7 bab ii

39
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Apotek dan Peran Apoteker Pengelola Apotek Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmarsian di Apotek, defenisi apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Dan Menurut UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pekerjaan kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (2). Menurut peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaanobat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayananinformasi obat, serta 3

Upload: adi-emal

Post on 09-Nov-2015

230 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

sejkkili

TRANSCRIPT

26

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II.1 Apotek dan Peran Apoteker Pengelola ApotekMenurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmarsian di Apotek, defenisi apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Dan Menurut UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pekerjaan kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (2).Menurut peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaanobat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayananinformasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (3).II.1.1 Tugas Dan Fungsi Apotek (3)Berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009, tugas dan fungsi apotek adalah :1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.2. Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan sediaan farmasi, antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional dan kosmetika.4. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. II.1.2 Apoteker Pengelola Apotek (2)Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmarsian di Apotek, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Pelayanan Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker, dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi, Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja. Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian Apoteker harus memenuhi kriteria: 1. Persyaratan administrasi a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) 2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang berkesinambungan. 4.Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau mandiri. 5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundang undangan, sumpah Apoteker, standar profesi (standar pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku. Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus menjalankan peran yaitu: a. Pemberi layanan Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan. b. Pengambil keputusan Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien. c. Komunikator Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.d. PemimpinApoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. e. Pengelola Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang Obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan Obat. f. Pembelajar seumur hidup Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD)

g. Peneliti Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam mengumpulkan informasi Sediaan Farmasi dan Pelayanan Kefarmasian dan memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian.Adapun Kewenangan, kewajiban dan larangan bagi apoteker adalah:1. Kewenangan Apoteker :a. Berhak melakukan pekerjaan kefarmasian.b. Berwenang menjadi penanggung jawab pedagang besar farmasi penyalur obat dan/atau bahan baku obat.c. Berhak menjalankan peracikan obat (pembuatan atau penyerahan obat-obatan untuk maksud kesehatan).d. Berwenang menyelenggarakan apotek di suatu tempat setelah mendapat SIA dari menteri.e. Berwenang menjadi penanggung jawab usaha industri obat tradisional.f. Berwenang menjadi penanggung jawab pengawas mutu di industri farmasi jadi dan bahan baku obat.g. Berwenang menerima dan menyalurkan obat keras melalui pedagang besar farmasi atau apotek. (5)2. Kewajiban Apoteker di Apoteka. Menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin.b. Melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi oleh kepentingan masyarakat.c. Berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.d. Memberikan informasi berkaitan dengan penggunaan obat yang disarankan kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat.e. Apabila apoteker menganggap bahwa terdapat kekeliruan resep atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.f. Menunjuk apoteker pendamping atau apoteker pengganti jika berhalangan melaksanakan tugasnya.g. Bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker pendamping atau apoteker pengganti dalam pengelolaan apotek .h. Menyerahkan resep, narkotika, obat dan perbekalan farmasi lain; kunci-kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika; serta berita acaranya jika menyerahkan tanggung jawab pengelolaan kefarmasian.i. Mengamankan perbekalan farmasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku jika SIA-nya dicabut. (5)3. Larangan bagi Apotekera. Apoteker dilarang, melakukan perbuatan yang bertentangan dengan profesi apoteker.b. Melakukan perbuatan yang bertenttangan dengan kode etik apoteker.c. Menjalankan profesinya di luar tempat yang tercantum dalam Visum atau Surat Izin Apotek (SIA).d. Menjalankan profesinya dalam keadaan jasmani dan rohani terganggu.e. Melakukan perbuatan lain yang bertentangan dengan profesi apoteker. (5)II.1.3 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. (2)Untuk melakukan peningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di Apotek yang berorientasi kepada keselamatan pasien, maka diperlukan suatu standar yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kefarmasian di Apotek. Menurut PerMenKes No.35 tahun 2014, Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, meliputi :1. Pengkajian Resep a. Kajian administratif meliputi: 1) Nama pasien, umur, jenis kelamin, dan berat badan2) Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf3) Tanggal penulisan resep. b. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi: 1) Bentuk dan kekuatan sediaan2) Stabilitas 3) Kompatibilitas (ketercampuran obat). c. Pertimbangan klinis meliputi: 1) Ketepatan indikasi dan dosis obat 2) Aturan, cara dan lama penggunaan obat3) Duplikasi dan/atau polifarmasi4) Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi klinis lain)5) Kontra indikasi6) InteraksiJika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis resep. 2. Dispensing Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut: a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep1) Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep2) Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat. b. Melakukan peracikan obat bila diperlukan c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi: 1) Warna putih untuk obat dalam/oral; 2) Warna biru untuk obat luar dan suntik3) Menempelkan label kocok dahulu pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi. d. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang salah. Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut: a. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep)b. Memanggil nama dan nomor tunggu pasienc. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasiend. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obate. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait dengan Obat antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-lainf. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabilg. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganyah. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh Apoteker (apabila diperlukan).i. Menyimpan resep pada tempatnyaj. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan menggunakan Formulir yang telah ditetapkan. Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai. 3. Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal. Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain. Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi: a. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisanb. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat (penyuluhan)c. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasiend. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesie. Melakukan penelitian penggunaan obatf. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiahg. melakukan program jaminan mutu. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi Pelayanan Informasi Obat: a. Topik Pertanyaanb. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi obat diberikanc. Metode Pelayanan Informasi obat (lisan, tertulis, lewat telepon)d. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium)e. Uraian pertanyaanf. Jawaban pertanyaang. Referensih. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat. II.2 Penggolongan ObatBerdasarkan Undang-Undang, obat dibagi menjadi 4 golongan yaitu:1. Obat Bebas (8)Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Parasetamol, Neurosanbe, Antasida Doen.

