 mg tepung dimasukkan ke dalam tabung gelas sentrifus,
kemudian dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 40 ˚C selama 5 menit untuk
mendapatkan bahan dalam keadaan seimbang. Larutan α-amilase fungi (50 U/mL)
ditempatkan pada gelas beaker kecil dan dimasukkan ke dalam inkubator pada
suhu 40 ˚C selama 5 menit untuk mendapatkan bahan dalam keadaan seimbang.
Ditambahkan 1,0 mL larutan α-amilase fungi (50 U/mL) pada setiap tabung
kemudian di vorteks selama 5 detik dan diinkubasi pada suhu 40 ˚C selama tepat
10 menit (penghitungan waktu dari saat penambahan enzim). Sejumlah 8,0 mL
35
larutan asam sulfat (0,2 % v/v) ditambahkan pada setiap tabung tepat setelah 10
menit penambahan enzim kemudian di vorteks selama 5 detik. Hal ini bertujuan
untuk inaktivasi enzim. Tabung kemudian disentrifus pada kecepatan 3000 rpm
atau dengan disaring menggunakan kertas whatman No 1. Sebanyak 0,1 mL filtrat
dipindahkan secara akurat ke dalam dua tabung tes, lalu ditambahkan 0,1 mL
amiloglukosidase (2U) pada tiap tabung dan divorteks serta diinkubasi selama 10
menit dalam inkubator pada suhu 40 ˚C. Ditambahkan 4,0 mL GOPOD reagen
pada tiap tabung (termasuk standar glukosa dan blanko) dan diinkubasi pada suhu
40 ˚C selama 20 menit. Absorbansi setiap larutan diukur pada panjang gelombang
510 nm terhadap blanko.
Blanko dibuat dengan menambahkan 0,2 mL buffer asetat dengan 4,0 mL
reagen glukosa oksidase/ peroksidase sedangkan standar glukosa dibuat dengan
melarutkan 0,1 mL glukosa standar (150 μg/0,1 mL) dengan 0,1 mL buffer asetat
dan 4,0 mL reagen glukosa oksidase/ peroksidase.
Starch damage (% bk) = ∆E x F x 90 x 1 x 100 x 162 1000 W (1-ka) 180 = ∆E x F x 8,1 W (1-ka) Keterangan : ∆E = Absrobansi sampel terhadap reagen blanko F = 150 (μg glukosa) Absorbansi standar glukosa 90 = koreksi volume (1,0 mL diambil dari 9,0 mL)
1000
1 = konversi dari μg ke mg
W
100 = persen starch damage per berat sampel
W = berat sampel (mg)
180
162 = konstanta perbandingan glukosa bebas dan anhidroglukosa
36
i. Derajat putih (Soekarto, 1990) Derajat putih (L) tepung diukur dengan menggunakan chromameter dan
dinyatakan dalam satuan persen (%). Metode pengukuran dengan chromameter
adalah metode penyinaran dengan sensor sinar yang dikenakan pada sampel, yang
secara otomatis nilai derajat putih akan ditampilkan dalam layar monitor. Area
pengukuran pada chromameter berdiameter 8 mm dan digunakan 0˚sudut
pandangan. Alat chromameter ini dikalibrasi menggunakan kontrol atau standar
warna yaitu barium sulfat. Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam kotak
pengukur untuk mengetahui derajat putihnya, tiap sampel diukur 3 kali
pengulangan. Alat chromameter menggunakan sistem notasi warna Hunter
dicirikan dengan 3 parameter L, a, b, masing-masing dengan kisaran 0 sampai
100. Notasi L menyatakan parameter kecerahan (light) dengan rentang nilai 0
(hitam) sampai 100 (putih). Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan
warna akromatk putih, abu-abu, dan hitam
Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah hijau, dengan nilai
+a (positif) dari 0 sampai 100 untuk warna merah, dan nilai –a (negatif) dari 0
sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran
biru, kuning, dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan
nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru.
j. Pengukuran pH (derajat keasaman) (Onwuka and Ogbogu, 2007)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter digital yang
terlebih dahulu telah dikalibrasi dengan pH buffer 4 (buffer asetat) dan pH 7
(buffer fosfat). Sebanyak 1 g tepung didispersikan dalam akuades hingga 10 mL
37
dan dikocok dengan magnetic stirrer hingga basah sempurna, kemudian
didiamkan selama 30 menit hingga mengendap. Selanjutnya elektroda dicelupkan
ke dalam supernatan sehingga terbaca nilai pH yang terukur. Elektroda diangkat
dan dibilas dengan akuades.
k. Densitas kamba (Sathe and Salunkhe, 1981)
Densitas kamba diukur dengan menggunakan gelas ukur. Sampel yang
akan diukur, ditimbang sebanyak 10 g. Kemudian dimasukkan ke dalam gelas
ukur 50 mL dan dibaca volumenya. Densitas kamba dihitung sebagai
perbandingan berat sampel dengan volume contoh yang terbaca pada gelas ukur.
Kemudian dilakukan ulangan sebanyak 4 kali.
Densitas kamba (g/mL) berat sampel (g) volume (mL)
l. Kapasitas penyerapan air secara gavimetri (Kadan et al., 2003)
Tabung sentrifus diisi 2 g sampel tepung yang ditimbang berat tabung dan
sampel (a), kemudian ditambahkan 9 mL akuades dan divorteks. Selanjutnya
didiamkan selama 30 menit kemudian disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit,
didekantasi dan ditimbang beratnya (b).
Kapasitas penyerapan air (%bk) )1(
%100
kams
ab
Keterangan : a = berat sampel kering + berat tabung sentrifuse (g) b = berat sampel yang telah dibasahi + berat tabung sentrifuse (g) ms = berat sampel (g) m. Kelarutan dan Swelling volume (Collado and Corke 1998 dengan
modifikasi) Swelling volume ditentukan dengan menimbang sebanyak 0,35 g tepung
yang kemudian ditambahkan air sebanyak 12,5 mL dalam tabung sentrifuse.
38
Selanjutnya larutan divorteks lalu dipanaskan dalam waterbath yang bersuhu
92,5˚C dan setiap 5 menit sekali divorteks selama 10 menit. Selanjutnya larutan
didinginkan pada air es selama 1 menit dan pada suhu 25˚C selama 15 menit.
Kemudian larutan disentrifus dengan kecepatan 3600 rpm selama 15 menit. Gel
yang terbentuk diukur volumenya dan dinyatakan sebagai swelling volume dalam
satuan mL/g (bk). Kelarutan diperoleh dengan cara menuangkan supernatan yang
dihasilkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya dan dikeringkan pada
suhu 110˚C selama semalam. Kelarutan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Kelarutan (%bk) wdm
w1100%
wdm = ws (1-ka) w1 = berat supernatan (g) w2 = volume gel yang terbentuk (mL) ws = berat sampel (g) ka = kadar air (desimal) tepung dalam berat basah. n. Kapasitas emulsi (Beuchat 1990 dalam Babiker et al., 2007 dengan
modifikasi)
Sejumlah ± 1 g sampel diblender dengan 50 mL akuades selama 30 detik
pada kecepatan maksimum. Minyak ditambahkan ke dalam blender sebanyak 0,1
mL dengan menggunakan pipet tetes ukuran 1 mL dan diblender kembali.
Kemudian dilanjutkan penambahan minyak sebanyak 0,1 mL hingga emulsi tidak
stabil. Batas akhir penambahan minyak ketika minyak terpisah dari sitem emulsi.
Jumlah minyak yang ditambahkan merupakan nilai kapasitas emulsi mL/g (bk).
Kapasitas emulsi (mL/g bk) %100)1(
kab
a
Swelling volume (ml/g bk) wdm
w2 100%
39
a = volume total minyak yang ditambahkan (mL) b = berat sampel (g) ka = kadar air (desimal) tepung dalam berat basah o. Sifat amilografi (metode AACC 22-12 dalam Hung and Morita, 2005)
Sebanyak 450 mL akuades diukur dengan menggunakan gelas ukur.
Sampel sebanyak 45 g dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dilarutkan
dengan sebagian akuades hingga terbentuk suspensi. Suspensi dimasukkan ke
dalam bowl amilograph dan sisa akuades digunakan untuk membilas gelas piala
kemudian dimasukkan ke dalam bowl amilograph. Lengan sensor dipasang dan
dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograph. Suhu awal
diatur dengan termoregulator pada suhu 300C kemudian diswitch pengatur suhu
berada dibawah suhu 970C dan mesin amilograph dinyalakan sehingga bowl
berputar pada kecepatan 75 rpm dengan kenaikan suhu 1,50C per menit. Mesin
amilograph dimatikan setelah pasta mencapai suhu 950C selama 10 menit
kemudian dinyalakan kipas angin untuk menurunkan suhunya sampai suhu 600C
dengan laju penurunan suhu 1,50C per menit, setelah itu mesin dinyalakan
kembali. Pada saat mencapai suhu 500C selama 10 menit mesin dimatikan
kembali. Perubahan viskositas pasta dicatat secara otomatis oleh komputer
menggunakan program amilografi. Hasil grafik perubahan viskositas dapat
langsung dicetak dengan printer.
40
Perhitungan analisis amilograph dilakukan dengan rumus :
Suhu awal gelatinisasi = suhu pada saat kurva mulai naik
Suhu puncak gelatinisasi = suhu saat viskositas maksimum dicapai
Perhitungan suhu gelatinisasi = suhu awal +[waktu (menit) x 1,5 0C/mnt]
Viskositas maksimum = viskositas pasta pada puncak gelatinisasi
Breakdown viscosity = viskositas maksimum – viskositas pada
Setback viscosity = viskositas pada suhu 500C – viskositas
Stabilitas selama pemanasan = viskositas pada suhu 950C – viskositas
suhu 950C setelah 10 menit
pada suhu 950C setelah 10 menit
setelah holding 950C
dinyatakan dalam Brabender Unit (BU)
(kurva mencapai puncak)
Gambar 6. Grafik perubahan viskositas (amilogram) pada tepung beras.
(peak viscosity)
sebelum mencapai suhu holding 95˚C
Time (minute)
Keterangan : = perubahan viskositas sampel = profil suhu gelatinisasi
41
Stabilitas selama pendinginan = viskositas pada suhu 500C – viskositas
p. Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) (Chen et al., 2003)
Sampel yang akan dianalisis harus bersih dan tidak ada kontaminasi, karena
kontaminasi yang terjadi pada sampel dapat mengganggu hasil analisis. Sampel
sebelumnya dikeringkan dengan freeze dryer sehingga didapat tepung dengan
kadar air kurang dari 5%. Sampel kering diletakkan diatas stap yang sudah
ditempeli dengan carbon double tape. Carbon double tape berfungsi untuk
merekatkan sampel pada stap dan memudahkan alat membedakan pantulan
sampel dan karbon saat stap ditembak elektron. Kemudian sampel dicoating
dengan emas menggunakan JEOL JFC 110E Ion Sputtering Device Fine Coat.
Selain berfungsi agar sampel bersifat konduktif terhadap elektron (baik mengantar
elektron, karena sampel biologis tidak baik dalam mengantar elektron), coating
juga berguna untuk mengurangi sampel menerima elektrostatik dan meningkatkan
sejumlah secondary electron. Coating dilakukan selama 4 menit sehingga
didapatkan ketebalan 300Å dengan platinum dan karbon.
Setelah sampel dicoating, sampel diletakkan di dalam kolom tempat
sampel pada alat SEM JEOL JSM 5200. Analisis SEM dilakukan pada dua
perbesaran X2000 dan X3500. Hal ini dilakukan untuk melihat topografi pada
permukaan tepung. Nilai X11000 dan X9000 merupakan nilai magnification
(perbesaran) sebenarnya. Nilai ini didapatkan dari pembagian panjang yang
terdapat pada gambar dengan direct magnification (panjang garis yang ditetapkan
pada gambar yaitu 10 μm dan 5 μm). Nilai 20kV merupakan tekanan yang
digunakan saat penembakan elektron pada SEM.
suhu setelah holding 500C selama 10 menit
42
E. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis varian (uji F).
Apabila ada pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %. Penentuan kombinasi perlakuan
terbaik dilakukan dengan metode Indeks Efektivitas.
F. Pelaksanaan Penelitian
1. Penelitian pendahuluan
a. Penentuan tingkat penyosohan
Varietas yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah P-12. Tingkat
penyosohan yang dicoba yaitu 1, 3, 5 dan 7 kali. Selanjutnya jagung yang telah
disosoh dilakukan penggilingan sebanyak 3 kali dengan metode kering,
pengayakan (80 mesh) dan pengemasan. Penggilingan sebanyak 3 kali adalah
tingkat penggilingan kering tepung beras yang banyak diterapkan di masyarakat.
Pengamatan terhadap tepung yang dihasilkan meliputi kadar serat, derajat putih,
tekstur dan rendemen (Lampiran 1a).
Tepung jagung sosoh 1kali memberikan nilai rendemen paling rendah, hal ini
disebabkan masih banyak lembaga yang terikut sehingga tepung yang dihasilkan
mengandung lemak yang tinggi sehingga sulit untuk diayak. Rendemen tepung
paling tinggi didapat pada penyosohan 5 kali. Penyosohan sebanyak 5 kali
menghasilkan kadar serat dan lemak yang rendah sehingga mempermudah
pengayakan. Hal ini akan menghasilkan rendemen tepung yang lebih tinggi.
43
Sedangkan dilihat dari derajat putih didapat makin tinggi tingkat penyosohan,
derajat putih (L) juga makin tinggi hal ini disebabkan jumlah tipcap dan lembaga
makin sedikit yang terikut serta butir tepung yang dihasilkan makin halus. Apabila
pemisahan tip cap tidak sempurna dapat membuat tepung menjadi kasar dan
terdapat butir-butir hitam pada tepung (Lestari, 2009). Kadar serat tepung yang
sudah sesuai SNI 01-3727-1993 yaitu tepung dari penyosohan 5 dan 7 kali, hal ini
mungkin karena kulit sudah terbuang optimal pada penyosohan 5 dan 7 kali.
Kadar serat yang tinggi dapat menyebabkan tepung yang dihasilkan terasa kasar
pada lidah jika dikonsumsi. Penyosohan berlebihan menyebabkan terkikisnya
bagian endosperma sehingga terjadi kehilangan pati dan rendemen menjadi lebih
rendah (Mudjisihono, 1991). Berdasarkan pertimbangan rendemen, waktu, energi
dan biaya produksi sehingga dipilih 5 kali penyosohan untuk tahap selanjutnya.
b. Penentuan tingkat penggilingan optimal pada metode kering
Penggilingan metode kering dengan 3 kali penggilingan menghasilkan tepung
dengan rendemen rendah yaitu 26,53% sehingga masih diperlukan usaha
meningkatkan rendemen dengan menambah tingkat penggilingan. Tingkat
penggilingan yang dicoba yaitu 3, 5, 7 dan 9 kali. Pengamatan terhadap tepung
yang dihasilkan meliputi derajat putih dan rendemen (Lampiran 1b).
Rendemen tepung meningkat dengan makin tingginya tingkat penggilingan
disebabkan makin banyak endosperma keras (horny endosperm) yang dapat
dihancurkan. Makin tinggi tingkat penggilingan pada metode kering
menyebabkan makin rendah nilai derajat putih (L). Hal itu menunjukkan warna
tepung menjadi kuning kusam. Makin tinggi nilai a (+) menunjukkan intensitas
44
warna merah meningkat pada tepung sehingga menyebabkan warna makin kusam.
Warna kusam yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh reaksi maillard yang
intensitasnya meningkat sejalan dengan bertambahnya tingkat penggilingan
(Frederick, 2007). Semakin tinggi tingkat penggilingan menyebabkan tepung
menjadi panas dan kering. Sedang makin tinggi nilai b (+) menunjukkan warna
kuning makin meningkat dengan meningkatnya tingkat penggilingan disebabkan
xantofil yang ada dibagian horny endosperm ikut terbawa menjadi tepung
bersama dengan hancurnya horny endosperm. Menurut Koswara (2000), pigmen
xantofil dan beta karoten banyak terkonsentrasi di dalam horny endosperm.
c. Penentuan lama perendaman optimal pada metode basah
Pada metode basah, sebelum tahap penggilingan dilakukan perendaman.
Waktu perendaman optimal ditentukan guna mendapatkan waktu perendaman
paling efektif. Lama perendaman yang dicoba yaitu 3, 6, 9 dan 12 jam.
Perendaman 15 jam dihentikan karena sudah berbau asam. Bau asam tersebut
menunjukkan sudah terjadi fermentasi spontan yang akan mengubah sifat alami
dari pati. Fermentasi spontan menyebakan penurunan viskositas maksimum dan
nilai setback pati serta meningkatkan viskositas breakdown (Setiawan, 2008) yang
tidak sesuai untuk pembuatan mi. Setelah direndam kemudian digiling 1 kali lalu
dikeringkan menggunakan cabinet dryer selama 2,5 jam pada suhu 50˚C untuk
mengeringkan tepung kemudian diayak dengan ukuran 80 mesh. Pengeringan
menggunakan suhu cukup rendah 50˚C bertujuan mencegah gelatinisasi
pati. Proses pengeringan bertujuan untuk memudahkan pengayakan dan
mencegah kerusakan mikrobiologis pada tepung yang masih basah.
45
Pengamatan terhadap tepung yang dihasilkan yaitu derajat putih dan rendemen
(Lampiran 1c). Makin lama perendaman menyebabkan intensitas warna kuning
tepung sedikit menurun, terlihat nilai b sedikit menurun sejalan dengan makin
lama perendaman. Hal ini disebabkan selama perendaman, jagung terpapar oleh
cahaya matahari sehingga terjadi degradasi beta-karoten. Ramachandran (2010)
menyatakan bahwa sinar matahari (UV) menyebabkan degradasi karotenoid
sehingga warna kuning pada bahan menurun. Kandungan karotenoid pada biji
jagung kuning berkisar antara 6,4-11,3 μg/g, 22% diantaranya adalah beta-karoten
dan 51% xantofil. Beta-karoten dan xantofil ini bersifat lebih tidak stabil dan lebih
mudah terdegradasi oleh sinar UV dibanding jenis karoten yang lain (Siems et al.,
1999 dalam Ramachandran 2010). Sedang nilai a (-) makin rendah menunjukkan
intensitas warna hijau makin menurun.
Waktu perendaman hingga 9 jam menghasilkan peningkatan rendemen
tepung, namun menurun pada lama perendaman 12 jam. Peningkatan rendemen
disebabkan makin banyak endosperma keras (horny endosperma) menjadi lunak
sehingga mudah dihancurkan menjadi tepung. Pada perendaman 12 jam, pati dan
komponen lain yang larut selama perendaman lebih banyak dibanding
perendaman 9 jam. Dengan mempertimbangkan nilai derajat putih (L), rendemen
dan efisiensi waktu maka dipilih lama perendaman yaitu 9 jam.
d. Penentuan tingkat penggilingan pada metode basah.
