591-643-1-pb.pdf

9
Artikel Penelitian Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008 Korelasi Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Serum Pasien Penyakit Jantung Koroner Imelda T. Pardede,* Savitri Sayogo,** Lukman H. Makmun*** *Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Pekanbaru **Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta ***Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Abstrak: β-karoten merupakan salah satu antioksidan yang penting untuk mencegah terjadinya stres oksidatif. Penyakit jantung koroner (PJK) berhubungan dengan peningkatan stres oksidatif dan inflamasi yang ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Desain penelitian cross sectional, bertujuan mengetahui korelasi antara kadar β-karoten dengan kadar high sensitivity (hs)CRP serum pasien PJK. Penelitian dilakukan di Poliklinik Jantung Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI dan Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN- CM dengan subjek penelitian pasien PJK laki-laki berjumlah 52 orang. Median kadar β-karoten serum 0,30 (0,00–6,39) μmol/L, dengan 50% subjek tergolong rendah. Median kadar hsCRP serum 1,59 (0,11–21,60) mg/L, dan 69,2% subjek memiliki kadar hsCRP normal. Didapatkan korelasi negatif derajat sangat lemah dan tidak bermakna (r= –0,006; p=0,966) antara kadar kadar β-karoten dengan kadar hsCRP serum namun terdapat korelasi positif derajat sedang yang bemakna antara IMT dengan kadar hsCRP (r=0,503; p=0,000). Variabel lain yang diteliti tidak memperlihatkan korelasi yang bermakna. Hasil penelitian menunjukkan korelasi yang tidak bermakna antara kadar β-karoten dengan kadar hsCRP serum pasien PJK Kata kunci: β-karoten, hsCRP, PJK 242

Upload: meriam-gita-maulia-suhaidi

Post on 25-Oct-2015

16 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

591

TRANSCRIPT

Page 1: 591-643-1-PB.pdf

Artikel Penelitian

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008

Korelasi Kadar βββββ-Karoten danhsC-Reactive Protein Serum Pasien

Penyakit Jantung Koroner

Imelda T. Pardede,* Savitri Sayogo,** Lukman H. Makmun***

*Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Pekanbaru

**Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

***Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak: β-karoten merupakan salah satu antioksidan yang penting untuk mencegah terjadinya

stres oksidatif. Penyakit jantung koroner (PJK) berhubungan dengan peningkatan stres oksidatif

dan inflamasi yang ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Desain

penelitian cross sectional, bertujuan mengetahui korelasi antara kadar β-karoten dengan kadar

high sensitivity (hs)CRP serum pasien PJK. Penelitian dilakukan di Poliklinik Jantung Divisi

Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI dan Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN-

CM dengan subjek penelitian pasien PJK laki-laki berjumlah 52 orang. Median kadar β-karoten

serum 0,30 (0,00–6,39) µmol/L, dengan 50% subjek tergolong rendah. Median kadar hsCRP

serum 1,59 (0,11–21,60) mg/L, dan 69,2% subjek memiliki kadar hsCRP normal. Didapatkan

korelasi negatif derajat sangat lemah dan tidak bermakna (r= –0,006; p=0,966) antara kadar

kadar β-karoten dengan kadar hsCRP serum namun terdapat korelasi positif derajat sedang

yang bemakna antara IMT dengan kadar hsCRP (r=0,503; p=0,000). Variabel lain yang diteliti

tidak memperlihatkan korelasi yang bermakna. Hasil penelitian menunjukkan korelasi yang

tidak bermakna antara kadar β-karoten dengan kadar hsCRP serum pasien PJK

Kata kunci: β-karoten, hsCRP, PJK

242

Page 2: 591-643-1-PB.pdf

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008

Correlation Serum Concentration of βββββ-Carotene and

hsC-Reactive Protein in Coronary Artery Disease Patients

Imelda T. Pardede,* Savitri Sayogo,* Lukman H. Makmun**

*Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Pekanbaru

**Department of Clinical Nutrition, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta

***Department of Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta

Abstract: β-carotene is one of the most important antioxidants in preventing oxidative stress.

Coronary artery disease (CAD) is associated with increased oxidative stress and inflammation

marked by increased concentration of C-reactive protein (CRP). This cross sectional study was

aimed to investigate correlation between serum concentration of β-carotene and high sensitivity

(hs)CRP in CAD patients. The study was conducted at Cardiology Division of Internal Medicine

Department and Integrated Cardiovascular Services, Cipto Mangunkusumo General Hospital

Jakarta on 52 male CAD patients. Median of serum β-carotene was 0.30 (0.00–6.39) µmol/L,

with 50% subjects were categorized into low serum β-carotene. Median of serum hsCRP was 1.59

(0.11–21.60) mg/L, with 69.2% subjects had normal serum hsCRP. There was a very weak,

negative, insignificant correlation (r= –0.006; p=0.966) between serum β-carotene and hsCRP

but there was a moderate positive significant correlation between body mass index (BMI) and

serum hsCRP (r=0.503; p=0.000). There were no significant correlations between other vari-

ables observed. These results show there is no significant correlation between serum concentra-

tion of â-carotene and hsCRP in CAD patients.

