695-753-1-pb

Upload: ikhsan-ali

Post on 03-Apr-2018

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/28/2019 695-753-1-PB

    1/8

    Tinjauan Pustaka

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

    Sindrom Disfungsi Organ Multipel:Patofisiologi dan Diagnosis

    Velma Herwanto,* Zulkifli Amin**

    *Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

    Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

    Abstrak: Sindrom Disfungsi Organ Multipel (Multiple Organ Dysfunction Syndrome/MODS)

    didefinisikan sebagai adanya fungsi organ yang berubah (melibatkan >2 sistem organ) pada

    pasien yang sakit akut, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi tanpa intervensi.

    Kejadian MODS sebagian besar disebabkan oleh infeksi. Penyebab lain adalah trauma dan

    proses inflamasi non-infeksi. Hipotesis yang diduga berperan dalam terjadinya MODS saat ini

    meliputi hipotesis mediator, hipotesis gut-as motor, hipotesis kegagalan mikrovaskuler,

    hipotesis two-hit, hipotesis kegagalan imunologi, dan hipotesis terintegrasi. Secara umum,

    mekanisme patofisiologi yang mendasari MODS terdiri dari kerusakan seluler primer, perfusi

    jaringan/organ yang inadekuat, kerusakan endotel difus, faktor humoral sirkulasi, mediator

    inflamasi bersirkulasi, malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, kerusakan eritrosit,

    dan efek samping tatalaksana pengobatan. Sistem respirasi, kardiovaskuler, ginjal, hati,

    hematologi, dan SSP merupakan sistem organ utama yang terlibat dan menjadi target evaluasi

    MODS. Pencegahan adalah langkah yang utama dan terpenting, karena hingga saat ini belum

    ditemukan terapi yang spesifik untuk MODS. Manajemen pasien MODS yang terutama bersifat

    suportif.

    Kata kunci: sindrom disfungsi organ multipel, gagal organ multipel, sistem skoring

    54 7

  • 7/28/2019 695-753-1-PB

    2/8

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

    Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

    Velma Herwanto,* Zulkifli Amin**

    *Department of Internal Medicine, School of Medicine University of Indonesia/

    Cipto Mangunkusumo National Hospital

    Abstract: The term Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) describes the presence of

    altered organ function in an acutely ill patient (involves >2 systems), such that homeostasis

    cannot be maintained without intervention. Infection is the most important clinical correlate of the

    syndrome. Other etiology comprises of trauma and non-infectious inflammation process. Some

    hypotheses - such as the mediator hypothesis, gut-as motor hypothesis, microvascular failure

    hypothesis, two-hit hypothesis, and integrated hypothesis - were assumed to have roles in MODS

    pathogenesis. Generally, potential pathophysiologic mechanisms involved in that MODS hypoth-

    eses were primary cellular injury, inadequate tissue/ organ perfusion, diffuse endothelial injury,

    circulating humoral factors and inflammatory mediators, protein calorie malnutrition, bacterial-

    toxin translocation, defective red blood cells, and also adverse effect of directed treatment. Evalu-ation of MODS principally includes the dysfunction of respiratory, cardiovascular, kidney, liver,

    hematology, and central nervous systems. Prevention was the most important step since there is

    yet any specific therapy targetted at MODS. The management was mainly supportive.

    Keywords: multiple organ dysfunction syndrome, multiple organ failure, scoring system

    Pendahuluan

    Peningkatan usaha resusitasi serta perkembanganteknologi dan pengetahuan mengenai proses penyakit telah

    meningkatkan harapan hidup pasien yang sakit parah dan

    menimbulkan suatu kelainan baru yang disebut Sindrom

    Disfungsi Organ Multipel (Multiple Organ Dysfunction Syn-

    drome/ MODS) atau gagal organ multipel (Multiple Organ

    Failure/ MOF). Pada beberapa dekade lalu, pasien seringkali

    meninggal pada awal perjalanan penyakitnya, jauh sebelum

    mereka mengalami disfungsi organ. Berbagai kemajuan dalam

    tatalaksana suportif disertai harapan hidup pasien yang lebih

    lama tersebut meningkatkan probabilitas pasien sakit berat

    untuk mengalami stadium akhir dari penyakitnya sekaligus

    membuat mereka menjadi rentan terhadap berbagai kom-

    plikasi penyakit beratnya tersebut.1

    Frekuensi MODS di antara seluruh populasi risiko tinggi

    di seluruh dunia rata-rata setara, berkisar antara 7% pada

    pasien trauma multipel hingga 11% pada populasi ICU secara

    umum. Di Amerika Serikat, MODS didiagnosis pada 15-18%

    pasien yang masuk ke ICU.2 MODS merupakan penyebab

    kematian tersering pada pasien yang dirawat di unit pera-

    watan intensif non-koroner dan juga merupakan penyebab

    tersering morbiditas, perawatan yang lama, dan tingginya

    biaya rumah sakit.1

    Suatu studi, multisenter, observasional di Eropa, Sep-

    sis Occurrence in Acutely Ill Patients (SOAP),3 melaporkan

    bahwa setidaknya 71% pasien di ICU mengalami disfungsi

    organ pada tahap tertentu (skor Sequential Organ Failure

    Assessment[SOFA] >2 untuk organ yang dievaluasi) dan81%-nya telah terdiagnosis saat masuk ke ICU. MODS terjadi