Rendemen tepung metode basah dengan lama perendaman 9 jam masih
mungkin untuk ditingkatkan sehingga perlu dicoba beberapa tingkat penggilingan
yaitu 1, 2, dan 3 kali. Dari segi warna tidak terdapat perubahan yang signifikan
46
namun terjadi sedikit penurunan nilai derajat putih (L). Sedangkan rendemen
sedikit meningkat sejalan dengan meningkatnya tingkat penggilingan (Lampiran
1d). Dengan mempertimbangan nilai derajat putih (L), rendemen dan efisiensi
energi maka dipilih tingkat penggilingan yaitu 2 kali.
2. Penelitian lanjutan
Penelitian lanjutan dilaksanakan melalui dua tahap yaitu tahap pembuatan
tepung jagung dengan metode basah dan kering pada berbagai varietas jagung
kuning hibrida. Proses metode kering meliputi sortasi jagung kering pipil,
penyosohan sebanyak 5 kali, penggilingan sebanyak 5 kali dan pengayakan 80
mesh. Sedangkan metode basah meliputi sortasi jagung kering pipil, penyosohan
sebanyak 5 kali, perendaman dengan perbandingan bahan:air (1:2 b/v) selama 9
jam, ditiriskan, penggilingan sebanyak 2 kali, pengeringan dengan cabinet dryer
selama 2,5 jam pada suhu 50˚C, pengayakan 80 mesh, pengemasan dengan plastik
polipropilen kemudian disimpan dalam toples yang diberi silika gel (Lampiran 3
dan 4).
47
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis ragam pengaruh varietas jagung hibrida (V) dan jenis
metode penggilingan (M) serta interaksinya (V x M) disajikan dalam Tabel 5,
sedangkan nilai rata-rata pengaruh perlakuan terhadap variabel kimia, fisik dan
fungsional disajikan dalam Lampiran 9, 10 dan 11. Penentuan perlakuan terbaik
dengan metode Indeks Efektivitas dapat dilihat pada Lampiran 12.
Tabel 5. Hasil analisis ragam pengaruh varietas jagung hibrida dan metode penggilingan terhadap variabel kimia, fisik dan fungsional tepung jagung hibrida.
Perlakuan No Variabel
V M V x M A. Variabel kimia 1 Kadar air ** ** * 2 Kadar abu ** ** tn 3 Kadar lemak ** ** tn 4 Kadar protein total ** ** tn 5 Kadar amilosa ** ** tn 6 Kadar pati ** ** ** B. Variabel fisik 1 Rendemen ** ** tn 2 Starch damage ** ** ** 3 Densitas kamba ** ** tn 4 pH ** ** tn 5 Derajat putih (L) tn ** tn C. Variabel fungsional 1 Kapasitas penyerapan air ** ** tn 2 Swelling volume ** ** tn 3 Kelarutan ** ** tn 4 Kapasitas emulsi ** ** tn
Keterangan: V = varietas jagung hibrida; M = metode penggilingan; Vx M = interaksi antara jenis varietas jagung hibrida dan metode penggilingan; tn = tidak berpengaruh nyata pada taraf 5%; (*) = berpengaruh nyata pada taraf 5%; (**) = berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%.
48
1. Kadar air
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap kadar air tepung jagung. Tepung jagung varietas
Prima dan P-12 mempunyai rata-rata kadar air lebih rendah jika dibandingkan
tepung jagung dari varietas lain yaitu 6,91% dan 6,99% bb, sedangkan tepung
jagung varietas Bisi 16 memiliki rata-rata kadar air yang lebih tinggi yaitu 9,48%
bb (Gambar 7). Hal ini disebabkan perbedaan kadar air pada jagung pipil kering
yang digunakan. Jagung pipil kering varietas Prima dan P-12 mempunyai kadar
air yang lebih rendah (8,39% dan 8,41% bb) daripada jagung pipil kering varietas
Nusantara 1, NT 10, P-21, C-7 dan Bisi 16, masing-masing sebesar 9,56% bb;
10,64% bb; 8,84% bb; 10,10% bb dan 11,18% bb. Hal ini serupa dengan
penelitian Kaur et al. (2006) yang menyatakan bahwa perbedaan kadar air pada
tepung disebabkan oleh bervariasinya kadar air bahan mentah.
6,99e
9,48a
7,86d
9,25ab
8,18cd
6,91e
8,68bc
5
6
7
8
9
10
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12Varietas
Kad
ar a
ir (%
bb)
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 7. Kadar air tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida.
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar air tepung jagung. Tepung jagung
yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar air lebih rendah
A. Variabel Kimia
49
jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 7,48% bb (Gambar 8).
Hal ini disebabkan pada metode penggilingan basah terjadi kehilangan komponen
dengan gugus hidroksil yang mampu mengikat air seperti karbohidrat, serat,
protein dan garam selama perendaman. Menurut Winarno (2008), molekul air
terikat dengan molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen. Molekul air
membentuk hidrat dengan molekul lain sepeti karbohidrat, protein dan garam.
Selain itu pada metode penggilingan basah dilakukan pengeringan sehingga kadar
air menjadi lebih rendah. Menurut Taib (2000), pengeringan adalah proses
penurunan kadar air hingga batas tertentu. Selama pengeringan terjadi
pemindahan panas dari udara ke bahan dan sebaliknya terjadi pemindahan air dari
bahan ke ke udara melalui fase uap.
7,48b
8,90a
6,5
7
7,5
8
8,5
9
9,5
Metode kering Metode basahMetode penggilingan
Kad
ar air (%
bb)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 8. Kadar air tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah.
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
dengan metode penggilingan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air
tepung jagung. Nilai rata-rata kadar air terendah dihasilkan dari kombinasi V2M2
yaitu 5,54% bb, sedangkan nilai rata-rata kadar air tertinggi dihasilkan dari
kombinasi V6M1 yaitu 9,75% bb (Gambar 9). Hal ini disebabkan kadar air biji
pipil kering varietas Prima paling rendah dan dibuat tepung dengan
menggunakan metode basah sehingga menghasilkan kadar air terendah.
50
8,22de
10,8a
9,29bcd
10,59a10,17ab9,02cd
10,38ab
6,82fg
10,15ab
7,79ef8,65de
5,87g
7,68ef
9,79abc
0
2
4
6
8
10
12
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7varietas
kadar
air (%
bk)
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%
Gambar 9. Kadar air tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
Menurut Earle (1969), tepung yang baik memiliki kadar air tidak lebih dari
14%. Kadar air tepung lebih dari 14% lebih mudah mengalami kerusakan
mikrobiologis sehingga umur simpan lebih pendek. Berdasarkan SNI 01-3727
kadar air tepung jagung maksimum adalah 10% bb. Jika dibandingkan dengan
SNI tepung jagung, maka kadar air tepung dari seluruh kombinasi telah memenuhi
standar mutu tepung jagung dengan kadar air kurang dari 10% bb, sehingga telah
memenuhi syarat untuk disimpan pada suhu ruang.
2. Kadar abu
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap kadar abu tepung jagung. Varietas Bisi 16
mempunyai rata-rata kadar abu lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari
varietas lain yaitu 0,50% bk, sedangkan tepung dari varietas P-12 memiliki rata-
rata kadar abu yang lebih tinggi yaitu 1,04% bk (Gambar 10). Perbedaan varietas
menyebabkan kadar abu jagung pipil berbeda sehingga dihasilkan tepung jagung
penambahan pupuk dan perbedaan kondisi tanah tempat tumbuh (Wagiono, 1987).
dengan kadar abu yang berbeda antar varietas. Hal tersebut juga disebabkan
51
1,04a
0,50e
0,88abc
0,65de0,71cd
0,78bcd
0,93ab
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12Varietas
Kad
ar ab
u (%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 10. Kadar abu tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida.
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap kadar abu tepung jagung. Tepung jagung yang
dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar abu lebih rendah jika
dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 0,62% bk (Gambar 11). Hal
ini disebabkan pada proses perendaman dengan metode basah, sebagian mineral
larut ke dalam media perendam. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan Chen et al. (1999), bahwa penggilingan basah dengan melibatkan
air menyebabkan larutnya sebagian mineral, vitamin larut air, albumin dan gula ke
dalam air perendam.
0,62b
0,95a
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
Metode kering Metode basahMetode Penggilingan
Kad
ar a
bu (%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 11. Kadar abu tepung jagung dari metode penggilingan basah dan kering.
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kadar abu tepung jagung. Nilai rata-rata kadar abu (%bb) dari kombinasi V1M1,
52
V1M2, V2M1, V2M2, V3M1, V3M2, V4M1, V4M2, V5M1, V5M2, V6M1,
V6M2, V7M1, dan V7M2 berturut-berturut yaitu 1,01%; 0,69%; 0,86%; 0,60%;
0,76%; 0,54%; 0,74%; 0,44%; 1,01%; 0,62%; 0,60%; 0,30%; 1,11%; dan 0,82%.
Kadar abu semua kombinasi telah sesuai dengan SNI 01-3727 (1993), yaitu
kurang dari 1,5% bb. Kombinasi V7M1 memiliki rata-rata kadar abu paling tinggi
dibanding kombinasi lainnya yaitu 1,20% bk (Gambar 12). Jika kadar abu di atas
1,5% bb dikhawatirkan telah terjadi kontaminasi logam selama proses
penepungan dan jika kadar abu kurang dari 1,5% bb menunjukkan kandungan
mineral yang cukup rendah dalam tepung jagung yang dihasilkan.
1,11ab
0,93bc0,84cde 0,82cde
1,11ab
0,67cdef
1,20a
0,75cdef0,64def
0,58efg0,49fg
0,67cdef
0,33g
0,87bcd
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7varietas
kad
ar a
bu
(%
bk)
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%
Gambar 12. Kadar abu tepung jagungdari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
3. Kadar lemak
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap kadar air tepung jagung. Tepung jagung varietas
Bisi 16 mempunyai rata-rata kadar lemak lebih rendah jika dibandingkan dengan
tepung dari varietas lain yaitu 0,73% bk, sedangkan tepung dari varietas P-12
53
memiliki rata-rata kadar lemak yang lebih tinggi yaitu 3,61% bk (Gambar 13). Hal
ini disebabkan jagung pipil kering varietas Bisi 16 mempunyai kadar lemak yang
lebih rendah (4,15% bk) daripada jagung varietas Prima, Nusantara 1, NT 10, P-
21, C-7 dan P-12, masing-masing sebesar 6,45% bk; 5,84% bk; 4,26% bk; 6,73%
bk; 6,50% bk dan 7,04% bk. Perbedaan kadar lemak pada tepung disebabkan oleh
bervariasinya kadar lemak jagung pipil kering masing-masing varietas. Kaur et al.
(2006) menyatakan bahwa perbedaan kadar lemak pada tepung disebabkan oleh
bervariasinya kadar lemak bahan mentah.
3,61a
0,73g
3,33b
1,70f
2,31e
3,05d3,17c
0
1
2
3
4
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
Kadar
lem
ak (%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99% Gambar 13. Kadar lemak tepung jagung beberapa varietas jagung kuning
hibrida.
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar lemak tepung jagung. Tepung jagung
yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar lemak lebih rendah
jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 2,40%bk (Gambar 14).
Hal ini disebabkan selama proses perendaman terjadi aktivasi enzim lipase yang
menghidrolisis sebagian lemak menghasilkan asam lemak dan gliserol. Gliserol
lebih mudah larut kedalam larutan perendam sehingga kadar lemaknya menurun.
Menurut Chen et al. (1999) bahwa penggilingan basah pada beras menghasilkan
tepung dengan jumlah lemak yang lebih sedikit.
54
2,40b
2,72a
2
2,5
3
Metode kering Metode basahMetode penggilingan
Kadar le
mak (%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 14. Kadar lemak tepung jagung dari metode penggilingan basah
dan kering.
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kadar lemak tepung jagung. Nilai rata-rata kadar lemak relatif rendah pada semua
kombinasi. Nilai rata-rata kadar lemak kombinasi V6M2 paling rendah dibanding
kadar lemak kombinasi lainnya (Gambar 15). Kadar lemak yang rendah pada
tepung jagung disebabkan adanya proses pemisahan lembaga pada saat jagung
diproses menjadi tepung. Kandungan lemak jagung pada bagian lembaga yaitu
34,50% sedangkan endospermanya hanya 0,85 % (Inglett, 1970).
3,39cd 3,26d
2,52g
1,89i
3,42bc
0,87k
3,72a
2,99e 2,85f
2,11h
1,52j
3,23d
0,59l
3,51b
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7varietas
kad
ar le
mak
(%
bk)
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%
Gambar 15. Kadar lemak tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
55
Kadar lemak tidak termasuk ke dalam syarat mutu yang ditetapkan dalam
SNI. Kadar lemak semua kombinasi lebih tinggi jika dibanding kadar lemak terigu
tipe hard dan medium flour (1,3%bk) yang umum digunakan untuk membuat mi,
kecuali kombinasi V6M1 dan V6M2. Tepung jagung diharapkan mengandung
kadar lemak yang rendah. Dekie (1988) menyebutkan bahwa kadar lemak yang
tinggi mempengaruhi kualitas bahan selama penyimpanan karena menyebabkan
bahan lebih mudah tengik. Selain itu kadar lemak yang tinggi dapat mengganggu
pengikatan air oleh granula. Jika pengikatan air oleh granula pati terhambat dapat
mengakibatkan gelatinisasi yang diharapkan tidak tercapai dan tidak merata. Hal
ini dapat menyebabkan tekstur mi yang dihasilkan mudah patah dan kasar karena
terbentuk matriks pati yang tidak sempurna saat gelatinisasi.
4. Kadar protein total
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap kadar protein total tepung jagung. Tepung jagung
varietas Bisi 16 mempunyai rata-rata kadar protein total lebih rendah jika
dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 5,62% bk (Gambar 16). Hal
ini disebabkan jagung pipil kering varietas Bisi 16 mempunyai kadar protein total
yang lebih rendah (8,57% bk) daripada jagung varietas Prima, Nusantara 1, NT
10, P-21, C-7 dan P-12, masing-masing sebesar 10,25% bk; 9,57% bk; 10,56%
bk; 10,45% bk; 10,89% bk dan 10,74% bk. Perbedaan kadar protein total pada
tepung disebabkan oleh bervariasinya kadar protein total jagung pipil kering
masing-masing varietas. Kaur et al. (2006) menyatakan bahwa perbedaan kadar
protein pada tepung disebabkan oleh bervariasinya kadar protein bahan mentah.
56
8,78a
5,62c
8,57a8,55a
7,87b
8,54a8,77a
4
5
6
7
8
9
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
Kad
ar p
rote
in tota
l (%
bk)
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 16. Kadar protein total tepung jagung beberapa varietas jagung
kuning hibrida.
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar protein total tepung jagung. Tepung
jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar protein
lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 7,95% bk
(Gambar 17). Hal ini disebabkan pada proses perendaman pada metode basah,
terjadi proses aktivasi enzim protease yang dapat menghidrolisis protein menjadi
komponen sederhana seperti peptida dan asam amino yang lebih larut (Triantarati
1989 dalam Pangkey 1991). Menurut Anglemei and Montglomery (1976), kadar
protein turun karena lepasnya ikatan struktur protein selama perendaman sehingga
komponen protein larut dalam air.
7,95b
8,25a
7,8
7,9
8
8,1
8,2
8,3
Metode kering Metode basahMetode penggilingan
Kad
ar p
rote
in tota
l (%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 17. Kadar protein total tepung jagung dari metode penggilingan
basah dan kering.
57
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar
protein total tepung jagung. Kombinasi V6M1 dan V6M2 memiliki rata-rata kadar
protein total paling rendah dibanding kombinasi lainnya yaitu 5,76% dan 5,48%
bk (Gambar 18). Hal ini terutama disebabkan kadar protein total jagung pipil
varietas Bisi 16 paling rendah dibanding yang lain. Protein terbanyak pada jagung
adalah zein dan glutelin. Walaupun kadar protein sebagian besar kombinasi
tepung jagung tergolong sedang, tetapi jagung tidak memiliki protein gluten yang
merupakan protein utama pada terigu. Oleh karena itu, protein jagung tidak
berkontribusi secara signifikan terhadap karakteristik produk mi yang dihasilkan.
8,89a 8,83ab8,05d 8,64ab 8,67ab
5,76f
8,89a8,65ab8,24cd
7,69e8,45bc 8,47bc
5,48f
8,67ab
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7varietas
kadar pro
tein
tota
l (%
bk)
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%
Gambar 18. Kadar protein total tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
5. Kadar amilosa
Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa,
amilopektin dan bahan antara seperti lipid dan protein (Pomeranz, 1976). Amilosa
mempunyai struktur lurus yang dominan dengan ikatan alfa-(1,4)-D-glukosa,
sedangkan amilopektin mempunyai titik percabangan dengan ikatan cabang alfa-
(1-6)-D-glukosa. Dibanding sumber pati lain, jagung mempunyai beragam jenis
58
pati, mulai dari amilopektin rendah sampai tinggi. Jagung dapat digolongkan
menjadi empat jenis berdasarkan sifat patinya, yaitu jenis normal mengandung 74-
76% amilopektin, jenis waxy mengandung 99% amilopektin, jenis amilomize
mengandung 20% amilopektin, dan jagung manis mengandung sejumlah sukrosa
di samping pati (Suarni et al., 2008).
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap kadar amilosa tepung jagung. Tepung jagung
varietas Prima mempunyai rata-rata kadar amilosa lebih rendah jika dibandingkan
dengan tepung dari varietas lain yaitu 23,43% bk, sedangkan tepung dari varietas
C-7 memiliki rata-rata kadar amilosa yang lebih tinggi yaitu 33,94% bk (Gambar
19). Perbedaan kandungan amilosa antar varietas disebabkan faktor genotip,
varietas, kondisi lingkungan dan praktek kultur (Kaur et al., 2006). Hal ini serupa
dengan penelitian Sandhu and Singh (2006), perbedaan varietas jagung
menghasilkan pati dengan kandungan amilosa yang berbeda-beda.
31,86b30,96b31,26b
25,16c25,66c23,43d
33,94a
1517
1921
232527
2931
3335
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
Kad
ar a
milo
sa (%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 19. Kadar amilosa tepung jagung dari beberapa varietas jagung
kuning hibrida.
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar amilosa tepung jagung. Tepung
jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar amilosa
59
lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 28% bk
(Gambar 20). Hal ini disebabkan selama proses perendaman pada matode basah
terjadi proses aktivasi enzim amilase yang dapat menghidrolisis amilosa menjadi
dekstrin yang bersifat lebih larut (Usansa et al., 2009). Menurut Winarno (1988),
enzim yang terdapat pada tanaman yang dapat menghidrolisis pati adalah beta-
amilase, alfa-amilase dan fosforilase. Enzim beta-amilase dapat memecah pati
menjadi fraksi-fraksi kecil yakni pemecahan amilosa menjadi maltosa, maltotriosa
dan sedikit glukosa serta alfa limit dekstrin. Sedangkan enzim alfa amilase dapat
menghidrolisis pati menjadi fraksi-fraksi molekul yang terdiri dari enam sampai
tujuh unit glukosa.
