591-643-1-pb.pdf
DESCRIPTION
591TRANSCRIPT
Artikel Penelitian
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008
Korelasi Kadar βββββ-Karoten danhsC-Reactive Protein Serum Pasien
Penyakit Jantung Koroner
Imelda T. Pardede,* Savitri Sayogo,** Lukman H. Makmun***
*Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Pekanbaru
**Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
***Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak: β-karoten merupakan salah satu antioksidan yang penting untuk mencegah terjadinya
stres oksidatif. Penyakit jantung koroner (PJK) berhubungan dengan peningkatan stres oksidatif
dan inflamasi yang ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Desain
penelitian cross sectional, bertujuan mengetahui korelasi antara kadar β-karoten dengan kadar
high sensitivity (hs)CRP serum pasien PJK. Penelitian dilakukan di Poliklinik Jantung Divisi
Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI dan Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN-
CM dengan subjek penelitian pasien PJK laki-laki berjumlah 52 orang. Median kadar β-karoten
serum 0,30 (0,00–6,39) µmol/L, dengan 50% subjek tergolong rendah. Median kadar hsCRP
serum 1,59 (0,11–21,60) mg/L, dan 69,2% subjek memiliki kadar hsCRP normal. Didapatkan
korelasi negatif derajat sangat lemah dan tidak bermakna (r= –0,006; p=0,966) antara kadar
kadar β-karoten dengan kadar hsCRP serum namun terdapat korelasi positif derajat sedang
yang bemakna antara IMT dengan kadar hsCRP (r=0,503; p=0,000). Variabel lain yang diteliti
tidak memperlihatkan korelasi yang bermakna. Hasil penelitian menunjukkan korelasi yang
tidak bermakna antara kadar β-karoten dengan kadar hsCRP serum pasien PJK
Kata kunci: β-karoten, hsCRP, PJK
242
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008
Correlation Serum Concentration of βββββ-Carotene and
hsC-Reactive Protein in Coronary Artery Disease Patients
Imelda T. Pardede,* Savitri Sayogo,* Lukman H. Makmun**
*Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Pekanbaru
**Department of Clinical Nutrition, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta
***Department of Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta
Abstract: β-carotene is one of the most important antioxidants in preventing oxidative stress.
Coronary artery disease (CAD) is associated with increased oxidative stress and inflammation
marked by increased concentration of C-reactive protein (CRP). This cross sectional study was
aimed to investigate correlation between serum concentration of β-carotene and high sensitivity
(hs)CRP in CAD patients. The study was conducted at Cardiology Division of Internal Medicine
Department and Integrated Cardiovascular Services, Cipto Mangunkusumo General Hospital
Jakarta on 52 male CAD patients. Median of serum β-carotene was 0.30 (0.00–6.39) µmol/L,
with 50% subjects were categorized into low serum β-carotene. Median of serum hsCRP was 1.59
(0.11–21.60) mg/L, with 69.2% subjects had normal serum hsCRP. There was a very weak,
negative, insignificant correlation (r= –0.006; p=0.966) between serum β-carotene and hsCRP
but there was a moderate positive significant correlation between body mass index (BMI) and
serum hsCRP (r=0.503; p=0.000). There were no significant correlations between other vari-
ables observed. These results show there is no significant correlation between serum concentra-
tion of â-carotene and hsCRP in CAD patients.
Key words: β-carotene, hsCRP, CAD
Pendahuluan
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyakit
pada sistem kardiovaskuler yang terjadi akibat penyempitan
pembuluh darah, terutama disebabkan oleh proses
aterosklerosis pada arteri koronaria.1 Banyak faktor yang
berperan pada proses aterosklerosis, terutama stres oksidatif
dan inflamasi sel endotel.2 Peningkatan kadar kolesterol low-
density lipoprotein (k-LDL) merupakan salah satu faktor
risiko aterosklerosis karena keadaan tersebut memudahkan
terjadinya oksidasi LDL pada lapisan subintima sehingga
menghasilkan reactive oxygen species (ROS). Peningkatan
produksi ROS yang melebihi kapasitas antioksidan sel akan
menyebabkan stres oksidatif.1 Keadaan lain yang juga
meningkatkan stres oksidatif adalah obesitas, diabetes
melitus, hipertensi dan merokok.3
Kerusakan akibat stres oksidatif dapat dicegah oleh
pertahanan antioksidan. Beta karoten sebagai salah satu
karotenoid terpenting memiliki aktivitas antioksidan, dapat
meredam reaktivitas oksigen singlet, menangkap radikal
bebas dan mencegah peroksidasi lipid. In vitro, β-karoten
menghambat inisiasi oksidasi LDL dan mengurangi degradasi
LDL oleh makrofag.4 Hasil beberapa penelitian terdahulu
memperlihatkan peningkatan risiko PJK pada individu dengan
kadar β-karoten serum yang rendah.5
Stres oksidatif akan memodulasi ekspresi gen mediator
inflamasi melalui aktivasi jalur transkripsi nuclear factor
kappa B (NF-κB) yang menginduksi produksi dan sekresi
molekul adhesi serta kemokin dari sel endotel. Hal tersebut
mengaktivasi makrofag untuk mensekresi sitokin-sitokin
proinflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), IL-6 dan tumor ne-
crosis factor-α (TNF-α) kemudian menginduksi produksi pro-
tein inflamasi dari hati seperti C-reactive protein (CRP).6
Penelitian Taniguchi et al,7 menunjukkan terjadinya
peningkatan kadar CRP pada penderita PJK dibandingkan
orang sehat dan peningkatannya berhubungan dengan
derajat stenosis arteri koronaria. Faktor lain yang ber-
hubungan dengan peningkatan kadar CRP di antaranya
obesitas, kebiasaan merokok, serta jenis kelamin perempuan.