Gambar 1. penandaan obat bebas2. Obat Bebas Terbatas (8)Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Contoh: Bromhexin, Difenhidramin. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.

Gambar 2. penandaan obat bebas terbatasTanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih.

Gambar 3. tanda peringatan obat bebas terbatas

Beberapa contoh Obat Bebas Terbatas :P No.1 : Etaflusin, Benadryl, Neozep, Decolgen dan Refagen.P No.2 : Betadine , Molexdine MW, Tantum Verde.P No.3 : Canesten krim, Solinfec krim, Caladine lotionP No.4: Rokok dan serbuk untuk penyakit asma untuk dibakar yang mengandung Scopolaminum P No.5 : Rivanol kompres yang digunaakan untuk kompres luka, Betadine Vagina DoucheP No.6: Anusol suppositoria3. Obat Keras Penandaan golongan obat keras diatur dalam Kepmenkes RI No. 2380/A/SK/VI/83 tentang tanda khusus obat keras daftar G. Penandaan untuk obat keras yaitu huruf K di dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Obat keras yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter. Tanda khusus obat keras harus diletakkan pada sisi utama kemasan agar jelas terlihat dan mudah dikenali (8).Menurut Undang-Undang Obat Keras Nomor 419 tanggal 22 Desember 1949 pasal 1, Obat-obat Keras yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknik, yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan, dan lain-lain tubuh manusia. Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan. Oleh sebab itu obat-obat ini diberikan sesuai dengan resep dokter (9).Menurut Undang-Undang Obat Keras Stbl. No. 419 tanggal 22 Desember 1949 pasal 2, penggolongan obat keras dimasukkan dalam dua daftar yaitu:1. Obat-obatan G adalah obat-obat keras yang oleh Sec. V. St. didaftar pada daftar obat-obatan berbahaya (gevaarlijk; daftar G).2. Obat-obatan W adalah obat-obat keras yang oleh Sec. V. St. didaftar pada daftar peringatan (warschuwing; daftar W).Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), obat-obatan yang mengandung hormon, obat diabetes, simvastatin, ranitidin, klonidin, piroksikam, pyrazinamid, omeprazol, antalgin, dan metilergometrin, obat penenang, dan lain-lain. Sediaan parenteral temasuk dalam golongan obat keras, harus diberikan oleh tenaga yang profesional karena obat yang diberikan langsung masuk ke dalam pembuluh darah sehingga apabila terjadi kesalahan dapat membahayakan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam (8).