28b
29,79a
27
27,5
28
28,5
29
29,5
30
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Kad
ar a
milo
sa (%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 20. Kadar amilosa tepung jagung dari metode penggilingan kering
dan basah.
Kandungan amilosa yang cukup tinggi merupakan suatu hal yang
diharapkan dalan pembuatan mi non terigu karena memiliki daya ikat yang lebih
kuat, cooking loss dan swelling yang rendah (Kim et al., 1996). Namun bila
kandungan amilosa terlalu tinggi dapat menyebabkan mi menjadi terlalu keras dan
sulit untuk dicetak. Sebaliknya jika kandungan amilosa terlalu rendah
menyebabkan adonan mi bersifat terlalu lengket sehingga sulit dicetak, memiliki
viskositas yang tidak stabil dan sulit mengalami retrogradasi guna mempertahankan
60
struktur mi (Tam et al., 2004). Menurut Guo et al. (2003) pada umumnya mi di
Asia dibuat dari tepung dengan kandungan amilosa 1-29% bk namun kandungan
amilosa optimum yang memberikan kualitas mi terbaik adalah 21-24% bk.
Kandungan amilosa seluruh kombinasi berada diatas kisaran yang diungkapkan
Guo et al. (2003) kecuali kombinasi V2M2 (Gambar 21).
35,05a
24,29ef26,62d 25,97de
32,18bc 31,68bc 32,74b32,83b
22,57f24,69de 24,36ef
30,35c 30,23c 30,97bc
0
5
10
15
20
25
30
35
40
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7varietas
ka
da
r a
mil
os
a (
%b
k)
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%
Gambar 21. Kadar amilosa tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
6. Kadar pati
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap kadar pati tepung jagung. Perbedaan varietas
berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan pati. Tepung varietas Bisi 16
mempunyai rata-rata kadar pati lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung
dari varietas lain yaitu 82,32% bk, sedangkan tepung dari varietas C-7 memiliki
rata-rata kadar pati yang lebih tinggi yaitu 88,66% bk (Gambar 22). Menurut
Hoseney (1998), perbedaan jumlah pati disebabkan oleh perbedaan varietas, faktor
genetik dan tingkat usia tanaman.
61
86,05b
82,32g
85,24c
83,78e82,99f
84,68d
88,66a
7980
8182
8384
8586
8788
8990
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
kadar
pat
i (%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95% Gambar 22. Kadar pati tepung jagung beberapa varietas jagung kuning
hibrida.
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar pati tepung jagung. Tepung jagung
yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kadar pati lebih rendah
jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 83,05% bk (Gambar
23). Hal ini disebabkan proses perendaman pada matode basah terjadi proses
aktivasi enzim amilase yang dapat menghidrolisis amilosa menjadi dekstrin yang
bersifat lebih larut (Usansa et al., 2009) sehingga terjadi penurunan kadar pati
tepung jagung.
83,05b
86,58a
81
82
83
84
85
86
87
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Kad
ar
pati (%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 23. Kadar pati tepung jagung dari metode penggilingan kering
dan basah.
62
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
dengan metode penggilingan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap
kadar pati tepung jagung. Nilai rata-rata kadar pati (%bb) dari kombinasi V1M1,
V1M2, V2M1, V2M2, V3M1, V3M2, V4M1, V4M2, V5M1, V5M2, V6M1,
V6M2, V7M1, dan V7M2 berturut-berturut yaitu 82,10; 79,58; 80,03; 77,73;
77,27; 75,98; 77,02; 75,10; 80,63; 78,49; 75,92; 74,03; 81,09;dan 78,85. Kadar
pati semua kombinasi telah sesuai dengan SII yaitu lebih dari 75% bb kecuali
kombinasi V6M2. Nilai rata-rata kadar pati terendah dihasilkan dari kombinasi
V3M2 dan V6M2 yaitu 81,25 dan 81,26% bk, sedangkan nilai rata-rata kadar pati
tertinggi dihasilkan dari interaksi perlakuan tepung jagung yang terbuat dari
kombinasi V1M1 yaitu 90,78% bk (Gambar 24). Hal ini disebabkan varietas Bisi
16 dan Nusantara 1 memiliki kadar pati yang rendah dan dibuat tepung
menggunakan metode basah sehingga menghasilkan kadar pati tepung jagung
yang terendah.
87,81b
83,39g
87,27bc
85,15e84,71ef
86,97cd
90,78a
84,28f
81,25i
83,21g82,41h
81,26i82,39h
86,53d
76
78
80
82
84
86
88
90
92
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
kad
ar
pati (%
bk)
M1M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%
Gambar 24. Kadar pati tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
63
Kadar pati semua kombinasi tergolong tinggi, hal ini disebabkan
penyosohan yang optimum sehingga komponen endosperma saja yang terikut.
Endosperma tersusun atas 80% pati dan dibantu proses penggilingan dan
pengayakan sehingga diperoleh terutama bagian pati (Rosmisari, 2006). Pada
pembuatan mi non terigu, pati merupakan komponen penting menentukan sifat
reologi mi yang dihasilkan. Kandungan pati yang tinggi sangat diharapkan. Pati
berperan membentuk pasta pati yang elastis dan mudah dibentuk, dengan
memanfaatkan prinsip gelatinisasi pati menggantikan fungsi protein gluten. Pasta
dianggap sebagai bahan komposit yang terdiri dari granula pati yang mengembang
yang terdispersi dalam matriks polimer (Tan et al., 2010).
B. Variabel Fisik
1. Rendemen
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap rendemen tepung jagung. Rendemen tepung
jagung varietas Bisi 16 mempunyai rata-rata rendemen lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 48,98% bb sedangkan tepung
jagung varietas C-7 memiliki rata-rata rendemen yang lebih rendah yaitu 34,20%
bb (Gambar 25). Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Bisi 16
mempunyai berat 100 butir biji yang labih tinggi (33,66 g per 100 butir biji)
daripada jagung varietas Prima, Nusantara 1, NT 10, P-21, P-12 dan C-7, masing-
masing sebesar 30,00g; 27,93g; 28,80g; 30,46g; 29,26g dan 23,50g per 100 butir
biji. Semakin tinggi berat tiap 100 butir biji maka total padatan juga makin tinggi
(Bolade, 2009). Perbedaan rendemen tepung jagung dikarenakan total padatan
64
dari masing-masing varietas jagung kuning hibrida berbeda-beda. Tingginya
kadar senyawa-senyawa dalam sel juga bersifat genetis (Jugenheimer, 1976).
Menurut Master (1979) dan Bolade (2009), dengan makin tingginya total padatan
pada bahan maka rendemen juga akan makin tinggi.
41,31b
48,98a44,33b
40,14b40,48b41,59b
34,20c
0
10
20
30
40
50
60
C-7 Prima Nusantara 1 NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
Rendem
en (%
bb)
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 25. Rendemen tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida.
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap rendemen tepung jagung. Tepung yang
dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata rendemen lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 47,97% bb (Gambar 26).
Pada penggilingan basah terdapat proses perendaman yang menyebabkan
berkurangnya kekerasan biji (Haros et al., 2003) sehingga jumlah biji yang keras
lebih sedikit akibatnya rendemen tepung metode kering lebih tinggi. Meyer
(1973) dalam Pengkey (1991) menyebutkan bila cairan antar sel berupa air atau
suatu larutan berkonsentrasi lebih rendah dari konsentrasi disekitarnya maka
larutan disekitar sel akan masuk ke dalam sel hingga terjadi keseimbangan dan
biji mengembang sehingga biji mejadi lunak. Hal ini memudahkan proses
penghancuran biji sehingga dihasilkan tepung yang lebih banyak.
65
4 7 ,9 7 a
3 5 ,1 8 b
0
1 0
2 0
3 0
4 0
5 0
6 0
M e to d e k e r in g M e to d e b a s a hM e to d e p e n g g i l in g a n
Ren
dem
en (
%b
b)
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 26. Rendemen tepung dari metode penggilingan kering dan basah.
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen
tepung jagung. Nilai rata-rata rendemen tepung jagung paling tinggi terdapat pada
kombinasi V6M2 yaitu 55,62% bb (Gambar 27). Hal ini menunjukkan kombinasi
V6M2 memberikan nilai efisiensi proses penepungan paling tinggi sehingga
34,93ef
42,34cd38,32de
32,70ef34,80ef33,62ef
29,56f
47,68bc
55,62a
50,33b47,59bc46,15bc
49,57bc
38,83de
0
10
20
30
40
50
60
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7Varietas
Rendem
en (%
bb)
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 27. Rendemen tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
2. Starch damage
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan pengaruh
sangat nyata terhadap starch damage tepung jagung. Tepung jagung varietas
diharapkan memberikan nilai tambah produk paling tinggi secara ekonomi.
Nusantara 1 mempunyai rata-rata kadar starch damage lebih tinggi jika
66
dibandingkan tepung jagung dari varietas lain yaitu 6,65% bk, sedangkan tepung
jagung varietas Bisi 16 memiliki rata-rata kadar starch damage yang lebih rendah
yaitu 4,20% bk (Gambar 28). Hal ini disebabkan perbedaan proporsi horny
endosperm pada biji jagung. Terlihat dari nilai presentase berat biji setelah
direndam selama 9 jam yang berbeda-beda, makin tinggi jumlah air yang terserap
menandakan proporsi horny endosperm yang lebih sedikit sehingga makin tinggi
laju difusi air ke dalam biji (Haros et al., 2003). Jagung pipil kering varietas
Nusantara 1 (V3) mempunyai presentase berat biji setelah direndam selama 9 jam
yang lebih rendah (115%) daripada jagung pipil kering varietas P-12, NT 10, P-
21, C-7, Prima dan Bisi 16, masing-masing sebesar 125%, 127%, 130%, 134%,
133% dan 136%. Bila proprorsi horny endosperm lebih sedikit maka resistensi
terhadap penggilingan rendah sehingga terbentuk starch damage lebih sedikit
selama penggilingan. Robuti et al. (2000) dalam Haros et al. (2003) menyatakan
bahwa pati dari bagian horny endosperm lebih cenderung rusak selama
penggilingan karena susunan sel yang kecil dan rapat serta sifat adhesi yang lebih
kuat diantara matriks protein dan granula pati.
5,51b
4,20e
5,20c5,49b
6,65a
4,80d4,77d
3
5
7
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
Sta
rch d
amag
e (%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99% Gambar 28. Starch damage tepung jagung beberapa varietas jagung
kuning hibrida.
67
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar starch damage tepung jagung. Tepung
jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata starch damage
lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 4,14% bk
(Gambar 29). Hal ini dikerenakan pada metode penggilingan basah terdapat
proses perendaman dimana terjadi difusi air perendam kedalam biji. Menurut
Meyer (1973) dalam Pangkey (1991), apabila cairan antar sel berupa air atau
larutan berkonsentasi lebih rendah dari konsentrasi sekitarnya maka larutan
disekitar sel akan masuk ke dalam sel sampai terjadi keseimbangan yang baik. Air
yang terserap selama perendaman akan menurunkan sifat adhesi horny endosperm
diantara matriks protein dan pati sehingga biji menjadi lebih lunak. Air yang
terserap juga berfungsi sebagai lubrican sehingga menurunkan gaya mekanis yang
ditimbulkan dan memberikan efek dingin saat penggilingan (Suksomboon et al.,
2005). Penurunan gaya mekanis dan suhu penggilingan menyebabkan kerusakan
pati akibat perlakuan termomekanis menurun. Sebaliknya pada penggilingan
kering, biji masih dalam keaadaan utuh dan keras sehingga meningkatkan
resistensi selama penggilingan akibatnya dihasilkan starch damage yang lebih
besar (Bolade, 2009).
4,14b
6,33a
2
3,5
5
6,5
8
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Sta
rch d
am
age (%
bk)
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 29. Starch damage tepung jagung dari metode penggilingan kering
dan basah.
68
Nilai rata-rata interaksi antara varietas jagung hibrida dengan metode
penggilingan memberikan pengaruh yang nyata terhadap starch damage tepung
jagung. Nilai rata-rata jumlah starch damage tertinggi dihasilkan dari kombinasi
V3M1 yaitu 8,49 % bk (Gambar 30). Hal ini disebabkan proporsi horny
endosperm yang lebih besar pada varietas Nusantara 1 dan pembuatan tepung
menggunakan metode kering sehingga menghasilkan resistensi yang tinggi saat
penggilingan akibatnya jumlah starch damage lebih tinggi.
6,6b
4,79e
6,23c6,54b
8,49a
5,86d5,79d
4,43f3,61h
4,16g4,44f4,8e
3,75h3,76h
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7varietas
sta
rch d
am
age (%
bk)
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 30. Starch damage tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
3. Densitas kamba
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh nyata terhadap densitas kamba tepung jagung. Tepung jagung varietas
Bisi 16 (V6) mempunyai rata-rata densitas kamba lebih rendah jika dibandingkan
dengan tepung dari varietas lain yaitu 0,598 g/mL (Gambar 31). Hal ini
disebabkan kandungan lemak dan pati lebih rendah (82,32% bk dan 0,73% bk)
daripada kandungan lemak dan pati tepung jagung berturut-turut dari varietas C-7,
Prima, Nusantara 1, NT 10, P-21, dan P-12 masing-masing sebesar 88,66 dan
69
3,17% bk; 83,68 dan 3,05% bk; 82,99 dan 2,31%bk; 83,79 dan 1,70% bk; 85,24
dan 3,33% bk; 86,05 dan 3,61% bk. Menurut Bhatacharya and Prakash (1994),
kadar lemak dan pati yang tinggi pada tepung menyebabkan densitas kamba
menjadi meningkat. Hal ini disebabkan lemak dan pati memiliki berat molekul
yang tinggi sehingga akan menghasilkan densitas kamba yang tinggi.
0,635abc0,637ab
0,628bc
0,616c
0,630bc
0,598d
0,649a
0,58
0,61
0,64
0,67
C-7 Prima Nusantara 1 NT 10 P-21 Bisi 16 P-12Varietas
Den
sit
as k
am
ba (
g/m
l)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95%. Gambar 31. Densitas kamba tepung jagung beberapa varietas jagung
kuning hibrida.
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap densitas kamba tepung jagung. Tepung
jagung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata densitas kamba
lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 0,58 g/mL
bk (Gambar 32). Hal ini disebabkan selama perendaman terjadi degradasi molekul
polimer penyusun bahan seperti karbohidrat, protein dan lemak oleh enzim
menjadi molekul yang sederhana dengan berat molekul lebih rendah sehingga
densitas kamba menurun (Fagbemi et al.,2006). Selain itu, tepung yang dihasilkan
dari metode penggilingan basah memiliki kadar air yang lebih rendah daripada
metode kering yaitu 7,48% bb.Berdasarkan penelitian Siebenmorgan et al. (1996),
peningkatan kadar air pada beras menyebabkan peningkatan nilai densitas kamba.
70
0,581b
0,675a
0,54
0,58
0,62
0,66
0,7
Metode kering Metode basahMetode penggilingan
Densitas k
am
ba (g/m
l)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 32. Densitas kamba tepung dari metode penggilingan kering dan basah.
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
densitas kamba tepung jagung. Nilai rata-rata densitas kamba kombinasi V2M1
dan V7M1 paling tinggi dibanding kandungan lemak kombinasi yang lain yaitu
0,69% bk (Gambar 33). Produk tepung diharapkan memiliki densitas kamba yang
cukup tinggi sehingga dapat mengurangi biaya pengiriman, pengemasan dan
gudang yang digunakan untuk menyimpan. Tepung dengan densitas kamba yang
tinggi juga dapat mengurangi kelengketan pada pasta yang dihasilkan (Udensi and
Okoronkwo, 2006) sehingga mempermudah dalam pencetakan mi.
0,68ab 0,69a 0,67abc 0,66bc 0,68abc 0,65c0,69a
0,59de 0,58e 0,58e 0,57e 0,58e0,54f
0,61d
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7varietas
den
sitas k
am
ba (g
/ml)
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 33. Densitas kamba tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
71
4. pH
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh nyata terhadap densitas kamba tepung jagung. Tepung jagung varietas
C-7 dan Nusantara 1 mempunyai rata-rata pH lebih rendah jika dibandingkan
dengan tepung dari varietas lain yaitu 5,4 (Gambar 34). Perbedaan pH disebabkan
perbedaan jumlah asam organik antar varietas (Jugenheimer, 1976). Menurut
Fennema (1996), sejumlah kecil asam organik terdapat pada tanaman sebagai
hasil metabolisme lanjut (dalam siklus TCA atau glikosilat) yang terakumulasi
dalam vakuola tanaman. Akumulasi asam organik ini akan memberikan keasaman
dan mempengaruhi nilai pH tepung.
5,75b
6,05a5,95a5,98a
5,43d
5,6c
5,40d
5
5,2
5,4
5,6
5,8
6
6,2
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12Varietas
pH
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95% Gambar 34. pH tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida.
Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pH tepung jagung. Tepung
yang dihasilkan dari metode basah (M2) mempunyai rata-rata pH lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 5,89 (Gambar 35). Hal ini
disebabkan selama perendaman, asam-asam organik larut ke dalam media
perendam akibatnya jumlah asam organik bahan menjadi menurun dan pH tepung
72
meningkat. Menurut Wikipedia (2008) dan Bolade (2009), sebagian besar asam
organik yang disimpan dalam tanaman bersifat polar sehingga larut dalam air.
5,89a
5,58b
5,4
5,5
5,6
5,7
5,8
5,9
6
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
pH
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95% Gambar 35. pH tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah.
Pada pembuatan mi, pH tepung dapat berpengaruh terhadap proses
gelatinisasi yaitu pada karakter pembentukan gel yang optimum. Nilai pH yang
tinggi dapat menyebabkan perubahan sifat fungsional pati dalam tepung jagung,
yaitu pembentukan gel yang makin cepat tercapai namun viskositasnya cepat pula
turun dan bila pemanasan dilanjutkan viskositas akan turun lagi. Pada pH 4-7
kecepatan pembentukan gel lebih lambat daripada pH 10, tetapi jika pemanasan
dilanjutkan, viskositas tidak berubah (Winarno, 2008). Gel pati yang diharapkan
pada pembuatan mi adalah gel yang memiliki viskositas yang cenderung tinggi
dan tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan (Tam et al., 2004).
Menurut Hoseney (1998), pada pH sekitar 5 hingga 7 pati jagung normal memiliki
viskositas relatif tinggi dan dapat dipertahankan. Nilai pH dari semua kombinasi
tepung jagung berada dalam kisaran yang diungkapkan Hoseney (Gambar 36).
73
5,25g
5,45f
5,25g
5,8bcd 5,75bcd5,9b
5,65cde5,55ef
5,75bcd5,6def
6,15a 6,15a 6,2a
5,85bc
4,6
4,8
5
5,2
5,4
5,6
5,8
6
6,2
6,4
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7varietas
pH
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 36. pH tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
5. Derajat putih (L)
Warna membuat produk pangan menjadi menarik. Pengukuran warna
secara objektif penting dilakukan karena bagi produk pangan, warna merupakan
daya tarik utama sebelum konsumen mengenal dan menyukai sifat-sifat lainnya.