    lebih sering pada pasien-pasien sepsis (75 vs. 43%) diban-

    dingkan dengan pasien-pasien ICU lain. Insiden 2, 3, dan >4

    gagal organ didapatkan lebih tinggi (secara berurutan 38, 24,

    dan 13 vs. 28, 12, dan 4%), dan semua bentuk kegagalan

    organ ditemukan lebih sering pada pasien-pasien sepsis,

    dibandingkan dengan pasien ICU lain. Mortalitas ICU saat

    masuk pada pasien tanpa disfungsi organ adalah 6%,

    sedangkan pada pasien-pasien dengan >4 kegagalan organ,

    mortalitasnya 65%.

    Deskripsi MODS pertama kali menegaskan hubungan

    kejadiannya dengan infeksi laten atau tidak terkontrol, yang

    tersering adalah peritonitis dan pneumonia. Namun, infeksi

    tidak harus selalu ada dan sifatnya lebih sering mengikuti,

    daripada mendahului, terjadinya MODS.4 Pada lebih dari 1/3

    pasien MODS, tidak ditemukan fokus infeksi.2 Tabel 1

    memperlihatkan berbagai jejas yang dapat memicu terjadinya

    MODS.

    Faktor risiko utama terjadinya MODS adalah sepsis dan

    Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), beratnya

    penyakit (berdasarkanAcute Physiology and and Chronic

    Health Evaluation/APACHE II dan III), syok dan hipotensi

    berkepanjangan, terdapat fokus jaringan mati, trauma berat,

    operasi besar, adanya gagal hati stadium akhir, infark usus,

    disfungsi hati, usia >65 tahun, dan penyalahgunaan alkohol.1,2

    Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

    54 8

  • 7/28/2019 695-753-1-PB

    3/8

    Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

    Tabel 1. Jejas Fisiologis dan Patologis yang Dapat Memicu

    Terjadinya MODS5

    Infeksi Trauma Inflamasi Non-Infeksi

    Bakteraemia Trauma multipel Pankreatitis Kanker

    Viraemia Pasca pembedahan Vaskulitis Infus sitokin

    Fungaemia Iskemia visceral HIV Reaksi obat

    Penyakit Status epileptikus Eklampsia Sindrom re-

    rickettsia perfusi

    Mycobacteria Trauma kepala Gagal hati Reaksi trans-

    fusi

    Infeksi protozoa Sindrom kompar- Sintas kardio- Sindrom aspi-

    temen pulmonal rasi

    Infeksi organ Abdominal Transfusi masif

    padat

    Kelompok di Denver yakni Offner dan Moore, Moore et al,

    dan Sauaia et al6

    menekankan bahwa faktor risiko MODSpada pasien-pasien trauma meliputi transfusi darah masif,

    trauma abdomen mayor, dan fraktur multipel.

    Berdasarkan konsensus The American College of

    Chest Physicians (ACCP)/Society of Critical Care Medi-

    cine (SCCM) tahun 1992, Sindrom Disfungsi Organ Multipel

    (Mu lt ip le Orga n Dysfun ct ion Synd rome/ MODS )

    didefinisikan sebagai adanya fungsi organ yang berubah

    pada pasien yang sakit akut, sehingga homeostasis tidak

    dapat dipertahankan lagi tanpa intervensi. Disfungsi dalam

    MODS melibatkan >2 sistem organ. Terminologi konven-

    sional progressive organ failure, sequential organ fail-

    ure, multiple organ failure, dan multiple systems or-

    gan failure dianggap tidak adekuat untuk menggambarkan

    sindrom ini secara akurat. Istilah kegagalan organ (organ

    failure) hanya mengacu pada peristiwa dikotom ya atau

    Sel T dan sel BSel NK

    Makrofag

    Respon pro-inflamasi

    IL-1, IL-6, TNF-

    Respon anti-inflamasi

    IL-10, IL-6, IL-4

    Status respon hiperinflamasi Status respon hipoinflamasi

    SIRS CARS

    Kompensasi kardiovaskuler (syok)

    ApoptosisSupresi sistem imun

    Hilangnya homeostasis

    MODS

    Distribusi sistemik

    Jejas

    tidak, sedangkan istilah disfungsi organ (organ dysfunc-

    tion) lebih dapat menggambarkan perkembangan

    perburukan fungsi organ yang merupakan suatu keadaan

    dinamis.7

    Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan meng-

    gunakan istilah Sindrom Disfungsi Organ Multipel (Multiple

    Organ Dysfunction Syndrome/ MODS).

    Patofisiologi

    Patofisiologi MODS dapat diuraikan secara sederhana

    melalui gambar di bawah ini.