Asupan β-karoten dan kadar β-karoten serum berhubungan
terbalik dengan kadar CRP serum.2,8,9
Metode
Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif
menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data
dilakukan Juni hingga Agustus 2007. Populasi penelitian
adalah pasien PJK laki-laki usia 35–65 tahun yang berobat
jalan di Poliklinik Jantung Divisi Kardiologi FKUI dan
Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN-CM Jakarta selama bulan
Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner
243
Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008
Juni 2007 hingga Agustus 2007. Jumlah subjek penelitian
dihitung dengan menggunakan formula korelasi10:
Zá + Z
â 2
n = + 3
0,5 ln [(1 + r)/(1 – r) ]
dengan r sebagai perkiraan koefisien korelasi untuk korelasi
kadar β-karoten serum dengan kadar CRP serum pada pasien
PJK diperkirakan sebesar 0,4. Setelah memperhitungkan 10%
kemungkinan drop out, didapatkan jumlah subjek yang
dibutuhkan seluruhnya sejumlah 52 orang. Diagnosis PJK
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis,
elektrokardiogram (EKG), treadmill stress test dan atau
angiografi koroner11 yang dilakukan oleh dokter yang
merawat. Kriteria eksklusi adalah mengonsumsi suplemen
antioksidan satu bulan sebelumnya, mengonsumsi obat yang
dapat mempengaruhi absorpsi lemak, sedang mengalami
proses infeksi akut atau kronis dan atau sedang mengalami
sindrom koroner akut. Infeksi baik akut maupun kronis
diketahui dengan menanyakan riwayat demam, sakit gigi dan
nyeri sendi serta hasil pemeriksaan LED >50 mm/jam.12
Data dikumpulkan melalui wawancara dengan kuesioner
mencakup data demografi berupa usia, tingkat pendidikan
dan penghasilan, kebiasaan merokok, dan asupan makanan.
Subjek dikategorikan bukan perokok (bila tidak pernah
merokok sama sekali), mantan perokok (sudah berhenti
merokok e”6 bulan sebelumnya) dan perokok (masih merokok
hingga saat ini). Berat-ringannya kebiasaan merokok dinilai
berdasarkan Indeks Brinkman.13
Asupan energi total, lemak dan serat dinilai dengan
metode recall 2 x 24 jam terakhir. Asupan β-karoten selama
satu bulan terakhir menggunakan metode FFQ semi kuantitatif
dengan menggunakan contoh makanan.14 Analisis data
menggunakan program Nutrisurvey 2005.
Asupan energi dihitung sebagai persentase terhadap
kebutuhan energi total (KET) yang ditentukan dengan for-
mula Harris-Benedict.15 Asupan lemak dihitung sebagai
persentase terhadap asupan energi total.16 Asupan β-karoten
termasuk adekuat bila bernilai 12–24 mg per hari.17 Asupan
serat dikatakan adekuat bila sesuai dengan rekomendasi
NCEP/ATP III, 20–30 gram per hari.18
Pengukuran antropometri meliputi berat badan dan
tinggi badan sesuai metode standard, kemudian digunakan
untuk menentukan indeks massa tubuh (IMT). Klasifikasi
status nutrisi yang digunakan adalah klasifikasi berdasarkan
IMT untuk populasi Asia Pasifik.14 Pemeriksaan laboratorium
meliputi pemeriksaan kadar β-karoten serum dengan
menggunakan metode high performance liquid chromato-
graphy (HPLC) dengan nilai normal berkisar antara 0,3–0,6
µmol/L.4 Kadar CRP serum dinilai dengan metode
Immunochemiluminescent high-sensitivity CRP assay,
dengan nilai hsCRP>3 mg/L dikategorikan meningkat.6
Spesimen darah diambil dari vena kubiti sebanyak 5 mL.
}{
Analisis univariat dilakukan dengan uji normalitas
Kolmogorov–Smirnov. Data yang berdistribusi normal
dinyatakan sebagai nilai rata-rata dan simpang baku, bila
distribusi tidak normal dinyatakan sebagai nilai median dan
rentang minimum–maksimum. Korelasi antara dua variabel
dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman’s Rank
dengan batas kemaknaan p<0,05.10 Pengolahan data
dilakukan dengan peranti lunak Statistical Program for So-
cial Science (SPSS) versi 11.5.