Warna tepung secara signifikan akan mempengaruhi warna mi instan yang
dihasilkan (Oti and Okobundu, 2007) sehingga perlu dilakukan penilaian warna
tepung secara objektif.
Perbedaan varietas memberikan pengaruh yang tidak nyata pada derajat
putih (L) tepung jagung yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena jumlah dan
jenis pigmen yang terkandung relatif sama antar varietas (Mukprasirt and
Sajjanantakul, 2004). Jenis pigmen pada jagung kuning hibrida adalah karotenoid.
Kandungan karotenoid pada jagung rata-rata sebesar 23 mg/kg dengan kisaran 12-
36 mg/kg sedangkan total karoten rata-rata sebesar 2,8 mg/kg (Watson, 2003).
74
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap derajat putih tepung jagung. Tepung jagung
yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata derajat putih (lightness)
lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 80,42 %
(Gambar 37). Berdasarkan hasil analisis ragam 5% pada notasi a dan b didapat
pengaruh metode penggilingan sangat nyata terhadap kedua notasi tersebut.
Tepung jagung yang dihasilkan dengan metode penggilingan kering
menghasilkan nilai rata-rata a lebih tinggi yaitu 4,1%, disebabkan dihasilkan
panas yang lebih besar saat penggilingan akibat gaya mekanis. Nilai a lebih tinggi
menunjukkan intensitas warna merah meningkat pada tepung menyebabkan warna
makin kusam. Menurut Mc. Donough et al. (2004), perlakuan panas yang tinggi
dapat meningkatkan warna coklat/ kusam pada biji-bijian akibat reaksi maillard.
Reaksi maillard yaitu reaksi antara gugus amino protein dengan gugus karbonil
dari gula pereduksi, yang nantinya membentuk senyawa berwarna coklat yang
disebut melanoidin (Winarno, 2008). Intensitas reaksi maillard lebih rendah pada
metode basah karena gula dan protein larut selama perendaman sehingga
menurunkan kemungkinan terjadinya reaksi maillard. Hal ini terlihat dari nilai
rata-rata a yang negatif yaitu -1,07% yang menunjukkan warna kromatik hijau
pada tepung yang dihasilkan. Pada metode kering nilai rata-rata b (+) lebih rendah
yaitu 7,74% disebabkan karena terjadi degradasi pigmen karoten oleh panas
selama penggilingan sehingga warna kuning menurun. Menurut Ramchandran
(2010) betakaroten dapat terdegradasi oleh panas sehingga warna kuning
memudar. Sedangkan pada metode basah dihasilkan nilai rata-rata b yang lebih
tinggi yaitu 28,5% karena efek dari air yang terserap selama perendaman berfungsi
75
berfungsi sebagai pendingin dan lubrican sehingga degradasi betakaroten lebih
rendah. Gabungan nilai a yang tinggi dan nilai b yang rendah menghasilkan
tepung dengan warna kusam (merah) sedikit kuning sehingga menghasilkan
tingkat kecerahan yang rendah pada metode kering sedangkan pada metode basah
dihasilkan nilai a rendah dan b tinggi menunjukkan warna kuning cerah.
80,42a
55,35b
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Dera
jat putih (%
)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 95% Gambar 37. Derajat putih tepung dari metode penggilingan kering dan basah.
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
derajat putih tepung jagung. Nilai rata-rata derajat putih (L) kombinasi V1M1,
V2M1, V3M1, V4M1, V5M1, V6M1 dan V7M1 relatif lebih rendah dibanding
derajat putih kombinasi V1M2, V2M2, V3M2, V4M2, V5M2, V6M2 dan V7M2
(Gambar 38). Menurut syarat mutu SNI tidak ada kriteria derajat putih yang yang
diharuskan, secara umum sesuai spesifikasi bahan aslinya. Umumnya konsumen
lebih menyukai tepung dengan derajat putih (L) yang tinggi.
Penggunaan tepung jagung sebagai bahan baku mi instan akan
memberikan warna kuning alami sehingga tidak memerlukam tambahan pewarna
sintetis seperti tartrazine yellow. Pewarna ini ditambahkan sebanyak 5 g ke dalam
basis 22 kg tepung terigu pada pembuatan mi instan (Astawan, 2001).
76
54,19b 54,39a 55,38a 55,9a 55,46a 55,93a 56,2a
80,36b 80,28b 80,46b 80,57b 80,49b 80,42b 80,38b
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7varietas
dera
jat p
utih
(%)
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 38. Derajat putih (L) tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
6. SEM (Scanning Electron Microscope)
Analisa mikrostruktur menggunakan SEM (Scanning Electron
Microscope) dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bentuk granula jagung
secara umum dan perubahan morfologi granula akibat perbedaan proses
penggilingan. Seperti disajikan pada Gambar 39.
Gambar 39. Hasil pengamatan SEM tepung jagung hibrida P-12 dengan
pemberian tekanan manual 20kV X 11000 (X2000) : a) metode kering, b) metode basah. BK = breaks (starch damage dalam bentuk serpihan).
Bentuk granula secara umum adalah polihedral dengan ukuran medium
(10-25 μm) (Gambar 39b). Ukuran granula terutama berpengaruh pada profil
gelatinisasi, interaksi amilosa-lipid, kelarutan dan swelling volume serta
kemudahan didegradasi oleh enzim. Semakin besar ukuran granula menyebabkan
77
granula bersifat lebih kristalin, lebih sedikit membentuk kompleks dengan lemak,
lebih sedikit larut dan mengembang serta lebih lambat didegradasi enzim (Lindeboom
et al., 2004). Ukuran partikel tepung jagung metode kering lebih besar daripada
metode basah. Partikel tepung metode kering memiliki ukuran partikel sekitar 20-40
μm sedangkan pada metode basah ukuran partikel tepung sekitar 10-25 μm. Pada
metode kering, partikel tepung berupa bentuk agregat granula pati dan matriks protein
sehingga berukuran relatif lebih besar. Menurut Suarni (2008), ukuran partikel yang
lebih kecil akan memberikan tekstur produk yang lebih halus dan lembut.
Permukaan partikel tepung dari metode kering terlihat kasar sedangkan
tepung dari metode basah lebih halus, dikarenakan pada metode kering lebih
banyak terbentuk starch damage daripada metode basah. Berdasarkan Gambar
39a didapat informasi jenis starch damage pada metode kering adalah bentuk
break (serpihan), terlihat disekitar agregat granula terdapat serpihan-serpihan
granula pati. Menurut Chiang dan Yeh (2002), selama perendaman terjadi
leaching matriks protein dan komponen lainnya dari granula pati menyebabkan
struktur partikel pada metode basah lebih halus dan sedikit kerusakan pati.
C. Variabel Fungsional
1. Kapasitas penyerapan air (KPA)
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung. Tepung
jagung varietas Prima mempunyai kapasitas penyerapan air lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 268,52% bk (Gambar 40).
78
Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Prima mempunyai kandungan
amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada jagung varietas C-7, Nusantara
1, NT 10, P-21, Bisi 16 dan P-12, masing-masing sebesar 33,94% bk; 25,66% bk;
25,16% bk; 31,26% bk; 30,96% bk dan 31,86% bk.
244,49d
253,13bc249,18cd
262,50ab266,25ab
268,52a
243,45d
220
240
260
280
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
KPA
(%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 40. KPA tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida.
Menurut Ermayani (2004) kapasitas penyerapan air tergantung pada kadar
amilosa dan derajat kristalinitas. Pati dengan kandungan amilosa yang tinggi
cenderung memiliki kapasitas penyerapan air yang rendah (Grenus et al. 1993;
Kibar et al., 2009). Hal ini didukung oleh pendapat Laga (2006), menyatakan
bahwa rantai lurus (linier) amilosa menyebabkan molekul ini cenderung
membentuk susunan paralel yang rapat satu sama lain melalui ikatam hidrogen
antar atom oksigen pada masing-masing rantainya. Kadar amilosa yang tinggi
menyebabkan afinitas amilosa terhadap air menurun.
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai kapasitas penyerapan air. Tepung yang
dihasilkan dari metode kering mempunyai rata-rata kapasitas penyerapan air lebih
tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode basah yaitu 274,46% bk
79
(Gambar 41). Hal ini disebabkan pada metode penggilingan kering, kerusakan pati
akibat gaya mekanis lebih tinggi. Hal ini terlihat dari data starch damage yang
menunjukkan nilai lebih besar pada metode kering yaitu 6,33% bk. Adanya
perlakuan termomekanis dapat menyebabkan granula rusak, kerusakan tersebut
menyebabkan pecahnya ikatan intermolekular pada daerah kristalin dan
fragmentasi amilopektin dengan berat molekul tinggi menjadi amilopektin dengan
berat molekul rendah (Morrison and Tester, 1990). Menurut Suksomboon et al.
(2005), makin tinggi jumlah starch damage menandakan makin banyak daerah
kristalin yang berubah menjadi daerah amorph sehingga menurunkan kekuatan
asosiasi granula. Kekuatan asosiasi yang menurun menyebabkan peningkatan
permeabilitas granula pati sehingga lebih mudah dimasuki air.
236,25b
274,46a
210
220
230
240
250
260
270
280
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
KPA
(%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95% Gambar 41. KPA tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah.
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kapasitas penyerapan air tepung jagung. Nilai rata-rata kapasitas penyerapan air
kombinasi V2M1 dan V3M1 paling tinggi dibanding kombinasi lainnya yaitu
287,05% dan 284,1% bk (Gambar 42). Kapasitas penyerapan air menentukan
jumlah air yang tersedia untuk proses gelatinisasi pati selama pemasakan. Bila
80
jumlah air kurang maka pembentukan gel tidak mencapai kondisi optimum
(Asfiyah, 1997). Tepung dengan kapasitas penyerapan air yang tinggi akan
menghasilkan mi dengan tekstur yang lembut dan untaian mi yang lebih mudah
dipotong sehingga mengurangi energi pemotongan (Ekhtamasut, 2006).
261,52 cdef287,05a 284,82a 282,22ab
268,58abcd 274,02abc 263,04bcde
225,38i
249,98defg247,67efgh
242,78fghi 229,78hi 232,24ghi 225,93i
0
50
100
150
200
250
300
350
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7varietas
KPA
(%
bk)
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 42. KPA dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
Kapasitas penyerapan air juga mempengaruhi kemudahan dalam
penghomogenan adonan tepung ketika dicampurkan dengan air. Tepung dengan
daya serap air yang tinggi cenderung lebih cepat dihomogenkan. Adonan
homogen ini akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pengukusan. Tepung yang
homogen, setelah dikukus akan mengalami gelatinisasi yang merata yang ditandai
tidak terdapatnya spot-spot putih atau kuning pucat pada adonan yang telah
dikukus (Tam et al., 2004).
2. Kelarutan dan Swelling volume
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap sifat swelling volume tepung jagung. Tepung
Jagung varietas Prima mempunyai rata-rata swelling volume lebih tinggi jika
81
dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 11,63 mL/g bk (Gambar 43).
Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Prima mempunyai kandungan
amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada jagung varietas C-7, Nusantara
1, NT 10, P-21, Bisi 16 dan P-12, masing-masing sebesar 33.94% bk; 25,66% bk;
25,16% bk; 31,26% bk; 30,96% bk dan 31,86% bk.
9,31e
10,76c
9,41e
11,63a
9,88d10,98b
9,89d
0
2
4
6
8
10
12
14
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
Sw
elling
vo
lum
e (m
l/g
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 43. Swelling tepung jagung dari beberapa varietas jagung kuning hibrida.
Tingkat swelling volume dipengaruhi oleh kandungan amilosa dalam pati.
Semakin tinggi kandungan amilosa maka semakin rendah tingkat swelling volume.
Hal ini disebabkan oleh molekul-molekul amilosa yang linier sehingga
memperkuat jaringan internalnya (Leach, 1965 dalam Goldworth, 1999). Sifat
swelling pati sangat tergantung pada kekuatan inter dan intra molekuler dari
granula pati. Menurut Leach (1965) dalam Goldworth (1999), daya ikat tersebut
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu (1) perbandingan amilosa dan amilopektin,
(2) bobot molekul amilosa dan amilopektin, (3) distribusi bobot molekul, (4)
derajat percabangan dan (5) panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang
dapat berperan dalam kumpulan ikatan. Namun pada varietas Bisi 16 memiliki
nilai swelling volume yang tinggi meskipun kandungan amilosanya tinggi
82
(30,96% bk) yaitu 10,76 mL/g bk, hal ini disebabkan varietas Bisi 16 memiliki
kandungan lemak yang lebih rendah dibanding varietas lain yaitu 0,73% bk.
Sifat swelling juga dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam tepung.
Menurut Sung and Stone (2004), ketika kandungan lemak dalam pati dikurangi,
maka akan terjadi swelling semakin cepat. Inglett (1970) menyatakan bahwa
keberadaan lemak mampu mencegah terjadinya swelling secara berlebihan.
Menurut Moorthy (2002), swelling volume juga tergantung oleh perbedaan
varietas, faktor lingkungan, dan usia tanaman itu sendiri.
Analisis ragam menunjukkan bahwa varietas jagung memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap kelarutan tepung jagung. Tepung jagung varietas
Bisi 16 mempunyai rata-rata kelarutan lebih tinggi jika dibandingkan dengan
tepung dari varietas lain yaitu 13,37% bk, sedangkan tepung dari varietas P-12
memiliki rata-rata kelarutan yang lebih rendah yaitu 7,35% bk (Gambar 44). Hal
ini disebabkan tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai kadar lemak dan
protein total yang lebih rendah (0,73% bk dan 5,62% bk) daripada varietas lain.
Jagung varietas C-7, Prima, Nusantara 1, NT 10, P-21 dan P-12 mempunyai kadar
lemak dan protein total masing-masing sebesar 3,17% bk dan 8,77% bk; 3,05% bk
dan 8,54% bk; 2,31% bk dan 7,87% bk; 1,70% bk dan 8,54% bk; 3,33% bk dan
8,57% bk; 3,61% bk dan 8,78% bk. Keberadaan lemak dan protein yang
memungkinkan terbentuknya kompleks inklusi amilosa-lemak dan kompleks
amilosa-protein. Kompleks inklusi amilosa-lemak bersifat tidak larut sehingga
menurunkan kelarutan sedangkan kompleks amilosa-protein menghambat
leaching amilosa ke dalam larutan disekitarnya (Kibar et al., 2009).
83
11,00b
8,37cd8,97c
11,07b
8,15d
12,37a
7,35e
0
2
4
6
8
10
12
14
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12Varietas
Kel
aru
tan
(%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 44. Kelarutan tepung jagung beberapa varietas jagung kuning hibrida.
Analisis ragam menunjukkan bahwa metode penggiligan memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap sifat kelarutan dan swelling volume tepung
jagung. Tepung yang dihasilkan dari metode basah mempunyai rata-rata kelarutan
lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode kering yaitu 10,08% bk
(Gambar 45). Selama proses penggilingan memungkinkan terjadinya kerusakan
pada pati. Penggilingan kering menghasilkan jumlah starch damage lebih tinggi
dibanding penggilingan basah yaitu 6,33% bk. Jumlah starch damage yang lebih
besar menyebabkan granula lebih permeabel sehingga penetrasi air ke dalam
granula lebih mudah, namun disisi lain lebih banyak bagian larut yang keluar dari
granula pati yang ditunjukkan dengan meningkatnya kekeruhan supernatan
(Suksomboon et al., 2005). Tepung yang dibuat dengan metode kering
mempunyai komposisi kimia yang tidak banyak berubah dari bahan mentahnya
yaitu masih mengandung komponen-komponen yang larut air seperti
monosakarida dan oligosakarida sehingga meningkatkan nilai kelarutannya
(Wadhacharat et al., 2006).
84
9,14b
10,08a
8,6
8,8
9
9,2
9,4
9,6
9,8
10
10,2
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Kel
aruta
n (%
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 45. Kelarutan tepung jagung dari metode penggilingan kering dan basah.
Tepung yang dihasilkan dari metode kering mempunyai rata-rata swelling
volume lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung dari metode basah yaitu
10,46 mL/gr bk (Gambar 46). Hal ini disebabkan pada metode kering dihasilkan
kerusakan pati lebih besar daripada metode basah yaitu 6,33% bk. Makin tinggi
starch damage menyebabkan banyak daerah kristalin berubah menjadi daerah
amorph sehingga menurunkan kekuatan asosiasi granula. Kekuatan asosiasi yang
menurun menyebabkan peningkatan swelling granula (Suksomboon et al., 2005).
10,07b
10,46a
9,8
9,9
10
10,1
10,2
10,3
10,4
10,5
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Sw
elling v
olu
me
(ml/g b
k)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 46. Swelling volume tepung dari metode penggilingan kering dan basah.
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kelarutan tepung jagung. Nilai rata-rata kelarutan kombinasi V3M1 dan
85
V6M1 paling tinggi dibanding kombinasi lainnya yaitu 12,45% dan 12,88% bk
(Gambar 47). Semakin tinggi kelarutan tepung, semakin mudah tepung larut
dalam air dan menyebabkan nilai cooking loss serta kelengketan mi meningkat
(Tan et al., 2010) dan terjadi penurunan hardness mi (Ghasemi et al., 2008).
Menurut Tam et al. (2004), kelarutan berpengaruh terhadap mudahnya amilosa
terlepas dari untaian mi saat pemasakan mi atau apabila mi disajikan dalam
makanan yang berkuah. Winarno (2008), menyebutkan bahwa molekul pati
khususnya amilosa dapat terdispersi ke dalam air panas, meningkatkan granula-
granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan disekitarnya.
8,58efg9,29ef
12,45a 11,32bc
8,49fg
12,88a
7,58gh8,16fgh8,65efg
9,69de10,68cd
7,81gh
11,85ab
7,12h
0
2
4
6
8
10
12
14
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
varietas
kela
ruta
n (%
bk)
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 47. Kelarutan tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
Swelling volume yang tinggi menandakan pati mudah mengembang dalam
air. Menurut Schoch and Maywald (1968) dalam Shimelis et al. (2006), tingkatan
swelling volume terbagi atas 4 taraf yaitu tinggi (lebih dari 30 mL/g bk), sedang
(20-30 mL/g bk), rendah (10-20 mL/g bk),dan sangat rendah (kurang dari 10
mL/g bk). Tepung jagung seluruh kombinasi memiliki swelling volume rendah,
kecuali kombinasi V1M1, V1M2, V3M2, V5M2, V7M1, V7M2 yang
86
memiliki swelling volume sangat rendah (Gambar 48). Swelling volume dapat
mempengaruhi penampakan mi setelah direbus. Mi dengan tingkat swelling
volume yang tinggi akan memiliki penampakan mi yang mengembang cukup
tinggi setelah direbus atau memiliki diameter mi yang cukup besar dan mudah
hancur. Diharapkan tepung yang digunakan dalam membuat mi memiliki swelling
volume dan kelarutan yang rendah (Tam et al., 2004; Tan et al., 2010).