Key words: β-carotene, hsCRP, CAD

Pendahuluan

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyakit

pada sistem kardiovaskuler yang terjadi akibat penyempitan

pembuluh darah, terutama disebabkan oleh proses

aterosklerosis pada arteri koronaria.1 Banyak faktor yang

berperan pada proses aterosklerosis, terutama stres oksidatif

dan inflamasi sel endotel.2 Peningkatan kadar kolesterol low-

density lipoprotein (k-LDL) merupakan salah satu faktor

risiko aterosklerosis karena keadaan tersebut memudahkan

terjadinya oksidasi LDL pada lapisan subintima sehingga

menghasilkan reactive oxygen species (ROS). Peningkatan

produksi ROS yang melebihi kapasitas antioksidan sel akan

menyebabkan stres oksidatif.1 Keadaan lain yang juga

meningkatkan stres oksidatif adalah obesitas, diabetes

melitus, hipertensi dan merokok.3

Kerusakan akibat stres oksidatif dapat dicegah oleh

pertahanan antioksidan. Beta karoten sebagai salah satu

karotenoid terpenting memiliki aktivitas antioksidan, dapat

meredam reaktivitas oksigen singlet, menangkap radikal

bebas dan mencegah peroksidasi lipid. In vitro, β-karoten

menghambat inisiasi oksidasi LDL dan mengurangi degradasi

LDL oleh makrofag.4 Hasil beberapa penelitian terdahulu

memperlihatkan peningkatan risiko PJK pada individu dengan

kadar β-karoten serum yang rendah.5

Stres oksidatif akan memodulasi ekspresi gen mediator

inflamasi melalui aktivasi jalur transkripsi nuclear factor

kappa B (NF-κB) yang menginduksi produksi dan sekresi

molekul adhesi serta kemokin dari sel endotel. Hal tersebut

mengaktivasi makrofag untuk mensekresi sitokin-sitokin

proinflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), IL-6 dan tumor ne-

crosis factor-α (TNF-α) kemudian menginduksi produksi pro-

tein inflamasi dari hati seperti C-reactive protein (CRP).6

Penelitian Taniguchi et al,7 menunjukkan terjadinya

peningkatan kadar CRP pada penderita PJK dibandingkan

orang sehat dan peningkatannya berhubungan dengan

derajat stenosis arteri koronaria. Faktor lain yang ber-

hubungan dengan peningkatan kadar CRP di antaranya

obesitas, kebiasaan merokok, serta jenis kelamin perempuan.

Asupan β-karoten dan kadar β-karoten serum berhubungan

terbalik dengan kadar CRP serum.2,8,9

Metode

Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif

menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data

dilakukan Juni hingga Agustus 2007. Populasi penelitian

adalah pasien PJK laki-laki usia 35–65 tahun yang berobat

jalan di Poliklinik Jantung Divisi Kardiologi FKUI dan

Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN-CM Jakarta selama bulan

Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner

243

Page 3: 591-643-1-PB.pdf

Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008

Juni 2007 hingga Agustus 2007. Jumlah subjek penelitian

dihitung dengan menggunakan formula korelasi10:

Zá + Z

â 2

n = + 3

0,5 ln [(1 + r)/(1 – r) ]

dengan r sebagai perkiraan koefisien korelasi untuk korelasi

kadar β-karoten serum dengan kadar CRP serum pada pasien

PJK diperkirakan sebesar 0,4. Setelah memperhitungkan 10%

kemungkinan drop out, didapatkan jumlah subjek yang

dibutuhkan seluruhnya sejumlah 52 orang. Diagnosis PJK

ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis,

elektrokardiogram (EKG), treadmill stress test dan atau

angiografi koroner11 yang dilakukan oleh dokter yang

merawat. Kriteria eksklusi adalah mengonsumsi suplemen

antioksidan satu bulan sebelumnya, mengonsumsi obat yang

dapat mempengaruhi absorpsi lemak, sedang mengalami

proses infeksi akut atau kronis dan atau sedang mengalami

sindrom koroner akut. Infeksi baik akut maupun kronis

diketahui dengan menanyakan riwayat demam, sakit gigi dan

nyeri sendi serta hasil pemeriksaan LED >50 mm/jam.12

Data dikumpulkan melalui wawancara dengan kuesioner

mencakup data demografi berupa usia, tingkat pendidikan

dan penghasilan, kebiasaan merokok, dan asupan makanan.

Subjek dikategorikan bukan perokok (bila tidak pernah

merokok sama sekali), mantan perokok (sudah berhenti

merokok e”6 bulan sebelumnya) dan perokok (masih merokok

hingga saat ini). Berat-ringannya kebiasaan merokok dinilai

berdasarkan Indeks Brinkman.13

Asupan energi total, lemak dan serat dinilai dengan

metode recall 2 x 24 jam terakhir. Asupan β-karoten selama

satu bulan terakhir menggunakan metode FFQ semi kuantitatif

dengan menggunakan contoh makanan.14 Analisis data

menggunakan program Nutrisurvey 2005.