Hasil Penelitian
Tabel 1 memperlihatkan sebaran subjek berdasarkan usia,
tingkat pendidikan dan penghasilan. Tabel 2 merupakan
sebaran status nutrisi dan kebiasaan merokok subjek. Tampak
paling banyak subjek tergolong obes I (48,1%) Status nutrisi
dinilai dengan menghitung IMT dan diklasifikasi berdasarkan
kriteria WHO untuk populasi Asia-Pasifik. Tampak pula
sebagian besar subjek (84,6%) merupakan individu yang telah
terpapar rokok (terdiri dari perokok dan mantan perokok).
Tabel 1. Sebaran Karakteristik Demografi Subjek Penelitian
(n=52)
Karakteristik Frekuensi %
Usia (55,7±6,2 tahun)*
35–49 tahun 6 11,5
50–65 tahun 46 88,5
Tingkat pendidikan
Rendah 9 17,3
Sedang (tamat SLTA) 23 44,2
Tinggi (tamat akademi/ 20 38,5
perguruan tinggi)
Tingkat penghasilan
Di bawah UMP$ 37 71,2
Di atas UMP$ 15 28,8
*Nilai rerata usia$UMP: upah minimum provinsi DKI Jakarta tahun 2006
Tabel 2. Sebaran Status Gizi dan Kebiasaan Merokok Subjek
Penelitian (n=52)
Variabel Frekuensi %
Status gizi (24,99 ± 3,93 kg/m2)*
BB kurang 2 3,8
Normal 15 28,8
BB lebih
Berrisiko 7 13,5
Obes I 25 48,1
Obes II 3 5,8
Kebiasaan merokok
Bukan perokok 8 15,4
Mantan perokok 31 59,6
Perokok
Ringan 2 3,8
Sedang 6 11,5
Berat 5 9,6
*nilai rerata IMT
244
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008
Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner
Tabel 3 memperlihatkan sebaran asupan energi, lemak
dan β-karoten subjek. Klasifikasi energi berdasarkan
persentase asupan energi terhadap kebutuhan energi per
hari, dengan klasifikasi asupan lemak berdasarkan persentase
asupan lemak terhadap asupan energi per hari. Tampak bahwa
sebagian besar subjek memiliki asupan lemak lebih, dan
sebagian besar tergolong asupan β-karoten rendah.
Tabel 3. Sebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Asupan
Nutrien (n=52)
Klasifikasi asupan nutrien Frekuensi %
Energi (1560,96 ± 466,08 kkal)*
Kurang 26 50
Adekuat 23 44,2
Lebih 3 5,8
Lemak (50,82 ± 18,47 gram)*
Kurang 4 7,7
Adekuat 11 21,2
Lebih 37 71,1
β-karoten (2,75 (0,1–35) mg)**
Rendah 49 94,2
Adekuat 2 3,9
Tinggi 1 1,9
*Nilai rerata; **Nilai median
Distribusi kadar β-karoten dan hsCRP serum subjek
tergambar pada Tabel 4 dan tampak 50% subjek memiliki kadar
kadar β-karoten yang tergolong rendah dan sebagian besar
subjek memiliki kadar hsCRP yang normal.
Tabel 4. Sebaran Kadar β-karoten dan hsCRP Serum Subjek
Penelititan (n=52)
Kadar Frekuensi %
β-karoten serum
(0,30 (0.00–6,39) µmol/L)**
Rendah 26 50
Normal 7 13,5
Tinggi 19 36,5
hsCRP serum (1,59 (0,11–21,60) mg/L)**
Normal 36 69,2
Tinggi 16 30,8
**Nilai median
Gambar 1 memperlihatkan grafik korelasi antara asupan
β-karoten dengan kadar β-karoten serum (a) dan antara
asupan lemak dengan kadar β-karoten serum (b). Kedua grafik
memperlihatkan hubungan yang tidak bermakna antara
asupan β-karoten dan asupan lemak dengan kadar β-karoten
serum. Korelasi tetap lemah dan tidak bermakna setelah nilai-
nilai outlier dikeluarkan, yaitu r=0,040; p=0,802 antara asupan
lemak dengan kadar β-karoten serum dan r=0,089; p=0,575
antara asupan β-karoten dengan kadar β-karoten serum.
Gambar 1. Korelasi Antara Asupan βββββ-karoten dengan Kadar
βββββ-karoten Serum (a) dan Korelasi Antara Asupan
Lemak dengan Kadar βββββ-karoten Serum (b)
Gambar 2a memperlihatkan korelasi antara IMT dengan
kadar β-karoten serum sangat lemah dan tidak bermakna, dan
tetap tidak bermakna (r=0,121; p=0,459) setelah nilai-nilai
outlier disingkirkan. Korelasi antara IMT dengan kadar
hsCRP serum (gambar 2b) didapatkan korelasi positif derajat
sedang (r=0,503) yang sangat bermakna (p=0.000).