    Saat ini terdapat berbagai teori yang berusaha men-

    jelaskan patofisiologi terjadinya MODS, antara lain hipotesis

    mediator, hipotesis gut-as motor, hipotesis kegagalan

    mikrovaskuler, hipotesis two hit, dan hipotesis terintegrasi.

    Hipotesis mediator diungkapkan atas dasar ditemukannyapeningkatan nyata kadar TNF- dan IL-1. Sitokin-sitokinini diduga menyebabkan kerusakan seluler primer dan bahwa

    ternyata pemberian antisitokin dapat menghentikan atau pal-

    ing tidak mengurangi terjadinya MODS-like syndrome .9

    Hipotesis gut-as motor, teori yang paling banyak dibahas

    saat ini, menyatakan bahwa translokasi bakteri atau

    produknya menembus dinding usus memicu terjadinya

    MODS. Malnutrisi dan iskemia intestinal diketahui sebagai

    penyebab translokasi toksin bakteri ini.1 Hipotesis yang

    terkuat dibanding dua hipotesis patogenesis MODS

    sebelumnya adalah hipotesis kegagalan mikrovaskuler.9 Pada

    kasus sepsis dan SIRS, terdapat penurunan curah jantung,

    penurunan tekanan perfusi sistemik, atau perubahan selektifperfusi sistem organ, yang mengakibatkan hipoperfusi atau

    iskemia sistem organ. Perfusi jaringan menjadi inadekuat dan

    Gambar 1. Teori baru MODS. NK Natural Killer; SIRS Sytemic Inflammatory Response Syndrome; CARS Compensatory

    Anti-inflammatory Response Syndrome8

    54 9

  • 7/28/2019 695-753-1-PB

    4/8

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

    Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

    terjadi gangguan distribusi aliran darah yang membawa

    oksigen, nutrien, dan zat-zat penting lainnya.1 Ada pula

    hipotesis yang menyatakan bahwa suplai oksigen ke sel

    sebenarnya memadai tetapi oksigen tersebut tidak dapatdigunakan oleh sel, mungkin disebabkan abnormalitas jalur

    fosforilasi oksidatif di mitokondria.10 Kerusakan endotel

    vaskuler akibat mediator SIRS menyebabkan defek

    permeabilitas dan mengganggu integritas endotel,

    menimbulkan edema atau gangguan fungsi sistem organ.

    Eritrosit yang rusak dengan perubahan bentuk atau properti

    rheologik juga memudahkan terjadinya sumbatan atau

    obstruksi mikrovaskuler yang kemudian menyebabkan

    iskemia seluler.1 Hipotesis two-hit menyatakan bahwa

    terdapat 2 pola MODS, dini (dalam 72 jam setelah jejas) dan

    lambat. MODS dini disebabkan oleh proses one hit,

    sedangkan MODS tipe lambat disebabkan oleh proses two

    hit. Pada model one hit, jejas primer sedemikian masifnya

    sehingga mempresipitasi SIRS berat, menyebabkan MODS

    yang dini dan seringkali letal. Pada model two hit, terjadi

    jejas akibat pembedahan/ trauma yang tidak terlalu berat (first

    hit), menyebabkan SIRS yang moderat. Adanya presipitasi

    infeksi/ jejas non-infeksi dapat mengamplifikasi keadaan

    inflamasi awal tersebut menjadi SIRS yang berat, yang cukup

    untuk menginduksi MODS tipe lambat (umumnya 6-8 hari

    setelah jejas awal).11,12

    Pada sebagian besar pasien MODS, tidak dapat dite-

    lusuri satu penyebab sebagai pemicu MODS. Oleh karena

    itu hipotesis terintegrasi menyatakan bahwa tampaknya

    MODS merupakan akibat akhir dari disregulasi homeostasisyang melibatkan sebagian besar mekanisme yang telah

    diuraikan di atas.2

    Mekanisme Kerusakan/Kematian Jaringan pada MODS

    Kerusakan jaringan terjadi selama inflamasi dan me-

    rupakan suatu proses yang pada akhirnya dapat menye-

    babkan disfungsi dan kegagalan organ. Sel endotel vaskuler

    mengekspresikan molekul-molekul adhesi yang menarik

    leukosit dari sirkulasi untuk migrasi ke jaringan. Akumulasi

    leukosit terjadi sebagai respons terhadap dari chemokine,

    seperti IL-8. Kerusakan jaringan terjadi karena degranulasi

    leukosit, menghasilkan elastase dan matrix metalloproteinase(MMP) yang mendegradasi protein struktural. Leukosit yang

    teraktivasi juga memproduksi spesies oksigen reaktif (ROS)

    dari NADPH oksidase membran yang turut menyebabkan

    kerusakan jaringan.5,13

    Dilatasi dan konstriksi lokal, blokade pembuluh darah

    oleh agregasi neutrofil dan trombosit, kerusakan endotel,

    dan edema interstisial semuanya berkontribusi dalam

    kejadian hipoksia jaringan pada MODS.10 Kematian sel karena

    hipoksia akan memicu respon inflamasi. Hipoksia sendiri

    merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF- dan IL-8yang mengakibatkan perubahan permeabilitas epitel. Hipoksia

    juga menginduksi pelepasan IL-6, sitokin utama yang

    berperan menimbulkan respon fase akut.5

    Setelah terjadi reperfusi pada jaringan iskemik, ter-

    bentuklah ROS sebagai hasil metabolisme xantin dan

    hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme AA.