9,56g
11,82a
10,05f
11,11c
10,22f10,94cd
9,53g9,25h
11,45b
9,71g
10,85d
9,57g10,57e
9,09h
0
2
4
6
8
10
12
14
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7varietas
sw
elli
ng v
olu
me (m
l/gr bk)
M1
M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 48. Swelling volume tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
3. Kapasitas emulsi
Produk pasta memerlukan emulsifier sebab dalam formula adonan pasta
biasanya ditambahkan sejumlah lemak yang berfungsi mengurangi kegetasan
tepung, meningkatkan kelembutan dan flavor mi serta sebagai sumber gizi.
Adanya protein yang terkandung pada tepung dapat berfungsi sebagai emulsifier
dan berpengaruh pada tekstur produk yang dihasilkan. Emulsifier berfungsi
mengkomplekskan tepung, mencegah penggumpalan, mengontrol kohesivitas,
kelengketan dan kekentalan adonan, serta memberikan ekstensibilitas mi yang
tinggi (Tjahjaningsih et al.,1999).Emulsifier juga berinteraksi dengan amilosa dan
87
digunakan untuk mencegah leaching amilosa selama perebusan (Numfor, 1996).
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap kapasitas emulsi tepung jagung. Tepung jagung
varietas Bisi 16 (V6) mempunyai rata-rata kapasitas emulsi lebih rendah jika
dibandingkan dengan tepung dari varietas lain yaitu 0,18 mL/g bk (Gambar 49).
Hal ini disebabkan jagung pipil kering varietas Bisi 16 mempunyai kandungan
protein total yang lebih rendah (5,62% bk) daripada jagung varietas C-7, Prima,
Nusantara 1, NT 10, P-21 dan P-12, masing-masing sebesar 8,77% bk; 8,53% bk;
7,87% bk; 8,55% bk; 8,57% bk dan 8,78% bk. Protein merupakan surface active,
karena bersifat amphifilik, membentuk ”kulit” yang menyelimuti droplet minyak,
memperkecil tegangan permukaan dan membentuk emulsi minyak dalam air yang
sangat stabil (Philips, 1981). Pada konsentrasi protein yang rendah terjadi
penurunan kapasitas emulsi karena kekurangan protein untuk membentuk
permukaan pembatas minyak dan air sehingga menghasilkan emulsi yang tidak
stabil (Adebowale, 2008).
0,507a
0,179c
0,385b0,362b0,352b
0,380b
0,489a
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
C-7 Prima Nusantara NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Varietas
Kap
asit
as e
mu
lsi (m
l/g
bk)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 49. Kapasitas emulsi tepung jagung beberapa varietas jagung
kuning hibrida.
88
Analisis ragam menunjukkan perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap kapasitas emulsi tepung jagung. Tepung dari
metode kering mempunyai rata-rata kapasitas emulsi lebih tinggi dari tepung
dengan metode basah yaitu 0,406 mL/g bk (Gambar 50). Hal ini disebabkan gaya
mekanis yang dihasilkan lebih tinggi selama penggilingan kering. Gaya mekanis
memungkinkan pemecahan molekul menjadi ukuran yang lebih kecil sehingga
meningkatkan luas permukaan. Gaya mekanis yang besar juga menghasilkan
panas tinggi yang menyebabkan protein terdenaturasi. Menurut Xu and Kim
(2008), peningkatan luas permukaan mempermudah difusi protein ke dalam
larutan sehingga mempermudah pembentukan lapisan pembatas air-minyak.
Sedangkan pemekaran molekul protein yang terdenaturasi akan membuka gugus
reaktif yang ada pada rantai polipeptida (Winarno, 2008). Cramp (2007),
menyatakan bahwa denaturasi protein juga dapat meningkatkan kapasitas emulsi.
Pemekaran protein pada permukaan air-minyak penting untuk meningkatkan
kapasitas emulsi melalui peningkatan hidrofobisitas permukaan sehingga makin
banyak terbentuk pembatas antara permukaan minyak-air. Selain itu jumlah
protein pada metode kering lebih tinggi dari metode basah yaitu 8,25% bk,
sehingga kapasitas emulsi tepung dengan metode kering lebih tinggi.
0,352b
0,406a
0,32
0,33
0,34
0,35
0,36
0,37
0,38
0,39
0,4
0,41
0,42
Metode kering Metode basah
Metode penggilingan
Kapasitas e
muls
i (m
l/g b
k)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Gambar 50. Kapasitas emulsi tepung dari metode penggilingan kering dan basah.
89
Analisis ragam menunjukkan interaksi antara varietas jagung hibrida
dengan metode penggilingan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kapasitas emulsi tepung jagung. Nilai rata-rata kapasitas emulsi kombinasi V6M1
dan V6M2 paling rendah dibanding kombinasi lainnya yaitu 0,187 mL/g bk dan
0,172 mL/g bk (Gambar 51). Hal ini terutama disebabkan kandungan protein Bisi
16 paling rendah dibanding varietas yang lain.
Seluruh kombinasi memiliki kapasitas emulsi yang jauh lebih rendah
dibanding isolat protein kedelai. Kapasitas isolat protein kedelai yaitu 100 mL/g
pada pH 8 (Abou-Arab dan Al-khatani, 1993). Isolat protein kedelai umumnya
dapat digunakan sebagai sumber emulsifier dan protein. Rendahnya kapasitas
emulsi tepung jagung disebabkan terutama oleh pH tepung yang cukup rendah
yaitu 5-6. Menurut Wu (2001), sifat kohesivitas dan kestabilan lapisan protein
zein meningkat ketika pH isolat protein zein mendekati titik isoelektrik sekitar 7-
8,5 sehingga kapasitas emulsi dapat mencapai titik maksimal mendekati kapasitas
emulsi isolat protein kedelai.
0,546a
0,399cd0,372de 0,381de
0,404cd
0,187f
0,552a
0,432bc
0,361de0,332e
0,343e0,367de
0,172f
0,463b
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7varietas
kapas
itas
em
uls
i (m
l/g b
k)
M1M2
Keterangan: V1 = C-7, V2 = Prima, V3 = Nusantara 1, V4 = NT 10, V5 = P-21,
V6 = Bisi 16 , V7 = P-12 ; M1 = metode kering; M2 = metode basah. Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 99%.
Gambar 51. Kapasitas emulsi tepung jagung dari kombinasi varietas jagung kuning hibrida dan jenis metode penggilingan.
90
4. Sifat amilografi
Kriteria penentuan kondisi terbaik tepung jagung yang akan diaplikasikan
ke dalam produk mi adalah memiliki nilai viskositas maksimum yang tinggi,
viskositas breakdown yang rendah, dan setback yang tinggi, serta swelling volume
dan kelarutan yang terbatas (Collado et al 2001; Sung and Stone 2004; Purwani et
al 2006). Menurut Chen (2003) tepung yang sesuai untuk aplikasi ke produk mi
adalah tepung yang memiliki profil gelatinisasi tipe C.
Profil gelatinisasi tepung jagung dari seluruh perlakuan menunjukkan
profil gelatinisasi dari tipe B dengan penurunan viskositas berkisar ±5-20%,
sehingga belum sesuai untuk diaplikasikan ke dalam produk mi. Masih diperlukan
modifikasi pati untuk mengubah tipe B menjadi tipe C. Menurut Sasaki (2005),
tipe amilogram pada tepung dapat diubah dengan modifikasi pati baik secara fisik
maupun kimia. Tipe B amilogram tepung jagung yang dihasilkan dapat diubah
menjadi tipe C dengan melakukan modifikasi fisik seperti HMT (Heat Moisture
Treatment) atau OPT (Osmotic Pressure Treatment) (Pukkahuta et al., 2008) dan
modifikasi kimia mengunakan agensia crosslinking sodium tripolifosfat (Aziz et
al., 2004) atau kombinasi fisik-kimia seperti DH (Dry Heating) dengan
penambahan gum ionik (Lim et al., 2002) sehingga dapat dihasilkan sedikit
mungkin atau bahkan tidak ada breakdown viscosity. Sifat amilografi dan gambar
amilogram tepung jagung kuning hibrida dengan metode penggilingan yang
berbeda masing-masing dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 52.
91
Tabel 6. Sifat amilografi tepung jagung hibrida Viscosity
Varietas
Suhu awal gelatinisasi
(˚C)
Suhu puncak
gelatinisasi(˚C)
Peak (BU)
Breakdown (BU)
Set back (BU)
Tipe gelatinisasi1
C-7 metode kering 72,45 93,00 785 85 930 B metode basah 73,50 94,00 775 35 945 B Prima metode kering 71,25 82,5 790 190 725 B metode basah 73,50 87,75 770 140 745 B Nusantara 1 metode kering 70,50 87,75 800 155 775 B metode basah 72,75 90,00 780 105 775 B NT 10 metode kering 69,75 85,50 815 185 740 B metode basah 72,45 88,50 795 125 760 B P-21 metode kering 73,50 91,50 770 95 805 B metode basah 76,50 93,00 740 50 830 B Bisi 16 metode kering 67,50 87,00 850 160 750 B metode basah 72,00 89,25 810 115 765 B P-12
metode kering 73,00 91,50 770 95 805 B metode basah 76,50 93,75 720 45 825 B
Keterangan : 1 = Tipe gelatinisasi menurut Schoch and Maywald (1963) dalam Chen (2003).
varietas C-7
0
300
600
900
1200
1500
1800
2100
0 20 40 60 80 100waktu (menit)
visk
osi
tas
(BU
)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
su
hu
(o
C)
metode kering metode basah suhu
92
varietas P-12
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
0 20 40 60 80 100waktu (menit)
visk
osi
tas
(BU
)
01020304050
60708090100
su
hu
(o
C)
metode kering metode basah suhu
varietas P-21
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
0 20 40 60 80 100waktu (menit)
visk
osi
tas
(BU
)
0102030405060708090100
su
hu
(o
C)
metode kering metode basah suhu
varietas NT 10
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
0 20 40 60 80 100waktu (menit)
visk
osi
tas
(BU
)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
su
hu
(o
C)
metode kering metode basah suhu
93
varietas Bisi 16
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
0 20 40 60 80 100waktu (menit)
visk
osi
tas
(BU
)
010
20304050
607080
90100
su
hu
(o
C)
metode kering metode basah suhu
varietas Nusantara I
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
0 20 40 60 80 100waktu (menit)
visk
osi
tas
(BU
)
0102030405060708090100
su
hu
(o
C)
metode kering metode basah suhu
varietas Prima
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
0 20 40 60 80 100waktu (menit)
visk
osi
tas
(BU
)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
su
hu
(o
C)
metode kering metode basah suhu
Gambar 52. Amilogram tepung jagung hibrida dari beberapa varietas dengan metode penggilingan yang berbeda.
94
a. Suhu awal gelatinisasi
Tepung jagung varietas P-12, P-21, C-7, Prima, Nusantara 1, NT 10
dan Bisi 16 masing-masing memiliki rata-rata suhu awal gelatinisasi 74,75˚C;
75˚C; 72,975˚C; 72,375˚C; 71,625˚C; 71,1˚C dan 69,75˚C (Tabel 12). Suhu
awal gelatinisasi varietas Bisi 16 relatif lebih rendah dibanding varietas
lainnya hal ini disebabkan tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai rata-rata
kadar lemak dan protein total yang lebih rendah (0,73% bk dan 5,62% bk)
daripada varietas lain. Tepung jagung varietas P-12, P-21, C-7, Prima,
Nusantara 1, dan NT 10 mempunyai kadar lemak dan protein masing-masing
sebesar 3,61% bk dan 8,78% bk; 3,33% bk dan 8,57% bk; 3,17% bk dan
8,77%; 3,05% bk dan 8,54% bk; 2,31% bk dan 7,87% bk; 1,70% bk dan
8,54% bk. Suhu awal gelatinisasi merupakan suatu fenomena fisik pati yang
kompleks, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keberadaaan
protein (Quin et al., 1980) dan lemak (Kibar et al., 2009).
Menurut Quinn et al. (1980), selama pemanasan, protein akan
terdenaturasi di sekitar suhu gelatinisasi sehingga proses migrasi air ke dalam
granula pati terhalang. Hal ini mengakibatkan suhu gelatinisasi meningkat.
Hal yang sama terjadi pada pengaruh lemak. Kadar lemak yang tinggi dapat
mengganggu proses gelatinisasi pati, sebab lemak mampu membentuk
kompleks inklusi dengan amilosa sehingga amilosa tidak dapat keluar dari
granula pati. Oleh karena itu diperlukan energi yang lebih besar untuk
melepaskan amilosa sehingga suhu awal meningkat (Kibar et al., 2009).
95
Tepung jagung yang dihasilkan dari metode kering dan metode basah
memiliki suhu awal gelatinisasi 71,13˚C dan 73,89˚C (Tabel 12). Tepung
jagung yang dibuat dengan metode kering menghasilkan suhu awal
gelatinisasi yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung jagung
metode basah. Hal ini disebabkan kerusakan pati pada metode kering lebih
besar sehingga meningkatkan daerah amorph yang lebih mudah dimasuki air
dan mengembang akibatnya diperlukan energi yang lebih rendah (Sanni et al.,
2006).
Suhu awal gelatinisasi penting untuk menentukan optimasi energi yang
diperlukan sehingga dapat mengurangi biaya produksi. Suhu awal gelatinisasi
juga diperlukan untuk optimasi tahapan steam blanching pada pembuatan mi
sebelum adonan mi dicetak dengan ekstruder. Suhu awal gelatinisasi
mengandung arti bahwa tepung akan mulai tergelatinisasi pada suhu tersebut
sehingga terbentuk adonan yang elastis dan kohesif yang dapat dicetak ketika
keluar dari ekstruder (Tan et al., 2010). Jika suhu yang digunakan dibawah
suhu awal gelatinisasi maka akan terbentuk adonan mi yang kurang elastis dan
menghasilkan untaian mi dengan tekstur yang kasar, terlihat spot-spot putih
atau kuning pada untaian mi serta mudah patah ketika dicetak karena belum
mengalami gelatinisasi (Tam et al., 2004). Sebaliknya jika suhu yang
digunakan di atas suhu gelatinisasi maksimum maka akan terjadi proses
peleburan granula pati (Wirakartakusumah, 1981), dan sulit untuk dicetak
dengan ekstruder.
96
b. Suhu puncak gelatinisasi
Tepung jagung varietas C-7, P-12, P-21, Nusantara1, Bisi 16, NT 10,
dan Prima masing-masing memiliki rata-rata suhu puncak gelatinisasi
93,50˚C; 92,625˚C; 92,25˚C; 88,875˚C; 88,125˚C; 87˚C dan 85,125˚C (Tabel
12). Suhu awal gelatinisasi varietas Prima relatif lebih rendah dibanding
varietas lainnya hal ini disebabkan tepung jagung varietas Prima mempunyai
kandungan amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada tepung varietas
lain. Tepung jagung varietas C-7, Nusantara 1, NT 10, P-21, Bisi 16 dan P-12,
memiliki kadar amilosa sebesar 33,94% bk; 31,86% bk; 31,26% bk; 25,66%
bk; 30,96% bk; 25,16% bk. Tepung Bisi 16 meskipun memiliki kadar amilosa
yang relatif lebih tinggi dibanding P-21 namun memiliki suhu awal
gelatinisasi yang lebih rendah. Hal ini disebabkan tepung Bisi 16 memiliki
kandungan lemak yang relatif rendah.
Suhu puncak gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa. Menurut
Colado and Corke (1997) peningkatan kadar amilosa akan meningkatkan suhu
puncak gelatinisasi. Amilosa mampu mengadakan ikatan dengan sesama
amilosa maupun dengan amilopektin membentuk konfigurasi yang sulit
dirusak karena terdapat banyak ikatan didalam granula sehingga dibutuhkan
energi yang lebih besar (Jane et al., 1999 dalam Baah 2009). Hal ini
mengakibatkan suhu puncak lebih tinggi. Suhu puncak gelatinisasi tepung
juga dipengaruhi oleh keberadaan lemak. Keberadaan lemak menyebabkan
suhu puncak meningkat, sebab komplek amilosa-lemak cenderung mencegah
terjadinya pengembangan granula pati secara berlebihan (Baah, 2009).
97
Tepung jagung yang dibuat dengan perlakuan metode kering dan
metode basah memiliki rata-rata suhu puncak gelatinisasi 88,39˚C dan
90,89˚C (Tabel 12). Tepung jagung yang dibuat dengan perlakuan metode
kering menghasilkan suhu puncak gelatinisasi yang relatif lebih rendah jika
dibandingkan dengan tepung jagung metode basah. Hal ini disebabkan
kerusakan pati pada metode kering menghasilkan pati dengan intergritas yang
rendah sehingga diperlukan energi yang lebih rendah untuk penetrasi air untuk
menghasilkan granula dengan pengembangan optimal.
Menurut Tan et al. (2010), pada proses pembuatan mi parameter ini
dicapai saat tahapan hot water blanching setelah mi dicetak dari ekstruder.
Optimasi suhu hot water blanching diperlukan untuik menghasilkan mi
dengan tekstur halus dan tidak mudah patah. Pada pembuatan mi tahapan ini
dilakukan dengan merebus mi pada suhu 100 ˚C selama 3 menit.
c. Viskositas maksimum
Tepung jagung varietas P-12, P-21, C-7, Prima, Nusantara 1, NT 10
dan Bisi 16 masing-masing memiliki rata-rata viskositas maksimum 745BU,
755BU, 780BU, 780BU, 790BU, 805BU dan 830BU (Tabel 12). Viskositas
maksimum varietas Bisi 16 relatif lebih tinggi dibanding varietas lainnya. Hal
ini disebabkan tepung jagung varietas Bisi 16 mempunyai kadar lemak yang
lebih rendah (0,73% bk) daripada jagung varietas P-12, P-21, C-7, Prima,
Nusantara 1 dan NT 10 masing-masing sebesar 3,61%bk; 3,33%bk; 3,17%bk;
3,05%bk; 2,31%bk dan 1,70%bk. Pengembangan granula terutama
dipengaruhi oleh keberadaan lemak dalam bahan yang mampu menghalangi
98
pengembangan granula dengan membentuk kompleks inklusi amilosa-lemak
sehingga dihasilkan viskositas maksimum yang rendah (Baah, 2009).
Tepung jagung yang dibuat dengan perlakuan metode kering dan
metode basah memiliki viskositas maksimum 797,14 BU dan 770 BU (Tabel
12). Tepung jagung yang dihasilkan dengan metode kering menghasilkan
viskositas maksimum gelatinisasi yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan
dengan tepung jagung metode basah. Pada metode basah terdapat proses
perendaman sehingga daerah kristalinitas lebih besar dibanding metode
kering. Hal ini disebabkan selama perendaman terjadi hidrolisis oleh α-
amilase. Hidrolisis enzimatis terjadi terutama pada bagian amorphous granula
sehingga presentase kristalinitas dapat meningkat (Ikegwu et al., 2009). Selain
itu, perbedaan jumlah starch damage juga menyebabkan perubahan daerah
kristalinitas. Menurut Morrison and Tester (1999), peningkatan jumlah starch
damage menyebabkan berkurangnya daerah kristalinitas. Pada metode kering
jumlah starch damage lebih besar sehingga daerah kristalinitas lebih sedikit.