Gambar 3a memperlihatkan korelasi negatif derajat
sedang tidak bermakna antara indeks Brinkman dengan kadar
β-karoten serum dan korelasi negatif derajat sangat lemah
tidak bermakna antara indeks Brinkman dengan kadar hsCRP
serum pada subjek perokok (gambar 3b).
r=0,171
p=0,226
0.0 10.0 20.0 30.0
Asupan B-karoten (mg)
0.0000
2.0000
4.0000
6.0000
Kadar
B-k
aro
ten s
eru
m (um
ol/L)
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
���
�
�
�
�
�
� ��
�
�
��
� �
�
�� �����
�
�
�
��
�
�
�
��
�
�
��
�
r=0,075
p=0,598
20.0 40.0 60.0 80.0
Asupan lemak (gram)
0.0000
2.0000
4.0000
6.0000
Kadar
B-k
aro
ten s
eru
m (um
ol/L)
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
� ��
�
�
�
�
�
���
�
�
��
� �
�
����
���
�
�
�
��
�
�
�
� �
�
�
��
�
245
Kadar β-karoten serum (µmol/L)
Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008
20.00 25.00 30.00 35.00 40.00
IMT (kg/m2)
0.000
5.000
10.000
15.000
20.000
Kadar hsC
RP s
eru
m (m
g/L
)
�
�
�
�
� �
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
��
�
� �
�
�
� �
��
�
�
��
�
���
�
�
�
��
�
�
��
�
�
�
�
�
�
r=0,503
p=0,000
Gambar 2. Korelasi Antara IMT dengan Kadar βββββ-karoten Se-
rum (a) dan Korelasi Antara IMT dengan Kadar
hsCRP Serum (b)
Gambar 4. Korelasi Antara Kadar βββββ-karoten dengan Kadar
hsCRP serum
Gambar 4 menggambarkan korelasi negatif derajat sangat
lemah (r= –0,006) yang tidak bermakna (p=0,966) antara kadar
β-karoten serum dengan kadar hsCRP serum. Setelah nilai-
nilai outlier dikeluarkan, tetap didapat korelasi yang tidak
bermakna (r= –0,222; p=0,158).
Pembahasan
Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini asupan β-karoten satu bulan terakhir
dinilai dengan metode FFQ semikuantitatif yang sangat
tergantung pada daya ingat subjek. Periode waktu yang
panjang dapat berpengaruh terhadap dalam terjadinya un-
derestimated atau overestimated asupan nutrien dan flat
slope syndrome.19 Pemeriksaan kadar β-karoten yang
246
r=0,033
p=0,815
20.00 25.00 30.00 35.00 40.00
IMT (kg/m2)
0.0000
2.0000
4.0000
6.0000
Kadar B-k
aro
ten s
eru
m (um
ol/L)
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
���
�
�
�
�
�
���
�
�
� �
��
�
�� ��
� ��
�
�
�
��
�
�
�
��
�
�
��
�
r= -0,234
p=0,442
500 1000 1500
Indeks Brinkman
0.0000
0.5000
1.0000
1.5000
Kadar B-k
aro
ten s
eru
m (um
ol/L)
�
�
�
�
�
�
��
��
�
�
�
r= -0,022
p=0,943
500 1000 1500
Indeks Brinkman
0.000
5.000
10.000
15.000
20.000
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
r= -0,006
p=0,966
0.0000 2.0000 4.0000 6.0000
Kadar B-karoten serum (umol/L)
0.000
5.000
10.000
15.000
20.000
Kadar hsC
RP s
eru
m (m
g/L
)
�
�
�
�
��
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
��
�
��
�
�
��
��
�
�
��
�
���
�
�
�
��
�
�
��
�
�
�
�
�
�
Gambar 3. Korelasi Antara Indeks Brinkman dengan Kadar βββββ-karoten serum (a) dan Korelasi Antara Indeks
Brinkman dengan Kadar hsCRP serum (b)
Kadar β-karoten serum (µmol/L)
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008
Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner
dilakukan adalah kadar β-karoten serum, sedangkan sebagai
nutrien larut lemak penilaian kadar β-karoten pada jaringan
lemak merupakan penanda asupan β-karoten jangka panjang
yang paling baik.20 Subjek yang diambil adalah semua pasien
yang didiagnosis PJK tanpa memperhatikan berat-ringannya
derajat penyakit, sehingga hasil penelitian ini hanya dapat
memberikan gambaran pada pasien PJK secara umum.
Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik demografi subjek tampak pada tabel 1.
Berdasarkan status gizi, 48,1% termasuk kategori obes I (IMT
25–29,9 kg/m2) (Tabel 2). Menurut NCEP/ATP III, kelebihan
BB merupakan salah satu faktor risiko PJK yang disebut life-
habit risk factors.20 Obesitas meningkatkan risiko PJK melalui
dua mekanisme utama; resistensi insulin yang akan
meningkatkan ekpresi mediator-mediator inflamasi dan secara
langsung berhubungan dengan respon inflamasi melalui
produksi adipositokin.2
Selain BB lebih, merokok merupakan salah satu faktor
risiko utama aterosklerosis dan termasuk faktor yang
diperhitungkan dalam skor Framingham.18 Asap rokok
mengandung berbagai oksidan dan prooksidan yang dapat
menghasilkan radikal bebas dan menurunkan kadar
antioksidan jaringan sehingga memudahkan peroksidasi lipid.