    Jumlah ROS yang terbentuk melebihi kapasitas anti-oksidanendogen sehingga terjadi dominasi oksidasi komponen

    seluler yang penting.5,10 Selain itu terjadi produksi super-

    oksida dismutase oleh neutrofil teraktivasi. Kematian sel juga

    terjadi akibat influks kalsium ke dalam sel (calcium-mediated

    cell damage).5

    Respon inflamasi MODS terkait dengan perubahan

    dinamika dan regulasi apoptosis dibandingkan dengan

    keadaan non-inflamasi.5 Pada MODS terjadi keterlambatan

    apoptosis neutrofil serta peningkatan apoptosis limfosit dan

    parenkim. Keterlambatan apoptosis neutrofil memperpanjang

    fungsi neutrofil dalam proses inflamasi sekaligus memperlama

    elaborasi metabolit toksik. Peningkatan apoptosis limfosit

    mengurangi efektor inflamasi sekaligus menyebabkan

    imunosupresi. Apoptosis parenkim mengurangi cadangan

    fungsional organ.14

    Gejala dan Tanda

    Sistem respirasi, kardiovaskuler, ginjal, hati, hematologi,

    dan neurologi merupakan 6 sistem organ yang paling sering

    dievaluasi pada MODS. Sistem organ lain yang juga sering

    diikutsertakan dalam evaluasi adalah gastrointestinal (GI),

    endokrin, dan imunologi.15

    Disfungsi respirasi sering terjadi pada pasien SIRS. Kira-

    kira 35% pasien sepsis akan mengalami acute lung injury

    (ALI) ringan-sedang dan 25% mengalami komplikasi penuhmenjadi ARDS.16 Disfungsi respirasi bermanifestasi sebagai

    takipnea; perubahan status oksigenasi yang terlihat dari

    hipoksemia, penurunan rasio PaO2/FiO

    2atau kebutuhan

    suplementasi oksigen; hipokarbia, serta infiltrat bilateral pada

    foto polos dada, setelah kemungkinan gagal jantung kiri

    disingkirkan. Disfungsi respirasi juga ditunjukkan dengan

    jumlah positive end-expiratory pressure (PEEP) dan/atau

    penggunaan ventilasi mekanik. Jika disfungsinya berat, dapat

    berkembang menjadi acute lung injury (ALI) dengan

    komplikasi ARDS pada 60% kasus syok sepsis. Diagnosis

    ARDS ditegakkan bila rasio PaO2/FiO

    2

  • 7/28/2019 695-753-1-PB

    5/8

    Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

    pulmonal.1

    Seperti jaringan lainnya, ginjal rentan terhadap

    kerusakan jaringan yang diperantarai leukosit melalui

    produksi protease dan ROS. Hipovolemia, curah jantung yangrendah, obat-obatan nefrotoksik, peningkatan tekanan in-

    tra-abdomen dan rabdomiolisis semuanya berperan

    menyebabkan disfungsi ginjal.5 Peningkatan kreatinin se-

    rum, penurunan volume urin (oliguria/anuria), atau adanya

    penggunaan terapi pengganti ginjal (seperti dialisis) dapat

    digunakan untuk memantau adanya disfungsi ginjal.1

    Disfungsi hati didiagnosis dengan adanya ikterik atau

    hiperbilirubinemia, peningkatan transaminase serum, laktat

    dehidrogenase, atau fosfatase alkali, hipoalbuminemia, dan

    perpanjangan waktu protrombin. Trombositopenia, leuko-

    sitosis atau leukopenia, manifestasi koagulopati dengan

    perpanjangan waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial,

    produk degradasi fibrin, atau tanda koagulasi intravaskuler

    diseminata lain, perdarahan yang banyak, serta ekimosis

    merupakan petunjuk adanya disfungsi hematologi.1

    Sedangkan disfungsi neurologis terutama ditandai

    dengan gangguan kesadaran dan fungsi serebral. Tanda

    perubahan fungsi sistem saraf pusat meliputi penurunan

    Glasgow Coma Scale, koma, obtundasi, confusion, dan

    psikosis.1 EEG secara umum memperlihatkan perlambatan

    difus, sementara CT-scan kepala dan analisa carian sere-

    brospinal memberikan hasil normal.17 Polineuropati dan

    polimiopati dapat terjadi pada kondisi MODS. Patofisiologi

    polineuropati melibatkan degenerasi aksonal primer akibat

    mediator proinflamasi. Dibutuhkan 3-6 bulan untuk perbaikanakson. Fakta ini dapat menjelaskan ketergantungan ventila-