Gambar 4. penandaan obat keras

a. Obat Keras Tertentu (Psikotropika) (10) Menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1997, Psikotropika yaitu zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Obat-obat yang termasuk dalam Psikotropika adalah Alprazolam, Diethylpropion HCl, Clobazam, Lorazepam, Phenobarbital, Chlordiazepoxid HCl, Diazepam, Midazolam, Nitrazepam, Estazolam, dan Bromazepam. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika pasal 2 ayat (2), psikotropika digolongkan menjadi :1. Psikotropika golongan I adalah psikotopika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak dapat digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan, contohnya antara lain : lisergida (LSD/extasy), MDMA (Metilen Dioksi Meth Amfetamin), meskalina, psilosibina, katinona. 2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan, contohnya antara lain: amfetamin, metamfetamin (sabu-sabu), metakualon, sekobarbital, fenmetrazin.3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan, contohnya antara lain penthobarbital, amobarbital, siklobarbital.4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantunagan, contohnya antara lain: diazepam (Valium), allobarbital, barbital, bromazepam, klobazam, klordiazepoksida, meprobamat, nitrazepam, triazolam, alprazolam.Berdasarkan Undang-Undang Narkotika No. 35 tahun 2009, Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I dan menurut Undang-Undang ini, peraturan tentang psikotropika telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.Peredaran, Penyimpanan, dan Pelaporan Psikotropik (17)1. Peredaran Psikotropik Menurut peraturan Menteri Kesehatan nomor 3 tahun 2015 tentang peredaran, penyimpanan dan pelaporan psikotropika, pada pasal 3 menyatakan bahwa Peredaran Psikotropika terdiri dari Penyaluran dan Penyerahan.a. Penyaluran Psikotropika1. Penyaluran Psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan2. Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) hanya dapat berlaku untuk Psikotropika3. Surat pesanan Psikotropika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika.4. Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) dan nomor (3) harus terpisah dari pesanan barang lain. b. PenyerahanPsikotropika1. Penyerahan Psikotropika dapat dilakukan oleh Apotek2. Apotek sebagaimana dimaksud hanya dapat menyerahkan Psikotropika kepada: 1. Apotek lainnya; 2. Puskesmas; 3. Instalasi Farmasi Rumah Sakit; 4. Instalasi Farmasi Klinik; 5. dokter; dan 6. pasien. 3. Penyerahan Psikotropika hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah Psikotropika berdasarkan resep yang telah diterima. 4. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Apoteker penanggung jawab.5. Apotek hanya dapat menyerahkan Psikotropika kepada pasien berdasarkan resep dokter. 2. Penyimpanan PsikotropikaBerdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 menjelaskan tentang penyimpanan, tempat penyimpanan psikotropika di pelayanan kefarmasian mampu menjaga keamanan, khasiat dan mutu Psikotropika. 1. Tempat penyimpanan Psikotropika dapat berupa lemari khusus.2. Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Psikotropika. 3. Lemari khusus berada dalam penguasaan Apoteker penanggung jawab. 3. Pencatatan dan Pelaporan Psikotropikaa. Pencatatan1. Apotek melakukan Penyerahan Psikotropika wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Psikotropika.2. Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas: 1. nama, bentuk sediaandan kekuatan Psikotropika2. jumlah persediaan; 3. tanggal, nomor dokumen dan sumber penerimaan 4. jumlah yang diterima; 5. tanggal, nomor dokumen dan tujuan penyaluran/penyerahan; 6. jumlah yang disalurkan/diserahkan; 7. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan; dan 8. paraf atau identitas petugas yang ditunjuk. 3. Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan harus dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan dokumen penyaluran termasuk dokumen impor, dokumen ekspor dan/atau dokumen penyerahan.4. Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan Psikotropika wajib disimpan paling singkat 3 (tiga) tahun.b. Pelaporan Psikotropika 1) Apotek wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Psikotropika setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat.2) Pelaporan paling sedikit terdiri atas:a. nama, bentuk sediaan dan kekuatan Psikotropika; b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan; c. jumlah yang diterima; dan d. jumlah yang diserahkan. 3) Laporan dapat menggunakan sistem pelaporan Psikotropika secara elektronik. 4) Laporan disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya. 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Psikotropika diatur oleh Direktur Jenderal. b. Obat Wajib Apotek (11)Obat wajib apotek (OWA) merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien. Walaupun APA boleh memberikan obat keras, namun ada persyaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA, yaitu:b. Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh diberikan kepada pasien. Contohnya hanya jenis oksitetrasiklin salep saja yang termasuk OWA, dan hanya boleh diberikan 1tube.c. Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data pasien (nama, alamat, umur) serta penyakit yang diderita.d. Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar mencakup: indikasi, kontra-indikasi, cara pemakain, cara penyimpanan dan efek samping obat yang mungkin timbul serta tindakan yang disarankan bila efek tidak dikehendaki tersebut timbul.Adapun OWA dibagi menjadi 3 daftar yaitu:1) OWA No. 1, yang pertama kali ditetapkana) Obat Kontrasepsi : Linestrenolb) Obat Saluran cerna : Antasid dan sedative/spasmodic.c) Obat mulut dan tenggorokan : Hexetidine2) OWA No. 2a) Bacitracinb) Clindamicinc) Flumetason, dll.3) OWA No. 3a) Ranitidinb) Asam Fusidat.c) Alupurinol,dllTujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat oleh masyarakat yaitu obat-obat yang diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang diderita pasien. Antara lain: obat antiinflamasi (asam mefenamat), obat alergi kulit (salep hidrokortison), infeksi kulit dan mata (salep oksitetrasiklin), antialergi sistemik (CTM), obat KB hormonal. Sesuai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan adalah sebagai berikut:b. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.c. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.d. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.e. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.f. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.d) NarkotikaDalam Ketentuan Umum Undang-Undang Narkotika No. 35 tahun 2009 dijelaskan bahwa narkotika adalah zat kimia atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. (7)