Viskositas maksimum menurun dengan meningkatnya kristalinitas granula
karena peningkatan asosiasi sehingga menghambat pengembangan maksimum
pada granula (Aticokudomchai et al., 2001). Oleh karena itu tepung yang
dihasilkan dari metode kering memiliki viskositas maksimum lebih tinggi.
Viskositas maksimum dinyatakan dalam satuan Brabender Unit (BU).
Menurut Vongsawasdi (2009), semakin tinggi viskositas maksimum akan
menghasilkan persen elongasi mi yang makin tinggi artinya tidak cepat patah
atau putus dan berkolerasi positif dengan kelembutan mi yang dihasilkan.
99
d. Breakdown viscosity
Tepung jagung varietas C-7, P-12, P-21, Nusantara1, Bisi 16, NT 10,
dan Prima masing-masing memiliki rata-rata breakdown viscosity 60BU,
70BU, 72,5BU, 130 BU, 137,5BU, 155BU dan 165BU (Tabel 12).
Breakdown viscosity varietas Prima relatif lebih tinggi dibanding varietas
lainnya, hal ini disebabkan tepung jagung varietas Prima mempunyai
kandungan amilosa yang lebih rendah (23.43% bk) daripada jagung varietas
C-7, Nusantara 1, NT 10, P-21, Bisi 16 dan P-12, masing-masing sebesar
33.94% bk; 31,86% bk; 31,26% bk; 25,66% bk; 30,96% bk, 25,16% bk.
Menurut Jane (1999) dalam Baah (2009), molekul linier dan kuatnya asosiasi
antar molekul amilosa menjaga integritas granula dan menjadi lebih tahan
terhadap pemanasan dan pengadukan atau gaya mekanis yang diberikan.
Tepung jagung yang dibuat dengan metode kering dan metode basah
memiliki breakdown viscosity 137,86 dan 87,86 BU (Tabel 12). Tepung
jagung dengan perlakuan metode kering menghasilkan breakdown viscosity
yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung jagung metode
basah. Hal ini disebabkan karena metode kering menghasilkan pati yang rusak
dalam jumlah lebih besar sehingga lebih rapuh selama pemanasan dan
pengadukan. Menurut Suksomboon et al.(2005), pati dengan jumlah starch
damage lebih besar memiliki integritas granula yang rendah sehingga cepat
hancur dan patah selama pemasakan karena dan tidak tahan pemanasan dan
pengadukan.
100
Menurut Beta dan Corke (2001) dan Vongsawasdi (2009), secara
umum semakin rendah breakdown viscosity maka dihasilkan mi dengan
cooking loss yang rendah dan persen elongasi yang tinggi. Aplikasinya pada
produk mi, semakin rendah breakdown viscosity maka dihasilkan mi dengan
tekstur yang tidak mudah patah-patah atau hancur selama pemasakan mi
(Panikulata, 2008).
e. Setback viscosity
Setback viscosity adalah parameter yang dipakai untuk melihat
kecenderungan retrogradasi maupun sineresis dari suatu pasta. Retrogradasi
adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi,
sedangkan sineresis adalah keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel
dari pati (Winarno, 2008). Menurut Munarso (1998), pada produk mi tidak
dikehendaki terjadinya sineresis dan menghendaki adanya retrogradasi untuk
mempertahankan bentuk mi. Semakin positif nilai setback viscosity, proses
retrogradasi semakin kuat dan bila nilainya semakin negatif yang terjadi
adalah proses sineresis.
Tepung jagung varietas C-7, P-12, P-21, Nusantara 1, Bisi 16, NT 10,
dan Prima masing-masing memiliki rata-rata setback viscosity 937,5BU,
815BU, 817,5BU, 775BU, 757,5BU, 750BU dan 735BU (Tabel 12). Setback
viscosity varietas Prima relatif lebih rendah dibanding varietas lainnya hal ini
disebabkan tepung jagung varietas Prima mempunyai kandungan amilosa
yang lebih rendah (23.43% bk) daripada jagung varietas C-7, Nusantara 1, NT
10, P-21, Bisi 16 dan P-12, masing-masing sebesar 33,94% bk; 31,86% bk;
101
31,26% bk; 25,66% bk; 30,96% bk dan 25,16% bk. Nilai setback dipengaruhi
oleh jumlah amilosa pada bahan. Bila jumlah amilosa rendah maka nilai
setback akan menurun. Hal ini disebabkan ketika pasta mendingin molekul-
molekul amilosa akan bersatu kembali (Winarno, 2008). Adanya rantai cabang
(amilopektin) dapat menghalangi penggabungan kembali molekulnya.
Tepung jagung yang dibuat dengan metode kering dan metode basah
masing-masing memiliki rata-rata setback viscosity 790 BU dan 806,43 BU
(Tabel 12). Tepung jagung dengan perlakuan metode kering menghasilkan
setback viscosity yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung
jagung metode basah. Hal ini disebabkan degradasi amilopektin dengan berat
molekul dan derajat polimerisasi yang tinggi pada metode kering cenderung
menghalangi pengikatan kembali amilosa selama pendinginan. Fragmentasi
amilopektin dengan berat molekul tinggi akan menghasilkan fragmen
amilopektin dengan 1,6-anhidro-β-D-glukopiranosa dengan berat molekul
yang lebih rendah dan bersifat amorph (Einde 2004; Suksomboon et al.,
2005). Menurut French (1972) dalam Fen (2007), amilopektin tersusun atas
dua jenis yaitu amilopektin dengan berat molekul rendah (DP 10-16) dan
dengan berat molekul tinggi (DP 40-45). Amilopektin dengan berat molekul
tinggi cenderung membentuk model cluster yang linier sehingga bersifat
kristalin. Sedangkan amilopektin dengan berat molekul rendah cenderung
tidak membentuk cluster, memiliki percabangan yang lebih banyak dan
bersifat amorf. Makin banyak jumlah amilopektin dengan berat molekul lebih
rendah yang terbentuk sehingga menghalangi penggabungan amilosa.
102
Gambar 53. Mekanisme fragmentasi amilopektin akibat perlakuan
termomekanis pada suasana kering (Einde, 2004).
Semakin tinggi dan positif nilai setback viscosity menggambarkan sifat
kohesif dan hardness yang tinggi pada mi, kelengketan dan cooking loss yang
rendah yang diinginkan pada produk mi (Beta and Corke, 2001).
D. Pembahasan Umum
Jagung hibrida merupakan salah satu jenis jagung yang semakin banyak
dibudidayakan di Indonesia. Selain memiliki kandungan nutrisi yang tidak kalah
dengan beras atau terigu, jagung hibrida mengandung pangan fungsional seperti
serat pangan, unsur Fe dan beta-karoten serta memiliki produktivitas yang tinggi,
namun saat ini pemanfaatannya masih sangat terbatas untuk produk pangan.
Pembuatan tepung jagung memungkinkan munculnya produk olahan jagung yang
lebih beragam, praktis dan sesuai kebiasaan konsumsi konsumen seperti produk
mi instan. Varietas jagung hibrida sangat bervariasi sehingga diperlukan seleksi
varietas jagung yang terbaik. Selain itu, metode penggilingan yang tepat perlu
diteliti untuk menghasilkan tepung jagung sesuai karakter produk mi instan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu melakukan karakterisasi tepung.
103
Variabel kimia yang diamati pada tepung jagung kuning hibrida meliputi
kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein total, kadar amilosa, dan kadar
pati. Variabel fisik meliputi rendemen, starch damage, derajat putih, pH, densitas
kamba dan SEM (Scanning Electron Microscope). Sedangkan variabel fungsional
yang diamati pada tepung jagung kuning hibrida meliputi kapasitas penyerapan
air, kelarutan dan swelling volume, kapasitas emulsi dan sifat amilogafi. Perlakuan
varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap semua variabel kecuali
derajat putih (L). Sementara perlakuan metode penggilingan memberikan
pengaruh sangat nyata pada semua variabel. Ada interaksi antara varietas jagung
kuning hibrida dan metode penggilingan terhadap kadar air, pati, dan starch
damage.
Tepung jagung yang dihasilkan memiliki pola gelatinisasi tipe B. Tipe
amilogram pada tepung dapat diubah dengan modifikasi pati baik secara fisik
maupun kimia (Sasaki, 1999). Tipe B amilogram tepung jagung yang dihasilkan
dapat diubah menjadi tipe C dengan melakukan modifikasi fisik HMT (Heat
Moisture Treatment) atau OPT (Osmotic Pressure Treatment) dan modifikasi
kimia menggunakan agensia crosslinking sodium tripolifosfat sehingga dapat
dihasilkan sedikit mungkin atau bahkan tidak ada breakdown viscosity.
Tepung yang dihasilkan dalam penelitian ini jika dibandingkan dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3727 (1993) dan SII, maka kombinasi
perlakuan telah memenuhi standar SNI, sedangkan kadar pati hanya varietas Bisi
16 yang belum memenuhi standar SII. Tepung yang ideal menurut SNI 01-3727
(1993) adalah memiliki bau, rasa dan warna normal, kadar air maksimum 10%,
104
kadar abu maksimum 1,5% (b/b), serat kasar 1,50% (b/b) sedangkan kadar pati
menurut SII (Standar Industri Indonesia) tidak boleh kurang dari 75%. Pada
penelitian kadar serat kasar tidak dianalisis karena pada penelitian pendahuluan
didapat kadar serat kasar pada semua varietas tidak berbeda jauh dan telah
memenuhi standar SNI. Perbandingan hasil penelitian dengan syarat mutu tempe
berdasarkan SNI dapat dilihat Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan hasil penelitian dengan SNI. Perbandingan
Kriteria uji SNI C-7 Prima Nusantara
1 NT 10 P-21 Bisi 16 P-12
Air % (b/b)
maks. 10%
8,68 6,91 8,18 9,24 7,86 9,48 6,99
Abu % (b/b)
maks. 1,50%
1,022 0,843 0,774 0,716 0,963 0,552 1,115
Pati* % (b/b)
min. 75%
80,959 78,830 76,199 76,036 78,540 74,516 80,032
Bau normal normal normal normal normal normal normal normal Rasa normal normal normal normal normal normal normal normal Warna normal normal normal normal normal normal normal normal Keterangan : *= menurut SII (Standar Industri Indonesia)
Berdasarkan syarat mutu SNI 01-3727 (1993), dari hasil penelitian yang
telah dilakukan varietas jagung hibrida layak untuk digunakan sebagai bahan baku
pembuatan berbagai produk pangan termasuk mi instan. Secara umum kandungan
nutrisi tepung jagung dari metode kering lebih unggul dari metode basah, namun
lebih rendah dari sifat fisik dan fungsional.
105
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Varietas P-12 merupakan varietas terbaik berdasarkan Indeks Efektivitas
ditinjau dari sifat fisik dan fungsionalnya meliputi densitas kamba 0,65 g/mL;
rendemen 45,18% bk; derajat putih (L) 68,29%; kapasitas penyerapan air 244,49%
bk; swelling volume 9,31 mL/g bk; kelarutan 7,35% bk; kapasitas emulsi 0,51
mL/g bk; suhu awal gelatinisasi 74,75˚C; suhu viskositas maksimum 92,63˚C;
viskositas maksimum 745 BU; breakdown visc. 70 BU dan setback visc. 815 BU.
2. Metode penggilingan basah menghasilkan tepung dengan sifat fisik dan
fungsional yang lebih baik daripada metode kering, namun memiliki komposisi
kimia yang lebih rendah.
3. Ada interaksi antara varietas jagung kuning hibrida dan metode penggilingan
terhadap kadar air, pati, dan starch damage.
4. Kombinasi perlakuan dengan hasil terbaik berdasarkan Indeks Efektivitas
ditinjau dari sifat fisik dan fungsional adalah tepung jagung varietas C-7
dengan metode basah (V1M2) meliputi kadar air 7,96% bb; kadar abu 0,75%
bk; kadar lemak 2,99% bk; kadar protein total 8,65% bk; kadar amilosa 32,83%
bk; kadar pati 86,53% bk; densitas kamba 0,64 g/mL; rendemen 43,19% bk; pH
5,55; derajat putih (L) 80,36%; kapasitas penyerapan air 225% bk; swelling
volume 9,25 mL/g bk; kelarutan 8,16% bk; kapasitas emulsi 0,43 mL/g bk;
suhu awal gelatinisasi 73,50˚C; suhu viskositas maksimum 94,00˚C; viskositas
maksimum 775 BU; breakdown visc. 35 BU dan setback visc. 945 BU.
106
B. Saran
1. Perlu pengembangan alternatif prosedur perendaman yang lebih cepat untuk
meningkatkan efisiensi produksi tepung jagung metode basah.
2. Perlu dilakukan modifikasi kimia seperti ikatan silang (cross-linking),
modifikasi fisik seperti HMT (Heat Moisture Treatment) atau OPT (Osmotic
Pressure Treatment) dan kombinasi kimia-fisik seperti DT (Drying Heating)
dengan penambahan gum ionik untuk meningkatkan ketahanan pati terhadap
pemanasan dan gaya mekanis (shear) saat pemasakan.
3. Perlu penelitian lebih lanjut aplikasi tepung jagung hibrida varietas terbaik
untuk memproduksi mi instan menuju tahap industrialisasi dalam rangka
diversifikasi pangan lokal dan mengurangi ketergantungan terhadap beras dan
impor terigu.
107
DAFTAR PUSTAKA
Aak. 2008. Seri Jagung Teknik Bercocok Tanam Jagung. Kanisius, Jakarta. Abdelmadjid, F. Effect of Small Antioxidant Moleculles on the Viability of
Oxidative Stress Defective Yeast. Thesis. Mediteranian Agronomic Institute of Chania, Yunani.
Adebowale, O.K. 2008. Emulsifying properties of mucuna flour and protein
isolates. Journal of Food Technology. 6(2):66-79. Ade, B. I. O., B. A. Akinwande, I. F. Bolarinwa and A.O. Adebiyi. 2009.
Evaluation of tigernut (Cyperus esculentus)-wheat composite flour and bread. African Journal of Food Science. (2):087-091.
Ali, M. 2009. JHS siapkan benih jagung untuk NTT. http:// tv.pos-kupang.com.
Diakses tanggal 15 Juni 2009. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarwati dan S. Budiyanto. 1989.
Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. 196-211. Asfiyah, H. 1997. Pengaruh Kondisi Perendaman Daging Buah Sukun
(Artocarpus altilis) terhadap Mutu Tepung yang Dihasilkan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta.
Asmarajati, T. 1999. Pengaruh Blanching dan Suplementasi Bekatul Terhadap
Kualitas Cookies. Skripsi. Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto. Astawan, M. 2001. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Arora, S. 2003. The Effect of Enzymes and Starch Damage on Wheat Flour
Tortilla Quality. Thesis. Texas A&M University, USA. Atichokudomchai, N., S. Shobsngob, P. Chinacoti and S. Varavinit. 2001. A study
of some physicochemical properties of high-crystalline tapioca starch. Starch/starke. (53):577-581.
Baah, D. F. 2009. Characterization of Water Yam (Dioscorea atalata) for
Existing and Potensial Food Products. Thesis. Faculty of Biosciences Kwame Nkrumah University, Nigeria.
Babiker, E.E., B.A. Hassan, M.M. Elitayeb, G.A. Osman, M.N. Hassan and K.A.
Hassan. 2007. Solubility and functional properties of boiled and fried Sudanese tree locust flour as a function of NaCl concentration. Medwell Journal. 5(3):210-214.
108
Badan Standarisasi Nasional. 1993. Standar Nasional Indonesia. SNI 0-3727 -1993. Tepung Jagung. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Beta, T. and H. Corke. 2001. Noodle quality as related to sorghum starch
properties. J Cereal Chemistry. (78):417-420. Bhattachrya, S. and M. Prakash. 1994. Extrusion blends of rice and chicken pea
flours: A response surface analysis. J. Food Enginering. 21:315-330. Bian, Y., D.J. Myers, K. Dias, M.A. Lihono, S. Wu, and P.A. Murphy. 2003.
Functional properties of soy protein fraction produced using a pilot plant-scale process. J. Am. Chem. Soc. 80:45-549.
Bolade, K.M. 2009. Effect of flour production method on yield, physicochemical
properties of maize flour and rheological characteristics of maize-based non-fremented food dumpling. African Journal of Food Science. Vol. 3(10):288-298.
Chen, Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their
Aplication in Noodle Product. Ph.D Thesis. Wageningen University, The Netherlands.
Chen, J. J., C.Y. Lii, and S. Lu. 1999. Effect of milling n physicochemical
characteristics of waxy rice in Taiwan. Cereal Chemistry. 76:796-799. Chen, J. J., C.Y. Lii, and S. Lu. 2003. Physicochemical and morphological
analyses on damaged rice starches. Journal of Food and Drug Analysis. 4:283-289.
Chiang, P.Y. and A.I. Yeh. 2002. Effect of soaking on wet milling rice. J. Cereal
Science. 35:85-94. Cramp, L.G. 2007. Modification and Molecular Interactions of Soy Protein
Isolate. Thesis. Faculty of North Caroline State University, Raleigh. Collado, L.S., and H. Corke. 1998. Heat moisture treatment effect on sweet potato
starch differing in amylose content. J. Food Chemistry. (65)339-346. Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates and H. Corke. 2001. Bihon type noodle
from heat moisture treated sweet potato starch. J. Food Sci. 66:604-609. Dubat, A. 2004. The Importance and Impact of Starch Damage and Evolution of
Measuring Methods. Sdmatic, New York. Dinas Pertanian. 2008. Panen perdana jagung hibrida.
http://harianjoglosemar.com. Diakses tanggal 10 November 2009.
109
Damardjati, D.S., S. Widowati, J. Wargiono, dan S. Purba. 2000. Potensi dan Pendayagunaan Sumber Daya Bahan Pangan Lokal Serealia, Umbi-umbian, dan Kacang-kacangan untuk Penganekaragaman Pangan. Makalah pada Lokakarya Pengembangan Pangan Alternatif. Jakarta, 24 Oktober 2000. 24 hal.
Einde, R.V.D. 2004. Molecullar Modification of Starch during Thermomechanical
Treatment. Ph.D Thesis. Wageningen University, The Netherlands. Ekthamasut, K. Effect of tomato seed meal on wheat pasting properties and
alkaline noodle qualities. AU J.T. 9(3):147-152. Elliasson, A.C. 2004. Starch in Food. Structure, Function and Application.
Woodhead Publishing Limited. CRC Press, New York. Fagbemi, T.N., A.A. Oshodi and K.O. Ipin. 2006. Effect of processing on the
functional properties of full fat and defatted fluted pumpkin (Telfairia occidentalus) seed flour. Journal of Food Technology. 4(1):70-79
Frederick, E. J. 2007. Effect of Sorgum Flour Composition and Particle Size on
Quality of Gluten-free Bread. Thesis. Kansas State University, Manhattan. Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc., New York. Grenus, K.M., F. Hscih, and H.E. Huff. 1993. Extrusion and extrudate properties
of rice flour. J. Food Enginering. 18:229-245. Guo, G., D.S. Jackson, R.A, Graybosch, and A.M. Parkhurst. 2003. Asian salted
noodle quality impact of amylose content adjustment using waxy wheat flour. J. Cereal Chemistry. (80):437-445.