    tor yang lama pada pasien-pasien sakit berat. Pasien seperti

    ini membutuhkan rehabilitasi setelah penyapihan dari venti-

    lator, sebelum pasien pulang.5

    Hipoperfusi splanknik sering ditemukan setelah trauma,

    sepsis dan keadaan syok. Iskemia splanknik bermanifestasi

    sebagai perdarahan stress ulcer, ileus, hepatitis iskemik,

    kolesistitis akalkulus dan pankreatitis, intoleransi nutrisi

    enteral, iskemia/infark intestinal, maupun perforasi gas-

    trointestinal. Iskemia mukosa usus meningkatkan permea-

    bilitas intestinal dan menyebabkan terjadinya translokasi

    bakteri dan mediator-mediator lain ke dalam sirkulasisistemik.1,5

    Disfungsi endokrin bermanifestasi sebagai hiper-

    glikemia akibat resistensi insulin, hipertrigliseridemia,

    hipoalbuminemia, penurunan berat badan, dan hiperkata-

    bolisme.1 Hiperglikemia terjadi karena peningkatan gluko-

    neogenesis dan gangguan bersihan glukosa. Lipolisis

    meningkatkan gliserol dan asam lemak bebas dalam plasma.

    Dalam perkembangan ke arah MODS, hipertrigliseridemia

    terjadi akibat penurunan bersihan trigliserida dan kemudian

    glukoneogenesis gagal berjalan, menyebabkan hipogli-

    kemia.5

    Disfungsi sistem imun diduga terjadi dengan terjadinya

    infeksi nosokomial, pireksia, peningkatan leukositosis, dan

    gangguan aktivitas imun.1

    Urutan klasik akumulasi MODS adalah gagal respirasi

    (dalam 72 jam pertama) mendahului gagal hati (5-7 hari) dan

    intestinal (10-15 hari), diikuti gagal ginjal (11-17 hari).Kegagalan hematologi dan miokardial biasanya merupakan

    manifestasi akhir MODS, sedangkan kegagalan SSP dapat

    terjadi di awal atau akhir perjalanan penyakit. Urutan kega-

    galan organ ini dapat dipengaruhi oleh proses penyakit akut

    dan cadangan fisiologis pasien.2,18 Pada pasien MODS, gagal

    respirasi merupakan jenis disfungsi yang paling sering

    (74,4%) dan menyebabkan mortalitas yang tinggi (65,5%).19

    Secara umum, perjalanan MODS dibagi menjadi 4 sta-

    dium klinis:20

    Stadium 1: pasien mengalami peningkatan kebutuhanvolume cairan, alkalosis respiratorik ringan, disertai

    dengan oliguria, hiperglikemia, dan peningkatan

    kebutuhan insulin.

    Stadium 2: pasien mengalami takipnea, hipokapnia,hipoksemia, disfungsi hati moderat, dan mungkin

    abnormalitas hematologi.

    Stadium 3: terjadi syok dengan azotemia dan gangguankeseimbangan asam basa, serta abnormalitas koagulasi

    yang signifikan.

    Stadium 4: pasien membutuhkan vasopresor, mengalamioliguria/anuria, diikuti kolitis iskemik dan asidosis laktat.

    Pendekatan Klinis dengan Sistem Skoring

    Skor kegagalan organ terutama dimaksudkan sebagai

    alat deskriptif untuk menstratifikasi dan membandingkan sta-

    tus pasien di ICU dalam hal morbiditas, bukan mortalitas

    (kecualiLogistic Organ Dysfunction System/ LODS).15

    Terdapat berbagai sistem skoring untuk mengkaji

    disfungsi organ yang dibedakan berdasarkan sistem organ

    yang dikaji, definisi disfungsi organ, dan skala yang

    digunakan. Pada umumnya, sistem skoring tersebut meliputi

    enam sistem organ utama, yakni kardiovaskuler, respirasi,

    hematologi, sistem saraf pusat (SSP), ginjal, dan hati. Berikut

    ini akan diuraikan tiga sistem skoring yang sering digunakan.

    Perbedaan utama di antara ketiganya terletak pada metode

    yang digunakan untuk mengevaluasi disfungsi sistem

    kardiovaskuler (tabel 2).21

    Multiple Organ Dysfunction Score (MODS)

    Skor 0-4 diberikan pada setiap sistem organ sesuai

    fungsinya (0 mengacu pada fungsi normal dan 4 mengacu

    pada disfungsi yang sangat berat) dengan skor maksimum

    24. Skor yang diambil untuk perhitungan adalah skor terburuk

    untuk setiap sistem organ dalam periode 24 jam. Tingginya

    skor inisial berhubungan dengan mortalitas ICU dan MODS

    delta (hasil dari MODS selama perawatan di ICU dikurangi

    MODS saat masuk) bahkan lebih dapat memprediksi

    keluaran.20 Komponen kardiovaskuler mungkin tidak dapat

    dinilai pada semua pasien ICU, sehingga menjadi salah satu

    55 1

  • 7/28/2019 695-753-1-PB

    6/8

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

    Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

    limitasi praktis skor ini.15

    Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)

    Skor berkisar antara 0, merujuk pada fungsi normal,sampai 4, merujuk pada keadaan sangat abnormal, ber-

    dasarkan keadaan terburuk dalam satu hari. Skor SOFA total

    yang tinggi (SOFA maksimum) dan perubahan/perbedaan

    SOFA yang tinggi (SOFA maksimum total dikurangi SOFA

    total saat masuk) berhubungan dengan keluaran yang lebih

    buruk. Skor total tampak terus meningkat pada pasien yang

    meninggal dibandingkan pasien yang selamat.22

    Logistic Organ Dysfunction System (LODS)

    Skor LODS dihitung berdasarkan nilai terburuk suatu

    sistem organ pada hari tertentu. Skor berkisar antara 05

    yang melambangkan fungsi normal hingga disfungsi berat.