Asupan energi dihitung sebagai persentase terhadap

kebutuhan energi total (KET) yang ditentukan dengan for-

mula Harris-Benedict.15 Asupan lemak dihitung sebagai

persentase terhadap asupan energi total.16 Asupan β-karoten

termasuk adekuat bila bernilai 12–24 mg per hari.17 Asupan

serat dikatakan adekuat bila sesuai dengan rekomendasi

NCEP/ATP III, 20–30 gram per hari.18

Pengukuran antropometri meliputi berat badan dan

tinggi badan sesuai metode standard, kemudian digunakan

untuk menentukan indeks massa tubuh (IMT). Klasifikasi

status nutrisi yang digunakan adalah klasifikasi berdasarkan

IMT untuk populasi Asia Pasifik.14 Pemeriksaan laboratorium

meliputi pemeriksaan kadar β-karoten serum dengan

menggunakan metode high performance liquid chromato-

graphy (HPLC) dengan nilai normal berkisar antara 0,3–0,6

µmol/L.4 Kadar CRP serum dinilai dengan metode

Immunochemiluminescent high-sensitivity CRP assay,

dengan nilai hsCRP>3 mg/L dikategorikan meningkat.6

Spesimen darah diambil dari vena kubiti sebanyak 5 mL.

}{

Analisis univariat dilakukan dengan uji normalitas

Kolmogorov–Smirnov. Data yang berdistribusi normal

dinyatakan sebagai nilai rata-rata dan simpang baku, bila

distribusi tidak normal dinyatakan sebagai nilai median dan

rentang minimum–maksimum. Korelasi antara dua variabel

dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman’s Rank

dengan batas kemaknaan p<0,05.10 Pengolahan data

dilakukan dengan peranti lunak Statistical Program for So-

cial Science (SPSS) versi 11.5.

Hasil Penelitian

Tabel 1 memperlihatkan sebaran subjek berdasarkan usia,

tingkat pendidikan dan penghasilan. Tabel 2 merupakan

sebaran status nutrisi dan kebiasaan merokok subjek. Tampak

paling banyak subjek tergolong obes I (48,1%) Status nutrisi

dinilai dengan menghitung IMT dan diklasifikasi berdasarkan

kriteria WHO untuk populasi Asia-Pasifik. Tampak pula

sebagian besar subjek (84,6%) merupakan individu yang telah

terpapar rokok (terdiri dari perokok dan mantan perokok).

Tabel 1. Sebaran Karakteristik Demografi Subjek Penelitian

(n=52)

Karakteristik Frekuensi %

Usia (55,7±6,2 tahun)*

35–49 tahun 6 11,5

50–65 tahun 46 88,5

Tingkat pendidikan

Rendah 9 17,3

Sedang (tamat SLTA) 23 44,2

Tinggi (tamat akademi/ 20 38,5

perguruan tinggi)

Tingkat penghasilan

Di bawah UMP$ 37 71,2

Di atas UMP$ 15 28,8

*Nilai rerata usia$UMP: upah minimum provinsi DKI Jakarta tahun 2006

Tabel 2. Sebaran Status Gizi dan Kebiasaan Merokok Subjek

Penelitian (n=52)

Variabel Frekuensi %

Status gizi (24,99 ± 3,93 kg/m2)*

BB kurang 2 3,8

Normal 15 28,8

BB lebih

Berrisiko 7 13,5

Obes I 25 48,1

Obes II 3 5,8

Kebiasaan merokok

Bukan perokok 8 15,4

Mantan perokok 31 59,6

Perokok

Ringan 2 3,8

Sedang 6 11,5

Berat 5 9,6

*nilai rerata IMT

244

Page 4: 591-643-1-PB.pdf

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008

Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner

Tabel 3 memperlihatkan sebaran asupan energi, lemak

dan β-karoten subjek. Klasifikasi energi berdasarkan

persentase asupan energi terhadap kebutuhan energi per

hari, dengan klasifikasi asupan lemak berdasarkan persentase

asupan lemak terhadap asupan energi per hari. Tampak bahwa

sebagian besar subjek memiliki asupan lemak lebih, dan

sebagian besar tergolong asupan β-karoten rendah.

Tabel 3. Sebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Asupan

Nutrien (n=52)

Klasifikasi asupan nutrien Frekuensi %

Energi (1560,96 ± 466,08 kkal)*

Kurang 26 50

Adekuat 23 44,2

Lebih 3 5,8

Lemak (50,82 ± 18,47 gram)*

Kurang 4 7,7

Adekuat 11 21,2

Lebih 37 71,1

β-karoten (2,75 (0,1–35) mg)**

Rendah 49 94,2

Adekuat 2 3,9

Tinggi 1 1,9

*Nilai rerata; **Nilai median

Distribusi kadar β-karoten dan hsCRP serum subjek

tergambar pada Tabel 4 dan tampak 50% subjek memiliki kadar

kadar β-karoten yang tergolong rendah dan sebagian besar

subjek memiliki kadar hsCRP yang normal.

Tabel 4. Sebaran Kadar β-karoten dan hsCRP Serum Subjek

Penelititan (n=52)

Kadar Frekuensi %

β-karoten serum

(0,30 (0.00–6,39) µmol/L)**

Rendah 26 50

Normal 7 13,5

Tinggi 19 36,5

hsCRP serum (1,59 (0,11–21,60) mg/L)**

Normal 36 69,2

Tinggi 16 30,8

**Nilai median

Gambar 1 memperlihatkan grafik korelasi antara asupan

β-karoten dengan kadar β-karoten serum (a) dan antara

asupan lemak dengan kadar β-karoten serum (b). Kedua grafik

memperlihatkan hubungan yang tidak bermakna antara

asupan β-karoten dan asupan lemak dengan kadar β-karoten

serum. Korelasi tetap lemah dan tidak bermakna setelah nilai-

nilai outlier dikeluarkan, yaitu r=0,040; p=0,802 antara asupan

lemak dengan kadar β-karoten serum dan r=0,089; p=0,575

antara asupan β-karoten dengan kadar β-karoten serum.

