5._bab_1
DESCRIPTION
okTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang menjadi masalah
kesehatan serius di seluruh dunia (Bateman et al, 2008). Gejala-gejala asma yang
timbul dapat berakibat pada terganggunya kehidupan sehari-hari sehingga
seseorang tidak dapat beraktivitas dengan optimal. Telah diketahui bahwa tidak
ada kesembuhan untuk asma tetapi penyakit ini dapat dikontrol pada beberapa
pasien (Cazzola, 2008; Bateman et al, 2008). Tujuan pengobatan asma jangka
panjang adalah untuk mencapai dan mempertahankan gejala terkontrol, mencegah
eksaserbasi, memelihara fungsi paru senormal mungkin, memelihara derajat
aktivitas normal termasuk latihan, menghindari efek samping obat asma,
mencegah berkembangnya hambatan aliran udara yang ireversibel dan mencegah
kematian akibat asma (Megantara dkk, 2010).
Sekitar 300 juta penduduk dunia menderita asma dan diperkirakan akan
terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada tahun 2025 (Stanojevic et al,
2012). World Health Report 2001 oleh World Health Organization
(WHO) menunjukkan bahwa 5 penyakit paru utama merupakan
penyebab dari 17,4% kematian di dunia. Kelima penyakit paru
utama itu adalah infeksi paru 7,2%, Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) 4,8%, tuberkulosis 3%, kanker paru/trakea/bronkus
2,1% dan asma 0,3%. Bank Dunia menyatakan kelima penyakit
tersebut merupakan 13,3% dari seluruh Disability Adjusted Life
1
Years (DALY) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia [Depkes RI],
2009; Oemiyati dan Alwi, 2009). Apabila tidak dicegah dan ditangani
dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih
tinggi lagi pada masa akan datang serta mengganggu kualitas hidup pasien
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan, 2007).
Hasil penelitian International Study on Asthma and Alergies
in Childhood (ISAAC) menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi
penyakit asma meningkat dari 4,2% tahun 1995 menjadi 5,4%
tahun 2003 (Oemiati dkk, 2010). Berdasarkan hasil survei
penyakit tidak menular oleh Dirjend PPM & PL tahun 2004,
menunjukkan asma bronkial menempati urutan kedua angka
kesakitan (33%), setelah PPOK (Depkes RI, 2009).
Penyakit asma di Indonesia merupakan 10 besar penyebab
kesakitan dan kematian. Berdasarkan Riskesdas (Riset
Kesehatan Dasar) tahun 2007, penyakit asma ditemukan sebesar
3,5% di Indonesia dan terdapat 17 provinsi dengan prevalensi
asma lebih tinggi dari angka nasional tersebut. Salah satu
diantaranya adalah Sumatera Barat dengan prevalensi diagnosa
oleh tenaga kesehatan dan gejala sebesar 3,6% (Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, 2008).
Dasar penyakit asma adalah inflamasi sehingga obat-obat anti inflamasi
berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas pasien (Rengganis,
2008). Telah diketahui secara luas bahwa obat anti inflamasi yang sering
2
digunakan adalah golongan steroid. Obat ini dapat diberikan secara oral, inhalasi
maupun sistemik (Global Initiative for Asthma [GINA], 2012). Berdasarkan hasil
biopsi spesimen saluran pernapasan pasien asma yang mendapatkan kortikosteroid
inhalasi sebagai terapi jangka panjang ditemukan perubahan histologi yang
minimal. Perubahan tersebut meliputi jumlah sel mast, eosinofil, limfosit-T dan
sel dendritik yang lebih sedikit di mukosa dan submukosa saluran pernapasan.
Selain itu juga terjadi penurunan jumlah kerusakan sel, vaskularitas dan sel goblet
yang mengalami hiperplasia (Fanta, 2009). Jenis, jumlah dan jadwal pemberian
obat ditentukan oleh derajat berat asma atau kontrol asma. Pendekatan bertahap
(stepping up dan stepping down) dalam penatalaksaan asma dianjurkan untuk
memperoleh dan mempertahankan tingkat kontrol (Rengganis, 2008).
Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP),
kortikosteroid inhalasi merupakan obat anti inflamasi yang efektif untuk semua
usia pada semua tahap perawatan asma persisten, baik ringan hingga berat. Jika
digunakan secara teratur, obat tersebut dapat meningkatkan fungsi paru,
mengurangi gejala, mencegah serangan asma dan menurunkan angka kunjungan
ke rumah sakit akibat asma (NAEPP, 2007).
Salah satu masalah dalam penanganan asma pada saat ini adalah sulitnya
untuk mencapai asma terkontrol sebagian maupun terkontrol total. Hasil survei
yang dilakukan oleh Asthma Insight and Reality in Europe (AIRE) mencatat
bahwa pengobatan yang tidak adekuat menjadi penyebab yang terbanyak asma
tidak terkontrol. Kenyataan lain yang ditemukan adalah mayoritas pasien asma
hanya menggunakan agonis β2 sesuai kebutuhan dan hanya 23% yang
menggunakan kortikosteroid inhalasi (Tabri dkk, 2010). Penelitian di Asia Pasifik
3
mendapatkan bahwa pasien asma yang menganggap penyakitnya terkontrol,
ternyata yang terkontrol penuh sebanyak 5% dan yang terkontrol sebagian
sebanyak 35%, hanya 10% yang menggunakan kortikosteroid inhalasi untuk
mengontrol asmanya sedangkan yang menggunakan bronkodilator sebanyak 68%
(Priyanto dkk, 2011).
Keadaan ini membuat klinisi ataupun peneliti memerlukan sebuah alat bantu
yang dapat mendeskripsikan kontrol asma secara kuantitatif atau semikuantitatif.
Salah satu metode tersebut adalah Asthma Control Test (ACT). ACT berupa
kuesioner yang dikeluarkan oleh American Lung Association (ALA) dan dapat
digunakan untuk menilai tingkat kontrol asma, cara ini bersifat subjektif tetapi
validitasnya telah diuji dan dapat digunakan dengan mudah (Juniety dkk, 2010).
Berdasarkan masalah tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian
untuk mengetahui bagaimana hubungan keteraturan penggunaan kortikosteroid
inhalasi dengan tingkat kontrol asma pasien di Poliklinik Paru RSUP Dr. M.
Djamil Padang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut, dapat dirumuskan
masalah penelitian yaitu: apakah terdapat hubungan antara keteraturan
penggunaan kortikosteroid inhalasi dengan tingkat kontrol asma pasien
berdasarkan ACT di Poliklinik Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
4
Mengetahui hubungan keteraturan penggunaan kortikosteroid inhalasi
dengan tingkat kontrol asma pasien berdasarkan ACT di Poliklinik
Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik pasien asma berdasarkan jenis kelamin,
usia, keteraturan penggunaan kortikosteroid inhalasi dan tingkat
kontrol asma pasien berdasarkan ACT di Poliklinik Paru RSUP Dr.
M. Djamil Padang.
2. Mengetahui hubungan jenis kelamin dengan tingkat kontrol asma
pasien berdasarkan ACT di Poliklinik Paru RSUP Dr. M. Djamil
Padang.
3. Mengetahui hubungan usia dengan tingkat kontrol asma pasien
berdasarkan ACT di Poliklinik Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang.
4. Mengetahui hubungan keteraturan penggunaan kortikosteroid
inhalasi dengan tingkat kontrol asma pasien berdasarkan ACT di
Poliklinik Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi praktisi terutama di Bagian Ilmu Penyakit Paru, hasil penelitian ini
diharapkan menambah informasi tentang hubungan keteraturan
penggunaan kortikosteroid inhalasi dengan tingkat kontrol asma pasien
sehingga dapat menentukan edukasi dan terapi pengobatan yang akan
diterapkan.
5
2. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman di bidang penelitian serta meningkatkan
kemampuan dalam menggunakan ilmu pengetahuan yang diperoleh.
6