    Karena keparahan relatif disfungsi organ berbeda antarasistem organ, skor ini hanya memberikan nilai 5 pada sistem

    saraf, ginjal, dan kardiovaskuler. Untuk disfungsi maksimum

    sistem pulmonal dan koagulasi, diberikan nilai 3, dan untuk

    hati, hanya diberikan nilai 1. Dengan demikian skor maksimum

    total adalah 22. Skor LODS digunakan hanya untuk sekali

    pengukuran dalam 24 jam pertama perawatan di ICU, tidak

    untuk evaluasi berulang. Sistem ini rumit, sehingga jarang

    digunakan dalam praktek sehari-hari.23

    Tabel 2. Perbandingan Parameter Antara Ketiga Sistem

    Skoring MODS21

    Parameter MODS SOFA LODS

    Respirasi PaO2/FiO

    2PaO

    2/FiO

    2PaO

    2/FiO

    2

    Dukungan ven- Status ventilasi/CPAP

    tilasi

    Koagulasi Hitung Hitung trom- Hitung leukosit

    trombosit bosit Hitung trombosit

    Hati Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi bilirubin

    bilirubin bilirubin Waktu protrombin

    Kardiovaskular Frekuensi Tekanan darah Frekuensi jantung

    jantung X

    (CVP/MAP) Dukungan adre- Tekanan darah sisto-

    nergik lik

    SSP GCS GCS GCS

    Ginjal Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi ureum

    kreat inin kreat inin a tau dan kreat inin volumevolume urin urin

    CPAP Continuous Positive Airway Pressure; CVP Central Venous Pres-

    sure; MAP Mean Arterial Pressure; GCS Glasgow Coma Scale

    Skor yang diperuntukkan terhadap perkembangan

    disfungsi organ yang dapat digunakan untuk evaluasi

    berulang memberikan informasi lebih banyak terhadap

    perkembangan penyakit dan respons pasien terhadap

    terapi.21 Evaluasi berulang ini membantu memantau progresi

    penyakit di ICU, sangat berkorelasi dengan keluaran/

    kesintasan pasien, serta dapat membantu mengidentifikasi

    pasien yang tetap tidak responsif meskipun telah diberikan

    terapi yang tepat selama beberapa hari.15

    Tatalaksana

    Pencegahan adalah langkah yang utama dan terpenting,dilakukan terutama pada pasien sakit berat, karena hingga

    saat ini belum ditemukan terapi yang spesifik untuk MODS.5

    Manajemen pasien MODS yang terutama adalah suportif,

    sedangkan terapi spesifik diarahkan untuk mengidentifikasi

    dan menterapi penyakit dasar. Infeksi dan sepsis adalah

    kondisi tersering sebagai penyebab MODS. Oleh karena itu

    sangat perlu dilakukan investigasi terhadap kemungkinan

    adanya infeksi aktif pada setiap kasus MODS dengan

    pemeriksaan kultur dari lokasi infeksi hingga dengan

    pemeriksaan diagnostik lain.1

    Strategi pencegahan yang paling efektif sekaligus

    merupakan strategi terapi yang paling efektif, yakni mengatasi

    infeksi dan membersihkan jaringan mati.9 Cara-cara yang telahterbukti efektif meliputi aplikasi teknik pembedahan yang baik,

    pengendalian infeksi nosokomial, serta mencegah ulkus

    dekubitus.5,10 Terapi antimikroba yang tepat (bila perlu secara

    empiris) dengan dosis yang tepat yang diberikan secara dini

    pada penyakit infeksi akan memperbaiki keluaran.5

    Tatalaksana suportif yang utama pada pasien MODS,

    sesuai dengan disfungsi sistem organ yang paling sering

    terjadi, meliputi manajemen hemodinamik, respirasi, ginjal,

    hematologi, gastrointestinal, endokrin, dan tidak kalah

    pentingnya adalah nutrisi. Prinsip manajemen hemodinamik

    adalah mempertahankan oksigenasi jaringan pada pasien

    risiko tinggi. Pemberian oksigen cukup dipertahankan sesuaikadar yang adekuat yang dapat dipantau dari perfusi organ

    berupa volume urin, adanya asidosis laktat, ataupun elevasi

    segmen ST pada EKG. Manajemen yang disarankan berupa

    penggantian volume intravaskuler secara cepat untuk

    mengoreksi hipoperfusi jaringan yang ditandai oleh defisit

    basa arteri (atau, bila terdapat gagal ginjal, laktatemia) >2

    mmol/L. Bila koreksi tidak tercapai, dapat diberikan inotropik

    untuk meningkatkan curah jantung, atau dengan transfusi

    packed red cell untuk meningkatkan kadar hemoglobin.