Gambar 1. Korelasi Antara Asupan βββββ-karoten dengan Kadar

βββββ-karoten Serum (a) dan Korelasi Antara Asupan

Lemak dengan Kadar βββββ-karoten Serum (b)

Gambar 2a memperlihatkan korelasi antara IMT dengan

kadar β-karoten serum sangat lemah dan tidak bermakna, dan

tetap tidak bermakna (r=0,121; p=0,459) setelah nilai-nilai

outlier disingkirkan. Korelasi antara IMT dengan kadar

hsCRP serum (gambar 2b) didapatkan korelasi positif derajat

sedang (r=0,503) yang sangat bermakna (p=0.000).

Gambar 3a memperlihatkan korelasi negatif derajat

sedang tidak bermakna antara indeks Brinkman dengan kadar

β-karoten serum dan korelasi negatif derajat sangat lemah

tidak bermakna antara indeks Brinkman dengan kadar hsCRP

serum pada subjek perokok (gambar 3b).

r=0,171

p=0,226

0.0 10.0 20.0 30.0

Asupan B-karoten (mg)

0.0000

2.0000

4.0000

6.0000

Kadar

B-k

aro

ten s

eru

m (um

ol/L)

���

� ��

��

� �

�� �����

��

��

��

r=0,075

p=0,598

20.0 40.0 60.0 80.0

Asupan lemak (gram)

0.0000

2.0000

4.0000

6.0000

Kadar

B-k

aro

ten s

eru

m (um

ol/L)

� ��

���

��

� �

����

���

��

� �

��

245

Kadar β-karoten serum (µmol/L)

Page 5: 591-643-1-PB.pdf

Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008

20.00 25.00 30.00 35.00 40.00

IMT (kg/m2)

0.000

5.000

10.000

15.000

20.000

Kadar hsC

RP s

eru

m (m

g/L

)

� �

��

� �

� �

��

��

���

��

��

r=0,503

p=0,000

Gambar 2. Korelasi Antara IMT dengan Kadar βββββ-karoten Se-

rum (a) dan Korelasi Antara IMT dengan Kadar

hsCRP Serum (b)

Gambar 4. Korelasi Antara Kadar βββββ-karoten dengan Kadar

hsCRP serum

Gambar 4 menggambarkan korelasi negatif derajat sangat

lemah (r= –0,006) yang tidak bermakna (p=0,966) antara kadar

β-karoten serum dengan kadar hsCRP serum. Setelah nilai-

nilai outlier dikeluarkan, tetap didapat korelasi yang tidak

bermakna (r= –0,222; p=0,158).

Pembahasan

Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini asupan β-karoten satu bulan terakhir

dinilai dengan metode FFQ semikuantitatif yang sangat

tergantung pada daya ingat subjek. Periode waktu yang

panjang dapat berpengaruh terhadap dalam terjadinya un-

derestimated atau overestimated asupan nutrien dan flat

slope syndrome.19 Pemeriksaan kadar β-karoten yang

246

r=0,033

p=0,815

20.00 25.00 30.00 35.00 40.00

IMT (kg/m2)

0.0000

2.0000

4.0000

6.0000

Kadar B-k

aro

ten s

eru

m (um

ol/L)

���

���

� �

��

�� ��

� ��

��

��

��

r= -0,234

p=0,442

500 1000 1500

Indeks Brinkman

0.0000

0.5000

1.0000

1.5000

Kadar B-k

aro

ten s

eru

m (um

ol/L)

��

��

r= -0,022

p=0,943

500 1000 1500

Indeks Brinkman

0.000

5.000

10.000

15.000

20.000

r= -0,006

p=0,966

0.0000 2.0000 4.0000 6.0000

Kadar B-karoten serum (umol/L)

0.000

5.000

10.000

15.000

20.000

Kadar hsC

RP s

eru

m (m

g/L

)

��

��

��

��

��

��

���

��

��

Gambar 3. Korelasi Antara Indeks Brinkman dengan Kadar βββββ-karoten serum (a) dan Korelasi Antara Indeks

Brinkman dengan Kadar hsCRP serum (b)

Kadar β-karoten serum (µmol/L)

Page 6: 591-643-1-PB.pdf

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008

Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner

dilakukan adalah kadar β-karoten serum, sedangkan sebagai

nutrien larut lemak penilaian kadar β-karoten pada jaringan

lemak merupakan penanda asupan β-karoten jangka panjang

yang paling baik.20 Subjek yang diambil adalah semua pasien

yang didiagnosis PJK tanpa memperhatikan berat-ringannya

derajat penyakit, sehingga hasil penelitian ini hanya dapat

memberikan gambaran pada pasien PJK secara umum.

Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik demografi subjek tampak pada tabel 1.