Gambar 5. penandaan narkotikaNarkotika sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 6 digolongkan menjadi 3 golongan:a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.Contoh : tanaman Papaver somniferum L., opium mentah, opium masak, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina, tanaman ganja, tetrahydrocannabinol, heroin, dan lainnya.b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.Contoh : alfasetilmetadol, difenoksilat, dihidromorfina, ekgonina, fentanil, metadon, morfin, opium, pethidin, tebain, tebakon, dan lain-lain.c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dala terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan menyebabkan ketergantungan.Contoh : asetilhidrokodein, dekstroproksifena, dihidrokodein, kodein, nikodikodina, norkodein, propiram, dan lain-lain. (7)Dengan berlakunya Undang-Undang No 35 Tahun 2009, maka :a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698); danb. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (7)Peredaran, Penyimpanan dan Pelaporan Narkotika (17)1) Peredaran NarkotikaMenurut peraturan menteri kesehatan nomor 3 tahun 2015 tentang peredaran, penyimpanan dan pelaporan narkotika pada pasal 3 menyatakan bahwa Peredaran Narkotika terdiri dari Penyaluran dan Penyerahan.a. Penyaluran Narkotika(1) Penyaluran Narkotika hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan (2) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat berlaku untuk Narkotika.(3) Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis Narkotika.(4) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus terpisah dari pesanan barang lain. b. Penyerahan Narkotika(1) Penyerahan Narkotika dapat dilakukan oleh Apotek(2) Apotek sebagaimana dimaksud hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada: a) Apotek lainnya; b) Puskesmas; c) Instalasi Farmasi Rumah Sakit; d) Instalasi Farmasi Klinik; e) dokter; dan f) pasien. (3) Penyerahan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah Narkotika berdasarkan resep yang telah diterima. (4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Apoteker penanggung jawab.(5) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter. 2) Penyimpanan NarkotikaBerdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 menjelaskan tentang penyimpanan, tempat penyimpanan Narkotika harus mampu menjaga keamanan, khasiat dan mutu Narkotika. (1) Tempat penyimpanan Narkotika dapat berupa lemari khusus.(2) Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Narkotika. (3) Lemari khusus berada dalam penguasaan Apoteker penanggung jawab. 3) Pencatatan dan Pelaporan Narkotikaa. Pencatatan1. Apotek melakukan produksi, Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika.2. Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas: 1. nama, bentuk sediaan dan kekuatan Narkotika2. jumlah persediaan; 3. tanggal, nomor dokumendan sumber penerimaan 4. jumlah yang diterima; 5. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan; 6. jumlah yang disalurkan/diserahkan; 7. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan; dan 8. paraf atau identitas petugas yang ditunjuk. 3. Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) harus dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan dokumen penyaluran termasuk dokumen impor, dokumen ekspor dan/atau dokumen penyerahan.4. Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyalurandan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan Narkotika wajib disimpan paling singkat 3 (tiga) tahun.b. Pelaporan Narkotika1. Apotek wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat. 2. Pelaporan paling sedikit terdiri atas:1. nama, bentuk sediaan dan kekuatan Narkotika; 2. jumlah persediaan awal dan akhir bulan; 3. jumlah yang diterima; dan 4. jumlah yang diserahkan. 3. Laporan dapat menggunakan sistem pelaporan Narkotika secara elektronik. 