    Manajemen respirasi diarahkan untuk membantu oksi-

    genasi dan ventilasi untuk menjamin suplai oksigen yang

    cukup ke jaringan. Manajemen yang disarankan adalah

    intubasi dini dan ventilasi mekanik, inhalasi NO, serta pem-

    berian keksametason dosis tinggi pada fase fibroproliferatif

    ARDS. Intubasi dini dan ventilasi mekanik dapat membantu

    mengurangi aliran darah ke diafragma dan otot-otot bantu

    nafas, namun harus dilakukan penilaian apakah keuntu-

    ngannya jauh melebihi kerugiannya.

    Pada disfungsi ginjal, dilakukan terapi pengganti ginjal.

    Yang terpenting adalah pemantauan volume, aliran, dan

    tekanan intravaskuler yang adekuat. Penggunaan obat-

    obatan seperti dopamin, furosemid, dan manitol hanya

    bersifat empiris dan belum didukung oleh bukti-bukti yang

    dapat dipercaya.

    Transfusi trombosit hanya dibutuhkan pada keadaan:

    55 2

  • 7/28/2019 695-753-1-PB

    7/8

    Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

    1) trombositopenia berat (3 organ selama minimal 1 minggu memberikan

    mortalitas antara 60-98%, tergantung pada usia seseorang.24

    Bila organ yang terlibat adalah otak, hati, paru-paru, atau

    ginjal, angka mortalitas akan lebih tinggi. Fry melaporkan

    bahwa peningkatan jumlah kegagalan organ dari 1 menjadi 4,

    mortalitas meningkat progresif dari 30% menjadi 100%.25

    Marshall et al,20 melaporkan mortalitas 7% pada kegagalan 1

    organ, 26% pada kegagalan 2 organ, 50% pada kegagalan 3

    organ, 70% pada kegagalan 4 organ, dan 80% pada kegagalan

    5 organ. Namun kemampuan penilaian klinis kita untuk

    memprediksi keluaran jauh lebih bermakna dibandingkan

    penilaian dengan berbagai prediktor. Faktor lain yang juga

    berpengaruh adalah penyakit dasar yang menyebabkan

    MODS tersebut.1,18

    Walaupun proses disfungsi multiorgan dapat ber-akumulasi dengan sangat cepat, pemulihan pada umumnya

    berlangsung lambat dibandingkan dengan onsetnya.

    Pemulihan pasien MODS memerlukan waktu sekitar 1 tahun.

    Disproporsi waktu antara onset dan pemulihan turut menjadi

    masalah besar dalam MODS.

    Saat ini tatalaksana yang makin baik telah menurunkan

    mortalitas akibat MODS.26 Walaupun dukungan medis

    terhadap organ yang gagal tampak membantu pemulihan,

    pemulihan sesungguhnya bukan disebabkan oleh dukungan

    itu sendiri, melainkan dukungan tersebut memberikan

    kesempatan bagi tubuh untuk mengadakan pemulihan.9

    Kesimpulan

    Sebagai penutup, MODS merupakan suatu kondisi

    adanya fungsi organ yang berubah pada pasien yang sakit

    akut, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi

    tanpa intervensi. MODS merupakan penyebab kematian

    tersering pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif

    non-koroner. Infeksi merupakan faktor pemicunya yang

    tersering. Berbagai hipotesis berusaha menerangkan pato-

    fisiologi terjadinya MODS dengan hipotesis terkuat saat ini

    adalah hipotesis kegagalan mikrovaskuler. Enam sistem or-

    gan yang paling sering dievaluasi pada MODS dan

    digunakan sebagai komponen skoring disfungsi organ

    meliputi sistem respirasi, kardiovaskuler, ginjal, hati,hematologi, dan neurologi. Pencegahan menjadi langkah yang

    utama dan terpenting karena hingga saat ini belum ditemukan

    suatu terapi yang spesifik.5 Manajemen pasien MODS bersifat

    suportif, sedangkan terapi spesifik diarahkan untuk

    mengidentifikasi dan menterapi penyakit dasar. Saat ini

    tatalaksana yang makin baik telah menurunkan mortalitas

    akibat MODS.

    Daftar Pustaka

    1. Balk RA. Pathogenesis and management of multiple organ dys-

    function or failure in severe sepsis and septic shock. Critical Care

    Clinics 2000;16(2):337-52.

    2. Varon J, Marik PE. Multiple organ dysfunction syndrome. Dalam:Irwin RS, Rippe JM,ed, Irwin and Rippes intensive care medi-

    cine. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

    2008.p.1870-3.

    3. Vincent J-L, Sakr Y, Sprung CL, Ranieri VM, Reinhart K, Gerlach

    H, et al. Sepsis in European intensive care units: results of the

    SOAP study. Crit Care Med 2006;34(2):344-53.