Oksidasi molekul LDL akan menyebabkan pembentukan sel
busa oleh makrofag yang merupakan mekanisme kunci
aterosklerosis.21
Dari 52 subjek 84,6% merupakan individu yang telah
terpapar rokok (terdiri dari perokok dan mantan perokok)
(Tabel 2). Pada subjek perokok dan mantan perokok,
didapatkan frekuensi kadar CRP yang meningkat lebih banyak
(31,8%) daripada kelompok subjek bukan perokok (25%).
Keadaan ini sesuai dengan penelitian Miller et al22 bahwa
prevalensi kadar CRP lebih tinggi pada kelompok individu
yang pernah terpapar rokok.8,22 Pada pasien PJK, kadar CRP
yang meningkat berhubungan dengan peningkatan risiko
terjadinya kejadian PJK selanjutnya seperti infark miokard
dan kematian mendadak.23
Asupan Energi, Lemak dan βββββ-karoten
Rerata persentase asupan energi terhadap kebutuhan
energi total 82,26±26,00%, dan 50% subjek memiliki asupan
energi kurang dari kebutuhan (Tabel 3). Hal ini tidak tercermin
pada IMT subjek yang sebagian besar (67,4%) termasuk
kategori BB lebih. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh
beberapa hal. Salah satunya adalah estimasi berlebih
kebutuhan energi basal yang dihitung dengan menggunakan
persamaan Harris-Benedict.15 Kemungkinan lain terjadinya
underreporting dan flat slope syndrome pada saat wawancara
asupan makanan.19
Rerata persentase asupan lemak terhadap asupan energi
total sebesar 29,36 ± 7,22% dan sebagian besar subjek (71,1%)
mempunyai asupan lemak yang tergolong lebih (Tabel 3).16
Mandel et al24 mendapatkan rerata persentase asupan lemak
terhadap asupan energi total pada pasien PJK sebesar
24±1,2%. Secara teori, asupan lemak akan meningkatkan
absorpsi β-karoten. Pada penelitian ini secara keseluruhan
subjek mengolah makanan dengan menggunakan minyak
kelapa sawit. Pengolahan makanan dengan menggunakan
minyak kelapa sawit lebih baik, karena merupakan golongan
minyak dengan asam lemak rantai panjang. Asam lemak
tersebut berperan dalam pembentukan kilomikron yang
merupakan alat pengangkut β-karoten dari enterosit menuju
sirkulasi.25
Mandel et al24 mendapatkan rerata asupan β-karoten 42
subjek penderita PJK 0,4±0,078 mg/1000 kkal/hari.24 Pada
penelitian ini asupan β-karoten/1000 kkal/hari subjek memiliki
median 1,69 (0,13–25,99) mg. Saat ini belum terdapat nilai
anjuran asupan β-karoten untuk kesehatan, namun penelitian
Mosca et al seperti yang dikutip dalam buku panduan oleh
Institute of Medicine,17 menunjukkan asupan β-karoten 12–
24 mg per hari dapat mengurangi kerentanan LDL terhadap
oksidasi pada penderita PJK.17 Berdasarkan nilai tersebut,
94,2% subjek mempunyai asupan β-karoten yang rendah
(Tabel 3).
Asupan β-karoten subjek yang rendah dapat dipe-
ngaruhi oleh pemilihan dan pengolahan bahan makanan
sumber β-karoten. Bahan makanan sumber β-karoten yang
dikonsumsi subjek sebagian besar merupakan buah-buahan
segar dan sayuran. Buah yang sering dikonsumsi seperti
apel, anggur, pisang, melon dan nanas bukanlah sumber β-
karoten yang baik.26 Buah-buahan yang mengandung cukup
banyak β-karoten seperti mangga, pepaya, sukun, labu, dan
ubi jalar jarang dikonsumsi, kecuali jeruk. Sayuran yang
sering dikonsumsi di antaranya bayam, kangkung, wortel,
tomat, sawi serta daun singkong merupakan bahan makanan
β-karoten yang baik hanya saja sayuran yang dikonsumsi
lebih sering diolah dengan cara direbus atau lalapan.
Bioavailabilitas β-karoten sayuran akan lebih tinggi bila
bahan makanan tersebut dikonsumsi setelah diolah dengan
cara pemanasan ringan.25
Asupan β-karoten yang rendah berhubungan dengan
peningkatan risiko PJK, selain itu diet rendah β-karoten juga
meningkatkan kerentanan terhadap oksidasi.2 Stres oksidatif
yang meningkat dapat mencetuskan terjadinya respon
inflamasi yang dapat diukur dengan peningkatan kadar CRP.