Hariyadi, P. 2010. Ada jagung dalam mi. Http://www.Tempo.com/ seri teknologi.
Diakses tanggal 2 April 2010. Haros, M., O. E. Perez, and C. M. Rosell. 2003. Effect of steeping corn with lactic
acid on starch properties. Cereal Chemistry. 81(1):10-14. Hernanda, A.R. 2008. Pasar benih jagung hibrida naik 10 %.
http://www.perumperhutani.com. Diakses tanggal 3 November 2009. Hoover, R.,dan W.S. Ratnayake. 2002. Starch characteristics of Black Bean,
Chick pea, Lentil, Navy bean and Pinto bean cultivars grown in Canada. Food Chemistry. (78) 489 – 498.
Hoseney, R.C. 1998. Principle of Cereal Science and Technology. American
Association of Cereal Chemist Inc., USA.
110
Hung, P.V. and N. Morita. 2005. Physicochemical properties and enzymatic digestibility of starch from edible canna (Canna edulis) gown in Vietnam. Carbohydrate Polymers, 61:314-321.
Hutching, J.B. 1999. Food Color and Apearance. Aspen publisher Inc., Maryland. Ikegwu, O.J., P.E. Okechukwu and E.O. Ekumankare. 2010. Physicochemical and
pasting characteristic of flour and starch from Achi brachtegia. Medwell Journal. (8):58-66.
Inglett, G.E. 1970. Corn:Culture, Processing, Products. Westport, Connecticut:
The Avi Publishing Company Inc. Iriany, R.N dan T. M. Andi. 2007. Jagung Hibrida Unggul Baru. Warta Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, 29 (4): 26-39. Johnson, L.A. 1991. Corn: Production, Processing, and utilization. Di dalam :
Handbook of Cereal Science of technology. Karel K and Josep GP, editor. Marcell Decker Inc., New York.
Jugenheimer R.W. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John
Wiley and Sons, New York. Kadan, R.S., R.J. Bryant, and A.B. Pepperman. 2003. Functional properties of
extruded rice flours. J. Food Science. 68:1669-1672. Kaur, A., N. Singh, R. Ezekiel and S.H. Guraya. 2006. Physicochemical, thermal
and pasting properties of flour from different potato cultivars grown at different location. J. Food Chemistry. 101:643-641.
Keputusan Menteri Pertanian. 2006. Pelepasan galur murni jagung hibrida SX 44
sebagai varietas unggul dengan nama NT 10. Http://www.deptan.go.id. Diakses tanggal 15 Juni 2009.
Kibar, A.A., Gonenç, and F. Us. 2009. Gelatinization of waxy, normal, and high
amylose corn starches. Journal of Food Technology. 4(3):02-10. Koswara. 2000. Komposisi kimia jagung. Http://www.ebookpangan.com. Diakses
tanggal 2 Mei 2010. Kulp K., and G. P. Joseph. 2000. Hand Book of Cereal Science and Technology.
Marcel Dekker Inc., New York. Laga, A. 2006. Pengembangan Pati Termodifikasi dari Substrat Tapioka dengan
Optimalisasi Pemotongan Rantai Cabang Menggunakan Enzim Pullunase. Prosiding Seminar Nasional PATPI, 2-3 Agustus 2006.
111
Lewis, M.J. 1987. Physical Properties of Food and Food Processing Systems. Hartnolls Limited, Bodman Cornwall, Great Britain.
Lim, S.T., H.J. Han, H.S. Lim, and J.N. BeMiller. 2002. Modification of starch by
dry heating with ionic gum. Cereal Chemistry. 79(5):601-606. Lindeboom, N., P.R. Chang and R.T. Tyler. 2004. Analytical, biochemical, and
physicochemical aspect of starch granule size with emphasis on small granula starches : A Review. Starch/starke. 56:89-99.
Master, K. 1979. Spray Drying Handbook. John wiley and Sons, New York. Metirukmi, D. 1992. Peranan kedelai dan hasil olahanya dalam penanggulangan
masalah gizi ganda. Makalah disampaikan dalam Seminar Pengembangan Teknologi Pangan dan Gizi Menyongsong Pelita VI, Bogor, 19 Desember 1992.
Moorty, N.S. 2002. Physicochemical and functional properties of tropical tuber
starches : A Review. Starch/starke. 54:559-592. Morrison, W.R. and R. F. Tester. 1994. Properties of damaged starch ganules. IV.
Composition of ball-milled wheat starches and of fractions. J. Cereal Science. 20:69-77.
Mukparsirt, A. and K. Sajjanantakul. 2004. Physico-chemical properties of flour
and starch from jackfruit seeds (Artocarpus heterophyllus Lam.) compared with modified starches. International Journal of Food Science. and Technology. 39:271-276.
Munarso, S.J. 1998. Modifikasi Sifat Fungsional Tepung Beras dan Aplikasinya
dalam Pembuatan Mi Beras Instan. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Nirmala. 2008. Fakta di balik mitos gluten. http://cybermed.cbn.net.id. Diakses
Tanggal 11 Juni 2009. Nobel, P., dan Andrizal. 2003. Pedoman Penanganan Pasca Pasca Panen Jagung.
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Numfor, A.F., M.W. Walter, and J.S. Schwartz. 1996. Effect of emulsifier on the
physical properties of native and fermented Starches. J. Agriculture Food Chemistry. (44):2595-2599.
Onwuka, G.I. and N.J. Ogbagu. 2007. Effect of fermentation on the quality and
physical properties of cassava based fufu product made from two cassava varieties NR8212 and Nwangbisi. Medwell Journal. (3):261-264.
112
Oti, E. And E.N.T Akobundu. 2007. Physical, functional and amylograph pasting properties of cocoya-soybean-crayfish flour blends. Nigerian food Journal. 25(1):161-169.
Pangkey, A. S. Pengaruh Lama Perendaman Kacang Gude (Cajanus cajan Mill
sp.) dari Beberapa Varietas terhadap Rendemen dan Komposisi Kimia Tepung yang Dihasilan. Skripsi. Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto.
Philips, C. M. 1981. Protein conformation at liquid interfaces and its role in
stabilizing emulsions and foams. J. Food Technology. Vol 32. Pukkahuta, C., S. Bussawan, S. Sujin, and S. Saiyavit. 2008. Comparative study
of pasting and thermal transition characteristics of osmotic pressure and heat-moisture treated corn starch. J. Carbohydrate Polymer. 72:527-536.
Purwani, E.Y., Widaningrum, R. Thahir and Muslich. 2006. Effect of heat
moisture of sago starch on its noodle quality. Indonesian Journal of Agricultural Science. 7(1):8-14.
Purwanto, S. 2010. Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan
Produksi Jagung. Direktorat Budi Daya Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta.
Ramachandran, A. 2010. Carotenoid Accumulation During Grain Development in
Durum Wheat (Triticum turgidum L. Var Durum). Thesis. College of Graduate Studies and Research, University of Saskatchhewan, Saskatoon.
Ratnayake, W.S., R. Hoover dan W. Tom. 2002. Pea starch: composistion, structure
and properties – review. Starch/Starke. 54: 217 – 234. Riset dan Teknologi. 2006. Komposisi kimia jagung. Http:// www.ristek.go.id .
Diakses tanggal 12 Sptember 2009. Rosmisari, A. 2006. Review: Tepung jagung komposit, pembuatan
dan pengolahannya. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen Pengembangan Pertanian. BPPPT, Bogor.
Sasaki, T. 2005. Effect of wheat starch characteristics on the gelatinization,
retrogradation, and gelation properties. JARQ 39(4):253-260. Sathe, S.K. dan K. Salunkhe. 1981. Isolation, partial characterization and
modification of The Geat Nothern Bean (Phaseolis vulgaris L.) starch. Food Science. 46(2):617-621.
Setiawan, I. 2009. Pengaruh fermentasi sponan terhadap sifat fisikokimia pati
jagung. Indonesian Journal of Agricultural Science. 8(1):8-12.
113
Shimelis, E., M. Meaza, and S. Rakhsit. 2006. Physicochemical properties, pasting behavior and functional characteristics of flours and starches from improved bean (Phaseolus vulgaris L.) varieties grown in east Africa. CIGR Ejournal,. Vol. VIII.
Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan.
PT Penerbit IPB, Bogor. Suardi, Suarni dan A. Prabowo. 2002. Teknologi Sederhana Prosesing Sorgum
sebagai Bahan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Hlm. 112-116.
Suarni. 2001. Tepung Komposit Sorgum, Jagung, dan Beras untuk Pembuatan
Kue Basah (cake). Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros. Vol 6. hlm 55-60.
Suarni, M. Aqil, and I.U. Firmansyah. 2008. Starch characterization of several
maize varieties for industrial use in Indonesia. Paper of the Asian Regional Maize Workshop (ARMW), Makassar.
Suartha, I.G.D. 2008. Wujudkan ketahanan pangan melalui budidaya jagung
hibrida. http://www. Tanindo.com. Diakses tanggal 10 November 2009. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisis Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. 172 hal. Suksomboon, A., O. Naivikul and B. R. Hamaker. 2005. Comparison of chemical,
physicochemical properties and starch molecullar structures in dry- and wet-milled rice flour, pp. 247-252. In Proceeding of Starch Updated 2005 The 3rd Conference on Starch Technology. National Center of Genetic Engineer and Biotechnology, Bangkok.
Sung, C.W. and M. Stone. 2004. Characterization of legume starches and their
noodle quality. Journal of Marine Science and Technology. 12(1):25-52. Suprapto. 1998. Bertanam Jagung. Cetakan ke-18. Penebar Swadaya, Jakarta. Suprapto dan H.A.R. Marzuki. 2005. Bertanam Jagung. Edisi Revisi, Cetakan ke-
14. Penebar Swadaya, Jakarta. Suwarno. 2008. Potensi jagung hibrida. Http:// binatanimakmur.com. Diakses
tanggal 29 Juni 2009. Tam, L.M., H. Corke, W.T. Tan, J. Li, and L.S. Collado. 2004. Production of
bihon-type noodle from maize starch differing in amylosa content. J Cereal Chemistry. 81(4):475-480.
114
Tan, H., Z. Li, and B. Tan. 2010. Starch noodles: History, classification, materials, processing, structure, nutrition, quality evaluating and improving. Food Research International. 42:551-576.
Techawipharat, J. 2007. Effect of Hydrocolloids on Physicals and Rheological
Properties of Rice Starch. Thesis. Faculty of Graduate Studies Mahidol University, Bangkok.
Thompson, A.W., M. Blades, dan J. Suthering. 2006. The G.I. Diet Cook Book.
Http:www.indomemo.com. Diakses tanggal 2 Februari 2010. Udensi, E.A. and K.A. Okoronkwo. 2006. effect of fermentation and germination
on the physicochemical properties of Mucuna cochinchinensis protein isolate. African Journal of Biotecnology. 5(10):896-900.
Usansa, U., N. Sompong, C. Wanapu, N. Boonkerd and N. Teaumroong. 2009.
The influence of steeping duration and temperature on the α- and β-amylase activities of six Thai rice malt cultivars (Oryza sativa L. Indica). J. Inst. of Brewing 115(2):140-147.
Vongsawasdi, P., M. Noppharat, N. Hiranyaprateep and N.Tirapong. 2009.
Relationships between rheological properties of rice flour and quality of vermicelli. J. Food Agroindustri. 2(02):102-109.
Wadcharat, C., T. Masubon and O. Naivikul. 2006. Characterization of
pregelatinized and heat moisture treated rice flours. Kasetsart J. 40(Suppl):144-153.
Watson. 2003. Corn: Chemistry and Technology. American Association of Cereal
Chemists, Inc. St. Paul Minnesota. USA. Wikipedia. 2008. Mi instan. http://id.wikipedia.org/wiki/mi instan. Diakses
tanggal 1 Desember 2009. . 2009. Physical properties. http://id.wikipedia.org/wiki/physical
properties. Diakses tanggal 1 Desember 2008. Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka, Jakarta. WSI. 1997. Westfalia Separator Industry. Starch from Corn Separation Technology
for Cereals. http://www.westfaliaseparator. com/downloads/pdf/9997-0681- (20 Juni 2010).
Wu, V. Y. 2001. Emulsfying capacity and emulsion stability of corn gluten meal.
J. Science Food Agriculture. 81:1223-1227. Xu, J., and S. Kim. 2008. Aggregate formation of zein and its structure inversion
in aqueous ethanol. Journal of Cereal Science 47:1-5.
115
a. Sifat kimia dan fisik tepung jagung varietas P-12 pada berbagai tingkat
penyosohan. Tingkat Penyosohan
Variabel pengamatan tepung 1 kali 3 kali 5 kali 7 kali
Kadar serat tepung (%b/b) 2,52 1,71 1,42 1,02 Derajat putih tepung (%) L 60,11 61,25 63,86 63,97 a 3,25 3,18 2,45 2,41 b 7,22 7,37 7,31 7,82 Rendemen jagung sosoh (%) 83 72 65 53 Rendeman tepung terhadap biji jagung utuh (%b/b)
17,65 22,18 26,53 23,12
Tekstur (sensoris) agak halus halus halus halus
b. Rendemen dan derajat putih tepung jagung varietas P-12 pada berbagai tingkat penggilingan metode kering.
Tingkat penggilingan Variabel yang diamati 3 kali 5 kali 7 kali 9 kali
L 63,86 58,21 53,4 49,91 a 2,45 3,89 6,11 6,52
Derajat putih tepung
b 7,31 7,91 9,09 11,13 Rendeman tepung terhadap biji jagung utuh (%b/b)
26,53 33,62 34,88 35,14
c. Rendemen dan derajat putih tepung jagung varietas P-12 pada berbagai lama perendaman pada metode basah.
Lama perendaman Variabel yang diamati 3 jam 6 jam 9 jam 12 jam
L 77,29 77,89 79,65 79,1 a -0,71 -0,65 -0,59 -0,46
Derajat putih tepung
b 31,95 31,03 30,71 29,56 Rendemen terhadap biji jagung utuh (%b/b)
35,09 40,15 44,23 41,51
Lampiran 1. Hasil pengamatan penelitian pendahuluan tepung jagung hibrida P-12
116
d. Rendemen dan derajat putih tepung jagung varietas P-12 pada berbagai tingkat penggilingan pada metode basah.
e.Sifat fisikokimia biji jagung kuning hibrida dari berbagai varietas.
Varietas Jagung Kuning Hibrida Variabel
C-7 Prima Nusantara 1 NT 10 P-21 Bisi 16 P-12 Kadar air (% b/b) 10,10 8,32 9,56 10,64 8,84 11,18 8,58 Kadar protein total (% bk) 10,89 10,25 9,57 10,56 10,45 8,57 10,74 Kadar lemak (% bk) 6,50 6,45 5,84 4,26 6,73 4,15 7,04 Presentase berat biji setelah direndam selama 9 jam dengan berat biji pipil kering (%)
134 133 115 127 130 136 125
Bobot 100 biji (g) 23,50 30,00 27,93 28,80 30,46 33,66 29,26
Tingkat penggilingan variabel yang diamati 1 kali 2 kali 3 kali
L 79,65 79,0 78,2 a -0,59 -0,63 -0,62
Derajat putih tepung
b 30,71 32,3 32,11 Rendemen tepung (% b/b) 45 46,7 47,0
117
Lampiran 2. Denah percobaan Denah percobaan dengan 2 kali ulangan.
V2M2 V1M2
V3M2 V3M2
V2M1 V2M2
V1M2 V3M1
V4M2 V2M1
V5M2 V1M1
V4M1 V5M1
V1M1 V7M2
V3M1 V6M2
V5M2 V7M1
V6M2 V4M1
V7M2 V7M1
V6M1 V5M2
V7M1 V4M2
Blok I Blok II
118
Lampiran 3. Proses pembuatan tepung jagung metode kering
Jagung pipil kering
Disosoh 5 kali Dedak jagung
Digiling 5 kali
Jagung sosoh
Diayak 80 mesh
Dikemas dengan plastik PP hitam
Tepung jagung
Menir
Tepung jagung siap pakai
119
Lampiran 4. Proses pembuatan tepung jagung metode basah
Jagung pipil kering
Disosoh 5 kali Dedak jagung
Direndam selama 9 jam
Jagung sosoh
Digiling 2 kali
Dikemas dengan plastik PP hitam
Tepung jagung
Menir Diayak 80
mesh
Dikeringkan dengan cabinet dryer selama 2,5 jam pada suhu 50˚C
Air sisa perendaman
Ditiriskan
Tepung jagung siap pakai
120
Lampiran 5. Jagung hibrida pipil kering dari beberapa varietas
121
Lampiran 6. Jagung hibrida 5 kali sosoh dari beberapa varietas
122
Lampiran 7. Tepung jagung berbagai varietas dengan metode kering
123
Lampiran 8. Tepung jagung berbagai varietas dengan metode basah
124
Lampiran 9. Nilai rata-rata pengaruh metode penggilingan terhadap variabel kimia tepung jagung hibrida dari berbagai varietas
Data Kadar air (% bk)
Kadar pati (%bk)
Kadar lemak (%bk)
Kadar amilosa (%bk)
Kadar protein total (%bk)
Kadar abu (%bk)
V1 9.5203 bc 88.65700 a 3.16665 c 33.94135 a 8.77463 a 0.93345 ab V2 7.448 e 84.68152 d 3.05588 d 23.43500 d 8.53775 a 0.78518 bcd V3 8.9275 cd 82.98865 f 2.31293 e 25.65718 c 7.87598 b 0.71085 cd V4 10.1923 ab 83.78655 e 1.70383 f 25.16240 c 8.54648 a 0.65163 de V5 8.5370 d 85.24343 c 3.33250 b 31.26358 b 8.57180 a 0.88680 abc V6 10.4763 a 82.32035 g 0.73263 g 30.95775 b 5.61803 c 0.50045 e V7 7.5245 e 86.04728 b 3.61493 a 31.85703 b 8.78105 a 1.03765 a F hit V 25.68 ** 180.63 ** 1197.52 ** 79.14 ** 195.81 ** 9.93 ** F tab 5% 2,92 2,92 2,92 2,92 2,92 2,92 F tab 1% 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 M1 9.7838 a 86.58616 a 2.71857 a 29.79082 a 8.25054 a 0.95391 a M2 8.1084 b 83.04949 b 2.40124 b 28.00183 b 7.95109 b 0.61924 b F hit M 87.33 ** 875.45 ** 196.10 ** 27.04 ** 23.81 ** 58.26 ** F tab 5% 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 F tab 1% 9.07 9.07 9.07 9.07 9.07 9.07 V1M1 10.3850 ab 90.78200 a 3.33910 cd 35.05350 a 8.89950 a 1.11270 ab V1M2 8.6555 de 86.53200 d 2.99420 e 32.82920 b 8.64975 ab 0.75420 cdef V2M1 9.0185 cd 86.97050 cd 3.26285 d 24.29555 ef 8.83040 ab 0.93420 bc V2M2 5.8710 g 82.39255 h 2.84890 f 22.57445 f 8.24510 cd 0.63615 def V3M1 10.1765 ab 84.71775 ef 2.51740 g 26.61935 d 8.05295 d 0.83605 cde V3M2 7.6785 ef 81.25955 i 2.10845 h 24.69500 de 7.69900 e 0.58565 efg V4M1 10.5900 a 85.15585 e 1.88690 i 25.96730 de 8.64250 ab 0.81695 cde V4M2 9.7945 abc 82.41725 h 1.52075 j 24.35750 ef 8.45045 bc 0.48630 fg V5M1 9.2870 bcd 87.27200 bc 3.42940 bc 32.17720 bc 8.67405 ab 1.10745 ab V5M2 7.7870 ef 83.21485 g 3.23560 d 30.34995 c 8.46955 bc 0.66615 cdef V6M1 10.8050 a 83.38970 g 0.87540 k 31.68270 bc 5.75900 f 0.66600 cdef V6M2 10.1475 ab 81.25100 i 0.58985 l 30.23280 c 5.47705 f 0.33490 g V7M1 8.2245 de 87.81530 b 3.7189 a 32.74015 b 8.89540 a 1.20400 a V7M2 6.8245 fg 84.27925 f 3.51090 b 30.97390 bc 8.66670 ab 0.87130 bcd F hit VXM 3.53 * 7.43 ** 2.28 tn 0.07 tn 0.71 tn 0.25 tn
F tab 5% 2,92 2,92 2,92 2,92 2,92 2,92 F tab 1% 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 Keterangan: V= Varietas jagung hibrida, M= Metode penggilingan, tn=tidak berpengaruh nyata, *=berpengaruh nyata, **=berpengaruh sangat nyata.