Berdasarkan status gizi, 48,1% termasuk kategori obes I (IMT

25–29,9 kg/m2) (Tabel 2). Menurut NCEP/ATP III, kelebihan

BB merupakan salah satu faktor risiko PJK yang disebut life-

habit risk factors.20 Obesitas meningkatkan risiko PJK melalui

dua mekanisme utama; resistensi insulin yang akan

meningkatkan ekpresi mediator-mediator inflamasi dan secara

langsung berhubungan dengan respon inflamasi melalui

produksi adipositokin.2

Selain BB lebih, merokok merupakan salah satu faktor

risiko utama aterosklerosis dan termasuk faktor yang

diperhitungkan dalam skor Framingham.18 Asap rokok

mengandung berbagai oksidan dan prooksidan yang dapat

menghasilkan radikal bebas dan menurunkan kadar

antioksidan jaringan sehingga memudahkan peroksidasi lipid.

Oksidasi molekul LDL akan menyebabkan pembentukan sel

busa oleh makrofag yang merupakan mekanisme kunci

aterosklerosis.21

Dari 52 subjek 84,6% merupakan individu yang telah

terpapar rokok (terdiri dari perokok dan mantan perokok)

(Tabel 2). Pada subjek perokok dan mantan perokok,

didapatkan frekuensi kadar CRP yang meningkat lebih banyak

(31,8%) daripada kelompok subjek bukan perokok (25%).

Keadaan ini sesuai dengan penelitian Miller et al22 bahwa

prevalensi kadar CRP lebih tinggi pada kelompok individu

yang pernah terpapar rokok.8,22 Pada pasien PJK, kadar CRP

yang meningkat berhubungan dengan peningkatan risiko

terjadinya kejadian PJK selanjutnya seperti infark miokard

dan kematian mendadak.23

Asupan Energi, Lemak dan βββββ-karoten

Rerata persentase asupan energi terhadap kebutuhan

energi total 82,26±26,00%, dan 50% subjek memiliki asupan

energi kurang dari kebutuhan (Tabel 3). Hal ini tidak tercermin

pada IMT subjek yang sebagian besar (67,4%) termasuk

kategori BB lebih. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh

beberapa hal. Salah satunya adalah estimasi berlebih

kebutuhan energi basal yang dihitung dengan menggunakan

persamaan Harris-Benedict.15 Kemungkinan lain terjadinya

underreporting dan flat slope syndrome pada saat wawancara

asupan makanan.19

Rerata persentase asupan lemak terhadap asupan energi

total sebesar 29,36 ± 7,22% dan sebagian besar subjek (71,1%)

mempunyai asupan lemak yang tergolong lebih (Tabel 3).16

Mandel et al24 mendapatkan rerata persentase asupan lemak

terhadap asupan energi total pada pasien PJK sebesar

24±1,2%. Secara teori, asupan lemak akan meningkatkan

absorpsi β-karoten. Pada penelitian ini secara keseluruhan

subjek mengolah makanan dengan menggunakan minyak

kelapa sawit. Pengolahan makanan dengan menggunakan

minyak kelapa sawit lebih baik, karena merupakan golongan

minyak dengan asam lemak rantai panjang. Asam lemak

tersebut berperan dalam pembentukan kilomikron yang

merupakan alat pengangkut β-karoten dari enterosit menuju

sirkulasi.25

Mandel et al24 mendapatkan rerata asupan β-karoten 42

subjek penderita PJK 0,4±0,078 mg/1000 kkal/hari.24 Pada

penelitian ini asupan β-karoten/1000 kkal/hari subjek memiliki

median 1,69 (0,13–25,99) mg. Saat ini belum terdapat nilai

anjuran asupan β-karoten untuk kesehatan, namun penelitian

Mosca et al seperti yang dikutip dalam buku panduan oleh

Institute of Medicine,17 menunjukkan asupan β-karoten 12–

24 mg per hari dapat mengurangi kerentanan LDL terhadap

oksidasi pada penderita PJK.17 Berdasarkan nilai tersebut,

94,2% subjek mempunyai asupan β-karoten yang rendah

(Tabel 3).

Asupan β-karoten subjek yang rendah dapat dipe-

ngaruhi oleh pemilihan dan pengolahan bahan makanan

sumber β-karoten. Bahan makanan sumber β-karoten yang

dikonsumsi subjek sebagian besar merupakan buah-buahan

segar dan sayuran. Buah yang sering dikonsumsi seperti

apel, anggur, pisang, melon dan nanas bukanlah sumber β-

karoten yang baik.26 Buah-buahan yang mengandung cukup

banyak β-karoten seperti mangga, pepaya, sukun, labu, dan

ubi jalar jarang dikonsumsi, kecuali jeruk. Sayuran yang

sering dikonsumsi di antaranya bayam, kangkung, wortel,

tomat, sawi serta daun singkong merupakan bahan makanan

β-karoten yang baik hanya saja sayuran yang dikonsumsi

lebih sering diolah dengan cara direbus atau lalapan.

Bioavailabilitas β-karoten sayuran akan lebih tinggi bila

bahan makanan tersebut dikonsumsi setelah diolah dengan

cara pemanasan ringan.25

Asupan β-karoten yang rendah berhubungan dengan

peningkatan risiko PJK, selain itu diet rendah β-karoten juga

meningkatkan kerentanan terhadap oksidasi.2 Stres oksidatif

yang meningkat dapat mencetuskan terjadinya respon

inflamasi yang dapat diukur dengan peningkatan kadar CRP.