Kadar CRP yang meningkat pada penderita PJK dapat
memberikan prognosis yang kurang baik.7
Kadar βββββ-karoten dan hsCRP Serum
Kadar β-karoten di dalam darah sensitif terhadap asupan
bahan makanan sumber, namun kadar β-karoten di dalam se-
rum juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti usia, jenis
kelamin, indeks massa tubuh, dan kebiasaan merokok.20,27
Limapuluh persen subjek memiliki kadar β-karoten yang
rendah (<0,300 µmol/L) (Tabel 4). Kedaan ini sesuai dengan
penelitian-penelitian sebelumnya mengenai kadar β-karoten
247
Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008
pada pasien PJK, salah satunya Klipstein-Grobusch et al5
yang mendapatkan rerata kadar β-karoten serum pada
kelompok pasien PJK 0,290 ± 0,152 µmol/L.
C-reactive protein merupakan protein fase akut yang
kadarnya meningkat pada inflamasi. Proses inflamasi
berperan penting dalam patogenesis dan progresivitas
aterosklerosis. Berbagai hasil penelitian menyatakan
peningkatan kadar hsCRP pada pasien PJK berhubungan
dengan peningkatan risiko terjadinya kejadian PJK
berikutnya.6,7 Pada penelitian ini 30,8% subjek memiliki kadar
hsCRP tinggi (>3 mg/L).6,7 Burke et al23 menghubungkan
kadar hsCRP dengan plak pada arteri koronaria dan
mendapatkan frekuensi peningkatan kadar CRP pada
penderita plak stabil sebesar 35,2% dan kadar hsCRP
berkorelasi positif dengan jumlah ateroma berkapsul tipis
pada percabangan arteri.
Ateroma berinti lemak yang berdinding tipis sangat
rawan ruptur dan dapat menyebabkan infark miokard.
Keadaan tersebut diperkirakan berhubungan dengan
aktivitas proinflamasi CRP yaitu meningkatkan ekspresi
molekul adhesi sel endotel, aktivasi komplemen serta induksi
kemotaksis leukosit dan produksi faktor jaringan monosit.
Akibatnya terjadi peningkatan produksi sitokin proinflamasi
oleh monosit seperti IL-1, IL-6 dan TNF yang akan menekan
produksi kolagen sel otot polos dan mengaktivasi meta-
loproteinase sehingga terjadi penipisan kapsul plak.6,23 Hasil
yang didapat menunjukkan 30,8% subjek berisiko mengalami
infark miokard.
Bila dikelompokkan berdasarkan kadar β-karoten serum,
tampak subjek dengan kadar hsCRP tinggi lebih banyak
terdapat pada kelompok subjek dengan kadar β-karoten
rendah (34,61%), dibandingkan dengan kelompok β-karoten
normal dan tinggi (Tabel 5). Temuan ini menyokong hubungan
terbalik antara kadar β-karoten dengan kadar hsCRP serum
yang ditemukan Erlinger et al.9
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kadar hsCRP Serum Berdasar-
kan Kadar β-karoten Serum
Kadar Kadar hsCRP
βββββ -karoten Normal (%) Tinggi (%) Jumlah
Rendah 17 (65,39) 9 (34,61) 26
Normal 5 (71,43) 2 (28,57) 7
Tinggi 14 (73,68) 5 (26,32) 9
Korelasi Asupan βββββ-karoten dan Asupan Lemak dengan
Kadar βββββ-karoten Serum
Tangney et al seperti yang dikutip dari Wallström et
al27 mengatakan tidak ada hubungan langsung antara asupan
β-karoten dengan kadarnya di dalam serum atau plasma,
karena pada masing-masing individu terdapat perbedaan
absorpsi, metabolisme dan distribusi β-karoten ke jaringan.
Selain asupan, kadar β-karoten serum juga dipengaruhi oleh
kebiasaan merokok dan asupan lemak. Penelitian Mandel et
al pada penderita PJK mendapatkan tidak adanya korelasi
antara asupan β-karoten dengan kadar β-karoten plasma
(r=0,16; p=0,3).24 Pada penelitian ini juga tidak didapatkan
korelasi yang bermakna antara asupan β-karoten dengan
kadar β-karoten serum.
Korelasi antara asupan lemak dengan kadar β-karoten
serum pada penelitian ini juga tidak bermakna (gambar 1b).
Keadaan tersebut tidak sesuai dengan teori bahwa konsumsi
lemak bersamaan dengan bahan makanan sumber β-karoten
dapat meningkatkan absorpsinya,17 karena hasil analisis
asupan lemak menggambarkan asupan lemak subjek yang
cukup tinggi. Hal tersebut diperkirakan disebabkan oleh
asupan bahan makanan sumber β-karoten yang rendah (<12
mg per hari).
Korelasi IMT dengan Kadar βββββ-karoten dan Kadar hsCRP
Serum
Korelasi antara IMT dengan kadar â-karoten serum pada
penelitian ini sangat lemah dan tidak bermakna (gambar 2a).