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5 persen.
125
Lampiran 10. Nilai rata-rata pengaruh metode penggilingan terhadap variabel fisik tepung jagung hibrida dari berbagai varietas
Data pH Densitas kamba
(g/mL) Starch damage
(%bk) Rendemen
(%bb)
L (%) Derajat putih
a (%)
b (%) V1 5.40 d 0,63485 abc 4.77470 d 34.19798 c 67.27918 1.35248 18.86253 V2 5.60 c 0,63753 ab 4.80563 d 41.59590 b 67.3375 1.25668 18.43665 V3 5.43 d 0,62865 bc 6.64745 a 40.47765 b 67.92415 1.81835 16.24668 V4 5.98 a 0,61643 c 5.49023 b 40.14375 b 68.23585 1.26083 16.54500 V5 5.95 a 0,63001 bc 5.20018 c 44.32623 b 67.97335 1.84165 17.97503 V6 6.05 a 0,59880 d 4.20513 e 48.98173 a 68.17418 1.565 19.75418 V7 5.75 b 0,64941 a 5.51308 b 41.30913 b 68.28918 1.50165 18.92750 F hit V 39.51 ** 4.39 * 313.71 ** 11.68 ** 0.83 ns 0.34 ns 2.83 ns F tab 5% 2.92 2. 92 2.92 2.92 2.92 2.92 2.92 F tab 1% 4.62 4.62 4.62 4.62 4.62 4.62 4.62 M1 5.58 b 0.67528 a 6.32912 a 35.18300 b 55.35191 b 4.10191 a 7.74071 b M2 5.89 a 0.58063 b 4.13841 b 47.96910 a 80.42334 a -1.07430 b 28.47287 a F hit M 95.33 ** 30.04 ** 4396.56 ** 55.51 ** 5207.39 ** 268.58 ** 3540.57 ** F tab 5% 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 F tab 1% 9.07 9.07 9.07 9.07 9.07 9.07 9.07 V1M1 5.25 g 0,68071 ab 5.78630 d 29.56385 f 54.195 b 3.6083 7.58670 V1M2 5.55 ef 0,58900 de 3.76310 h 38.83210 de 80.36335 a -0.90335 30.13835 V2M1 5.45 f 0,69100 a 5.85830 d 33.61905 ef 54.39335 b 3.8367 8.32830 V2M2 5.75 bcd 0,58405 e 3.75295 h 49.57275 bc 80.28165 a -1.32335 28.54500 V3M1 5.25 g 0,6756 abc 8.49385 a 34.80305 ef 55.385 b 4.42335 7.26500 V3M2 5.60 def 0,58165 e 4.80105 e 46.15225 bc 80.4633 a -0.78665 25.22835 V4M1 5.80 bcd 0,66102 bc 6.53830 b 32.69765 ef 55.90335 b 4.315 7.27000 V4M2 6.15 a 0,57185 e 4.44215 f 47.58985 bc 80.56835 a -1.79335 25.82000 V5M1 5.75 bcd 0,67732 abc 6.23515 c 38.31965 de 55.45835 b 4.48665 7.71335 V5M2 6.15 a 0,58270 e 4.16520 g 50.33280 b 80.48835 a -0.80335 28.23670 V6M1 5.90 b 0,65234 c 4.79565 e 42.34280 cd 55.93 b 4.39835 7.92165 V6M2 6.20 a 0,54525 f 3.61460 h 55.62065 a 80.41835 a -1.26835 31.58670 V7M1 5.65 cde 0,68892 a 6.59630 b 34.93495 ef 56.19835 b 3.645 8.10000 V7M2 5.85 bc 0,60990 d 4.42985 f 47.68330 bc 80.38 a -0.6417 29.75500 F hit VXM 0.54 tn 0.89 tn 72.75 ** 0.66 tn 0.63 tn 0.56 tn 2.00 tn F tab 5% 2.92 2.92 2.92 2.92 2,92 2,92 2,92 F tab 1% 4.62 4.62 4.62 4.62 4.62 4.62 4.62 Keterangan: V= Varietas jagung hibrida, M= Metode penggilingan, tn=tidak berpengaruh nyata, *=berpengaruh nyata, **=berpengaruh sangat nyata.
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5 persen.
126
Lampiran 11. Nilai rata-rata pengaruh metode penggilingan terhadap variabel fungsional tepung jagung hibrida dari berbagai varietas
Data KPA
(%bk) Swelling volume
(mL/g bk) Kelarutan
(% bk) Kapasitas emulsi
(mL/g bk) V1 243.44850 d 9.40703 e 8.36990 cd 0.48905 a V2 268.51775 a 11.63438 a 8.97155 c 0.38005 b V3 266.24700 ab 9.88257 d 11.07343 b 0.35208 b V4 262.49825 ab 10.98175 b 11.00415 b 0.36208 b V5 249.18225 cd 9.89685 d 8.14980 d 0.38533 b V6 253.12925 bc 10.75683 c 12.36778 a 0.17983 c V7 244.48725 d 9.30993 e 7.35240 e 0.50753 a F hit V 5.96 ** 359.41 ** 57.06 ** 100.15 ** F tab 5% 2.92 2.92 2.92 2.92 F tab 1% 4.62 4.62 4.62 4.62 M1 274.46493 a 10.46237 a 10.08583 a 0.40595 a M2 236.25229 b 10.07172 b 9.13960 b 0.35289 b F hit M 141.43 ** 126.27 ** 25.71 ** 42.70 ** F tab 5% 4.67 4.67 4.67 4.67 F tab 1% 9.07 9.07 9.07 9.07 V1M1 261.517 cdef 9.5595 g 8.5838 efg 0.54585 a V1M2 225.38 i 9.25455 h 8.156 fgh 0.43225 bc V2M1 287.054 a 11.8194 a 9.2892 ef 0.39885 cd V2M2 249.9815 defg 11.44935 b 8.6539 efg 0.36125 de V3M1 284.821 a 10.0554 f 12.451 a 0.37235 de V3M2 247.673 efgh 9.70975 g 9.69585 de 0.33180 e V4M1 282.2195 ab 11.10905 c 11.3245 bc 0.38130 de V4M2 242.777 fghi 10.85445 d 10.6838 cd 0.34285 e V5M1 268.579 abcd 10.22405 f 8.487 fg 0.40380 cd V5M2 229.7855 hi 9.56965 g 7.8126 gh 0.36685 de V6M1 274.019 abc 10.94 cd 12.88215 a 0.18725 f V6M2 232.2395 ghi 10.57365 e 11.8534 ab 0.17240 f V7M1 263.045 bcde 9.5292 g 7.58315gh 0.55225 a V7M2 225.9295 i 9.09065 h 7.12165h 0.46280 b F hit VXM 0.05 tn 1.98 tn 2.77 tn 2.64 tn F tab 5% 2.92 2.92 2.92 2.92 F tab 1% 4.62 4.62 4.62 4.62 Keterangan: V= varietas jagung hibrida, M= metode penggilingan, tn=tidak berpengaruh nyata, *=berpengaruh nyata, **=berpengaruh sangat nyata.
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5 persen.
127
Lampiran 12. Penentuan varietas terbaik dengan metode Indeks Efektivitas
Keterangan: BV= bobot variabel, BN= bobot nilai, NE= nilai efektivitas, NP= nilai produk, V= varietas jagung hibrida (V1= C-7, V2= Prima, V3= Nusantara 1, V4 = NT 10, V5= P-21, V6= Bisi 16, V7= P-12), M = metode penggilingan (M1= metode kering, M2 = metode basah) *= Perlakuan terbaik berdasarkan variabel fisik dan fungsional.
Perlakuan V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7
Variabel fisik dan fungsional
BV BN NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP Derajat putih (L) 1 0,10 0,00 0,00 0,06 0,01 0,64 0,06 0,95 0,10 0,69 0,07 0,89 0,09 1,00 0,10 Viskositas maks. 1 0,10 0,41 0,04 0,41 0,04 0,53 0,05 0,71 0,07 0,12 0,01 1,00 0,10 0,00 0,00 Breakdown visc 0,9 0,09 1,00 0,09 0,00 0,00 0,33 0,03 0,10 0,01 0,88 0,08 0,26 0,02 0,90 0,08 Swelling power 0,9 0,09 0,96 0,09 0,00 0,00 0,75 0,07 0,28 0,03 0,75 0,07 0,38 0,03 1,00 0,09 Kelarutan 0,9 0,09 0,80 0,07 0,68 0,06 0,26 0,02 0,27 0,02 0,84 0,08 0,00 0,00 1,00 0,09 Setback visc 0,9 0,09 1,00 0,09 0,00 0,00 0,20 0,02 0,07 0,01 0,41 0,04 0,11 0,01 0,40 0,04 Rendemen 0,8 0,08 0,00 0,00 0,43 0,03 0,39 0,03 0,40 0,03 0,62 0,05 1,00 0,08 0,42 0,03 KPA 0,8 0,08 0,00 0,00 1,00 0,08 0,91 0,07 0,76 0,06 0,23 0,02 0,39 0,03 0,04 0,00 Kapasitas emulsi 0,8 0,08 0,94 0,08 0,61 0,05 0,53 0,04 0,56 0,04 0,63 0,05 0,00 0,00 1,00 0,08 Densitas kamba 0,7 0,07 0,71 0,05 0,77 0,05 0,59 0,04 0,35 0,02 0,62 0,04 0,00 0,00 1,00 0,07 Suhu awal gelatinisasi 0,6 0,06 0,39 0,02 0,50 0,03 0,64 0,04 0,74 0,05 0,00 0,00 1,00 0,06 0,05 0,00 Suhu puncak gelatinisasi 0,6 0,06 0,00 0,00 1,00 0,06 0,55 0,03 0,78 0,05 0,15 0,01 0,64 0,04 0,10 0,01 Jumlah 9,9 1,00 0,53 0,42 0,52 0,49 0,51 0,47 0,60*
Perlakuan M1 M2
Variabel fisik dan fungsional
BV BN NE NP NE NP Derajat putih (L) 1 0,10 0,00 0,00 1,00 0,10 Viskositas maksimum 1 0,10 1,00 0,10 0,00 0,00 Breakdown viscosity 0,9 0,09 0,00 0,00 1,00 0,09 Swelling power 0,9 0,09 0,00 0,00 1,00 0,09 Kelarutan 0,9 0,09 0,00 0,00 1,00 0,09 Setback viscosity 0,9 0,09 0,00 0,00 1,00 0,09 Rendemen 0,8 0,08 0,00 0,00 1,00 0,08 KPA 0,8 0,08 1,00 0,08 0,00 0,00 Kapasitas emulsi 0,8 0,08 1,00 0,08 0,00 0,00 Densitas kamba 0,7 0,07 1,00 0,07 0,00 0,00 Suhu awal gelatinisasi 0,6 0,06 1,00 0,06 0,00 0,00 Suhu puncak gelatinisasi 0,6 0,06 1,00 0,06 0,00 0,00 Jumlah 1,00 0,45 0,55*
Lampiran 13. Penentuan metode penggilingan terbaik dengan metode Indeks Efektivitas.
128
Lampiran 14. Penentuan kombinasi terbaik dengan metode Indeks Efektivitas
Keterangan: BV= bobot variabel, BN= bobot nilai, NE= nilai efektivitas, NP= nilai produk, V= varietas jagung hibrida, M= metode penggilingan, *= kombinasi perlakuan terbaik berdasarkan variabel fisik dan fungsional.
Perlakuan V1M1 VIM2 V2M1 V2M2 V3M1 V3M2 V4M1
Variabel fisik dan fungsional
BV BN NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP Derajat putih (L) 1 0,10 0,00 0,00 0,99 0,10 0,01 0,00 0,99 0,10 0,05 0,00 1,00 0,10 0,06 0,01 Viskositas maks. 1 0,10 0,50 0,05 0,42 0,04 0,54 0,05 0,38 0,04 0,62 0,06 0,46 0,05 0,73 0,07 Breakdown visc 0,9 0,09 0,68 0,06 1,00 0,09 0,00 0,00 0,32 0,03 0,23 0,02 0,55 0,05 0,03 0,00 Swelling power 0,9 0,09 0,83 0,08 0,94 0,09 0,00 0,00 0,14 0,01 0,65 0,06 0,77 0,07 0,26 0,02 Kelarutan 0,9 0,09 0,75 0,07 0,82 0,07 0,62 0,06 0,73 0,07 0,07 0,01 0,55 0,05 0,27 0,02 Setback visc 0,9 0,09 0,93 0,08 1,00 0,09 0,00 0,00 0,09 0,01 0,23 0,02 0,23 0,02 0,07 0,01 Rendemen 0,8 0,08 0,00 0,00 0,35 0,03 0,13 0,01 0,71 0,06 0,19 0,02 0,61 0,05 0,12 0,01 KPA 0,8 0,08 0,59 0,05 0,00 0,00 1,00 0,08 0,40 0,03 0,96 0,08 0,36 0,03 0,92 0,07 Kapasitas emulsi 0,8 0,08 0,98 0,08 0,68 0,06 0,60 0,05 0,50 0,04 0,53 0,04 0,42 0,03 0,55 0,04 Densitas kamba 0,7 0,07 1,00 0,07 0,27 0,02 0,99 0,07 0,13 0,01 0,92 0,07 0,15 0,01 0,86 0,06 Suhu awal gelatinisasi 0,6 0,06 0,45 0,03 0,33 0,02 0,58 0,04 0,33 0,02 0,67 0,04 0,42 0,03 0,75 0,05 Suhu puncak gelatinisasi 0,6 0,06 0,09 0,01 0,00 0,00 1,00 0,06 0,54 0,03 0,54 0,03 0,35 0,02 0,74 0,04 Jumlah 9,9 1,00 0,57 0,61* 0,42 0,45 0,45 0,51 0,42
Perlakuan V4M2 V5M1 V5M2 V6M1 V6M2 V7M1 V7M2
Variabel fisik dan fungsional
BV BN NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP NE NP Derajat putih (L) 1 0,10 1,00 0,10 0,05 0,00 1,00 0,10 0,07 0,01 0,99 0,10 0,08 0,01 0,99 0,10 Viskositas maks. 1 0,10 0,58 0,06 0,38 0,04 0,15 0,02 1,00 0,10 0,69 0,07 0,38 0,04 0,00 0,00 Breakdown visc 0,9 0,09 0,42 0,04 0,61 0,06 0,90 0,08 0,19 0,02 0,48 0,04 0,61 0,06 0,94 0,09 Swelling power 0,9 0,09 0,35 0,03 0,58 0,05 0,82 0,07 0,32 0,03 0,46 0,04 0,84 0,08 1,00 0,09 Kelarutan 0,9 0,09 0,38 0,03 0,76 0,07 0,88 0,08 0,00 0,00 0,18 0,02 0,92 0,08 1,00 0,09 Setback visc 0,9 0,09 0,16 0,01 0,36 0,03 0,48 0,04 0,11 0,01 0,18 0,02 0,36 0,03 0,45 0,04 Rendemen 0,8 0,08 0,69 0,06 0,31 0,02 0,75 0,06 0,50 0,04 1,00 0,08 0,18 0,01 0,65 0,05 KPA 0,8 0,08 0,28 0,02 0,70 0,06 0,07 0,01 0,79 0,06 0,11 0,01 0,61 0,05 0,01 0,00 Kapasitas emulsi 0,8 0,08 0,45 0,04 0,61 0,05 0,51 0,04 0,04 0,00 0,00 0,00 1,00 0,08 0,76 0,06 Densitas kamba 0,7 0,07 0,19 0,01 0,93 0,07 0,17 0,01 0,79 0,06 0,00 0,00 0,96 0,07 0,32 0,02 Suhu awal gelatinisasi 0,6 0,06 0,45 0,03 0,33 0,02 0,00 0,00 1,00 0,06 0,50 0,03 0,39 0,02 0,00 0,00 Suhu puncak gelatinisasi 0,6 0,06 0,48 0,03 0,22 0,01 0,01 0,01 0,61 0,04 0,09 0,01 0,09 0,01 0,02 0,00 Jumlah 1,00 0,46 0,49 0,52 0,43 0,41 0,54 0,55
129
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Riyan Anggriawan, dilahirkan di
Purbalingga pada tanggal 26 November 1988 sebagai
anak dari pasangan Bapak Priyono dan Ibu Sri Hastuti.
Saat ini penulis bertempat tinggal di Jl. Brobahan PR No
12 Rt 04/04, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten
Banyumas (53114) dengan nomor telepon 085729222048
dan alamat email [email protected]. Penulis
memulai pendidikan dasar di SD Negeri 1 Kranji lulus tahun 2000, kemudian
melanjutkan ke jenjang tingkat menengah pertama di SMP Negeri 6 Purwokerto
lulus tahun 2003.
Jenjang pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA
Negeri 2 Purwokerto dan melalui jalur PMDK dan diterima di Universitas
Jenderal Soedirman Fakultas Pertanian Program Studi Teknologi Hasil Pertanian.
Selama kuliah penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian
(HIMATETA) menjabat sebagai staf bidang keilmuan masa kepengurusan 2007
s/d 2008, staf BSO peduli pangan masa kepengurusan 2008 s/d 2009 dan aktif
juga di Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI).
130