    4. Marshall JC. Inflammation, coagulopathy, and the pathogenesis

    of multiple organ dysfunction syndrome. Crit Care Med 2001;27(7

    Suppl):S99-106.

    5. McKinlay J, Bihari D. Multiple organ dysfunction. Dalam: Bersten

    AD, Soni N, Oh TE [ed.]. Ohs intensive care manual. 5 th ed.

    London: Butterworth Heinemann. 2003.p.113-26

    6. Offner PF, Moore EE. Risk factors for MOF and pattern of

    organ failure following severe trauma. Dalam: Baue AE, Faist E,

    Fry DF eds. Multiple organ failure. New York: Springer.

    2000.p.30-43.

    55 3

  • 7/28/2019 695-753-1-PB

    8/8

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 11, Nopember 2009

    Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis

    7. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, Dellinger RP, Fein AM, Knaus WA,

    et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for

    the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Con-

    sensus Conference Committee. Chest. 1992;101:1644-55.

    8. Oberholzer A, Oberholzer C, Moldawer LL. Cytokine signaling -regulation of the immune response in normal and critically ill

    states. Crit Care Med. 2000;28(Suppl):N3-12.

    9. Buchman TG. Multiple organ dysfunction syndrome. Dalam:

    Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass

    HI, et al [ed.]. Surgery, basic science and clinical evidence. New

    York; Springer: 2000.p.321-6.

    10 . Singer M. Management of multiple organ failure: guidelines but

    no hard-and-fast rules. J of Antimicrobial Chemotherapy.

    1998;41(Suppl):A103-12.

    11 . Saadia R, Schein M. Multiple organ failure. How valid is the two

    hit model? J Accid Emerg Med. 1999;16:163-7.

    12 . Biffl W, Oka T, Cioffi WG. Surgical critical care. Dalam: Townsend

    CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL [ed.]. Sabiston text-

    book of surgery. 17 th ed. Philadelphia; Elsevier: 2004.p.613-39.

    13 . MacCallum NS, Quinlan GJ, Evans TW. The role of neutrophil-

    derived myeloperoxidase in organ dysfunction and sepsis. Dalam:

    Vincent J-L eds. Yearbook of intensive care and emergency medi-

    cine 2007. New York; Springer: 2007.p.173-87.

    14. Mahidhara R, Billiar TR. Apoptosis in sepsis. Crit Care Med.

    2000;28(Suppl):N105-13.

    15 . Sakr Y, Sponholz C, Reinhart K. Organ dysfunction in the ICU:

    a clinical perspective. Dalam: Vincent J-L [ed.]. Yearbook of

    intensive care and emergency medicine 2007. New York; Springer:

    2007.p.238-45.

    16 . Evans TW, Smithies M. ABC of intensive care: organ dysfunc-

    tion. Med J. 1999;318:1606-9.

    17 . Vincent J-L. Septic shock. Dalam: Fink MP, Abraham E, Vincent

    J-L, Kochanek PM eds. Textbook of critical care. 5 th ed. Phila-

    delphia; Elsevier: 2005.p.1259-65.

    18 . Deitch EA. Multiple organ failure: patophysiology and potential

    future therapy. Ann Surg. 1992;216(2):117-34.

    19 . Regel G, Grotz M, Weltner T, Sturm JA, Tscherne H. Pattern of

    organ failure following severe trauma. World J Surg. 1996;20:422-

    9.20 . Marshall JC, Cook DJ, Christou NV, Bernard GR, Sprung CL,

    Sibbald WJ. Multiple organ dysfunction score: a reliable descrip-

    tor of a complex clinical outcome. Crit Care Med. 1995;23

    (10):1638-52.

    21 . Vincent J-L, Ferreira F, Moreno R. Scoring systems for assessing

    organ dysfunction and survival. Critical Care Clinics.

    2000;16(2):353-63.

    22 . Vincent J-L, Moreno L, Takala J, Willatts S, De Mendonca A,

    Bruining H, et al. The SOFA (Sepsis-related Organ Failure Assess-

    ment) score to describe organ dysfunction/ failure. On behalf of

    the Working Group on Sepsis-Related Problems of the European

    Society of Intensive Care Medicine. Intensive Care Med.

    1996;22(7): 717-20.

    23 . Le Gall JR, Klar J, Lemeshow S, Saulnier F, Alberti C, Artigas A, et

    al. The Logistic Organ Dysfunction System. A new way to assess

    organ dysfunction in the intensive care unit. ICU Scoring Group.

    JAMA. 1996;276(10):802-10.

    24. Johnson D, Mayers I.Multiple organ dysfunction syndrome: a

    narrative review. Canadian Journal of Anethesia. 2001:502-9.

    25. Fry DE, Pearlstein L, Fulton RL, Polk HC. Multiple system

    organ failure: the role of uncontrolled infection. Arch Surg.

    1980;115:136-40.

    26 . Ciesla DJ, Moore EE, Johnson JL, Burch JM, Cothren CC, Sauaia

    A. A 12-year prospectives study of postinjury multiple organ

    failure. Arch Surg. 2005;140:432-40.

    MS

    55 4