Kadar CRP yang meningkat pada penderita PJK dapat

memberikan prognosis yang kurang baik.7

Kadar βββββ-karoten dan hsCRP Serum

Kadar β-karoten di dalam darah sensitif terhadap asupan

bahan makanan sumber, namun kadar β-karoten di dalam se-

rum juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti usia, jenis

kelamin, indeks massa tubuh, dan kebiasaan merokok.20,27

Limapuluh persen subjek memiliki kadar β-karoten yang

rendah (<0,300 µmol/L) (Tabel 4). Kedaan ini sesuai dengan

penelitian-penelitian sebelumnya mengenai kadar β-karoten

247

Page 7: 591-643-1-PB.pdf

Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008

pada pasien PJK, salah satunya Klipstein-Grobusch et al5

yang mendapatkan rerata kadar β-karoten serum pada

kelompok pasien PJK 0,290 ± 0,152 µmol/L.

C-reactive protein merupakan protein fase akut yang

kadarnya meningkat pada inflamasi. Proses inflamasi

berperan penting dalam patogenesis dan progresivitas

aterosklerosis. Berbagai hasil penelitian menyatakan

peningkatan kadar hsCRP pada pasien PJK berhubungan

dengan peningkatan risiko terjadinya kejadian PJK

berikutnya.6,7 Pada penelitian ini 30,8% subjek memiliki kadar

hsCRP tinggi (>3 mg/L).6,7 Burke et al23 menghubungkan

kadar hsCRP dengan plak pada arteri koronaria dan

mendapatkan frekuensi peningkatan kadar CRP pada

penderita plak stabil sebesar 35,2% dan kadar hsCRP

berkorelasi positif dengan jumlah ateroma berkapsul tipis

pada percabangan arteri.

Ateroma berinti lemak yang berdinding tipis sangat

rawan ruptur dan dapat menyebabkan infark miokard.

Keadaan tersebut diperkirakan berhubungan dengan

aktivitas proinflamasi CRP yaitu meningkatkan ekspresi

molekul adhesi sel endotel, aktivasi komplemen serta induksi

kemotaksis leukosit dan produksi faktor jaringan monosit.

Akibatnya terjadi peningkatan produksi sitokin proinflamasi

oleh monosit seperti IL-1, IL-6 dan TNF yang akan menekan

produksi kolagen sel otot polos dan mengaktivasi meta-

loproteinase sehingga terjadi penipisan kapsul plak.6,23 Hasil

yang didapat menunjukkan 30,8% subjek berisiko mengalami

infark miokard.

Bila dikelompokkan berdasarkan kadar β-karoten serum,

tampak subjek dengan kadar hsCRP tinggi lebih banyak

terdapat pada kelompok subjek dengan kadar β-karoten

rendah (34,61%), dibandingkan dengan kelompok β-karoten

normal dan tinggi (Tabel 5). Temuan ini menyokong hubungan

terbalik antara kadar β-karoten dengan kadar hsCRP serum

yang ditemukan Erlinger et al.9

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kadar hsCRP Serum Berdasar-

kan Kadar β-karoten Serum

Kadar Kadar hsCRP

βββββ -karoten Normal (%) Tinggi (%) Jumlah

Rendah 17 (65,39) 9 (34,61) 26

Normal 5 (71,43) 2 (28,57) 7

Tinggi 14 (73,68) 5 (26,32) 9

Korelasi Asupan βββββ-karoten dan Asupan Lemak dengan

Kadar βββββ-karoten Serum

Tangney et al seperti yang dikutip dari Wallström et

al27 mengatakan tidak ada hubungan langsung antara asupan

β-karoten dengan kadarnya di dalam serum atau plasma,

karena pada masing-masing individu terdapat perbedaan

absorpsi, metabolisme dan distribusi β-karoten ke jaringan.

Selain asupan, kadar β-karoten serum juga dipengaruhi oleh

kebiasaan merokok dan asupan lemak. Penelitian Mandel et

al pada penderita PJK mendapatkan tidak adanya korelasi

antara asupan β-karoten dengan kadar β-karoten plasma

(r=0,16; p=0,3).24 Pada penelitian ini juga tidak didapatkan

korelasi yang bermakna antara asupan β-karoten dengan

kadar β-karoten serum.

Korelasi antara asupan lemak dengan kadar β-karoten

serum pada penelitian ini juga tidak bermakna (gambar 1b).

Keadaan tersebut tidak sesuai dengan teori bahwa konsumsi

lemak bersamaan dengan bahan makanan sumber β-karoten

dapat meningkatkan absorpsinya,17 karena hasil analisis

asupan lemak menggambarkan asupan lemak subjek yang

cukup tinggi. Hal tersebut diperkirakan disebabkan oleh

asupan bahan makanan sumber β-karoten yang rendah (<12

mg per hari).

Korelasi IMT dengan Kadar βββββ-karoten dan Kadar hsCRP

Serum

Korelasi antara IMT dengan kadar â-karoten serum pada

penelitian ini sangat lemah dan tidak bermakna (gambar 2a).