Selain IMT, kadar β-karoten yang rendah juga berhubungan
dengan kadar kolesterol non HDL (IDL, LDL dan VLDL) yang
rendah serta asupan alkohol yang tinggi17 yang mungkin
dapat menyebabkan korelasi tersebut tidak bermakna. Hal-
hal tersebut tidak diteliti pada penelitian ini.
Korelasi antara IMT dengan kadar hsCRP serum cukup
kuat dan sangat bermakna (gambar 2b). Selain sebagai
penanda proses inflamasi, CRP berhubungan dengan
kegemukan. Massa lemak, selain sebagai simpanan energi
juga menghasilkan adipositokin dan molekul proinflamasi
seperti interleukin-6 (IL-6) yang merupakan determinan utama
ekspresi gen CRP.8
Fredrikson et al menyatakan peningkatan kadar CRP
berhubungan dengan IMT yang tinggi (P=0,012). Didapatkan
peningkatan kadar CRP seiring peningkatan IMT, dengan
kadar CRP plasma lebih tinggi 40% pada IMT di atas 27,6 kg/
m2 dibandingkan IMT kurang dari 23,1 kg/m2.2 Dengan
demikian, penurunan berat badan dalam penatalaksanaan PJK
diharapkan dapat mengurangi stress oksidatif dan mem-
perbaiki keadaan inflamasi.
Korelasi Indeks Brinkman dengan Kadar βββββ-karoten dan
Kadar hsCRP Serum
Kadar β-karoten di dalam darah berhubungan terbalik
dengan kebiasaan merokok. Rokok mengandung banyak
oksidan dan prooksidan penghasil radikal bebas. Kadar β-
karoten yang rendah pada perokok diperkirakan akibat
meningkatnya pemakaian β-karoten sebagai antioksidan
untuk menangkap radikal bebas dari asap rokok.27 Radikal
bebas dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang
akan menstimulasi faktor transkripsi proinflamasi NFêB.
Peningkatan produksi sitokin proinflamasi (di antaranya IL-
6) akan meningkatkan kadar CRP. Fredrikson et al2 men-
248
Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008
dapatkan peningkatan kadar CRP pada perokok (P=0,023).
Pada penelitian ini terdapat korelasi yang tidak bermakna
antara indeks Brinkman dengan kadar β-karoten serum
(gambar 3a) dan antara indeks Brinkman dengan kadar hsCRP
serum pada subjek perokok (gambar 3b). Hal ini dapat
disebabkan jumlah subjek perokok aktif yang sedikit (n=13).
Korelasi Antara Kadar β β β β β-karoten dengan Kadar hsCRP
Serum
Survey kesehatan oleh badan statistik kesehatan di
Amerika (National Center for Health Statistics of the Cen-
ters for Disease Control and Prevention) pada 14 470
responden mendapatkan hubungan terbalik antara kadar β-
karoten dengan kadar CRP plasma.9 Hubungan antara kadar
β-karoten dengan kadar CRP pada penderita PJK dijelaskan
dengan teori stres oksidatif yang berperan pada patogenesis
aterosklerosis. Mosca et al, seperti yang dikutip dalam
panduan Institute of Medicine, menyatakan bahwa β-karoten
berefek mening-katkan ketahanan molekul LDL terhadap
oksidasi dengan cara memperpanjang fase lag, yaitu interval
waktu yang dihitung sejak paparan ion Cu2+ hingga
dimulainya fase propagasi pada oksidasi LDL.
Korelasi yang tidak bermakna pada penelitian ini dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Stres oksidatif pada penderita
PJK tidak hanya dipengaruhi oleh status β-karoten, namun
juga oleh status antioksidan eksogen lain seperti vitamin C
dan vitamin E, serta status antioksidan endogen. Beberapa
penelitian memperlihatkan dalam sistem keseimbangan
antioksidan, β-karoten bekerja sama dengan vitamin C dan
E.25,27 Selain itu banyak faktor yang juga memengaruhi proses
inflamasi. Fredrikson et al2 serta de Maat dan Kluft8 menun-
jukkan, selain oleh usia, jenis kelamin, IMT, dan kebiasaan
merokok, CRP juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, stres,
kadar lemak darah, tekanan darah sistolik, serta asupan
nutrien lain seperti serat.2,8
Kesimpulan
Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kadar β-
karoten serum dengan kadar hsCRP serum. Terdapat korelasi
positif yang bermakna antara IMT dengan kadar hsCRP se-
rum, sedangkan variabel lain tidak memperlihatkan korelasi
yang bermakna. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
desain uji klinis untuk mengetahui peran â-karoten pada
inflamasi.
Daftar Pustaka
1. Libby P. The pathogenesis of atherosclerosis. In: Kasper DL,
Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL and Jameson JL,
editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. New
York: McGraw-Hill; 2005. p.1425–30.
2. Fredrikson GN, Hedblad B, Nilsson JA, Alm R, Berglund G, Nilsson
J. Association between diet, lifestyle, metabolic cardiovascular
risk factor, and plasma C-reactive protein levels. Metabolism.
2004;53 (11):1436–42.