4. Laporan disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika diatur oleh Direktur Jenderal. e) Prekursor Farmasi (17)Prekursor Farmasi banyak digunakan untuk keperluan Industri Farmasi dalam memproduksi Obat Mengandung Prekursor Farmasi yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk pengobatan. Menurut peraturan menteri kesehatan nomor 168 tahun 2005 tentang prekursor farmasi menyatakan bahwa prekursor farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia tertentu yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi. Beberapa contoh prekursor farmasi yaitu Efedrin, Pseudoefedrine, Norefedrine/Fenilpropanolamin, Ergotamin, Ergometrin, dan Potasium permanganat. Peredaran, Penyimpanan dan Pelaporan Prekursor Farmasi1) Peredaran Prekursor FarmasiMenurut peraturan Menteri Kesehatan nomor 3 tahun 2015 tentang peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan prekursor farmasi pada pasal 3 menyatakan bahwa Peredaran Prekursor Farmasi terdiri dari Penyaluran dan Penyerahan.a. Penyaluran Prekursor Farmasi1. Penyaluran Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan2. Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat berlaku untuk Prekursor Farmasi.3. Surat pesanan Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis atau beberapa jenis Prekursor Farmasi.4. Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus terpisah dari pesanan barang lain. b. Penyerahan Prekursor Farmasi1. Penyerahan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan oleh Apotek2. Apotek hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras kepada: 1. Apotek lainnya; 2. Puskesmas; 3. Instalasi Farmasi Rumah Sakit; 4. Instalasi Farmasi Klinik; 5. dokter; dan 6. pasien. 3. Apotek hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras kepada pasien berdasarkan resep dokter. 4. Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat keras sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah Prekursor Farmasi golongan obat keras berdasarkan resep yang telah diterima. 5. Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh Apotek kepada Apotek lainnya, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, dan Toko Obat hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan harian Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas yang diperlukan untuk pengobatan.6. Penyerahan Prekursor Farmasi oleh Apotek kepada dokter hanya dapat dilakukan apabila diperlukan untuk menjalankan tugas/praktik di daerah terpencil yang tidak ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2) Penyimpanan Prekursor FarmasiBerdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 menjelaskan tentang penyimpanan, tempat penyimpanan psikotropika pada pelayanan kefarmasian mampu menjaga keamanan, khasiat dan mutu Prekursor Farmasi.(1) Tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dapat berupa lemari khusus.(2) Tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku, dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku.(3) Apotek harus menyimpan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi di tempat penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko berupa lemari khusus. 3) Pencatatan dan Pelaporan Prekursor Farmasia. Pencatatan(1) Apotek yang melakukan produksi, Penyaluran, atau Penyerahan Prekursor Farmasi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Prekursor Farmasi.(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas: a) nama, bentuk sediaandan kekuatan Narkotikab) jumlah persediaan; c) tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan d) jumlah yang diterima; e) tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan; f) jumlah yang disalurkan/diserahkan; g) nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan; dan h) paraf atau identitas petugas yang ditunjuk. (3) Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) harus dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan dokumen penyaluran termasuk dokumen impor, dokumen ekspor dan/atau dokumen penyerahan.(4) Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan Prekursor Farmasi wajib disimpan paling singkat 3 (tiga) tahun.b. Pelaporan Prekursor Farmasi(1) Laporan dapat menggunakan sistem pelaporan Prekursor Farmasi secara elektronik. (2) Laporan disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur Jenderal.

3