Selain IMT, kadar β-karoten yang rendah juga berhubungan

dengan kadar kolesterol non HDL (IDL, LDL dan VLDL) yang

rendah serta asupan alkohol yang tinggi17 yang mungkin

dapat menyebabkan korelasi tersebut tidak bermakna. Hal-

hal tersebut tidak diteliti pada penelitian ini.

Korelasi antara IMT dengan kadar hsCRP serum cukup

kuat dan sangat bermakna (gambar 2b). Selain sebagai

penanda proses inflamasi, CRP berhubungan dengan

kegemukan. Massa lemak, selain sebagai simpanan energi

juga menghasilkan adipositokin dan molekul proinflamasi

seperti interleukin-6 (IL-6) yang merupakan determinan utama

ekspresi gen CRP.8

Fredrikson et al menyatakan peningkatan kadar CRP

berhubungan dengan IMT yang tinggi (P=0,012). Didapatkan

peningkatan kadar CRP seiring peningkatan IMT, dengan

kadar CRP plasma lebih tinggi 40% pada IMT di atas 27,6 kg/

m2 dibandingkan IMT kurang dari 23,1 kg/m2.2 Dengan

demikian, penurunan berat badan dalam penatalaksanaan PJK

diharapkan dapat mengurangi stress oksidatif dan mem-

perbaiki keadaan inflamasi.

Korelasi Indeks Brinkman dengan Kadar βββββ-karoten dan

Kadar hsCRP Serum

Kadar β-karoten di dalam darah berhubungan terbalik

dengan kebiasaan merokok. Rokok mengandung banyak

oksidan dan prooksidan penghasil radikal bebas. Kadar β-

karoten yang rendah pada perokok diperkirakan akibat

meningkatnya pemakaian β-karoten sebagai antioksidan

untuk menangkap radikal bebas dari asap rokok.27 Radikal

bebas dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang

akan menstimulasi faktor transkripsi proinflamasi NFêB.

Peningkatan produksi sitokin proinflamasi (di antaranya IL-

6) akan meningkatkan kadar CRP. Fredrikson et al2 men-

248

Page 8: 591-643-1-PB.pdf

Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008

dapatkan peningkatan kadar CRP pada perokok (P=0,023).

Pada penelitian ini terdapat korelasi yang tidak bermakna

antara indeks Brinkman dengan kadar β-karoten serum

(gambar 3a) dan antara indeks Brinkman dengan kadar hsCRP

serum pada subjek perokok (gambar 3b). Hal ini dapat

disebabkan jumlah subjek perokok aktif yang sedikit (n=13).

Korelasi Antara Kadar β β β β β-karoten dengan Kadar hsCRP

Serum

Survey kesehatan oleh badan statistik kesehatan di

Amerika (National Center for Health Statistics of the Cen-

ters for Disease Control and Prevention) pada 14 470

responden mendapatkan hubungan terbalik antara kadar β-

karoten dengan kadar CRP plasma.9 Hubungan antara kadar

β-karoten dengan kadar CRP pada penderita PJK dijelaskan

dengan teori stres oksidatif yang berperan pada patogenesis

aterosklerosis. Mosca et al, seperti yang dikutip dalam

panduan Institute of Medicine, menyatakan bahwa β-karoten

berefek mening-katkan ketahanan molekul LDL terhadap

oksidasi dengan cara memperpanjang fase lag, yaitu interval

waktu yang dihitung sejak paparan ion Cu2+ hingga

dimulainya fase propagasi pada oksidasi LDL.

Korelasi yang tidak bermakna pada penelitian ini dapat

disebabkan oleh banyak faktor. Stres oksidatif pada penderita

PJK tidak hanya dipengaruhi oleh status β-karoten, namun

juga oleh status antioksidan eksogen lain seperti vitamin C

dan vitamin E, serta status antioksidan endogen. Beberapa

penelitian memperlihatkan dalam sistem keseimbangan

antioksidan, β-karoten bekerja sama dengan vitamin C dan

E.25,27 Selain itu banyak faktor yang juga memengaruhi proses

inflamasi. Fredrikson et al2 serta de Maat dan Kluft8 menun-

jukkan, selain oleh usia, jenis kelamin, IMT, dan kebiasaan

merokok, CRP juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, stres,

kadar lemak darah, tekanan darah sistolik, serta asupan

nutrien lain seperti serat.2,8

Kesimpulan

Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kadar β-

karoten serum dengan kadar hsCRP serum. Terdapat korelasi

positif yang bermakna antara IMT dengan kadar hsCRP se-

rum, sedangkan variabel lain tidak memperlihatkan korelasi

yang bermakna. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan

desain uji klinis untuk mengetahui peran â-karoten pada

inflamasi.

Daftar Pustaka

1. Libby P. The pathogenesis of atherosclerosis. In: Kasper DL,

Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL and Jameson JL,

editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. New

York: McGraw-Hill; 2005. p.1425–30.

2. Fredrikson GN, Hedblad B, Nilsson JA, Alm R, Berglund G, Nilsson

J. Association between diet, lifestyle, metabolic cardiovascular

risk factor, and plasma C-reactive protein levels. Metabolism.

2004;53 (11):1436–42.