3. Keaney JF, Larson MG, Vasan RS, Wilson PWF, Lipinska I, Corey
D, et al. Obesity and systemic oxidative stress: Clinical correlates
of oxidative stress in The Framingham Study. Arterioscler Thromb
Vasc Biol. 2003;23:434–40.
4. Sies H Stahl W. Vitamin E and C, β-carotene, and other caro-
tenoids as antioxidants. Am J Clin Nutr. 1995; 62 (suppl.):1315S–
21S.
5. Klipstein-Grobusch K, Launer LJ, Geleijnse JM, Boeing H,
Hofman A, Witteman JCM. Serum carotenoids and atherosclero-
sis: The Rotterdam Study. Atherosclerosis. 2000;148:49–56.
6. Patel VB, Robbins MA, and Topol EJ. C-reactive protein: a
‘golden marker’ for inflammation and coronary artery disease.
Clev Clin J Med. 2001; 68 (6):521–34.
7. Taniguchi H, Momiyama Y, Ohmori R, Yonemura A, Yamashita
T, Tamai S, et al. Association of plasma C-reactive protein levels
with the presence and extent of coronary stenosis in patients
with stable coronary artery disease. Atherosclerosis. 2005;
178:17–177.
8. De Maat MPM Kluft C. Determinants of C-reactive protein
concentration in blood. Ital. Heart J. 2001;2 (3):189–95.
9. Erlinger TP, Guallar E, Miller ER, Stolzenberg-Solomon R, and
Appel LJ. Relationship between systemic markers of inflamma-
tion and serum β-carotene levels. Arch Intern Med.
2001;161:1903–8.
10. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto
SH. Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S. dan Ismael
S, editors. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2.
Jakarta: CV Sagung Seto; 2002.p.259–87.
11. Libby P. Prevention and treatment of atherosclerosis. In: Kasper
DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL and Jameson
JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed.
New York: McGraw-Hill; 2005.p.1430–3.
12. Andresdottir MB, Sigfusson N, Sigvaldason H, Gudnason V. Eryth-
rocyte sedimentation rate, an independent predictor of coronary
heart disease in men and women. Am J Epidemiol. 2003;158:844–
51.
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Faktor risiko dalam
PPOK: Pedoman diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001.
14. Gibson RS. Principles of Nutritional Assessment. 2nd ed. New
York: Oxford University Press; 2005.
15. Gropper SS, Smith JL, Groff JL, editors. Advanced nutrition and
human metabolism. 4th ed. California: Thomson Wadsworth; 2005.
16. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni). Konsensus
pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
Jakarta: Perkeni; 2006.
17. Institute of Medicine: Dietary Reference Intakes for Vitamin C,
Vitamin E, Selenium and Carotenoids. Washington DC: National
Academy Press; 2000.
18. National Cholesterol Education Program (NCEP)/Adult Inter-
vention Panel III (ATP III). Expert panel on detection, evalua-
tion and intervention of high blood cholesterol in adults. 2001.
Diunduh dari http://www.nhlbi.nih.gov/guidlines/cholesterol/atp-
3xsum.pdf. (diakses tanggal 1 Mei 2006).
19. Buzzard M. 24-hour dietary recall and food record methods. In:
Willet W, editor. Nutritional Epidemiology. 2nd ed. New York:
Oxford University Press; 1998.p.50–73.
20. El-Sohemy A, Baylin A, Kabagambe E, Ascherio A, Spiegelman
D, Campos H. Individual carotenoid concentrations in adipose
tissue and plasma as biomarkers of dietary intake. Am J Clin Nutr.
2002;76:172–9.
21. Valkonen M, Kuusi T. Passive smoking induces atherogenic
changes in low-density lipoprotein. Circulation. 1998;97:2012–
16.
22. Miller M, Zhan M, Havas S. High attributable risk of elevated C-
reactive protein level to conventional coronary heart disease
risk factors: The third national health and nutrition examination
survey. Arch Intern Med. 2005;165:2063–8.
249
Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008
23. Burke AP, Tracy RP, Kolodgie F, Malcom GT, Zieske A, Kutys R,
et al. Elevated C-reactive protein values and atherosclerosis in
sudden coronary death: Association with different pathologies.
Circulation. 2002;105:2019-23.
24. Mandel CH, Mosca L, Maimon E, Sievers J, Tsai A, Rock CL.
Dietary intake and plasma concentrations of vitamin E, vitamin
C, and beta carotene in patients with coronary artery disease. J
Am Diet Assoc. 1997;97(6):655–7.
25. Yeum K, Russell RM. Carotenoid bioavailability and bioconver-
sion. Ann Rev Nutr. 2002;22:483–504.
26. Setiawan B, Sulaeman A, Giraud DW, Driskell JA. Carotenoid
content of selected Indonesian fruit. J Food Comp Anal. 2001;
14:169–76.
27. Wallström P, Wirfält E, Lahmann PH, Gullberg B, Janzon L,
Berglund G. Serum concentration of β-carotene and α-tocopherol
are associated with diet, smoking, and general and central
adipocity. Am J Clin Nutr 2001;73:777–85.
HQ
250