3. Keaney JF, Larson MG, Vasan RS, Wilson PWF, Lipinska I, Corey

D, et al. Obesity and systemic oxidative stress: Clinical correlates

of oxidative stress in The Framingham Study. Arterioscler Thromb

Vasc Biol. 2003;23:434–40.

4. Sies H Stahl W. Vitamin E and C, β-carotene, and other caro-

tenoids as antioxidants. Am J Clin Nutr. 1995; 62 (suppl.):1315S–

21S.

5. Klipstein-Grobusch K, Launer LJ, Geleijnse JM, Boeing H,

Hofman A, Witteman JCM. Serum carotenoids and atherosclero-

sis: The Rotterdam Study. Atherosclerosis. 2000;148:49–56.

6. Patel VB, Robbins MA, and Topol EJ. C-reactive protein: a

‘golden marker’ for inflammation and coronary artery disease.

Clev Clin J Med. 2001; 68 (6):521–34.

7. Taniguchi H, Momiyama Y, Ohmori R, Yonemura A, Yamashita

T, Tamai S, et al. Association of plasma C-reactive protein levels

with the presence and extent of coronary stenosis in patients

with stable coronary artery disease. Atherosclerosis. 2005;

178:17–177.

8. De Maat MPM Kluft C. Determinants of C-reactive protein

concentration in blood. Ital. Heart J. 2001;2 (3):189–95.

9. Erlinger TP, Guallar E, Miller ER, Stolzenberg-Solomon R, and

Appel LJ. Relationship between systemic markers of inflamma-

tion and serum β-carotene levels. Arch Intern Med.

2001;161:1903–8.

10. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto

SH. Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S. dan Ismael

S, editors. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2.

Jakarta: CV Sagung Seto; 2002.p.259–87.

11. Libby P. Prevention and treatment of atherosclerosis. In: Kasper

DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL and Jameson

JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed.

New York: McGraw-Hill; 2005.p.1430–3.

12. Andresdottir MB, Sigfusson N, Sigvaldason H, Gudnason V. Eryth-

rocyte sedimentation rate, an independent predictor of coronary

heart disease in men and women. Am J Epidemiol. 2003;158:844–

51.

13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Faktor risiko dalam

PPOK: Pedoman diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001.

14. Gibson RS. Principles of Nutritional Assessment. 2nd ed. New

York: Oxford University Press; 2005.

15. Gropper SS, Smith JL, Groff JL, editors. Advanced nutrition and

human metabolism. 4th ed. California: Thomson Wadsworth; 2005.

16. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni). Konsensus

pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.

Jakarta: Perkeni; 2006.

17. Institute of Medicine: Dietary Reference Intakes for Vitamin C,

Vitamin E, Selenium and Carotenoids. Washington DC: National

Academy Press; 2000.

18. National Cholesterol Education Program (NCEP)/Adult Inter-

vention Panel III (ATP III). Expert panel on detection, evalua-

tion and intervention of high blood cholesterol in adults. 2001.

Diunduh dari http://www.nhlbi.nih.gov/guidlines/cholesterol/atp-

3xsum.pdf. (diakses tanggal 1 Mei 2006).

19. Buzzard M. 24-hour dietary recall and food record methods. In:

Willet W, editor. Nutritional Epidemiology. 2nd ed. New York:

Oxford University Press; 1998.p.50–73.

20. El-Sohemy A, Baylin A, Kabagambe E, Ascherio A, Spiegelman

D, Campos H. Individual carotenoid concentrations in adipose

tissue and plasma as biomarkers of dietary intake. Am J Clin Nutr.

2002;76:172–9.

21. Valkonen M, Kuusi T. Passive smoking induces atherogenic

changes in low-density lipoprotein. Circulation. 1998;97:2012–

16.

22. Miller M, Zhan M, Havas S. High attributable risk of elevated C-

reactive protein level to conventional coronary heart disease

risk factors: The third national health and nutrition examination

survey. Arch Intern Med. 2005;165:2063–8.

249

Page 9: 591-643-1-PB.pdf

Kadar β-Karoten dan hsC-Reactive Protein Penyakit Jantung Koroner

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 7, Juli 2008

23. Burke AP, Tracy RP, Kolodgie F, Malcom GT, Zieske A, Kutys R,

et al. Elevated C-reactive protein values and atherosclerosis in

sudden coronary death: Association with different pathologies.

Circulation. 2002;105:2019-23.

24. Mandel CH, Mosca L, Maimon E, Sievers J, Tsai A, Rock CL.

Dietary intake and plasma concentrations of vitamin E, vitamin

C, and beta carotene in patients with coronary artery disease. J

Am Diet Assoc. 1997;97(6):655–7.

25. Yeum K, Russell RM. Carotenoid bioavailability and bioconver-

sion. Ann Rev Nutr. 2002;22:483–504.

26. Setiawan B, Sulaeman A, Giraud DW, Driskell JA. Carotenoid

content of selected Indonesian fruit. J Food Comp Anal. 2001;

14:169–76.

27. Wallström P, Wirfält E, Lahmann PH, Gullberg B, Janzon L,

Berglund G. Serum concentration of β-carotene and α-tocopherol

are associated with diet, smoking, and general and central

adipocity. Am J Clin Nutr 2001;73:777–85.

HQ

250